SERAT NIRARTA PRAKETA
1.
PADUKA BHATARA PARAMARTHA.
a. Kumohon ampun di bawah paduka Bhatara Paramartha (Tuhan yang Maha tinggi) yang sangat gaib, yang senantiasa menjadi tujuan samadi (dan) bersemayam di tengah-tengah kagaiban yang gulita, di persemayaman Kahampaan.
Bhatara laksana surya dengan perkasa memenuhi segala mahkluh dengan cahaya yang gemilang, terang dan nyata (Bhatara) dianggap sebagai (yang) bercahaya dengan sendirinya, yang menyinari hati yang tak goyah dengan sepenuh-penuhnya.
b. Dengan demikian maka sudah selayaknyalah (Bhatara) terus menerus ada di dalam hati yang sangata suci dan utama, agar menjadi syarat bagi hamba yang hendak mempergunakan lambang sebagai tongkat untuk mempelajari (memegang teguh-teguh) ilmu pengetahuan.
Begitulah maksud hamba berdoa tiap hari dan malam untuk mohon perkenan (Bhatara), supaya memberi segala daya (kepada hamba, agar) mampu merangkai kata-kata menjadi sanjak.
c. Karena hamba sangat dungu, karena selama-lamanya (hamba) adalah (makhluk) yang rendah dan dinistakan oleh dunia.
Maka jauhkanlah hamba dari ilmu karang-mengarang; (tak tahu) rasa dari pada buku-buku ilmu pngetahuan dan memaklumi arti ilmu agama. Hanya duka cita saja membebani (hati) yang meliputinya bagaikan gulita yang merajalela. (Hamba) tak mampu meredakan keduanya yang tiada tara dan itulah sebabnya hamba mengikat sejak ini.
d. Mustahillah katak dapat menikmati wangi baunya tunjung yang banyak berkembang di air.
Berhari-harian dan bermalam-malaman ia tinggal di tempat yang sama, tetapi tiada juga akan kebagusan bunga teratai.
Berlainlah hal dengan lebah, dari jauh ia sudah tahu dengan segera.
Seperti itulah kebodohan hamba (yang hanya) mengotori kaki para ahli yang bijaksana.
e. Orang yang unggul dalam ilmu pengetahuan adalah teman dari pada kebahagian dan akan pergi ke sorga yang amat tinggi.
Orang yang berhati jahat adalah taulat kedukaan yang sangat kuat menyekatnya dan tak dapat sipisahkan.
Orang yang sangat berhati angkara tiada lain dosalah temannya yang dimanja-manjanya.
Inilah ketiga golongan teman, pilih yang sebaik-baiknya dan ambillah.
f. Ringkasnya, usahakanlah senantiasa bertemankan orang yang baik budi bahasa dan sabar hati.
Dan janganlah berteman dengan orang yang jahat dan tak dapat dipercaya, (karena) terang akan membawa bencana.
Lihatlah si angsa yang berteman dengan burung gagak, seluruh keluarganya habis mati.
Demikianlah orang yang tidak berhati-hati kan menemuhi bencana yang tak terhingga.
g. Tetapi sangatlah susah untuk mengetahui orang yang bijaksana, hati-hati dan tulus hati.
Bagi orang yang sangat bijaksana pun amat susahlah untuk mencari keselamatan;
Bagi orang yang terpuji tingkah lakunya, masih jauh jugalah iadari mencapai kesempurnaan ilmu, karena hal itu sangat sukar dicapai.
Bahkan Dewa Cakra pun harus diberi petunjuk untuk mencapainya, karena sangat sulitnya.
h. Terangkah bahwa keyakinan hati itu sulit (dicapai), kecuali dengan hati yang sangat teguh, laksana orang mencari makan dengan menanam padi di tanah, (ia harus) sabar sekali, dengan pertolongan orang lain, maka kaluarlah buah dari pada (biji) yang ditanamnya.
Barangkali demikianlah kiranya orang yang ingin mendapatkan hasi.
2.
HENDAK MENCAPAI KEPANDAIAN
a. Bagi orang yang hendak mencapai kepandaian yang tinggi tidak lain (jalan) kecuali bertindak dengan sabar.
(Demikianlah) juga (hendaknya) dikerjakan oleh orang yang pandai yang hendak memikat gadis juwita.
(Demikianlah pula hendaknya) hatimu bila mengabdi kepada raja atau hendak mendaki puncak sebuah gunung. Itulah empat perkara yang tak dapat dicapai dengan tergesa-gesa.
b. Bulan pun bertambah besar berdikit-dikit pada waktu paroh terang.
Pohon beringin pun berasal dari biji yang sangat kecil, (dal) tidak menajdi besar seketika.
Demikian pula lebah penghisap madu (dengan berdikit-dikit, tapi denga teratur sehingga banyak berkumpul). Orang yang berusaha dengan tak berhenti-henti akan segera berhasil demikian dan akhirnya menjadi sempurna.
c. Lagi pula segala kepandaian, walaupun tampaknya tak berharga hendaknya dipegang kuat-kuat.
Lihatlah kepada si pedagang yang menyimpan baik-baik bermacam-macam benda.
(Untuk) mendapatnya ia pergi ke berbagai daerah dan negeri; maksudnya ialah agar tidak ada yang yang kurang bila ada orang yang hendak membelinya.
d. Sesudah banyak hartanya, apa juga yang dikehendakinya dapat terlaksana; tetapi tiada berhenti juga ia mencari benda-benda yang bernilai tinggi, agar ia senantiasa dapat berhasil dalam melaksanakan berbagai-bagai pekerjaan yang utama.
Katanya, “Agar dpat menemukan kehidupan yang laksana permata yang tiada tara.”
e. Ringkanya tidak ada kekayaan yang betapa pun baiknya melebihi amal yang saleh.
Dengan sesungguhnya emas, permata dan perhiasan semuanya dapat binasa.
Begitu juga istri, anak dan sanak saudara akan terpisah pada suatu ketika.
Bahkan yang terutama yaitu ‘jiwa’ (kita pun) pada suatu ketika akan musnah.
3.
KARMA DAN LOBA
a. Kejayaan akan tertinggal di rumah pada waktu (kita) mati.
Tiada lain hanyalah makam batasnya sanak saudara, anak dan istri;
Hanyalah amal baik atau pun jahat (pada waktu hidup) dahulu yang menjadi petunjuk jalan.
Benar atau salah diikuti (oleh jiwa) kemanapun jalannya (selalu) diturutkan.
b. Karena tidak ada sebab orang yang mendapatkan kecelakaan dan dukacita, selai dari ‘karma’ yaitu kopa (angkara) yang menjadi-jadi menimbulkan lobha (tamak) dan akhirnya menyebabkan moha (kebigungan) yang tak pernah reda.
Moha menimbulkan mada (kemabukan), mada menimbulkan matsara (iri) kujana (pikiran jahat) katungka (kebebalan) dan garwita (kecerobohan) di dalam hati. Bila demikian halnya, tentulah (kamu) menemui bencana karena kebebalan itu sendiri.
c. Kalau hal mu seperti itu, tentulah yang lautan yang betapa hebatnya akan tersebrangi dan menikam yang di mulut ikan ‘makara’ yang dahsyat pun (dapat diambil) dengan mudah.
Sungguh! Ular yang marah akan menjadi karangan bunga yang menghiasi kepala.
Tidak demikian halnya dengan orang yang berhati jahat, ia sangat durhaka, sehingga pemberantasan (daripad sifat jahatnya itu) sangat sukar dilakukan.
d. Teranglah bahwa payung dapat menahan panas matahari, betapapun juga teriknya.
Teranglah bahwa air dapat memadamkan api, betapapun juga berkobar nyalanya.
Gajah yang buas dapat ditahan dengan pengait; penyakit yang berbahaya dapat diobati.
Tetapi orang yang pemarah tidak ada obatnya yang dapat meredakannya dan mengubah menjadi sabar.
e. Anai-anai mencari juga api yang panas karena mengira cahayanya memberi sukacita.
Burung-burung dengan bersemangat mengunjungi burung pemikat di dalam pasangan, karena ingin akan suaranya yang halus menyenangkan hati dan hilanglah kecurigaannya.
Akhirnya terjeratlah mereka karena hatinya yang terlalu ingin yang menyebabkan dukacitanya.
f. Sungguh orang-orang pun akan demikian pula halnya, bila tidak dapat mengendalikan hitinya.
Karena raga (keinginan) senantiasa membelenggu hati orang-orang dengan kokoh dan kuatnya.
Menyebabkan kemabukan dan kebingungan bertahta denga sangat kuat di hati dan memenuhinya selama-lamanya.
Teranglah, bahwa hal ini menimbulkan kekacuan karena (orang-orang yang bodoh) tentu akan mencontoh mereka menurut segala kehendak mereka.
g. Kekuatan keinginan itu melewati batas kalau diperangi.
Dengan apakah ia dapat dikalahkan?
Kalau dibunuh, pikiran pun akan hilang dan menimbulkan dukacita dan kelesuan hati.
Kalau dihancurkan membuat hati tak peduli dan terang akan menimbulkan was-was dengan menggoncangkan kegairahan hati.
Kalau dimanjakan dan diperturutkan akan menjadi makin berbahaya dan membawa (kita) ke neraka.
4.
KARMENDRIYA
a. Karma (perbuatan = amal) indriya (indra) itu menjadi pemimpin dari hati kita.
Karmendriya itu jalan untuk bertemu dengan Sukma. Maka orang yang telah mengetahui percampuran / pertemuan dengan Suksma (mengetahui) hal itu.
b. Ada ajaran kebenaran yang menjadi puncak segala kegaiban, Pradana (materi) lahir, sangat kecilnya tiada hingga, dengan segera pecah menjadi berlai-lainan dan berganda-ganda, menjadi dua puluh lima dan dua pua puluh empat buah benda kebenaran.
c. Itulah yang menjadikan segala sesuatu di tiga alam ini, benda-benda yang kasar maupun 12 buah benda yang lain.
Dengan kelima unsur dasar (panca mahabhuta) dan kelima benda-benda yang tak tersifatkan (mantratatwa = tan mantra tatwa).
Tetapi hanya 2 buah benda yang menjadi sumbernya dan lebih sempurna.
d. Di dalam ‘pancabhuta’ terdapat ‘guna’ dan lima ‘matra’ = ( tan mantra) yang sempurna.
(Mereka) membuat hati lalai dan sangat sukar dihilangkan, dengan senang memupuk asmara cinta dan asyik dalam hati, segala yang bagus dilihat dan didengar tercakup olehnya.
e. Pada waktu itu akhirnya ‘indryarthaa’ berkembang, ‘karmendriya’-lah yang terutama menjadi pemenuh keinginan, segala keinginan terhadap rasa, bau yang wangi dan ujud yang indah dan segala benda melekat di hati dengan sangat kuatnya.
f. Batas kesucian dan ke-tidak-sucian menjadi kabur bertempat di dalam tingkah laku makhluk dan segala manusia, meluas didunia memenuhi ruangan di seluruh bola dunia, karena dialah raja yang sangat berkuasa tiada cela di dunia.
g. Demikianlah dua-duanya tak dapat dilihat.
Kedua-duanya sangat lembut menyelip di hati tiada bandingan, tidak dapat diraba dan sangat gaib, tidak dapat dipikirkan betapa ukurannya.
Keduanya sebenarnya satu, tidak dapat dipisah-pisahkan.
h. Meraka itu tampak seperti bulan dengan gambar kelincinya.
Dapatkah mereka itu bertempat ditempatnya yang berlainan-lainan?
Kalau bulan terlindungi, demikian pula (kelinci) ikut mengalami kesukaran yang sama.
Kalau bulan menerangi alam semesta, demikian pula (kelinci) ikut bercahaya.
i. Demikianlah keadaan kejahatan dan kebaikan di dunia. Kedua-nya amatlah sukar dipisahkan (dari ikatannya). Mereka terbentuk dari ‘trikaya’ (kaya, wak, cita = perbuatan, kata-kata, pikiran) yang berasal dari manusia sendiri.
Segala perbuatan, kata-kata dan pikiran hanyalah merupakan pernyataan dari trikaya itu.
j. Inilah tiga sebab yang menjerumuskan manusia ke alam Yama = (neraka) bila cenderung ke arah kejahatan.
Hukum karma yang menjadi sebabnya.
(tetapi) ketiga sebab itu dapat menimbulkan ‘tirwarga’ (dharna, kama, artha = kaselahan, cinta, harta) kalau segala perbutan yang senantiasa dilakukan cenderung ke arah kebaikan.
k. Hanya ‘trikaya’ satu-satunya jalan yang utama dan suci, yang dapat membawa (manusia) ke ‘moksa’ (pembebasan) dan persatuan dengan Niratma = (Cunya). Oleh karena itu kerjakanlah hal itu siang dan malam, agar dapat bertemu dengan ia, yang tak dapat dicapai dengan pikiran (Acintya).
5.
MENJAGA TRIKAYA
a. Tetapi sangat sukarlah menjaga ‘trikaya’ agar selalu suci, karena kejahatan yang sangat sukar dipisahkan dan selalu ada dan bekerja.
Tanpa diketahui dan tiada henti-hentinya (sifat jahat itu) memberi (manusia) anugrah yang berupa rasa ajaib penuh rahasia. (sifat jahat itu) tak dapat dikalahkan yang dengan sempurna, walaupun diusahakan benar-benar, karena tidak mempunyai sifat.
b. Sebagai syarat (mengalahkan kejahata) pergunakanlah doa, sembahyang dan segala sesuatu hal menurut ketentuan-ketentuannya.
Juga pemusatan pikiran, dikir, tapa dan samadi dan lain-lain harus diusahakan dengan sungguh-sungguh. Tetapi semuanya itu belum tentu menjadi sebab diketemukan ‘puncak kesempurnaan yang utama’, bila (manusia) tak tahu dengan tepat pertemuan gaib, maka segala sesuatu tiada berguna.
c. Karena tujuan segala ‘yoga’ itu ialah (agar) ia juga turun, tetapi-katanya-dengan tiba-tiba ia datang untuk memberi anugrah dan orang yang sedang bersemadi itu, tanpa mengetahuinya, bersatu badan dengan yang menjadi pusat tujuan semadi itu (Tuhan), dan ia ikut bersemadi.
Ia itu tidak memerlukan syarat-syarat (nirsadhana), tetapi menjadi syarat menuju ke kebahagiaan dan selalu tersembunyi di dalam semedi.
d. bagaikan api yang sangat tersembunyi di dalam segala kayu tiada bandingan, walaupun dibelah dengan kapak ataupun palu, mustahil api akan keluar.
Tetapi bila (orang) tahu mempergosokkan dua potong kayu dengan cepat dan kuat, tentu api akan keluar membakar kayu itu sampai habis.
6.
TUJUAN PERTAPA
a. Seperti itulah hal-Nya, Dewa yang ada di dalam dan memenuhi segala makhluk.
Ia yang meliputi dan diliputi. Ia yang dibuat = (makhluk), dan Ia yang membuat = (khalik), yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan indra.
Yang menjadi tujuan pertapa yang bertujuan menyembah Dewa Siwa.
Ia hadir dan rapat dengan segala makhluk, ikut di dalam perbuatan-perbuatannya, tetapi juga tidak berbuat.
b. Betapakah (manusia) dapat menggambarkan-Nya dan meraba-Nya, karena Ia sungguh-sungguh bersifat ‘tak bermateri’?
Itulah sebabnya Ia sangat sukar diketemukan oleh orang yang mencapai Kebahagiaan.
Hanya pada waktu orang ‘diam’ dan ‘tak merasa menemukan-nya, hilang lenyap rasa dan akal dan kembali kepada ‘ke-alpa-an yang sempurna’, (ia dapat bertamu dengan Dia).
7.
ADYATMIKA PARAMATMA
a. Segala perbuatan orang tak ‘kan jadi tanpa Dia. Kehadiran-Nya di situ dapat dibandingkan seperti ‘maya’ = (khayal), tak dapat ditunjukkan.
Oleh karena itu orang yang telah tahu, hilang kehendaknya untuk memusatkan pikirannya (untuk mencapai-Nya).
Dikirnya saja yang kekal dan hatinya ‘hining’ = (diam) dan ‘hining’ = (suci).
b. Pada waktu hati telah hining, sangat halus, suci dan cemerlang, maka ia hilang dan menjadi kosong belaka. Akhirnya guna = (kesadaran) timbul………., Lalu dengan serta merta meliputi seluruh dunia, tapi tubuhnya sendiri tidak nampak.
Pada waktu Sang Hyang Tatwa (Kenyataan Tertinggi) menjadi satu badan dengan seseorang, maka ketemulah Roh yang Tertinggi = (Adyatmika = Paramatma).
c. Dan setelah demikian itu, trimala di dalam hati ‘orang yang sudah bertemu’ itu menjadi bersih dan membuat tubuhnya suci selalu.
Sakit, mati, dukacita, mana ia akan takut pada semuanya itu?
(Semuanya) telah terbakar di dalam hatinya, karena ia telah menjadi Dewa Rudra yang Maha Kuasa di dunia.
8.
KESAKTIAN ADA BATASNYA
a. Konon demikianlah halnya orang yang telah mencapai pertemuan gaib yang utama.
Tetap dan tenang ia senan tiasa bersatu badan dan jiwa dengan Bhatara.
Hatinya teguh bagaikan lingga yang berdiri di tempat yang sama dengan tetap di kerajaan Dewa Siwa.
Kesaktiannya tak ada batasnya dan meliputi seluruh dunia serta membawa kebahagiaan yang kekal.
b. Demikianlah halnya orang yang sepenuhnya mencapai persatuan atau pertemuan dengan Dewa Acintya melalui dikir (smrti) abadi yang teratur.
Tidak hanya dirinya sendiri yang suci, bahkan orang-orang lain pun menjadi suci karenanya.
Ia berpikir, bahwa kepentingan orang lain adalah kepentingannya sendiri dan sudah barang tentu akan membawa kebahagiaan seperti hujan bagi orang lain.
Itulah tandanya, bahwa Than telah ‘mengejawantah’ dan bersatu diri dengan kekal dengan dia.
c. Lagi pula tidak ada orang yang nista = (hina), madhya = (pertengahan) dan uttama = (utama) baginya, dengan sama rata diperhatikannya kebahagiaan mereka.
Juga jalan lepas mereka dari neraka, (sehingga) dapat mencapai dunia kebahagian = (sorga) (diperhatikannya). Kalau melihat orang mendapat dukacita, hatinya sangatlah kasihan padanya.
Karena ia tahu, bahwa pada dasarnya orang itu tak ada bedanya, sebenarnya semua itu sama.
9.
YANG DIPIKIRKAN DAN DIPERBUAT
a. Tidak begitulah orang-orang yang biasa. Apa yang dipikirkan dan diperbuatnya, hanyalah yang dapat memuaskan hatinya.
Ia sangat tidak senang terhadap kemampuan orang lain, dan berkata, bahwa kemampuannyalah yang lebih.
Kesalahan-kesalahannya yang besar disembunyikannya dalam dirinya, dan disimpannya, sehingga tidak dapat kelihatan.
Tetapi bila ada kesalahan orang lain, walaupun sangat kecil, dicari-carinya dan diuar-uarkannya.
b. Dan hatinya sangat senang bila melihat orang lain ada dalam kesusahan.
Ia iri hati terhadap orang yang mendapat kesenangan dan bahkan berusaha untuk menjerumuskan (orang yang kesukaran itu) dalam kecelakaan.
Orang-orang yang sangat baik dan yang sangat berbudi difitnahnya.
Ia sangat marah bila dicela, senang sekali bila disanjung.
c. Dengan berbagai-bagai cara ia menghina orang, dengan dengki hati ia memperkecil orang yang berjasa besar. Tiada sungkan-sungkan lagi ia mengecam segala perbuatan orang yang asyik melaksanakan perbuatan-perbuatan baik.
“Orang-orang yang berusaha dengan beraneka jalan dan pergi ke mana-mana untuk mencari Tuhan dengan dalih belum mengerti kebenaran-Nya adalah orang yang tolol dan bingung.”
Demikian katanya menghina dan dengan perasaan puas terhadap dirinya sendiri.
d. Demikianlah pikiran orang yang jahat suka mencari-cari kesalahan orang lain.
Dengan tamak dia mengaku dirinya hebat, padahal belum ada bukti yang diperlihatkannya kepada umum. Kata-katanya sajalah yang hebat, ia itu seperti burung enggang dengan patuknya yang sangat besar.
Ia sendiri tak dapat terbang, ia diam saja di dalam sarangnya, karena kemampuannya tidak sepadan (dengan kata-katanya).
e. Sungguhlah demikian akan jadinya dengan orang yang tidak henti-hentinya memperturutkan segala kehendak hatinya.
Ia tak perduli ditertawakan orang lain, karena takut dikatakan kalah bijaksana.
Karena ingin dipuji dan disanjung, ia berkata, “Tentulah saya yang akan menyelamatkan dunia”.
Jangankan dia berhasil, sebaliknya ia terbawa masuk ke neraka.
10.
HATI SEORANG PENDETA BESAR
a. Tidaklah demikian hati seorang pendeta besar, yang tinggi ilmunya di dalam segala ilmu kebenaran. Bukan karena loba hatinya, kalau ia menempatkan dirinya lebih tinggi dari orang-orang lain yang menghormatinya. Karena kasihnya (terhadap orang-orangitu) maka mereka menghormatinya dan senantiasa menyembahnya dan mendewa-dewakannya. Kebijaksanaannya dan kesabarannya bagaikan hujan yang menyiram hati orang-orang yang membawa kebahagiaan.
b. Lagipula tidak karena permintaannya, bahwa segala permata dan lain sebagainya datang kepadanya. Tetapi karena kesempurnaan (ilmunya) yang mengusai dunia, sehingga tak ada yang membantahnya.
c. Karena ilmunya yang tinggi sang pendeta menjadi suluh laksana api yang bercahaya seperti matahari dan bulan. Denga kebesaran jiwa yang keluar dari dirinya, dikalahkan musuhnya yang seperti kegelapan yang gulita. Hilanglah kemurkaan (tamah) hati segala orang yang berdosa dan musnahlah kecemaran mereka. Dengan baiknya dibuatnya dunia bahagia ilmunya yang sakti luar biasa.
d. Demikianlah tingkah laku orang yang telah mencapai kebesaran (jiwa). Ilmunya bagaikan api berkobar-kobar, bercahaya-cahaya terang temerang. Cermelang-cemerlang di dunia, tetapi tidak nampak, hanya nampak olehnya sebagai ‘ sesuatu yang sangat halus’. Terus menerus ‘sesuatu yang haqiqi’ itu pindah (kepadanya) dengan tidak salah lagi. Tetapi bila dicari didalam hati, walaupun tak ketemu Ia tak hilang. Ia tidak dapat diketemukan, karena bersatu (dengan sang pendeta), tapi (walaupun begitu) tidak bercampur-baur.
e. Percampurannya dengan Hyang Atma adalah pertemuan di dalam batin = (dalam batin = (mikrokosmos). Alam batin itu selalu memisahkannya dari dunia = (makrokosmos) dan dunia lenyap dan di dalam batin menjadi kecil kembali. Kecil karena kehalusan yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan pancaindra.
f. Kalahlah musuhnya yang enam hancur binasa, (sedangkan) hatinya suci murni. Kotoran yang meliputi tak dapat melekat dan enyah jauh-jauh dan lenyap untuk selama-lamanya.
g. Ia tak ikut dalam kesalahan dan kebenaran dunia, (tapi hal itu) diikutinya dalam batinnya yang diam tak berbuat. Diam sediam-diamnya dengan pikiran hampa, tetapi tidak lenyap. (Segala selisih) lebur, hilang bentuk, hilang rupa. Segala sesuatu itu habis tersimpan di dalam batinnya. Segala tingkah ‘lah lalu, karena tiada lagi gunanya. Gunannya amatlah kecil tersimpan di dalam batin, dan batinnya telah tersimpan setelah tiada memerlukan pemimpin.
h. Demikianlah tingkah laku orang yang utama dan telah mencapai badan dewata. Diuraikan oleh hamba yang sangat dungu dengan izin guru hamba. Tapi tak ada gunanya, karena seperti api yang bercahaya-cahaya jatuh di lautan. Akhirnya padam tengelam di kekelaman hati yang selalu menuju simpang jalan.
i. Kekuatan wisaya (alat pemenuhi nafsu) adalah sangat menganggu laksanakan musuh yang bagaikan lautan yang pasang tinggi. Air pasang itu menjerumuskan hatiku ke dalam kesulitan, karena akhirnya membuat hatiku terpaut kepada keduniawian.
Itulah sebabnya hamba lari membawa kitab ini lalu berselubung kain hitam yang telah compang-camping, karena tak terhingga kesedihan hamba disebabkan kurang kepandaian dan ketabahan hati untuk melaksanakan perintah bapa hamba di dalam istana.
j. Inilah akhir lambang yang tertulis dengan sangat buruknya dan tak ada kepentingannya untuk dipercakapkan. Sembarang kata yang tertulis sampai dengan ungkapan-ungkapan yang tercatat telah kucampur dengan perasaan, yang timbul dari pikiran-pikiran yang bingung. Bapa kemudian memberi penerangan segala kata-kata sesuai kasihnya. Sukalah hamba ditertawakan orang, biar pun dicela hamaba akan menerima.
Lagi pula hamba memang tidak tahu akan segala seluk-beluk membuat sanjak seperti orang-orang yang ahli. Tapi hamba diperintah dengan keras oleh bapa untuk menguraikan kegagalan-kegagalan orang yang selalu berdosa. Oleh karena itu hamba pergi ketempat yang sunyi dan mempergunakan nama samaran, takut akan ketahuan nama hamba yang benar. Hamba malu dan akan tetap tinggal di desa dan tak akan kembali sampai akhir hidupku.
SERAT NIRARTHA PRAKRETA
(R.M. Ng. Prof. Dr. POERBATJARAKA)
1.
Santawya ngwah i jon bhatara paramarthatyanta rih niskala.
sah tan sah sinamadhi mungwi tenahin hret-tikta cunyalaya.
suryopama siran prakaca menuhi sarwatma diptojjwala.
byaktawas kahidep swa-dipa sumeno lumren manah niccala.
2.
Ndah yan mankana lot sayojya hana rin cittaticuddhottama.
mangeh sadhananinwan amrih ateken lamban gumegwan karas.
nahan donkun amuspa rin pratidineh ratryamalar sanmatan.
pinten karananin wenan rumacananan cabdatemah bhasita.
3.
Ngwan pwatyanta wimohitapan alewes tuccha kanisten sarat.
ndan duran wruha marna-marna rasanin gastrartha-widyagama.
anhin duhkita kewalamrati sumok lwir andhakaranasut.
tan wruh panlwananin laranupama hetunkwaniket lambana.
4.
Duran manduka yan pamuktya waninin tunjun prakirnen banu.
ekastha rahinen kulem tathapi tan wruh punyanin pankaja.
bheda mwan gatinin madhubrata saken doh ndan wawan sparqaka.
himper mankana mudhaninwan anuker jon san widagdhen naya.
5.
Rin prajnadhika mitranin suka lawan swargatidiwyenusir.
yan rin durgati duhka mitranikihen sthiraniket tan kasah.
yan rin buddhi mahaprakopa taya len tan papa mitraniwo.
ndah yekin tri pamitra-sancaya gegon tekan sayogyalapen.
6.
Sanksepanya lana prihen pinaka mitra sadhu cantakreti.
lawan haywa minitra tan kujana durtawas maweh wadhaka.
ton tan hansa mamitra wayasa sagotranyan wicirnapejah.
ndah manka jana durwiweka tumemu n wighna nda tanpopama.
7.
Anhin tan sipi mewehin wan iki tan prajna wiwekanulus.
prajnanindita towi meweh ika san mahyun pamujen hayu.
yadyan pujita karma dura tan anemwa jnana meweh temen.
san hyan cakra tuwin winodhana sawetnyatyantanin durlabha.
8.
Byaktekan kakaniccayan rusitikan twas nhin sudhairya n manah.
kadyanganin amet bhinukti manarembha dhanya sanken lemah.
lot mritya. mateken paragraya mijil wwahnin tinandurnira.
pangil rakwa samankanekana n asadhyahyun manemwan phala.
1.
Tan lyan rin manusir gunadhika canaih-canaih kramanika.
lawan tinkahi san widagdha manamer su-ratna-wanita.
mwan buddhinta masewaken nrepati len maren qiragiri.
ndah yekan pwa catur prakaranika tan dadi n geli-gelis.
2.
Rin cuklendu samatra tambayanikaweweii kedi-kedik.
riri plaksalpika suksma wijanika ghora ta pwa tumuluy.
manka n satpada panhisepnya madhu nitya mogha mapupul.
tadwat mankana rin lanotsaha temahnya purna wekasan.
3.
Lawan salwiranin gunadyapi tan arghya yogya ya gegon.
drestan tan kriya-banyageka wiwidha n swa-banda tinenet.
donyapet karananya mentasa ri sarwa-bhumi n usiren.
donyasin pinalakwa tumbasenikan wwan aywa katunan.
4.
Sampunyan pada wreddhi n artha salekasnikaphala tuwin.
nda tan warsih amet muwah sahananin minulya rin aji.
mamrih kwehani gatyanin gaway anindya lana temunen.
“rapwan panguhaken wicesa-mani jiwa-tulya” linika,
5.
Sansiptan taya len sudharma wekasih hinuttama dhana.
kwehnin hema suratna bhusana winaca-jati rasika.
stri len putra sawandhu santana nahan ya mogha mapasah.
mukya h jiwita towi meweh ika rin ksana krama hilan.
1.
Rin laksmi makahinan in greha taman winawa ri sedenin paratrika.
nkanen gmasana hinanin swa-kula wandhawa weka-weka bharya tan waneh.
nbin tan karmika purwa yan sukreta duskreta manuduhaken teken paran.
dharmadharma tinutnya (selwana)salakwa dadi milu manuntun in henu.
2.
Apan tan hana len nimittanin amanguh ala sinaputin putek hati.
sanken karmika wreddhi kopa dadi lobha temahanika moha tan surud.
sanken moha si mada, mada dadi matsara kujana katungka garwita.
ndah yan mankana tan wurun tumemu pataka saka ri wimudhanin hidep.
3.
Atyanten atighoranih tasik awas kalanuyan i gatinya mankana.
lawan koddhretanin manik ri tutukin kupita-makara yeka tar manel.
krura n taksaka dadya puspa sama rin hulu kasuhuna wastu pangihen.
tan manka n gata-buddhi ya pratiniwista kadawutanikardha bhisana.
4.
Chatra stambha ya tejanin rawi mawas katahenani panasniradbhuta.
byakta n we wenananya yan mamejahen apuy aticaya diptakojjwala.
matta n naga tan arikucamatehaken, lara sabhaya si tamba panhreta.
ndan rin murka jugeki tan hana pakosadha n amateha dadya mardawa.
5.
Tiksna n pawaka mogha tan salabha muhsira riya sahajan paweh suka.
mungwih panjara towi tan papikat asran inusinikan arja paksika.
wetnih hyunya manancaye hayuni qabdanika lalita komalanulus.
keket rin wekasan tekapnin atiharsanika karananih kaduhkitan.
6.
Tadwatmankana tan samasta-jana tan dadi wenana dhumarana n manah.
denin raga lanahiket lewu subaddha ri hatinikanari sarat kabeh.
hetunyan mapageh keta n mada withoha manah atisumok nirantara.
byaktande wiparita tan wurun anutaken iki ri sasestinin hidep.
7.
Hinanyan lalu gaktinih hyun iki yan linagan, in apa denya konkaba.
yapwan pinrih ilannya manhilanaken tutur amuhara coka mohita.
yan sinyuh magawe prapanca niyatandani turida manunca.hin lutut.
yan winwan iniwo makin pinaka wisti pinaka hawanin kapataka.
1.
Karmendriyeka maka mangalanin swacitta.
kamendriyan pinaka marga mamicren suksma.
ndan san huwus wruh i panuksmanikan ya manka.
2.
Wanten wretatwa wekasin paramatiguhya.
byapin pradhana pada litnika tanpa hinan.
tan dwa wibhajya bahubheda mawreddhi-wreddhi.
nyan pancawinca saha catwariwinqa tatwa.
3.
Yeka nimittanikanan sahanen triloka.
sthuladi tatwa kateken dwidacanga tatwa.
mwan bhuta panca kalawan lima matra tatwa.
ahhin rwa hetunika yan paripurna nitya.
4.
Rin pancabhuta guna len lima matra siddhi.
maride wikalpa hana rin hati lot humandel.
lilamanun turida raga lulutnikan twas.
harsen katon sakarend kaharas tekapnya.
5.
Ngka yan pamreddhi wekasan tikan indriyartha.
kamendriyadinikahen wisayanya purna.
sarwesta rin rasa sugandhika len swarupa. (surupa)
mwan sarwa wastu katenin hati mogha tresna.
6.
Hinanya nirmala lawan malinatwa kirna.
mungwin swabhawanikanan dadi sarwajanma.
Jumren jagat mamenubi lwanin andabhumi.
apan sira prabhu wibhuh nirakara ring rat.
7.
Manka swajatinika kalih anopalabdhi.
kapwatisukstna sumilib ri manah tan imba.
durgrahya grehyakawiceda mahaprameya.
ekaswabhawa sira karwa wibhinnapaksa.
8.
Himper wulan lawan ikan gacacihna drestan.
nya tekihen wenana len kahananya mungu.
yawat lananemuki satmaka wighna saksat.
tawat tumut sumuluh in sakalanda lumrah.
9.
Ndah mankana n hala hajen gumelar hanen rat.
duran wiyoga saka ring patemunya karwa.
murigwin trikaya kawanun tekapin swacitta.
solah sagabda samanah maka sadhananya.
10.
Yeki n tri hetukanikan umusir yamanda.
yapwan sininhitakening hala karmikande.
yekin tri hetunin amanguhaken triwarga.
yan sinhitin hayu n ulah ginawe pwa nitya.
11.
Anhin tri-kaya paramartha wicuddha marga.
ambalnikan pada wimoksa niratma micra.
nahan matannya dina ratri ya tolaheka.
rapwan tumemwaken awaknin acintyatatwa.
1.
Nhih durlabha dahaten ikan trikaya pagehanya wimala satata.
sanken hala ta rusitikan pinet sthiti haneriya manulahaken.
pohnin paramarasa rahasya nugraha lanamenuhi maniluman.
tan matra kawenan yadin prihen lewu wilaksana siran inusir.
2.
Pujarcana sahana widhikriyacjrayakenanta pinaka carana.
mwan dhyana saha japa samadhi yoga panupaya sakala regepen.
tan byakta tika karananih tumemwa wekasin parama kasugatin.
yan tan wruh i patitisi sandhinin samaya nisphala sahananika.
3.
Apan sahana-hananikan prayoga pinakesti sira juga tedun.
ndah mogha mawaka rikan angego smreti tekasuna wara, kahidep.
tan wruh yadi sira hana rin swabhawa tinelen milu manelenaken.
nir sadhana sira maka sadhanen hayu sadanilib in anen’anen.
4.
Lwir bahni wekasin atisuksma tan sipi haneh kayu-kayu sahana.
ndah yan tutuhana wadunen pajun kapana yann umijila n anala.
nhin yan wruhanikanan anuswaken lalu sawega lekasanikahen.
byaktotpadanikan apuy dumagdhakena wreksa pinenuhan ika.
1.
Iwa mankaneki gati san hyan umibeki samuhanin dadi.
ya mawak pawak ya ginawe gumaway ikan acintya niskala.
sasinadhyanin tapa masadhya rin angulahaken giwarcana.
hana tan tumut tuwi tumut ta ya raket i sapolahin sarat.
2.
Rin apan kawastwan i siran grahana tubu widehalaksana.
ya matannya durgama kapangihanika tekapin mamet hayu.
humenen nda tan wenan atarka ri karegepanin samankana.
katunan tutur hidepikan lebar abalika wreddhyanin lupa.
1.
Asih ulahanikan wwan tan byakta nya kinatayan.
padanira hana ri nika lwir maya taya tinuduh.
ya karananira san wruh nir tan sadhya telenana.
smretinira juga langen nimnajnana cuci sada.
2.
Ri henenikanan ambek tibralit mahenin aho.
lenit aticaya cunya jnananacraya wekasan.
swayen umibeki tan rin rat mwan deha tuduhana.
ri panawakira san hyan tatwadhyatmika katemu.
3.
Ndan i huwusira manka san sampun kretasamaya.
tri-mala malilan in cittande cuddha tanu sada.
lara pati putekin twas ndin sandehan ika kabeh.
geseni manahirapan rudratma sakala wibhuh.
1.
Mankana rakwa san telas anemwaken pada wigesa guhyasamaya.
tan manawastha tan hidep amicra suksma ri bhatara satmika lana.
linga manahniran sthiti manekadega madeg in ciwalaya sada.
gaktiniraprameya hibeking jagat juga maweh sukapratihata.
2.
Na lwiri san tepet manemu yoga sandhinin acintya sasmreti sada.
tan swacarira kewala wiguddha nirmala tekaparatmaka kabeh.
swartha parartha sadhyanira tan wurun mudani harsanin parahita.
yeka panihnanin sakalamurti san hyan apagoh umandel i sira.
3.
Len hana nista madhya lawan uttaman pada kininkinin hayunika.
mwan karananya mentasa saken aweci musira n sukadhikapada.
yan mulatin parahemu suduhkitalara dahat hidepnira tumon.
ri wruhi tanpa bhedanira mulanin bhuwana jati tungal ikahen.
1.
Tan manka janaloka buddhi winanunya tan amuhara treptinin hidep.
ndan bwat dwesa gatinya rin paraguna, swaguna juga lewih wuwusnika.
gonnih dosa hinotakenya ri carira kinekesika tan kaniccayan.
anhin yan hana dosa-matranikanan parajana winulik winarnana.
2.
Lyan tekan hati tustacitta ri sedehnika n umulati duhkanin waneh.
irsyen wan tumemu n sukanalah ulah karananira manemwa duhkita.
nindyeri sadhu mahardhike manah anindya winalin agawe kaduskretan.
gonnin krodha madeg yadin calana, henti sumukitanikan hinastawa.
3.
Tan tungal mara sampaying nara, wimurka, tumaya-taya rin huwus mahan.
nirsandeha cumodya solahira san jenek anulahaken kasatwikan.
“yeku bhranta wimudha-janma tang amet hyang aputeran aneka laksana.
lecyanyan turunin wruh in gati” nahan panucapira manalpika- Iwero.
4.
Ndah mankambekikan qatagelem apet rin analahi n ulah nya nityasa.
lobhe dhih umaku wiqesa tinemunya ri turunin acihna rin praja.
ndan qabdanya jugalepas lwiraniki n kalilinan atikadbhutapatuk.
anhin tan kawenan miber sthiti hanen kuwunika ri wipaksanin tanu.
5.
Nistanyan pwa ya mankana n gati taman surud anekani sestinin hati.
tan seneh yadin asyana h para tekapnikan awedi kasoran in naya.
wetnin hyunya pujin stutin ya linika “bhuwana lepasa denku tan wurun”.
simbantenn iki yan makarya ya jugan winawanika ri tambragomuka.
1.
Tan mankambek munindraticaya nipuna rin sarwa tatwopadeca.
tan sahken lobha yar sorakeni sahananih loka kapwapranamya.
sanka ry asihnira n hetunika pada musap joh lananghyan masewa.
warsajnanopacantanirami manahikan rat dumeh harsacitta.
2.
Tekwan tan sanka rin pintanika ri datengin sarwa ratnopakara.
wetnyatyanten mahasiddhinira kumawaqen rat taya n langhaniya.
3.
Apan prajna suluh san yatiwara masawan bahni candrarka dipta.
rin wahyadhyatmika n anga rinadinanira n qatru yanken peteng sok.
dhwasteka nan tamahnin hati sahananikan papa len kleqa cirna.
lila-lilan panicchen bhuwana tekapikan jnana caktyaniwarya.
1.
Samanka tinkahnira san huwus mahan.
mahojjwalen jnana lumon prabhaswara.
prabhaswaren rat supenuh nda tan katon.
katon tikan wastu susuksma denira.
2.
Nirantararthatwa mapinda tan luput.
luput rin anga mwan in anda yan, pinet.
pinet maner in hati muksa tan hilan.
hilahnikamicra mawor nda tan pawor.
3.
Paworniken atma makeka rin tutur.
tutur sadakala sunispreheng sarat.
sarat hilah mwan ri hidep maluy malit.
malit saken litnin acintyaniskala.
4.
Kalah tikan sadripu cirna denira.
niragraha citta wicuddha nirmala.
malanaput tanpa napel kawes humur.
humur dumohi wisayanya nityaca.
5.
Salah-kena n lokika mogha tan tinut.
tinut rin ambeknira tan grahomeneng.
meneng mido lalu wicintya tan lebur.
lebur nirakara niraksaratmaka.
6.
Makantya tekana ginuhya rin hati.
atita rin kirya kabeh ya nisphala.
phalanya tan matra kasihhiten manah.
manah sumimpen ri huwusnya nirnaya.
1.
Ya samankana rakwa lekasira san uttama diwyayati.
ginelarnira san guru pananumaten kami mudha dahat.
wiphalan kadi dipa sumeleh atidipta tibeh jaladni.
temahanya padem kakelem i petehih hati lot wipatha.
1.
Iwirnifi wadhaka caktinin wisaya catru jaladhi sama kirna tar surud.
rwabhyandurbalani swacitta mawetu n karaketan i temahnya rin sarat.
na hetunkwa n umura karwa lepihan teher akemula kresna jirnaka.
wetnin tan sipi duhka mandagagunen bapa ri panatagin purakreti.
2.
Nahan hinanikan palamban atidurlikita wigati tar wenang linen,
ndan sin cabda riniptaken teka n ujar sarinapini winorku rin rasa.
bhrantajnananikin pitanuluyi putra sawuwusika tulya bhasmaran.
tustenwan yadin asyana n para sadenya cumacada linampuning hulun.
3.
Tekwan tan wihikan gatinku ri rusit-rusitin akawi punya kirtiman.
nhih sinwinutusin yayah medarena katiwasanira nitya kacmala.
hetunkwanis anuksma mogha maparab wedi katenera cihnanin hulun.
eran ngwan sthitihen pradega juga tan maluya wekasanin nirarthaka.
Iti nirartha prakreta samapta telas rinacana denin ptiputut tan wrin deya 1381 (Caka), un an Saraswatyai namah. Siddhir astu. Sampurna pwa yen kancana. Durga Dewi tan len ika sthananya ring padmambara.