BHAGAWAD GITA
Bhagawadgita (Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari
Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk
syair. Dalam dialog ini, Sri Krishna, personalitas Tuhan Yang Maha Esa adalah
pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan
Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah,
arti Bhagavad-gita adalah Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna,
van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan
sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak
terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna,
yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).
Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang
dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini terjadi pada permulaan
Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di
tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa.
Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak
saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati
mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Sri Krishna yang
berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.
Bab 01
Gundahnya Sang Arjuna
Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang
Maha Suci Kreshna. Berkatalah Dhristarashtra :
1. Di dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah
kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar
mereka, dan juga putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk
suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai
Sanjaya.
(Keterangan) Kurukshetra disebut juga dharmakshetra,
terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat
ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi,
kshatrya untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu
kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah
kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca.
karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. “Bangunlah jiwa dan
ragamu dengan dan untuk dharma.” Kata dharma berasal dari kata “Dhru” yang
berarti “pegang.” Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak
terdapat dalam ucapan-ucapan manis. tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita
yang merupakan inti dari kehidupan kita.
Dan Kshetra berarti padang, ladang atau medan.
Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, “apa sajakah yang
selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah
adarma? Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi,
dan yang telah melakukan adharma maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa.
“Bersiap-siap untuk suatu yudha,” Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para
Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Kreshna yang Maha Bijaksana
berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya. maka
untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para
Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini
akhirnya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.
Dalam ucapan Dhritarashtra yang mengatakan di atas
“tanahnya para Kuru” dan juga ‘”putra-putraku,” tersirat adanya rasa egois atau
ahankara (angkara) yang besar. inilah sebenarnya sumber dari segala tragedi
dalam hidup ini.
Berkatalah Sanjaya :
2. Kemudian pangeran Duryodana, setelah melihat barisan
laskar para Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata.
Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang
Kaurawa dan Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Kaurawa sampai akhir
hayatnya.
3. Lihatlah wahai guruku, barisan laskar para Pandawa
yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh murid Sang Guru
yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada.
Yang dimaksud “murid yang bijaksana” di sini adalah
Dhristadyumna. la adalah putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia
diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa;
Dhristadyumna sebenarnya masih merupakan saudara ipar para Pandawa Dalam perang
ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada, kemudian Dhristadyumna akan membunuh
Drona. Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh
Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.
4. Di sinilah para pahlawan-pahlawan besar berkumpul,
dari Bima, Arjuna dan yang tak kalah kehebatannya yaitu Yuyudana, Virata dan
Drupada.
5. Juga Dhrishtaketu, Chekitana dan raja besar dari
Kashi, Purujit, Kuntiboja dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar nan sakti
wirawan.
6. Juga yang gagah berani yaitu, Yudhamanyu dan
Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi.
Bima : Putra kedua dari Pandu. yang kedua dari para
Pandawa.
Arjuna : Yang ketiga dari Pandawa bersaudara, dan yang
paling dikasihi Sang Kreshna.
Yuyudana : Disebut Juga Setyaki. pahlawan yang gagah
perkasa.
Virata: Raja dari Matsya-desha. seorang raja nan arif
bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun
terakhir pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja
Virata. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu, putra
Arjuna.
Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang
memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu
Kunti, ibunya sang Pandawa,
Shaibya: Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai
banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang
bertenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja: Pangeran-pangeran dari
Panchala, juga merupakan pendekar-pendekar nan sakti-wirawan. Keduanya dibunuh
Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Kreshna).
la dikenal juga dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan
kepahlawanannya yang luar biasa.
Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu
Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.
Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk
perdamaian niscaya akan menghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetapi
rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan
mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.
7. Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara
yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak
kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati,
“Yang teragung diantara yang dilahirkan dua kali” adalah
ungkapan yang ditujukan kepada Resi Drona, karena sang resi ini adalah seorang
brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya: pertama
seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini, tetapi di dunia ini ia harus
menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa, jadi “lahir” lagi dengan
meninggalkan semua nafsu keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan
Yang Maha Esa. Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.
8. Pertama-tama Dikau yang mulia Drona, kemudian Bhisma,
Karna dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha, juga Ashvatama, Vihana
dan putra Somadatta.
9. Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan lainnya yang
bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka, bersenjatakan berbagai senjata-senjata
yang sakti, kesemuanya ahli-ahli perang yang tiada taranya.
• Bhisma: Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima
tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih “kakek” para Kaurawa dan
Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para
Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, tetapi dalam perang ini
beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia kepada
Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tetapi Bhisma pernah bersumpah dihadapan
Duryodana tak akan pernah membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini
Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya.
• Karna: Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab
Duryodana. Oleh Duryodana, Karna diangkat menjadi raja Anga (sekarang disebut
daerah Bengal di India). Sebenarnya Karna adalah seorang kshatrya maha-sakti
yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamanya, tetapi terikat sumpah setianya
kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa, Setelah matinya Drona, Karna diangkat
menjadi panglima tertinggi Kaurawa tetapi hanya berlangsung dua hari saja,
karena kemudian ia mati di tangan Arjuna, saudara tirinya sendiri. Beginilah
kehendak Dewata.
• Kripa: Saudara ipar resi Drona. Ia adalah diantara tiga
pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam perang Baratayudha.
• Ahsvatama: Putra resi Drona, juga salah seorang
panglima perangnya Kaurawa yang terkenal liciknya.
• Vikarna: Putra ketiga raja Dhristarashtra, adik
Duryodana.
• Putra Somadatta: Somadatta adalah raja dari negara
Bahikas yang membantu Kaurawa.
10. Tak terhitung jumlah laskar kita yang dipimpin oleh
Sang Bhisma, sedangkan dipihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima, jumlah
laskar mereka sangat mudah untuk dihitung.
Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang lebih banyak
dari pihak Pandawa, kabarnya Kaurawa mempunyai laskar lebih banyak empat divisi
dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang menyebutnya berlipat ganda.
11. Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap
pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga
Bhisma dengan baik.
Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di atas
dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak
Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun jumlah laskar
mereka lebih sedikit.
12. Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma
yang bijaksana meniup sangkalalanya yang mengeluarkan suara seakan-akan auman
dahsyat seekor singa.
13. Kemudian dari segala penjuru tambur-tambur dan
sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan hiruk-pikuklah suasana waktu itu
dipenuhi suara-suara ini.
14. Kemudian, duduk di kereta perang nan agung, dengan
pasangan-pasangan kuda-kuda putih, Sang Kreshna dan Arjuna masing-masing meniup
sangkalala mereka.
15. Sang Kreshna meniup sangkalalanya yang bernama
Panchjanya, dan Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan
Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat,
bernama Paundra,
16. Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup
Anantawijaya, Nakula dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka.
• Raja Yudhistira: Yang tertua di antara Pandawa adalah
seorang maha-raja yang berwatak tenang, penuh kasih-sayang dan amat bijaksana
dalam segala tindak-tanduknya, tak pernah bohong dalam segala hal. Beliau
dikenal lebih sebagai seorang negarawan daripada seorang pendekar yang gemar
berperang. Sangkalala yang dimilikinya disebut Anantavijaya yang berarti
“kemenangan tanpa akhir” atau juga disebut “suara-kemenangan.”
• Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir
berkuda, sangkalalanya bernama Sagosha yang berarti “bersuara indah.”
• Sahadewa (Sadewa): Putra Pandu yang paling bungsu
memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka yang berarti “mutiara yang mekar”
atau “bunga-bunga mutiara,” karena sangkalala yang satu ini teramat indahnya,
selain bentuknya laksana mutiara ditaburi pula dengan mutiara-mutiara asli yang
indah.
17. Juga yang ikut meniup sangkalalanya masing-masing
adalah raja dari Kashi yang memimpin laskar pemanah, kemudian Sikhandi
(Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna, Virata dan Satyaki (Setiaki) yang
tak terkalahkan.
18. Juga Drupada dan putra-putra Draupadi, dan juga
Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dari setiap jurusan.
Shikandi (Srikandi) di India sering disebut juga sebagai
putra raja (sebenarnya ia seorang banci) Drupada, di Indonesia ia dikenal
sebagai pahlawan wanita, merupakan titisan dewi Amba yang menuntut balas kepada
Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalam perang ini. Satyaki adalah
sais kereta perang pribadi Sang Kreshna.
19. Suara-suara dahsyat sangkalala-sangkalala ini
memenuhi langit dan bumi tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat
putra-putra Kaurawa.
20. Kemudian Arjuna yang di kereta perangnya terdapat
panji bergambarkan Hanoman, memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang
telah siap untuk berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera
dimulai, Arjuna memungut busur panahnya.
21. Dan berkata kepada Sang Kreshna:
Berkatalah Arjuna :
22. Ingin kulihat semua yang ada di medan ini, mereka
yang telah bersiap-siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga.
23. Ingin kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini,
yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra
Dhristarashtra yang berhati iblis itu.
Berkatalah Sanjaya :
24. Setelah Arjuna selesai dengan kata-katanya, Sang
Kreshna pun mengarahkan kereta perangnya, kereta yang terbaik diantara semua
kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris
rapi.
25. Di hadapan Bhisma, Drona dan pendekar-pendekar
lainnya.
Berkatalah Kreshna :
Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di
sini).
26. Dan Arjuna pun melihat paman-pamannnya, para sesepuh
(kakek-kakek), guru-guru, saudara-saudara dari ibunya, putra-putra dan para
cucu, misan dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.
27. Juga terlihat ayah-mertuanya dan para teman yang
terdapat di kedua belah pihak. Melihat jajaran sanak-saudaranya yang berbaris
rapi ini, Arjuna.
28. Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu.
Berkatalah Arjuna :
Melihat jajaran keluargaku ini, oh Kreshna, bersiap-siap
untuk berperang.
29. Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat,
seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.
30. Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh
kulitku terasa terbakar; tak kuat aku berdiri tegak lagi; kepalaku serasa
berputar-putar.
31. Dan kulihat pertanda iblis, oh Kreshna! Tak kulihat
sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.
32. Tak kuinginkan kemenangan, oh Kreshna, tidak juga aku
menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah
kerajaan untuk kami, oh Kreshna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan
hidup ini ?
33. Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk
mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan
kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan
untuk mereka juga.
34. Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan
para kakek, paman, mertua, cucu, saudara-saudara ipar dan sanak-saudara
lainnya.
35. Aku tak akan membunuh siapapun juga, walaupun aku
sendiri boleh mati terbunuh, oh Kreshna, takkan kuberperang walaupun aku
sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat
duniawi ini ?
36. Setelah membantai putra-putra Dhristarastra,
kenikmatan apakah yang dapat kita miliki, wahai Kreshna? Setelah membunuh
penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tercemar oleh dosa-dosa ini.
37. Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara
sendiri, yaitu putra-putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Kreshna, mana
mungkin kita ‘kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?
Arjuna adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi
situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam.
Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak sampai hati untuk
membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati
iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam “ke akuan” nya.
Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam
mengambil suatu keputusan yang maha-penting ? Bukankah rasa iba sering kali
membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu
sendiri’1 Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta-benda, nama
posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dari adat-istiadat demi kepentingan
egois orang lainnya.
Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan
simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk
Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya
baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama
Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah
bersabda: “Seandainya seseorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia
meninggalkan ayah-bundanya, anak-istrinya, dan saudara-saudaranya, maka ia
tidak akan menjadi muridKu.” Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai
tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan “semua
miliknya,” kalau sudah memilih jalanNya.
Ini bukan berarti Sang Kreshna mengecam “rasa-iba” atau
perasaan “simpati” atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenarnya adalah sifat
seorang yang satvik, tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita
adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang sejati
adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang penuh dengan
rasa “welas-asih,” dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai
sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki “sinar pengetahuan Ilahi,” dan
bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya
sang dharma.
Di atas, untuk sejenak Arjuna rupanya lupa akan
dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak-saudaranya yang sebenarnya
bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek,
dsb, tetapi sanak-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha
Esa dan jalan di jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang
sejati, tulus dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.
Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. la lupa bahwa
dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa
tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala
atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia!
Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk
menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Kreshna
menganjurkan jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari choka
(kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi).
Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat
adalah “bunuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu.” Agama-agama yang lain pun
selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan “berperanglah
terhadap iblis tanpa henti-hentinya,” Sang Buddha berperang dengan Sang Mara,
Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang
lain. Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi
tegaknya dharma.
38. Dengan hati yang dikuasai oleh keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan penghianatan atas teman-teman dan para sahabat.
39. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk
menjauhi dosa semacam ini, wahai Kreshna – bukankah kita melihat kesalahan ini
akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita?
Arjuna masih menilai bahwa sesuatu kewajiban harus
dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma
yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dharma harus ditegakkan demi Yang Maha
Kuasa, dan apapun yang diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk
kita atau yang membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai
pemberianNya. Dan itu harus ihlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah
kewajiban dan persembahan kita kepadaNya, bahkan harus penuh dengan
tanggung-jawab yang tulus kepadaNya bukan kepada kehendak unsur-unsur duniawi
yang banyak terdapat disekitar kita, yang kalau dihitung seakan-akan tiada
habisnya.
40. Dengan hancurnya sebuah keluarga, hancurlah juga
semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma), dan dengan hancurnya
tradisi-tradisi, larangan dan segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita,
maka kekacauan akan menguasai keluarga kita semuanya.
41. Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka
wahai Kreshna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau
para wanita kita telah berlaku serong, oh Kreshna akan terjadi percampuran
dalam sistim kasta.
Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran dalam keluarga
besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai lama tradisi mereka, dan lebih
dari itu, juga akan menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh.
Di dalam Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim
kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas
dengan inti ajaran Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu sebenarnya
sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali
ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang
ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah
akan hancurnya moral para wanita dalam keluarga besar mereka. Semenjak masa
silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan
suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para
pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibuktikan dari kedudukan para
dewa-dewi dalam legenda-legenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah
kalau tidak dihadiri seorang wanita, juga peranan gadis-gadis yang masih suci
amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak
contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan
Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.
42. Dan kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga
kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para
leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen (yang
berbentuk bulatan terbuat dari beras).
Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini akhirnya malah
merusak nilai-nilai tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur
pun ikut makan getahnya dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para
wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu.
Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia lagi kepada leluhur
mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara
sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.
43. Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini,
terciptalah kekacauan dalam sistim varna (kasta) yang ada dalam tradisi kaum
kita dan hancurlah keluarga ini.
44. Dan kami dengar, wahai Kreshna, bahwa barang siapa
kehilangan nilai-nilai tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.
45. Aduh, Betapa besarnya dosa yang harus kita pikul
dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.
46. Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra
dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.
Berkatalah Sanjaya :
47. Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan
perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan
menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa
gundah-gulana.
Arjuna sebenamya adalah seorang kshatrya yang bersih,
tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. la sebenarnya, seakan-akan
berbicara tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal ini
dilakukannya karena keterikatannya kepada sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan
vairagya kepada Yang Maha Esa.
Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta (moha)
dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada
sesuatu benda atau seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah
suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa
kepada kita semuanya yang sebenarnya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan
perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha
Pencipta.
Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi
seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam
batas-batas “miliknya,” ia masih mencintai semua sanak-keluarganya dalam batas
duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya, tidak ada sesuatu apapun
yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar
tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan
pamrih).
Sang Kreshna maklum Arjuna sedang mengalami depresi
mental yang sangat berat, Beliaupun memulai ajaran-ajaranNya demi membangun
lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk
menghadapi hidup ini yang penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas
dari Yang Maha Pencipta untuk kita semua.
Inti ajaran Bhagavat Gita adalah, pembinaan mental diri
kita sendiri secara batin. Gita mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa
kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin
yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur
duniawi dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang
Kreshna dalam Bhagavat Gita adalah “berdirilah dan berperanglah melawan
kebatilan.” Hidup adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga
adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih. Maju
terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat
pribadimu dalam bentuk apapun juga.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, bab yang pertama ini
disebut sebagai Ilmu-Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang
berbentuk dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna yang disebut juga Arjuna
Vishada Yoga atau Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya.
Bab pertama disebut “Vishada Yoga.” Vishada berarti
depresi (karena duka), yoga di sini berarti bagian atau bab. Vishada yoga
adalah permulaan dari Bhagavat Gita. Sebenarnya kalau ditelaah secara mendalam,
maka rasa depresi atau Vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke
kehidupan spirituil atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelah
tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia
kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar, kemudian
barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju ke terang. Dalam setiap
depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka kita akan berteriak
dalam kedukaan yang amat dalam: “Apakah arti kehidupan ini? Apakah arti
semuanya ini? Mengapa kita harus dilahirkan? Kemana kita akan pergi sesudah
mati nanti? Dan sering sekali kita mengucapkan, “Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan
daku?” Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?” dan “Oh Tuhan Dikau
tak adil pada ku?” dan lain sebagainya, sebagai tanda-tanda frustrasi dalam
diri kita,
Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam suatu
keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu bentuk ilmu
pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah membunuh atau
menguasai semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk positif (baik) maupun
negatif (buruk), ia akan menemukan bahwa ia tidak berdiri sendiri dan semua ini
ada yang mengatur. la akan menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya
dan kasih-sayang kepadanya. la (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama
dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan kepercayaan masing-masing
individu; dalam Hindhu Dharma Ialah Sang Kreshna (Ilahi dalam bentuk manusia),
Sang Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan
penerangan, seseorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan
dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti,
kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:
Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam). [XI, 38]
Bab 02 – Dimulailah Ajaran Bhagavat Gita
Berkatalah Sanjaya :
1. Sang Kreshna pun penuh dengan perasaan iba bersabda
kepada Arjuna yang sedang dalam keadaan gundah, dan kedua matanya penuh dengan
linangan air mata dan merasa dirinya tanpa semangat dan harapan lagi.
Berkatalah Sang Kreshna Yang Maha Pengasih :
2. Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada
saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak
pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga.
Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!
3. Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh
Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh
kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!
Berkatalah Arjuna :
4. Bagaimana mungkin, wahai Kreshna, daku menyerang
Bhisma dan Drona dengan panah-panahku dalam perang ini? Bukankah mereka
sebenarnya layak untuk dijunjung tinggi, oh Kreshna?
5. Lebih baik hidup sebagai pengemis di dunia ini,
daripada membantai para guru yang agung ini. Dengan membunuh mereka, yang
kudapatkan hanyalah kepuasan yang bergelimang darah!
6. Juga kami tak tahu manakah yang lebih baik – kami
mengalahkan mereka atau mereka mengalahkan kami. Dengan membunuh putra-putra
Dhristarashtra, yang berdiri sebagai lawan, berarti juga menghilangkan
sendi-sendi kehidupan (keluarga besar mereka).
7. Seluruh svabhavaku (jiwa-ragaku), serasa sedang
dirundung rasa lemas dan rasa iba, dan hatiku bimbang untuk melaksanakan
kewajibanku ini. Maka kumohon kepadaMu. Ajarilah daku, sesuatu yang pasti, yang
manakah yang lebih baik. Daku adalah muridMu.* Daku berlindung di dalam diriMu.
Ajarilah daku.**
Arjuna terombang-ambing di antara kesedihannya dan rasa
tanggung jawabnya dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang kshatrya. Dan
puncak dari keragu-raguannya ini adalah berpasrah diri kepada Sang Kreshna agar
ditunjukkan jalan yang benar dan pasti.
* Aku adalah muridmu dan aku sedang mencari penerangan’:
inilah kira-kira yang dimaksud oleh Arjuna. Dalam hidup ini ada tiga tahap
untuk seorang jignasu (seseorang yang mencari): pertama-tama ia akan masuk
dalam tahap “mencari,” kedua ia akan menjadi seorang murid, seorang yang ingin
sekali belajar sesuatu dan pada tahap ketiga ia menjadi seorang “anak” dari
sang Guru untuk kemudian dituntun. Selanjutnya sang jignasu akan masuk kedalam
suatu tahap yang “tenang” dan tidak lagi dalam keadaan “depresi.”
** ‘Ajarilah daku’ dalam bahasa Sansekertanya adalah
“shadhi mam” yang juga dapat berarti pengaruhilah daku. Seorang Guru kebatinan
tidak saja mengajari muridnya dengan ajaran secara verbal maupun tertulis
tetapi juga akan menimbulkan suatu “shakti atau “energi” di dalam diri seorang
murid. Dalam pengembaraan kita dari setitik atom sampai ke Atman (Inti-Jiwa
kita), kita semua memerlukan sebuah jembatan, dan jembatan ini adalah seorang Guru
yang sejati. Carilah dia dan berlindunglah di dalamnya, niscaya kau akan
berhasil melalui jembatan ini ke tujuanmu. Tetapi ingat seorang guru bukan
untuk berbantah-bantah, seorang guru adalah penuntunmu, dan engkau harus tulus
jiwa- dan ragamu dalam pengabdianmu kepadanya, dan barulah jalan akan terbuka,
bukan dengan berdebat kepadanya.
8. Rasa bimbang ini merubah seluruh indraku menjadi layu.
Aku tak melihat masa depan, walau seandainya aku berkuasa tanpa batas atas
seluruh permukaan bumi ini atau pun atas para Dewa-Dewa.
Berkatalah Sanjaya :
9. Setelah ucapan-ucapan Arjuna ini selesai, Arjuna
berkata kepada Sang Kreshna: “Aku tak akan berperang.” Dan dengan kata-kata ini
Arjuna pun langsung berdiam diri.
Arjuna bersikap diam diri. Diam atau pun hening
sebenarnya adalah salah satu “guru” kita.
10. Kemudian Sang Kreshna penuh dengan senyuman bersabda
kepada Arjuna yang masih diliputi kedukaannya (masih terduduk) di kereta yang
berada di antara kedua laskar ini.
Kreshna tersenyum karena ia mengetahui bahwa kesedihan
Arjuna sebenarnya adalah proses cinta-duniawi yang terpengaruh oleh ilusi Sang
Maya. Arjuna sedih karena belum memiliki ilmu pengetahuan yang sejati. Arjuna
harus melewati dulu semua rasa egonya baik yang buruk maupun yang baik, untuk
mencapai suatu “pengertian” tentang hidup ini.
Sang Kreshna tersenyum karena Ia sadar bahwa Arjuna harus
melalui proses “habis gelap terbitlah terang.” Arjuna harus disadarkan dan
diluruskan jalan pikirannya bahwa tradisi lama memang tidak boleh dibunuh
tetapi sebaliknya harus dimanfaatkan sebagai alat bagi langgengnya kebenaran
untuk segalanya. Keadilan harus ditegakkan kalau tidak agama dan tradisilah yang
akan menuju ke arah kehancuran total.
Sang Kreshna tersenyum karena apa yang diutarakan oleh
Arjuna adalah kulit-luar dari kitab-kitab shastra dan Upanishad. Arjuna lupa
akan isi ajaran-ajaran semua itu dalam bentuk yang sebenarnya. Apakah dharma
itu sebenarnya? Arjuna alpa akan hal itu, baginya dharma adalah tradisi dan
peraturan yang sesuai dengan adat-istiadat ritual; bagi Sang Kreshna dharma
adalah suatu peraturan atau tata-cara atau hukum yang menganjurkan/mewajibkan
seseorang untuk bekerja demi Yang Maha Esa, sesuai dengan segala kehendakNya,
untuk mereka-mereka yang menderita dan tersiksa dan diperlakukan tidak adil,
dan semua itu tanpa pamrih dalam bentuk apapun juga, tetapi diserahkan kembali
kepada Yang Maha Esa.
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
11. Dikau bersedih hati untuk mereka yang seharusnya
tidak perlu dikau risaukan, tetapi dikau bertutur seakan dikau amat bijaksana.
Seseorang yang bijaksana tak pernah bersedih baik untuk yang hidup maupun untuk
yang telah tiada.
Kesedihan Arjuna adalah berdasarkan kebodohan, Arjuna
tidak sadar akan arti hidup dan mati yang sebenarnya, kedua-duanya adalah
permainan Sang Maya (Ilusi-Ilahi), Inti-Jiwa (Atman) kita tak akan pernah mati.
Seseorang yang bijaksana akan terus jalan dalam hidup ini penuh dengan dedikasi
akan tugas-tugasnya bagi Yang Maha Esa tanpa perduli akan ilusi yang
beraneka-ragam bentuknya yang selalu mencoba mencengkeram kita dengan berbagai
cara yang baik maupun yang buruk, baik dengan jalan kekerasan maupun
kasih-sayang (moha). Bukankah Columbus yang terserang badai dalam suatu
pelayarannya pernah berteriak, Lajulah terus, terus dan terus. Di dunia ini
tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik kita mau atau tidak.
Tidak ada jalan lain.
Bab ini disebut Sankhya Yoga yang berarti yoga
Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang disarikan dari seluruh Upanishad-Upanishad.
Sloka 11-38, akan banyak mengupas soal kebijaksanaan ini.
12. Tiada waktu di mana Aku tak pernah hadir dan juga
engkau, juga mereka-mereka ini, dan juga semuanya, dan kita semua akan selalu
terus hadir.
Badan atau raga kita akan selalu hidup dan mati sesuai
dengan masa pakainya, tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari satu
raga ke raga yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya. Inilah yang
harus disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati adalah
raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga selalu
menikmati semua kesenangan dan juga merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh
kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus tanpa terkontaminasi sedikitpun.
Arjuna dalam kebodohannya mencampur-adukkan antara yang “nyata” dengan yang
“tidak nyata.”
13. Sang Inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga
lainnya sambil melewati masa kanak-kanaknya, masa remaja dan masa tuanya.
Seorang yang bijaksana akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh oleh
ilusi ini.
Timbul pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana dari
satu raga ke raga yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai
perjalanan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakan
pengalaman untuk memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhirnya kembali ke
Sang empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur. Sedangkan raga
itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui berbagai tahap seperti masa
kanak-kanak, remaja dan masa tua, sesudah itu binasa dan Atman berpindah ke
raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus seakan-akan tidak ada
akhirnya.
14. Setiap hubungan kita dengan berbagai obyek (duniawi),
oh Arjuna, menimbulkan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan. Semua ini
datang dan pergi, dan tidak abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu
fakta).
Atman sendiri sebenarnya tidak terpengaruh oleh semua
obyek sensual duniawi ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga
yang ditumpangi Atman. Raga ini setelah ditumpangi Atman akan merasakan dingin
dan panas, kesenangan dan penderitaan, dan sebagainya. Semua ini harus kita
maklumi dan kita jalani sebagai sesuatu yang datang dan pergi. Kita harus
bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga tidak menutup mata,
bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai dedikasi kita kepadaNya,
demi dan untukNya.
15. Seseorang yang tenang dalam kesenangan dan
penderitaan –tidak terusik oleh kedua-duanya — ia hidup dalam suatu kehidupan
yang tak pernah mati, oh pemimpin diantara anak-anak manusia (Arjuna)!
16. Yang tidak sejati tidak mempunyai bentuk, Yang Sejati
tak pernah ada habis-habisnya. Kebenaran kedua hal ini telah dirasakan oleh
para pencari Kebenaran.
Yang sejati di sini adalah Atman (Inti Jiwa Kita), yang
tidak sejati adalah raga kita yang selalu habis dan binasa, sedangkan Atman
terus berkelana tanpa ada batas-batasnya. Raga kita berbentuk asat: tidak
abadi, dapat rusak atau mati dimakan waktu atau keadaan. Sedangkan Atman adalah
sat: Kesejatian yang Abadi, dalam Sat selalu tercipta yang baru, tanpa
henti-hentinya, terus-menerus, abadi dan langgeng. Bukankah Itu sama saja
dengan Yang Maha Pencipta. Seorang penyair Barat yang terkenal di dunia pernah
menulis:
Yang Satu Abadi, yang banyak berganti dan berlalu,
Cahaya Ilahi bersinar tanpa habis, bayangan bumi hilang
berterbangan.
Hidup, bagaikan sebuah rumah kaca yang memantulkan
pelangi berwarna- warni,
Sebenarnya bersumber pada warna putih yang abadi. (Percy
Bysshe Shelley)
17. Tiada seseorang pun mempunyai kekuatan untuk
menghancurkan Yang Tak Pernah Binasa, Yang menunjang semua ini. Ketahuilah Ia
tak akan pernah bisa dihancurkan.
Yang dimaksudkan Yang Tak Pernah Binasa di sini adalah
Atman (Yang sebenarnya adalah sepercik kecil dari Brahman). Raga kita akan
hancur dan berganti raga lain, tetapi Atman tak akan pernah binasa karena Ia
abadi.
18. Raga yang ditumpangi Sang Jiwa yang abadi, dan yang
tak bisa dihancurkan atau terjangkau oleh pikiran, dikatakan tidak abadi. Jadi
berperanglah, oh Arjuna!
19. Seseorang yang berpikir bahwa ia membunuh, atau
seseorang yang berpikir ia terbunuh kedua-duanya tidak memahami dengan baik
arti dari kebenaran. Tiada seorangpun yang sebenarnya dapat membunuh atau
terbunuh.
20. Tak ada seseorangpun yang pernah dilahirkan atau pun
suatu saat nanti harus mati. Tak ada seorangpun sebenarnya yang hilang atau
terhenti proses hidupnya (eksistensinya). Ia tak pernah dilahirkan, bersifat
konstan, abadi dan telah ada semenjak masa yang amat silam. Ia tak pernah mati
walau raga habis terbunuh.
Emerson seorang penyair terkenal dari Barat pernah
mengatakan tentang Atman sebagai berikut: “Aku datang, lewat dan berputar
lagi.” Sedangkan Yesus pernah bersabda kepada orang-orang Yahudi, “Ye are gods”
(Engkau semuanya adalah dewa-dewa). “Barangsiapa mengenal dirinya sendiri tahu
akan Cahaya ini,” kata filsuf terkenal Lao Tse dari Cina, sedangkan seorang
sufi terkenal pernah berkata, “Inti dirimu adalah inti Tuhan itu sendiri.”
21. Seseorang yang mengenal bahwa Jati Dirinya tak akan
dapat dihancurkan dan selalu abadi, tak pernah dilahirkan dan tak pernah
berganti-ganti, bagaimana mungkin orang seperti itu membunuh, oh Arjuna, atau
bahkan mengakibatkan orang lain jadi pembunuh?
“Seseorang yang mengenal Jati Dirinya,” sadar Dirinya
hanyalah saksi dan bukan yang melakukan sesuatu tindakan atau aksi, inilah arti
yang tersirat dari mukti atau penerangan yang sesungguhnya.
22. Seperti seseorang yang mengganti baju usangnya dengan
baju yang baru, begitupun Jiwa ini berganti-ganti raga dari yang lama ke yang
baru.
Dalam Shanti Parwa yang terdapat di kitab Mahabarata, ada
perumpamaan lain dari proses jalannya Jiwa ini yang diibaratkan sebagai
seseorang yang pindah dari rumahnya yang usang ke rumahnya yang baru; inilah
jalan kehidupan Sang Jiwa dari raga ke raga lainnya. Tetapi harus diingat bahwa
yang dimaksud ini bukan raga manusia saja tetapi bisa juga berbagai ragam raga
yang ada di alam semesta ini, seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan,
raga-raga lainnya yang bertebaran di laut, bumi di sistim planet-planet lainnya
atau di mana saja di seluruh alam semesta yang tanpa batas ini. Dan bentuk raga
ini bisa saja yang berbentuk abstrak, atau pun dewa-dewi, makhluk-halus, dll,
semuanya sesuai kehendakNya dan alur karma kita sendiri.
23. Tidak ada senjata yang dapat memisah-misahkanNya,
tidak juga api dapat membakarNya, atau air membuatNya basah, bahkan anginpun
tak dapat mengeringkanNya,
24. Tak terpisahkan Ia. Tak terbakarkan Ia. Tak
terbasahkan dan terkeringkan Ia. Ia abadi dan hadir di mana saja. Ia selalu
konstan dan tak tergoyahkan. Ia hadir semenjak masa yang amat silam, dan selalu
sama selama-lamanya.
Inilah gambaran dari Atman (Inti Jiwa) kita, yang karena
bentuknya yang sangat unik, tak dapat digambarkan secara duniawi, tetapi dapat
kita fahami sebagai sesuatu yang berbentuk Ilahi dan selalu konstan dan abadi.
Tak akan rusak atau pun binasa.
25. Tak terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat
diubah-ubah – begitulah Ia disebut. Setelah mengenalNya seperti itu, seharusnya
engkau (Arjuna) tak perlu lagi merisaukan hatimu.
Diri ini harus bersih dulu dari segala keterikatan
duniawi ini yang aneka-ragam corak dan bentuknya, setelah itu kita akan lebih
mengerti akan hadirNya Sang Atman dalam diri kita dan mengenalNya lebih baik.
Selama kita masih diliputi rasa-ego (apa saja bentuknya), rasa ketakutan
duniawi, dan selalu terikat kepada unsur-unsur disekitar kita; dan tak pernah
menyerahkan semua ini kepadaNya secara tulus, selama itu juga yang dekat akan
terasa amat jauh. Sebenarnya la amat dekat di dalam diri kita sendiri.
Kenalilah Dia !
26. Pun sekiranya kau pikir Sang Jiwa (Atman) ini bisa
mati dan hidup, dan tidak bersifat abadi, wahai Arjuna, tak perlu juga dikau
harus risau dan bersedih hati.
27. Karena sudah pasti yang lahir harus binasa dan yang
binasa harus lahir. Jadi janganlah dikau bersedih untuk sesuatu yang sudah
pasti dan semestinya ini.
Sesuatu yang sudah digariskan Ilahi tak akan bisa
berubah, jadi sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi, que sera sera, apa yang
akan terjadi terjadilah. Mati-hidup kemudian hidup-mati, dan seterusnya sudah
semestinya begitu, jadi apa yang harus dirisaukan lagi. Tidak ada jalan lain,
yang mau tak mau harus kita terima karena sudah tidak ada jalan lain, takdir
sudah mengaturnya begitu. Yang penting adalah kesadaran untuk menerimanya
sebagai kewajiban kita kepada Ilahi, bukan karena terpaksa.
28. Keadaan dari mereka-mereka yang belum dilahirkan tak
dapat diterangkan dalam bentuk duniawi ini. Tetapi pada periode antara
kelahiran dan kematian situasi mereka dapat kita lihat dan fahami. Setelah mati
mereka kembali lagi ke suasana yang tak dapat diterangkan ini lagi. Jadi untuk
apa dikau harus bersedih hati, wahai Arjuna?
Jadi sebenarnya yang diketahui oleh kita manusia ini
hanyalah bentuk kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai dengan kematian
kita dan orang-orang disekitar kita saja. Sebelum dan sesudah itu gelap dan
tidak terang bagi kita. Yang kita rasakan atau kita lihat hanya sedikit yang
ditengah-tengah saja, ujung dan pangkalnya kita tak akan pernah tahu. Lalu
untuk apa kita bersedih hati, toh kita datang dari suatu alam yang tidak kita
ketahui dan kemudian harus kembali ke sana juga, dan ini berlangsung terus
tanpa henti-hentinya. Lalu untuk apa risau akan semua masalah yang harus kita
hadapi, bukankah kita ini sebenarnya hanya alatNya saja di dunia ini, yang
dikirimkan untuk melakukan tugas-tugasNya saja, jadi berbaktilah kita
seharusnya sesuai dengan kehendakNya. Itulah dharma-bhakti yang semestinya.
29. Ada yang mengesankanNya sebagai sesuatu yang amat
menakjubkan, ada yang membicarakanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan,
dan ada juga yang mendengarkanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, tetapi
tak seorang pun yang benar-benar dapat mengenalNya (mengetahuiNya) dengan pasti
apa Ia sebenarnya.
Kebenaran tentang Atman sebenarnya terbuka untuk kita
semuanya; dan mereka-mereka yang merasakanNya menjadi takjub sendiri. Toh tidak
semua kita ini dapat merasakan ketakjuban ini, karena sudah tersandung dalam
perjalanan sebelum mencapaiNya. Ada yang ragu-ragu, ada yang terhadang oleh
kesulitan-kesulitan dan hanya sedikit yang sampai ke Tujuan yang menakjubkan
ini.
Timbul pertanyaan kalau Dia memang mengasihi kita lalu
mengapa banyak yang harus tersandung sebelum mencapaiNya? Sebenarnya Yang Maha
Kuasa memberikan kita kebebasan untuk memilih. Sering sekali kita-kita ini
lebih condong untuk terikat dengan segala unsur-unsur duniawi ini yang
seakan-akan sudah jadi milik kita atau sudah menjadi urusan pribadi kita yang
tak dapat diganggu-gugat. Seharusnya kita melepaskan semua unsur ego baik yang
positif maupun yang negatif, dan menyerahkannya semua kepadaNya untuk kemudian
dibimbing olehNya sesuai dengan kehendakNya. Jadilah seperti seorang anak kecil
yang bersandar pada orang-tuanya, polos, bersih dan jujur dalam segala
aspeknya. Dan seperti juga orang-tua kita yang akan selalu membimbing kita
dalam suka dan duka, maka Yang Maha Kuasa pun akan selalu menunjukkan jalan
kita dalam setiap tindak-tanduk kita. Ia sebenarnya setiap hari mengetuk pintu
hati kita dan tersenyum penuh cinta-kasih, yang menjadi masalah adalah kita
menganggapNya Ia berada di tempat yang amat jauh. Bukankah Ia tersirat dalam
keheningan, bahkan Ia sebenamya dapat ditemui setiap saat dalam diri pribadi
kita masing-masing yang juga adalah DiriNya sendiri. la hadir selalu dalam diri
kita, tak usah jauh-jauh mencarinya di hutan atau di laut, di bulan atau di
matahari, carilah Dia dalam ketenangan dirimu senidiri.
30. Ia yang bersemayam dalam setiap makhluk – adalah
Kehidupan dalam setiap makhluk — Ia tak tersentuh senjata apapun juga. Jadi
Arjuna, seharusnya dikau tidak bersedih hati untuk makhluk apapun juga.
Yang dimaksud Sang Kreshna di sini, adalah Sang Arjuna
boleh saja memikirkan dan memperhatikan semua makhluk di dunia ini, malahan
itulah salah satu aspek penting dalam dharma. Tetapi juga harus tahu bahwa yang
bersemayam dalam setiap makhluk ini, yang disebut Atman tak akan bisa binasa
walau apapun yang terjadi. Jadi sebenamya Arjuna tidak perlu sedih, karena
kesedihan itu sia-sia belaka, takdir sudah menentukan jalan hidup setiap
makhluk ciptaanNya sesuai kehendakNya dan bukan sesuai kehendak Arjuna atau
kita semuanya.
31. Dedikasikan dirimu kepada kewajibanmu dan jangan kau
ingkari itu. Karena tidak ada imbalan yang lebih baik untuk seorang kshatrya,
daripada suatu perang demi kebenaran.
Dharma demi kebenaran adalah tugas suci untuk siapa saja,
apalagi kalau ia seorang kshatrya yang seharusnya membela nusa dan bangsa serta
negaranya dari segala kezaliman dan angkara-murka. Dalam salah satu kisah
Mahabarata tertulis, “Barangsiapa menyelamatkan suatu kehancuran adalah seorang
kshatrya” dan juga tertulis di bagian lainnya, “Hanya ada dua tipe manusia yang
dapat mencapai alam Brahman setelah melewati konstelasi matahari: yang pertama
adalah para sanyasin (orang-orang suci) yang telah dalam ilmu pengetahuannya
dan yang kedua adalah para kshatrya yang mati dalam peperangan membela
kebenaran.” Bukankah itu berarti bahwa kalau kita selamanya berjalan/berperang
demi kebenaran maka kita sedang menuju ke arahnya, Yang Maha Pencipta.
32. Berbahagialah mereka para kshatrya, yang harus
berperang demi kebenaran — terbukalah kesempatan ke sorga tanpa mereka minta.
Sang Kreshna di sini menegaskan bahwa berperang/mati demi
kebenaran membawa kita langsung ke alam sorga; ini berarti bahwa berperang demi
kebenaran adalah tugas yang maha suci bagi kita dari Yang Maha Esa. Kalau
direnungkan dengan baik-baik bukankah kita dikelilingi oleh berbagai bentuk
tidak kebenaran dalam hidup ini, dari segala bentuk nafsu-nafsu pribadi kita
yang negatif sampai ke penindasan yang tidak berprikemanusian dalam prilaku
manusia. Sesuatu bentuk pcmerintahan, diskriminasi, dan berbagai aspek tidak
benar lainnya yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya dan semua itu
bertebaran di sekeliling kita setiap saat.
33. Dan seandainya dikau tak maju berperang di jalan yang
suci ini, dikau akan mengabaikan kewajiban dan kehormatan, dan dikau akan
dikejar-kejar oleh perasaan salahmu itu.
Seseorang yang berjalan atau berjuang di jalan kebenaran
harus siap mengorbankan segala miliknya. Bukan saja sanak-saudara dan harta
bendanya tetapi juga nyawanya sendiri. Apalagi untuk suatu tugas yang besar dan
suci. Sebagai seorang kshatrya, seandainya Arjuna mengingkari kewajibannya ini,
maka ia akan kehilangan segala kehormatannya.
34. Setiap orang akan menghinamu, dan bagi seorang yang
terhormat, penghinaaan adalah lebih buruk dari suatu kematian.
35. Para pendekar-pendekar yang besar akan mengira dikau
mundur dari peperangan ini karena rasa ketakutanmu. Dan mereka-mereka yang
menghormatimu akan memandang rendah padamu.
36. Belum lagi hinaan-hinaan lainnya yang diucapkan oleh
musuh-musuhmu, semua itu akan membuatmu lebih lemah lagi. Adakah yang lebih
menyakitkan dari semua itu?
37. Seandainya dikau terbunuh, maka dikau akan ke sorgaloka.
Sekiranya dikau perkasa dalam peperangan ini, maka dikau akan menikmati
bumiloka ini.
Jadi bangkitlah wahai putra Kunti (Arjuna) dan angkatlah
senjata untuk yudhamu ini.
38. Samakanlah rasa nikmat dengan derita, laba dengan
rugi, menang dengan kalah, bersiaplah untuk yudha ini. Dengan begitu dikau tak
akan tercemar oleh dosa.
Pada sloka-sloka sebelumnya Sang Kreshna menyindir rasa
ego dan tanggung-jawab Arjuna pada dharma yang sebenarnya. Di sloka atas ini
Sang Kreshna meminta agar Arjuna melaksanakan kewajibannya yang tertinggi yaitu
berperang menegakkan kebenaran. Tugas ini merupakan tugas yang amat suci bagi
seorang kshatrya demi Yang Maha Esa dan kebenaran.
39. Sejauh ini Aku telah menerangkan tentang ajaran
Sankhya. Sekarang dengarkanlah ajaran mengenai Yoga (llmu pengetahuan), dengan
mengikuti ajaran ini dikau akan lepas dari ikatan-ikatan perbuatanmu.
Yang dimaksud dengan ajaran Sankhya ini adalah ajaran
Bhagavat Gita mengenai KeTuhanan yang Maha Esa, secara khusus Tentang Sang Jati
Diri (Sang Atman). Yang diajarkan adalah hubungan Sang Atman dan raga kita, di
sini ditekankan bahwa Sang Atman yang merupakan inti dari jiwa kita itu tak
mungkin dapat binasa, walau raga kita hancur sekali pun. Sedang yang dimaksud
dengan Yoga di sini, adalah llmu pengetahuan yang sejati. Ajaran Sankhya ini
tidak dapat ditelaah begitu saja, melainkan harus disertai atau didasarkan pada
yoga tentang dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa secara benar. Tetapi semua
dharma-bhakti ini harus dilakukan dengan menyamakan rasa kita terhadap dua
sifat dualisme yang saling berkontradiksi, yaitu memandang atau merasa sama
akan senang dan susah, untung dan rugi, panas dan dingin, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat kesadaran
semacam ini? Caranya adalah dengan menggabungkan daya-intelek (budhi) kita
dengan jalan pikiran kita. Setelah intelek kita sadar bahwa semua unsur
dualisme yang kelihatannya amat berlawanan ini sebenarnya sama saja, dan hanya
merupakan permainan pikiran kita belaka, maka secara tahap demi tahap kesadaran
kita akan meningkat dan kita akan melaju ke arah Yang Maha Esa dengan baik, dan
jadilah kita seorang Buddhi-Yukta (seorang yang telah mencapai kesadaran).
Seorang Buddhi-Yukta yang baik adalah ia yang telah
berhasil mengendalikan hawa-nafsunya yang bersifat aneka-ragam. Ia juga adalah
seorang yang bersikap sama dan tenang dalam setiap keberhasilan maupun
kegagalan, bersikap tenang dalam segala tugas-tugasnya, dan tidak memiliki
ambisi pribadi tertentu atau nafsu duniawi lagi. Semua perbuatannya sudah
menjadi kewajibannya untuk Yang Maha Esa semata. Seseorang semacam ini tidak
perlu harus dapat melihat Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, tetap
sudah pasti ia akan dapat merasakan kehadiran Sang Atman ini. Seorang
Buddhi-Yukta yang sempurna akan selalu tenang tindak-tanduknya, dan stabil
jiwanya, akibat dari pengaruh Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya.
40. Di jalan ini tidak ada usaha yang akan sia-sia, dan
tak ada rintangan yang akan bertahan lama. Sedikit saja usaha dharma ini akan
melepaskan seseorang dari rasa takut yang besar.
Sedikit saja usaha ke arah dharma (jalan kebenaran)
ternyata akan melepaskan kita dari samsara, yaitu penderitaan di dunia ini yang
tak ada habis-habisnya. Karena jalan akhir dari dharma adalah kebebasan mutlak
dan kembali ke Ilahi Yang Tanpa Batas.
41. Budhi (Kesadaran Intelektual) ini, Arjuna, sifatnya
tegas dan hanya menunjuk ke satu arah saja. Tetapi mereka yang tidak tegas
dalam dharma-bhaktinya, maka cara berpikirnya akan berjalan keberbagai arah
seakan-akan tiada habis-habisnya.
Budhi adalah suatu kesadaran total seseorang; yang
memilikinya akan selalu bersifat satu arah saja, yaitu bekerja demi Yang Maha
Esa semata tanpa pamrih sekecil apapun juga. Sedangkan bagi mereka yang belum
sadar, maka cara atau pola berpikirnya pasti didasarkan oleh
kebutuhan-kebutuhan nafsu, keinginan, selera, ego dan pertimbangan-pertimbangan
duniawi lainnya dan efek-efeknya, jadi nafsu mereka pasti tidak akan ada
habis-habisnya karena didasarkan oleh banyaknya kebutuhan atau tujuan mereka.
Budhi bersifat eka sedangkan nafsu bersifat ananta (aneka ragam tanpa
habis-habisnya).
42. Kata-kata manis diucapkan oleh seseorang yang tidak
dapat membedakan, yang tidak bijaksana, yang lebih tertarik dan bahagia dengan
kata-kata yang terdapat di Veda-Veda yang memuat: “yang ada hanyalah ini saja!”
Disinilah kita harus mencamkan sabda Sang Kreshna di atas
ini yang merupakan peringatan bagi kita-kita yang lebih mementingkan
ritus-ritus atau tradisi agama atau dogma, daripada Yang Maha Esa itu sendiri.
Karena semua itu bukan jalan yang sebenarnya ke arah Yang Maha Esa. Kata-kata
indah dalam weda yang dianggap suci dan indah tidak akan bermakna kalau tidak
didasari dengan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa.
43. Mereka-mereka ini penuh dengan keinginan duniawi.
Tujuan akhir mereka adalah sorga. Akibatnya mereka ini akan lahir kembali.
Mereka melakukan berbagai upacara keagamaan hanya untuk mendapatkan kesentosaan
dan kekuatan duniawi.
Mereka-mereka yang melakukan upacara-upacara keagamaan
dengan tujuan tertentu akan mendapatkan keinginan mereka masing-masing, tetapi
tindakan keagamaan ini tidak akan membebaskan mereka dari samsara, melainkan
membuat mereka lahir kembali ke dunia ini sesuai dengan karma-karma mereka.
Sedangkan seorang karma-yogi yang bekerja semata-mata demi Yang Maha Esa, maka
karmanya akan merupakan pengorbanan yang tulus dan tanpa pamrih kepada Yang
Maha Esa (merupakan yagna, pengorbanan atau sesajen).
44. Budhi ini bukan untuk mereka yang hidupnya hanya untuk
agama yang dipraktekkan demi kesenangan duniawi, yang berdasarkan kata-kata
Veda, karena pengetahuan ini memerlukan tekad yang keras demi melepaskan
unsur-unsur duniawi (seseorang).
45. Di dalam Veda terdapat ajaran mengenai tiga jenis
guna (kualitas atau sifat manusia). Bebaskanlah dirimu, oh Arjuna dari ketiga
kualitas ini. Bebaskanlah dirimu dari kedua sifat yang saling berkontradiksi.
Tegak dan berakarlah ke dalam kebersihan jiwamu, dalam sifat kebenaran yang
abadi, tanpa merasa memiliki suatu apapun: milikilah Dirimu sendiri – Gurumu!
Veda mengajarkan tentang guna, yaitu tiga sifat atau
jenis kualitas manusia. Yang pertama sattva, yaitu sifat yang penuh dengan
unsur-unsur kebajikan, kecerdasan, kesucian, kejernihan dan berbagai hal-hal
lainnya yang penuh dengan unsur kebaikan. Yang kedua disebut sifat raja, yaitu
sifat atau aktivitas yang sifatnya menggebu-gebu, juga suatu bentuk sifat yang
selalu ingin memiliki atau mengetahui hal-hal yang baru, dan sifat-sifat lain
yang pada dasarnya selalu penuh dengan energi dan aktivitas. Sifat ini identik
dengan pikiran kita pada umumnya yang selalu menerawang tanpa henti-hentinya,
tanpa batas. Sifat yang ketiga disebut Jama, yaitu sifat-sifat manusia yang
selalu menjurus ke arah kebobrokan mental seperti sifat-sifat pemalas, peminum,
penjudi, seks-maniak, sifat yang penuh dengan unsur-unsur gelap yang lengkap
sifatnya. Ketiga sifat ini hadir dalam pikiran dan raga kita, sedangkan Sang
Atman atau Sang Jati Diri kita duduk bersemayam terpisah dari mereka ini semuanya.
Sang Atman adalah saksi Ilahi dalam diri kita sendiri, suatu bentuk Kesadaran
Ilahi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, yang bagi yang telah merasakan
atau menyadariNya merupakan Keberkahan Nan Abadi.
Sebenarnya di sini Sang Kreshna sedang menganjurkan kita
semua agar mencari dan menemukan Sang Atman dalam diri kita masing-masing dan
menyembah dan memujaNya penuh dengan dedikasi dan dharma bhakti. Caranya adalah
dengan membebaskan diri kita dari sifat atau rasa dualisme yang saling
berkontradiksi yang hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Juga membebaskan
diri kita dari rasa ego, dari rasa iri dan benci, dari segala
perhitungan-perhitungan atau rencana yang bersifat amat duniawi, dan hanya
memfokuskan diri kita ke suatu jalan yang penuh dengan sattva, tetapi bukan
yang bersifat sattva duniawi tetapi Sattva Ilahi. Dengan kata lain jadilah
seorang manusia sejati bagi dirimu sendiri, bagi masyarakat banyak dan yang
terutama bagi Yang Maha Esa. Jadilah manusia yang lepas dari segala unsur
duniawi dan hiduplah secara cukup dan sederhana saja, puas dengan apapun yang
diberikan oleh Yang Maha Esa, puas dengan diri dan Diri mu sendiri, sadar akan
DiriNya (Sang Atman), yang hadir di dalam diri kita semua dan bekerja atau
hidup demi Ia semata.
46. Kegunaan Veda-Veda untuk seorang Brahmin yang telah
mendapatkan penerangan Ilahi adalah ibarat sebuah kolam air yang terletak
ditengah-tengah genangan air banjir (bah).
Seorang Brahmin atau Brahmana yang sejati bukanlah yang
dinyatakan secara kastanya, melainkan adalah seorang yang secara sejati
menemukan kesadaran Ilahi dan bekerja untukNya tanpa pamrih. Bagi orang semacam
ini atau yang sudah sampai ke taraf ini, semua ajaran-ajaran Veda termasuk
semua tradisi agama atau pun upacara-upacara ritual menjadi sekadar simbol
saja. Di sloka di atas , diibaratkan seperti sebuah kolam air tawar
ditengah-tengah air bah atau banjir. Dengan kata lain bagi seorang Brahmin yang
sejati, ajaran-ajaran Veda sudah tidak berarti lagi untuknya karena ia telah
melewati semua itu, dan telah mencapai suatu ajaran Ilahi yang sejati atau
dengan kata lain telah mencapai penerangan Ilahi yang tak terbatas sifatnya.
47. Engkau hanya berhak untuk bekerja, tidak untuk
hasilnya. Jangan sekali-kali motif pekerjaanmu mengarah ke hasil akhir (imbalan
dari pekerjaan ini), dan jangan juga sekali-kali engkau tidak bekerja.
Jangan mengharapkan suatu imbalan/buah/hasil untuk setiap
tindakan atau perbuatan atau pekerjaan kita dengan harapan duniawi kita, tetapi
pasrahkanlah hasil-akhir atau efek dari semua perbuatan ini kepadaNya semata.
Semua hasil atau efek dari perbuatan ini adalah la yang menentukan dan akan
terjadi sesuai dengan kehendakNya tanpa lebih maupun kurang. Setiap tindakan
atau perbuatan kita harus didasarkan atas kesadaran bahwa semuanya demi dan
untuk Ia semata. Dengan bekerja untukNya tak mungkin kita diarahkan ke jalan
yang salah atau merugikan orang lain. Semua hasil tindakan harus diambil
hikmahnya dengan tulus.
48. Lakukan tindakanmu, oh Arjuna! dengan hati yang
terpusat pada Yang Maha Esa, tanpa keterikatan dan bersikaplah sama untuk semua
kesuksesan dan kegagalanmu. Hati yang damai dan penuh rasa bimbang adalah suatu
yoga.
Yoga di sini jadi lebih terang dan luas artinya. Yoga itu
disebut samatvan, yaitu pikiran dan hati yang selalu seimbang dalam setiap
situasi baik menghadapi sesuatu kegagalan maupun kesuksesan, buruk atau yang
baik dan seterusnya. Seandainya seseorang di dalam setiap tindak-tanduknya
dapat selalu balans atau seimbang dan tak terpengaruh oleh emosinya, maka ia
akan mencapai rasa ketenangan di dalam dirinya dan inilah yang disebut oleh
orang-orang Hindu sebagai yoga yang sejati.
49. Pekerjaan demi suatu imbalan itu lebih rendah
derajatnya daripada Buddhi-yoga, oh Arjuna! Maka selalulah bernaung dibawah
buddhi (intelek)mu. Kasihan mereka yang bekerja untuk suatu imbalan tertentu.
Pekerjaan yang benar dan bersih dari segala unsur-unsur
duniawi akan melajukan perjalanan kita ke arah Yang Maha Kuasa karena memang
itulah yang diajarkan oleh Sang Kreshna. Janganlah seseorang bekerja demi nama,
rumah-tangga, dan kedudukannya dalam masyarakat, bekerjalah semua itu tetapi
berdasarkan dedikasi kita kepada Yang Maha Esa semata, sebagai bhakti kita
kepadaNya. Dan jenis pekerjaan itu bisa apa saja, dari pekerjaan seorang
pembersih sampai ke pekerjaan seorang pendeta, tetapi harus bermotifkan
dedikasi yang tulus dan bukan didasarkan pada imbalan atau efek yang akan
diterima. Semuanya terserah Ia yang menentukan, kita bekerja tanpa pamrih.
50. Ia yang telah menjadikan dirinya seorang Buddhi-Yukta
(yang telah sadar dan mendapatkan kesadaran Ilahi) akan mengesampingkan semua
yang baik dan buruk dalam hidup ini. Jadi berjuanglah untuk Yoga; Yoga ini
lebih bermanfaat dari suatu tindakan yang penuh harapan akan suatu imbalan.
Seorang yang telah sadar akan peranannya dalam hidup ini
suatu saat akan mengerti bahwa kebaikan dan keburukan sebenarnya hanyalah
berupa ilusi dari Sang Maya (Kekuatan dari Yang Maha Esa juga). Sesuai dengan
tugas-tugas maka kita hidup di dunia ini hanyalah sekedar sebagai alat-alatNya.
dan tentu saja terserah kepada Yang Maha Kuasa apakah kita ini jadi alat yang
baik atau alat yang buruk. Seorang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang
benar akan memandang sama, dengan mata, hati dan pikiran yang sama kepada semua
makhluk, semua unsur baik dan buruk pada setiap makhluk. Orang semacam ini akan
selalu tunduk atas segala kehendakNya, dan tindak-tanduk maupun pikirannya akan
selalu bersandar pada Yang Maha Esa, dan selalu minta dituntun sesuai dengan
kehendakNya semata. Orang semacam ini akan selalu bergairah untuk bekerja:
bukan malahan tidak bekerja karena berpikir semua sudah jadi kehendakNya,
51. Mereka-mereka yang bijaksana dan telah mendapatkan
penerangan menyerahkan semua imbalan dari setiap pekerjaan (tindakan) mereka;
lepas dari siklus kelahiran, mereka pergi ke alam yang tanpa derita.
Seandainya hati dan pikiran kita telah bersih dari segala
nafsu duniawi dan budhi (daya intelektual) kita penuh dengan kesadaran atau
penerangan, maka setiap tindakan kita malahan akan merupakan ekspresi kebebasan
jiwa kita. Dan jiwa kita akan menanjak dalam perjalannya dari bhakti dan gnana
(kesadaran) ke arah Berkah Sang Ilahi, kemudian menyusul kepembebasan jiwa kita
dari siklus hidup dan mati di dunia ini (moksha). Di bawah ini terdapat
beberapa anak-anak tangga yang lebih terperinci sifatnya:
1. Karma-yoga : menyerahkan semua imbalan/hasil dari
setiap pekerjaan atau perbuatan baik secara mental maupun secara fisik
kepadaNya.
2. Bangkitnya kesadaran intelektual kita (buddhi), dan
timbullah kebijaksanaan Ilahi.
3. Lepas dari ikatan lahir dan mati.
4. Mencapai berkah Ilahi, lalu terus ke moksha.
52. Sewaktu kesadaranmu melewati putaran kegelapan
(moha), maka dikau akan mencapai suatu kesadaran tentang apa yang telah kau
dengar dan apa lagi yang akan kau dengar.
Sewaktu kesadaran kita telah mencapai suatu tahap di mana
segala nafsu telah berhenti berfungsi dan tidak penting lagi artinya, maka di
situ kita akan merasakan perbedaan-perbedaan atau arti sebenarnya akan semua
tradisi, upacara keagamaan, dan lain sebagainya yang dianjurkan di weda-weda.
53. Sewaktu kesadaranmu, yang salah mengerti tentang
shruti (ayat-ayat Veda), mencapai suatu tahap yang kukuh dan tak tergoyahkan
dan jiwamu tenang dalam samadi, disitulah dikau akan mencapai yoga (penerangan
ke dalam).
Samadi adalah konsentrasi jiwa kita ke Inti Jiwa (Sang
Atman atau Sang Jati Diri) yang berada di dalam jiwa kita sendiri. Samadi
adalah dialog atau pertemuan diantara kita dan Sang Atman. Pertemuan atau
sentuhan ini dapat tercapai bila seseorang lepas dari segala keterikatannya
dalam melakukan setiap tugas-tugas duniawinya, termasuk di dalamnya tugas-tugas
keagamaannya. Semua tugas-tugas ini harus dilakukan dengan pikiran yang sinkron
atau selaras dengan kehendakNya. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa apa yang
kita kerjakan itu selaras dengan kehendakNya; dengan menyerahkan hasil dari
perbuatan ini kepadaNya secara total dan kemudian terserah Ia akan efek-efeknya
kemudian. Orang semacam ini yang menyerahkan hasil pekerjaannya bulat-bulat
kepada Yang Maha Esa akan tegak dan kokoh merasakan semua hasil dari pekerjaan
atau perbuatannya yang berefek baik atau buruk, negatif atau positif baginya
atau bagi yang lainnya sebagai kehendakNya. Ia lebih bertindak sebagai alat
atau petugas Yang Maha Esa dan jauh dari hasil perbuatan-perbuatannya. Karena
ia tidak mengharapkan pamrih dari pekerjaan/perbuatannya, maka selalu ia
berpikir semua terserah kehendak Ilahi. Selamanya ia akan teguh menghadapi
apapun juga, dan kalau sudah mencapai tahap ini, komunikasi atau samadinya
dengan Sang Atman akan tercipta dan terjalan dengan amat baik.
Berkatalah Arjuna :
54. Apa saja ciri-ciri seseorang yang telah mencapai
kebijaksanaan yang stabil ini, yang teguh dalam segala hal, dan telah bersatu
dengan Sang Brahman, oh Kreshna? Bagaimanakah seseorang yang telah mendapatkan
kesadaran Ilahi ini berbicara? Bagaimanakah cara duduknya? Dan bagaimana cara ia
berjalan?
Arjuna seperti juga kita semuanya ingin sekali mengetahui
ciri-ciri khas seseorang yang telah bijaksana dan mencapai kesadaran Ilahi ini.
Sang Kreshna pun menjawabnya satu persatu dengan senang hati, misalnya di sloka
55, 61 dan 64 yang mendatang ini diterangkan tentang cara orang bijaksana ini
duduk. Di sloka 56 diterangkan tentang caranya berbicara dan di sloka 58
tentang caranya ia bergerak dalam hidupnya.
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
55. Sewaktu seseorang mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi
yang ada di dalam pikirannya dan merasa puas dalam DiriNya oleh DiriNya, akan
ia disebut sthita-prajna, seorang yang melihat kebijaksanaan secara tegar.
Seseorang yang merasa puas dengan DiriNya (Sang Atman)
dan semua sentuhan Sang Atman terhadap dirinya adalah seorang yang sudah
mencapai suatu penerangan Ilahi, dan telah berubah tegar dalam setiap hal yang
dihadapinya.
56. Ia yang bebas pikirannya dari rasa gelisah di kala
duka dan sakit, merasa tenang saja di kala senang, lepas dari nafsu duniawi, dari
rasa ketakutan dan marah, adalah seorang yang telah mendapatkan penerangan.
57. Ia yang tak terikat dari sisi mana pun juga, yang
tidak pernah benci maupun cinta pada suatu obyek, yang bertindak secara netral
terhadap suatu yang adil maupun yang tidak adil, orang semacam itu mempunyai
pengertian yang tegar dalam kebijaksanaannya.
Orang yang telah tegar dalam penerangan atau kesadaran
adalah seseorang yang menjadi saksi dalam kehidupannya dan kehidupan di
sekitarnya. la berdiri di atas semua faktor baik yang negatif maupun positif.
Baginya semua itu hanya ilusi saja dan merupakan proses dalam kehidupan setiap
orang. Bukannya lalu berarti ia sudah lemah jalan pikiran atau tindak
tanduknya, tetapi ini justru merupakan ekspresi sejati dari kebebasannya yang
tulus, kuat dan penuh dengan semangat dedikasi kepadaNya. Ia puas dengan apapun
yang diberikanNya, dan setiap hal yang menimpanya dianggap biasa-biasa saja
baik itu berupa kesenangan maupun kedukaan.
58. Ia yang menarik seluruh organ-organ nafsunya dari semua
obyek-obyek nafsunya dari segala jurusan, ibarat seekor kura-kura yang menarik
semua kaki-kakinya ke dalam tempurungnya, adalah seorang yang telah tegar rasa
pengertiannya dan teguh dalam kebijaksanaan.
Perumpamaan seekor kura-kura adalah suatu contoh yang
amat baik, karena sekali seekor kura-kura menarik semua kaki-kakinya ke dalam
tempurung, maka ia tenang-tenang saja menghadapi reaksi atau ancaman dari luar,
karena sudah merasa aman di dalam tempurungnya ini. Dengan kata lain dapat
diibaratkan sebagai “bersemedi di dalam tempurungnya tanpa rasa keterikatan
dengan apapun di luarnya.”
59. Obyek-obyek sensual akan menjauh dari seseorang yang
tidak mau memberikan umpan kepada mereka, tetapi akan menetap pada mereka yang
menyenanginya. Bahkan sisa-sisa keinginan pun akan pergi dari seseorang yang
telah melihatNya (Yang Maha Esa).
Penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa bukan saja
berarti menjauhi semua unsur-unsur duniawi saja tetapi juga berarti
menghilangkan sisa-sisa selera yang masih ada dalam diri seseorang. Bagi yang
telah merasakan sentuhan Ilahi, tidak sedikit pun selera duniawi yang
dirasakannya. Baginya Yang Satu itulah segala-galanya dan Yang Terindah.
60. Oh Arjuna! Organ-organ sensual yang terangsang akan
segera menggerakkan pikiran seseorang, walaupun ia seorang yang bijaksana dan
sedang jalan menuju ke arah sempurna.
Walaupun seseorang telah bertahun-tahun berusaha menuju
ke arah penerangan dan mengabaikan semua kebutuhan sensualnya, tetapi selama ia
masih menyimpan selera untuk hal-hal yang bersifat duniawi, maka setiap waktu
ia bisa saja jatuh bangun oleh hal-hal yang bersifat duniawi ini. Maka
janganlah heran atau tertawa mengejek melihat seorang yang dianggap bijaksana
atau suci tersandung oleh hal-hal yang berbau duniawi, karena organ-organ
sensual dan pikiran kita memang sangat peka dan mudah dipermainkan oleh Sang
Maya.
61. Dengan mengendalikan semua organ-organ sensualnya, ia
harus duduk secara harmonis dan menjadikan Aku sebagai Tujuannya yang Terakhir.
Seorang yang telah berhasil mengatasi semua organ-organ sensualnya, akan segera
mencapai kesadaran yang tegar.
Duduk dan bermeditasi dengan teratur, mengendalikan semua
unsur-unsur duniawi kita (organ-organ sensual kita) baik lahir maupun batin,
dan selalu memfokuskan pikiran dan tindak-tanduk kita ke Yang Maha Kuasa secara
konstan akan menghasilkan suatu penerangan Ilahi atau kesadaran Ilahi yang
tegar. Semua ini memerlukan disiplin pribadi yang kuat dan salah satu cara
untuk membentuk disiplin ini adalah dengan bermeditasi secara tekun.
62. Seandainya seseorang mengarahkan pikirannya ke arah
obyek-obyek sensual, maka ia akan menghasilkan keterikatan pada obyek-obyek
ini. Dari keterikatan ini timbullah hawa-nafsu. Dari hawa nafsu timbullah rasa
amarah.
Seseorang yang berpikir senantiasa akan hal-hal yang
duniawi akan terikat kepada hal-hal ini, dan sekali terikat akan menjadi
kebiasaan. Dan kebiasaan ini kalau sekali-kali tak didapatkannya akan
menimbulkan rasa amarahnya, rasa-kesal, dan memuncak menjadi angkara-murka.
Jadi yang penting bukan saja penyerahan total dari nafsu-nafsu atau berbagai
keinginan kita tetapi juga pikiran-pikiran kita, karena di dalam pikiranlah
sebenamya terdapat benih atau asal dosa.
63. Dari marah timbullah angkara-murka, dan
keangkara-murkaan akan menghilangkan akal-sehat, dan dengan hilangnya
akal-sehat ini hancurlah daya intelek dan kesadaran (buddhi) kita, dan dengan
hilangnya buddhi ini maka ia akan binasa.
Kalau pikiran sudah kacau maka lupalah kita akan
pengalaman-pengalaman pahit kita yang lampau, karena hilang sudah akal-sehat
kita dan rasio kita porak-poranda jadinya. Lupalah kita akan hal yang baik dan
buruk, dan pada skala besar kalau kita jadi tersesat karenanya, maka lupalah
kita akan tujuan kita lahir ke dunia ini. Itu berarti binasalah kita secara
spiritual.
64. Tetapi seseorang yang penuh dengan disiplin, yang
bergerak di tengah-tengah obyek-obyek sensual tanpa suatu keterikatan kepada
obyek-obyek sensual ini dan dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan pergi
ke suatu kedamaian yang luhur.
Bhagavat Gita menganjurkan kita semua untuk mengendalikan
(bukan menghentikan) semua organ-organ sensual (indra-indra) kita dengan
mengendalikan jalan pikiran kita melalui suatu proses disiplin. Ini berarti
belajar mengendalikan diri, pikiran dan indra-indra kita. Lari dari kenyataan
dunia ini (hal-hal yang bersifat duniawi) adalah percuma atau sia-sia saja,
jadi dianjurkan untuk hidup ditengah-tengah obyek-obyek duniawi ini dengan
mengendalikan diri kita sendiri, maka akan sampailah rasa perdamaian atau
ketenangan yang luhur. Rasa perdamaian ini akan timbul dari suatu hati yang
penuh dedikasi kepadaNya semata, hati yang betul-betul luhur dan bersih.
65. Setelah mencapai kedamaian, maka berakhirlah derita
seseorang, dan seorang dengan kedamaian semacam ini akan segera mencapai
keseimbangan yang stabil.
Bagi yang tak mau atau takut mengendalikan dirinya, maka
jalan ke arah damai atau ketenangan tidak akan pernah terbuka. Sedangkan bagi
yang penuh disiplin, daya-juang dan tekad, yang penuh dengan kendali, maka
mereka ini akan menuju ke arah Yang Maha Esa, dan karena konsentrasinya ini
maka mereka ini akan mencapai tahap berkah Ilahi dalam bentuk kedamaian yang
abadi dan tak tergoyahkan. Dalam suka dan duka mereka ibarat timbangan yang
stabil dan tidak condong menurun ke satu arah.
66. Untuk yang tak pernah mengendalikan diri, tak akan
ada buddhi, untuk yang tak pernah mengendalikan diri tak akan ada konsentrasi.
Dan kalau tak ada konsentrasi maka tak akan ada kedamaian, dan kalau seseorang
tak memiliki kedamaian maka bagaimana mungkin ia akan memiliki kebahagiaan?
67. Sewaktu pikiran mengejar obyek-obyek sensual, maka
pergi jugalah prajna (kebijaksanaan, kesadaran), ibarat arus yang menyeret
sebuah perahu di lautan.
68. Jadi, oh Arjuna, ia yang seluruh indra-indranya telah
terkendali dari obyek-obyek sensual, maka buddhinya telah mencapai keteguhan.
69. Apa yang merupakan malam bagi semua insan, bagi
seorang yang penuh disiplin dirasakan sebagai pagi hari. Dan apa yang merupakan
pagi bagi semua insan merupakan malam untuk seorang muni (seorang yang telah
mencapai kesadaran penuh).
Semua manusia mungkin atau sedang larut dalam tidurnya
Sang Maya, tetapi seorang muni akan tegar terbangun dan bernafas dalam
kesadarannya. la acuh saja terhadap ilusi Sang Maya. Sebaliknya ia akan
tertidur untuk hal-hal yang bersifat duniawi yang bagi manusia pada umunya akan
merupakan kebutuhan yang amat vital, karena mereka mengikuti indra-indra mereka
tanpa kendali. la terpejam untuk duniawi tetapi matanya terbuka selalu ke arah
Ilahi dan cinta-kasihNya Yang Agung, yang tak pernah kunjung habis.
70. Seseorang yang kemauan-kemauan indranya, ibarat
sungai-sungai mengalir ke lautan yang selamanya tenang-tenang saja menerima
aliran-aliran sungai ini. Orang ini akan mencapai kedamaian, bukan ia yang
memeluk erat-erat nafsu-nafsunya.
Sungai-sungai mengalir dari berbagai arah ke lautan yang
lepas, tetapi sang lautan tak pernah mengeluh atau goncang karenanya dan selalu
dengan tenang dan tegar menerima semua aliran-aliran air yang telah tercemar
ini, bahkan dikembalikannya dalam bentuk uap yang bersih untuk dijadikan hujan
oleh alam itu sendiri. Begitu pun pikiran seseorang yang telah tegar
jiwa-raganya demi dedikasinya kepada Yang Maha Esa. la akan selalu kuat
menghadapi semua cobaan dan kemauan-kemauan indra-indranya dalam kedamaian yang
abadi.
71. Seseorang yang melupakan semua keinginannya dan
bertindak lepas dari segala hasrat, tanpa rasa egoisme dan tanpa rasa memiliki
apapun ia pergi ke arah damai.
72. Inilah daerah suci (brahmishiti), oh Arjuna! Setelah
mencapai daerah ini tak ada seorangpun yang kacau pikirannya. Barangsiapa,
bahkan pada detik-detik akhir hayatnya mencapai daerah (kondisi) ini, maka ia
akan pergi ke brahma-nirvana, di mana terdapat Berkah Sang Ilahi.
Yang dimaksud dengan daerah ini sebenamya adalah kondisi
atau status seseorang. Dalam kondisi atau status yang dimaksud ini seseorang
pemuja dan Sang Brahman telah mencapai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan
lagi. Seseorang yang telah mencapai kondisi ini akan kehilangan semua ilusi
duniawi dan Sang Atman akan bersinar di dalam dirinya, dan sampailah manusia
ini ke arah sempurna dan kesucian. Bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Atman)
berarti lepas sudah semua kemauan duniawi kita, dan kalau seseorang dapat
bertahan dalam status semacam ini, atau bahkan baru saja mencapainya, dan
langsung berakhir hidupnya di dunia ini, maka ia langsung akan menuju ke Yang
Maha Esa, yang menjadi tujuan akhirnya, dan perlu kembali lagi ke dunia yang
penuh dengan penderitaan ini.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini
adalah bab kedua
yang disebut Sankya Yoga atau yoga mengenai ilmu
pengetahuan.
Bab 03 – Jalan Aksi (atau Tindakan)
Berkatalah Arjuna :
1. Sekiranya Engkau berpikir, oh Kreshna bahwa kesadaran
(atau pengetahuan) itu lebih baik daripada suatu tindakan (aksi), lalu mengapa
pula Dikau menyarankan aku untuk berperang?
Di sini terlihat bahwa Arjuna telah salah menafsirkan
ajaran Sang Kreshna, pertanyaan Arjuna ini mungkin tidak berbeda dengan pikiran
yang ada di benak kita sendiri karena setelah membaca dua bab permulaan ini
biasanya timbul pikiran mengapa ajaran Sang Kreshna ini nampak berkontradiksi.
Arjuna berpikir bahwa kesadaran yang dicapai seseorang akan Sang Brahman adalah
lebih baik daripada suatu tindakan yang bersifat destruktif seperti peperangan.
Arjuna lupa dan tidak sadar akan pesan-pesan Sang Kreshna akan dharma-bhakti
setiap orang kepadaNya dan masyarakat pada umumnya.
2. Dengan kata-kata yang saling bertentangan ini, Dikau
mengacaukan pengertianku. Beritahukanlah kepadaku akan suatu jalan yang jelas,
dengan apa aku dapat mencapai yang terbaik.
Menjawab pertanyaan di atas ini Sang Kreshna pun lalu
mengajar ajaranNya mengenai jalan dari aksi atau tindakan, sebagai berikut:
3. Di dunia ini ada dua ajaran yang telah Kuajarkan
semenjak masa yang amat silam, oh Arjuna! Yang pertama adalah ajaran tentang
ilmu pengetahuan (gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya, untuk mereka-mereka
yang penuh dengan ketekunan untuk mempelajarinya; dan yang kedua adalah ajaran
mengenai tindakan (aksi, perbuatan pekerjaan, atau karma-yoga), jalannya para
yogi, yaitu yang hidupnya harus bekerja dan selalu penuh dengan aksi.
Skripsi-skripsi kuno Hindu mengajarkan tentang ajaran
Sankhya dan ajaran Yoga. Sankhya adalah ilmu pengetahuan tentang Ilahi,
sedangkan Yoga adalah ajaran tentang perbuatan, pekerjaan atau yang disebut
aksi. Banyak orang membeda-bedakan kedua ajaran ini seperti halnya Arjuna,
tetapi sebenarnya intisari atau tujuan dari keduanya adalah satu, yaitu Yang
Maha Esa. Jadi sebenarnya sama saja, tergantung pemakainya saja.
Ilmu pengetahuan (gnana) dan karma-yoga sebenarnya
selaras, tidak ada konflik atau perbedaannya. Yang ada hanyalah masalah
disiplin. Yang satu disiplinnya condong ke arah gnana dan yang satu lagi
condong ke arah karma. Mereka yang menganut gnana disebut penganut Sankhya atau
Sankhya Yogi dan mereka yang jalan di nishkama-karma (tindakan bukan untuk diri
pribadi) disebut Karma-yogi. Gnana yoga disebut juga sanyasa yoga (yoga-disiplin),
karena ilmu pengetahuan yang sejati sebenarnya mengarah ke sanyasa. Sri Shankar
Acharya, seorang filsuf Hindu yang besar pernah berkata tentang Bhagavat Gita
sebagai berikut: “Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati (gnani)
seharusnya juga adalah seorang sanyasi sekaligus,” tetapi menjadi seorang
sanyasi tidak berarti lalu kita semua harus menanggalkan kewajiban duniawi
kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling kita dan mengembara atau
bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi kepada orang hidupnya sebagai
seorang sanyasi dalam dirinya sendiri, dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Yang
dimaksud adalah kendalikan nafsu-nafsu indra kita, dan itu hanya bisa dilakukan
sambil melakukan kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan status kita dalam
masyarakat. Seperti misalnya Raja Janaka, yang adalah seorang Maha-Raja yang
amat kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak pernah
merasa memiliki apapun juga. la bertindak sebagai raja karena sudah merupakan
kewajibannya pada Yang Maha Esa dan masyarakatnya. Raja Janaka di dalam epik
Hindu dikenal sebagai seorang gnani yang mempraktekkan sanyasa, yaitu tidak
keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain menjauhi
hal-hal yang bersifat duniawi.
Dengan kata lain, Gnana-yoga, Sanyasa-yoga dan
Sankhya-yoga adalah sininimus, atau sama saja artinya. Menurut para guru agama
Hindu, gnana tidak berarti ilmu pengetahuan yang didapatkan dari buku-buku.
Seorang gnani bukanlah seorang kutu-buku, karena seseorang boleh saja membaca
banyak buku bahkan mengutip dari buku-buku suci, tetapi belum tentu ia
menghayati isi buku-buku ini dan berubah langsung menjadi seorang gnani. Gnana
atau ilmu pengetahuan yang sejati didapatkan secara langsung, bukan dari
buku-buku. Seorang gnani sejati adalah seorang pertapa, seorang yang dapat
melihat kebenaran. la bukan seorang penyair atau pengarang yang berbicara atau
menulis dari apa yang ia dengar atau lihat. la berbicara atau menulis karena ia
merasakan dan melihat kebenaran itu secara langsung dan sendiri. la memiliki
sakshatkara, yaitu persepsi atau intuisi langsung.
Tidak ada kebijaksanaan yang dapat kita ambil dari
buku-buku begitu saja, tetapi harus melalui proses di dalam hidup kita ini.
Gnana berarti menyadari diri kita sendiri. Hargailah ketenangan dan keheningan,
karena kesadaran atau kebijaksanaan biasanya datang pada waktu-waktu yang
hening. Makin banyak ketenangan dan keheningan di dalam diri kita, makin banyak
timbul kesadaran dan kebijaksanaan.
4. Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan
menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan
dengan hanya berpasrah diri.
Idealnya seorang yang berjalan di jalannya karma-yoga
adalah bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tugas itu secara
duniawi. Dan kondisi semacam ini tidak dapat dicapai dengan tidak mengacuhkan
atau menelantarkan pekerjaan itu sendiri. Aktiflah, sabda Bhagavat Gita, tetapi
tanpa pamrih atau mengharapkan suatu imbalan sekecil apapun juga. Yang penting
bukan tidak acuh pada pekerjaan, tetapi tidak acuh pada nafsu-nafsu indra kita
yang serakah dan tidak terkendali. Bekerjalah, berproduktiflah dalam setiap
hal, tetapi janganlah kita menciptakan kekacauan atau hal-hal yang buruk atau
negatif. Ciptakanlah sesuatu yang indah, yang positif untuk dirimu dan semua di
sekitarmu dan semua perbuatanmu selama tidak dilakukan dengan nafsu egois, dan
selama tidak bermotifkan pamrih akan indah dan berguna untuk semuanya.
Siddhi adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan biasanya
tercapai dari suatu ketenangan atau keheningan. Dan ciri-ciri khas seorang yang
penuh dengan siddhi ini adalah:
a. la memiliki disiplin yang kuat sekali dalam
mengendalikan keinginan indra-indranya, bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil
sekali pun.
b. la telah belajar dan sadar bahwa “egonya harus
dibunuh, apapun bentuk ego itu.” Ada dua jalan ke arah siddhi ini:
i. tidak mengikuti jalan pikiran yang duniawi, dan
ii. tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Agar pikiran kita selalu tenang dan tak tergoyahkan, maka
perlu sekali untuk mengesampingkan semua unsur-unsur duniawi yang ada di
sekitar kita. Seseorang yang tekun bermeditasi harus selalu mengatakan pada
dirinya: uang, rumah, keluarga, istri, anak, harta milik, kekuasaan, rasa
hormat dan lain sebagainya adalah milik Sang Maya, dan bersifat tidak abadi,
hanya Sang Atman yang abadi. Dan pikiran semacam ini harus betul-betul dihayati
dan tertanam di dalam benak kita sehari-hari.
Seseorang yang stabil meditasinya tak akan terganggu oleh
berbagai pikiran yang keluar masuk dalam kepalanya. Semua itu dipikirkannya
secara santai dan tenang dan tidak secara serius. Meditasi yang benar akan
menghasilkan seseorang yang selalu gembira, bercahaya roman-mukanya, penuh
dengan enersi dan dinamik tindak tanduknya. Pikiran-pikiran yang negatif tak
akan membantunya sama sekali, tetapi positif dan mengesampingkan kepentingan
pribadi dan tak terpengaruh duniawi akan menghasilkan energi yang positif bagi
seorang yang gemar bermeditasi.
Bagi seorang yang ingin mencapai ketenangan, maka
dianjurkan untuk belajar bermeditasi pada seorang guru yang telah mencapai
suatu kesempurnaan, karena dari sang guru ini akan terpancar keluar getaran
yang amat positif bagi sang murid. Tanda-tanda seorang spiritual yang telah mencapai
ketenangan jiwa ini adalah selain jiwanya betul-betul telah tenang tak
tergoyahkan, juga ia tak akan pernah berpengaruh oleh semua kejadian-kejadian
di dunia ini.
5. Tak seoranq pun dapat lepas dari suatu aksi, walaupun
hanya sejenak; karena setiap orang tanpa dikuasainya harus bertindak sesuai
dengan guna-guna (sifat-sifat alami pembawaannya) yang lahir dari prakriti
(alam).
6. Seseoranq yang nampak tenang, tidak bertindak apapun
dengan organ-organ sensualnya (indra-indranya), tetapi di dalam benaknya yang
terpikir justru obyek-obyek sensual, orang yang kacau dan dalam kegelapan ini
disebut orang yang munafik.
Aksi perbuatan atau karma adalah suatu hal yang tak
terelakkan lagi bagi manusia yang hidup; manusia bahkan tak bisa hidup dengan
baik kalau tidak bertindak atau bekerja. Hidup berarti bekerja, bertindak atau
berbuat atau berpikir. Tidak-bekerja yang sejati adalah dengan tidak berpikir
tentang hal-hal yang negatif mengendalikan indra-indra kita dan mematikan ego
kita pribadi yang selalu menghubungkan setiap tindakan kita dengan “aku” dan
“punyaku.” Menyerahkan secara total semua bentuk ego, cinta, dan segala
keterikatan kita kepadaNya adalah bekerja dalam tidak bekerja. Mengelak dari
pekerjaan adalah suatu hal yang tidak mungkin. Mata kita tak dapat bekerja
selain melihat, kuping tak dapat bekerja lain selain mendengar, dan badan kita
tak dapat bekerja selain merasakan, dan otak kita tak dapat bekerja selain
berpikir. Jadi mau tak mau seseorang harus bekerja atau bertindak sesuai dengan
karmanya. Seandainya kita tidak mau bekerja dan ingin duduk diam saja sebagai
patung, maka bukankah kita juga telah bertindak sebagai patung? Dengan mengelak
dari tindakan/aksi, kita tak akan pergi ke jalan penerangan/kesempurnaan,
tetapi kembali ke “alam” (prakriti) dan tindakan alami.
Dalam “alam” ini ada tiga chakra atau tiga pusat energi.
Dari ketiga pusat ini datanglah pekerjaan-pekerjaan untuk badan kita secara
otomatis tanpa kita sadari. Ketiga chakra ini dengan kata lain disebut sifat
sattva, raja dan tama yang merupakan pusat-pusat dari aksi kita masing-masing.
Dan sekiranya diluar badan kita, kita dapat mengendalikan semua unsur-unsur
indra kita, tetapi dalam benak kita justru tak dapat lepas dari selera-selera
duniawi ini, maka orang semacam ini disebut oleh Sang Kreshna sebagai manusia
yang munafik. Contoh: seorang yang dianggap suci seperti pendeta, misalnya,
yang sehari-hari nampak bertindak suci, tetapi sekali melihat gadis cantik
langsung terangsang gairah seksualnya. Walaupun mungkin ia tidak bertindak lebih
lanjut, tetapi itu sudah menunjukkan betapa tindak-tanduknya sudah tidak sesuai
dengan hati dan pikirannya, dan inilah yang disebut munafik, karena tidak jujur
pada diri dan masyarakat sekelilingnya, apalagi kepada Yang Maha Esa.
Organ-organ sensual kita (indra-indra) adalah sebagian dari prakriti, begitu
pun pikiran-pikiran kita; untuk menjalani hidup yang sejati ini kita harus
dapat menaklukkan bukan saja indra-indra kita, tetapi juga pikiran kita, dan
itu berarti menaklukkan prakriti itu sendiri secara tidak langsung.
Salah satu contoh yang baik untuk mengalahkan avykta ini
adalah dengan tinggal bersama-sama dengan seorang suci. Juga sebaiknya setiap
orang tidur dikamarnya masing-masing yang dilengkapi dengan gambar-gambar
orang-orang suci, dewa-dewi, dan ayat-ayat suci. Mengoleksi buku-buku suci dan
membakar wewangian untuk pujaan. Sebelum tidur bermeditasilah, dan memfokuskan
diri pada hal-hal yang positif dan suci seperti mantra-mantra suci, atau pada
suatu dewa tertentu, atau pada sang guru, dan lebih baik lagi kalau dapat
memfokuskan diri pada Sang Atman, Sang Kreshna atau Sang Brahman secara
langsung (Yang Maha Esa).
7. Tetapi barangsiapa yang mengendalikan indra-indranya
dengan pikirannya, oh Arjuna, dan tanpa keterikatan mempekerjakan organ-organnya
demi karma-yoganya (aksi atau pekerjaannya), maka ia disebut berhasil.
Dalam karma-yoga (pekerjaan kita), lakukanlah karma atau
pekerjaan kita sesuai dengan kewajiban kita tetapi tanpa keterikatan secara
duniawi. Kita bekerja sebenarnya karena demi dan untukNya dan tanpa pamrih,
tanpa rasa memiliki, atau ego atau imbalan, dan sadar bahwa apapun yang
dikerjakan adalah manifestasi dari Yang Satu itu, Yang Abadi selama-lamanya.
8. Lakukan pekerjaan yang telah menjadi kewajibanmu,
karena bekerja adalah lebih baik daripada tidak bekerja, bahkan ragamu saja tak
mungkin stabil tanpa suatu aktifitas.
Aktifitas adalah lebih baik daripada bermalas-malas tanpa
suatu pekerjaan. kita duduk tanpa bekerja, maka raga atau badan kita bisa sakit
karenanya.
9. Pekerjaan merupakan suatu keterikatan di dunia ini,
kecuali kalau dilakukan demi pengorbanan (demi Yang Maha Kuasa). Seyogyanyalah,
oh Arjuna, dikau aktif untuk pengorbanan ini, bebas dari segala keterikatan.
Setiap manusia di dunia ini telah terkurung oleh
pekerjaan, dan setiap orang sibuk dan menjadi budak dari pekerjaan ini. Untuk
penggantinya, maka dianjurkan agar kita tidak menjadi budak dari
pekerjaan-pekerjaan ini, yaitu dengan bekerja demi Yang Maha Esa semata. Dengan
kata lain secara mental kita berpikir bahwa semua pekerjaan atau kewajiban
sebenarnya hanyalah untuk Dia semata. Dengan demikian kita bisa bekerja dan
merencanakan sesuatu secara tanpa keterikatan duniawi. Dengan ini akan
timbullah suatu rasa kebebasan dari hal-hal yang bersifat duniawi, karena semua
hasil akhir juga diserahkan kepadaNya untuk diolah dan ditentukan
akibat-akibatnya, atau hasil maupun buahnya.
Di sloka diatas ada kata-kata, lakukan pekerjaanmu demi
pengorbanan ini, yang dimaksud dengan pengorbanan ini adalah yagna. Menurut
Shankara, ahli dan filsuf Hindu yang terkenal di masa silam, yagna dapat
berarti Vishnu, Sang Maha pengasih. Yagna dengan demikian disimpulkan sebagai
Yang Maha Esa dan juga pengorbanan untuk Yang Maha Esa. Kemudian mungkin timbul
pertanyaan, pekerjaan apakah yang dapat disebut sejati? Semua pekerjaan yang
bermotifkan dedikasi atau semata untuk Yang Maha Esa adalah pekerjaan yang
sejati. Pengorbanan selalu berarti “mengorbankan diri sendiri untuk orang atau
hal lain,” dan berkorban berarti menemukan diri sendiri yang sejati; tuluskah
diri ini, atau masih tertutup oleh hawa-hawa nafsu dan ego?
10. Pada masa yang lalu, Prajapati, Dewanya para
makhluk-makhluk, menciptakan” manusia dengan suatu itikad yang penuh dengan
pengorbanan dan berkatalah dewa ini: “Dengan pengorbanan ini engkau akan
sejahtera. Dan pengorbanan ini adalah ibarat Kamakhuk (sapi kemakmuran yang
beranak-pinak yang akan menghasilkan kemauan-kemauanmu).
Dewanya para makhluk yang dalam epik-epik Hindu kuno
disebut Prajapati, yang menciptakan para makhluk di dunia ini; sewaktu
menciptakan makhluk-makhluk ini ia mendasarkan pekerjaan ini pada suatu sifat
pengorbanan yang tulus demi Yang Mata Esa karena Sang Dewa ini sadar bahwa
semua tugas atau pekerjaan sebenarnya adalah kehendak dan demi Yang Maha Esa
semata. la mengibaratkan pengorbanan ini sebagai Kamadhuk, yaitu seekor sapi
yang dianggap suci dan terkenal sekali karena selalu beranak-pinak tanpa
hentinya. Sang Dewa ini selalu menganjurkan manusia agar dalam segala
tindak-tanduk manusia apakah itu suatu pekerjaan sehari-hari atau pekerjaan
yang lain, agar selalu mendasarkan setiap tindakan manusia itu dengan rasa
pengorbanan yang tulus. Jadi tidak bekerja demi diri semata tetapi demi suatu
kehendak yang tersembunyi, demi suatu rahasia yang ada di belakang setiap
tindakan kita, dan rahasia atau kehendak ini tidak lain dan tidak bukan adalah
la semata. Setiap pengorbanan yang tulus merupakan hal yang vital untuk
perkembangan hidup kita, karena akan membersihkan jiwa-raga kita, dan hal ini
betul-betul merupakan suatu tindakan spiritual yang tidak disadari oleh
pelakunya. Secara lambat laun pelaku yagna ini akan dijauhkan dari segala
mara-bahaya dan hal-hal yang bersifat negatif, dan banyak hal-hal diluar dugaan
dan pikirannya akan terjadi pada seseorang yang aktif dan tulus beryagna ini.
Tetapi ingat ini bukan untuk digembar-gemborkan, tetapi harus dilakukan dengan
tulus dan tanpa banyak cerita!
Yagna sebenarnya bukan untuk mendapatkan harta-benda
duniawi, inilah kesalahan, sementara orang yang lebih aktif beryagna secara
duniawi, tetapi lebih bersifat untuk melajukan seseorang ke arah Yang Maha Esa.
Semakin banyak yagna kita yang spontan dan tulus sehari-hari semakin dekat kita
kepadaNya dan menyatu denganNya. Dan pengorbanan ini bukan satu jenis saja,
misalnya dalam gnana-yoga yang dikorbankan adalah ketidak-tahuan kita. Dalam
karma-yoga yang dikorbankan adalah imbalan atau hasil kerja dan aktivitas kita.
Dalam bhakti-yoga yang dikorbankan adalah keterikatan atas dua rasa atau sifat
yang saling berlawanan seperti senang-susah, suka-duka, benci-cinta,
panas-dingin, dsb.
11. Dengan yagna, atau pengorbanan, berikanlah kepada
para dewa, dan para dewa akan memberikannya kembali kepadamu yang kau pinta.
Dengan saling memberikan kepada mereka ini dikau akan mencapai Kebaikan Yang
Utama.
12. Dengan mendapatkan pengorbanan, para dewa akan
memberkahimu dengan yang kau pinta. Dan barangsiapa yang menerima berkah dari
para dewa tanpa berkorban kembali kepada mereka adalah betul-betul seorang
pencuri.
Di salah satu kitab suci Hindu Kuno yang disebut Vishnu
Purana, dapat kita baca suatu kisah di mana para dewa menurunkan hujan kepada
manusia yang melakukan upacara korban kepada dewa-dewa ini. Hal yang sama masih
kita lakukan juga pada waktu-waktu tertentu dewasa ini di mana ada kepercayaan
agama Hindu. Para dewa ini sebenarnya diciptakan Yang Maha Esa untuk menjadi
pelindung atau partner dari manusia, dan sebaliknya manusia yang memuja
dewa-dewa ini dengan tujuan tertentu diharuskan untuk berkorban kepada
dewa-dewa ini. Dengan ini akan tercapai kerja-sama yang baik antara dewa-dewa
dan manusia demi langgengnya kehidupan dunia ini dengan segala kesibukannya.
Para dewa tidak saja dapat memberikan harta-benda duniawi, tetapi juga dapat
dipanggil melalui mantra-mantra tertentu baik untuk penyembuhan atau untuk
meminta melawan perbuatan jahat. Tetapi ingat dari dewa untuk dewa, dari Yang
Maha Esa untuk Yang Maha Esa, dan setiap tindakan untuk Yang Maha Esa berarti
lebih dekat lagi denganNya. Juga terdapat makna lain dari pengorbanan ini
yaitu, agar apa yang kita lakukan itu hasilnya dapat kita bagi juga untuk yang
lainnya dan tidak hanya untuk diri sendiri. Di Manava Dharma Shastra tertulis:
“Seseorang hanya memakan dosa, sekiranya la memasak untuk dirinya sendiri!”
Sekiranya sewaktu kita makan, alangkah baiknya kalau
dimulai dulu dengan doa dan kita serahkan dulu yang kita makan kepadaNya dan
kemudian kita bagi juga bagi sesama makhluk lain, misalnya dengan membuang
sedikit nasi yang kita makan untuk semut-semut di halaman rumah, atau untuk
anjing dan kucing piaraan di rumah, dan lebih dari itu kalau ada kelebihan
dibagi kepada fakir-miskin atau orang lain yang membutuhkannya. Memberikan
sesuatu yang berlebihan di rumah kita adalah pekerjaan sosial yang dianjurkan
setiap agama, karena merupakan titipan dariNya juga untuk orang-orang lain yang
membutuhkannya. Dan ingatlah setiap orang yang kikir selalu kehilangan sebagian
dari harta-bendanya atau kebahagiannya karena hukum alam akan berlaku atas
orang yang berlebih-lebihan miliknya baik itu dalam bentuk materi atau yang
bersifat abstrak seperti pikiran atau rasa.
13. Mereka yang baik, adalah yang memakan sisa-sisa dari
yang telah dikorbankannya, dan mereka-mereka ini akan lepas dari dosa-dosa.
Tetapi yang tak beriman hanya memikirkan diri mereka sendiri yang mereka makan
hanyalah dosa!
Dengan membagi makan atau kelebihan harta-benda kita
kepada sesamanya yang membutuhkannya dan menyerahkan setiap tindakan dan posesi
kita kepadaNya, maka lambat laun akan terjadi proses pembersihan dan pemurnian
diri kita pribadi.
14. Dari makanan terbentuklah makhluk-makhluk, dari hujan
terbentuklah makanan; hujan terbentuk dari yagna atau pengorbanan; dan
pengorbanan lahir dari aksi (karma).
Di sini terlihat bahwa roda kosmik berputar secara
sistimatis berdasarkan yagna atau pengorbanan. Dengan ini kita seharusnya sadar
bahwa betapa besarnya sebenarnya nilai dari suatu yagna atau amal yang tulus,
yang demi Ia semata-mata tanpa mengharapkan pahala atau pamrih.
15. Ketahuilah oleh dikau bahwa karma (aksi) timbul dari
Sang Brahma, dan Sang Brahma datang dari Yang Maha Esa (Yang Tak Terbinasakan).
Jadi Sang Brahma yang selalu ada selalu hadir pada setiap pengorbanan.
Dunia diciptakan oleh Sang Purusha Tunggal (Sang Brahma)
dengan penuh pengorbanan besar yaitu dirinya sendiri. Tangan-tangan dan
kaki-kakinya tersebar ke seluruh dunia (di alam semesta). Berkat pengorbanan
inilah dunia diciptakan dan berkat pengorbanan-pengorbanan dari berbagai
dewa-dewa, para pahlawan-pahlawan, manusia-manusia suci sepanjang masa, maka
dunia ini sampai sekarang masih bisa bertahan. Lihatlah di sekitar kita, kalau
ada yang berbuat jahat maka pasti ada individu lain yang berbuat baik untuk
menetralisir keadaan ini. Ini berarti sebenarnya tanpa kita sadari setiap
pengorbanan yang mengorbankan dirinya sendiri sedang atau sudah berusaha
menstabilkan alam dan unsur-unsur yang ada di alam ini sendiri.
16. Seseorang yang hidup di dunia ini tanpa mau
menggerakkan roda-roda pengorbanan, adalah seorang yang penuh dengan dosa dan
nafsu-nafsu duniawi. Orang semacam ini, oh Arjuna, hidup secara sia-sia.
Seorang yang hidupnya adalah untuk diri-pribadinya
sendiri, sebenarnya kehilangan nilai-nilai kehidupan yang berarti. Yang rugi
sebenarnya adalah dirinya sendiri.
17. Tetapi seseorang yang bahagia di dalam Sang Atmannya
sendiri, yang merasa cukup dengan Dirinya, dan selalu puas oleh Dirinya untuk
orang semacam ini sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Seseorang yang telah menemukan kebahagian dan kedamaian
di dalam Sang Atman (Jati Dirinya sendiri), yang bersemayam di dalam dirinya
sendiri, tidak perlu menyelesaikan pekerjaannya, ujar Sang Kreshna penuh makna.
Maksudnya di sini bukan lain orang semacam ini lalu bermalas-malasan tanpa
kerja. Tetapi semua aktivitias baginya bahkan merupakan pekerjaan yang
membahagiakan dan menimbulkan rasa damai baginya, karena ia berpikir sebagai
alat ia dipakai oleh Yang Maha Kuasa, dan setiap pekerjaan atau problema
bukanlah jadi beban lagi tetapi kewajiban yang ditunggu-tunggu olehnya. Secara
mental ini berarti sama saja tidak ada pekerjaan untuknya semata. Bukankah Yang
Maha Esa sendiri mengorbankan DiriNya sendiri untuk menjadi seorang manusia,
yaitu Sang Kreshna agar dapat secara langsung dan pribadi mengajarkan Bhagavat
Gita kepada kita semuanya. Tidak ada suatu bentuk pekerjaan yang kotor bagi
yang telah menemukan Jati Dirinya, karena Ia selalu akan dituntun oleh Sang
Atman sesuai dengan kehendakNya.
18. la tidak punya kepentingan pribadi di dunia ini baik
ia melakukan sesuatu maupun ia tidak melakukan sesuatu. la tidak bersandar
kepada siapapun untuk mencapai (atau mendapatkan) sesuatu dalam hidupnya.
Orang yang telah mencapai taraf kejiwaan ini benar-benar
adalah seorang manusia yang amat bebas hidupnya. Baik ia melakukan sesuatu
maupun tidak, ia tidak pernah merasa rugi atau untung karena tindakan itu,
benar-benar alat sifat dan statusnya, karena semua tindakan tidak
disangkut-pautkan dengan pribadinya. la bebas dari segala beban duniawi dan tidak
bersandar pada siapapun maupun pada suatu keadaan atau benda-benda dan
sekelilingnya, ia hanya bersandar pada Yang Maha Esa semata. Baginya
sehari-hari apa saja yang dimakan atau disandangnya walau hanya sedikit sudah
terasa amat cukup. Hidupnya sudah menyatu dengan Yang Maha Kuasa, dan segala
kejadian-kejadian duniawi seperti huru-hara, peperangan, musibah dan lain
sebagainya, walaupun di perhatikannya secara manusiawi sekali sebenarya tidak
lagi berpengaruh terhadapnya. Tanpa disadarinya maupun disadarinya lepas sudah
kewajiban-kewajiban duniawi dari dirinya, yang ada hanya kewajibannya terhadap
Yang Maha Kuasa. Bekerja atau tidak sama saja baginya, tetapi ia akan selalu
bekerja terus tanpa henti dan tanpa pamrih, karena setelah mengenal Sang Atman,
ia akan sadar bahwa semua adalah satu, dan apapun yang dilakukannya atau
dikorbankannya adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia semata.
19. Seyogyanyalah dikau selalu mengerjakan kewajibanmu
tanpa rasa keterikatan, karena dengan bekerja tanpa pamrih seseorang akan
mencapai Parama Yang Tertinggi.
Bekerjalah selalu tanpa pamrih, inilah pesan inti dari
Bhagavat Gita yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang oleh Sang Kreshna bagi
kita semua. Dengan dedikasi yang berkesinambungan, yang secara konstan
dilakukan oleh seseorang terhadapNya, maka suatu saat pasti orang atau pemuja
ini akan mencapai kebenaran Yang Sejati, Yang Tertinggi sifatnya. Janganlah
ragu dan bimbang akan hasil pekerjaan itu, mereka yang bekerja secara murni
untuk Yang Maha Kuasa tidak akan gentar dengan segala hasil yang diperolehnya.
Orang semacam ini tidak akan memaksakan suatu pekerjaan tertentu, tetapi selalu
akan bekerja sesuai dengan kehendakNya, dan bekerja tanpa keterikatan akan
sukses atau tidaknya pekerjaan itu, bahkan tanpa pamrih. Dan bekerja tanpa
pamrih ini akan melepaskan kita dari ikatan-ikatan duniawi ini, dan bebaslah
kita sesungguh-sungguhnya bebas.
20. Janaka dan juga yang lain-lainnya benar-benar
mencapai kesempurnaan dengan bekerja. Dan dikau pun seharusnya bekerja dengan
dasar kesejahteraan dunia ini.
Raja Janaka Dari Mithila, adalah seorang raja yang amat
kaya-raya dan agung sifatnya. la juga adalah seorang karma-yogi yang ideal,
karena ia memerintah kerajaannya demi Yang Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi
pribadi atau merasa semua itu miliknya pribadi. la berhasil menguasai egonya
dan pernah berkata, “Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu
pun punyaku yang hilang.” Raja Janaka berkuasa dikerajaannya sampai akhir
hayatnya karena ia merasa bekerja demi yang lainnya dan menjadi contoh atau
model untuk raja-raja yang lainya agar bekerja demi Yang Maha Kuasa semata.
Suatu saat kemudian Sang Raja ini mencapai kesempurnaannya dengan bekerja
terus-menurus, tanpa pamrih demi Yang Maha Kuasa. Boethius seorang filsuf Barat
pernah berkata: “Seseorang tak akan pernah pergi ke sorga kalau hanya ia
sendiri yang ingin ke sana.”
21.Apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin, maka
masyarakat akan mengikutinya. Masyarakat akan meniru sama kaidah-kaidah yang
dilaksanakan oleh pimpinan itu.
Masyarakat selalu cenderung untuk meniru tingkah-laku dan
kehidupan seorang pemimpin bangsa. Seandainya seorang pemimpin atau pemuka
masyarakat bertindak religius, bijaksana, rendah-hati, hidup sederhana dan
tidak serakah pada kekuasaannya, maka masyarakat akan menghormatinya dan
bertindak sama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tetapi seandainya seorang
pemimpin mulai bertindak serakah, menyalah-gunakan kekuasaannya, memerintah
dengan angkara-murka, dan korupsi, maka jajaran menteri-menteri dan para
bawahan-bawahan menteri sampai ke pamong-praja dan masyarakat akhirnya, akan
bertindak sama. Karena itulah pola atau kaidah-kaidah yang telah diterapkan
oleh sang pemimpin, yang lambat laun menjalar ke semuanya dan terasa biasa oleh
para pelaku-pelakunya.
22. Tidak ada sesuatu apapun di ketiga loka ini yang
Kukerjakan, oh Arjuna, atau pun ingin mencapai sesuatu yang belum tercapai,
tetapi Aku selalu aktif bekerja.
Yang Maha Kuasa sebenarnya tidak perlu bekerja untuk
menunjang alam semesta ini beserta seluruh isinya, tetapi la memberikan contoh
yang baik dengan menitis menjadi Sang Kreshna dan mengajarkan Bhagavat Gita
kepada manusia agar jalan lurus ke arahNya.
23. Karena, kalau Aku tidak aktif, maka mereka-mereka
yang aktif dan penuh pengorbanan tidak akan mencontoh Diriku, oh Arjuna!
Sekali lagi Yang Maha Kuasa memberikan keteladanan yang
amat agung, agar mereka-mereka yang bekerja demi dan untukNya semata makin
aktif saja untuk bekerja demi sesamanya dan demi Yang Maha Kuasa. Di sini
terlihat bahwa Bhagavat Gita tidak menganjurkan siapa saja untuk berdiam diri
tanpa berbuat sesuatu karena merasa semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Tetapi
sebaliknya setiap insan dianjurkan untuk selalu bekerja, tetapi harus tanpa
pamrih.
24. Seandainya Aku berhenti bekerja, maka dunia ini akan
runtuh, dan Aku jadi penyebab kekacauan, dan semua manusia-manusia ini akan
binasa.
25. Ibarat seorang bodoh yang bekerja demi hasilnya, oh
Arjuna, maka seyogyanyalah seorang yang bijaksana juga bekerja, tetapi tanpa
pamrih, dan dengan tujuan untuk kelangsungan hidup di dunia ini.
Kontradiksi antara yang bodoh (jurang pengetahuannya) dan
yang bijaksana jelas sekali di sloka atas ini. Yang pertama bekerja demi suatu
motif dan untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan yang bijaksana bekerja
tanpa pamrih dan untuk sesamanya. Pekerjaannya sama, motif dan tujuannya lain.
26. Janganlah seorang vidvan (bijaksana) mencegah pikiran
mereka-mereka yang terikat kepada pekerjaan mereka. Tetapi bertindaklah
berdasarkan ilmu pengetahuan ini sesuai dengan kehendakKu dengan begitu
memberikan inspirasi (atau mengajarkan) mereka untuk bertindak yang betul.
Jangan mengusik atau mengkritik mereka-mereka yang terikat
pada kehidupan dan pekerjaan mereka, karena kesadaran yang sejati harus datang
dari hati-nurani mereka sendiri. Kewajiban seorang yang bijaksana adalah
memberikan contoh-contoh kepada orang-orang semacam ini, dengan begitu
menimbulkan kesadaran atau inspirasi kepada mereka, bahwa bekerja atau hidup
ini sebenarnya untuk Yang Maha Esa semata dan bukan untuk kepentingan diri
pribadi sendiri. Dengan bertindak begitu seorang yang bijaksana akan bertindak
sesuai dengan kemauan atau kehendak Yang Maha Kuasa yang tak pernah memaksakan
kehendak atau keinginanNya untuk diikuti seseorang. Setiap orang bebas untuk
memuja atau tidak memujaNya, untuk berperi-laku baik atau buruk.
Jangan sekali-kali kita meremehkan kepercayaan
orang-orang lain, apapun kepercayaan dan keyakinan mereka, bahkan seharusnya
kita harus menghormatinya dan kemudian membantunya untuk lebih mengenal Yang
Maha Esa dan bertugas demi Yang Maha Esa. Setiap simbol yang dipuja atau
tindakan atau kepercayaan seseorang sebenarnya merupakan suatu proses atau
tindakan atau anak-tangga dari setiap individu untuk ke Yang Maha Esa juga,
tetapi karena “kebodohan” seseorang maka ia berjalan atas konsep atau
pengertian yang salah, pada hal yang ditujunya adalah kekuatan Yang Abadi juga.
Dan setiap individu ini suatu saat secara perlahan tetapi pasti akan menuju ke
Yang Maha Esa juga. Jadi sebaiknya seorang yang bijaksana memperbaiki dan
membantu mengarahkan orang-orang ini ke jalan yang benar, dan tidak sekali-kali
memaksa atau menertawakan kepercayaan orang lain.
27. Sebenarnya semua tindakan (aktifitas) dilakukan
berdasarkan sifat-sifat alam (ketiga guna), tetapi seseorang yang penuh dengan
rasa egois (ahankara) akan berpikir: Akulah yang melakukannya.”
28. Tetapi seseorang, oh Arjuna, yang sadar benar akan
perbedaan antara Sang Jiwa dan sifat-sifat alam serta cara kerja sifat-sifat
alam ini, tak akan terikat pada pekerjaannya, karena ia sadar bahwa yang
bekerja sebenarnya adalah sifat-sifat alam ini.
Seseorang yang bijaksana sadar bahwa Sang Atman (yang
bersemayam di dalam diri kita), tak akan tercemar oleh pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan orang tersebut. Seperti juga halnya Sang Atman ini tidak dapat
dibakar, dibunuh atau dihancurkan. Orang bijaksana ini pun sadar bahwa yang
bertindak dengan aktif sebenarnya bukan Sang Atman tetapi adalah ketiga sifat
alam yang disebut guna, dari Sang Prakriti. Sedangkan seseorang yang tidak
bijaksana atau yang kurang pengetahuannya merasa semua tindakan yang
dilakukannya berasal dari dirinya semata. Secara sadar seorang yang bijaksana
mengorbankan segala tindakannya kepada Yang Maha Esa, dan secara otomatis ia
akan selalu bekerja melawan segala dosa dan cobaan agar dirinya makin bersih
dan dapat lepas dari segala kegelapan, penderitaan dan kekotoran duniawi ini.
Jalan ini menuju ke jalan “tanpa-pamrih.” Karena seseorang yang bijaksana sadar
bahwa yang bekerja sebenarnya bukan Sang Atman tetapi sifat-sifat prakriti yang
menimbulkan berbagai ragam aktivitas atau tindakan. Sifat berinteraksi dengan
sifat, dan benda berinteraksi dengan benda, Sang Atman sendiri selalu teguh
sebagai saksi.
29. Mereka-mereka yang di dalam kegelapan akibat
sifat-sifat alam ini terikat pada pekerjaan-pekerjaan yang ditimbulkan oleh
sifat-sifat ini. Seorang yang sadar semuanya itu tak akan menggoyahkan pikiran
seseorang lain yang hanya mengerti sebagian kecil.
Seseorang yang bijaksana akan membantu tanpa pamrih
kepercayaan atau tindakan positif orang lain yang kurang mengerti ini, dan
tidak sekali-kali menimbulkan kekacauan dalam hati orang yang ditolongnya ini.
Dengan memberikan contoh-contoh yang baik seseorang yang bijaksana akan
membantu orang yang lain sesuai pengabdiannya kepada Yang Maha Esa.
30. Serahkan semua tindakan-tindakanmu kepadaKu, dengan
pikiran-pikiranmu bersandar pada Yang Maha Esa, lepas dari segala kemauan dan
egoisme, sadarlah dari penyakit (mental) mu, berperanglah dikau, oh Arjuna!
Dengan menyerahkan semua imbalan atau pamrih dari segala
tindakan-tindakan kita kepada Yang Maha Esa, maka seyogyanyalah seseorang
berdoa kepadaNya agar Ia memberkahi alam semesta beserta segala isinya ini
dengan segala karuniaNya. Jangan mencari kebahagian pribadi, tetapi
berkorbanlah selalu demi sesamamu dan semuanya, demi Yang Maha Esa pada
hakikatnya. Serahkanlah semua milikmu kepadaNya, serahkan semua itu dengan jiwa
yang penuh dedikasi dan suatu waktu kelak kita pun dapat merasakan datangnya
karunia Ilahi Yang Sejati (Brahmananda). Serahkan semua yang menjadi milikmu,
apapun bentuknya, baik secara mental maupun harta duniawi dan sadarlah bahwa Ia
juga yang hadir di setiap benda dan makhluk di alam semesta ini, dan Yang Maha
Esa pun akan turun kepada diri kita dan lengkaplah lalu diri kita ini. Dalam
setiap tindakan selalulah berdoa, “Terjadilah KehendakMu, Yang Maha Kuasa.”
31. Barangsiapa menjalankan ajaran-ajaranKu ini penuh
dengan kepercayaan dan lepas dari mencari-cari kesalahan (ajaran ini) maka
mereka juga akan lepas dari keterikatan kerja.
32. Tetapi mereka yang mencari-cari kesalahan dalam
ajaranKu ini dan tidak bertindak seharusnya; ketahuilah mereka-mereka ini buta
tentang kebijaksanaan, sesat dan tak berpikiran sehat.
Bhagavat Gita mengharuskan kita untuk menjalankan
ajaran-ajaran Sang Kreshna ini dengan konsekuen dan penuh kesadaran, bukan
dengan mencari-cari kesalahan dalam ajaran ini. Bukan juga dengan
menyalah-gunakan ajaran ini untuk maksud-maksud duniawi tertentu. Mengetahui
saja ajaran-ajaran ini tidak cukup, tetapi harus dihayati, dipraktekkan dan
dipelajari secara tekun dan berulang-ulang karena selalu merupakan sumber
inspirasi yang tak ada habis-habisnya bagi diri kita, dan kemudian selalu
diamalkan untuk sesamanya. Tidak berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran ini
lambat laun malahan akan menyesatkan seseorang yang menganut agama Hindu atau
ajaran Sang Kreshna ini.
33. Seorang yang penuh dengan ilmu pun bertindak sesuai
dengan sifat-prakritinya. Setiap makhluk mengikuti sifat-sifatnya
masing-masing. Menentang sifat-sifat ini tidak akan berarti apa-apa!
34. Keterikatan dan rasa-dualistik yang bertentangan pada
obyek-obyek selalu hadir di setiap hal. Janganlah seseorang terbius oleh kedua
hal ini. Karena kedua-duanya adalah musuh dan hambatan-hambatan dalam
perjalanannya,
Adalah kenyataan bahwa kita dilahirkan dengan sifat-sifat
tertentu yang dominan. Tetapi sifat-sifat ini menjadi amat kuat kalau selalu
dikaitkan dengan keterikatan duniawi dan rasa dualistik kita, sehingga sering
misalnya kita menyukai hal-hal yang terlarang dan tidak menyukai
kewajiban-kewajiban tertentu karena terasa tidak menyenangkan untuk dikerjakan.
Semua ini dapat di atasi secara lambat laun kalau mau kita mendisiplinkan dan
belajar secara bersama dengan orang-orang lain tentang hal-hal yang spiritual
dan dengan penuh dedikasi bertindak dan melihat kedalam diri kita sendiri,
Prakriti itu sendiri bukanlah sesuatu kekuatan yang dinamik. Memang betul dalam
kehidupan ini prakriti memainkan peranan yang amat penting dan kuat pengaruhnya
pada kita semua, tetapi selama kita mau menceburkan diri di dalamnya dan mau
terseret oleh arusnya, maka selama itu juga kita akan terbenam di dalam
prakriti ini. Tetapi sekali kita menentangnya maka akan timbul kesadaran untuk
mengatasinya. Mengatasinya tidak dengan berperang dengan prakriti ini, karena
sukar untuk mengalahkannya, tetapi dengan merubah diri kita yang terbenam ini
menjadi ibarat sebuah perahu yang melayarinya. Jadi masih dengan prakriti juga
karena memang tidak bisa lepas darinya selama kita masih hidup, tetapi sudah
tidak terseret lagi tetapi malahan berlayar dengannya sampai ketujuan. Sekali
sudah menyeberang maka selamatlah kita, beginilah orang-orang Hindu
mengibaratkan prakriti, sebagai sebuah sungai yang amat kuat arusnya, yang tak
perlu ditentang tetapi sebaliknya dilayari saja untuk sampai ke tujuan kita,
yaitu Yang Maha Esa.
Keterikatan dan rasa dualistik adalah musuh-musuh kita
yang harus dikalahkan. Caranya adalah dengan karma-yoga, kuasailah rasa
dualistik seperti suka dan tak suka. Organ-organ sensual atau indra-indra kita
dapat dikalahkan oleh tekad yang kuat. Tetapi jangan menelantarkan atau
menjadikan indra-indra kita ini lapar. Tanpa terganggu oleh rasa dualistik ini,
yang hadir dalam berbagai bentuk apapun juga, lakukanlah kewajiban-kewajibanmu.
Kita bukanlah boneka-boneka ditangan sang prakriti. Prakriti hanya bisa
menghambat kebebasan kita tetapi tidak mungkin bisa merampas kebebasan kita
kecuali itu mau kita sendiri. Setiap orang memang hanya bisa mengikuti
alur-alur sifat-sifatnya belaka, tetapi seyogyanyalah seseorang meneliti
dirinya sendiri, melihat sifat-sifat apa saja yang dimilikinya, karena setiap
manusia sebenarnya bersifat balans, ada segi negatif dan positifnya.
Kembangkanlah yang positif dan kurangilah yang negatif. Sia-sia saja melawan
semua itu, sebaiknya menyesuaikan diri dulu, kemudian merubahnya secara
perlahan tetapi pasti.
35. Lebih baik mengerjakan kewajiban atau pekerjaan
(svadbarma) seseorang, walaupun mengerjakannya kurang sempurna, daripada
melakukan kewajiban orang lain, walaupun pelaksanaannya sempurna. Lebih baik
mati dalam mengerjakan kewajiban seseorang. Mengerjakan kewajiban orang lain
itu penuh dengan mara-bahaya.
Adalah lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang
sudah jadi kewajiban kita walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja tidak
sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun dalam
pelaksanaannya mungkin sangat sempurna. Mati dalam melakukan kewajiban kita
adalah sesuatu hal yang agung dan sebaliknya dharma yang seharusnya menjadi hak
orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi kita, seandainya kita
memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat brahmana tidak perlu melakukan
pekerjaan seorang waishya, dan begitupun sebaliknya.
Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai
tinggi-rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha
Esa sama saja sifatnya. Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara
baik dan penuh dedikasi nilainya lebih baik untuk kepuasan batin kita sendiri,
dan secara spiritual berkatanya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya
juga. Seorang tukang sepatu membuat sepatu yang baik, seorang pendeta
mengarahkan umatnya dengan penuh dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah
dengan bijaksana. Jika semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban
dan sifatnya yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan
alasan apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan ini.
Berkatalah Arjuna:
36. Oleh sebab apakah seseorang tertarik untuk berbuat
dosa padahal itu bertentangan dengan pikirannya, oh Kreshna, seakan-akan dihela
oleh daya yang amat kuat?
Arjuna bertanya seperti juga yang sering kita tanyakan
pada diri-sendiri maupun kepada guru-guru kita, mengapa seseorang berbuat dosa
padahal di dalam hatinya mungkin sekali ia tidak ingin melakukan dosa tersebut?
Apa yang ada dibalik semua rahasia ini? Seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang
dahsyat yang menarik manusia untuk terjerumus ke dalam dosa. Apakah manusianya
yang lemah, ataukah memang ada semacam musuh manusia yang tidak terlihat oleh
mata, dan apakah musuh ini dapat dihilangkan atau dikalahkan?
Dalam jawabannya di sloka-sloka mendatang, Sang Kreshna
menunjuk bahwa manusia ini sebenarnya bukan mesin-otomatis. Dharma atau
kewajiban seseorang telah digariskan berdasarkan kehidupan atau karmanya semasa
lampau. Seseorang bisa saja lahir untuk menjadi seorang guru, polisi, pedagang,
tukang-kayu, pendeta, pegawai negeri, atau mengabdi kepada fakir-miskin, dan
sebagainya. Kewajiban itu sudah digariskan, kita harus menemukannya sendiri
sesuai dengan bisikan hati nurani kita. Sedangkan kesucian atau perbuatan dosa
seseorang, kedua hal ini tidak digariskan, jadi terserah kepada orang atau
individu yang bersangkutan untuk memilihnya sendiri, mau berbuat dosa atau hal
yang baik-baik saja. Memang karma dan kehidupan sebelumnya akan cenderung untuk
menentukan jalan yang kita pilih, tetapi Yang Maha Kuasa pun memberikan kita
kekuatan batin, tekad, dan ratio, dan semua ini dapat menentukan jalan apa yang
harus kita ambil. Kalau seseorang maunya tersandung terus, lama kelamaan ia
harus jatuh juga, tetapi kalau tekadnya kuat untuk berjalan lurus, ia tak akan
pernah jatuh, atau kalau jatuh ia akan lebih berhati-hati selanjutnya.
Arjuna bertanya, “mengapa seseorang berbuat dosa padahal
belum tentu ia mau melakukannya,” Sebenarnya hal tersebut tidak benar, setiap
orang yang berbuat dosa sebenarnya di dalam hatinya sudah kalah lebih dahulu
dengan cobaan-cobaan yang dihadapinya, baru kemudian ia terjerumus ke dosa itu.
Seseorang yang dasarnya memang terikat-erat pada benda-benda dan nafsu-nafsu
duniawi ini akan mudah jatuh setiap ada cobaan. Sebaliknya jika ia penuh tekad
untuk bertindak suci dan jauh dari keterikatan duniawi, maka ia akan menang.
Dengan kata lain semuanya itu, sebenarnya kembali ke disiplin manusia itu sendiri.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
37. Keinginan (kama), kemarahan (krodha), yang lahir dari
rajoguna (berbagai ragam nafsu dan keinginan), semua ini serba penuh dengan
keserakahan dan penuh dengan pencemaran. Inilah musuh kita di bumi ini.
Ada dua musuh manusia yang utama di dunia ini, yaitu:
kama atau nafsu dan keinginan, dan yang kedua kemarahan (krodha). Kedua-duanya
ini adalah dua wajah dari sang rajoguna, dan kedua-duanya adalah musuh yang
mematikan bagi manusia. Berhati-hatilah terhadap mereka!
Kita sebaliknya tidak memusatkan pikiran kita pada
hal-hal yang duniawi yang kelihatannya menyenangkan. Sekiranya pikiran selalu
terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan ini, maka akan timbul suatu
pengalaman atau kejadian yang akan membangkitkan nafsu atau keinginan kita,
kemudian timbul hasrat untuk mendapatkan obyek tersebut dan, menguasainya
secara total, dan jatuhlah kita ke dalam cengkraman sang Maya. Dan seandainya
sebaliknya keinginan tersebut tidak tercapai atau kita tidak puas akan hasil
yang tercapai, maka akan timbul rasa amarah, dan rasa amarah ini kalau tidak
terkendali dapat menghancurkan segala-galanya. Cara yang terbaik untuk keluar
dari cobaan kama ini adalah dengan mengembangkan tekad kita ke jalan yang penuh
disiplin dan dedikasi kepada Yang Maha Esa. Bekerja aktif sesuai kewajiban kita
kepada Yang Maha Esa akan banyak menolong kita membentuk tekad itu sendiri, dan
tekad ini akan tumbuh terus dengan tegar di dalam diri kita.
38. Seperti bara-api yang terbungkus oleh asap, seperti
cermin yang terlapis oleh debu dan ibarat embrio (janin bayi) yang terbungkus
oleh kulit perut— begitu juga ini terbungkus oleh itu.
Asap selalu melingkup bara-api, debu selalu menutupi
permukaan kaca atau cermin, dan sang jabang bayi selalu berbungkus oleh kulit
perut ibunya semasa ia masih belum dilahirkan, begitu pun nafsu ini membungkus
Sang Atman kita sehingga tak nampak cahayaNya dari luar.
39. Kebijaksanaan, oh Arjuna, juga terbungkus oleh api
nafsu yang tak terpuaskan ini yang jadi musuh tetap orang-orang yang bijaksana.
Nafsu atau kama yang lapar dapat menjadi musuh dari
mereka-mereka yang bijaksana, karena sering sekali nafsu ini dapat menutupi
sinar Sang Atman yang bersemayam di hati seseorang yang tidak kuat imannya.
Salah satu ucapan Sang Manu (manusia pertama) yang terkenal adalah: “Nafsu
tidak pernah puas oleh obyek-obyek sensual yang didapatkannya. Semakin banyak
yang dicapainya semakin besar ia tumbuh bagaikan bara-api yang tersiram
minyak.”
40. Indra-indra, pikiran dan intelegensia (buddhi) adalah
tempat-tempat nafsu itu bersemayam. Mencegah kebijaksanaan dengan ini, nafsu
menggelapkan sang jiwa yang ada di dalam tubuh.
Apa saja yang dilakukan oleh kama? Kama atau nafsu ini
mencegat selalu di pintu-gerbang indra-indra kita, kemudian kama ini meruntuhkan
benteng pikiran kita dan kemudian masuk ke daerah buddhi (intelegensia) dan
menghancurkan kekuatan batin dan tekad kita. Seorang yang bijaksana akan selalu
menjaga baik-baik gerbang indranya dari segala cobaan. Setiap kenikmatan indra
kita baik itu dari mulut, mata, sex dan sebagainya walaupun sedikit sebaiknya
menjadi lampu-merah dan peringatan akan bahaya, atau sang musuh yang akan
menyelip masuk di saat-saat kita lengah. Begitu kama menguasai segala
indra-indra kita, pikiran kita dan ratio kita, maka seseorang akan menuju ke
arah kehancuran dirinya. Itulah nafsu yang telah menghancurkan banyak
pahlawan-pahlawan besar, orang-orang bijaksana yang tercatat dalam sejarah baik
di Asia, Eropa maupun di mana saja di dunia ini.
41. Seyogyanyalah, oh Arjuna, kendalikan indra-indramu
dan bantailah nafsu berdosa ini yang menghancurkan gnana dan vignana,
Gnana dan vignana telah dijelaskan artinya dalam bab-bab
yang lalu dengan berbagai arti. Disini yang penting adalah bahwa jalan pikiran
kita harus bersih dan murni dalam setiap tindakan yang kita ambil. Jalan
pikiran atau buddhi kita harus dikendalikan dengan baik,atau sang nafsu
keinginan akan segera menghancurkan pengetahuan dan kebijaksanaan (gnana dan
vignana) yang telah kita bina sedikit demi sedikit.
42. Indra-indra kita itu besar kadarnya. Tetapi pikiran
itu lebih besar kadarnya dibandingkan dengan indra-indra itu. Lebih besar lagi
kadar buddhi. Tetapi yang lebih besar lagi kadarnya adalah Ia (Sang Atman, Sang
Inti Jiwa kita).
Jadi bagaimana jalan keluar dari dosa? Serahkan saja yang
lebih ringan kadarnya kepada yang paling berat. Lepaskan semua itu dan
berpalinglah kepada yang paling Inti, dan jalanlah seperti yang selalu
dianjurkan Bhagavat Gita secara berulang-ulang yaitu: Jangan sekali-kali jatuh
pada keinginan atau rasa dualisme yang saling bertentangan seperti suka-duka,
senang-susah, dsb. Dan bertindaklah selalu dalam setiap hal karena rasa
kewajibanmu kepada Yang Maha Esa semata. Bergeraklah dalam kesadaran mulai dari
tangga yang pertama yaitu indra-indra kita dulu, lalu ke pikiran kita, dan
lambat laun dari buddhi ke Sang Atman dan suatu saat kelak ke Yang Maha Esa.
Sekali kita tak terikat lagi pada nafsu-nafsu duniawi dan telah bersih dari
segala kekotoran duniawi, dan sekali kita berubah jernih maka akan terjadi
peleburan diri kita ke Sang Atman dan tahap selanjutnya diantar untuk menyatu
dengan Yang Maha Pencipta.
43. Dengan mengetahui Dirinya (Sang Atman) lebih agung
dari buddhi, maka kuasailah dirimu (strata yang lebih rendah) dengan Dirimu
(Sang Atman, yang lebih tinggi). dan bunuhlah musuhmu yang bernama nafsu ini,
musuh yang sukar untuk dikalahkan.
Musuh dalam bentuk nafsu ini tidak harus dikalahkan saja,
tetapi juga harus dihancurkan. Kalau tidak ia akan kembali sewaktu ia kuat lagi
untuk menyerang kita. Maka jangan sekali-kali lengah begitu anda mengira bahwa
anda sudah kuat, karena musuh yang satu ini sukar untuk dikalahkan. Pasrahkan
dan serahkan dirimu kepadaNya dan bertindaklah selalu tanpa pamrih; tanpa suatu
usaha atau tindakan yang positif maka hidup ini akan gagal. Yang harus
diperhatikan dari sabda-sabda Sang Kreshna ini adalah bahwa sang musuh ini
selalu hadir sebagai musuh dalam selimut dan akan menyerang kita di saat kita
lengah atau merasa kuat. Bersatulah dengan Sang Atman, dan bertekadlah untuk
membantai musuh nomor wahid ini, dan Ia akan menuntunmu ke jalan yang benar.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini
adalah bab ketiga yang disebut Karma yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang
tindakan (atau pekerjaan).
Bab 04 – Doktrin (ajaran) Rahasia
Berkatalah Yang Maha Pengasih:
1. Ilmu pengetahuan yang tak dapat habis ini Kusabdakan
pada Vivasvan; Vivasvan menyabdakannya kepada Manu; dan Manu menyabdakannya
kepada Ikshvaku.
2. Begitulah pada masa yang silam para guru (resi) agung
mengenal ilmu pengetahuan ini, dari satu ke yang lainnya, tetapi dalam kurun
waktu yang lama kemudian, ilmu pengetahuan ini hilang (dilupakan) dari dunia,
oh Arjuna.
Sri Kreshna menyatakan di sini, bahwa Beliaulah Adiguru
yang Pertama yang mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada mereka-mereka
yang pantas menerimanya di masa-masa yang lampau. Yang pantas menerima disebut
adhikari, dan adhikari yang pertama adalah Vivasvan (Batara Surya), Dewa
Cahaya. Dari Vivasvan ajaran ini turun ke Manu (manusia yang pertama) yang
dianggap menjadi cikal-bakal bangsa Aryan. Manu kemudian menurunkan ajaran ini
kepada Ikshvaku, seorang raja Hindu di India pada masa yang amat silam. Ajaran
sejati ini amat kuno sifatnya, tetapi amat relevan sampai masa kini, dan hanya
diajarkan kepada para adhikari yang terpilih. Itu sudah suatu ketentuan
spiritual Ilahi. Para guru atau resi-resi yang agung dan suci, para pemikir
atau filsuf dan raja-raja di masa silam menjadikan ajaran ini sebagai pegangan
hidup mereka, sampai suatu saat dimana manusia melupakan ajaran ini.
3. Dan yoga (ilmu pengetahuan) yang sama ini Kubukakan
kepadamu hari ini, karena dikau adalah pemujaKu dan sahabatKu. Inilah rahasia yang
amat agung sifatnya.
Berkatalah Arjuna:
4. Kelahiran Dikau berlangsung kemudian, sedangkan
Vivasvan terlahir lebih awal. Lalu bagaimana mungkin daku dapat memahami bahwa
Dikaulah yang pertama kali menyabdakan yoga ini pada masa awal dunia ini
dibentuk?
Tentu saja Arjuna kebingungan, karena menurut pengetahuan
duniawinya Sang Kreshna yang sebenarnya adalah pamannya sendiri berasal atau
lahir pada kurun waktu yang sama dengannya, sedangkan Vivasvan atau Batara
Surya lahir berjuta-juta tahun yang silam. Lalu bagaimana mungkin Sang Kreshna
mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada Vivasvan pada awal mula
terbentuknya sistim tata-surya itu. Sebagai balasan atas pertanyaan ini, Sang
Kreshna pun mengajarkan mengenai inkarnasi (avatarvad) dalam ajaranNya yang
agung di bawah ini.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
5. Banyak kelahiran yang telah Kualami dan juga olehmu,
oh Arjuna! Aku mengetahui semua itu, tetapi engkau tak pernah tahu akan
kelahiran-kelahiran itu.
Kelahiran Sang Kreshna tidak seperti kelahiran manusia
biasa, kelahiranNya bebas dari segala nafsu dan keinginan duniawi, dari segala
karma dan selalu dimaksudkan untuk suatu tujuan yang agung dan suci, yaitu
penyelamatan makhluk-makhluk dan dunia ciptaanNya. Sebaliknya jiwa manusia
selalu dibatasi oleh hadirnya ketiga guna (sifat prakriti), dan akibatnya tak
pernah bisa ingat akan masa atau kehidupannya yang lampau. Dilain sisi, raga
kita ini harus menjalani karmanya. Tetapi bagi Yang Maha Esa, tak ada masa
lampau, masa sekarang atau masa yang akan datang. Baginya semua adalah
sekarang, karena Ia hadir sepanjang waktu, dan kelahiranNya sebagai manusia
atau makhluk di bumi ini selalu karena terdorong faktor KasihNya pada
makhluk-makhluk yang harus dilindungiNya.
6. Walaupun Aku tak pernah dilahirkan dan DiriKu tak
terbinasakan, dan walaupun Akulah Pencipta (Penguasa) semua makhluk;
menghadirkan DiriKu kedalam SifatKu, Aku lahir melalui kekuatanKu.
Ia tak pernah lahir dan tak dapat dibinasakan. la juga
Pencipta semua makhluk dan alam semesta ini, dan la juga yang mengendalikan
Sang Maya dan bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya yang bebas, dengan
kekuatanNya semata. Yang Maha Pencipta ini sempurna dalam segala hal, tetapi
mau juga Ia bereinkarnasi sebagai manusia yang sifat-sifatnya tidak sempurna
dan penuh dengan keinginan-keinginan duniawi. Sebenarnya tidak pantas ditinjau
dari sudut duniawi untukNya menjadi manusia tetapi Ia melakukannya juga demi
makhluk-makhluk dan manusia yang dikasihNya. Inilah kebesaranNya.
Di dalam salah satu pustaka kuno Hindu yang disebut
Bhagavatta dapat kita baca kelahiran Sang Kreshna sebagai manusia itu ibarat
terbitnya bulan purnama di ufuk timur. Jadi seperti sesuatu episode yang sudah
direncanakan secara khusus dan indah, dan bukan karena suatu efek karma.
7. Pada saat-saat dharma (kebenaran) turun ke titik yang
rendah, dan kezaliman (tindakan adharma) menanjak mencapai puncaknya, maka
Kuproyeksikanlah DiriKu.
Dikala adharma mengalahkan dharma, dan suatu saat manusia
mencapai puncak dari kejahatannya, dan dunia penuh dengan kezaliman dan rasa
keangkara-murkaan, maka Yang Maha Pengasih pun lalu memanifestasikan DiriNya,
dalam bentuk manusia atau makhluk lainnya untuk kemudian meluruskan lagi
jalannya Sang Dharma dengan ajaran-ajaran atau tindakan-tindakannya.
Contoh-contoh ini banyak terdapat dalam pustaka-pustaka Hindu Kuno, seperti
Sang Rama yang menghancurkan keangkara-murkaan sang Rahwana, dan lain
sebagainya. Semua ini dilakukan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan
manusia dari kehancuran moral secara total.
Dalam sloka ini Sang Kreshna mengucapkan kata,
“Kuproyeksikan DiriKu . . . ,” ini berarti Sang Kreshna atau Yang Maha Esa
turun ke bumi ini, yang lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan tempat la
bersemayam. Karena kasihNya kepada kita agar dapat bangkit lagi ke jalan yang
benar, jalan dharma yang lurus dan suci. la turun sebagai titisan dari Sang
Hyang Vishnu dari masa ke masa. Inilah Kasih-Ilahi yang selalu tulus untuk
manusia dan segala makhluk-makhlukNya di alam semesta ciptaanNya ini. Om Tat
Sat.
8. Demi membela kebaikan, demi hancurnya yang zalim, dan
demi teguhnya kebenaran, Aku selalu lahir dari masa ke masa.
Ia selalu menghukum yang jahat dan yang zalim dari masa
ke masa, tetapi hukumanNya ini pun penuh dengan hikmah, penuh dengan
kasih-sayangNya, karena sebenarnya dengan menghukum ini Ia menginginkan agar
mereka-mereka yang tersesat ini kembali ke jalan dharma yang lurus dan suci.
Hukuman dariNya sebenarnya dapat disiratkan sebagai suatu karunia yang
terselubung bagi yang berdosa. Karena seyogyanyalah setelah selesai menjalani
masa-hukumannya maka seseorang seharusnya sadar dan kembali ke jalan yang
benar. Bayangkan kalau seseorang tidak dihukum untuk mempertanggung-jawabkan
kesalahan-kesalahannya, atau dihukum secara abadi tanpa ampun, maka habislah harapan
orang tersebut untuk bertobat atau kembali ke jalan yang benar.
Berbeda mungkin dengan ajaran-ajaran yang lain, maka
dalam agama Hindu, Yang Maha Esa selalu hadir dari masa ke masa untuk
menyelamatkan evolusi manusia ini dan mengarahkan lagi umat manusia ke jalan
yang benar, baik itu dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Bhagavat Gita
sebenarnya kalau ditelaah dengan baik adalah suatu ajaran yang penuh dengan
harapan untuk mereka-mereka yang salah jalan; penuh dengan pengampunan dan
Kasih-Ilahi yang tak terbatas. Om Tat Sat.
9. Barangsiapa mengetahui hal ini (Maksud Sang Kreshna:
Kelahiran dan PekerjaanNya yang Suci ini) secara benar, maka ia tak akan lahir
kembali setelah meninggalkan raganya, tetapi ia datang kepadaKu, oh Arjuna!
10. Bebas dari nafsu, ketakutkan dan kemarahan; penuh
dengan DiriKu, berserah total kepadaKu, bersih oleh kebijaksanaan yang penuh
disiplin dan dedikasi… maka banyak orang-orang semacam ini yang telah mendapat
DiriKu.
Setiap menitis (atau reinkarnasi) misiNya sudah jelas,
yaitu mengajak kita manusia untuk bersatu lagi dengan Yang Maha Esa, agar lepas
dari beban lahir dan mati di dunia ini. Seseorang yang sudah lepas dari nafsu
dan rasa amarah adalah yang jiwanya sudah penuh dengan Kenikmatan Ilahi. Orang
semacam ini kalau melepaskan raganya akan lepas dari perputaran karma, dan
langsung menyatu dengan PenciptaNya (madbhava magatah).
Sang Kreshna tidak saja lahir sebagai manusia, sering
sekali Ia pun datang kepada kita pada saat-saat tertentu dalam hidup setiap
individu yang membutuhkanNya, yang memujaNya secara tulus dan tanpa pamrih. Ia
datang dan berbisik, menuntun ke arah yang benar, sering sekali jalan dan cara
menuntunNya ini terasa aneh, misterius dan tak masuk akal, tetapi dibalik itu
semua selalu tersembunyi hikmah dan akhir yang baik untuk sang pemuja ini. Bagi
yang menyayangiNya dan yang disayangiNya maka bersihlah jiwa orang ini lambat
laun dan akhirnya bersatu dengan DiriNya. Om Tat Sat.
11. Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu,
Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang
di setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!
Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil
seseorang untuk mencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap
manusia menurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yang
diinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan itu berdiri Yang
Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan itu akan berakhir pada suatu
ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bedakan oleh Sang Kreshna atau Yang
Maha Esa, karena tujuannya baik, yaitu ke arahNya semata, walaupun dalam
pengertiannya manusia sering salah mengartikannya.
Bagi seorang Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap
Yang Maha Esa dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dan
tidak ada alasan lain untuk merubah atau mempengaruhi orang yang beragama atau
berkepercayaan lain untuk masuk ke agama Hindu. Seorang Hindu yang baik akan
selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempat pemujaan agama lain, karena
baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuan yang Satu, yaitu jalannya Yang
Maha Esa.
12. Mereka yang mengingini sukses di muka bumi ini
memberikan pengorbanan kepada para dewa (dan merekapun mendapatkan imbalan dari
para dewa), karena di dunia ini sesuatu tindakan itu cepat mendapatkan
tanggapan (hasil).
Tidak semua orang mau maju ke arah Yang Maha Esa, banyak
yang memuja para dewa agar dipenuhi keinginan duniawi mereka, dan para dewa ini
pun segera memberikan tanggapan atau respons kepada para pemuja-pemuja mereka
ini dan memenuhi permintaan mereka. Sebenarnya para pemuja ini secara tidak
langsung dan tidak sadar memujaNya juga melalui proses yang panjang. Suatu
waktu kemudian di dalam hati mereka nanti akan timbul suatu kesadaran akan perlunya
Yang Maha Esa dan mereka pun mencari dan memujaNya secara tulus dan penuh
kesadaran. Yang Maha Esa dalam Bhagavat Gita tidak melarang seseorang untuk
memuja para dewa, karena para dewa juga datang dan berasal dariNya. Semua ini
hanya merupakan suatu proses panjang dalam tahap-tahap evolusi kehidupan
manusia itu sendiri, bermula pada pemujaan kepada para dewa untuk maksud-maksud
tertentu dan setelah itu berakhir dengan kesadaran penuh dan tulus bahwa
seharusnya yang dipuja adalah Yang Maha Esa itu sendiri tanpa perlu melalui
jalan yang panjang. Seharusnyalah Bhagavat Gita menyadarkan kita semua agar
tidak lagi melalui dedikasi yang tulus, sesuai dengan ajaran-ajaran Sang
Kreshna ini kita bisa langsung menuju ke arahNya.
13. Kuciptakan keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam),
sesuai dengan pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja).
Walaupun Aku yang mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapi ketahuilah
bahwa Aku tidak bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat).
Keempat varna adalah empat tipe kehidupan, masing-masing
merupakan produk asli dari pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah
ada semenjak ia dilahirkan. Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada
yang ingin menjadi tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan
ada yang memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenarnya adalah manifestasi
dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya.
Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam masing-masing
individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang memilih
menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra, dan semua ini bukanlah seperti
anggapan atau tradisi yang salah yang berlaku selama ini, yaitu seorang
ditentukan kastanya karena status atau garis keturunnya, tetapi kastanya
ditentukan kemudian setelah ia menentukan dengan sadar garis dan tujuan
hidupnya dan sebagai apa ia akan bekerja sesuai dengan bakat dan kemauannya
yang sejati.
Sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah pembagian
kerja dengan konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat.
Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan
pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang
mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orang-orang
luar. Di satu pihak orang-orang Hindu menjunjung tinggi nilai-nilai Sang Atman
dan yakin terdapat satu Atman yang sama di dalam semua makhluk, di lain sisi
banyak orang Hindu yang memutar-balikkan fakta-fakta tentang kasta ini dan
menimbulkan diskriminasi sosial yang rawan. Sistim yang sebenarnya diciptakan
untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat ini seharusnya dijalankan secara sejati
dengan membiarkan seseorang untuk memilih profesi kesukaannya secara sama
derajatnya dengan profesi-profesi lainnya. Konsep Sang Kreshna bukanlah
meninggi atau merendahkan derajat seseorang tetapi secara demokratis membiarkan
setiap individu berkehendak masing-masing. Karena bisa saja seseorang yang
lahir dengan kasta Brahmana secara duniawi ini mempunyai jiwa patriotik dan
ingin mengabdi sebagai seorang keshatria dan begitu pun sebaliknya. Semua
manusia didasarkan pada karma, sifat-sifat prakriti dan jalan hidupnya, bukan
berdasarkan pada sistim kasta yang diskriminatif, atau jenis kelamin yang
berbeda. Yang Maha Esa sendiri di sloka ini menegaskan bahwa la sendiri
walaupun sebagai pencipta sistim kasta ini tidak terlibat pada sistim ini
maupun pada sifat-sifat prakriti.
14. Tidak ada tindakan yang dapat mengotoriKu; dan tidak
pula Aku mengingini suatu imbalan dari suatu tindakan. Barangsiapa yang
mengenalKu seperti itu tak akan terikat oleh karma (aksi).
Sang Kreshna menerangkan sebuah paradox di sloka ini,
yaitu tanpa bekerja pun Ia tetap saja mampu menciptakan karma dan guna. Tetapi
setiap tindakanNya tidak seperti tindakan manusia yang selalu mengharapkan
sesuatu pamrih untuk setiap tindakannya. Bagi Sang Kreshna setiap tindakan
adalah cetusan dari rasa Kasih-SayangNya terhadap manusia atau makhluk-makhluk
lainnya. Dan tidak ada satu pun dari tindakanNya ini yang dapat mengikatnya ke
jalur karma karena Ia memang tidak terikat oleh karma yang diperuntukkan untuk
manusia dan makhluk-makhluk di dunia ini. Dan barangsiapa menyadari akan status
Sang Kreshna yang unik ini, maka orang yang sadar ini akan lepas juga dari
lingkaran karma (hidup dan mati) ini. Sebenarnya Yang Maha Kuasa adalah dasar
dari setiap tindakan kita, tetapi di mata manusia Ia tak pernah terlihat bahkan
sukar untuk disadari kehadiranNya di dalam diri kita karena kegelapan yang
menyelubungi diri dan jiwa kita. Walaupun Ia bertindak melalui diri kita, Ia
sendiri sebenarnya tidak terlibat atau terpengaruh oleh tindakan-tindakan ini,
yang merupakan tindakanNya Sendiri.
15. Mengetahui akan hal ini maka orang-orang dahulu kala
telah bertindak sesuai dengan hal tersebut. Maka seyogyayalah dikau pun
bertindak seperti orang-orang di masa silam ini.
16. Apakah aksi (tindakan) itu? Dan apakan tidak
bertindak (akarma)? Kaum yang bijaksana pun kalut memikirkannya. Dengan ini
akan Kuberitahukan kepadamu apakah aksi itu; dengan mengetahuinya engkau dapat
terhindar dari dosa (kesalahan).
17. Seseorang seharusnya tahu apakah aksi itu (perbedaan
antara satu aksi dengan yang lainnya), dan aksi apakah yang salah sifatnya
(vikarma) dan apakah non-aksi (akarma) yang sebenamya.
Ketiga bentuk hal tersebut di atas harus diketahui secara
benar agar tidak terjadi penyalahgunaan tindakan oleh yang tidak mengerti atau
yang tidak mau mengerti dan memutar-balikkan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini.
Pekerjaan atau aksi apa saja yang benar dan harus dilakukan seseorang dalam
hidupnya, dan apa saja yang harus dihindarkannya, dan bagaimanakah seseorang
harus bertindak agar mencapai suatu bentuk aksi dalam non-aksi misalnya?
18. Seseorang yang melihat non-aksi di dalam aksi, dan
aksi di dalam non-aksi, maka diantara manusia orang ini disebut bijaksana
(buddhiman). Hidupnya penuh dengan keharmonisan (yutkah), walaupun ia selalu
penuh dengan berbagai aksi (atau perbuatan dan tindakan).
Seseorang yang tenang ditengah-tengah aktivitasnya, dan
aktif dalam ketenangannya adalah seorang yang bijaksana. Dalam setiap
tindakannya ia selalu secara stabil dan tenang bersandar pada Sang Atman yang
bersemayam di dalam dirinya, dan untuk setiap pekerjaan atau tindakannya ia tak
pernah mengharapkan sesuatu pamrih, jadi walaupun bekerja ia sebenarnya “tidak
bekerja.” Karena setiap tindakan atau perbuatannya sekecil apapun juga selalu
menjadi sembahan bagi Yang Maha Esa, ia selalu melakukan pengorbanan atau
pekerjaan demi dan untukNya semata (ini disebut yagna atau aksi yang
sebenarnya).
Acapkali kalau kita naik kereta-api atau kendaraan lain,
maka pepohonan di kiri dan kanan kita seakan-akan bergerak padahal yang
bergerak adalah kendaraan yang kita tumpangi. Jadi yang nampak adalah ilusi.
Sebaiknya kita pun dalam setiap tindakan kita berprinsip bahwa pekerjaan yang
kita lakukan itu sebenarnya adalah ilusi, dan kita sendiri sebenarnya tidak
bekerja.
Dalam aksi marilah kita lihat non-aksi, dan dalam non-aksi
kita praktekkan aksi. Non-aksi (akarma) sejati tidak berarti tidak bekerja
sama-sekali. Misalnya kalau ada tetangga yang amat miskin sedang membutuhkan
sesuatu bantuan, dan walaupun ia tidak memintanya, seharusnya kita tidak
diam-diam saja tidak berbuat sesuatu kalau memang kita mampu melakukan sesuatu
untuknya; berdiam-diam saja tak mau tahu itu bukan non-aksi tetapi adalah
vikarma (aksi yang salah). Akarma atau non-aksi yang sejati itu penuh dengan
keharmonisan jiwa sang pelaku, orang semacam ini selalu nampak tenang dan tidak
tergesa-gesa dalam setiap tindakannya. Akarma yang sejati selalu penuh dengan
kepasrahan total yang tulus kepadaNya, dan ciri-ciri khas dari tindakan akarma
yang sejati ini selalu merupakan tindakan yang positif bagi sesamanya, walaupun
secara duniawi bisa saja ia disalahkan. Tetapi secara moral tindakan manusia
semacam ini selalu bermotifkan kemanusiaan yang agung sifatnya.
Raja Janaka dan Suka adalah contoh dari dua orang manusia
agung di masa yang silam, yang betul-betul mempraktekkan ajaran ini, dan selalu
melihat aksi dalam non-aksi dan non-aksi dalam aksi. Non-aksi yang sejati akan
melepaskan diri seseorang dari semua nafsu-nafsu dan cinta duniawinya, juga
dari rasa egoisme pribadi tanpa kehilangan tanggung-jawab untuk setiap
kewajiban dan pekerjaannya. Inilah yang disebut pasrah total kepadaNya secara
spiritual.
19. Seseorang yang bertindak bebas dari segala bentuk
nafsu (kama sankalpa), seseorang yang setiap tindakannya terbakar bersih oleh
api kebijaksanaan (gnana-agni) — orang semacam inilah oleh orang-orang yang
bijaksana, disebut seorang pandita (seorang yang suci, yang sadar akan
pengetahuan yang sebenarnya).
Sankalpa adalah rasa egoisme, dan merupakan dasar dari
kama dan nafsu. Pandit atau pandita adalah seorang yang bekerja demi dunia dan
sesamanya (loka-sangraho) di dunia ini, dan hanya merasa cukup dengan apa yang
didapatkannya untuk dirinya, sekedar untuk pakai dan makan saja, itu pun
sebagai kelangsungan hidupnya demi Yang Maha Esa.
Gnana-agni adalah api ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
apakah itu ? Ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa setiap tindakan sebaiknya
dikerjakan tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi dan berdasarkan pada
penerangan Sang Atman yang ada dalam diri kita sendiri. Api dari ilmu pengetahuan
ini akan membersihkan semua tindakan kita dan membunuh nafsu-nafsu duniawi kita
yang selalu butuh imbalan atau pamrih. Pandita semacam ini amat bijaksana,
karena ia melihat aksi dalam non-aksi. Raga dan pikirannya selalu bekerja demi
Yang Maha Esa dan sesamanya, tetapi untuk dirinya sendiri ia tak pernah
bekerja.
20. Seseorang yang telah menanggalkan rasa-keterikatannya
pada setiap tindakannya, selalu merasa cukup dengan apa adanya, tidak bersandar
pada orang lain, orang semacam ini tidak melakukan apa-apa walaupun ia selalu
aktif bekerja.
21. Tidak mengharapkan apapun juga, hati dan dirinya
terkendali, menanggalkan semua keserakahannya, dan bekerja dengan raganya saja
– orang semacam ini tidak bertindak dosa.
22. Selalu merasa cukup dengan yang didapatkannya, bebas
dari rasa dualisme yang bertentangan (dvandas), tanpa rasa iri atau cemburu,
bersikap sama (balans) untuk setiap sukses atau kegagalan – walaupun ia bekerja
ia tak terikat.
Orang semacam ini menerima apa saja dalam hidupnya dengan
rasa tentram, tenang, damai dan selalu merasa cukup dengan apa adanya. Suka dan
duka, sukses dan kegagalan, rugi dan untung, lahir dan mati, dianggap sama saja
olehnya. Tak pernah ia merasa iri, dengki atau cemburu melihat kesuksesan atau
kekayaan atau pun kejayaan orang lain. Baginya apa saja yang diberikan oleh
Yang Maha Esa terasa cukup dan selalu ia haturkan terima-kasih kepadaNya untuk
segala-galanya baik suka maupun duka. Semua tindakan orang semacam ini tak akan
mengikatnya lagi ke dunia yang fana ini, karena orang semacam ini telah
mendapatkan Karunia Ilahi yang tak terhingga dalam bentuk ketentraman batin dan
spiritual.
23. Seorang yang keterikatannya telah mati, yang telah
bebas dari duniawi (mukta), pikirannya telah teguh berdiri dalam kebijaksanaan,
yang mengerjakan pekerjaannya sebagai persembahan — maka mencairlah semua
tindakan orang semacam ini.
Sang Kreshna berulang-ulang menekankan di Bhagavat Gita
bagaimana seseorang dapat lepas dari kegelapan duniawi ini, yaitu dengan
melakukan suatu atau setiap tindakannya berdasarkan rasa tanpa pamrih. Atau
dengan kata lain semua pekerjaan yang kita lakukan haruslah berbentuk
persembahan bagiNya. Rasa ego kita selalu mengatakan ini punyaku dan itu
pekerjaan hasil kerjaku, sehingga yang tercipta selalu adalah suatu keterikatan
duniawi, dimana kita sendiri terikat dengan ke-aku-an ciptaan kita sendiri.
Padahal semua ini bukan milik kita, karena dari mana kita datang dan kemana
kita akan pergi pun sebenarnya tidak ada manusia yang mengetahuinya secara
pasti. Yang hadir hanyalah ilusi, dan tanpa kehendakNya tak ada yang mungkin
bisa terjadi. Jadi sebaiknya secara sadar bekerjalah selalu secara aktif,
tetapi jadikanlah pekerjaan itu sebagai suatu yagna (persembahan atau ibadah
pengorbanan) baginya.
24. Seseorang yang terpikir bahwa tindakan pengorbanan
itu Tuhan adanya. Yang dikorbankannya juga Tuhan. Dan oleh Tuhan pengorbanan
itu dikorbankan ke Api Tuhan. Maka ke Tuhan jugalah pergi orang yang sadar akan
Ketuhanan dalam pekerjaannya.
Sloka di atas ini merupakan suatu pesan yang amat dalam
artinya. Secara amat sederhana dapat diartikan bahwa apa yang kita kerjakan,
yang kita lihat, yang kita korbankan adalah Ia juga. Jadi semuanya di dunia ini
berasal dari Ia, untuk Ia, dan oleh Ia. Jadi dalam segala hal sebenarnya hadir
Yang Maha Esa, dan tanpa la tak ada apapun di dunia ini. Secara langsung
menurut Bhagavat Gita, semua itu Ia juga adanya. Seorang yang secara sejati
bekerja demi Yang Maha Esa akan dapat melihat fakta ini dalam setiap
tindakannya. (Biasanya sloka di atas ini dipakai oleh orang-orang Hindu sebelum
menyantap makanan mereka).
25. Sementara yogin (para pemuja) mempersembahkan sesajen
kepada para dewa, (tetapi) ada juga sementara yogin yang mempersembahkan “diri”
mereka ke Api nan Agung.
Ada pemuja-pemuja yang membakar sesajen di bara-api,
menaikkan puja-puji bagi para dewa agar diberikan kepada mereka imbalan-imbalan
tertentu. Tetapi ada juga pemuja-pemuja yang mempersembahkan ego diri mereka
sendiri ke Api Abadi Sang Maha Kuasa (Sang Brahman). Para pemuja ini mempersembahkan
semua tindakan mereka kepada Yang Maha Esa dengan tulus dan tanpa mengharapkan
sesuatu imbalan. Mereka berkata terjadilah kehendakNya sesuai dengan
kehendakNya.
26. Ada pemuja yang mempersembahkan pendengaran dan
indra-indra lainnya ke api pengorbanan (menjauhi kontak-kontak sensual
indra-indra mereka dari obyek-obyek indra-indra ini). Ada yang mempersembahkan
suara dan obyek-obyek sensual mereka ke api indra-indra mereka.
Banyak pemuja yang mengorbankan pendengaran mereka dan
juga indra-indra lainnya dari kontak-kontak sensual indra-indra ini dengan
obyek-obyek kontaknya. Usaha ini sebagai disiplin pribadi mereka dalam
mengekang atau mengendalikan kegiatan-kegiatan indra-indra mereka seperti
mulut, hidung, kuping, dan organ-organ seksual mereka. Disiplin ini dimaksud
untuk pemujaan kepada Sang Atman yang bersemayam di dalam diri mereka
masing-masing.
27. Ada juga pemuja yang mempersembahkan semua
tindakan-tindakan indra-indra mereka dan semua fungsi tenaga vital (prana)
mereka ke api yoga pengendalian yang diterangi oleh ilmu pengetahuan (gnana).
28. Tetapi ada juga yang mepersembahkan harta-benda mereka
atau, dengan menyakiti diri mereka sendiri, atau dengan disiplin yoga;
sedangkan mereka yang mempunyai tekad (atau iman) yang kuat mempersembahkan
pengetahuan dan ajaran mereka sebagai pengorbanan mereka.
29. Ada lagi mereka yang penuh dedikasi dalam pengendalian
nafas (pranayama), yang mengendalikan jalan prana (nafas) yang dikeluarkan dan
jalan apana (nafas yang dimasukkan), dan mengalirkan prana ke apana dan apana
ke prana, sebagai persembahan mereka.
30. Ada lagi yang sangat membatasi makanan mereka dan
mengalirkan nafas kehidupan (prana) mereka ke dalam prana mereka sebagai
persembahan. Mereka semua ini tahu apa arti dari pengorbanan, dan dengan
pengorbanan mereka menghapus dosa-dosa mereka.
31. Mereka-mereka yang memakan sisa-sisa makanan suci
yang tersisa dari suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Sang
Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau
mempersembahkan suatu pengorbanan, apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna.
32. Begitulah banyak ragam cara pengorbanan yang
dipersembahkan dihadapan Yang Maha Abadi (cara-cara untuk mencapai Tuhan Yang
Maha Esa). Dan ketahuilah dikau bahwa semua itu lahir dari tindakan (atau
perbuatan). Dengan mengetahui hal ini dikau akan bebas.
33. Lebih baik dari pengorbanan materi adalah
gnana-yagna, yaitu pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan, oh Arjuna! Karena
semua tindakan, tanpa kecuali memuncak dalam kebijaksanaan (pengetahuan).
Sang Kreshna menyebut berbagai cara persembahan atau
pengorbanan yang dilakukan manusia kepadaNya. Semua yagna ini timbul
berdasarkan tingkat kesadaran manusia-manusia itu sendiri berdasarkan evolusi
manusia itu sendiri dalam hidup ini. Setiap manusia berdasarkan sifat-sifat
prakritinya membentuk varna (tujuan hidupnya sendiri) secara pribadi masing-masing
dan kemudian mempersembahkan pengorbanan kepada Yang Maha Esa sesuai dengan
kondisi-kondisi yang disandangnya ini.
Ada yang mengendalikan pendengaran mereka dengan tapasya
(displin diri berupa tapa atau meditasi) yang ketat. Ada yang melepaskan semua
selera-selera indra mereka dan menjauhi obyek-obyek duniawi ini. Ada yang
mempersembahkan harta-benda mereka, ada juga yang mempersembahkan berbagai
tindakan atau kegiatan spiritual seperti meditasi, swadhaya (membaca secara
hening), ilmu, prananyama (pengendalian nafas), dan ada yang mengendalikan cara
makan mereka dengan berpuasa atau berpantang sesuatu seperti daging atau benda
hidup, dan lain sebagainya. Semua pengorbanan ini kalau dilaksanakan secara
tulus akan mengantar seseorang ke arah jalan yang benar, dan semua pengorbanan
ini merupakan tangga-tangga ke arah kebebasan karma-karma kita. Semua tindakan
pengorbanan ini lahir dari karma (aksi) dan oleh orang-orang sadar banyak
dilakukan untuk upaya pembersihan diri guna mencapai Yang Maha Esa. Dan barangsiapa
dengan jujur, tulus dan tanpa pamrih bekerja demi Yang Esa maka lambat laun
seluruh upaya-upayanya akan terpusat kepadaNya semata. Seluruh tindak-tanduk
maupun perbuatannya kemudian akan dikerjakannya secara otomatis dan tanpa sadar
demi Yang Maha Esa, dan sesudah itu secara sadar.
Tetapi pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan
(gnana-yoga) adalah dianggap sebagai pengorbanan yang suci untuk Yang Maha Esa,
dan pengorbanan ini nilainya lebih tinggi dan luhur dibandingkan dengan
pengorbanan-pengorbanan bentuk lainnya. Tetapi jangan menganggap remeh atau
rendah bentuk-bentuk pengorbanan yang lainnya, karena semua itu hanya merupakan
tangga-tangga dalam evolusi seorang pemuja ke arah spiritual yang lebih tinggi
sifatnya. Secara otomatis, bagi seorang pemuja yang tulus semuanya akan diatur
olehNya.
Lalu pasti ada yang bertanya mengapa gnana lebih tinggi
dari karma? Karena karma selalu menghasilkan imbalan atau pamrih, sedangkan
gnana (pengetahuan atau kebijaksanaan) sekali tercapai akan menuju ke Yang Maha
Esa, karena gnana yang lulus itu berdasarkan tanpa pamrih. Dalam kebijaksanaan
terdapat kebaikan atau kebebasan dari duniawi ini untuk kita semuanya.
Orang-orang bijaksana tak akan mcnyimpan ilmu pengetahuannya untuk dirinya
saja, tetapi akan membagi-bagikannya kepada yang lain-lain agar tercapai
kesentosaan untuk semuanya, dan semua itu dilakukannya tanpa pamrih. Karena
sudah merupakan kewajiban orang-orang bijaksana ini untuk membantu sesamanya
untuk menyeberangi lautan luas duniawi ini ke ujung pantainya Yang Maha Esa.
Inilah gnana-yagna, yaitu pengorbanan agung dan suci ilmu pengetahuan sejati
mereka demi Yang Maha Esa.
34. Pelajarilah kebijaksanaan dengan merendahkan-diri,
dengan bertanya (studi) dan dengan bekerja demi seorang guru yang bijaksana).
Orang-orang yang bijaksana yang telah melihat Kebenaran – akan mengajarimu
dengan penuh kebijaksanaan.
Kebijaksanaan akan diajarkan oleh mereka-mereka yang
telah mencapai kebijaksanaan ini, yang penting bagi seorang yang ingin
mempelajarinya adalah dengan mengikuti tiga faktor berikut ini: pertama, harus
memiliki rasa rendah-diri (pranipaia) dalam segala hal, dan ia akan dapat
banyak belajar dari seorang guru yang bijaksana. Kedua disebut pariprashna,
yaitu dengan studi atau penyelidikan yang seksama. la harus mencari sendiri
kebijaksanaan ini dengan aktif dan dengan rajin mempelajari ajaran-ajaran para
gurunya. Untuk mengerti sendiri arti dari kebijaksanaan ini haruslah
menghayatinya secara pribadi. Ketiga, Seva, yaitu bekerja demi sang guru
spiritual ini, yaitu sifatnya melayani segala kebutuhan hidup sang guru dengan
bekerja untuknya tanpa pamrih, dan menganggap sang guru ini sebagai
orang-tuanya sendiri yang harus diperhatikan segala bentuk kehidupannya.
Seorang guru yang baik dan tulus sebaliknya akan selalu menolak bakti dari
muridnya secara halus, tetapi sang murid harus sadar akan kewajibannya, karena
inilah salah satu tangga dari bakti kepada Yang Maha Esa dan sesamanya di dunia
ini.
Sebenarnya Guru yang sejati yang disebut Adhi Guru ada
dan bersemayam di dalam diri kita masing-masing, tetapi sebagai manusia kita
lebih condong kepada bentuk duniawi daripada mendengar suara hati nurani kita
sendiri, sehingga selalu diperlukan seorang guru spiritual pada awalnya untuk
kita semua agar kita dapat lebih memahami apa yang sedang kita pelajari. Pada
tahap lanjut nanti seorang guru spiritual hanya berfungsi sebagai jembatan, dan
mengantarkan kita ke Sang Adhi Guru yang sebenarnya tidak jauh berada dari kita
semua.
Sebenarnya dalam kepercayaan agama Hindu, seorang yang
tulus dan ingin menuju ke jalan Yang Maha Esa, tidak perlu kesana-kemari secara
mati-matian untuk mencari seorang guru spiritual baginya. Yang penting adalah
menyiapkan diri dan batinnya secara tulus dan memohon kepada Yang Maha Esa agar
dituntun jalannya, maka pada bentuk seorang guru dan membimbingnya kearah Yang
Maha Esa. Percaya atau tidak, tetapi seorang guru spiritual pasti akan datang
atau bertemu sendiri dengan murid pilihannya sendiri pada suatu waktu yang
tepat. Seorang pemuja yang tulus dengan ini bukan berarti lalu diam-diam saja;
tidak, ia harus berusaha dengan tulus untuk menemukan guru ini, tetapi semuanya
akan terjadi pada saatnya yang tepat. Kemudian kalau ini terjadi belajarlah
sang murid dengan tulus dan penuh dengan kerendahan hatinya, dan pada suatu
waktu yang tepat sang guru ini akan menurunkan kebijaksanaannya kepada sang
murid ini. Ada guru-guru yang begitu luar biasa kharismanya sehingga dalam
sekejap dapat membuka pintu hati sang murid dengan satu sentuhan spiritual
saja. Semua ini tentunya berdasarkan persiapan mental yang tulus dari sang
murid dan atas berkah Yang Maha Esa semata. Sebenarnya semuanya sudah diatur
olehNya juga, tidak lebih dan tidak kurang. Om Tat Sat.
35. Dan setelah mengenal kebijaksanaan ini (gnana) dikau,
oh Arjuna, tak akan jatuh lagi kedalam kekalutan. Karena dalam kebijaksanaan
ini, dikau akan melihat semua makhluk, tanpa kecuali, berintikan pada Sang
Atman, dan lalu dalam DiriKu.
Kebijaksanaan ini sebenarnya adalah ilmu pengetahuan
spiritual, ilmu pengetahuan yang sejati yang membuka kenyataan tentang kesatuan
antara kita dengan Yang Maha Esa. Kesatuan antara semua makhluk dengan Sang
Atman, dengan jiwa kita, dengan Yang Maha Esa. Dan kalau suatu waktu kita
betul-betul sadar sendiri akan kesatuan ini, maka tercapailah kesadaran-diri
atau kesadaran akan hadirNya dan kesatuanNya Yang Maha Esa dengan diri kita.
Kebijaksanaan ini adalah melihat atau mengerti dalam arti
yang sebenarnya, bahwa semua di dunia ini jatuh dalam satu garis atau suatu
kesatuan, yaitu Yang Maha Esa. Kita tidak hanya harus percaya atau merasa atau
mengerti, tetapi setelah mencapai kebijaksanaan ini seseorang akan melihat
bahwa semua makhluk, benda, susunan kosmos atau alam semesta ini beserta
seluruh isinya berada dalam suatu kesatuan yang Esa, yaitu kesatuan Sang Atman.
Para ilmuwan mengatakan bahwa setiap benda ada dan bergerak di alam semesta
ini. Seseorang yang sadar melihat bahwa setiap benda ada dan bergerak dalam
suatu kesatuan Ilahi.
36. Walaupun dikau ini adalah seorang yang paling berdosa
di antara mereka-mereka yang berdosa, tetapi dikau dapat menyeberangi semua
dosa-dosa ini hanya dengan berperahu kebijaksanaan saja.
Kata-kata atau sabda Sang Kreshna ini penuh dengan
pesan-pesan harapan bagi kita, manusia, coba bayangkan bahkan seorang yang
paling berdosapun dapat langsung mencapai Yang Maha Kuasa dengan dedikasi yang
tinggi. Kalau dipikir-pikir siapa di dunia ini yang tak pernah berdosa atau
pernah sesat dalam hidupnya, dan tak seorangpun ini harus kehilangan
harapannya, selama ia mau mengoreksi kehidupannya dan berjalan penuh dedikasi
dan kesadaran kepadaNya. Ia akan mengangkat kita semua dari lembah dosa dan
menuntun tangan kita kearahNya selalu. Semua rasa keterikatan duniawi adalah
dosa, dan bukan saja keterikatan pada hal-hal yang tidak baik, tetapi
keterikatan pada hal-hal yang dianggap baik seperti dharma itu sendiri, atau
pada rasa egoisme yang dianggap positif. Seseorang yang merasa dirinya adalah
orang berdosa. Jadi sebelum meneliti seseorang lain, sebaiknya hilangkan dulu rasa
egoisme pribadi kita.
37. Ibarat api yang membara membakar kayu-kayu menjadi
abu, oh Arjuna, begitu pun api kebijaksanaan membakar semua aksi (tindakan)
menjadi abu.
Gnana (kebijaksanaan) membakar semua karma kita yang
telah terkumpul maupun yang akan datang menjadi abu, maksudnya gnana itu begitu
tinggi nilainya sehingga semua karma kita termasuk yang akan datang dapat
tumpas karenanya. Dan hanya karma yang telah membuahkan hasil saja yang harus
dilewati.
38. Sebenarnya tidak ada yang lebih menyucikan diri
selain kebijaksanaan. Seseorang yang telah sempurna dalam yoga (ilmu
pengetahuan)nya, akan menemukan kebijaksanaan ini di dalam dirinya sendiri —
Sang Atmannya, sesuai dengan waktunya.
39. Seseorang yang mempunyai iman dan telah bersatu dalam
kebijaksanaan dan telah menguasai indra-indranya – ia akan mendapatkan
kebijaksanaan ini. Dan setelah mencapai kebijaksanaan ini maka segera ia menuju
ke Kedamaian Yang Abadi (Ketenangan Ilahi, dimana tidak ada kematian lagi.)
40. Tetapi barangsiapa yang tidak tahu, tidak memiliki
kepercayaan, yang selalu ragu-ragu sifatnya, akan pergi ke kehancuran. Untuk
seseorang yang ragu-ragu tak akan ada dunia ini atau dunia yang lebih tinggi
iagi, bahkan baginya tidak ada kebahagiaan.
Kepercayaan yang sifatnya penuh dengan keragu-raguan pada
yang akan menyesalkan seseorang dalam perjalanannya mencari kebenaran. Rasa
ragu-ragu mengisi jiwa seseorang dengan keputus-asaan, dan terhambatlah sinar
yang menerangi orang ini.
41. Seseorang yang telah menyerahkan semua aksi atau tindakan-tindakannya
dalam yoga (bekerja tanpa pamrih), yang telah menebas keragu-raguannya dengan
kebijaksanaannya, dan selalu memiliki Sang Atman (yang selalu dibawah raungan
atau perintah Sang Atman) – maka untuk orang semacam ini tidak ada aksi yang
mengikatnya, o Arjuna!
Seseorang yang sesuai dengan karma-yoga bekerja tanpa
pamrih walau apapun statusnya dalam masyarakat, dan telah bulat tekadnya ke
arah Yang Maha Esa, dan telah hilang sama sekali keragu-raguannya, maka orang
semacam ini hanya bekerja demi Yang Maha Esa sesuai dengan bisikan Sang Atman;
untuk yang telah mencapai status ini tak ada karma atau aksi yang mengikatnya.
Orang semacam ini dikatakan telah mempersembahkan karmanya kepada Yang Maha Esa
sebagai persembahan kasih-sayangnya pada Ilahi. Dan ia pun akan memiliki Sang
Atman dalam dirinya secara sadar. Ia akan dituntun dalam segala aksinya,
dijauhkan dari kegelapan duniawi. Secara benar dan sadar ia akan merasakan
semua bisikan dan tuntunan Sang Atman di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu
tahap yang sangat tinggi dalam kehidupan spiritual seseorang. Dan tidak ada
lagi tahap yang lebih tinggi dalam kehidupannya sebagai manusia, karena ia
telah mencapai status yang terpilih olehNya.
42. Dengan demikian, tebas dan buanglah jauh-jauh
keragu-raguan dalam hatimu, yang timbul dari kekurang-pengetahuanmu, teguhkan
dirimu dalam yoga (ilmu pengetahuan sejati) dan berdirilah, oh Arjuna!
Seseorang yang penuh dengan kebijaksanaan adalah seorang
manusia yang bebas dan tak ada aksi atau tindakan yang dapat mengikatnya lagi,
karena setiap ia bertindak ia selalu menyerahkannya kepada Yang Maha Esa secara
sadar dan tulus; orang semacam ini telah menebas habis keragu-raguannya dengan
imannya yang tebal terhadap Yang Maha Esa.
Pesan Sang Kreshna untuk Arjuna di atas ini sebenarnya
berlaku untuk kita semua dan bermakna bangkitlah dan maju berperang, dikau
prajurit-prajurit Yang Maha Esa, bangkitlah dan bekerja demi kewajibanmu
sebagai seorang karma-yogi, bekerjalah tanpa pamrih. Adalah kewajibanmu
(dharma) untuk berperang melawan angkara-murka, nafsu dan keinginan duniawi
yang sebenarnya adalah kegelapan yang melilitmu dari jalan kembali ke Yang Maha
Pencipta.
Demikianlah dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu
pengetahuan yang abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan
Arjuna, maka karya ini adalah bab keempat yang disebut Gnana Yoga atau Ilmu
Pengetahuan tentang Kebijaksanaan.
Bab 05 – Jalan Penyerahan
Berkatalah Arjuna:
1. Dikau memuji karma-sanyasa (penyerahan total sesuatu
aksi kepada Yang Maha Esa) oh Kreshna, dan juga Dikau menganjurkan bekerja
secara benar (karma-yoga). Di antara keduanya ini yang manakah yang lebih baik?
Beritahukanlah daku akan kepastiannya.
Arjuna mulai ragu-ragu lagi akan ucapan-ucapan Sang
Kreshna dan dengan jujur ia mengemukakan keragu-raguannya ini kepada Sang
Kreshna. Di bab-bab yang telah lalu, Sang Kreshna berbicara tentang gnana dan
karma, yaitu tentang ilmu pengetahuan sejati dan tentang cara bekerja yang baik
dan benar. Bagi Arjuna kedua hal ini nampak saling bertentangan sifatnya,
karena baginya doktrin atau ajaran tentang ilmu pengetahuan yang sejati
dianggapnya menganjurkan pekerjaan atau dharma yang benar. Bagi Arjuna ini
nampaknya dua jalan yang berbeda, bagi Sang Kreshna kedua-duanya adalah sama.
Tetapi bagi Arjuna rupanya semua keterangan Sang Kreshna terasa masih belum
memuaskan batinnya, dan ia masih memerlukan pengarahan yang lebih pasti.
Kembali ke Sang Kreshna, maka kedua ajaran ini kalau
dilakukan dengan benar dan tulus maka akan mengangkat si pemuja ke strata
spiritual yang lebih tinggi, tetapi bagi Arjuna yang masih kurang
pengetahuannya ini malahan merupakan tanda-tanya. Dan ini wajar sekali! Arjuna
menanyakan apakah ia harus melepaskan karmanya sebagai seorang kshatria dan
mengabdi seterusnya ke jalan sanyasa (ajaran Sankhya) atau ia harus bekerja
sesuai dengan karmanya sebagai seorang kshatria dan berperang sampai tuntas
(seperti ajaran yoga!). Yang mana yang harus dipilihnya? la menjadi ragu-ragu
sendiri. Banyak orang-orang Hindu beranggapan bahwa kehidupan sanyasa (lepas
dari segala aksi) dapat menghasilkan kebebasan. Dan dalam hal ini Arjuna
berpikir kalau ia tetap jadi seorang kshatria maka ia akan terhambat dalam
perjalanan spiritualnya, dan ia bersiap-siap untuk berubah haluan menjadi
seorang sanyasin (pertapa), tetapi sebelumnya ia ingin minta kepastian dulu
dari Sang Kreshna, Sang Adhi Guru.
Berkatalah Sang Maha Pengasih:
2. Sanyasa (lepas dari segala aksi) dan karma-yoga
(bekerja tanpa pamrih), kedua-duanya menuju ke Yang Maha Esa. Tetapi diantara
keduanya, karma-yogalah yang lebih baik daripada sanyasa.
Sebenarnya inti kedua ajaran ini tidak berbeda, dan
menurut Sang Kreshna karma-yoga lebih baik. Seorang karma-yogi sebenarnya di
dalam batinnya adalah seorang sanyasi, karena secara mental ia telah dan selalu
memasrahkan (mempersembahkan) setiap aksi atau pekerjaan dan perbuatannya
kepada Yang Maha Esa semata, walaupun ia sibuk bekerja seaktif apapun juga. Dan
dengan jalan ini ia lepas dari segala ikatan mati dan hidup, dan lebih cepat
mencapai yang Maha Esa. Sedangkan jalan sanyasa atau gnana-marga (jalan ilmu
pengetahuan) itu sifatnya sulit dan berbelit-belit, jadi menurut Sang Kreshna
lebih baik untuk berjalan menganut ajaran karma-yoga yang lebih mudah.
3. Seseorang yang tidak membenci atau bernafsu
(menginginkan segala sesuatu) adalah seorang sanyasi yang konstan. Karena
seorang yang telah lepas dari dvandas (dua rasa yang saling berlawanan), akan
cepat lepas dari keterikatan duniawi, oh Arjuna!
Dvandas seperti yang sudah disebut dan diterangkan pada
bab-bab yang lalu, adalah dua sifat atau rasa yang berlawanan yang mengikat
setiap manusia. Kedua rasa atau sifat ini adalah musuh-musuh besar seorang
manusia. Seorang karma-yogi tidak akan mengacuhkan kedua-duanya lagi dan
memasrahkan semua yang dialaminya kepada KehendakNya semata, dan sekiranya ini
dilakukan penuh kesadaran dan dengan jiwa yang tulus maka ia pun terlepaslah
dari keterikatan karma-karmanya. Seorang sanyasi yang konstan, adalah seorang
yang tidak pernah menginginkan sesuatu ataupun tidak bernafsu akan sesuatu, dan
sifatnya ini konstan, jadi terus-menerus ia akan berpikir dan bertindak
demikian karena sudah menjadi itikadnya yang tegas dan tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi. Hidupnya
adalah suatu hal yang netral, semua suka dan duka, untung dan rugi sama saja
harkat atau artinya, dan baginya semua ini selalu datang dan pergi tidak pernah
abadi, jadi ia selalu tidak acuh lagi kepada dua sifat yang berlawanan ini.
Dengan begitu lepaslah ia dari semua ilusi duniawi ini karena memang ia secara
sadar tidak mau terikat olehnya, walaupun sebenarnya ia tinggal dan bekerja di
dunia ini yang penuh dengan segala aktivitas yang tak kunjung habis-habisnya.
4. Hanya anak-anak, dan bukan orang-orang bijaksana, yang
mengatakan bahwa ajaran Sankhya dan ajaran yoga sebagai dua hal yang berbeda.
Seseorang yang telah mapan dalam salah satu ajaran ini mendapatkan imbalan dari
kedua-duanya.
5. Tingkat tertinggi yang dicapai oleh para penganut
Sankhya juga dicapai oleh penganut ajaran Yoga. Barangsiapa melihat (menyadari)
bahwa ajaran Sankhya dan Yoga adalah satu benar-benar melihat dengan mata yang
terang.
Ilmu pengetahuan yang sejati dan aksi atau tindakan tanpa
pamrih sebenarnya bagi Sang Kreshna adalah dua hal yang sama saja arti dan
maknanya, dan lebih dari itu satu saja tujuannya, yaitu Yang Maha Esa. Ambillah
salah satu jalan yang berkenan di hati dan sesuai dengan keinginan pribadi kita
yang tulus, dan berjalanlah di jalan tersebut dengan tulus dan pada suatu saat
nanti kita akan mendapati bahwa ujung jalan ternyata berakhir pada titik yang
sama. Kedua penganut masing-masing jalan yang nampak berbeda ini pada
hakikatnya sama-sama bebas dari nafsu-nafsu duniawi ini dengan segala
ikatan-ikatan dan ilusi-ilusinya.
6. Tetapi tanpa Yoga, oh Arjuna, penyerahan diri (secara
total) itu sukar dicapai
Seorang yang suci yang telah terbiasa dengan Yoga (jalan
aksi), segera
mencapai Sang Brahman, Yang Maha Esa.
Penyerahan diri secara total tidak begitu saja dapat
dicapai seseorang. Tetapi harus dengan kerja keras, dan proses ini berlangsung
secara progresif (maju terus) bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan
berdedikasi kepada Yang Maha Esa. Ego pribadi adalah salah satu elemen yang
paling sukar dikendalikan dalam diri kita dan selalu hadir pada setiap orang
dalam bentuk yang berganti-ganti dan beraneka-ragam, seakan-akan tidak ada
habis-habisnya. Dan semua itu butuh kesabaran dan dedikasi dan proses yang
lama, baru dapat dikurangi tahap demi tahap dan kemudian sama sekali
dihilangkan. Dan tanpa karma-yoga, sabda Sang Kreshna, jalan kearah Sanyasa
atau gnana-marga ini akan jadi lebih sulit karena bisa-bisa seseorang jatuh
sebelum mencapainya. Jalan karma-yoga menyucikan dan melicinkan langkah kita ke
arah Yang maha Esa, semuanya kemudian menjadi lebih cepat untuk mencapaiNya.
Seseorang boleh saja berpikir bahwa ia sudah sadar, bahwa
semua di dunia ini hanya ilusi Sang Maya, dan ia sendiri sudah mencapai
kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Tetapi kalau ia tidak mempraktekkan dan
menghayati karma-yoga dengan baik dan benar, maka ia akan jatuh karena egonya,
atau karena nafsu-nafsu dan kemarahannya. Dan Sang Maya kemudian menjadi lebih
kuat lagi baginya. Tetapi sekali ia tersucikan oleh karma-yoga, maka cepat ia
akan lepas-landas ke arah Yang Maha Esa. Jadi seyogyanyalah seseorang selalu
berjalan dijalannya karma-yoga dengan teguh.
7. la yang penuh dedikasi dalam tindakannya dan suci
jiwanya, yang merupakan tuan bagi dirinya sendiri dan telah menguasai
indra-indranya, yang sadar bahwa Dirinya adalah Diri yang sama dalam setiap
makhluk – walaupun ia bekerja (bertindak), ia tak akan tersentuh sedikit pun
oleh pekerjaan atau tindakan itu.
Mengapa ia tak tersentuh sedikitpun oleh
tindakan-tindakannya? Karena ia tidak kerja untuk diri pribadinya sendiri. Sang
Atman, Sang Jati Diri — Sang Kreshna yang ada di dalam jiwalah yang
melakukannya. Ia melihat, mendengar, menyentuh, mencium., makan, bergerak,
tidur, bernafas, berbicara, tetapi Ia sadar semua itu hanya tindakan-tindakan
alamiah ke obyeknya masing-masing. Ia sadar sebenarnya ia tidak melakukan
apa-apa, ia hanya alatNya saja, dan dipakai olehNya sesuai dengan KehendakNya.
8. Seseorang yang telah bersatu dengan Yang Maha Suci,
yang sadar akan Kebenaran akan selalu berpikir, “aku tak melakukan apa-apa.”
Karena dikala melihat, mendengar, menyentuh, mencium, memakan, bergerak, tidur,
bernafas.
9. Dikala berbicara, memberi, mengambil, membuka dan
manutup-mata, ia sadar bahwa yang bergerak hanyalah indra-indranya dan diantara
obyek-obyek indra-indra itu sendiri.
10. Seseorang yang bertindak (bekerja), sambil melepaskan
keterikatannya, menyerahkan semua tindakan-tindakannya kepada Yang Maha Esa,
tidak akan tersentuh oleh dosa, ibarat bunga teratai yang tak tersentuhkan oleh
air.
Di sloka delapan dan sembilan di atas diterangkan dengan
baik mengenai disiplin pribadi seseorang yang melakukan gnana-yoga. Orang
semacam ini tidak pernah merasa bahwa ialah “pelaku semua tindakan.” Di sloka
sepuluh di atas, diterangkan sekali lagi bahwa seorang karma-yogi sejati akan
selalu bekerja tanpa pamrih, karena semua tindakannya adalah demi Yang Maha
Esa.
11. Para yogi, sambil melepaskan keterikatannya, bekerja
mempergunakan tubuh, pikiran, intelektual (buddhi), atau dengan indra-indra
mereka demi penyucian jiwa mereka.
Seorang karma-yogi yang sejati merasa bahwa
tindakan-tindakan raganya, pikirannya, intelektualnya dan indra-indranya
bukanlah tindakan atau perbuatan dirinya, melainkan hanyalah ekspresi dari
dirinya, yang sebenarnya adalah alat saja dari yang Maha Esa. Kemudian ia sadar
bahwa ia sebenarnya bukan raga, bukan pikiran, bukan intelektual, bukan
indra-indra tetapi dirinya sendiri sebenarnya adalah Sang Atman, Sang Jati
DiriNya Yang Sejati. Dengan menyadari hal tersebut dan bekerja demi Yang Maha
Esa tanpa pamrih, maka ia selalu gembira dan dapat bekerja demi Yang Maha Esa
tanpa merasa bosan atau tanpa habis-habisnya.
12. Seseorang yang telah bersatu denganNya, yang telah
mengesampingkan semua imbalan dari tindakan-tindakannya, mencapai ketenangan
yang abadi. Tetapi seseorang yang jiwanya tidak bersatu denganNya, didorong
oleh nafsu-nafsunya dan terikat pada pamrih-pamrihnya, maka terbelenggulah ia.
Sekali mencapai persatuan dengan Yang Maha Esa, maka
seseorang langsung mendapatkan ketenangan yang abadi, karena lepas sudah ia
dari beban-beban imbalan kerjanya. Tetapi seseorang yang tidak dapat bersatu
denganNya, akan selalu terkurung atau terpenjara oleh aksi dan hasil dari aksi
ini, yang dilakukannya berdasarkan dorongan nafsu dan keinginannya yang
beraneka-ragawi. Hasilnya pun tentu beraneka-ragam.
13. Melepaskan semua tindakan secara mental, jiwa yang
memiliki raga ini bersemayam secara tenang di kota yang memiliki sembilan pintu
gerbang, tidak bekerja maupun memerintahkan suatu pekerjaan.
Untuk mencapai status “yang bersemayam di dalam tubuh
kita tanpa kerja atau memerintahkan suatu pekerjaan,” adalah seseorang yang
jiwanya telah mencapai suatu tahap tertinggi dalam kebijaksanaannya. Ia tidak
terlibat akan suatu pekerjaan dan ia pun tak mau melibatkan orang lain — ia
hidup dan bekerja tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi, dengan kata lain
semuanya dilakukannya tanpa pamrih – ia adalah seorang karma-yogi yang sejati.
Kota yang berpintu gerbang sembilan adalah raga kita
sendiri, yaitu dengan dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut,
satu lubang anus dan satu lubang kemaluan, semuanya berjumlah sembilan lubang
atau pintu gerbang raga kita.
14. Sang Maha Kuasa Pemilik Seluruh Alam Semesta ini
(Sang Prabhu) tidak menciptakan manusia sebagai agen-agen DiriNya, tidak juga
Ia bertindak. Tidak juga Ia mengaitkan pekerjaan dengan imbalannya. Semua ini
dilakukan oleh Svabhaba (alam).
Sang Prabhu adalah Diri Yang Sejati dari setiap hal di
dunia ini. Diri Yang Sejati ini adalah Sinar yang bersemayam di raga setiap
makhluk. Ia tidak bekerja maupun mengakibatkan sesuatu pekerjaan manusia atau
makhluk, juga tidak tersentuh kebaikan maupun keburukan. Dan di dalam Sinar
inilah para pencari Kebenaran Sejati atau Kebenaran Hidup ini mencari
perlindungan demi melawan segala cobaan Sang Maya yang selalu hadir menghadang.
Di dalam sinar ini kemudian timbullah kesadaran seseorang yang mencari
kebenaran yang sejati bahwa hidup ini sebenarnya adalah persembahan demi Yang
Maha Kuasa oleh sekalian makhluk-makhluk ciptaanNya.
15. Yang Maha Pengasih tidak mengambil baik maupun buruk
untuk DiriNya sendiri. kebijaksanaan itu terbungkus oleh
kekurangan-pengetahuan, dan para makhluk pun jadi kalut karenanya.
Yang Maha Esa itu hadir dimana saja dan selalu sempurna
adaNya. Ia tak pernah tersentuh oleh dosa-dosa dan perbuatan baik manusia,
karena Ia bersemayam jauh dari dosa dan kebaikan ini. Ia lah Sang Atman, Sinar
Ilahi. Ini terbungkus oleh kegelapan yang ditimbulkan oleh ilusi, dan kalut
atau bingunglah manusia karenanya. Dibawah pengaruh ilusi (bahwa kita ini
terpisah dari Yang Maha Esa), maka jiwa kita senantiasa berpikir bahwa jiwa
kita atau tubuh kitalah yang bertindak dalam segala sesuatu hal. Dan kalau
pengaruh ilusi ini dapat disingkapkan, maka para pencari kebenaran hidup ini,
akan masuk ke dalam ruang-dalam nurani kita di mana bersinarlah kebijaksanaan ~
Kebijaksanaan Sang Atman. Disinilah seorangjignasu (pencari kebenaran hidup
ini) sadar bahwa ia sebenarnya satu dengan semuanya, dan kepadanyalah akan
terlihat Yang Maha Esa, Yang Tanpa Nama dan Abadi (Tat), yang tidak pernah
tersentuh oleh kebaikan maupun keburukan yang diakibatkan oleh pekerjaan
manusia.
16. Seseorang yang kekurang-pengetahuannya (kegelapannya)
telah dihancurkan oleh kebijaksanaan Sang Atman, maka di dalam diri mereka,
kebijaksanaan ini bersinar laksana Sang Surya, mamancarkan keagungan Yang Maha
Esa.
Berbahagialah mereka yang telah mencapai tahap
kebijaksanaan, yaitu ilmu pengetahuan mengenai Sang Atman, Sang Jati Diri, Sang
Kreshna sendiri yang bersemayam di dalam diri mereka sendiri, karena
kebijaksanaan ini memancarkan cahaya Ilahi di dalam diri mereka laksana
terangnya Sang Surya, menyibak semua kegelapan duniawi, dan menerangi jiwa
mereka.
17. Mereka yang intelektual (buddhi) dan pikirannya sudah
bersatu utuh denganNya, yang selalu berada dalam naungan Yang Maha Esa, dan
akhirnya menyatu denganNya — orang-orang semacam ini pergi ke tempat dimana
mereka tak kembali lagi, karena dosa-dosa mereka hapus oleh kebijaksanaan.
Para yogi yang sejati ini selalu hidup dalam naungan Yang
Maha Esa dan mendasarkan setiap tindakan mereka sesuai dengan kehendak Ilahi —
hidup mereka selalu dalam Ilahi, begitupun jalan pikiran dan tujuan mereka tak
pernah lepas dariNya. Sewaktu orang-orang semacam ini meninggalkan raga mereka
(meninggal-dunia) maka mereka pergi ke tempat dimana mereka tak kembali lagi
kedunia ini, lepas dari kehidupan dan kematian selanjutya.
18. Orang-orang suci ini memandang secara sama pada
seorang Brahmin yang terpelajar dan yang penuh rasa rendah-diri, atau pada
seekor sapi, atau pada seekor gajah, bahkan pada seekor anjing dan pada seorang
pariah (kasta yang dianggap terendah diantara semua kasta).
Para yogi yang sejati yang telah suci ini tidak mempunyai
diskriminasi sedikitpun; bagi mereka semua makhluk ciptaan Tuhan itu sama saja
derajatnya, karena dalam setiap makhluk sebenarnya bersemayam Sang Atman yang
Tunggal. Bagi mereka diskriminasi kasta adalah tidak wajar, bahkan seekor
anjing pun bagi mereka derajatnya sejajar.
19. Bahkan di sini (di bumi ini) semua hal-hal duniawi
dapat teratasi bagi mereka-mereka yang jiwanya telah bersatu dalam suatu kesamaan.
Yang Maha Esa adalah nirdosha, yaitu tak tersentuh oleh dosa, dan Ia sama bagi
semua makhluk. Mereka yang sadar hal ini telah bersatu denganNya.
20. Dengan inteleknya yang teguh dan tidak
terombang-ombing, bersatu dengan Yang Maha Esa, maka seseorang yang telah
mengenal Sang Brahman tidak akan gembira dikala senang dan tidak akan bersedih
dikala dilanda kesusahan.
21. Tidak terikat pada kontak-kontak eksternal (luar) dan
mendapatkan kebahagiaan di dalam DiriNya (Sang Atman), seorang yoga-yukta yang
tak bersatu dengan Yang Maha Esa, merasakan keberkahan tanpa habis-habisnya.
22. Kesenangan yang lahir dari kontak-kontak (dengan
obyek-obyeknya) sebenarnya permulaan (asal) dari penderitaan.
Kesenangan-kesenangan ini ada awalnya dan juga ada akhirnya, oh Arjuna! Seorang
yang bijaksana tak akan bergembira dengan kesenangan-kesenangan ini.
Para yogi yang bijaksana tak akan bergembira dengan
hal-hal duniawi yang menyenangkan (priyam) ataupun bersedih dengan hal-hal
keduniawian yang penuh dengan penderitaan atau kesedihan. Karena semua
kebahagiaan mereka sudah terpusat sepenuhnya pada Sang Atman, pada Sang Kreshna
yang bersemayam di dalam diri mereka. Mereka sadar kesenangan dan kesedihan
duniawi bersifat sementara saja semua itu datang dan pergi, sedangkan Yang Maha
Esa sifatnya abadi dan tak ada habis berkahNya.
Dan mereka ini pun sadar bahwa semua kesenangan duniawi
itu sebenarnya adalah awal atau asal dari berbagai penderitaan yang
beraneka-ragam sifatnya, seperti kehilangan seseorang yang amat disayangi, sakit
atau penderitaan ragawi, masa tua, dan banyak hal lainnya, yang kalau ditelaah
merupakan kesenangan pada awalnya tetapi selalu berakhir dengan kesedihan atau
penderitaan. Dan semua penderitaan ini kemudian akan menimbulkan kama (nafsu)
dan krodha (kemarahan), dan masuklah seseorang kemudian ke dalam lingkaran
setan dari penderitaan ini, yang nampaknya tak ada habis-habisnya.
23. Seseorang yang di dunia ini (di bumi ini), sebelum
meninggalkan raganya berhasil menahan gejolak nafsu dan kemarahannya, maka ia
telah bersatu dengan Yang Maha Esa. Orang ini adalah orang yang bahagia.
Seorang yogi yang bahagia secara murni, adalah orang yang
penuh dengan kendali diri. Dan pengendalian diri ini dipelajari di bumi ini,
karena memang bumi-loka ini tempatnya setiap manusia belajar berbagai aspek
Ketuhanan dan mengenal dirinya sendiri secara spiritual, bukan di tempat lain.
Dan sekali pengendalian diri ini tercapai secara utuh dan tulus, maka akan
didapatkan berkahNya yang tak kunjung habis-habisnya. Maka seyogyanyalah setiap
manusia belajar untuk mengendalikan nafsu dan keinginan-keinginannya,
pertahankanlah tekad ke arah ini dan bangkitlah lagi setiap tersandung jatuh,
kemudian tegak maju lagi secara lebih tegar. Di mana ada tekad di situ pasti
ada jalan. Perangilah nafsu dan kemarahan dan pada suatu saat yang tepat,
dengan tekad yang kuat, dikau pasti akan berhasil mandapatkan kebijaksanaan
ini.
24. Barangsiapa memiliki kebahagiaan di dalam dirinya,
barangsiapa memiliki kegembiraan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki sinar
di dalam dirinya, maka yogi semacam ini berubah sifatnya menjadi suci dan
mencapai keindahan Yang Maha Esa (Brahmanirvana).
Seseorang yogi yang sejati selalu mencari kebahagiaan di
dalam diriNya (Sang Atman) dan merasa bahagia dengan apa saja yang
didapatkannya dari Sang Atman. Yogi semacam ini sudah berdiri di atas ketiga
guna (sifat-sifat alami atau prakriti) dan telah mencapai suatu sifat yang suci
yang merupakan karunia Ilahi yang tak ternilai sifatnya. Ia langsung
berasimilasi dengan Yang Maha Esa. Brahma nirvana adalah suatu status dimana
meleburlah semua nafsu-nafsu pribadi seseorang dalam sinarNya Yang Maha Esa,
dan seorang yogi yang telah mencapai tahap ini menjadi seorang resi (seorang
yang dianggap suci), yang jiwanya sudah dipasrahkan secara total kepadaNya,
Yang Maha Abadi.
25. Para Resi (orang-orang suci) yang dosa-dosanya telah
hapus, yang keragu-raguannya (rasa dualismenya yang bertentangan) telah
tertebas habis, yang pikirannya penuh dengan disiplin, dan yang bahagia dalam
kesejahteraan semua makhluk, mencapai Brahma nirvana.
Para orang-orang suci yang dosa-dosanya telah tertebas
habis, begitupun dengan keragu- raguannya mereka akan hal-hal yang menyenangkan
maupun yang sebaliknya, yang indra-indranya telah terkendali dengan baik; maka
setiap tindakan mereka adalah demi kesejahteraan semua makhluk di dunia ini.
Mereka ini bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Brahman) dan mereka ini mengenal
yang disebut nirvana, yaitu Kedamaian Yang Abadi (Keindahan Ilahi).
26. Keindahan Ilahi terletak dekat dengan mereka yang
suci, yang telah lepas dari nafsu dan kemarahan, yang telah mengendalikan
pikiran mereka dan telah sadar akan DiriNya.
27. Menutup diri dari kontak-kontak eksternal (luar),
memusatkan pandangan pada sela kedua alis-mata, dan menyelaraskan nafas yang
masuk dan keluar dari lubang-lubang hidung.
28. Dengan mengendalikan indra-indranya, pikirannya dan
intelektualnya, seseorang yang yang suci yang berkeinginan bebas dan telah
berhasil menyingkirkan nafsu, ketakutan dan kemarahan, akan benar-benar
terbebas.
29. Dan mengetahui Aku sebagai Yang Menikmati semua
persembahan dan pengorbanan, sebagai Yang Maha Memerintah seluruh isi alam,
Yang Mencintai semua yang hidup, maka orang suci semacam ini akan menuju ke
kedamaian.
Setiap insan yang mengenal Sang Jati Diri (Sang Atman),
akan menemui Kedamaian Yang Abadi (Brahma-nirvana). Pengetahuan tentang hal ini
disebut kebijaksanaan, yang mengusir semua nafsu dan keinginan-keinginan kita
dan membuat seorang berubah sifatnya menjadi sederhana dan stabil jalan
pikirannya (terkendali, atau dalam kendali). Proses ini menjadi lebih mudah
lagi kalau ditambah dengan latihan pranayama (yaitu pernafasan yang terkendali
atau meditasi). Dan yang ingin mencoba pranayama atau meditasi ini harus:
1. Membebaskan atau mengeluarkan atau menjauhkan semua
bentuk pikiran-pikiran yang datang mengganggu. Jadi tidak memikirkan apapun
juga selain Sang Atman yang ada di dalam dirinya. Dapat dimulai dengan
membayangkan wajah seorang Dewa atau sang guru yang dihormatinya. Ini yang
dinamakan menjauhi kontak-kontak eksternal.
2. Memusatkan pandangannya pada titik yang terletak di
tengah-tengah kedua alis mata, dan
3. Menyelaraskan masuk dan keluaraya nafas dari dan ke
lubang hidung kita. Baik irama, panjang dan lama nafas yang masuk dan keluar
ini harus seimbang mungkin, Sebaiknya perlahan-lahan saja, setelah lama
berlatih, maka masuk-keluar nafas ini membebaskan indra-indra, pikiran dan
intelektual kita dari kekuasaan nafsu dan berbagai keinginan, dari rasa takut
dan berbagai pikiran yang selalu silih-berganti. Lebih dari itu seorang yang
melakukan meditasi ini harus sadar bahwa Yang Maha Esa adalah sebagai Asimilator
atau Sang Penerima semua bentuk yagna dan tapa, dan juga orang atau pemuja ini
harus mengenal Yang Maha Esa sebagai Yang Maha Memiliki alam semesta ini
beserta seluruh isinya, mengenalnya sebagai Yang Maha Pengasih semua
makhluk-makhluk ciptaanNya, mengenal Yang Maha Esa dalam bentuk manusiaNya
sebagai Sang Kreshna.
Dan barang siapa yang mengenal Dirinya yang tinggi (Sang
Atman) dan melalui Sang Atman mi dapat menguasai dirinya yang rendah yaitu
indra-indra, pikiran dan intelektualnya, maka orang semacam ini akan
mendapatkan suatu bentuk kedamaian yang abadi.
Dari ajaran-ajaran di atas terulang lagi, bahwa yang
paling penting bagi kita ini adalah mengendalikan semua indra kita, pikiran
kita dan juga buddhi kita. Seseorang tanpa kendali tidak mungkin dapat
menghayati ajaran Bhagavat Gita atau pun mencapai Yang Maha Esa. Ia boleh saja
bermeditasi dengan aktif, boleh saja ia menguasai berbagai ajaran atau
teori-teori dan teknik-teknik spiritual, tetapi kalau belum berhasil
mengendalikan indra, keinginan, nafsu, pikiran dan buddhinya dengan baik maka
sia-sia saja upayanya, bahkan dapat merusak atau menyesatkan dirinya. Tanpa
penghayatan dan perbuatan nyata, maka sia-sia atau rusaklah orang semacam ini.
Teori saja tidak perlu dalam peningkatan spiritual, yang paling penting adalah
praktek atau usaha-usaha pengendalian hawa-nafsu kita secara sejati dan total,
karena semua pengetahuan spiritual ini akan menjadi mentah sifatnya tanpa
penghayatan yang tulus dan sejati, tanpa dedikasi dan disiplin yang penuh dengan
tekad yang kuat. Semua ini butuh waktu dan tak dapat dicapai dalam sekejap
mata, maka dari itu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Dan apakah yang akan terjadi seandainya seseorang
memaksakan dirinya ke jalan yoga, padahal dirinya masih mentah atau belum siap
untuk itu? Meditasinya yang prematur akan membawanya ke jalan atau arah yang
berbahaya. Membawanya ke situasi yang neurotik, membawanya ke pemecahan jiwanya
(personalitasnya) dan bahkan kekacauan jiwanya yang dapat menghasilkan gangguan
jiwa (menjadi gila misalnya). Seyogyanyalah meditasi diajarkan dan dibimbing
dan ditentukan oleh seorang guru yang bijaksana, yang dapat menilai sudah
sejauh manakah kadar dari sang murid ini. Tanpa pembersihan ego pribadi,
pengendalian indra-indra dan pikirannya, maka jalan meditasi akan berbahaya
sekali.
Meditasi yang matang sifatnya, kemudian akan menghasilkan
suatu pertemuan antara sang pemuja dengan Sang Atman, Sang Kreshna Yang Abadi
Yang bersemayam di dalam jiwa sang pemuja ini, Yang juga adalah Kuasa dari alam
semesta ini, Yang juga adalah Pengasih semua makhluk. Ia bukan saja jauh dari
jangkauan kita tetapi juga merupakan Teman kita yang benar-benar sejati dan
dekat dengan kita dan bersifat Maha Penolong kapan dan dimana saja. Teman yang
membantu kita mengatasi segala situasi yang kita hadapi. Seseorang yang pintu
imannya telah berbuka lebar, maka pintu kebijaksanaannya pun akan terbuka
lebar-lebar dan ia pun akan mencapai kedamaian yang abadi yang menjadi dambaan
setiap pencari kebenaran. Kedamaian Nan Abadi ini, yang penuh dengan Sinar
llahi, disebut Brahmanirvana.
Demikianlah dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu
Pengetahltan yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan
Arjuna, maka karya ini adalah bab ke lima, yang disebut Karma Sanyasa Yoga atau
Yoga Tentang Penyerahan Tindakan (Aksi).
Bab 06 – Jalan Meditasi
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Seseorang yang mengerjakan kewajiban yang harus
dilakukannya, tetapi tanpa menuntut keuntungan, tanpa pamrih, maka orang itu
adalah seorang sanyasi dan seorang yogi; bukan ia yang tak mau menyalakan api
pengorbanan dan tak mau melakukan upacara apapun.
Sang Kreshna mengulang lagi sebuah fakta kebenaran bahwa
seorang sanyasi yang sejati adalah seorang yogi sekaligus karena telah
mempersembahkan (mengorbankan) semua pekerjaan dan hasil-hasil dari
pekerjaannya kepada Yang Maha Esa. Sanyasa sendiri juga berarti tidak terikat
atau tidak berkeinginan. Seseorang yang hidupnya selalu berkeinginan tanpa
habis-habisnya dan selalu terikat pada obyek-obyek duniawi dianggap tidak
pernah berkorban untuk Yang Maha Esa (tidak menyalakan api pengorbanan) atau
berbuat suatu apapun demi Yang Maha Esa.
2. Sebenarnya, Sanyasa yang sejati (penyerahan total) itu
adalah Yoga, oh Arjuna! Dan seseorang bukanlah yogi yang sejati kalau belum
mengesampingkan sankalpa-sankalpanya (keinginan-keinginannya yang bermotifkan
sesuatu atau suatu tekad untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat duniawi di
masa depan).
Segi-segi penting dari sanyasa juga terdapat di dalam
karma-yoga. Seorang sanyasi yang sejati sama halnya dengan seorang yogi yang
sejati tidak akan terganggu oleh nafsu. Seorang karma-yogi yang sejati tak akan
terusik oleh imbalan apapun untuk setiap perbuatan atau tindakannya.
Sankalpa harus dikesampingkan. Semua rencana yang bermotifkan
keserakahan pribadi, rencana yang penuh dengan nafsu-nafsu egoisme harus
dikesampingkan, karena rencana-rencana semacam ini timbul dari avidya
(kekurang-pengetahuan), lahir dari suatu perasaan bahwa “akulah” pelakunya.
Seorang karma-yogi yang sejati akan melenyapkan rasa “akunya” (egoisme dan
ahankara) dari dirinya Yang dimaksudkan Sang Kreshna di atas bukannya
mengesampingkan pekerjaan seseorang, tetapi sebaliknya bekerja dengan
mengesampingkan tekad-tekad atau rencana dan itikad yang punya motif atau
tujuan yang tertentu untuk kepentingan diri atau egonya; biasanya setiap
pekerjaan kita selalu disertai dengan pengharapan akan suatu hasil dan imbalan,
bukan saja dari Yang Maha Esa, dari dewa-dewa tetapi dari orang-orang lain,
maupun dari pekerjaan itu sendiri. Seyogyanyalah semua pekerjaan dilakukan
dengan tekad untuk Yang Maha Esa semata, itu berarti kesatuan dengan Sang Atman
dalam segala tindak-tanduk kita sehari-hari dan dalam hidup kita ini. Seorang
yogi yang sejati tidak akan berjalan seirama dengan sankalpa-sankalpanya tetapi
selalu bekerja tanpa pamrih selama hidupnya dan meditasi (atau dhyana) baginya
adalah suatu faktor penunjang yang amat membantunya.
3. Untuk seorang suci yang ingin mencapai yoga, maka
jalannya adalah dengan bertindak, untuk orang suci yang sama ini sekali ia
telah mencapai yoga, maka ketenangan adalah jalannya.
Untuk mencapai yoga, maka seseorang yogi yang sejati
harus bekerja selalu tanpa pamrih, dan setelah ia berhasil menyatu denganNya,
maka tindakan sudah tidak penting baginya karena yang bertindak kemudian adalah
kehendak Ilahi, dan ia hanyalah alatNya saja. Orang semacam ini akan bekerja
dengan dan dalam segala ketenangan dan bagi kesejahteraan semua makhluk. la tak
akan mempunyai sankalpa atau rencana-rencana formatif untuk dirinya. Semua
pekerjaan atau tindakannya akan selalu sinkron atau sesuai dengan dhyana
(meditasiNya), dengan kehendak Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan
ini bukan suatu hal yang fiktif atau penuh dengan imajinasi, tetapi betul-betul
akan terjadi pada seorang yogi semacam ini dalam kehidupan ini sebenarnya. Om
Tat Sat.
4. Seseorang yang sudah lepas dari obyek-obyek sensualnya
atau dari tindakan-tindakan dan telah mengesampingkan semua
sankalpa-sankalpanya, maka orang ini dianggap telah bersemayam dalam yoga
(yogarudha).
Sankalpa adalah dasar dari semua aktivitas yang penuh
dengan rencana-rencana egoistik, dalam bab IV/10 Sang Kreshna bersabda:
“Seseorang yang pekerjaannya bebas dari nafsu dan sankalpa disebut seorang
suci.” Maka seyogyanyalah seorang yogi yang baik mengesampingkan semua
sankalpanya dan tetap bekerja demi kewajibannya yang benar, tanpa nafsu, tanpa
rasa egoisme, dan tanpa rasa keterikatan pada dua rasa atau sifat yang
berlawanan. Bekerjalah dan terimalah apa saja yang dihasilkan oleh pekerjaan
itu sebagai pemberian dari Yang Maha Kuasa. Rantailah ego pribadi dengan
memasrahkan diri kepada kehendak Sang Ilahi. Dalam Mahabarata tertulis sebagai
berikut: “Oh nafsu, aku tahu akar-akarmu. Engkau lahir dari Sankalpa atau
pikiran-pikiran egoistik. Aku tak akan memikirkan engkau, dan kau akan mati
karenanya.”
5. Sebaiknya seseorang mengangkat dirinya sendiri dengan
Dirinya (Sang Atman), dan jangan sampai ia menjatuhkan dirinya. Karena
sebenarnya, Dirinya adalah temannya sendiri, dan Dirinya juga adalah musuhnya
sendiri.
Angkatlah dirimu sendiri oleh Diri Mu (Sang Atman),
bagaimana caranya? Dengan mengejar atau menjalani ajaran-ajaran spiritual
seperti karma-yoga atau gnana-yoga atau bhakti-yoga. Jangan kau jatuhkan dirimu
ke dalam nafsu-nafsu duniawi yang gelap. Sekali anda mau memperbaiki dan
mengangkat diri sendiri, maka jalan ke arahNya akan terbuka lebar. Sang Atman
yang bersemayam dalam diri kita ini dapat menjadi musuh atau pun teman dari ego
kita sendiri. Sang Atman jadi sahabat kalau kita menjalin hubungan denganNya
dan mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi kita. Sang Atman yang universal
sifatNya ini lalu menjadi sahabat, penuntun, penunjuk jalan dan guru kita (Adhi
Guru). Tetapi kalau kita jauh dariNya, maka Sang Atman pun jadi “musuh” dan
jauh dari kita. Tanpa tuntunan dan jauh dari kasih-sayangNya, kasih-sayang Sang
Atman ini, maka apalah arti kehidupan ini.
6. Diri (Sang Atman), adalah teman bagi seseorang yang
dirinya (yang rendah) telah dikalahkan oleh Dirinya (yang Tinggi). Tetapi bagi
diri yang belum terkendali, maka Sang Diri (Sang Atman) akan bertindak tidak
ramah, ibarat seorang musuh.
Yang disebut diri yang rendah adalah indra-indra dan
pikiran kita. Seseorang yang berhasil menaklukkan semua ini telah mencapai
tahap kesadaran-diri. Kalau diri kita sudah terkendali dengan baik dan menyatu
dan bekerja sebagai alatnya Sang Atman, maka Sang Atman pun menjadi sahabat
baik kita, menjadi sumber ilham, inspirasi, intuisi, dan guru kita secara
spiritual (guru spiritual) dalam segala hal. Tetapi kalau diri kita tetap saja
bersifat egois, sombong dan bertahan pada keinginan-keinginan duniawi, maka
Sang Atman tidak akan menjadi sumber inspirasi atau penerangan hidup kita
melainkan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam diri kita, karena hati nurani
akan selalu bertentangan dengan tindak-tanduk yang tidak baik dan tidak
mengikuti dharma atau kewajiban-kewajiban kita di dunia ini.
7. Seseorang yang telah menguasai dirinya (yang rendah)
dan telah mencapai ketenangan dalam mengendalikan dirinya, maka Sang Dia Yang
Agung yang bersemayam di dalam dirinya akan bersemayam dengan penuh
keseimbangan. la (orang ini) akan selalu merasa damai baik dalam panas maupun
dingin, dalam kesenangan dan penderitaan, dan baik dihormati atau tidak
dihormati.
Orang yang telah dapat mengendalikan dirinya adalah orang
yang tenang dan damai jiwanya dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. la adalah
orang yang sadar bahwa ia hanyalah alat bagiNya dan sebuah alat fungsinya
adalah sama saja baik sewaktu dipakai maupun sedang tidak dipergunakan. Bagi
suatu atau sebuah alat, panas dan dingin, dihormati atau tidak adalah sama
saja, tidak lebih dan tidak kurang karena ia hanya sebuah alat.
8. Seorang yogi, yang jiwanya telah puas dengan
kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan (gnana dan vignana) dan tidak
terombang-ambing, yang indra-indranya telah dikalahkan (terkendali), yang
merasa bahwa segumpalan tanah-liat, sebuah batu dan sebongkah emas adalah sama
saja nilainya, maka orang ini disebut yukta (seorang yang harmonis pengendalian
yoganya).
Gnana adalah pengetahuan tentang Nirguna, yaitu Yang Tak
Terlihat, sedangkan vignana adalah pengetahuan tentang Saguna, yaitu Yang
Terlihat. Seseorang yang telah sadar dan penuh dengan kedua ilmu pengetahuan
ini (gnana dan vignana), merasa puas dengan kebenaran Sang Brahman sesuai
dengan pengalamannya selama ini, sehingga ia tergoyahkan atau terombang-ambing
oleh pengalaman-pengalaman duniawi yang nampak dan terasa sehari-hari. Baginya
tanah-liat, batu ataupun emas itu sama saja nilainya. la sudah mencapai
keharmonisan dalam hidupnya. Orang semacam ini disebut yukta.
9. Seseorang yang memandang sama terhadap teman-temannya,
sahabat-sahabatnya dan terhadap musuh-musuhnya, terhadap orang-orang yang tak
dikenalnya dan terhadap pihak-pihak yang netral, terhadap orang-orang asing dan
sanak-saudaranya, terhadap orang-orang suci dan terhadap orang-orang yang
berdosa – orang ini telah mencapai kesempurnaan (kebaikan).
Orang yang telah mencapai kesempurnaan melihat Satu
Pencipta (Tuhan) di dalam setiap benda, makhluk dan manusia. Ia bebas secara
total dari rasa diskriminasi karena ia sadar bahwa semua ciptaan Yang Maha Esa
sebenarnya adalah alat-alatNya belaka.
10. Sebaiknya seorang yogi duduk di suatu tempat yang
tenang dan tersendiri, dan secara konstan mengkonsentrasikan pikirannya pada
(Jati Dirinya Yang Agung), dan dengan mengendalikan dirinya, lepas dari segala
nafsu dan rasa memiliki.
Sang Kreshna menerangkan sebagian teknik meditasi kepada
Arjuna. Sebenarnya seluruh proses teknik meditasi tak dapat diterangkan dalam
bentuk tulisan. Prosesnya berbeda dari satu orang ke orang lain dan sebaiknya
dipelajari dari seorang guru yang bijaksana. Ibarat belajar melukis yang tidak
dapat dipelajari begitu saja, maka yoga pun tak dapat dipelajari dari buku-buku
meditasi saja. Garis besar atau yang terpenting dalam metode meditasi haruslah
disertai dengan kendali atas pikiran kita, sehingga setiap saat pikiran kita
dapat diperintahkan untuk diam sesuai kehendak atau tekad kita. Sangat baik
kalau seseorang yang ingin belajar meditasi dapat melakukannya di tempat yang
tersendiri dan lepas dari gangguan-gangguan suara dan sebagainya. la harus
lepas dari pikiran-pikiran egois dan rasa memiliki harta-benda, keluarga dan
hal-hal duniawi lainnya, juga ia harus lepas dari keinginan-keinginan
indra-indranya. la harus secara konstan setiap harinya menyisihkan sejumlah
waktu tertentu dan berusaha dengan tekad yang tulus untuk mengkosentrasikan
diri dan pikirannya kepada Sang Atman, dan sebaiknya waktu yang disediakan
untuk meditasi ini tidak terganggu oleh kesibukan-kesibukan lainnya, agar
meditasi berjalan tanpa gangguan secara mental maupun secara psikis, juga
tempat bermeditasi haruslah bersih dan tidak terganggu oleh suara, bau busuk
dan gangguan nyamuk dan sebagainya.
11. Di tempat yang bersih sebaiknya ia duduk secara
tetap, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, tertutup oleh
rumput-rumput kusha, kulit menjangan dan kain, yang satu melapisi yang lainnya.
12. Di situ, duduk secara tegak di tempatnya, mengarahkan
pikirannya pada suatu titik dan mengekang pikiran dan indra-indranya, sebaiknya
ia berlatih yoga demi pembersihan jiwanya.
Sang Kreshna secara langsung mengajarkan teknik-teknik
bermeditasi:
1) Carilah suatu tempat bermeditasi yang baik dan bersih
dari segala kotoran, dan juga hal-hal yang kurang baik. Suatu tempat dekat
sungai, di gunung, di pura, di taman bahkan di dalam kamar pribadi yang resik
dan tenang suasananya akan amat bermanfaat untuk bermeditasi, karena memberikan
suasana yang tenteram dan nyaman dalam hati sanubari kita.
2) Tempat duduk untuk bermeditasi ini boleh dibuat atau
terdiri dari batu yang rata, atau sepotong papan yang rata, atau bantal dan apa
saja yang cukup nyaman sebagai alas duduk. Tetapi harus diusahakan letaknya
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, karena kalau terlalu tinggi bisa
saja ia terjatuh kalau meditasinya memasuki trans atau tertidur sewaktu
melakukan meditasi ini, dan kalau jatuh bisa-bisa melukai dirinya secara
serius. Juga diusahakan tidak terlalu rendah agar tidak diganggu oleh serangga
yang berbisa, atau nyamuk dan semut. Ini tentu saja berlaku untuk tempat di
alam bebas atau di tempat-tempat yang banyak serangganya. Di dalam kamar
pribadi yang tenang, sebenamya semuanya dapat diatur dengan baik.
3) Kusha adalah sejenis rumput. Kusha, kulit menjangan
dan kain diperlukan pada zaman dahulu. Kusha diletakkan terbawah, kemudian di
atas dilapisi dengan kulit menjangan, dan kemudian kain diletakkan teratas.
Kalau menggunakan kulit harus diperhatikan bahwa kulit ini berasal dari seekor
binatang yang meninggal dunia atau mati secara alami dan bukan terbunuh oleh
manusia. Semua ini untuk memberikan rasa nyaman di masa-masa yang lalu.
Sekarang ini dapat disesuaikan dengan keadaan; yang penting sederhana dan jauh
dari keperluan duniawi yang serba luks, dan cukup kalau sudah terasa nyaman dan
baik. (Contoh: kain yang tebal dan hanya selembar pun sebenarnya sudah cukup.)
4) Pikiran harus tenang dan lepas dari nafsu, ego, dan
keserakahan. Bermeditasi sebenarnya berarti masuk ke dalam keheningan diri kita
sendiri.
13. Tegakkanlah tubuh, kepala, leher, dan pandangan
dipusatkan pada ujung hidung, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.
14. Tenang dan tanpa rasa takut, teguh dan jauh dari
perasaan seksual (brahmacharya), dengan mengendalikan diri dan duduk secara
harmonis, pikirannya terpusat padaKu dan mencariKu terus.
Seseorang yang ingin bermeditasi kepadaNya harus duduk
tegak, tanpa bergerak dan sebisa mungkin meluruskan kepala dan lehernya secara
tegak dengan badannya, dan memusatkan pikirannya seakan-akan memandang ujung
hidungnya. Tanpa menoleh ke manapun juga, tanpa rasa takut dan dengan hati yang
tenang dan stabil; lepas dari segala macam pikiran harus memusatkan pikiran dan
dirinya kepada Yang Maha Esa tanpa henti-hentinya.la harus lepas dari pikiran
seksual pada waktu bermeditasi. Bahkan untuk seorang yang ingin menjadi
bramacharya ada kriteria-kriteria tertentu yang harus diikutinya, dan
kriteria-kriteria ini telah digariskan oleh Manu (manusia yang pertama di bumi)
seperti berikut ini:
Seorang bramachari (yang menganut ajaran tidak melakukan
hubungan seksual) harus mandi untuk membersihkan dirinya, dan ini harus
dilakukannya sccara konstan. Harus pantang memakai perhiasan dan tidak
ikut-ikutan dansa-dansi dan pertunjukan musik yang penuh dengan hura-hura.
Pantang berjudi dan harus belajar tidur di lantai dan tidak memandang ke arah
wanita. la harus sederhana cara makannya dan tidak mengenakan baju-baju yang
mewah seperti sutra atau kain-kain yang lembut dan halus yang berkesan mahal,
dan selalu harus memuja Yang Maha Esa dan hormat kepada para resi dan berdedikasi
kepada guru-gurunya. la harus pantang berdebat dan berdiskusi dengan siapa saja
atau mencampuri urusan orang-orang lain. la juga harus selalu berbicara yang
jujur dan tidak menghina siapapun. la harus menganut ajaran ahimsa (tidak
merusak atau membunuh atau melukai siapa dan apapun dengan cara apapun juga).
la harus mengendalikan dirinya sampai lenyap semua rasa nafsu, amarah dan
egonya. la harus menjaga agar spermanya tidak terpancar keluar, dan sebisa
mungkin tidur seorang diri. Sperma yang terjaga baik di dalam badan seseorang
akan menimbulkan sejenis aliran yang misterius di dalam tubuhnya dan cahaya
dari aliran ini akan membuat prana dan pikiran orang tersebut itu menjadi
stabil, dan akibatnya pikiran pun secara otomatis menjadi terarah dengan baik dan
stabil ke arah Yang Maha Esa.
Obyek dan meditasi (dhyana-yoga) adalah meditasi
kepadaNya (Yang Maha Pengasih) dan bertujuan mencapai kesatuan denganNya. Dalam
melakukan meditasi seseorang harus secara teguh beraspirasi kepadaNya atau
bisa-bisa (sering sekali ini terjadi) pikiran kita terbawa oleh ilusi yang
aneh-aneh dan menyesatkan. Yang penting adalah menyatukan atau memfokuskan diri
pada Sang Atman, “melihat Sang Atman melalui Sang Atman.” Pikiran harus terang,
tetapi itu saja tidak cukup. Pikiran juga harus selalu dipusatkan kepadaNya.
Dan pemusatan pikiran ini harus tulus dan bersih.
15. Sang Yogi ini akan selalu harmonis jiwanya, bersatu
dengan Sang Atman, dengan pikiran yang terkendali, menuju ke Damai – ke Nirvana
atau Berkah Yang Agung yang ada di dalam DiriKu.
Yang disebut Nirvana, atau Kedamaian, atau Berkah
(Kebebasan) ini adalah pemberian atau karunia dari Yang Maha Esa untuk seorang
yogi yang penuh dedikasi kepadaNya. Tidak ada kesatuan yang dapat dicapai
dengan Yang Maha Esa tanpa ada tekad yang kuat dari sang jiwa itu sendiri, dan
Yang Maha Kuasa akan datang menolong mereka yang mencariNya dan membawa mereka
ke arah Nirvana ini (kedamaian yang suci). Maka seyogyanyalah seseorang terus
menerus berusaha dengan kepasrahan total kepadaNya dan dengan penuh disiplin
dan dedikasi ke arahNya. Dan berkahNya akan turun dan menyatukan diri kita
dengan DiriNya, dan kesatuan atau persatuan inilah yang disebut moksha
(pembebasan).
16. Yoga ini sebenarnya bukan untuk seseorang yang makan
terlalu banyak, dan juga bukan untuk seseorang yang terlalu menghindari
makanan. Yoga ini pun bukan untuk seseorang yang tidur terlalu banyak atau yang
tidak terlalu banyak tidur, oh Arjuna!
17. Yoga ini menghapuskan semua penderitaan seseorang
yang berimbang (temperamen) dalam cara ia makan dan berekreasi, yang terkendali
tindakan-tindakannya dan teratur bangun-tidurnya.
Seseorang yang mempunyai kebiasaan bermeditasi harus
ingat bahwa ia harus hidup secara teratur dan seimbang dalam segala
tindak-tanduknya sehari-hari. Adalah salah kalau ia makan terlalu banyak,
karena bukannya ia akan makin kuat karenanya tetapi malahan fungsi
pernafasannya dalam meditasi akan menjadi kacau, dan bagi seorang bramacharya
kelebihan gizi malahan akan merusak semua usahanya untuk mengekang hasrat-hasrat
seksualnya. Terlalu banyak makan dan (atau) kekurangan makan selalu akan
menghasilkan kekacauan dalam fungsi-fungsi tubuh kita dan hilanglah
keharmonisan dalam raga dan usaha spiritual kita. Semua yang kita lakukan
sebaiknya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, cukup-cukup sajalah,
yang wajar-wajar dan tidak melebihi porsi maupun menguranginya secara drastis.
Ini namanya harmonis dalam segala-galanya.
Makanan yang dimakan pun sebaiknya yang sesuai dengan
kebutuhan tubuh kita dan cocok dengan pencernaan setiap individu secara
masing-masing, tidak ada yang boleh dipaksakan ataupun memakan makanan yang
sebenarnya tidak perlu untuk tubuh kita. Juga secara mental dan spiritual harus
diperhatikan dengan amat sangat agar tidak memakan sesuatu hasil dari perbuatan
tidak baik atau negatif, seperti hasil dari korupsi atau uang haram lainnya,
tetapi betul-betul harus hasil keringat yang halal dan suci.
Puasa yang amat berkepanjangan harus dicegah, puasa itu
perlu tetapi harus teratur dan tidak merusak tubuh kita, puasa yang teratur
akan meningkatkan vitalitas dan tingkat spiritual jiwa dan raga kita. Begitupun
dengan rekreasi, ini pun penting untuk kita asal yang sehat dan teratur, untuk
pikiran, mental dan raga kita agar segar dan penuh dengan dinamika yang sehat.
Rekreasi dalam bentuk olah-raga, perjalanan ke alam bebas seperti ke hutan,
gunung, ke sungai dan lain sebagainya ini amat menyehatkan dan sangat
menyegarkan tubuh dan pikiran kita, tetapi semua ini harus dilakukan secara
teratur dan konstan, sehingga tidak merugikan diri kita maupun lingkungan kita
dalam arti yang seluas-luasnya.
Cara-cara kehidupan lainnya seperti berdagang, bekerja,
berdoa, memuja Yang Maha Esa, berbuat amal, menolong yang harus ditolong,
menghormati orang-tua dan yang pantas dihormati, dan lain sebagainya harus
dilakukan dalam batas-batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Bangun-tidur
pun harus diatur yang seimbang, tidur sebaiknya cukup enam jam saja, tetapi
dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan usia seseorang. Seorang yang ingin tekun
bermeditasi harus selalu jalan ditengah-tengah, maksudnya penuh disiplin dan
seimbang dalam segala perbuatannya. Setiap aksi atau perbuatannya sebaiknya
tidak berlebihan, terkendali dan wajar-wajar saja. Tidak usah terburu tetapi
juga tidak lambat. la selalu stabil dan berimbang baik dalam bertutur-kata
maupun dalam setiap pekerjaannya. la dengan demikian secara lambat laun akan
bebas dari segala penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri yang
terlalu banyak atau yang terlalu sedikit, dan juga oleh akibat-akibat dari
perbuatan itu sendiri seperti rasa kurang puas, marah, kesukaran, ketakutan,
keresahan dan banyak lainnya.
18. Sewaktu pikiran yang penuh disiplin dipusatkan pada
Jati DiriNya (Sang Atman) sendiri (dan tidak pada hal-hal yang lainnya), bebas
dari semua nafsu, maka disebutlah orang ini harmonis dalam yoganya.
Inilah intisari dari meditasi, seseorang yang menyerahkan
dirinya secara total atau penuh kepada Sang Atman, maka ia akan mengenal Sang
Atman secara lebih jelas, dan seperti yang kita ketahui dari Bhagavat Gita maka
Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita ini merupakan saksi dari setiap
tindakan kita, bahkan dari pikiran dan pancaindera kita sendiri. la mengetahui
semua kejujuran, kepalsuan dan kemunafikan kita, tidak ada yang terhindar dari
penglihatanNya, maka dikatakan kalau kita bebas dari segala nafsu-nafsu kita,
rnaka Sang Atman akan nampak lebih jelas dan terasa semua instruksi dan
nasehat-nasehatnya untuk kita. Maka disebut, seseorang yang disiplin dengan
meditasinya, dan puas dengan dirinya sendiri, dan pikirannya tidak menerawang
pada obyek-obyek indranya yang terdapat di luar dirinya sendiri, maka sekali ia
mencapai kestabilan harmonislah meditasi atau yoganya.
19. Seperti pelita yang terletak di suatu tempat yang tak
berangin, tidak berkedip, begitulah juga seorang yogi yang telah mengendalikan
pikirannya, bersatu dengan Sang Atman, Sang Jati Dirinya Sendiri.
Lampu pelita tidak mungkin dapat bertahan dari terjangan
angin kalau diletakkan di tempat yang bertiup banyak angin (atau tempat yang
terbuka), begitupun pikiran dan hati kita tak akan mungkin stabil kalau setiap
saat selalu diterjang oleh angin-angin nafsu dan pikiran kita. Maka sebaiknya
pelita ini diletakkan jauh dari nafsu-nafsu ini agar tidak terganggu pancaran
cahayanya. Seseorang yang ingin mantap dan stabil meditasinya harus menjauhi
obyek-obyek nafsunya, dan mengendalikan dirinya sesuai dengan
keburuhan-kebutuhannya yang cukup saja, tidak lebih dan tidak kurang; jangan
mengumbar-umbar nafsu tanpa kendali dan hilang ditelan oleh gelombang-gelombang
nafsu ini, yang sifatnya amat dahsyat dan menyesatkan, dan menggelapkan pikiran
dan jiwa kita. Bangkitlah ke tingkat intelektual (buddhi) kita dan tinggalkan
tingkat yang rendah di mana ego dan nafsu kita meraja-lela tanpa kendali. Dan
sekali kita bekeija dengan intelektual kita yang penuh dengan ‘rasio,’ maka
meditasi kita akan stabil dan tercapailah persatuan dengan Sang Atman.
20. Sewaktu pikiran yang terkendali oleh upaya-upaya
konsentrasi menjadi stabil, sewaktu seseorang melihat (sadar akan) Dirinya oleh
dirinya dan merasa bahagia dengan Dirinya;
21. Sewaktu ia menemukan kebahagiaan Nan Agung (tak ada
taranya)—-kebahagiaan yang dapat terjangkau oleh buddhi (intelektual) tetapi
jauh dari indra-indra sekali tercapai tahap ini, maka seseorang tak akan pergi
jauh dari kebenaran ini.
22. Dan setelah mendapatkan sesuatu yang begitu besar
labanya itu, ia berpikir tak ada hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari hal
tersebut, dan sekali ia merasa mantap, ia tak tergoyahkan oleh kepedihan yang
amat sangat sekalipun.
23. Dan hal itu disebut yoga, yang memutuskan hubungan
dengan kedukaan (penderitaan). Yoga ini harus ditekuni sepenuh hati dan tanpa
henti-hentinya (dengan hati yang tak tergoyahkan).
Melalui meditasi yang berkesinambungan, pikiran akhirnya
akan dapat dikendalikan dan teguh tertanam dalam hadirat Yang Maha Esa semata.
Sang yogi yang sudah mencapai tahap seperti ini kemudian tinggal di dunia ini
tanpa terpengaruh oleh hal-hal duniawi untuk selama-lamanya. Yang dimilikinya
hanyalah satu, yaitu kebahagiaan yang sadar akan ke Maha EsaanNya. Ia tak
memerlukan bentuk-bentuk kebahagiaan duniawi lainnya, baginya Yang Maha Esa
adalah semuanya. Kebahagian semacam ini sukar dan tak dapat diterangkan atau
berada di luar jangkauan indra-indra kita, karena hanya dapat dihubungkan oleh
buddhi kita yang telah bersih dan jernih, dan sifatnya ini amat abadi, suci,
nyata, dan agung.
Seorang yogi yang telah mencapai kebahagiaan ini akan
berpikir bahwa tidak ada keuntungan atau laba yang lebih tinggi nilainya
daripada kebahagiaan ini di dunia. Baginya semua bentuk kekayaan duniawi
seperti harta, kedudukan, kekuasaan, kehormatan, kebanggaan atau keterkenalan
dan lain sebagainya adalah bersifat hanya sementara saja, jauh, tak menentu dan
sia-sia saja untuk dipertahankan atau dianggap milik pribadi. Bahkan
kebahagiaan di svarga-loka pun dianggapnya tidak ada gunanya sama sekali. Dalam
keadaan menderita sekalipun ia tegar seakan batu-karang. Badannya boleh hancur
tetapi jiwanya tak tergoyahkan. Halilintar, panas, hujan dan dingin boleh
menyentuh dan merusak raganya, tetapi jiwanya tak akan tersentuh sedikitpun.
Kehinaan dan penderitaan bisa saja menyerang dirinya tetapi jiwanya tak akan
terganggu atau terusik, rasa damai di dalam jiwanya akan berjalan terus, karena
yogi ini telah bangkit jauh dari tubuhnya, dari raga duniawinya. Di dunia ini
ia dianggap memiliki raga, tetapi sebenamya bagi ia sendiri raga itu telah mati
dan bersifat spiritual karena digunakannya untuk tujuan-tujuan bersatu
denganNya. Tak ada seorangpun atau kekuatan apapun yang dapat mendominasinya,
karena ia telah tegar di dalam Yang Maha Esa dan bekerja di dunia ini dalam
kehidupan yang bersifat abadi, yaitu semata-mata untuk Yang Maha Esa.
Keadaan semacam ini — yang disebut kebebasan dari semua
penderitaan adalah yoga yang sejati, yang merupakan kesadaran akan Yang Maha
Kuasa secara nyata. Tetapi kondisi yoga semacam ini tidak mudah dicapai, harus
dilalui dengan praktek-praktek nyata yang tegar dan tanpa mudah putus asa, atau
dengan kata lain tanpa henti-hentinya. Seorang pemula biasanya selalu
patah-semangat kalau tidak langsung melihat hasil meditasinya, dan setelah
beberapa hari, beberapa minggu, atau pun beberapa bulan yang penuh meditasi dan
disiplin yang ketat ia tak melihat sesuatu hasil, maka ia akan ragu-ragu dan
mulai berpikir: “Derita disiplin ini sudah terlalu banyak bagiku, tak kulihat
suatu akhir (hasil) dari usaha-usahaku ini. Aku jadi ragu apakah disiplin ini
akan menghasilkan sesuatu?” Dan bisa saja pemula itu patah semangat di tengah
jalan. Maka sebaiknyalah meditasi dan disiplin yang ketat dihayati, diyakini
dan dicintai, dan jangan sekali-kali ada perasaan kalah untuk seorang pemula,
sebab jalannya memang panjang dan harus selalu yakin akan petuah-petuah gurunya
bahwa akhir jalan memang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Untuk itu
buktinya adalah sang guru atau orang-orang suci lainnya. Suatu hari lambat atau
cepat ia pasti akan mencapai tujuannya, yaitu Yang Maha Esa.
24. Menanggalkan semua nafsu (keinginan-keinginan) yang
lahir dari sankalpa (tekad atau imajinasi yang penuh dengan keserakahan),
mengendalikan semua indra-indranya dari semua segi dengan pikirannya;
25. Sedikit demi sedikit, ia mencapai ketenangan dengan
bantuan buddhinya yang dikendalikan oleh ketegarannya dan memusatkan pikirannya
pada Jati Dirinya, janganlah ia berpikiran hal-hal yang lainnya.
Dalam dua sloka di atas terlihat intisari ajaran Sang
Kreshna mengenai Sadhana (disiplin) untuk yoga ini:
a. Menanggalkan semua bentuk nafsu dan keinginan, karena
semua ini lahir dari sankalpa dan membuat atau pikiran tidak tenang. Dengan
menanggalkan nafsu-nafsu ini, kita diajak untuk bertenang-diri.
b. Pengendalian atau penghentian keinginan-keinginan
indra adalah tahap yang berikutnya. Dengan tekad kita, maka pikiran kita harus
dicoba untuk menguasai indra-indra kita dari setiap sisi dan sudut.
c. Dan setelah gelombang-gelombang nafsu atau keinginan
kita sudah mereda, maka dengan bantuan buddhi kendalikan lagi gelombang-gelombang
ini dengan ketegaran intelektual kita. Dengan kata lain belajar untuk
menghilangkan rasa takut. Karena mereka yang telah berhasil mengendalikan
indra-indra mereka akan diserang oleh rasa takut seperti “pikiranku terkendali,
dapatkah aku berpikir dengan baik sekarang?”; “indra-indraku terkendali, dapat
kah aku bekerja atau berfungsi dengan baik?”; dan lain sebagainya. Semua rasa
takut itu akan hilang kalau seorang guru yang baik dan bijaksana ada di sisi
anda dan selalu memberikan semangat, wejangan dan berkahnya tanpa
bosan-bosannya. Dan di atas semua guru-guru di dunia ini siapa lagi yang Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui kalau bukan Sang Atman, Sang Adhi Guru sendiri
yang bersemayam dalam diri kita ini.
d. Pikiran kita (mana) harus selalu bersandar pada Sang
Atman. Jangan lupa bahwa obyek meditasi adalah Yang Maha Esa, dan sekali duduk
bermeditasi kendalikan pikiran-pikiran yang selalu terbang ke obyek-obyek yang
lain. Tariklah pikiran yang lari ini ke obyek utama yang semula, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Caranya jadikanlah pikiran itu bersifat menerima dengan sadar
kehadiran Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita, dan disiplin ini
penting sekali untuk tujuan spiritual. Sekalipun telah tercapai stabilitas
dalam pikiran kita bisa saja, pikiran ini melayang lagi ke arah yang lainnya,
jadi selalulah berlatih tanpa bosan dan henti, dan dedikasi dan iman yang kuat.
Kuasailah sang pikiran ini dan bawalah ia kembali ke jalan Yang Maha Esa,
inilah seninya meditasi.
e. Seorang yogi harus bertindak seperti seorang polisi,
dan sang pikiran diibaratkan seperti seorang pelarian. Maka, pekerjaan seorang
polisi haruslah selalu mengejar para pelarian ini dan mengembalikan mereka ke
jalan yang benar, dan sudah tugas seorang polisi untuk dengan tanpa
bosan-bosannya bekerja seumur hidup menangkap para pelarian ini. Ketekunan
semacam ini disebut abhyasa dan merupakan suatu tindakan yang amat positif
dalam meditasi. Tangkaplah selalu pikiran-pikiranmu dan giringlah mereka ini ke
jalan yang satu itu, yaitu jalan ke Jati Diri kita sendiri (Sang Atman). Dengan
kata lain abhyasa berarti, “giringlah kembali pikiran itu dari pengembaraannya
dan tunjukkanlah jalan ke Sang Atman.”
Abhyasa ini seharusnya dilakukan setiap hari, dan bukan
soal satu atau dua jam meditasi yang penting saja, tetapi kesadaran dan
pengendalian diri yang dicapai dalam meditasi ini seharusnya terlaksana juga
sepanjang hari dalam segala tindak-tanduk kita seharian itu, bahkan pada waktu
tidur sekalipun. Jagalah baik-baik dan kendalikan diri dan pikiran kita,
sehari-hari sama seperti waktu kita mengendalikan pikiran kita sewaktu
bermeditasi. Jangan sampai kontrol diri kita lepas, karena lima menit saja kita
marah atau kehilangan kesabaran karena sesuatu hal, maka sia-sialah satu atau
dua jam meditasi kita. Jadi siaga dan siaplah selalu; dengan penuh ketekunan
dan dedikasi sadarlah bahwa meditasi itu ibarat sebuah gunung yang tinggi dan
penuh dengan tanjakan dan halangan-halangan yang berat dan ibarat sebuah
pendakian maka jalan itu masih jauh dan puncaknya sukar untuk ditaklukkan.
Tetapi seseorang yang penuh dengan dedikasi dan iman pasti akan mencapainya,
karena hukum alam (kosmos) akan berlaku di dalam dunia spiritual ini, yang
selalu mendorong usaha seseorang ke tujuanNya, sekali hal itu telah ditetapkan
oleh yang bersangkutan. Tak ada usaha yang sia-sia kalau dilakukan demi Yang
Maha Kuasa, percayalah dan yakinlah akan hal ini! Yang diperlukan adalah
kesabaran yang penuh dengan iman dan dedikasi!
26. Semakin sering pikiran yang tidak stabil dan gemar
mengembara ini lari jauh, semakin sering jugalah seseorang seharusnya menahan
dan menariknya kembali ke arah Jati Dirinya (Sang Atman).
Tentu saja usaha menarik kembali pikiran kita yang gemar
lari kesana-kemari mencari obyek-obyek indranya adalah usaha yang amat sulit
dan memerlukan tekad yang amat kuat. Sering sekali seseorang merasa amat letih
dan sia-sia saja dan febih baik menyerah saja. Dan sedikit saja kita lengah dan
kalah sang pikiran ini sudah mengatur siasat baru dan bingunglah orang yang
sedang berusaha ini. Dan pada saat itulah kita harus berteriak minta tolong
pada Sang Adhi Guru, Sang Atman agar dikaruniakan rahmat dan karuniaNya, dan
dengan jalan ini seseorang ini akan kembali lagi ke arah dhyana-yoga.
27. Kebahagiaan yang tertinggi (suci dan agung) datang
pada seorang yogi yang pikirannya damai, yang nafsu-nafsunya tenang, dan yang
telah lepas dari dosa dan telah bersatu dengan Yang Maha Esa.
28. Yogi semacam ini, yang selalu harmonis dengan
dirinya, telah menjauhi dosa, dengan mudah ia merasakan Rahmat dan Karunia
abadi yang dihasilkan oleh hubungannya dengan llahi (Yang Maha Abadi).
Berbahagialah seorang yogi yang telah mencapai tahap ini,
setelah bergulat dengan hidup ini selama bertahun-tahun, bahkan mungkin melalui
berbagai kehidupan di masa-masa yang silam, kemudian ia menyatu dengan Yang
Maha Esa pada suatu hari; dan Bhagavat Gita menyebut hal ini dengan nama
brahma-samsparsham, yaitu kontak dengan llahi. Baginya Tuhan itu bukan suatu
hal yang tak nampak dan abstrak, tetapi baginya tuhan itu adalah suatu kontak
yang nyata dan itu berarti sang yogi telah sampai ke suatu titik di mana waktu
sudah tidak berarti lagi. Sinar llahi telah mekar di dalam dirinya, dan jiwanya
telah menyatu dengan kenikmatan llahi yang tiada taranya. Di dalam agama Islam
salah satu nama Yang Maha Kuasa adalah Azh Zhaahir (Yang Maha Nyata), di dalam
keterangan di bawah nama tersebut kami temukan catatan seperti berikut: “Allah
SWT Nyata Kebenaran, Perbuatan dan Ada-Nya bagi orang-orang yang berakal yang
mau merenungkan ciptaan-ciptaanNya.”
29. Dirinya telah harmonis dalam yoga, ia melihat satu
Jati Diri bersemayam dalam semua makhluk dan semua makhluk dalam satu Jati
Diri, di mana pun ia melihat yang sama (Satu Jati Diri yang ada dan hadir
semenjak masa silam).
Ada tiga faktor utama dalam evolusi manusia yang sedang
menuju ke arah jalan spiritual:
a. Sewaktu seseorang mulai berhasrat memasuki hal-hal
kebatinan dan mulai menyelami dirinya sendiri. Dan setelah beberapa waktu
kemudian ia sadar akan hadirnya Sang Atman yang berdiri dan abadi sifatnya.
b. Dalam tahap kedua ini orang tersebut sadar bahwa Sang
Atman tidak saja hadir dalam dirinya sendiri, tetapi juga bersemayam secara
sama rata pada makhluk-makhluk lainnya sama halnya seperti dalam dirinya
sendiri. Dengan kata lain ia sadar bahwa Sang Atman (Yang Maha Esa atau Sang
Kreshna) hadir di mana saja dan kapan saja.
c. Seperti disebut di sloka 29 di atas, maka orang ini
sadar bahwa Yang Maha Esa itu adalah Inti dari setiap makhluk dan benda di alam
semesta ini. Dengan kata lain Yang Maha Esa (Sang Atman dalam hal ini) hadir
dalam setiap jiwa dan benda dan semua itu sebaliknya juga hadir dan ada di
dalam Yang Maha Esa.
Tahap kesadaran ini kalau dicapai seseorang secara benar
dan tulus, maka ibaratnya adalah seperti baru saja sadar dari suatu mimpi. la
tiba-tiba sadar bahwa matahari, rembulan, planet bumi, bintang-bintang, siang
dan malam, waktu, langit, udara, indra-indra, buddhi, dan lain sebagainya,
hanyalah hasil pekerjaan Yang Maha Pencipta. Hanya ialah satu-satuNya Yang
Menguasai dan Mengendalikan semua ini sesuai kehendakNya, dariNya dan untukNya
semata.
Seseorang yang telah sadar ini akan selalu mendoakan
kesejahteraan orang lain dan ia selalu berhasrat untuk membahagiakan orang lain
seperti kebahagiaan yang ia dapatkan dari Yang Maha Kuasa untuk dirinya
sendiri. Seorang yang berorientasi pada hal-hal keduniawian selalu memuaskan
indra-indranya. Berbeda dengan ini, maka seseorang yang telah mencapai
samadhrishti (kesadaran) ini sadar bahwa kebahagiaannya tak mungkin tercapai
dengan penderitaan pada orang lain.
Tetapi mengapa ajaran Bhagavat Gita yang sederhana ini
sukar untuk diikuti atau dipraktekkan? Karena umumnya kita manusia selalu
menganut prinsip bahwa “semua ini milikku,” dan tak mau menganut prinsip bahwa
“semua ini bukan milikku” dan bahwa “Satu adalah semua ini dan semua ini adalah
Satu.” Dengan membeda-bedakan antara “milikku” dan “milik orang lain,” maka
Arjuna pun masuk dan terhunjam ke . depresi yang maha dahsyat, begitupun kita
manusia ini dalam hidup kita sehari-hari. Dan selama hidup kita masih
terombang-arnbing tanpa kendali, selama itu pula manusia akan merupakan sumber
tragedi bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dan untuk menyembuhkan
penyakit ini Bhagavat Gita mengajarkan “kekanglah pikiranmu, kendalikanlah
pikiranmu, stabilkanlah pikiranmu, pusatkanlah pikiranmu pada Sang Atman!
Sadarlah dan lihatlah Sang Atman yang hadir pada setiap makhluk!” Obat dari
penyakit manusia ini di mana saja adalah sama, yaitu samadrishti (kesadaran).
30. Seseorang yang melihatKu di mana pun juga dan melihat
setiap hal dalam DiriKu, maka orang itu tak pernah hilang dari DiriKu dan Aku
tak pernah hilang darinya.
Bagi seorang yang telah sadar, setiap makhluk baginya
adalah baju atau manifestasi yang beraneka-ragam dari Yang Maha Esa itu
sendiri. Semuanya di alam semesta ini tanpa kecuali adalah la dan kebesaranNya
semata. Sang yogi ini tak sekejappun akan kehilangan kontak dengan DiriNya, ia
selalu dituntun olehNya. Yang Maha Kuasa tak akan hilang sekejapun dari
pandangan, perasaan, pikiran Sang Yogi ini. la adalah selalu hadir di dalam
dirinya setiap saat, setiap detik. Begitulah besar kasih-sayang Tuhan kepada
diri kita ini sebenarnya, dan semua kebutuhan kita dicukupiNya dengan caraNya
sendiri, tanpa perlu kita memintanya lagi. Om Tat Sat.
31. Seorang yogi yang telah tercipta kesatuannya,
memujaKu sebagai yang berada dalam setiap ciptaan, ia hidup di dalamKu,
betapapun aktifnya ia (bekerja).
Di manapun ia berada dan apapun jenis pekerjaannya, sang
yogi ini telah bersatu dengan Yang Maha Esa dalam segala tindak-tanduknya.
Apapun yang nampak dari luar tentang diri dan pekerjaan maupun kesibukannya
tidaklah penting, yang terutama adalah kesatuan yang telah terjalin antara
orang ini dengan Sang Penciptanya. Di dalam dirinya telah tumbuh kasih sayang
Ilahi yang tanpa batas. Musuh boleh menghina dan menghujam dirinya, sahabat
boleh menyanjung dan tersenyum kepadanya, tetapi baginya semua itu adalah tidak
lain dan tidak bukan variasi-variasi dari Sang Pencipta yang bersemayam dalam
semua bentuk-bentuk ciptaanNya sendiri. la melihatNya di mana-mana tanpa
kecuali, dan tanpa diskriminasi. Bagi yogi semacam ini pemujaan kepada Yang
Maha Esa bukan dalam bentuk upacara-upacara atau mantra-mantra suci, tetapi
pengorbanan yang tulus dan suci demi dan untuk Yang Maha Esa semata-mata adalah
dengan bekerja tanpa pamrih.
32. Seorang yogi yang sempurna adalah seseorang yang
melihat dengan pandangan yang sama semua benda dan makhluk, seperti terhadap
dirinya sendiri, baik dalam suka dan duka. (Contoh: suka dan dukanya makhluk
lain juga terasa olehnya sebagai suka dan dukanya).
Seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi selalu akan
sedih dan senang setiap ia menjumpai kesedihan atau kesenangan orang lain,
bahkan makhluk lain sekalipun, karena ia merasa sebagai satu kesatuan dengan
alam semesta ini beserta segala isinya. Dan bagaimana mungkin orang semacam ini
melukai atau membunuh tubuh makhluk lain, toh ia merasakan semua suka dan duka
makhluk lainnya; ia merasakan persaudaraan universal di antara sesama makhluk
ciptaan Yang Maha Esa.
Berkatalah Arjuna:
33. Yoga untuk menenangkan pikiran yang telah Dikau
terangkan ini, oh Kreshna, di dalamnya tak terlihat fondasi yang stabil, karena
pikiran itu penuh dengan keresahan (dan tak menentu).
34. Karena pikiran itu sangat mudah berubah-ubah, oh
Kreshna! Pikiran itu liar, kuat dan keras-kepala. Kukira pikiran itu sukar
dikendalikan ibarat mengendalikan angin.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
35. Tentu saja, oh Arjuna, pikiran itu sukar untuk
dikendalikan dan memang pikiran itu resah sifatnya. Tetapi dengan usaha yang
terus-menerus (abhyasa) dan dengan menjauhi godaan-godaan (vairagya) maka
pikiran itu dapat dikendalikan.
Abhyasa, yaitu secara tekun dan terus-menerus berusaha
mengendalikan pikiran ke arah yang positif dan tidak ikut-ikutan dengan
pikiran-pikiran negatif yang selalu berusaha secara licik menjerumuskan kita ke
arah yang lain. Abhyasa juga berarti secara berulang-ulang menguatkan diri
dengan membaca mantra-mantra suci, mendengarkan dan bergaul dengan para
rohaniwan dan orang-orang suci seperti para guru, pendeta, resi dan sebagainya.
Juga berarti untuk selalu mempelajari buku-buku dan hal-hal yang bersifat
rohani, selalu berdoa dengan tulus dan memanggil namaNya dengan hati yang
bersih dan tanpa pamrih sehingga air-mata kita turun tanpa terasa.
Vairagya, melepaskan ikatan-ikatan kita dengan nafsu,
indra dan sifat-sifat duniawi kita yang selalu berada dalam cengkeraman sang
prakriti dan guna. Dengan selalu melakukan abhyasa secara tekun, maka secara
tahap demi tahap segala godaan akan teratasi dan seseorang akan sadar bahwa
hal-hal duniawi ini hanya sementara saja sifatnya dan merupakan pentas
penderitaan yang tak kunjung habis-habisnya.
36. Yoga ini sukar tercapai oleh ia yang tak dapat
mengendalikan dirinya. Tetapi seseorang yang berjuang dengan jalan yang benar
dan penuh kendali diri akan mencapainya. Itulah keputusan Ku.
Yang Maha Pengasih, Sang Kreshna menegaskan di sini bahwa
walaupun yoga ini sukar untuk dicapai oleh mereka yang dirinya kurang disiplin,
tetapi bagi yang mampu mengendalikan dirinya dengan baik, maka jalan ini
tidaklah sukar, dan itu sudah menjadi keputusanNya yang tidak dapat
diganggu-gugat lagi.
Ada beberapa cara sadhana (metode-metode disiplin) lagi
yang harus diikuti oleh mereka yang telah belajar mengendalikan diri mereka,
seperti berikut ini:
a. Lepaskanlah atau jauhilah semua obyek-obyek kesenangan
duniawi, lepaskan juga keinginan-keinginan untuk obyek-obyek ini.
b. Pusatkan pikiranmu selalu ke arah Yang Maha Esa.
c. Yakinlah bahwa hanya Satu Tuhan yang memenuhi kita dan
alam semesta ini beserta seluruh isinya. Yakinilah bahwa jiwa kita, semua benda
dan makhluk di alam semesta ini tersambung dalam satu untaian kesatuan Ilahi
yang nyata.
d. Selalu menyadarkan diri bahwa setiap tindakan diri
kita, atau aktivitas pikiran dan indra-indra kita adalah bukan perbuatan Diri
kita, tetapi diri kita yang dilakukan oleh guna (sifat-sifat alami), Diri kita
sendiri bertindak sebagai saksi.
e. Tanamkanlah pada diri kita bahwa semua tindakan
pikiran dan obyek sifatnya hanya sementara dan selalu tidak abadi. Yang Abadi
hanya Yang Maha Esa dan la bersemayam dalam diri kita sendiri. Yesus pernah
berkata, “Kerajaan Sorga itu ada di dalam dirimu.”
f. Pilihlah salah satu manifestasi Yang Maha Kuasa dan
berkonsentrasilah dengan penuh kepadaNya secara mental. Bagi seorang Hindu
misalnya pada Sang Kreshna atau Sang Rama atau pada Shiva, Vishnu, Ganesha dan
sebagainya. Bagi yang beragama Buddha pada Sang Buddha, dan bagi yang menganut
agama lain masing-masing pada obyek yang seharusnya diperbolehkan oleh
agama-agama tersebut, Kemudian selalulah berpikir bahwa Yang Maha Kuasa dalam
manifestasi yang dipilih ini, selalu hadir sifatNya. Hormatilah la dan pujalah
la dengan cara kita masing-masing sesuai dengan aturan dan hati nurani. Bagi
seorang Hindu misalnya memuja dengan mempersembahkan secara tulus kasih-sayang
kepada sesamanya, mempersembahkan sekuntum bunga atau sehelai daun, atau apa
saja yang tulus dan bermanfaat bagi sesamanya dan Yang Maha Esa dalam
tindak-tanduk setiap hari.
g. Adalah perlu dihayati bahwa semua tindakan ini selalu
harus bersifat tulus dan murni, dan selalu menjadi kebiasaan dan kenyataan
dafam kehidupan kita sehari-hari, dan tanpa pamrih. Jangan sekali-kali
melakukannya demi kepentingan pribadi sekecil apapun kepentingan itu. Dalam
setiap sukses maupun kegagalan selalulah bersifat tenang tanpa terusik jiwanya,
dan selalulah berpedoman bahwa kita ini hanya alat belaka ditanganNya dan
setiap tindakan dan pengorbanan kepada semuanya adalah atas kehendakNya sesuai
dengan yang la kehendaki!
Berkatalah Arjuna:
37. Seseorang yang dirinya tak dapat dikendalikan, tetapi
memiliki shraddha (kepercayaan), yang pikirannya pergi jauh dari yoga dan tak
dapat mencapai kesempurnaan yoganya, ke arah manakah ia akan pergi, oh Kreshna?
Pertanyaan Arjuna ini singkat tetapi sangat bermakna.
Bukankah itu sebenarnya masalah kita semua juga, yang sering penuh dengan
kepercayaan pada Yang Maha Kuasa, tetapi sering tindak-tanduk kita tak sehat
dan tidak terkendali, dan ini berlangsung sampai kita mati suatu saat. Sering
pikiran kita menerawang ke soal-soal duniawi tanpa kendali padahal pada waktu
yang bersamaan kita yakin akan kekuasaan Yang Maha Esa. Lalu ke mana ia akan
pergi, kalau ia mati dalam perjalanan hidupnya, padahal keyakinanNya pada Yang
Maha Esa belum sempuma dan ia masih jauh dari kebijaksanaan spiritual?
Bagaimana nasibnya selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini amat menarik untuk
dipelajari!
38. Bukankah ia lalu binasa ibarat segumpalan awan yang
terpecah-pecah, oh Kreshna, kehilangan kedua-duanya, tidak tegar dan kacau
jalannya dari Yang Maha Esa.
39. Oh Kreshna, hilangkanlah secara tuntas
keragu-raguanku ini, karena tiada seorangpun yang dapat kucari selain Dikau,
yang dapat menghancurkan keragu-raguan ini.
“Kehilangan kedua-duanya” — yang dimaksud Arjuna,
bukankah orang semacam itu akan kehilangan dua kesempatan yang amat baik, yaitu
kehidupan ini dan kemudian juga kehidupan yang abadi, yaitu kesatuan dengan
Yang Maha Esa. Pertanyaan Arjuna amat wajar dan merupakan pertanyaan kita
semua. Bagaimana nasib seseorang yang sedang berusaha ke arahNya, dan belum
apa-apa sudah mati di tengah jalan, karena memang pendek umurnya atau karena
musibah-musibah tertentu. Bukan kah ia lalu ibarat segumpalan awan yang
terpecah-pecah tertiup angin, lalu bagaimana nasib selanjutnya dari orang ini?
Contoh lain seseorang selama ini ia merasa bekerja tanpa pamrih demi Yang Maha
Esa, tetapi pada saat-saat kematiannya karena sesuatu dan lain hal maka ia
menjadi lemah mentalnya dan terikat pada ikatan-ikatan duniawinya, apakah yang
akan terjadi padanya?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
40. Oh Arjuna, orang semacam itu tak akan hancur baik di
dalam hidup ini maupun di dalam kehidupan yang akan datang; karena seseorang
yang bekerja demi kebenaran tak akan mengarah ke jalan penderitaan.
Sang Kreshna menegaskan bahwa seseorang yoga-bhrista
(yang mengamalkan yoga atau yang belajar yoga ini) tak akan pernah menuju ke
arah yang salah (jalan penderitaan) selama ia bekerja demi dharma (kebenaran
demi Yang Maha Esa). Jadi janganlah khawatir karena Yang Maha Esa itu bukanlah
seorang tiran, sebaliknya Ia adalah Maha Pengasih dan Penyayang, dan la selalu
tahu akan kelemahan-kelemahan manusia yang la ciptakan ini; selamanya la akan
selalu mengarahkan kita ke arah benar. Inilah salah satu inti ajaran Bhagavat
Gita yang amat penting bahwa Yang Maha Esa tidak pernah membiarkan pemujaNya
atau ciptaan-ciptaanNya terjerumus ke lembah dosa secara terus-menerus dan
selalu mendorong kita semua dan para makhluk-makhluk lainnya ke arahNya
Sendiri. Pesan-pesan Bhagavat Gita adalah pesan-pesan yang penuh dengan harapan
dan cinta-kasih antara Yang Maha Esa dan kita semuanya. Langkah demi langkah,
tetapi pasti seseorang aka diangkatnya dari dosa dan dituntun ke arahNya, jadi
selalu berimanlah kepadaNya di kala suka dan duka, selalu bekerja demi Yang
Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita. Bergaullah selalu dengan
orang-orang yang dianggap suci agar selalu mendapatkan petunjuk-petunjuk ke
arahNya. Penting sekali untuk tidak melupakan kehadiranNya setiap saat dalam
kehidupan kita.
Apapun cobaan-cobaan yang kita hadapi, kegagalan-kegagalan
yang kita rasakan dan jatuh-bangun yang kita alami, jangan sekali-kali kita
lupa bahwa yang kita tuju adalah persatuan dengan Yang Maha Esa. Sering sekali
terjadi dalam segala kebenaran dan kebaikan yang kita lakukan, bahkan sesudah
memujaNya dengan sepenuh hati, dan sudah bergaul dengan orang-orang yang suci,
toh ada saja dosa-dosa yang kita lakukan dengan atau tanpa sadar. Janganlah
lalu ragu-ragu akan dirimu pada saat-saat ini, tapi bangkitlah lagi dan
mohonlah kepadaNya untuk menuntun kita lagi. Ia pasti akan menuntun kita ke
arah yang benar. Langkah demi langkah kita akan menjadi bersih sesuai dengan
kehendakNya. Selama kita berusaha keras untuk membersihkan diri, maka suatu
saat kita pasti akan bersih dan kita akan meningkat ke tahap evolusi spiritual
yang berikutnya, yang lebih tinggi sifatnya, sampai kita akan belajar untuk
menjadi sadar dan pasrah secara total dan tulus, dan hanya bekerja sesuai
dengan bisikan-bisikan Sang Atman yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pada tahap
ini kita akan menyerahkan jiwa-raga kita secara utuh, dan sesudah itu hanya ada
jalan yang makin menanjak ke atas dan tak ada jalan turun lagi, dan jalan naik
yang disebut tangga evolusi ini banyak ragam dan coraknya, semuanya sesuai
kehendakNya semata yang mungkin bagi setiap individu terasa lain
pengalaman-pengalamannya, tetapi bagi Yang Maha Kuasa sama saja sifatnya.
41. Setelah mencapai loka-loka di mana hidup orang-orang
yang suci dan setelah tinggal di tempat ini bertahun-tahun lamanya, maka sang
yoga-bhrista ini akan lahir kembali di sebuah keluarga (rumah) yang suci dan
makmur.
Seorang yoga-bhrista (yang meniti jalan ke Yang Maha Esa)
tidak pergi ke neraka sewaktu ia meninggal-dunia, tetapi pergi ke
punyakritamlokan, yaitu loka-loka di mana hidup orang-orang yang selama ini
hidupnya bekerja demi kebenaran. la pergi ke tempat yang lebih tinggi “status”
nya dibandingkan bumi ini. Dan kemudian setelah menjalani kehidupan selama
bertahun-tahun (sesuai dengan karmanya), ia kembali lagi ke bumi ini sebagai
manusia yang lahir di suatu tempat yang suci dan makmur, di mana sang yogi ini
mendapatkan kesempatan lagi untuk meniti lebih mantap lagi ke arah Yang Maha
Esa. (Orang-orang Hindu percaya bahwa bumi ini sebenarnya tempat yang paling
tepat untuk mengenal Yang Maha Esa dengan baik, dan adalah tugas manusia untuk
mengenalNya di bumi ini. Hidup sebagai manusia dianggap sebagai hidup yang
paling sempurna, bahkan para dewa-dewa sangat menginginkannya). Bumi ini
menyediakan segala sarana untuk kita agar lebih cepat mencapai moksha, seyogyanyalah
manusia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan menyesatkan dirinya ke
dalam ilusi sang Maya.
42. Atau ia akan lahir di sebuah keluarga yang telah
menerima kebijaksanaan. Tetapi kelahiran semacam ini amatlah sukar untuk
didapatkan di dunia ini.
Seorang yang lahir dalam keluarga yogi yang bijaksana
mempunyai kesempatan yang amat besar untuk meniti jalan evolusinya ke arah Yang
Maha Kuasa, karena kesempatan semacam ini tidak didapatkan di sorga maupun di
loka-loka lainnya. Seorang yang lahir di tengah-tengah keluarga yogi akan
belajar mengenai Yang Maha Esa secara langsung semenjak amat dini.
43. Di situ ia mendapatkan penerangan akan (pengetahuan
batin tentang kesatuannya dengan Yang Maha Esa) yang telah dicapainya pada
kelahiran yang sebelumnya, oh Arjuna, dan ia pun berjuang sekali lagi untuk
mencapai kesempurnaan.
Kemajuan di jalan kesempurnaan seseorang manusia itu bisa
saja lambat jalannya. Seseorang mungkin saja harus berjuang selama berkali-kali
(lahir berulang-ulang) sebelum mencapai kesempurnaan. Tetapi tidak ada usaha
yang akan sia-sia sekali kita berjalan menuju Yang Maha Esa. Apapun yang
dicapai seseorang ini selama hidupnya tak akan hilang sewaktu raganya binasa,
tetapi malahan sebaliknya akan bertambah frekwensi dan kekuatannya pada
kelahiran yang berikutnya, ia akan melaju lebih pesat lagi ke arah Yang Maha
Esa. Seseorang yang misalnya lahir diantara keluarga yogi ini, secara otomatis
akan terbuka penerangan batinnya semenjak ia masih kanak-kanak karena suasana
rumah-tangga dan kehidupan orang-tuanya yang penuh dengan unsur-unsur kesucian
dan pemujaan terhadap Yang Maha Esa; sehingga tanpa disadarinya terdorong oleh
karmanya yang lampau ia akan tambah bersemangat melaju ke arah Yang Maha
Esa-otomatis perjuangan dan kemampuan spiritualnya akan berlipat-ganda; jalan
ke Yang Maha Esa akan dicapainya dengan lebih cepat dan mudah.
44. Karena usaha-usahanya pada kehidupannya yang lalu,
maka tanpa dikuasainya lagi ia terus melaju. Seseorang yang mencari pengetahuan
yoga bahkan (melaju) melampaui Shabda-Brahman (tata-cara dan
peraturan-peraturan Veda).
Shabda-Brahman adalah tata-cara dan peraturan-peraturan
keagamaan Hindu yang tertulis di buku-buku suci Veda. Veda-Veda ini sebenarnya
amat penting pada permulaan pelajaran spiritual kita, tetapi setelah seorang
yogi mencapai penerangan dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, maka Veda-Veda ini
ibarat sebuah perahu yang menyeberangkan sang Yogi ini ke sisi lain sebuah
sungai. Begitu selesai menyeberang dan mencapai penerangan maka perahu tersebut
sudah tidak dibutuhkan lagi, karena tujuan itu, yaitu Yang Maha Esa, telah
tercapai.
45. Sang Yogi ini yang bekerja dengan tekun, bersih dari
dosa, dan telah menyempurnakan dirinya dengan melalui berbagai kehidupan akan
mencapai tujuannya yang suci.
Seseorang yang berusaha dan berjuang keras, sambil
menyucikan dirinya, secara perlahan tapi pasti akan mencapai kesempurnaan
setelah melalui berbagai kehidupan dan pengalaman selama perjuangannya dalam
hidup ini. Tujuan yang suci adalah kesadaran dan kesatuan dengan Yang Maha Esa,
pencapaian akan Kedamaian yang Abadi. Kalau dipelajari dan dimengerti dengan
baik, maka bukankah sloka-sloka di atas ini menunjukkan betapa agungnya ajaran
Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita, karena setiap makhluk dan manusia betapapun
besar dosanya, la secara perlahan tetapi pasti ditarik kembali kepada Yang Maha
Esa tanpa kecuali. Inilah sebenarnya evolusi dalam kehidupan spiritual kita,
dengan karuniaNya semua ciptaanNya ditarik kembali kepadaNya.
Pesan suci dalam Bhagavat Gita adalah bahwa walaupun
seseorang jatuh 100 kali dalam hidup ini, ia akan dibangkitkan lagi ke arah
yang sudah tujuannya. Kegagalan-kegagalan adalah sementara sifatnya. la akan
jalan terus dalam hidup ini, karena yang dinamakan hidup ini sebenarnya amat
komplek dan penuh dengan lingkaran kehidupan dan kematian yang berulang-ulang
sifatnya, sampai suatu saat ia ditentukan untuk menuju ke tujuannya yang
sejati, yaitu Yang Maha Esa. Raga atau sthula-sarira setiap makhluk dan insan lahir
dan binasa, begitupun dengan raganya yang halus yang tak nampak oleh mata,
yaitu sukhshama-sarira, tetapi karena sariranya (raga mumi yang menjadi
penyebab hidup ini) akan selalu menyertai setiap makhluk atau insan sampai
akhirnya tercapai moksha atau penyatuan dengan Yang Maha Esa. Di dalam
karana-sarira ini terkoleksi (terkumpul) semua usaha dan perbuatan (sansakarci)
manusia dan makhluk-makhluk ini. Karana-sarira sifatnya tak akan pernah mati,
tetapi ia selalu mengumpulkan dan mengevaluasi semua yang baik dan buruk yang
dilakukan oleh sthula-sarira kita. Maka seyogyanyalah kita harus ingat pada
karana-sarira ini; setiap pikiran (vichara) dan perbuatan (achara) kita
seharusnya bersih dan suci, atau kita harus berjuang lagi dan lagi membersihkan
kotoran-kotoran ini dari karana-sarira kita pada kehidupan-kehidupan yang
mendatang.
Jadi jalan mudahnya, adalah pasrahkanlah secara total
kehidupan ini kepada Yang Maha Kuasa, usahakanlah semua ini dengan penuh
kesungguhan, ketulusan, kejujuran dan iman yang teguh, dan bekerja demi dan
untukNya semata tanpa pamrih. Jadilah saksi atau alatNya semata dan jauhkanlah
kekotoran-kekotoran dari karana-sarira kita, yang akan selalu melaju lebih
cepat ke Tujuan yang Abadi, kalau saja kita tanpa noda-noda dalam kehidupan
ini.
46. Seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang
meninggalkan kehidupan duniawi ini secara total; seorang yogi itu lebih agung
daripada seorang ahli Veda, dan seorang yogi itu lebih agung daripada seorang
yang bekerja sesuai dengan ritus-ritus. Maka seyogyanyalah dikau menjadi
seorang yogi, oh Arjuna!
47. Dan diantara semua yogi, ia yang memujaKu penuh
dengan keyakinan, dengan menyatukan Jati Dirinya dalam DiriKu — ialah yang
kuanggap sebagai seorang yogi yang amat sempurna keharmonisannya.
Seorang tapasvi (seorang yang mengasingkan dirinya untuk
bertapa di hutan-hutan atau di gunung-gunung dengan menyiksa dirinya dan
melepaskan semua nafsu-nafsu duniawinya masih dianggap kurang agung dedikasinya
dibandingkan dengan seorang yogi, begitupun halnya dengan seorang ahli Veda;
dan seorang yogi itu lebih agung juga dari seseorang yang bekerja dan bertindak
sesuai ritus-ritus agama. Inilah nilai yang diberikan langsung oleh Sang
Kreshna. Maka sebaiknya seseorang menjadi seorang yogi yang tetap hidup di dalam
masyarakat, bekerja sesuai dengan kodratnya, dan dengan tanpa pamrih demi Yang
Maha Esa semata. Seorang yogi yang terkendali semua indra-indranya, yang tetap
berfungsi sebagai seorang manusia yang berguna untuk sesamanya, untuk
lingkungannya, untuk negara dan bangsanya itu lebih agung nilainya di mata Yang
Maha Esa.
Inilah ajaran Bhagavat Gita yang sesungguhnya, bekerja
demi Yang Maha Esa tanpa pamrih dan menyatu denganNya, dengan DiriNya sambil
berjalan mengarungi hidup ini ke tujuan yang abadi, yaitu Yang Maha Esa itu
sendiri. Dan semua itu tanpa harus menanggalkan kewajiban kita sebagai manusia
terhadap keluarga, masyarakat lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa. Dan diantara
semua yogi, yang terbaik menurut Sang Kreshna adalah yang menyerahkan dirinya secara
total kepadaNya, yang memujaNya penuh kasih, dan keyakinan, bakti dan dedikasi
yang tanpa henti-hentinya, tanpa pamrih dan penuh kendali-diri.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Shri Kreshna dan Arjuna, maka karya ini
adalah bab keenam, yang disebut:
Dhyana Yoga atau Yoga mengenai Meditasi.
Bab 07 – Lingkaran Manifestasi
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, bagaimana mempelajari
yoga dengan pikiran yang selalu terpusat kepadaKu, dan Aku sebagai tempat dikau
berlindung, dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi engkau mengenalKu secara utuh.
1. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, bagaimana mempelajari
yoga dengan pikiran yang selalu terpusat kepadaKu, dan Aku sebagai tempat dikau
berlindung, dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi engkau mengenalKu secara utuh.
2. Seutuhnya akan Kuajarkan (Kubukakan) kepadamu apakah
itu kebijaksanaan (gnana) dan apakah itu pengetahuan (vignana), yang setelah
dipelajari, tak ada lagi hal-hal lainnya perlu untuk dipelajari lagi.
Bab ketujuh ini disebut yoga gnana dan vignana. Lalu
apakah perbedaan antara gnana dan vignana ini? Mempelajari intisari dari Yang
Maha Esa (Nirguna Nivakara Paramatman) adalah gnana; untuk mempelajari atau
mengetahui “keajaiban” atau “permainan”-Nya adalah vignana, Di dalam bab
ketujuh ini akan kita pelajari tentang Yang Maha Esa (Para Brahman) dan tentang
aspek-aspek manifestasiNya dalam bentuk manusia (Bhagavan), contoh: Sang
Kreshna dan Sang Rama. Pengetahuan tentang Brahman adalah gnana, dan
pengetahuan tentang manifestasiNya, kekuatanNya, dan keajaibanNya disebut
vignana. Dalam Bhagavat Gita Yang Maha Esa memanifestasikan DiriNya sebagai
Sang Kreshna dan langsung mengajarkan manusia ilmu pengetahuan (yoga) ini yang
setelah dipelajari seseorang tak perlu lagi ia mempelajari ajaran-ajaran
Bhagavat Gita dan meresapinya dengan benar akan lepas dari lingkaran dan
alur-alur karmanya. Sayang sekali kalau kita mengabaikan ajaran ini dan tetap
terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi.
3. Diantara beribu-ribu manusia, belum tentu seorangpun
berjuang untuk kesempurnaan, dan di antara yang berjuang dan sukses belum tentu
seorangpun mengenalKu secara benar.
Seseorang yang benar-benar berdedikasi kepadaNya secara
lahir dan batin atau secara total itu dapat dihitung jumlahnya dengan jari.
Karena biasanya manusia itu lupa mengapa ia dilahirkan di dunia ini, yang
menjadi ajangnya untuk mencapai Yang Maha Kuasa. Manusia kemudian tenggelam
dalam ilusi Sang Maya, dan begitu ia sadar maka terasa perjuangannya ke arah
Yang Maha Kuasa menjadi sulit, tetapi secara perlahan dan pasti kalau ia penuh
iman, maka betapapun terjalnya perjalanan ia akan dituntunNya dengan baik dan
suatu saat pasti sampai ke Tujuan yang abadi ini.
Bahkan para dewa-dewa pun ingin menjadi manusia, karena
hanya dengan mengalahkan raga beserta seluruh indra-indranya sajalah seseorang
dapat mencapaiNya. Sedangkan dewa-dewa itu tidak memiliki raga. Manusia yang
memiliki raga malahan menyalah-gunakan raga ini dan melupakan nilai-nilai luhur
yang sesungguhnya dari kehidupan yang dikaruniakan olehNya kepada kita semua.
Seyogyanyalah kita memuja dan berdedikasi kepadaNya dan menjauhi nafsu-nafsu
duniawi ini yang makin lama makin menjerumuskan seseorang ke dalam lembah tak
ada ujungnya.
4. Bumi, air, api, udara, ether, pikiran, pengertian dan
rasa “aku” — adalah delapan bagian dari sifatKu.
Sang Kreshna sekarang sedang menerangkan tentang DiriNya
seperti apa adaNya. Sifat-sifat (atau prakriti) Sang Kreshna sebenarnya terdiri
dari dua bagian, yaitu sifat luar dan sifat dalam, di ajaran ini dikatakan
terdiri dari dua sifat, yaitu sifat bagian bawah (rendah) dan sifat bagian atas
(tinggi). Sifat atau prakriti yang rendah terdiri dari benda (apara-prakriti)
yang terbagi dalam delapan unsur; yaitu tanah, air, api, ether dan udara, dan
tiga lagi, yaitu pikiran (mana), pengertian (buddhi) dan ego (ahankara).
Kedelapan unsur ini semuanya dapat binasa, dan semua unsur-unsur ini terdapat
juga sebagai unsur-unsur inti dalam diri manusia, yang dengan kata lain dapat
binasa juga.
5. Inilah sifatKu yang di bawah (rendah). Dan ketahuilah
sifatKu yang lain, yang bersifat lebih tinggi – kehidupan atau jiwa, dengan apa
dunia ini ditunjang, oh Arjuna!
SifatNya yang tinggi atau yang superior adalah yang disebut
para-prakriti, yaitu Jiwa, yang jadi inti atau kekuatan atau penunjang hidup
ini, yang terdapat dalam semua makhluk-makhluk ciptaanNya, yang menyatukan
dunia ini; tanpa Sang Jiwa ini dunia ini tak akan ada. Sang Jiwa inilah
sebenarnya nafas dari kehidupan atau inti atau asal-mula dari semua makhluk di
alam semesta ini (yonini bhutani).
6. Ketahuilah bahwa ini (Sang Jiwa) adalah asal-mula
semua makhluk Aku adalah asal-mula seluruh alam semesta dan juga pemusnahnya.
Semua benda dan makhluk dalam alam semesta ini datang
dari Yang Maha Esa, tanpa Yang Maha pencipta ini tak akan ada apapun di dunia
ini; Sang Maya adalah “Ibu” dan Sang Kreshna adalah sebagai “Ayah” dari semua
manifestasiNya ini. (“Akulah Sang Ayah yang meletakkan benih!”). Ibarat cahaya
Sang Surya yang datang dari Sang Surya tetap merupakan bagian dari Sang Surya,
begitupun semua makhluk dan benda-benda di dunia ini adalah berasal dari Yang
Maha Esa dan tetap merupakan bagian dariNya, merupakan sebagian dari cahayaNya.
Setiap jiwa adalah sebagian cahaya dari Yang Maha Esa dan Yang Maha Esa adalah
sumber atau inti dari setiap jiwa ini. Alam semesta ini bergerak terus dalam
gerakan melingkar atau memutar. Ada lingkaran manifestasi dan ada juga
lingkaran kemusnahan kehidupan, dan semua itu terserah kepadaNya untuk
mengaturnya sesuai dengan kehendakNya, ibarat awan yang lahir atau tercipta di
angkasa, bergerak atau tinggal di angkasa, maka begitupun semua makhluk dan
benda di alam semesta ini datang, tinggal dan kembali kepadaNya lagi. Dengan
kata lain Yang Maha Esa itu Satu untuk semuanya dan hadir di dalam semuanya.
Sesuatu manifestasi bermula kalau Yang Satu ini menjadi
dua, yaitu benda dan kehidupan (raga dan jiwa yang menyatu). Raga atau benda
adalah bentuk fisik, sedangkan kehidupan adalah jiwa, dan semua makhluk yang
ada dalam manifestasi akan bergerak dan hidup karena ada motornya, yaitu Sang
Jiwa. Di mana ada permulaan kehidupan di situ kemusnahan akan kehidupan ini pun
pasti akan datang, itu sudah hukumnya. Dan tahap-tahapnya adalah melalui tahap
kanak-kanak, kemudian meningkat ke masa muda, masa tua dan masa di mana
seseorang atau sesuatu harus binasa. Selama menjalani kehidupan maka hidup ini
ibarat terisi oleh musim semi, musim kemarau, musim rontok dan musim dingin. Di
musim dingin bekulah semua nilai-nilai moral dan keyakinan dan lain sebagainya
terhadap yang Maha Esa, dan di musim dingin inilah Yang Maha Esa kembali
meluruskan dan mencairkan yang beku ini ke asalnya lagi dan mulailah lagi
nilai-nilai luhur yang baru di musim semi yang kemudian datang menyusul.
Maka disebutlah bahwa alam semesta ini memiliki “pagi”
dan “malam.” Di kala pagi bangkitlah kehidupan dengan segala aspek-aspeknya
seperti peradaban, kebudayaan, seni, ilmu pengetahuan, kerajaan, sejarah, dan
lain-lainnya. Dan setelah pagi maka akan timbul malam yang berarti kehancuran
dan kemusnahan dari segala sesuatu ini, di mana semua benda dan makhluk musnah
kecuali mereka-mereka yang telah mengabdi kepadaNya tanpa pamrih. Mereka-mereka
ini dibebaskan dari hidup dan mati, dan tak akan menyatu dengan manifestasi
lagi atau bahkan dengan kebinasaan, mereka menyatu denganNya, Yang Maha Abadi.
Dan begitulah cara permainanNya (lila).
7. Tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dariKu, oh
Arjuna! Semua yang ada di sini tertali padaKu, ibarat permata-permata yang
teruntai disehelai benang.
8. Aku adalah rasa segar di dalam air, oh Arjuna, dan
cahaya dalam sang Chandra dan sang surya. Aku adalah Satu Kata Pemuja (OM) di
dalam semua Veda. Aku adalah suara di dalam ether dan benih kekuatan dalam diri
manusia.
9. Aku adalah wewangian yang sejati di dalam bumi dan
warna merah di dalam bara api. Akulah kehidupan di dalam segala yang hidup dan
disiplin yang amat keras di dalam kehidupan para pertapa.
10. Kenalilah Aku, oh Arjuna sebagai inti yang abadi dari
semua makhluk. Aku adalah kebijaksanaan mereka yang bijaksana. Aku adalah
kemegahan dalam setiap hal yang bersifat megah.
11. Aku adalah kekuatan dari yang kuat, bebas dari nafsu
dan keinginan. Tetapi Aku adalah keinginan yang benar yang tak bertentangan
dengan dharma, oh Arjuna.
12. Dan ketahuilah bahwa ketiga guna (sifat-sifat
prakriti), ketiga tahap (sifat) setiap makhluk – kesucian (sattvika), nafsu
(rajasa) dan kemalasan (tamasa)—adalah dariKu semata. Kupegang mereka semua,
bukan mereka yang memegangKu.
Yang Maha Kuasa adalah motor dari sifat-sifat alami ini
(gund), tetapi la berada di atas sifat-sifat ini dan tak terpengaruh oleh
mereka (sifat-sifat ini).
13. Seisi dunia ini terpengaruh oleh ketiga guna ini, dan
tak mengenalKu yang berada di atas semuanya itu dan yang tak dapat
berganti-ganti sifat.
14. Sukar benar, untuk menembus ilusi MayaKu yang agung
ini, yang tercipta akibat sifat-sifat prakriti. Tetapi mereka-mereka yang
mempunyai iman kepadaKu semata, akan berhasil menembus ilusi ini.
Manusia kebanyakan tertipu oleh ilusi Sang maya yang juga
adalah ciptaan Yang Maha Esa, sehingga manusia lebih mementingkan obyek-obyek
duniawi dan dunia ini sendiri. Bagi kebanyakan manusia maka harta-benda, kekasih,
keluarga dan milik maupun kehormatan dianggap nyata dan seakan-akan sudah
menjadi milik mereka secara abadi yang tidak dapat diganggu-gugat atau
dipisahkan lagi dari sisi mereka. Lupalah kita bahwa dengan berpendapat seperti
itu maka makin lama kita makin jauh dariNya, Yang Maha Nyata dan Maha Abadi.
Terikatlah kita makin lama dengan isi dunia ini, tetapi Yang Maha Kuasa selalu
memberikan berkahNya, karena di dunia ini masih saja ada manusia-manusia yang
beriman kepadaNya, dan manusia-manusia semacam ini dapat berhasil menembus
tirai ilusi dan bersatu denganNya.
15. Mereka yang (gemar) berbuat dosa, yang telah
tersesat, tenggelam ke bawah dalam evolusi manusia ini, mereka yang
pikiran-pikirannya telah terbawa jauh oleh kegelapan, dan telah memeluk sifat-sifat
iblis — mereka tidak datang kepadaKu.
Mereka yang telah bertekuk-lutut dihadapan ilusi Sang
Maya, akan makin jauh diseret dari Yang Maha Kuasa, dan makin lama makin
rengganglah jarak antara mereka ini dengan Yang Maha Esa. Sedangkan mereka yang
ingin ke jalanNya harus secara total menyerahkan semua milik mereka dalam ilusi
ini secara tulus kepadaNya. Dan ini berarti menyerahkan dengan mental yang
tulus semua milik duniawi seperti anak-anak, istri, kekasih yang tercinta,
harta-benda, raga, pikiran, ketenaran, kemashyuran, dan lain sebagainya, dan
menjadikan semua itu ibarat sesajen atau pengorbanan untukNya, tanpa pamrih.
Pemuja seperti inilah yang akan dibimbing untuk keluar dari ilusi dan kegelapan
Sang Maya, Ilusi yang diciptakanNya sendiri untuk menyeleksi “bibit-bibit
unggul ciptaanNya juga.”
16. Ada empat golongan manusia beriman yang memuja Ku:
manusia yang menderita, manusia yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan,
manusia yang menginginkan harta-benda dan manusia yang bijaksana, oh Arjuna!
Yang Maha Kuasa (Sang Kreshna) membagi pemuja-pemujaNya
dalam empat kategori atau golongan, dan mereka semua ini dianggap bersifat baik
atau beriman. Mereka-mereka ini terdiri dari para bhakti (pemuja) sepert
berikut ini:
a. Para artha-bhakta — mereka yang hidupnya menderita dan
memohon perlindungan kepadaNya.
b. Parajignasu-bhakta — mereka-mereka yang memujaNya agar
mendapatkan kesadaran dan penerangan Ilahi. Para jignasu ini tidak memerlukan
harta-benda atau kenikmatan duniawi, bagi mereka yang penting adalah penerangan
Ilahi.
Hidup mereka ini amat sederhana dan selalu mencari guru
yang dapat mengajarkan mereka ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Esa. Hidup
mereka adalah pemujaan tanpa henti-hentinya kepada Yang Maha Esa.
c. Para arthaarthi-bhakta — yaitu mereka-mereka yang
memujaNya demi suatu sukses dalam hidup mereka seperti sukses dalam pekerjaan,
atau untuk mendapatkan harta-benda, kedudukan dan kebahagiaan duniawi yang
beraneka-ragam sifatnya, bahkan demi untuk mendapat kebahagiaan sorga-loka
setelah kematian mereka. Tetapi mereka-mereka ini bukan tipe manusia perusak
makhluk sesamanya. Mereka memujaNya tanpa henti demi kesuksesan duniawi belaka,
tetapi juga memujaNya dengan penuh kepercayaan.
d. Para gnani-bhakta — mereka yang bijaksana dalam
segala-galanya. Dalam setiap makhluk, bangsa, negara, suku dan agama, dalam
diri nabi-nabi dan orang suci, maka terdapatlah kaum bijaksana yang sudah
melupakan ego duniawinya, dan yang mereka miliki hanyalah la dan la semata, dan
la hadir dalam segala-galanya tanpa kecuali. Bhakta semacam ini telah meresap
ke dalam Yang Maha Esa dan bertindak sesuai dengan kehendakNya semata. Bagi
seorang yang bijaksana dunia ini adalah manifestasi dari Yang Maha Esa dalam
bentuk alam semesta beserta segala isinya. Orang-orang yang bijaksana ini
merasakanNya dalam rasa air yang mereka minum. MelihatNya sebagai cahaya abadi
dalam rembulan dan matahari, melihatnya sebagai ajaran agung dan suci di dalam
Veda-Veda. MelihatNya sebagai kata inti “OM” dalam setiap pustaka suci. lalah
inti dari ether, kejantanan dalam diri laki-laki yang perkasa. Di juga yang
menjadi inti dari wewangian yang sejati atau asli di dalam bumi (bumi ini
dianggap keramat dan suci oleh orang Hindu). la juga menjadi inti dari api, dan
segala-galanya yang hidup dan bergerak. la juga sifat disiplin yang ketat dan
keras para pertapa dan para resi. la juga akal sehat dan buddhi dari
orang-orang yang bijaksana. Pokoknya tidak ada sesuatupun yang lepas dari Yang
Maha Esa, la lah sumber dan segala-galanya di alam semesta ini, la juga Yang
Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Pecinta semua makhluk ciptaanNya ini.
(Orang-orang Hindu mempunyai seribu nama untuk Tuhan Yang Maha Esa).
17. Di antara mereka ini, ia yang bijaksana (gnani), yang
hidup dalam suatu kesatuan yang konstan dengan Yang Maha Suci, yang dedikasinya
terpusat ke satu arah, adalah yang terbaik. Aku paling dikasihinya dan Aku pun
paling mengasihiNya.
Di antara keempat tipe pemuja, Sang Kreshna hanya
mengutamakan salah satu saja sebagai yang terbaik, karena ketiga lainnya lagi
memujaNya dengan motif-motif dan keinginan-keinginan tertentu. Mereka ini
sebenarnya terbius oleh obyek-obyek duniawi dan terlelap dalam ilusi Sang Maya.
Sebaliknya seorang gnani (yang bijaksana) mengasihi dan bekerja untukNya tanpa
pamrih.
Kebijaksanaan atau gnana ini adalah pencetusan atau
emansipasi yang amat khusus sifatnya. Bagi seseorang yang telah mencapai gnana
atau kebijaksanaan ini, maka akan terlihat beberapa sifat-sifat khususnya
seperti:
a. Lepasnya orang ini dari berbagai rasa sensasi.
b. Orang bijaksana ini tindak-tanduknya dan pikirannya
berada jauh di atas hal-hal duniawi pada umumnya seperti logika, mekanisme yang
berlaku secara umum, bentuk, intelek, dan,
c. Orang ini langsung memasuki cara hidup yang tinggi,
yaitu suatu situasi yang penuh dengan kesatuan dengan Yang Maha Esa, tenang dan
damai. Baginya tak nampak sesuatu apapun selain Yang Maha Esa, Inti dari
segala-galanya di alam semesta ini beserta seluruh aspek-aspekNya.
Ia pun sadar bahwa semua makhluk dan benda bergerak dan
bertindak sesuai dengan ketiga sifat alam (Prakriti), dan Yang Maha Esa adalah
Inti dari semua itu, tetapi la tetap di atas semua itu. Semuanya datang dan
pergi tetapi Yang Maha Esa abadi dan tetap ada selama-lamanya.
18. Semua (pemuja) ini agung, tetapi Kutegaskan bahwa
pemuja yang bijaksana adalah sebenarnya DiriKu Sendiri. Karena setelah harmonis
secara sempurna, ia memandangKu sebagai Tujuan Nan Agung.
19. Pada akhir berbagai kelahiran, seseorang tumbuh
menjadi bijaksana dan datang kepadaKu, mengetahui bahwa Tuhan (Vasudeva) adalah
semuanya ini. Mahatma (jiwa yang besar) semacam ini sukar didapatkan (di dunia
ini).
Sang Kreshna dengan rendah hati tetap memandang
pemuja-pemujaNya yang lain sebagai agung, tetapi sekaligus menegaskan bahwa
pemuja yang bijaksana adalah ibarat DiriNya Sendiri. Kedua-duanya, yaitu sang
pemuja yang bijaksana dan Yang Maha Esa adalah yuktaatma (yaitu, kembar tetapi
satu). Yang Maha Esa mencintainya dan ia pun mencintai Yang Maha Esa. Orang
bijaksana (gnani) semacam ini disebut seorang tatva-gnani atau mahatma, yaitu
seorang yang berjiwa sangat agung (besar), dan adalah amat sukar untuk
mendapatkan seorang mahatma di dunia ini. Seorang mahatma adalah produk dari
evolusi yang panjang. la adalah ibarat buah matang akibat kelahiran yang
berulang-ulang, jatuh-bangun dalam berjalan (yatra) sucinya ke arah Yang Maha
Esa. Dan Sambil membersihkan antah-karannya ia melanjutkan dedikasinya kepada
Yang Maha Esa. Pada suatu saat ia dengan karuniaNya akan berubah menjadi
seorang mahatma.
20. Tetapi mereka yang kebijaksanaannya telah terbawa
oleh keinginan-keinginan (nafsu-nafsu) berpaling pada dewa-dewa yang lain,
mengikuti berbagai upacara (dan peraturan), yang terpusat pada sifat-sifat
mereka sendiri.
21. Apapun bentuk yang ingin dipuja oleh seseorang pemuja
dengan kepercayaannya — maka kepercayaan tersebut akan Kuteguhkan tanpa
ragu-ragu.
22. Dengan dasar kepercayaan itu, ia kemudiaan mencari
dan memuja bentuk tersebut, dan darinya ia mendapatkan apa yang diingininya,
tetapi manfaatnya hanya Aku yang menentukan.
23. Tetapi orang-orang yang berpikiran pendek ini hanya
mendapatkan hasil yang bersifat sementara saja. Mereka ini, pemuja para dewa
akan pergi ke dewa-dewa. Tetapi yang memujaKu — pemuja-pemujaKu — akan datang
kepadaKu.
Sang Kreshna sendiri mengakui bahwa ketiga tipe pemuja
yang memujaNya dalam bentuk dewa-dewa dan dengan tujuan pribadi tertentu bukan
berarti orang yang tidak baik. BagiNya itu hanyalah suatu proses saja, setelah
beberapa kelahiran maka pemuja-pemuja ini pada suatu saat akan langsung
memujaNya juga pada waktunya nanti. Memuja para dewa sebenarnya adalah pemujaan
terhadapNya juga tetapi secara tidak langsung dan salah, karena berdasarkan
pada motif-motif pribadi. Seharusnya diketahui bahwa dunia para dewa ini
terbatas masanya, dan para dewa-dewa itu juga terbatas mandatnya dari Yang Maha
Esa.
Maka para pemuja dewa-dewa hanya mendapatkan hasil yang
sementara saja sifatnya, tetapi para pemuja ini karena sering memuja dewa-dewa,
maka setelah beberapa kehidupan mereka pun langsung meningkatkan pemujaannya ke
arah Yang Maha Esa, dan pemujaan semacam ini hasilnya abadi dan tidak
sementara. Inilah pesan yang harus dihayati. Yang memujaNya tanpa pamrih
langsung menuju kepadaNya, Yang memujaNya dengan pamrih secara tidak langsung
akan dituntunNya juga, tetapi melalui jalan yang berliku-liku dan lebih
panjang, penuh dengan berbagai kelahiran dan kematian.
24. Mereka yang kurang pengertiannya (buddhi) mengenalKu
— yang tak berbentuk ini — sebagai berbentuk. Mereka tak kenal SifatKu Yang
Maha Suci Yang Tak Dapat Binasa dan Teramat Agung.
Sang Kreshna manifestasi dari Yang Maha Kuasa tak dapat
dikenal oleh orang-orang yang berpikiran cupat dan sempit, yang memandangNya
sebagai seorang dewa atau manusia super yang dapat menghasilkan harta-benda
duniawi dan keajaiban-keajaiban. Mereka tidak melihatNya sebagai manifestasi
Yang Maha Esa Yang Sebenarnya, Tanpa Bentuk Dan Tak Terbinasakan. Memang bagi
yang memiliki nafsu dan keinginan duniawi Sang Kreshna tak akan terlihat dalam wujud
asliNya, karena mereka ini telah terbius oleh ilusi Sang Maya.
25. Terselimut oleh yoga-maya, Aku tak terlihat oleh
semuanya. Dunia yang kacau ini tak mengenalKu, Yang Tak Pernah Dilahirkan, Yang
Tak Terbinasakan.
26. Aku mengetahui, oh Arjuna, akan makhluk-makhluk yang
telah lalu, yang terdapat sekarang ini, dan yang masih akan datang. Tetapi tak
seorangpun mengetahui tentang Aku.
27. Setiap manusia dilahirkan dalam ilusi, oh Arjuna,
terpengaruh oleh sifat dualisme yang bertentangan yang lahir dari keterpikatan
(pada obyek-obyek) dan ketidak-terpikatan (pada obyek-obyek).
Dunia tidak mengenal Sang Kreshna secara sejati, tetapi
Sang Kreshna, Yang Maha Esa, sesungguhnya mengetahui akan setiap hal, setiap
makhluk yang ada pada masa silam, sekarang, dan yang akan datang. Bukankah
semuanya datang dariNya juga? Bukankah la juga yang tak nampak tetapi
bersemayam di dalam diri kita semuanya ini, dalam setiap makhluk ciptaanNya.
Tetapi banyak yang tak sadar akan hal ini, karena telah terpengaruh sehari-hari
oleh rasa dualisme, yaitu suka dan tak suka, punyaku dan bukan punyaku, panas
dan dingin, untung dan rugi, dan lain segainya yang semuanya ini di atas
disebut sebagai keterpikatan dan tak-keterpikatan akan obyek-obyek duniawi,
yang semuanya sebenarnya adalah ilusi Sang Maya.
28. Tetapi mereka yang bertindak secara murni, di mana di
dalam diri mereka dosa-dosa telah berakhir, lepas dari kegelapan sifat
dualisme, memujaKu teguh dengan tekad mereka.
29. Mereka yang memintaKu jadi tempat-tempat mereka
berlindunq, berjuang demi kebebasan dari usia tua dan kematian – mereka
mengenal Sang Brahman (Yang Abadi), mereka mengenal Sang Adhyatman (Sang Atman,
Sang Jati Diri), dan mereka juga semua tentang karma (tindakan atau aksi).
30. Mereka yang mengenalKu sebagai Yang Esa dalam setiap
elemen (Adhibhuta), dalam setiap dewa (Adhidaiva) dan dalam semua pengorbanan
atau persembahan (Adhiyagna) – mereka ini yang telah harmonis pikirannya
mengenalKu bahkan pada saat-saat kematian (mereka).
Yang mengenalNya, yang mengenal Sang Kreshna secara murni
itu di dunia ini jumlahnya hanya sedikit. Mereka ini adalah orang-orang yang
murni tindak-tanduknya, bersih dari segala dosa dan telah lepas dari pengaruh
dvandvas yaitu rasa dualisme yang bertentangan. Mereka-mereka ini kenal dan
tahu (1) Sang Brahman yang Maha Abadi (2) Sang Atman (Adhyatman) dan (3) semua
karma (tindakan dan akibatnya) Mereka pun mengenalNya sebagai Yang Hadir dalam
setiap benda atau elemen (Adhibhuta), Yang Hadir dalam setiap dewa (Adhidaiva)
dan Yang Hadir dalarn setiap upacara atau tindakan pengorbanan, sesajen, atau
persembahan (Adhiyagna). Orang-orang yang betul-betul telah sadar akan
ke-EsaanNya Kemaha TunggalanNya ini dalam setiap elemen atau unsur di alam
semesta ini, betul-betul secara sejati memujaNya, tanpa pamrih!
Dalam Upanisad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini
adalah bab ke tujuh yang disebut : Gnana Vignana Yoga atau Yoga tentang ilmu
pengetahuan mengenai Nirguna Brahman dan Saguna Brahman.
Bab 08 – Jalan Penerangan
Berkatalah Arjuna:
1. Apakah Brahman itu (Yang Abadi)? Apakah itu
Adhyatman’? Dan apakah itu karma (aksi), oh Kreshna? Apakah itu yang disebut
Adhibhuta yang dikatakan sebagai inti semua elemen? Dan apakah Adhidaiva yang
disebut sebagai inti dari para dewa?
2. Siapakah yang mendasari pengorbanan (adhiyagna) di
dalam raga ini dan bagaimanakah caranya, oh Kreshna? Dan dengan cara apa Dikau
dapat dikenali oleh seseorang yang penuh kendali di saat kematian?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
3. Yang Tak Dapat Dihancurkan, Yang Maha Agung disebut
Sang Brahman. Svabhava (Sang Jati Diri atau Sang Atman yang bersemayam dalam
jiwa kita) disebut Adhyatman. Tenaga (atau kekuatan) kreatif yang menciptakan
semua makhluk dan benda disebut Kama.
4. Yang menjadi inti dari semua benda dan makhluk (yaitu
Adhibhuta) sifatnya dapat binasa. Yang menjadi inti para dewa adalah Jiwa
Kosmos. Dan Arjuna, di dalam raga ini, Aku Sendiri (sebagai Saksi di dalam)
adalah Adhiyagna.
Pada bab tujuh yang baru lalu, diterangkan tentang para
kaum bijaksana (gnani) yang mengenal Sang Kreshna sebagai Yang Maha Utuh.
Mereka ini telah berhasil mengalahkan kematian dan mendapatkan kebijaksanaan
(gnana) atau ilmu pengetahuan sejati. Mereka-mereka ini tahu dan kenal apa itu:
(1) Sang Brahman, (2) Adhyatman, (3) Adhiyagna, (4) Karma, (5) Adhibhuta, (6)
Adhidaiva dan (7) Abhyasa Yoga. Dan sekarang ketujuh istilah ini diterangkan
Sang Maha Pengasih, Sang Kreshna. Berikut adalah penerangan dari
istilah-istilah ini:
Brahman Adalah Yang Maha Agung dan Suci, Yang Tak
Terbinasakan, atau Tuhan Yang Maha Esa dan Abadi. Yang Maha Esa berada di atas
semua veda-veda suci dan sifat-sifat alami (Prakriti). la berada di atas semua
benda, makhluk dan obyek-obyek duniawi (alam semesta).
Adhyatman Di manakah seseorang dapat menemui Brahman?
Temuilah Sang Brahman di dalam dirimu sendiri, di dalam relung jiwamu yang
disebut Atman atau Adhiyatman, Sang Inti Jiwa yang berada di dalam jiwa kita
sendiri, dengan kata lain, dapat disebut Sang Jati Diri. (Perhatikanlah bahwa
Sang Atman sebenarnya adalah Jiwa di dalam jiwa kita sendiri Sang Inti Jiwa),
Karma Bagaimanakah Sang Adhyatman dapat masuk dan
bersemayam di dalam diri kita ini? Prosesnya disebut Visarga, yaitu energi
murni yang dipancarkan oleh Yang Maha Esa. Inilah yang disebut karma yang murni
dan sejati, pancaran yang penuh dengan pengorbanan, kasih-sayang dan pemberian
dariNya (tyaga) untuk kita semuanya. Yang Maha Esa memberikan (mengorbankan)
DiriNya melalui Sankalpa, yaitu dengan berkehendak – “Aku menjadi banyak!” Dan
terjadilah proses, dan dariNya bermulalah semua bentuk benda dan
kehidupan-kehidupan ini. Yang Maha Esa lah sumber dari semua ini, dan inilah
yang dimaksud dengan karma yang sejati, yaitu asal-mula sesuatu benda atau
makhluk, sebuah proses kehidupan dengan segala pola-pola yang beraneka-ragam
tanpa ada habis-habisnya dan juga reinkarnasi. Dan karma ini menjadi suatu
peraturan atau tata-cara dalam kehidupan di alam semesta ini. Karma adalah
suatu peraturan alami yang tegas: “Apa yang kita tabur itu juga yang akan kita
tuai,” dan peraturan ini berlaku untuk semua tindak-tanduk dan proses kehidupan
kita di mana saja dan kapan saja.
Karma adalah energi dari evolusi, dan karma inilah yang
melahirkan makhluk-makhluk (bhuta) dan evolusi kehidupan mereka selanjutnya
lagi. Karma menciptakan suatu proses kemajuan yang berkesinambungan melalui
penderitaan. Kemajuan ini adalah salah satu anak tangga manifestasi untuk
menemukan Jati Diri kita sendiri. Begitulah seseorang dituntun langkah demi
langkah ke arah kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu dicapai melalui penderitaan
dulu, dengan kata lain melalui suatu pengorbanan dalam arti yang amat luas
(yagna).
Salah satu rahasia dalam sejarah atau evolusi kehidupan
ini adalah pengorbanan, dan Sang Pemberi Inspirasi atau PemulaNya adalah Yang
Maha Esa yang disebut dengan nama
Adhiyagna Korbankanlah jiwamu demi mendapatkan jiwa yang
baru, begitulah inti dari ajaran-ajaran para nabi (orang suci) di zaman dahulu.
Adhiyagna berarti Pemula atau Asal-Usul dari semua tindakan pengorbanan di
dunia ini. RagaNya adalah Pengorbanan Kosmos dan dari pengorbanan ini bermula
dan hiduplah semua makhluk di alam semesta ini, dan la hadir dalam semuanya
dalam bentuk yang tak terlihat oleh mala, sebagai saksi dan penuntun kita
semuanya, la Abadi. Suci, Agung dan selalu penuh dengan pengorbanan yang
didasari oleh cinta-kasih, dan kalau dipikirkan dengan baik maka sebenarnya
semua raga ini adalah “kuil-kuil yang suci” yang di dalamnya terdapat pelita
yang hidup oleh apiNya, api Yang Maha Kuasa.
Adhibhuta adalah Adhipati, yaitu Yang Maha Esa, yaitu
inti dan dasar dari segala makhluk, unsur, benda yang dapat binasa, Ishavasyam
idam sarvam sebut kitab suci Ishopanishad yang berarti semua ini adalah baju
atau pakaian Yang Maha Esa. Alam semesta beserta seluruh isinya sebenarnya
adalah suci dan adalah kuil kita untuk mencapai Yang Maha Esa, Sang Maha
Pencipta. Dunia ini adalah ajang kita untuk kembali lagi kepadaNya.
Adhidaiva adalah Adhipati, yaitu kekuatan Ilahi yang
bersinar dalam dewa-dewa dan merupakan inti dari dewa-dewa ini. la jugalah
Purushanya para dewa. la juga Prathama Purusha yang bercahaya di dalam diri
mereka. la Tuhannya para dewa, la disebut juga Hiranyagarbha Puntsha (yaitu,
Purusha Emas nya) para dewa. la juga Prajapati yang Suci, la juga Sutra-Atma,
yaitu Nafas AgungNya para dewa (Prana-Purushd). Para dewa adalah “organ”
tubuhNya, Ialah Kekuatan Kreatif, Ialah Jiwa Yang Maha Suci — Ialah semuanya
yang bercahaya di alam semesta ini dari ujung ke ujung tanpa ada
habis-habisnya.
Keenam pertanyaan Arjuna di atas telah terjawab oleh Sang
Kreshna, dan sekarang Sang Kreshna masuk ke pertanyaan yang ke tujuh, yaitu
apakah Yoga itu yang dilakukan oleh seseorang pada saat anlakala (saat kematian
menjelang tiba), dan bagaimana mencapai Yang Maha Esa?
5. Seseorang pada saat meninggalkan raganya, maju terus,
bermeditasi terpusat kepadaKu semata; pada saat kematian, ia akan mencapai
TempatKu Bersemayam (Madbhavam). Jangan kau ragukan itu.
6. Barangsiapa, oh Arjuna, sewaktu meninggalkan raganya,
memikirkan sesuatu benda (bhavam) tertentu, maka ia akan pergi ke benda itu,
terserap selalu dalam pikiran itu.
Inilah hukum atau peraturan kosmos (atau Yang Maha Esa)
yang berlaku di dalam agama Hindu, yang sekali lagi ditegaskan oleh Sang
Kreshna. Yaitu, barangsiapa pada saat-saat akhir ajalnya memikirkan Yang Maha
Esa semata maka kepadaNya ia akan pergi dan bersatu denganNya. Barangsiapa
memikirkan benda-benda atau unsur-unsur lainnya yang bersifat duniawi atau
sorgawi maka ke sanalah ia akan pergi. Apapun yang terpikirkan pada saat-saat
kematian itulah yang akan dicapainya pada kelahiran yang berikutnya. Misalnya
seseorang pada saat-saat kematiannya, pikirannya terikat pada bentuk duniawi
seperti ayah, ibu, saudara, teman, istri, harta-benda, kemashuran, laba dan
lain sebagainya, maka ia akan kembali lagi ke dunia ini untuk menyelesaikan
karma-karmanya yang berhubungan dengan yang dipikirkannya itu. Misalnya ia
berpikir akan sorga dan segala kenikmatan-kenikmatan yang ada di sana, pada
saat menjelang ajalnya, maka ia akan ke sorga untuk menjalani karmanya di sana.
Misalnya pada saat akhir kematiannya, ia berpikir dan terpusat seluruh
pikirannya dengan tulus ke pada Yang Maha Esa, maka ke sana juga ia akan pergi
selama-lamanya.
Inilah hukumnya: bhava (atau pikirannya) yang mendominasi
pada saat akhir akan menjadi tujuan terakhir orang yang meninggal dunia ini.
Seandainya setiap hari atau setiap saat dalam hidup, kita selalu memusatkan
tindak-tanduk dan pikiran kita ke arahNya dan demi Ia semata, maka pada saat akhir
pun semua pikiran secara otomatis akan terpusat kepadaNya, dan denganNya kita
pasti akan bersatu.
7. Maka seyogyanyalah, setiap saat, berpikirlah tentang
Aku dan berperanglah! Kalau pikiran dan pengertianmu terpusat kepadaKu, dikau
pasti akan datang kepadaKu.
Karena sudah hukumnya begitu; bahwa seorang yang pada
akhir hayatnya berpikir akan suatu obyek duniawi maka akan pergi ke situ juga
setelah habis kehidupannya, maka di sloka di atas ini Sang Kreshna bersabda
pada Arjuna sebagai berikut: (1) “Setiap saat (senantiasa) berpikirlah tentang
Aku” dan (2) “Berpikirlah tentang Aku dan berperanglah!” Diuraikan sebagai
berikut:
1. Setiap saat berpikirlah tentang Aku — berarti dunia
ini atau kehidupan ini bagi manusia sifatnya sebenarnya tidak langgeng, dan kita
tak pernah tahu bila kita akan mati dan kalau saat-saat kematian tiba-tiba
datang, dan seandainya kita sudah bersiap-siap dengan selalu memikirkan Yang
Maha Esa, maka kita pun akan segera pergi ke arahNya dengan lurus. Dan
sebaliknya kalau sehari-hari yang menjadi pikiran hanya obyek-obyek duniawi
dengan segala kesenangan dan penderitaan saja, maka kita pun akan pergi ke
obyek-obyek duniawi ini, saat sang kala tiba-tiba datang meyergap tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu.
2. Berpikirlah tentang aku dan berperanglah! — pada Sang
Arjuna, Sang Kreshna menganjurkan untuk berperang! Mengapa? Karena Arjuna
adalah seorang Kshatrya yang berkewajiban untuk berperang demi nusa-bangsanya,
dan demi tegaknya kebenaran. Dan cara berperang itu harus berdasarkan dedikasinya
kepada Yang Maha Esa (“Berpikirlah tentang Aku”)- Itulah tugas atau dharma atau
svadharma kita semua, berjuang sesuai dengan tugas dan status kita di dunia
agar tercapai pembersihan batin kita. Seorang guru bekerja semestinya sebagai
guru dan seorang pedagang sebagai pedagang dan tidak mencampur-adukkan status
dan kewajibannya, sesuai panggilan nuraninya.
Yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa kita
harus dan selalu berpikir akan Ia dan bekerja sesuai dengan kewajiban kita;
mengingkari kewajiban atau lari dari kewajiban seberapa kecilpun berarti dosa.
Sedangkan tidak berpikir akan Yang Maha Esa akibatnya adalah kerugian yang maha
besar bagi kita juga, karena lingkaran karma akan membelit kita terus-menerus.
8. Seseorang yang pikirannya tidak mengembara
(kesana-kemari), yang selalu bermeditasi, jalan pikirannya selaras dengan
usahanya yang terus-menerus, ia, oh Arjuna, pergi ke Paraman Pususham Divyam,
yaitu la Yang Maha Agung dan Maha Suci.
9. Ia memujaNya sebagai Yang Maha Mengetahui, sebagai
Yang Selalu Hadir Semenjak Masa Yang Amat Silam, sebagai Yang Maha Penguasa,
sebagai Yang Maha Tercepat, sebagai Yang Maha Memelihara kita semua, sebagai
Yang BentukNya Tak Dapat Dimengerti oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya,
tetapi la Terang Benderang bagaikan Sang Surya dan jauh dari semua kegelapan.
10. Pada saat kematiannya dengan tekad dan pengabdian
yang kuat, dengan tenaga yoganya, ia menahan nafas kehidupan pada spasi
diantara kedua alis matanya, dan ia mencapai Yang Maha Agung dan Yang Maha Suci.
Cara mencapai Yang Maha Esa (Saguna Avyakta Divyarupa)
diterangkan sebagai berikut: Sang Yogi harus selalu mengendalikan jalan
pikirannya, dan memusatkannya kepada Yang Maha Esa, dengan senantiasa berbuat
ini, maka secara konstan ia akan mengenal yang Maha Esa dan merasakan
kehadiranNya senantiasa dalam suka dan duka, dan akibatnya tidak akan pergi ke
dewa-dewa atau obyek-obyek lainnya. Disebutkan bahwa seseorang yang senantiasa
terpusat kepada Yang Maha Esa, rnaka pada waktu ajalnya dapat dilihat dari
wajahnya yang diibaratkan seperti cermin dari Yang Maha Esa. Dikatakan bahwa
orang semacam ini telah terserap jiwa-raganya ke dalam Yang Maha Esa. Yang Maha
Kuasa (Paramam Puntsham Divyam) disebut juga Svampa, yaitu Yang memiliki
berbagai nama (ada 1.000 nama untuk Yang Maha Esa di dalam agama Hindu).
Misalnya la disebut Kavi (Yang Maha Bijaksana), Sarvagna (Yang Maha
Mengetahui), Yang Maha Hadir, Tuhan dari para resi dan penyanyi lagu-lagu suci.
la disebut juga Pranam (Yang Mula), la disebut juga Sarva Shaktivan (Yang Maha
Pengatur Segala-galanya). la lah Yang Terlembut diantara yang terlembut, la lah
Yang Terkecil diantara yang terkecil. la lah Maha Penunjang, Pemelihara, Yang
Menjadi Tempat kita tinggal, Yang Menjaga kita semua. la lah Bentuk Yang Tak Dapat
Digambarkan (Achintatyarupam), Yang tak dapat dibayangkan oleh seorang pun,
sebuah Bentuk diluar pikiran dan daya intelektual manusia, tetapi la juga yang
bersinar seperti mentari yang paling terang diantara jajaran mentari-mentari
lainnya. la bersemayam jauh dari segala kegelapan baik kegelapan dalam bentuk
duniawi maupun dalam bentuk spiritual.
Pada saat kematian sang yogi ini, maka ia dengan penuh
ketulusan dan iman yang tanpa dibuat-buat memusatkan nafas kehidupannya
diantara kedua alis matanya. Yogi semacam ini akan meninggal dunia dengan amat
tenang dan dalam ketenangan ini ia menuju ke Yang Maha Suci. la tak akan
kembali ke dalam lingkaran hidup dan mati !agi, kecuali memang ia sendiri yang
menghendakinya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan tertentu yang diingininya.
11. AkanKu beritahukan kepadamu sesuatu dengan jelas –
yaitu sesuatu yang oleh para pengenal Veda disebut Aksharam (Tak Terbinasakan),
sesuatu yang dituju oleh para pengendali nafsu (atau yang telah bebas dari
nafsu), sesuatu yang diperjuangkan dan dituju oleh para bramacharin (yang tidak
menikah).
12. Menutup semua pintu-pintu raga (lubang-lubang indra),
memusatkan pikiran di dalam hati, nafas dipusatkan di kepala, bertindak teguh
dalam konsentrasi yoga.
13. Menyebut satu kata OM–Sang Brahman Yang Abadi – hidup
di dalamKu (dalam aspekKu yang sempurna, yaitu aspek Sang Brahman), maka ia
yang pergi meninggalkan raganya, pergi ke Tujuan Yang Tertinggi.
Diterangkan di sini cara-cara mencapai Yang Maha Esa
(Nirguna Para Brahman) pada saat-saat kematian seseorang. Para ahli Veda
menyebut Yang Maha Esa sebagai Yang Tak Terbinasakan, dan ke dalamNya menujulah
para resi dan orang-orang suci dan orang-orang yang mengendalikan nafsunya.
Semuanya menuju arah yang sama untuk mencapaiNya. Para yogi ini pada saat-saat
kematian mereka menutup pintu-pintu indra mereka (yaitu lima gnana-indra dan
lima karma-indra), dan jalan pikiran dipusatkan ke dalamNya, dan inilah yang
disebut pratyahara. Mereka mengunci pikiran dan nafsu mereka di dalam hati
mereka yang disebut hridaya kamala (di antara nabhi dan kantha). Para yogi ini
juga memusatkan nafas kehidupan di kepala dan ini disebut dharana. Dengan
konsentrasi yoga yang penuh mereka ini menyebut dan memuja secara mental satu
patah kata OM yang menjadi simbol dari Yang Maha Esa (Para Brahman). Mereka ini
memuja Sang Kreshna sebagai manifestasi dari Sang Brahman, dan melepaskan raga
mereka dengan tenang. Para yogi yang meninggal dunia ini menuju ke
Brahma-Nirvana, dan bersatu denganNya.
14. Arjuna, seseorang yang senantiasa berpikir tentang
Aku dengan pikiran yang tak tertuju kepada yang lain – ia, sang yogi ini yang
disebut nitya-yuktah (selalu harmonis dan terserap di dalam Ku) – akan mudah
mencapaiKu.
15. Orang-orang yang sempurna ini — jiwa-jiwa yang agung,
para mahatma ini — sekali mencapaiKu, tak akan lahir kembali, ke tempat duka,
yang tak abadi. Mereka ini telah mencapai Karunia Yang Tertinggi (Kesempurnaan
Yang Tertinggi).
16. Arjuna, semua loka ini, sampai ke Brahmaloka — muncul
dan hilang; loka-loka ini datang dan pergi. Tetapi seseorang yang datang
kepadaKu, ia tak akan mengenal kelahiran lagi.
Apakah yoga-yoga di atas oleh para pembaca dianggap
sukar? Apakah yoga atau cara mencapai Yang Maha Esa (Nirguna Para Brahman atau
Saguna Parameshvaram, banyak nama untukNya, tetapi la Maha Tunggal) ini sukar
untuk dicernakan? Maka ambillah jalan yang paling mudah seperti yang
diajarkanNya, yaitu, “Berpikir tentang Aku tanpa memikirkan dewa-dewa atau
tuhan lainnya. Lihatlah Aku penuh dengan iman dan kasih. Terseraplah selalu di
dalam DiriKu.”
Dan barangsiapa sekali mencapaiNya maka tak akan ia lahir
kembali ke dunia ini, yang penuh penderitaan dan tak abadi ini. la yang pergi
kepadaNya akan mencapai kesempurnaan yang abadi dan penuh dengan karuniaNya.
Barangsiapa memuja para dewa mereka akan pergi ke loka-loka para dewa ini,
tetapi loka yang tertinggi seperti Brahmaloka saja tak lepas dari karma, dapat
timbul dan dapat tenggelam (hilang) karena ada masa-masanya. Tetapi Yang Maha
Esa tak terpengaruh oleh waktu dan karma, maka barangsiapa mencapaiNya maka
akan bersatulah ia denganNya dan tak lahir dan hidup kembali ke dunia yang
penuh dengan derita ini.
17. Mereka-mereka yang tahu (dari kesadaran) bahwa satu
hari Brahma sama dengan seribu yuga, dan satu malam Brahma sama dengan seribu
yuga lainnya — hanya mereka saja yang tahu akan hari dan malam (maksudnya,
hanya mereka yang tahu akan kebenaran waktu).
18. Pada harinya Brahma, semua yang nyata ini mengalir
keluar dari tubuh halus Sang Brahma yang tidak nyata. Dan menjelang malamnya
Sang Brahma semua ini kembali menyerap ke tubuh halus Sang Brahma yang tidak
nyata (tubuh Sang Brahma yang sama juga).
19. Arjuna, makhluk-makhluk yang melimpah-ruah ini pergi
secara terus-menerus (lahir dan lahir lagi), dan tanpa daya terserap lagi
menjelang tibanya malam (Sang Brahma). Dan lagi pada pagi harinya
makhluk-makhluk yang melimpah-ruah ini mengalir keluar lagi.
Semua loka-loka termasuk loka-loka para dewa, dan bahkan
loka yang tertinggi Sang Brahma terbatas pada hukum ‘ada’ dan ‘tidak ada,’
yaitu hukum karma. Semua loka ini terikat pada tahap-tahap tertentu yang
berkaitan dengan hukum kosmos (alam semesta). diantaranya adalah tahap atau
waktu tertinggi, yaitu waktunya Sang Brahma yang dikatakan dalam agama Hindu
sebagai berikut: satu hari atau satu malam waktu di Brahmaloka sama dengan
seribu yuga, dan satu yuga sendiri adalah suatu kurun waktu yang amat luas jika
dibandingkan dengan waktu di bumi ini; suatu kurun waktu yang seakan-akan tidak
ada batasnya, mungkin bermilyar-milyar tahun atau berjuta-juta tahun. Toh kurun
waktu ini (Brahmaloka) masih saja berada dalam lingkupan karma, jadi masih
dapat datang dan pergi atau dengan kata lain masih dapat mati dan hidup lagi.
Barang siapa menyadari fakta ini, betul-betul akan menghayati kehadiran Yang
Maha Esa secara sejati. Yang dimaksud dengan datang dan pergi dari tubuh Sang
Brahma ini adalah: dunia ini beserta isi dan makhluknya yang terbentuk pada
pagi harinya Sang Brahma, yang adalah dewa pencipta dunia ini beserta segala
isinya, dan kemudian kembalinya para makhluk ke dalam diri dewa ini disebut
pralaya, yaitu hari kiamat. Jadi dengan kata lain dari penciptaan dunia sampai
ke akhirnya dunia ini memakan waktu satu hari dan satu malamnya Sang Brahma.
Untuk ukuran bumi, hanya Yang Maha Esa yang tahu sebenarnya betapa luasnya
kurun waktu tersebut. Dan begitulah seterusnya, setelah pralaya maka diciptakan
lagi dunia yang baru beserta segala isinya pada hari berikut Sang Brahma, dan
ini berulang-ulang sesuai dengan kehendak Yang Maha Esa. Dikatakan juga bahwa
di dunia ini semua makhluk hidup dan mati lagi secara berulang-ulang
(reinkarnasi), dan dengan begitu sebenarnya tak ada kreasi kehidupan yang baru,
yang ada hanyalah daur-ulang saja dari elemen yang sama, yang itu-itu juga,
sesuai dengan karma makhluk-makhluk ini, sampai suatu saat mereka lepas dari
lingkaran karma dan mencapai Yang Maha Esa, di mana tak akan ada kehidupan dan
kematian lagi. Dan selama belum mencapai Yang Maha Esa, maka semua makhluk ini
akan selalu berada dalam lingkaran Sang Prakriti dan akan selalu mengalami suka
dan duka yang diakibatkan oleh guna (sifat-sifat alami), dan masa karma ini
bisa berlangsung amat lama.
20. Sebenarnya lebih tinggi dari yang tidak nyata (Sang
Brahma) ini ada lagi Yang TIDAK NYATA, yaitu Yang Maha Suci dan Abadi, Yang tak
dapat hancur sewaktu yang lain-lainnya dihancurkan.
21. Yang TIDAK NYATA ini disebut Yang Tak Terbinasakan,
la lah yang disebut sebagai Tujuan Yang Tertinggi. Mereka yang mencapaiNya tak
akan pernah kembali. Itulah tempatKu bersemayam nan agung.
22. Ia, Purusha Yang Tertinggi (Jiwa), oh Arjuna, hanya
dapat dicapai dengan dedikasi yang tak tergoyahkan. Di dalamNya semua
makhluk-makhluk ini berdiam dan olehNya semua ini (alam semesta beserta isinya)
terpelihara.
Sang Brahma Disebut sebagai yang tidak nyata, tetapi ia
pun masih berada dibawah pengaruh prakriti. Di atas Sang Brahma ini hadir Yang
TIDAK NYATA, yaitu yang sifatNya lebih tinggi dari Sang Brahma dan tidak
terpengaruh oleh prakriti. la lah Yang Maha Esa, Sang Pencipta dari prakriti
itu sendiri, Yang mencipta seluruh alam semesta ini beserta segala isinya, Yang
Maha Abadi, yang Maha Kuasa. Ia lah tujuan terakhir kita semuanya, yang
mempunyai bermacam-macam nama tetapi Tunggal dalam penghayatan. Yang Maha Esa
ini mudah dicapai hanya dengan cinta-kasih dan dedikasi yang tulus yang
terpancar dari sanubari kita senantiasa tanpa henti hentinya.
23. Sekarang akan Kusabdakan kepadamu, oh Arjuna,
waktu-waktu di mana para yogi yang meninggal dunia dan tak kembali lagi, dan
waktu-waktu para yogi yang meninggal dunia hanya untuk kembali lagi.
24. Api, cahaya, siang-hari, dua minggu yang terang, enam
bulan di kala mentari bergerak ke Utara — meninggalkan (raga) pada saat-saat
ini, mereka yang kenal pada Yang Maha Abadi (Brahman) pergi ke Yang Maha Abadi.
25. Asap, malam-hari, begitu juga dua minggu yang gelap,
enam bulan sewaktu mentari bergerak ke arah Selatan – meninggalkan (raga) pada
saat-saat ini para yogi ini akan mencapai cahaya sang rembulan dan kembali
lagi.
26. Terang dan kegelapan – kedua ini adalah jalan-jalan
dunia ini yang abadi. Melalui jalur yang satu seseorang pergi untuk tidak
kembali, dan melalui jalur yang lain seseorang pergi untuk kembali.
27. Seorang yogi kenal akan kedua jalan ini, dan ia tak
akan kebingungan. Seyogyanyalah, oh Arjuna, teguhlah selalu dalam yoga.
28. Seorang yogi yang mengetahui semua hal ini, maka
jasanya dianggap melampaui semua jasa yang didapatkannya dari mempelajari
Veda-Veda, dari pengorbanan (yagna), dari bertapa, dari dana (pemberian atau
amal), dan ia akan pergi ke Yang Maha Agung Dan Abadi (pergi ke alam yang penuh
dengan karunia dan kedamaian).
Ada dua jalan yang diterangkan di sini: (1) jalan yang
pertama ini adalah jalan yang terang dan sekaligus merupakan jalan kebebasan
dari dunia ini, dan (2) jalan keterikatan dan ini berarti kembali lagi ke
kehidupan duniawi ini. Jalan yang pertama disebut patama-dharma (yaitu tempat
kediaman yang utama, tempat bersemayam Sang Brahman, atau Sang Kreshna. Sekali
mencapai ini seseorang tak kembali lagi ke dunia. Banyak sekali sebenarnya nama
untuk loka yang satu ini, tetapi yang terpenting di loka Sang Brahman ini,
seorang yogi yang mencapainya akan bersatu denganNya dan akan abadi bersamaNya.
Jalan yang lainnya adalah jalan kegelapan, di mana sesorang yang masih terikat
pada karmanya akan menjalani jalan ini dan setelah menyeberangi Chandra loka
(loka para leluhur) maka ia akan sampai ke chandra-loka dan setelah mendapatkan
inti kesucian Sang Chandra (disebut sari soma), orang ini akan memasuki sorga.
Di sorga-loka ini ja menikmati buah dari perbuatannya yang baik dan lalu
kembali lagi ia ke dunia ini setelah masanya selesai.
Seorang yogi yang sadar akan arti kedua jalan ini, tak
akan kebingungan memilih jalan kehidupannya. la tak akan terikat pada moha
(kasih-duniawi). Maka seyogyanyalah kita semua tidak terikat pada moha dan
tidak terikat pada hasil atau buah dari semua perbuatan baik kita juga.
Lakukanlah semuanya demi Yang Maha Esa semata dan tanpa pamrih, sebagai
kewajiban kita kepadaNya. Semua tindakan baik atau positif seperti pengorbanan,
sesajen, doa, yagna, dana, dan tapa, dan lain sebagainya akan menghasilkan
buah, tetapi persembahkan kembali buah ini kepadaNya tanpa pamrih dan selalulah
bertindak tanpa keinginan agar jalan yang kita tuju kelak tidak menyimpang dari
tujuan kita, yaitu Brahman-loka (ingat, bukan Brahma-loka). Semua Veda memang
mengajarkan hal-hal yang baik, tetapi kebijaksanaan akan Yang Maha Esa adalah
lebih tinggi nilainya dari semua yang tertulis dan yang diajarkan Veda-Veda.
Kebijaksanaan ini lebih tinggi sifatnya dari semua dana, yagna, tapa dan lain
sebagainya. Karena kebijaksanaan yang benar akan membawa kita kepada Sang
Brahman, Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan kebijaksanaan yang salah (perbuatan
baik demi tujuan-tujuan tertentu, demi pamrih) akan mengantar kita kembalik ke
dunia ini. Bertindaklah senantiasa secara benar dan tanpa pamrih, tanpa
henti-hentinya.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini
adalah bab ke delapan yang disebut : Aksharabrahman Yoga atau Yoga Sang Maha
Nyata Yang Tak Terbinasakan.
Bab 09 – Misteri Nan Agung
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Kepadamu, yang tak memiliki berbagai keinginan, akanKu
sabdakan rahasia yang paling dalam ini, gnana dengan vignana yang tergabung
(pengetahuan tentang Nirguna Brahman — Yang Maha Gaib, digabung dengan
pengetahuan tentang Cinta-Kasih nan Suci dari Sakara Brahman – manifestasiNya
Yang Abadi). Mengetahui ini, engkau akan lepas dari dosa-dosa (keterikatan
sansara).
Di bab ini Sang Kreshna menyabdakan tentang rahasia
sejati, rahasia yang paling misterius dan suci dari Yang Maha Gaib. Arjuna
dipercayai untuk mendapatkan ajaran ini karena Arjuna tidak mempunyai keinginan
atau nafsu-nafsu yang negatif dalam dedikasinya terhadap Sang Kreshna. la tak
membantah ajaran-ajaran Sang Kreshna selama ini, tetapi selalu ingin lebih tahu
lagi dariNya. Hati Arjuna ibarat hati seorang murid yang tulus dan penuh
pengabdian. Dalam bab kedelapan-belas Bhagavat Gita yang menyusul nanti, akan
kita pelajari bahwa ajaran Sang Kreshna ini tidak boleh diajarkan kepada
orang-orang yang hanya ingin membantah ajaran-ajaranNya. Kebenaran Bhagavat
Gita hanya untuk mereka-mereka yang berdedikasi tanpa pamrih kepadaNya semata.
Memang Arjuna banyak sekali bertanya, tetapi
pertanyaan-pertanyaannya malahan mencerminkan keinginannya untuk mempelajari
dan menghayati ajaran-ajaran Sang Kreshna lebih dalam lagi. Sang Kreshna pun
dengan senang hati dan penuh kasih mengajarkan ajaranNya lebih lanjut, karena
Arjuna dianggapNya penuh dengan bhakti yang tulus terhadap Yang Maha Esa.
Seharusnya seorang murid yang baik selalu bertanya kepada guru spiritualnya dan
seorang guru yang baik seharusnya bertindak seperti Sang Kreshna dengan tidak
segan-segan menuntun seseorang ke jalan yang benar dan sejati. Ajaran apakah
yang maha sejati dan rahasia ini, yang disebut sebagai gabungan dari kehadiran
Sang Maha Gaib dan Cinta-Kasih SuciNya, yang juga menurut Sang Kreshna adalah
gabungan antara gnana dan vignana. Apakah itu gnana, dan apakah itu vignana?
Dan apakah perbedaan antara keduanya?
Gnana adalah ilmu pengetahuan tentang Nirguna-Brahman,
yaitu tentang Yang Maha Gaib, tetapi dalam kegaibanNya la adalah realitas yang
absolut. Suatu realitas yang tak dapat ditentang kehadiranNya, walau tak
diketahui bentukNya yang nyata, karena tak mungkin kita mengungkapkanNya secara
harafia apa Ia itu sebenamya, dan tak mungkin pikiran kita mampu menjangkau
atau menafsirkanNya, atau bahkan menerangkan secara pasti dan konkrit apakah Ia
sesungguhnya. Suatu hal yang pasti adalah Ia itu yang Ada dan Hadir dan ini
benar-benar realistis. la adalah realita yang abadi dan absolut tanpa bisa
ditawar-tawar lagi KehadiranNya. Mayoritas manusia berpikir bahkan mengangan-angankan
Seorang Tuhan yang berbentuk (Sakara Brahman). Vignana adalah ilmu pengetahuan
atau pemujaan akan Sakara Brahman. Menurut Dattatrya, seorang resi agung di
masa yang silam, pemujaan terhadap Nirguna Brahman hanya dapat dilakukan oleh
mereka-mereka yang asarira (tak berbadan). Yang dimaksud di sini bukan
makhluk-makhluk halus tetapi adalah kiasan dari seseorang yang sudah tak
terikat pada dvandvas, yaitu nafsu atau sifat dualisme yang bertentangan.
Seseorang yang telah mengatasi semua keinginan dan nafsu-nafsunya, yang telah
berada di atas rasa suka dan duka, walaupun dibakar hidup-hidup tak akan
merasakan apa-apa lagi. Mayoritas manusia tidak bisa mencapai kesadaran Ilahi
seperti ini, dan memujaNya dalam bentuk Sakara Brahman, yaitu Tuhan Yang
Berbentuk, seperti pemujaan pada Sang Kreshna, Vishnu, Shiva, dan sebagainya.
Sang Kreshna sendiri disebut juga sebagai Purusha Uttama
dan DiriNya adalah manifestasi dari Yang Maha Esa (Nirguna Brahman). Jadi gnana
adalah pemujaan kepada Yang Maha Esa Yang Tidak Berbentuk sedangkan vignana
adalah pemujaan kepadaNya dalam bentuk-bentuk manifestasiNya, seperti Sang
Kreshna, Sang Rama, dan lain sebagainya. Yang pertama ini lebih sukar untuk
rata-rata manusia sepert kita ini, Yang kedua karena berbentuk manusia maka
lebih mudah bagi kita untuk memujaNya. Dalam manifestasiNya yang berbentuk maka
bisa saja Yang Maha Esa dipuja dalam bentuk dewa-dewi, aspek-aspek alam seperti
sang surya, rembulan, sungai, sapi atau bentuk-bentuk kosmos lainnya. Bisa juga
la dipuja sebagai seorang guru, pahlawan, pendeta-suci, resi, dan simbol-simbol
yang dianggap suci. Atau la dipuja dan dihayati dalam bentuk orang-orang yang
menderita dan bentuk fakir-miskin yang hina-papa. Contoh: ibu Theresia yang
melihatNya dalam bentuk manusia-manusia yang sangat menderita di Calcutta dan
di seluruh dunia. Pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian in berbakti kepada
Yang Maha Esa dalarn dedikasinya, tanpa pamrih untuk la semata. Kata-kata ibu
Theresia yang pantas dicatat adalah: Berpikirlah akan apa yang sedang kau
lakukan kepadaNya, Berpikirlah akan apa yang sedang kau lakukan untukNya,
Berpikirlah akan apa yang sedang kau lakukan denganNya,
2. Raja-vidya (ilmu pengetahuan yang paling agung) ini,
raja-guhyam (rahasia yang paling agung) menyucikan dan amat tinggi nilainya.
Dan ilmu ini bercahaya gemerlapan, harmonis dengan dharma (kewajiban); sangat
mudah untuk dipergunakan dan tak dapat dibinasakan.
Ilmu ini disebut raja-vidya, karena tak dapat dipelajari
di sekolah, tapi hanya dipelajari dan dihayati oleh mereka-mereka yang
benar-benar terpilih untuk itu, yang ingin menguasai pikiran dan
indra-indranya. Raja-vidya ini, kalau bukan diterangkan olehNya, tak mungkin
kita ketahui sendiri dengan benar. Karena apakah Tuhan itu sebenarnya, hanya Ia
Yang Maha Tahu. Yang kita ketahui hanyalah seperti yang diuraikan di sini
sesuai dengan KasihNya pada Arjuna dan kita semuanya. Pada sloka di atas
disebutkan bahwa raja-vidya ini menyucikan rasa dan pikiran kita (pavitram) dan
juga amat berharga (uttaman = tinggi nilainya), karena dengan menghayati dan
sadar akan arti ilmu ini, seseorang lalu tahu akan nilainya yang amat tinggi
dan sebenarnya tak ternilai untuk ukuran duniawi ini yang serba materialistis.
Dikatakan juga di atas bahwa ilmu pengetahuan ini gemerlapan
cahayanya (pratyakshavagamam) dengan kata lain, seseorang yang memujaNya dengan
tulus akan diberkahi cahaya ilmu pengetahuan ini yang bersinar amat gemerlapan,
dan juga ilmu ini harmonis atau sejalan dengan semua dharma-bhakti dan
kewajiban kita kepadaNya dan masyarakat di sekitar dan di sekeliling kita,
bahkan dikatakan harmonis dengan hukum kosmos yang berlaku. Ilmu pengetahuan
ini juga mudah untuk diusahakan, dijalankan dan dilaksanakan. Ilmu ini mudah
dipelajari karena bentuk ajarannya sebenarnya tidak memakan biaya mahal, dan
mudah difahami. Juga menurut Sang Kreshna, ilmu ini tidak dapat binasa, habis
atau surut, tetapi kebijaksanaan ini akan langgeng dan abadi. (Setelah
beribu-ribu tahun Bhagavat Gita diturunkan di Kurukshetra maka sampai saat ini
ajaran Bhagavat Gita masih relevan dan dianggap sebagai inti dari semua ajaran
spiritual di dunia. Inilah salah satu bukti dari kata-kata Sang Kreshna di
atas.)
3. Orang-orang yang tak beriman pada ilmu pengetahuan
ini, oh Arjuna, tidak akan mencapai Aku, kembali ke jalan dunia yang binasa
ini.
Ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan ini membebaskan
mereka-mereka yang beriman dari semua sifat-sifat prakriti dan kegelapan yang
ditimbulkan oleh Sang Maya. Para yogi yang beriman ini tidak kembali lagi ke
dunia yang penuh dengan ketidak-abadian ini, tetapi bersatu bersemayam di dalam
Diri Yang Maha Esa untuk selama-lamanya. Yang jadi titik penting di sini adalah
iman atau kepercayaan yang teguh dan tak tergoyahkan kepada Yang Maha Esa, dan
ini harus tanpa pamrih sedikitpun. Tanpa iman semacam ini tak mungkin kita
mencapaiNya.
4. OlehKu dalam bentukKu Yang Tak Nyata seluruh alam
semesta ini tertunjang. Setiap makhluk berakar padaKu, tetapi Aku tak berakar
pada mereka.
5. Dan (tetapi) sebenarnya semua makhluk tak berakar
padaKu. Saksikanlah misteriKu Yang Suci. DiriKu menciptakan semuanya, menunjang
semuanya, tetapi tidak berakar pada semuanya.
Sang Kreshna dalam bentuk aslinya, yaitu Sang Brahman
adalah asal-mula dari semua makhluk dan seisi alam semesta ini, dengan kata
lain semua ini berakar padaNya, tinggal di dalamNya, ditunjang olehNya dan
terpelihara olehNya, tetapi la sendiri tak terpengaruh oleh semua ciptaanNya
ini, karena Yang Maha Esa berada di atas semua ciptaan-ciptaanNya, di
ataspralaya (kiamat), di atas alam semesta. Semua sebaliknya bersandar atau
bertumpu padaNya, inilah yang dimaksud sebagai Misteri Yang Agung
(Yogam-aishvaram) dari Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Abadi
adalah juga Sang Atman (Jati Diri Yang Sejati) yang secara universal menunjang
seluruh alam semesta ini. Kita harus menyadari bahwa semua obyek dan unsur di
alam semesta seperti dewa, manusia, makhluk, jin, tata-surya, tumbuh-tumbuhan,
fauna, mineral, atom, elektron, ether, dan lain sebagainya adalah sebagian dari
Yang Maha Suci ini. Semua yang kita dengar, lihat, rasa, adalah dariNya semata,
dari Yang Maha Suci ini. Semua yang kita dengar, lihat atau rasa adalah dariNya
semata, dari ide-ideNya dan gagasan-gagasanNya (sankalpa), dari yoga-mayaNya,
dari ShaktiNya Yang Maha Suci. Seyogyanyalah alam semesta ini berharga dan
tinggi nilainya karena berasal dariNya juga, maka seharusnya kita melestarikan
semua ciptaan Yang Maha Esa ini. Semua berasal dariNya dan akan kembali
kepadaNya.
6. Ibarat angin yang dahsyat, bergerak ke setiap arah,
tetapi selalu berada di angkasa (akasha), begitupun ketahuilah olehmu, semua
makhluk bersandar padaKu.
Angin selalu bergerak dan bertiup di angkasa, di langit
dan di setiap spasi di bumi ini, tetapi selalu berada di situ-situ juga dan
tidak pernah berupa angkasa atau langit atau spasi itu sendiri. Begitu juga
halnya dengan semua ciptaanNya selalu di situ-situ juga, yaitu bersemayam di
dalamNya tetapi tidak pernah mengikatNya. la yang menjadi sumber ciptaan dan
kehidupan alam semesta ini dan bukan sebaliknya.
7. Pada penutupan setiap kalpa (umur dunia), oh Arjuna,
semua makhluk kembali ke Sifat (Prakriti) Ku. Dan pada permulaan kalpa yang
berikutnya, Ku kirim mereka kembali keluar.
8. Melalui PrakritiKu, Ku ciptakan berulang-ulang semua
makhluk yang (amat besar jumlahnya ini), yang tak berdaya, karena berada di
bawah kendali Sang Alam (Prakriti).
Semua makhluk datang dari Sang Maya, dari Sang Prakriti,
pada saat diproyeksikan (evolusi) dan kembali ke Sang Prakriti lagi pada saat
akhir setiap kalpa, dan keluar atau tercipta lagi selanjutnya pada penciptaan
baru berikutnya, dan kembali lagi dan begitulah seterusnya. Semua ini adalah
pekerjaan Sang MayaNya Sang Kreshna, Sang Brahman dalam bentuk asliNya. Semua
terikat pada hukum alam yang diciptakanNya tetapi la sendiri tak pernah terikat
pada semua itu.
9. Semua tindakan ini, oh Arjuna, tidak mengikatKu,
karena Aku bersemayam jauh dari mereka (perbuatan ciptaan-ciptaan ini dan
karma-karma mereka), tak terikat pada perbuatan-perbuatan ini.
10. Begitulah, diperintahkan olehKu, maka alam
menciptakan semuanya, yang bergerak maupun yang tak bergerak, dan begitulah, oh
Arjuna, dunia ini pun berputar.
Begitulah Yang Maha Esa menjadi sumber, pimpinan akan
alam semesta ini, dan dengan perintahNya alam ini pun berputar sesuai dengan
kehendakNya, tanpa Ia sendiri terlibat lagi dengan alam semesta ini dengan
seluruh gerakan-gerakannya. Seluruh jajaran dewa-dewa agung seperti Vishnu,
Shiva, Brahma dan lain sebagainya akan masuk kepralaya suatu saat nanti, tetapi
Sang Kreshna (Sang Brahman) tak akan tersentuh oleh kejadian ini, karena Ia lah
Yang Maha Mencipta dan Yang Maha Menghancurkan.
11. (Melihat Ku) dalam bentuk manusia, orang-orang yang
bodoh tidak memperdulikanKu, (mereka) tak sadar akan SifatKu yang lebih tinggi,
Yang memerintah sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala makhluk-makhlukNya.
Inilah salah satu rahasia abadi dari Yang Maha Esa. Dalam
bentuk manifestasiNya sebagai manusia dari zaman ke zaman. la selalu tidak
diacuhkan atau tidak diperdulikan oleh mereka-mereka yang tak beriman
kepadaNya. Orang-orang bodoh atau yang tak sadar ini tidak mengetahui bahwa
Yang Maha Pencipta ini sebenarnya adalah Yang Maha Kuasa dan memerintah atas
segala makhluk-makhluk ciptaanNya, dan atas alam semesta beserta segala isinya.
la adalah sesuatu Yang gaib, Yang tak nyata dan tak berbentuk, sesuatu kekuatan
Yang amat dahsyat dan tak dapat dilukiskan atau diterangkan oleh manusia. Lalu
timbul pertanyaan, mengapa manusia ini tersesat dan bodoh sehingga tidak sadar
akan Yang Maha Esa dalam berbagai bentuk manifestasiNya? Karena nafsu, ego, dan
kegelapan (boleh juga dikatakan “iblis”) yang bersarang di dalam hati mereka,
karena ulah Sang Maya dan “permainannya,” sehingga mata-hati mereka tertutup
untukNya.
12. Harapan-harapan mereka sia-sia saja, tindakan mereka
pun sia-sia saja, ilmu pengetahuan mereka pun sia-sia saja. Jauh dari
kesadaran, mereka mengambil sebagian dari sifat-sifat buruk iblis dan syaitan.
13. Tetapi jiwa-jiwa yang agung (paramahatma), oh Arjuna,
yang mengambil sebagian dari sifat-sifatKu Yang Suci, memujaKu dengan iman yang
teguh. Mereka sadar bahwa Aku adalah Yang Tak Terbinasakan, Asal dari segala
makhluk.
Ada dua sifat atau prakriti di dunia ini, yaitu
mohini-prakriti (sifat iblis) dan daivi-prakriti (sifat suci). Mereka-mereka
yang memiliki sifat yang pertama akan menjalani hidup mereka penuh dengan
nafsu, dosa, polusi, sesuai dengan sifat-sifat syaitan dan iblis. Sedangkan
mereka-mereka yang mengambil sifat prakriti yang kedua akan berjalan sesuai
dengan sifat-sifat Yang diturunkan oleh Yang Maha Esa. Dan mereka yang terakhir
ini akan memujaNya secara tulus dan sadar, dan akhirnya terserap kedalamNya.
14. Mereka selalu mengagungkan Aku, sangat tegar dan tak
kenal lelah dalam tekad mereka; mereka mendatangiKu, diri mereka selalu
terkendali, mereka memujaKu dengan cinta-kasih yang penuh hormat.
15. Yang lain-lainnya pun, mengorbankan pengorbanan dalam
bentuk kebijaksanaan, memujaKu, sebagai Yang Esa, sebagai Yang Jauh, dan Yang
Banyak JumlahNya (karena mereka melihat Ku) hadir di mana-mana.
Mereka-mereka yang bijaksana dalam pemujaan mereka kepada
Sang Kreshna Yang Maha Esa, mengorbankan pengorbanan dalam bentuk gnana (ilmu
pengetahuan), mereka ini melakukan gnana-yagna. Mereka sadar dan memusatkan
perhatian mereka pada Yang Maha Esa sebagai Yang Tunggal dan juga sebagai Yang
Banyak karena Yang Maha Esa ini hadir dalam segala-galanya tetapi la bersifat
Esa.
16. Akulah pemujaan, Akulah pengorbanan, Akulah yang
dikorbankan untuk para leluhur, Akulah tumbuh-tumbuhan yang menyembuhkan
(penyakit), Akulah mantra, Akulah minyak (untuk pelita di kuil), Akulah Api,
dan Akulah sesajen yang diapikan.
Sang Kreshna meneruskan keterangan-keterangan tentang
DiriNya Yang Sejati, yang pada hakikatnya adalah Inti dari segala yang ada dan
yang dilakukan oleh manusia atau alam dan isinya. Ia hadir misalnya dalam suatu
yagna dan setiap aspek-aspeknya. Dan mereka yang memuja dewa-dewa, Veda-Veda
dan lain sebagainya dengan ini diberi kesadaran bahwa sebenarnya mereka ini
memujaNya juga secara tidak langsung.
17. Akulah Bapak dunia ini, Ibunya, Penunjangnya dan juga
Kakek (Leiuhurnya). Aku lah Yang suci dan tunggal Yang harus diketahui (oleh
manusia). Akulah OM, dan juga Veda-Veda, Rig, Sama dan Yajur.
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa adalah Inti-Murni dari
segala ilmu-ilmu pengetahuan suci, dan hal ini seharusnya disadari oleh
manusia. la juga kata inti OM yang terdapat di Veda-Veda dan kitab-kitab suci
Hindu lainnya.
18. Akulah Jalan, Penunjang, Penguasa (Tuhan), Saksi,
Tujuan, Tempat Berlindung, dan Sahabat. Akulah Asal-Mula dan Akhir (Pralaya),
Fondasi, Tempat Penyimpan Harta-Benda, dan Inti (Sari) Yang Tak Pernah Binasa.
Sang Kreshna adalah semua aspek dan penunjang kehidupan
ini. la juga segala-galanya. la juga harta-benda sesungguhnya dan kehidupan
yang tak dapat binasa. la sekaligus sahabat dan saksi kita di dalam diri kita
sendiri. Ia lah permulaan kita dan akhir kita dalam arti yang sebenar-benarnya.
19. Aku memberi panas. Aku menahan dan mengirimkan hujan.
Akulah Keabadian dan juga Kematian. Aku lah yang telah berlalu (tidak abadi =
asat) dan keabadian (sat).
Sang Kreshna lah yang mengendalikan semua elemen-elemen
di dunia ini. Ia lah Sat yang dapat disebutkan sebagai suatu zat atau keadaan
yang selalu abadi. Tetapi Ia juga yang bersifat tidak abadi dan dapat binasa
(asat). Semuanya Ia dan Ia semata.
20. Mereka yang mengenal ketiga Veda-Veda, yang meminum
sari soma (sakramen suci) dan telah dibersihkan dosa-dosanya, memujaKu dengan
pengorbanan, memohon jalan untuk ke svarga. Setelah sampai ke dunia suci Sang
Indra ini (svarga-loka), mereka menikmati kenikmatan-kenikmatan suci (yang
biasa dinikmati para dewa).
21. Setelah menikmati svarga-loka yang luas ini, dan
setelah habis masa dan hasil pemujaan mereka, mereka kembali lagi ke dunia
kebinasaan ini. Begitulah mengikuti kata-kata dalam ketiga Veda dan menikmati
kesenangan-kesenangan, mereka mendapatkan sesuatu yang berlalu sifatnya (tidak
abadi dan terpengaruh hukum karma).
Mereka-mereka ini tidak bisa lepas dari hukum karma.
Sorgaloka (svarga-loka) bukanlah akhir dari perjalanan hidup kita, akhir tujuan
kita adalah Yang Maha Esa. Yang Maha Abadi, di mana tidak ada mati dan hidup
lagi untuk selanjutnya. Veda-Veda amat penting untuk dihayati, tetapi lebih
merupakan jembatan ke Yang Maha Esa, dan bukan tujuan.
22. Tetapi mereka yang memujaKu dan bermeditasi kepadaKu
semata, kepada mereka ini yang dirinya terkendali, Ku berikan mereka apa yang
mereka tak punya dan menjamin dengan aman apa yang mereka miliki.
Hanya kepada para pemuja-pemujaNya, kepada para bhakta
ini Yang Maha Esa (Sang Kreshna) memberikan kekuatan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan tentang DiriNya dan meniti mereka ke tangga sukses demi mencapai
dan bersatu denganNya. Juga dijanjikan kepada para pemujaNya bahwa Sang Kreshna
menjamin kehidupan mereka secara penuh, Ia menjaga kehidupan mereka dan
memberkahi mereka dengan kebahagiaan yang abadi. Harap diperhatikan para pemuja
Sang Kreshna (Yang Maha Esa) yang tulus dan sejati, secara lambat laun akan
melepaskan semua kemewahan dan cara hidup mereka secara perlahan tetapi pasti
akan mengarah jauh dari semua unsur duniawi, bagi mereka ini apa saja yang
diterimanya terasa cukup; hidup dan pekerjaan mereka semata berupa dedikasi
tanpa pamrih kepadaNya. Anehnya dalam segala kesederhanaan, penderitaan dan
cobaan mereka, mereka ini selalu tampil berkecukupan dalam segala hal. Inilah
yang benar-benar menakjubkan sesuai dengan janji Sang Kreshna di atas. Inilah
berkahNya yang sesungguhnya di dunia fana ini. Mereka selalu tampil penuh
karisma dan wibawa, menyejukkan untuk dipandang dan diikuti kata-katanya.
Para pemuja yang telah mendapatkan berkahNya ini
betul-betul menjalani hidup mereka dengan hal-hal yang penuh mukjizat. Misalnya
mereka tidak mungkin dapat diteluh atau diguna-gunai, mereka selalu jauh dari
cobaan-cobaan yang bersifat negatif, dan bahkan alam-lingkungan disekitar
mereka beserta seluruh unsur-unsur yang hadir di situ akan bersahabat dengan
mereka ini. Roh-roh halus, jin, pepohonan, fauna dan lain sebagainya akan
bersahabat dengan mereka dalam arti yang sesungguhnya, dan ini bisa saja
dirasakan ajaib bagi orang awam yang duniawi; bagi para pemuja ini biasa-biasa
saja karena mereka mi telah bersahabat dengan Yang Maha Esa secara tulus dan
merasa sebagian dariNya, mereka ini juga merasa dimiliki dan jadi alatNya, maka
untuk orang-orang seperti ini sudah tidak ada lagi rasa takut akan apapun juga
baik secara duniawi maupun secara spiritual. Yang mereka segani hanya Yang Maha
Esa, dan barangsiapa bersahabat denganNya tentunya bersahabat dengan seluruh
alam semesta ini secara otomatis dan ini betul-betul suatu pengalaman yang
penuh dengan “mukjizat”Nya, yang disebutkan Sang Kreshna sebagai “menjamin
dengan aman apa yang mereka punyai” dan “Kuberikan kepada mereka apa yang
mereka tidak miliki.” Berjuanglah untuk menjadi yogi semacam ini agar jauh kita
dan tujuan yang salah. Para pemuja ini juga mendapatkan banyak ilmu spiritual
dan pengetahuan yang menakjubkan dari Yang Maha Esa tanpa mereka minta, dan semua
itu kemudian mereka pergunakan untuk tujuan-tujuan tanpa pamrih. Sekali mereka
terbius dengan ilmu atau pengetahuan ini dan menggunakannya secara salah atau
penuh dengan nafsu dan egoisme maka hancurlah meditasi dan yoga mereka. Ini
disebut Siddhi, dan harus diwaspadai oleh para pemuja Yang Maha Esa karena
berbentuk cobaan juga dalam bentuk spiritual.
23. Bahkan pemuja-pemuja dewa-dewa lainnya yang dengan
iman mereka memuja dewa-dewa ini, mereka juga memujaKu, oh Arjuna, walau tidak
dengan cara yang benar.
Bhagavat Gita adalah suatu ajaran yang unik, dan penuh
dengan kebebasan memuja. Setiap orang tidak dilarang untuk memuja apa saja
tetapi juga tidak dianjurkan demikian karena yang ingin diluruskan adalah
pemujaan kepada Yang Maha Esa semata, tanpa menjalani jalan yang salah. Tetapi
seandainya seseorang tetap mengambil jalan yang salah maka ia diberi kesadaran
agar mengubah jalur yang ditempuhnya. Pesan ini berulang-ulang ditekankan di
Bhagavat Gita.
24. Karena Aku ini adalah Penikmat dan Tuhan dari semua
pengorbanan. Tetapi orang-orang ini tidak mengenalKu, yaitu sifatKu yang
sejati, dan jatuhlah mereka ini (ke lingkaran hidup dan mati lagi).
Karena tidak mengenal sifat-sifat sejati Sang Kreshna,
Yang Maha Esa, dengan baik maka banyak pemuja yang memuja dewa-dewa dan merasa
sudah cukup dengan itu. Padahal dalam hakikat Yang Maha Esalah yang seharusnya
dipuja agar lepas kita dari lingkaran karma dan samsara (penderitaan ini).
25. Barangsiapa yang memuja para dewa pergi ke dewa-dewa,
yang memuja leluhur pergi ke leluhur, yang memuja jiwa-jiwa (roh-roh) yang
rendah sifatnya (bhuta) pergi ke para bhuta ini, tetapi pemujaKu datang
kepadaKu.
Dijelaskan dan ditegaskan sekali lagi oleh Sang Kreshna
secara bebas dan amat demokratis tujuan pemujaan para pemuja yang bebas memuja.
Silahkan dengan demikian menentukan pilihan, karena Yang Maha Esa sudah jelas
sabda-sabdaNya.
26. Barangsiapa mempersembahkan kepadaKu dengan dedikasi,
sehelai daun, sekuntum bunga, ataupun air, Ku terima persembahan penuh kasih
itu sebagai persembahan dari hati yang suci-murni.
Sloka ini adalah salah satu sloka yang amat penting untuk
dipelajari dan dihayati oleh orang yang beragama Hindu. Di sini diperlihatkan
betapa besarnya Jiwa Yang Maha Esa yang tak pernah menuntut apapun juga dari
kita semua untuk apa saja yang telah diberikannya kepada kita semua. BagiNya
yang penting dari kita hanyalah dedikasi, iman dan kasih untukNya, dan semua
itu dapat disimbolkan dalam bentuk-bentuk sederhana saja seperti daun, bunga
dan lain sebagainya. la tidak menuntut harta-benda atau yang mewah-mewah dan
yang bukan-bukan. Hanya yang kecil-kecil saja yang diingatkanNya kepada kita.
Maka seyogyanyalah berbakti kepadaNya dengan yang sederhana dan kecil saja
seperti memperhatikan fakir-miskin dan mereka yang kesusahan di sekitar kita
dengan dana yang berupa apa saja dalam bentuk yang sederhana saja kalau tidak
bisa yang bentuknya malahan menyusahkan. Dengan sedikit perhatian terhadap
sesama makhluk ciptaan Tuhan, maka setiap saat kita sudah berbakti untukNya tanpa
pamrih. Nyalakan sebuah lilin kecil setiap hari dalam dirimu atau dengan kata
lain jadikanlah anda sebuah batu-bata kecil untuk membangun kuilNya yang suci,
atau berikanlah segenggam beras kepada sesama makhluk setiap harinya; semua
pengorbanan-pengorbanan kecil demi Yang Maha Kuasa ini akan meniti kita ke
pemasrahan total dan pembersihan atau pemurnian hati kita suatu waktu, dan
jatuhlah kemudian berkah dan karunia Sang Maha Pengasih, Sang Maha Penyayang
atas diri kita yang ‘bodoh’ dan ‘gelap’ ini, dan teranglah tujuan kita ke
arahNya.
27. Apapun yang kau lakukan, apapun yang kau santap,
apapun yang kau persembahkan, apapun yang kau danakan, apapun puasa (atau
disiplin spiritual) yang dikau lakukan — lakukanlah itu semua, oh Arjuna,
sebagai persembahan bagiKu.
Berdedikasilah kepada Yang Maha Kuasa sepenuh hatimu, dan
dalam setiap tindakanmu yang merupakan tindakan demi Yang Maha Esa semata-mata
tanpa parnrih. Apapun tindakan anda, apakah itu pekerjaan sehari-hari di rumah
atau di kantor atau di mana saja, lakukanlah sebagai kewajiban anda kepadaNya
semata dan harus tanpa pamrih yang setulus-tulusnya. Bukankah pada hakikatnya
kita semua diutus ke dunia ini untuk suatu tugas, maka laksanakanlah tugas dan
kewajiban kita sesuai dengan kehendakNya dan memujalah demi Ia semata. Berkata
seperti di atas amatlah mudah, tetapi melaksanakan sesuatu tanpa pamrih atau
keinginan pribadi adalah amat sukar. Juga seseorang dengan mudah dapat berkata
bahwa semua tindakannya sehari-hari telah dikerjakannya demi Yang Maha Esa, tetapi
secara sejati bekerja seratus persen demi Yang Maha Esa itu harus sesuai dengan
hati-nuraninya, dan inilah faktor yang amat sukar untuk dilaksanakan.
Menghayati tindakan-tindakan demi Yang Maha Esa hanya dapat dicapai dengan
latihan mental yang intensif selama masa yang cukup lama (mungkin
bertahun-tahun), sampai suatu saat kita betul-betul menghayati dan menyadari
akan arti ajaran ini secara mumi.
Dalam berbagai ajaran spiritual maupun dalam berbagai
ajaran agama sebenarnya ajaran di atas ini sudah disiratkan secara nyata,
tetapi sering sekali kita lupa akan inti hal ini sebenamya. Kita lebih condong
untuk bekerja, berbuat atau bertindak atau beraksi karena didorong oleh suatu
pikiran agar mendapatkan apresiasi atau penghargaan dari orang-orang di sekitar
kita, bahkan sering sekali sesuatu perbuatan kita lakukan agar mendapatkan
status sosial yang lebih tinggi dari masyarakat di sekitar kita, biasanya
perbuatan atau upacara semacam ini tidak ubahnya seperti suatu pertunjukan
saja. Banyak juga tindakan kita yang didasarkan pada kebutuhan dan ego kita
pribadi, pada kewajiban kita pada keluarga dan diri sendiri, dan semuanya itu
kita lakukan tanpa adanya kesadaran bahwa itu sebenamya harus dilakukan demi
kewajiban kita kepada Yang Maha Esa. Orang-orang yang disayangi di sekitar kita
tidak lain dan tidak bukan juga sebenamya hanyalah alat-alatNya belaka, sama
seperti kita juga.
28. Dengan bertindak demikian, dikau akan bebas dari
tali-ikatan tindakan, dari buah baik dan buruk (hasil tindakan seseorang). Dengan
pikiranmu yang teguh di jalan pemasrahan-total ini, engkau akan bebas dan
datang kepadaKu.
29. Aku ini sama untuk setiap makhluk. BagiKu tak ada
yang tersayang atau yang Kubenci. Tetapi mereka yang memujaKu dengan setia,
mereka ada di dalamKu, dan Aku pun ada di dalam mereka.
Yang Maha Kuasa itu begitu Maha AdilNya sehingga bagiNya
tak ada makhluk yang tersayang atau yang paling dibenciNya. Semuanya sama saja
bagiNya, tinggal terserah kita sendiri ini mau mendekatiNya atau menjauhiNya.
Ada suatu contoh yang baik, yaitu cahaya. Cahaya ini jika direfleksikan ke
sebuah cermin yang kotor dan berdebu maka cahaya yang memantul kembali itu
buram atau tidak baik, sedangkan jikalau cerminnya bersih dan licin
permukaannya, maka cahaya yang dipantulkannya pastilah sangat baik dan jernih.
Yang Maha Kuasa adalah ibarat cahaya ini, dan kita semua adalah cermin-cermin
ini. la selalu bersinar atau bercahaya ke arah kita semua sepanjang waktu dan
setiap saat dengan adil dan merata, tanpa pandang bulu atau suku atau kasta.
Dan sekarang tentunya terserah kita semua, ingin menjadi cermin yang berdebu
dan kotor atau cermin yang kotor akibat ulah kita sendiri. Di sloka atas ini la
telah menegaskan bahwa Ia sama saja kasih-sayangNya terhadap semuanya tanpa ada
diskriminasi sedikit pun.
30. Walaupun seseorang yang tenggelam amat dalam di dalam
dosa-dosanya, memujaKu dengan hati yang teguh, ia pun harus dikenali sebagai
orang yang benar, karena ia telah beritikad secara benar.
Di dalam dosa-dosa pun bersinar Yang Maha Tak Berdosa; Yang
Maha Kuasa secara adil dan merata. Ia bercahaya juga di dalam orang-orang yang
kita anggap berdosa dan tak dapat diampuni. Sekali seorang semacam ini
beritikad untuk mengubah dirinya ke jalan yang benar dan tunduk kepada Yang
Maha Kuasa, maka ia harus dihormati dan dibantu, didoakan ke arah Yang Maha
Esa, karena ia telah beritikad secara benar, dan suatu saat nanti sewaktu
masanya tiba maka ia akan disucikan dan diterima di Tujuan Nan Abadi, yaitu
Yang Maha Esa itu Sendiri.
31. Dan segera ia akan berubah menjadi benar dan mencapai
kedamaian nan abadi. Oh Arjuna, harus kau ketahui secara pasti bahwa pemujaKu
tak pernah binasa.
Seseorang yang mencintai Tuhan Yang Maha Esa “tak akan
pernah tersesat jalannya,” lambat laun ia akan dituntun ke arahNya, dan kalau
tersandung ia akan diangkat kembali agar lebih bergairah ia melaju ke arahNya.
Walaupun orang ini mungkin pernah menjadi seseorang yang amat berdosa, tetapi
sekali ia bertobat dan lurus hatinya maka ia akan kembali kepadaNya dan
dibersihkan dari segala dosa-dosanya. Dalam diri orang ini akan timbul revolusi
batin yang mendorongnya ke arah spiritual dan melajulah ia kemudian menegakkan
kebenaran dan dharma. Tujuan Yang Abadi selalu menanti orang-orang seperti ini.
32. Mereka yang datang dan meminta perlindunganKu, oh
Arjuna, walau mereka itu lahir dari sesuatu yang berdosa, walau mereka ini
wanita atau vaishya atau sudra, mereka pun mencapai Tujuan Yang Tertinggi.
Disinilah tercermin Kerendahan Hati Yang Maha Kuasa,
tercermin juga KemurahanNya dan KasihNya. Memang Yang Maha Esa ini Maha Pemurah
dan Penyayang sehingga jalan kepadaNya terbuka untuk siapa saja yang
menginginkannya secara tulus. Adalah salah kalau ada anggapan bahwa hanya kasta
Brahmana atau Kshatrya saja yang dapat mencapaiNya. Itu hanya ilusi dan
peraturan buatan manusia saja, yang penuh dengan rasa egois, keserakahan, dan
angkara, yang justru bertentangan dengan ajaran Bhagavat Gita dan ajaran-ajaran
Hindu lainnya. Semua orang maupun makhluk tanpa kecuali dapat pergi kepadaNya,
karena Ia milik semuanya tanpa diskriminasi, apalagi seseorang yang menyalakan
pelita di dalam hatinya untukNya semata tanpa pamrih.
33. Apa lagi para pendeta suci dan para aristrokrat yang
suci! Setelah tiba di dunia fana dan tanpa kebahagiaan ini, (seyogyanyalah) dikau
memujaKu.
34. Pusatkan pikiranmu kepadaKu; berdedikasilah kepadaKu;
pujalah Aku, bersujudlah padaKu. Demikianlah dengan mengendalikan dirimu, dan
menjadikan Aku sebagai Tujuanmu Yang Agung, maka dikau akan datang kepadaKu.
Kepada Arjuna (dan kita semua) Sang Kreshna bersabda,
bahwa sebaiknya tidak lupa kita ini hidup di dunia yang fana dan tak stabil
keadaannya, di mana sebenarnya kebahagiaan yang hakiki itu tidak ada secara
duniawi. Jadi sebaiknya memuja Yang Maha Esa, karena dibalik pemujaan inilah terletak
rahasia kebahagiaan yang hakiki ini, yang sebenarnya tertutup di dalam DiriNya,
yang disebut Tujuan Yang Agung. Kita semua akan bersatu dan bahagia di
dalamNya, kalau mau kita memujaNya, menyerahkan diri dan hati kita bulat-bulat
sepenuhnya kepada Yang Maha Esa — yaitu Yang Maha Pencipta, Penyayang Dan
Pengasih, akhir dari perjalanan panjang hidup kita, Tujuan kita Yang Agung Dan
Suci. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, inilah bab ke
sembilan yang disebut:
Rajavidya Rajaguhya Yoga atau Ilmu pengetahuan dan
Rahasia nan Agung
Bab 10 – Alam Semesta nan Suci dan Agung
1. Dengarlah lagi, oh Arjuna, sabda-sabdaKu yang agung
dan suci. Terdorong oleh keinginanKu untuk berbuat baik bagimu, akan Ku
beritahukan kepadamu, karena engkau adalah kesayanganKu.
2. Bukan saja para dewa tetapi para resi yang suci dan
agung pun tidak tahu akan asal-usulKu, karena semua dewa-dewa dan orang-orang
suci itu datang dariKu.
3. Seseorang yang mengenalKu – sebagai Yang Tak
Dilahirkan, sebagai Yang Tak Bermula, Yang Maha Penguasa seluruh alam semesta
ini — orang ini di antara, mereka yang dapat binasa, adalah seseorang yang
tidak sesat dan bebas dari segala dosa.
Di bab sepuluh ini Sang Kreshna melanjutkan keterangan
mengenai DiriNya Yang Sejati, yaitu Yang Maha Esa yang tak dapat diketahui
asal-usulNya, bahkan para dewa dan orang-orang suci baik di masa silam maupun
sekarang ini tidak pernah akan tahu akan hal ini. Tetapi seseorang yang sadar
akan KekuasaanNya, maka diantara mereka yang dapat binasa di dunia ini (para
dewa, manusia dan makhluk-makhluk lainnya), orang yang bijaksana ini dianggap
Yang Maha Esa sebagai seorang yang sadar dan bebas dari segala dosa. Suatu
pengakuan dan penghormatan yang besar sekali nilainya dari Yang Maha Esa. Yang
Maha Esa adalah asal dari segala-galanya, termasuk para dewa dan orang-orang
suci. Dalam ajaran Kristiani dikatakan tentang St. Paul yang pernah berkata,
“Ia adalah tanpa kelahiran dan tanpa asal-mula.” MengenalNya dari sudut
berbagai agama dan ajaran sebagai Yang Maha Agung Dan Suci berarti membebaskan
diri kita dari segala dosa-dosa duniawi.
4. Melihat (menilai) dengan benar, ilmu pengetahuan,
tidak-berilusi, pemaaf, tidak-berbohong, kendali-diri dan ketenangan,
penderitaan dan kenikmatan, kelahiran dan kematian, ketakutan dan keberanian.
5. Tak menyakiti, kedamaian dalam segala situasi, rasa
puas dengan apa yang ada, tekad ke arah spiritual, keinginan untuk memberi,
kemasyhuran dan kehinaan — semua hal-hal yang berbeda dari makhluk-makhluk ini
terpancar dariKu semata.
Yang Maha Esa bukan saja merupakan asal-usul alam semesta
ini, Yang Tak Terlihat dan Tak Terbayangkan oteh kita, tetapi juga merupakan
Kekuatan Maha Dahsyat Yang Tak Terbatas di alam semesta ini. Bukan saja Ia
merupakan asal-usul yang baik-baik saja tetapi la juga pencipta yang tidak baik
dan negatif sifatnya yang berada di dalam pikiran dan ulah para makhluk-makhluk
dan manusia ciptaanNya. Apakah itu pikiran atau situasi yang menyenangkan dan
menikmatkan ataukah itu yang menyusahkan dan membawa penderitaan. Apakah itu
bersifat positif maupun sebaliknya, semua itu secara jujur diakui oleh Yang
Maha Esa, bahwa Ia lah sumber dari segala-galanya tanpa diskriminasi. Bukan
lalu berarti bahwa Yang Maha Esa ini buruk atau negatif sifatnya, tidak! Semua
itu adalah ciptaan-ciptaanNya yang diperankan atau ditugaskan pada Sang Maya,
Ilusi Yang Maha Esa. la sendiri bersemayam di atas semua ilusi ini, jauh di
atas Sang Maya dan tak terpengaruh sedikitpun dengan pekerjaan Sang Maya ini.
Dengan semua “permainanNya,” maka Yang Maha Esa ini menunjang dan menjalankan
dunia ini, memang Maha Misterius Dan Maha Gaib lah Yang Maha Kuasa ini dengan
segala Kekuatan dan Kasihnya Yang Tak Terbatas itu. Om Tat Sat. Om Shanti,
Shanti, Shanti.
6. Ketujuh orang suci yang agung, keempat orang pada masa
yang silam, juga para Manu, dilahirkan dari sifat dan pikiranKu, dari merekalah
mengalir ras manusia ini.
Dari sifat-sifat dan pikiran agung dan suci Sang Kreshna
inilah mengalir manusia-manusia agung dan dewa-dewa yang kemudian menjadi
cikal-bakal dari manusia dewasa ini. Ketujuh orang yang disebut di atas adalah
orang-orang suci yang penuh dengan kesadaran Ilahi, nama dari yang pertama
adalah Bhrigu dan yang terakhir disebut Washita, dan dianggap dalam agama Hindu
sebagai para guru kebijaksanaan di masa yang silam. Dan keempat orang yang
disebut sebagai manusia-manusia di masa silam adalah empat orang Kumara (yaitu
perjaka-perjaka yang tak pernah melakukan hubungan seksual), yang lahir dari
pikiran Yang Maha Esa, dan disebut juga nama-nama mereka: Sanata, Sanaka,
Sanatana dan Sanandana. Para orang suci (resi), para Manu (asal kata dari
manusia pertama), dan para Kumara ini adalah cikal-bakal dari manusia di dunia
ini. Merekalah alat-alat Yang Maha Kuasa di dunia pada masa yang silam, pada
masa permulaan peradaban manusia.
7. Seseorang yang tahu dengan benar akan keagungan dan
kekuatanKu ini akan terhubung denganKu oleh yoga yang tak tergoyahkan; dan hal
ini sudahlah pasti dan tak usah diragukan lagi.
Vibuthi adalah kata Sansekerta yang digunakan di atas
untuk mengartikan kekuatan, kata ini sebenarnya dapat diartikan dua, yaitu
kekuatan atau kekuasaan Yang Maha Esa dan juga dapat berarti kelanggengan atau
kehadiran yang abadi atau juga berarti “mengalir dari.” Dalam bab ini Sang
Kreshna menerangkan kepada Arjuna tentang keagungan dan kekuatan serta
kekuasaanNya di alam semesta ini, tentang kehadiranNya Yang Langgeng Dan Abadi
dalam setiap unsur di dunia ini, tentang DiriNya Yang Selalu berada di dalam
posisi tertinggi yang berhubungan dengan setiap hal dan unsur, ini berarti
suatu bentuk keagungan Yang Tiada Taranya. Sang Kreshna pun menjelaskan akan
kehadiranNya sebagai suatu unsur Shakti (Kesaktian) dalam segala hal dan faktor
di alam semesta ini, yang tanpa itu tak mungkin setiap faktor bisa melanjutkan
fungsinya masing-masing.
8. Akulah Sumber dari segala-galanya; dariKu datang
seluruh penciptaan ini. Menyadari hal ini, mereka yang bijaksana memujaKu
dengan dedikasi yang penuh dengan kebahagiaan.
9. Pikiran mereka terpusat kepadaKu, hidup mereka meresap
dalam DiriKu, sambil saling menolong di antara mereka, mereka ini selalu
memperbincangkan Aku, (mereka ini) selalu merasa cukup dengan apa adanya dan
penuh dengan rasa kesentosaan.
10. Kepada mereka ini, yang selalu bersemayam secara
menyatu denganKu dan memujaKu dengan cinta-kasih, Ku berikan ilmu pengetahuan
(yang dapat membedakan antara satu hal dengan yang lain), dan (mereka ini)
melalui yoga ini datang kepadaKu.
11. Didorong oleh rasa kasih-sayangKu yang murni kepada
mereka, Aku bersemayam di dalam hati mereka, Ku hapus kegelapan mereka yang
timbul karena kekurangan-pengetahuan dengan pelita kesadaran yang bercahaya
terang-benderang.
Mereka-mereka yang sadar akan kehadiran Yang Maha Esa,
(walaupun kehadiran ini tak nampak dalam setiap hal dan unsur di alam semesta
ini) dan mereka ini yang sadar juga akan kekuatan dan kekuasaanNya Yang Abadi,
lambat laun akan makin dekat dan akhirnya bersemayam atau menyatu denganNya,
dan mereka ini, hidup mereka selalu terlihat bahagia, sentosa dan cerah, walau
musibah apapun yang datang melanda mereka. Hidup mereka sehari-hari terserap dalam
kebahagiaan dengan Ilahi, dan percaya atau tidak yang Maha Esa secara
benar-benar menerangi kegelapan apapun yang timbul dalam diri mereka dengan
pelita Ilahi yang terang-benderang. ini adalah suatu fakta yang dapat dirasakan
oleh mereka-mereka yang secara total telah memasrahkan diri mereka dan segala
perbuatan mereka kepada Yang Maha Esa secara tulus dan tanpa pamrih. Om Tat
Sat.
Berkatalah Arjuna:
12. Dikau adalah Sang Brahman Yang Agung dan Suci, Tujuan
Yang Agung dan Suci. Dikau adalah Yang Abadi, Seorang Manusia Yang Agung dan
Suci, Tuhan Yang Terutama, Yang Tak Dilahirkan dan Yang Maha Hadir di mana pun
juga.
13. Dengan Nama-Nama itu DiKau telah disebut dan dipuja
oleh para resi, juga oleh resi Narada yang agung, juga oleh Asita, Devala dan
Vyasa. Dan sekarang (oh Kreshna), DiKau Sendiri pun menyabdakanNya kepada ku.
Narada disebut juga Dewa Resi, gurunya para dewa. Narada
adalah salah seorang bhakta (pemuja) Yang Maha Esa yang sifatnya agung dan
suci, dan Sang Batara Narada ini selalu bernyanyi dan memuja-muji nama Yang
Maha Esa ke mana pun ia pergi. Devala adalah putra Vishvamitra dan kisahnya
terdapat di Vishnu-Purana, sedangkan Asita terkisah di Lalita-vistara (semua
ini buku-buku suci kuno agama Hindu). Vyasa menyebut Kreshna sebagai Swipayana,
demikian terdapat di dalam Veda-Veda. Vyasa dikenal sebagai pengarang
Mahabarata dan beberapa Purana-Purana Hindu. Kata Vyasa sendiri berarti “editor”
atau “yang mengatur.”
14. Aku yakin akan semua kata-kata yang DiKau ucapkan
padaku ini, oh Kreshna. Bukan saja para dewa tetapi para syaitan dan iblis pun
tak dapat menjabarkan manifestasiMu, oh Tuhan.
Jangankan para resi dan dewa yang ditakuti manusia, tetapi
para setan dan iblis pun tak pernah bisa menerangkan apakah Tuhan Yang Maha Esa
itu sebenarnya, dan manifestasi-manifestasiNya di alam semesta ini. Hanya Sang
Kreshna Sendiri yang dapat mengenal DiriNya sebagai Manusia Yang Agung, Utama
dan Suci (Purushottama).
15. Sebenar-benarnya, hanya Dikau Sendiri Yang Mengetahui
DiriMu Sendiri melalui DiriMu Sendiri, oh Manusia Nan Agung, Sumber dari semua
yang ada, Tuhan dari semua makhluk, Tuhan dari segala dewa-dewa, Penguasa dunia
ini.
16. Tanpa kecuali harus Dikau beritahukan kepadaku, semua
bentuk-bentukMu yang suci, yang mana dengan bentuk-bentuk ini, Dikau menunjang
dunia (alam semesta) ini dan di mana Dikau Sendiri berada di daiamnya dan
bahkan lebih jauh dari itu.
17. Bagaimanakah aku harus mengenalMu , oh Yogin, apakah
dengan meditasi yang berkesinambungan? Dengan (dalam) bentuk apakah Dikau, oh
Tuhan Yang Pengasih, harus kubayangkan Dikau ini?
Arjuna ingin sekali mengenal dan mengetahui manifestasi
dan aspek-aspek yang berhubungan (Vibhuti) dengan Sang Kreshna, yang penuh
dengan Kekuasaan Yang Maha Esa yang tak terbatas sifatNya itu. Arjuna haus akan
pengetahuan Ilahi ini karena ia benar-benar ingin agar meditasi dan pemujaannya
terhadap Yang Maha Esa dapat dijalankan dengan benar dan dapat membantunya
untuk lebih mengenalNya dengan sejati. la ingin agar pemujaannya kepada Yang
Maha Esa terarah dengan baik dan benar.
18. Beritahukan juga kepadaku secara terperinci tentang
kekuatan yogaMu dan tentang KeagunganMu, karena aku tak akan pernah puas dengan
minuman suci dalam bentuk sabda-sabdaMu itu.
Berkatalah Yang Maha Pengasih:
19. Jika demikian, baiklah Arjuna! AkanKu sabdakan
kepadamu sebagian dari bentuk-bentuk suciKu, tetapi hanya bentuk-bentuk yang
telah dikenal dan mudah difahami, karena keberadaanKu tak ada batasnya.
Sang Kreshna dengan senang hati memenuhi permintaan
Arjuna. Beginilah sifat Yang Maha Esa, tak pernah menolak permintaan kita
walaupun diajukan berulang-ulang tanpa bosan. Yang Maha Pengasih adalah Yang
Maha Penyayang dan selalu memenuhi aspirasi dan keinginan para
pemuja-pemujaNya, dimana dan kapan saja. Dan di sini Sang Kreshna mulai
memaparkan sebagian dari vibhuti-vibhutiNya, yaitu bentuk-bentukNya yang telah
ada dan dapat dengan mudah difahami manusia. Karena bentuk dan sifat Yang Maha
Esa itu Maha Tidak Terbatas, maka kalau hal ini diterangkan kepada manusia
pasti kita manusia ini tak akan pernah mengerti akan keagunganNya ini. Oleh
karena itu dipakailah bahasa dan contoh-contoh yang mudah dimengerti kita
semuanya.
20. Aku adalah Jati Diri, oh Arjuna, Yang bersemayam di
dalam hati setiap makhluk. Aku adaiah permulaan, Yang ditengah-tengah dan juga
akhir dari setiap yang ada.
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa adaiah Sang Atman Yang
Ada di dalam diri kita, di dalam setiap insan dan makhluk ciptaanNya. la juga
yang sebenarnya menjadi asal-usul kita semuanya, yang menunjang kita selama ini
dan yang juga menentukan hidup dan akhir kita semuanya.
21. Di antara para Aditya Aku adalah Vishnu; di antara
cahaya Aku adaiah Sang Surya yang terang-benderang. Di antara para Marut Aku
adalah Marici, di antara bintang-bintang Aku adalah sang rembulan.
Yang disebut Aditya ini adaiah dewa-dewa cahaya, dan
Batara Vishnu adalah pimpinan tertinggi para dewa cahaya ini. Sedangkan Marichi
adalah pemimpin para Marut, dewa-dewa badai, angin-topan dan mala-petaka.
22. Di antara Veda-Veda Aku adalah Sama-Veda, di antara
para dewa Aku adalah” Indra, di antara indra-indra Aku adalah pikiran; dan Aku
adalah kesadaran di antara para makhluk-hidup.
Sama-Veda adalah Veda yang paling musikal dan indah,
sedangkan Indra adalah raja atau pemimpin para dewa. Dewa Indra adalah juga
dewa angkasa. Pikiran adalah raja diantara semua indra-indra kita. Dalam tubuh
atau raga kita, pikiran ini yang paling sukar untuk dikendalikan. Dalam
ilmu-psikologi (jiwa) Hindu kuno disebutkan bahwa semua indra-indra kita
kendalikan, dimotori dan dikuasai oleh pikiran (mana).
23. Di antara para Rudra Aku adalah Shankara (Shiva), di
antara para Yaksha dan Rakshasa Aku adalah Kubera (dewa kekayaan), di antara
para Vasu Aku adalah Agni(dewa api), dan di antara puncak-puncak gunung Aku
adalah Meru.
Rudra adalah dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang
tugasnya adalah menghancurkan dan membinasakan semua yang ada dan lahir. Yaksha
adalah setan-setan dedemit dengan perut yang besar, dan Meru adalah puncak
gunung tertinggi di bumi ini, di mana dipercaya tinggal para dewa-dewi,
24. Di antara para pendeta (pendeta setiap rumah-tangga),
oh Arjuna, kenalilah Aku sebagai Brihaspati, sang pemimpin; di antara
jenderal-jenderal di peperangan Aku adalah Skanda; di antara danau-danau Aku
adalah Samudra.
Brihaspati adalah pendeta tertingginya para dewa. Skanda
adalah putra Shiva dan Parvati, dan ia dikenal sebagai pemimpin atau
jenderalnya para jenderal dan pahlawan-pahlawan di Svarga-loka.
25. Di antara para resi yang agung Aku adalah Bhrigu, di
antara kata-kata Aku adalah satu patah kata OM, di antara yang dipersembahkan
Aku adalah persembahan dalam bentuk japa (mengulang-ulang mantra atau puja-puji
kepada Yang Maha Esa, atau bisa juga meditasi yang dilakukan secara diam-diam
dan tenang), di antara yang tak dapat dipindah-pindahkan Aku adalah Himalaya.
26. Di antara pepohonan Aku adalah pohon Asvattha, di
antara para resi suci Aku adalah Narada, di antara para ghandharva Aku adalah
Citraratha, dan di antara yang telah disempurnakan Aku adalah resi Kapila.
Asvattha adalah pohon beringin yang suci. Narada adalah
resi (dan juga dewa) yang dianggap amat agung dan suci sifatnya, dan dikenal
karena sangat menggemari musik. Menurut ajaran Sang Narada ini, guna mencapai
penerangan Ilahi, seseorang dapat saja menggunakan logika dan filosofi.
Ghandharva adalah penyanyi-penyanyi di sorga-loka dan Chitraratha adalah
pemimpin para musisi sorgawi ini.
27. Di antara kuda-kuda Aku adalah Uchaishvara yang lahir
dari air-suci (tirta), di antara gajah Aku adalah Airavata, dan di antara
manusia Aku adalah Raja.
Uchaishvara adalah kuda sorgawi yang didapatkan sewaktu
para dewa dan para iblis (raksasa dan lain sebagainya) mengaduk lautan suci.
(Ada kisahnya tersendiri di buku suci Hindu kuno.) Airavata adalah gajah sakti
tunggangan Sang Batara Indra.
28. Di antara senjata Aku adalah halilintar, di antara
sapi Aku adalah Kamadhuk, Sapi Kemakmuran; di antara leluhur (nenek-moyang) Aku
adalah Kandarpa, Kasih Nan Kreatif; dan di antara ular Aku adalah Vasuki.
29. Di antara Naga Aku adalah Ananta, di antara
makhluk-makhluk lautan Aku adalah Varuna, diantara pitri (arwah leluhur) Aku
adalah Aryaman, dan di antara para penguasa Aku adalah Yama, Raja Maut.
Dalam mitologi Hindu, naga adalah sejenis ular raksasa
dengan kepala manusia. Raja para naga ini adalah Ananta yang disebut juga
Sesha, Sang Vishnu selalu duduk beristirahat di atas lingkarannya. Varuna, atau
di Indonesia dikenal dengan nama dewa Baruna, adalah dewa laut. Sedangkan
Aryaman adalah pemimpin para leluhur yang telah meninggal dunia. Yama dan
saudari perempuannya Yami adalah pasangan manusia-manusia pertama. Setelah Yama
meninggal dunia, maka ia pergi ke dunia yang lain untuk mendapatkan tugas
sebagai pembuat hukum, sebagai hakim dan pemimpin mereka-mereka yang telah
meninggal-dunia. la dikenal sebagai hakim yang amat adil dan tak memilih bulu
dalam menjatuhkan putusannya, ia sering disebut juga dengan nama Dharmaraja.
30. Di antara Daitya Aku adalah Prahlada, di antara
benda-benda yang mengukur Aku adalah Sang Waktu, di antara binatang yang buas
Aku adalah raja-hutan (singa), dan di antara burung-burung Aku adalah putra
sang Vinata (Garuda).
21. Di antara para Aditya Aku adalah Vishnu; di antara
cahaya Aku adaiah Sang Surya yang terang-benderang. Di antara para Marut Aku
adalah Marici, di antara bintang-bintang Aku adalah sang rembulan.
Yang disebut Aditya ini adaiah dewa-dewa cahaya, dan
Batara Vishnu adalah pimpinan tertinggi para dewa cahaya ini. Sedangkan Marichi
adalah pemimpin para Marut, dewa-dewa badai, angin-topan dan mala-petaka.
22. Di antara Veda-Veda Aku adalah Sama-Veda, di antara
para dewa Aku adalah” Indra, di antara indra-indra Aku adalah pikiran; dan Aku
adalah kesadaran di antara para makhluk-hidup.
Sama-Veda adalah Veda yang paling musikal dan indah,
sedangkan Indra adalah raja atau pemimpin para dewa. Dewa Indra adalah juga
dewa angkasa. Pikiran adalah raja diantara semua indra-indra kita. Dalam tubuh
atau raga kita, pikiran ini yang paling sukar untuk dikendalikan. Dalam
ilmu-psikologi (jiwa) Hindu kuno disebutkan bahwa semua indra-indra kita kendalikan,
dimotori dan dikuasai oleh pikiran (mana).
23. Di antara para Rudra Aku adalah Shankara (Shiva), di
antara para Yaksha dan Rakshasa Aku adalah Kubera (dewa kekayaan), di antara
para Vasu Aku adalah Agni(dewa api), dan di antara puncak-puncak gunung Aku
adalah Meru.
Rudra adalah dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang
tugasnya adalah menghancurkan dan membinasakan semua yang ada dan lahir. Yaksha
adalah setan-setan dedemit dengan perut yang besar, dan Meru adalah puncak
gunung tertinggi di bumi ini, di mana dipercaya tinggal para dewa-dewi,
24. Di antara para pendeta (pendeta setiap rumah-tangga),
oh Arjuna, kenalilah Aku sebagai Brihaspati, sang pemimpin; di antara
jenderal-jenderal di peperangan Aku adalah Skanda; di antara danau-danau Aku
adalah Samudra.
Brihaspati adalah pendeta tertingginya para dewa. Skanda
adalah putra Shiva dan Parvati, dan ia dikenal sebagai pemimpin atau
jenderalnya para jenderal dan pahlawan-pahlawan di Svarga-loka.
25. Di antara para resi yang agung Aku adalah Bhrigu, di
antara kata-kata Aku adalah satu patah kata OM, di antara yang dipersembahkan
Aku adalah persembahan dalam bentuk japa (mengulang-ulang mantra atau puja-puji
kepada Yang Maha Esa, atau bisa juga meditasi yang dilakukan secara diam-diam
dan tenang), di antara yang tak dapat dipindah-pindahkan Aku adalah Himalaya.
26. Di antara pepohonan Aku adalah pohon Asvattha, di
antara para resi suci Aku adalah Narada, di antara para ghandharva Aku adalah
Citraratha, dan di antara yang telah disempurnakan Aku adalah resi Kapila.
Asvattha adalah pohon beringin yang suci. Narada adalah
resi (dan juga dewa) yang dianggap amat agung dan suci sifatnya, dan dikenal
karena sangat menggemari musik. Menurut ajaran Sang Narada ini, guna mencapai
penerangan Ilahi, seseorang dapat saja menggunakan logika dan filosofi. Ghandharva
adalah penyanyi-penyanyi di sorga-loka dan Chitraratha adalah pemimpin para
musisi sorgawi ini.
27. Di antara kuda-kuda Aku adalah Uchaishvara yang lahir
dari air-suci (tirta), di antara gajah Aku adalah Airavata, dan di antara
manusia Aku adalah Raja.
Uchaishvara adalah kuda sorgawi yang didapatkan sewaktu
para dewa dan para iblis (raksasa dan lain sebagainya) mengaduk lautan suci.
(Ada kisahnya tersendiri di buku suci Hindu kuno.) Airavata adalah gajah sakti
tunggangan Sang Batara Indra.
28. Di antara senjata Aku adalah halilintar, di antara
sapi Aku adalah Kamadhuk, Sapi Kemakmuran; di antara leluhur (nenek-moyang) Aku
adalah Kandarpa, Kasih Nan Kreatif; dan di antara ular Aku adalah Vasuki.
29. Di antara Naga Aku adalah Ananta, di antara makhluk-makhluk
lautan Aku adalah Varuna, diantara pitri (arwah leluhur) Aku adalah Aryaman,
dan di antara para penguasa Aku adalah Yama, Raja Maut.
Dalam mitologi Hindu, naga adalah sejenis ular raksasa
dengan kepala manusia. Raja para naga ini adalah Ananta yang disebut juga
Sesha, Sang Vishnu selalu duduk beristirahat di atas lingkarannya. Varuna, atau
di Indonesia dikenal dengan nama dewa Baruna, adalah dewa laut. Sedangkan
Aryaman adalah pemimpin para leluhur yang telah meninggal dunia. Yama dan
saudari perempuannya Yami adalah pasangan manusia-manusia pertama. Setelah Yama
meninggal dunia, maka ia pergi ke dunia yang lain untuk mendapatkan tugas
sebagai pembuat hukum, sebagai hakim dan pemimpin mereka-mereka yang telah
meninggal-dunia. la dikenal sebagai hakim yang amat adil dan tak memilih bulu
dalam menjatuhkan putusannya, ia sering disebut juga dengan nama Dharmaraja.
30. Di antara Daitya Aku adalah Prahlada, di antara
benda-benda yang mengukur Aku adalah Sang Waktu, di antara binatang yang buas
Aku adalah raja-hutan (singa), dan di antara burung-burung Aku adalah putra
sang Vinata (Garuda).
41. Makhluk-makhluk apapun yang memiliki sifat-sifat yang
agung, indah dan penuh kekuatan, ketahuilah bahwa semua itu mengalir dari
sebagian kecil kebesaranKu.
42. Tetapi apa gunanya untukmu, oh Arjuna, pengetahuan
yang terperinci ini? Ku sanggah seluruh alam semesta ini.Ku tunjang dengan
hanya sebagian (setitik) kecil dari DiriKu, dan Aku tetap hadir dan ada.
Sang Kreshna telah menerangkan kepada Arjuna tentang
manifestasi dan sifat-sifatNya (vibhuti) secara singkat tetapi juga sekaligus
terperinci dengan penjelasan mengenai semua aspek-aspekNya seperti aspek
fenomena, fungsi, aksi dan bentuk-bentukNya, semuanya dijelaskan dalam bahasa
yang gamblang dan mudah dimengerti. Setelah panjang-lebar la menerangkan semua
ini, lalu diakhiriNya dengan suatu pernyataan bahwa seluruh alam semesta ini
hanyalah sebagian kecil saja dari DiriNya Yang Tak Terbatas dan sekaligus
merupakan asal, penunjang dan akhir dari semuanya ini, dan la Yang Maha Esa
tetap saja berkuasa dan nadir dalam segala-galanya, walaupun alam semesta ini
berasal dari DiriNya juga. Semua yang terhebat, terbaik, tercantik dan
terbusuk, terjahat adalah sebagian dari penciptaanNya, dan semua ini baru
setitik saja atau sebagian kecil dari Yang Maha Kuasa. Jadi dapatkah kita
membayangkan Apakah dan Betapa AgungNya Sang Pencipta ini? Dibalik pernyataan
ini, sebaiknya kita harus belajar sesuatu yang tersembunyi di belakangnya,
yaitu bukankah dengan kata lain Sang Kreshna ingin mengajar kita semua untuk
mengenalNya lebih baik; dan untuk belajar mengenalNya bukankah sebaiknya kita
belajar untuk mengenal alam ini dahulu. Kita seharusnya belajar mengenal
ciptaan-ciptaanNya di alam sekitar kita dan di alam semesta dan baru kemudian
belajar mengenalNya Yang penuh dengan mukjizat dan kegaiban yang tak dapat di
bayangkan apa adaNya ini.
Coba saja perhatikan, jangan jauh-jauh, perhatikan tubuh
kita sendiri, bukankah raga ini sebuah ciptaan yang maha hebat? Belum lagi
ciptaan-ciptaanNya yang tersebar di seluruh alam semesta yang tak terbatas ini.
Dan kalau kita mengenal dan sadar akan segala Kebesaran dan KeagunganNya ini,
maka seyogyanyalah kita memujaNya dengan tulus dan rendah hati, dan bekerja
sesuai dengan dharma-bhakti yang murni, tulus, yaitu demi dan untuk la semata
dan tanpa pamrih. Dan seandainya seorang bhakta (pemuja) bersikap tulus semacam
ini, maka Sang Kreshna pun akan hadir di dalam dirinya, memberkahinya dan
memberikannya kekuatan untuk lebih mengenalNya, dan lebih mengenal
ajaran-ajaranNya yang Agung dan Suci. Yang Maha Kuasa pun akan menghilangkan
rasa takut dan khawatir bhakta ini, menghilangkan kebodohannya dan mengisi jiwa
sang pemuja ini dengan Penerangan dan Keagungan serta Kesucian Ilahi. Om Tat
Sat. Yang Maha Esa bahkan menjamin segala kebutuhan hidupnya, menjauhkannya
dari segala mara-bahaya, dan percaya atau tidak Sang Kreshna akan hadir secara
pribadi dengan caraNya yang misterius mengantar Sang Pemuja ini ke HadiratNya,
tempat Yang Maha Esa bersemayam. Banyak sekali pengalaman-pengalaman dari para
resi dan Orang-orang suci baik di zaman dahulu maupun pada abad modern ini,
yang menunjukkan bahwa Yang Maha Kuasa hadir dengan caraNya Yang Unik dan
terasa kehadiranNya oleh para pemujaNya, pada saat-saat tertentu dalam hidup
kita dari masa ke masa. Sebelum diakhiri bab ini ada baiknya kita merenungkan
diri pada untaian kata-kata yang dapat sering kita jumpai dan dapat dihayati
oleh siapa saja, yang isinya kira-kira seperti berikut:
“Di mana ada iman,Di situ ada kasih. Di mana ada kasih,
Di situ ada kedamaian.
Di mana ada kedamaian, Di situ ada kekuatan. Di mana ada
kekuatan, Di situ ada Yang Maha Esa Di mana ada Yang Maha Esa, Di situ tak
diperlukan sesuatu apapun lagi.”
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ini
adalah yang kesepuluh dan disebut:
Vibhuti Yoga atau Yoga Manifestasi Yang Agung dan Suci.
Bab 11- Transformasi Sang Kresna
1. Dengan kasih-sayangMu Dikau telah menyibakkan rahasia
nan agung mengenai Jati Diri (Sang Atman), dan sabda-sabdaMu telah menghapus
kebodohanku.
Sang Arjuna rupanya telah mulai sadar, dan pupus atau
hapus sudahlah kebodohannya yang berbentuk moha (keterikatan, pada
sanak-keluarga). Sabda-sabda Sang Kreshna bahwa Ia lah Sang Brahman, Sang Atman
Yang Hadir dalam setiap unsur dan makhluk dan selalu bersifat abadi, membuat
Sang Arjuna dipenuhi oleh rasa aman, damai, tentram dan sentosa. Sadarlah ia
dari kegelapan yang selama ini menyelimutinya, dan tak ragu-ragu lagi ia
menghadapi perang Baratayudha yang ada dihadapannya. Bukankah sebenarnya setiap
saat, setiap hari adalah perang besar antara kita manusia dengan lingkungan
disekitar kita, dengan hati-nurani kita, dengan keserakahan kita dan orang lain
dalam berbagai bentuk seperti moha, loba, ahankara dan sebagainya.
2. Aku telah mendengar dariMu secara penuh, oh Kreshna,
tentang kelahiran dan kematian yang ada, dan juga tentang keagunganMu yang tak
terbinasakan.
3. Dikau adalah, oh Tuhan, Yang Maha Kuasa, seperti yang
Dikau katakan tentang DiriMu. Tetapi aku berhasrat melihat bentukMu yang agung
dan suci, oh Purushottama (manusia yang terutama).
4. Seandainya Dikau menghendaki, oh Tuhan, bahwa olehku
dapat terlihat, maka bukakanlah kepadaku, oh Yang Maha Memiliki llmu
pengetahuan (yoga), bentuk diriMu yang tak terbinasakan.
Arjuna yang selama ini telah mendengarkan sabda-sabda
suci Sang Kreshna mengenai kelahiran dan kematian semua yang ada di dunia ini
dan juga mengenai diri Sang Kreshna sendiri yang tak lain dan tak bukan adalah
Yang Maha Esa Sendiri dengan segala-segala tindakan-tindakanNya yang kreatif
dan penuh kasih terhadap semua makhluk, sekarang ini berhasrat sekali untuk
melihat sendiri atau untuk membuktikan apa yang telah didengarkannya selama
ini. Melihat dan membuktikan memang lebih meyakinkan daripada mendengarkan,
maka Arjuna pun memohon Sang Yogeshwara (Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Pemilik
Semua Ilmu Pengetahuan) agar sudi diperlihatkan kepadanya bentukNya yang suci
dan agung itu, yang tak terbinasakan. Arjuna ingin sekali melihat Sang Kreshna
dalam bentukNya sebagai Parameshvaram dan Purushottama, yaitu sebagai Tuhan
Yang Maha Kuasa dan Agung, dan juga sebagai Manusia Yang Maha Kuasa dan Agung
(Vishnu).
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
5. Saksikanlah, oh Arjuna, bentukKu yang beratus-ratus
dan beribu-ribu jumlahNya (rupaNya), yang suci, yang tak terhitung warna-warni
dan bentuk-bentukNya.
6. Saksikanlah para Aditya, para Vasu, para Rudra, kedua
Ashvin, dan para Marut. Saksikanlah, oh Arjuna, keajaiban-keajaiban yang tak
pernah terlihat sebelum ini.
7. Saksikanlah hari ini, oh Arjuna, seluruh alam semesta
dan isinya yang bergerak dan yang tak bergerak, dan apapun juga yang ingin
dikau saksikan – semua terpusat pada tubuhKu.
Sang Kreshna segera menerangkan kepada Arjuna tentang
bentuk-bentuk dan rupa-rupa yang akan segera disaksikan oleh Arjuna, yaitu yang
tak terhitung jumlahnya dan bentuknya, maupun warna-warninya, yang merupakan
gabungan dari para dewa seperti Aditya, yaitu dewa-dewa yang ada hubungannya
dengan matahari, Vasu, Rudra (dewa-dewa malapetaka), Ashvin (dewa penolong
orang-orang sakit yang dikenal sebagai tabib-tabib suci), Marut dan
ciptaan-ciptaanNya yang terkecil dan tak terlihat oleh manusia. Sang Kreshna
pun dengan senang hati ingin memperlihatkan kepada Arjuna bentuk-bentukNya yang
bergerak dan tak bergerak bahkan seluruh kosmos (alam semesta) yang
terkonsentrasi atau terpusat pada DiriNya Tetapi penyaksian Ilahi semacam ini tidak
mungkin terlihat dengan mata duniawi, maka Sang Kreshna pun segera memberikan
mata suci (divyam chakshuh) kepada Arjuna agar terlihat olehnya semua
bentuk-bentuk suci dari Yang Maha Esa olehnya. Mata suci sebenarnya adalah
matanya seorang mistik, seorang yang sudah sadar dan dapat “melihat kedalam.”
Ini mengingatkan kita kepada salah seorang nabi bangsa Yahudi yang pernah
memohon kepada Yang Maha Esa, “Tuhan, bukalah matanya agar ia dapat melihat.”
Dan hal ini berlaku untuk kita semuanya, mohon dan berdoalah selalu kepada Yang
Maha Esa agar dibukakan mata dan hati kita agar dapat kita melihat dan
menyadari atau mengenalNya secara sejati. Sebenarnya semua jalan ke arah Yang
Maha Esa sudah tersedia di sekitar kita, yang diperlukan hanyalah “membuka
mata” kita sedikit saja.
8. Tetapi, sebenarnya, dikau tak akan dapat meyaksikanKu
dengan mata duniawimu ini, makaKu berkahkan kepadamu mata suci. Saksikanlah
yogaKu Yang Maha Dahsyat (kekuatan yang suci dan agung).
Sekarang tibalah saatnya Arjuna melihat bentuk Yang Maha
Suci dan Agung di dalam diri Sang Kreshna. Di dalam diri Sang Kreshna nampak
terpusat seluruh alam semesta dan semua itu terbuka untuk dilihat oleh Arjuna,
dengan mata Ilahi yang dikaruniakan oleh Sang Kreshna.
Berkatalah Sanjaya:
9. Setelah bersabda demikian, oh raja, Yang Maha Agung
dan Maha Menguasai Yoga, Hari (Sang Kreshna) kemudian membukakan diriNya Yang
Maha Agung, Suci dan Perkasa kepada Arjuna.
Sang Kreshna yang disebut Mahayogeshvara (Yang Maha
Mengetahui Yoga) kemudian memperlihatkan diriNya Yang Amat Dahsyat dan Penuh
dengan keajaiban-keajaiban yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
10. Dengan jumlah mulut dan mata yang tak terhitung
banyaknya, dengan jumlah keajaiban-keajaiban yang tak terhitung nampaknya,
dengan jumlah hiasan badan nan suci yang tak terhitung jumlahnya dan dengan
senjata-senjata Ilahi yang tak terhitung banyaknya yang semuanya terlihat
terangkat;
11. Dengan memakai kalungan-kalungan bunga dan
jubah-jubah sorgawi semerbak mewangi dengan wewangian sorgawi, penuh dengan
kemukjizatan, terang-benderang, tanpa batas dan wajah yang memandang ke setiap
arah.
Sang Kreshna nampak kepada Arjuna sebagai suatu bentuk
yang tanpa batas dan dalam manifestasiNya yang beraneka ragam, yang mulut dan
mataNya tersebar di mana-mana tanpa dapat dihitung jumlahnya, yang juga nampak
memakai jubah-jubah dan kalungan-kalungan bunga-bunga suci sorgawi. Juga nampak
mengenakan hiasan-hiasan badan dan memegang senjata-senjata simbolis sorgawi di
mana-mana dalam jumlah yang tak terhitung dan nampak semua senjata-senjata ini
siap terangkat ke atas.
12. Kalau saja dapat seribu mentari bersinar pada saat
yang sama, mungkin demikianlah kedahsyatan yang terpancar dari Makhluk Itu.
Terang-benderangnya atau kemerlapanNya begitu dahsyat
sehingga dibandingkan dengan seribu mentari yang bersinar sekaligus, bayangkan
bagaimana dahsyat Yang Maha Esa ini dengan segala kekuasaan dan keperkasaanNya.
13. Di situlah Arjuna menyaksikan seluruh alam semesta
beserta segala isinya yang beraneka-ragam teruntai menjadi satu, di dalam raga
Tuhan nya para dewa-dewa.
Dengan mata sucinya, Sang Arjuna melihat Yang Maha Esa,
Tuhan dari segala tuhan dan dewa-dewa, melihat seluruh untaian kehidupan kosmos
yang beraneka-ragam jumlahnya tanpa akhir tetapi teruntai menjadi suatu
kesatuan di dalam Yang Maha Esa.
14. Kemudian, ia, Arjuna, penuh takjub, bulu-bulunya
tegak berdiri, menundukkan kepalanya dan menyembahNya dengan kedua tangannya
yang terkatub, ia berkata:
Arjuna yang penuh takjub dan gentar melihat penyajian
Ilahi segera menyembahNya dan berkata:
Berkatalah Arjuna:
15. Yah! Kulihat sekarang bagaimana semua ini terselimut
olehMu! Para dewa terdapat di dalam ragaMu yang agung, oh Tuhan! Sang Brahma
bersemayam di singgasana-teratai, dan semua resi, ular-ular dan kekuatan suci!
Arjuna yang takjub dan ketakutan ini mulai
menyenandungkan puja-puji kepada Yang Maha Esa dalam bentuk puisi atau syair.
Ia melihat dan menerangkan semua pandangan di hadapannya. Dalam raga Sang
Kreshna ia melihat semua bentuk-bentuk dewa-dewi suci dan seluruh alam-kosmos.
Terlihat oleh Arjuna, Sang Brahma yang bersemayam di singgasana teratai
(dianggap bunga suci oleh umat Hindu) yang berasal dari pusar Sang Vishnu, juga
terlihat olehnya ular-ular suci, orang-orang yang bijaksana dan suci yang
ditemuinya di dunia.
16. Dikau lah Tuhan dari semuanya ini.
Kulihat tangan-tangan dan dada-dadaMu,
Dalam bentuk yang beraneka-ragam, tetapi tak kulihat
bagian tengahMu atau permulaan dan akhirMu!
Terlihat oleh Arjuna bentuk Sang Kreshna yang tanpa
batas, dan hadir dalam berbagai bentuk sorgawi dan duniawi di setiap penjuru
alam semesta, dan setiap bentuk ini lengkap dengan wajah, mulut, dada, dan
sebagainya dalam suatu kesatuan kehidupan yang berlainan dan amat bervariasi.
Dalam bentuk kaleidoskopik ini, Yang Suci dan Agung, Sang Kreshna hadir sebagai
Yang Tak Bermula atau Berakhir. Semua aspek-aspek ini hadir dalam bentuk
suciNya.
17. Kulihat Dikau dengan chakraMu, mahkota dan gada,
Kulihat Dikau gilang-gemilang di setiap arah sebagai
satuan cahaya: terang-benderang bagaikan api yang membakar, bagaikan mentari
yang bersinar di setiap sisi!
Kata-kata Arjuna di sini bisa juga berarti bahwa Sang
Kreshna atau Yang Maha Esa hadir di mana-mana tanpa batas dan diskriminiasi,
ibarat sinar matahari yang bersinar di setiap sisi dan sudut bumi ini secara
adil dan merata.
18. Dikaulah Yang Aksharam – Yang Maha Esa,
Dikaulah tempat beristirahat semuanya yang ada di dunia
ini,
Dikaulah penjaga dharma yang tak pernah binasa,
Dikaulah seseorang yang tak akan terlupakan!
Aksharam berarti yang tak terbinasakan. ia juga tempat
bersemayam kita semua, sekaligus asal-usul dan akhir kita semuanya, beserta
semua rencana dan hasil-hasil rencana kita. la juga Yang selalu menjaga agar
dharma (kebenaran dan hukum kebenaran) selalu abadi dan langgeng dan selalu
ditegakkan kembali pada saat-saat kezaliman berkuasa. la juga yang tak akan
pernah terlupakan atau faktor utama di alam semesta ini, dan akan selalu hadir
dan ada walaupun yang lainnya sudah binasa semua.
19. Kulihat Dikau, Tuhan! Sebagai Yang tunggal tanpa
asal, tanpa tengah, tanpa akhir. Kulihat Dikau sebagai kekuatan dahsyat,
tangan-tanganMu yang tak terhitung jumlahnya, rembulan dan mentari sebagai
mata-mataMu, wajahMu bak api yang membara!
Arjuna melihatNya sebagai yang tak bermula, tak terlihat
juga masa tengah maupun akhirNya, karena memang la tak pernah dilahirkan dan
tak akan binasa. Yang Maha Kuasa banyak tangannya, ini menandakan kekuasaanNya
dan kehadiranNya yang tanpa batas. Dan api yang membara yang terlihat oleh
Arjuna adalah api pengerobananNya yang menghangatkan dunia ini dengan kebesaran
dan kasih-sayangNya.
20. Dunia ini dari batas ke batas, dari kutub ke kutub,
penuh dengan Dikau semata, seisi alam ini penuh! Melihat pemandangan yang
menggetarkan dan menakjubkan dariMu ini, ketiga dunia ini tenggelam, oh Yang
Maha Perkasa!
Seluruh alam semesta yang tanpa batas ini penuh dengan
Yang Maha Esa semata, dan dengan penuh takjub dan gentar ketiga dunia beserta
segala isi dan makhluk-makhluknya menunduk dan bersujud hormat kepada Yang Maha
Esa.
21. Jajaran para dewa mendekat dan menyatu denganMu,
mereka mengatubkan kedua telapak tangan mereka dengan ketakutan, MemujaMu!
Para Resi dan Siddha (mereka yang telah sempurna)
berteriak, “Hidup, hidup!”
Dan menyanyikan puja-puji kebesaran untukMu!
22. Para Rudra, dan para Aditya, juga para Vasu, para
Sadhya, Siddha, Vishva, Usmapa, para Marut, Ashvin, Yaksha, Asura, dan para
Gandharava — semuanya memandangMu dengan takjub!
Semua dewa-dewi dan penghuni sorgaloka dan loka-loka
lainnya takjub akan kebesaranNya yang tanpa batas ini. Rudra (dewa-dewa bencana
dan maut), Vasu (dewa-dewa kekayaan), Sadhya (dewa-dewa yang tinggal diantara
sorga dan bumi), Aditya (dewa-dewa matahari), Vishva (dewa-dewa yang
berhubungan dengan ketabahan), Marut (dewa-dewa yang berhubungan dengan udara),
Ushamapa (dewa-dewa peminum hawa panas), Gandharva (para penyanyi sorgawi),
Yaksha (dewa-dewa harta), Asura (setan-setan).
23. (Melihat) bentukMu yang perkasa dengan mulut dan
mata, benda-benda dan kaki yang tak terhitung jumlahnya, dan tangan-tangan yang
begitu luasnya, perut dan gigi yang tak terhitung banyaknya, seluruh loka-loka
ini melihat dan tergetar, begitu pun daku!
24. Kulihat Dikau menyentuh langit-langit, membara dengan
warna-warni mulutMu terbuka lebar dan mataMu bersinar-sinar, kala kulihat Dikau
seperti ini; Kalbuku tergetar, kekuatanku sirna, dan aku tak memiliki kedamaian
lagi.
25. Oh, tajam seperti baranya api Waktu, kulihat
mulut-mulutMu yang bertaring menakutkan!
Aduh! Aku kehilangan semua akalku dan tak tahu di mana
aku berada.
Tak kudapatkan kedamaian! Ampuni daku, Tuhan!
Oh, Tempat berlindung seluruh alam semesta ini!
Alam semesta dan isinya semua seakan-akan terkena “teror”
yang maha-dahsyat melihat Yang Maha Esa dalam bentuk yang demikian ini, begitu
ujar Arjuna yang kehilangan semua akalnya; takjub dan penuh gentar ia kini. la
melihat Yang Maha Esa yang berdiri dan ubun-ubunNya mencapai lapisan tertinggi
langit, seluruh alam semesta ini terlihat penuh dengan diriNya semata, dan
terlihat juga la ibarat api kiamat, ibarat seorang raksasa yang bertaring dan
menakutkan penuh dengan daya hancur yang maha-dahsyat. Yang Maha Esa tampak
kepada Arjuna dalam bentukNya yang maha menghancurkan dan menggetarkan, yang
dapat diartikan di sini sebagai juga hukum karma yang akibatnya amat
menakutkan; seyogyanyalah kita sadar akan arti dan hakikat kehidupan ini dan
selalu bertindak positif dalam setiap tindakan kita.
26. Ke dalam mulutMu yang terbuka lebar, dan bergigi
menyeramkan dan terlihat menakutkan, masuklah mereka dengan amat cepat –
27. Semua putra-putra Dhritarastra, dan beserta mereka,
para raja-raja, dan Bhisma, Kama, Dronacharya, dan semua pendekar-pendekar
agung tuan-rumah kami, banyak terperangkap diantara gigi-gigi dan terlihat
kepala-kepalanya, terjepit dan pecah dan berjatuhan menjadi debu dan binasa.
Diantara geraham-gerahamMu tergeletak -pahlawan-pahlawan terbaik dari kedua
laskar ini!
28. Bagaikan air bah sungai yang mengalir deras dan
menyatu dengan lautan, begitulah para orang-orang kuat ini, pahlawan-pahlwawan
agung ini, melaju deras masuk ke dalam mulutMu yang penuh dengan api yang
membara! Melaju, dalam arus yang tak putus-putusnya dan hilanglah mereka!
29. Ibarat kawanan laron yang melaju cepat ke arah sebuah
pelita — ke api yang membara – untuk mati didalamnya, begitu juga
manusia-manusia ini, dengan kecepatan yang tinggi, melaju deras ke arah
kematian mereka di dalam mulut-mulutMu yang membara.
30. Pada setiap sisi, dengan mulut-mulutMu yang membara
dan menakutkan, Dikau menjilat loka-loka ini, melahap semuanya. CahayaMu yang
terang-benderang, oh Vishnu, masih mengisi bumi ini dari ujung ke ujung:
terbakarlah alam semesta ini!
Berputar-putar dengan roda Sang Waktu, para pendekar dan
pahlawan dunia ini pun terjepit diantara gigi-gigiNya, yaitu perumpamaan dari
Hukum Karma. Semua jajaran Kaurawa dan Pandawa melaju dengan kencang ke arahNya
tanpa daya. Seperti sungai-sungai yang penuh air-bah yang melimpah mengalir
deras ke arah lautan-lepas tanpa kendali, maka kita semua pun tanpa daya melaju
kencang ke arahNya kembali begitu kita lahir di dunia ini. Perumpamaan yang
kedua adalah ibarat kawanan laron (sejenis serangga) yang selalu mengorbankan
dirinya dengan menabrak api atau lampu pada malam hari, begitu pula dengan kita
manusia ini yang tanpa sadar sebenarnya sedang mengarah ke kematian kita setiap
hari, setiap menit, setiap detik dan setiap saat, dan semua ini tanpa kita
sadari. Yang kita “sadari” hanyalah menikmati semua kenikmatan duniawi selama
mungkin, dan tidak pernah terbetik di dalam benak kita untuk apa sebenarnya
kita ini lahir atau hidup, atau dilahirkan atau dihidupkan? Dan Yang Maha Esa
di sini diibaratkan dengan mulut Yang Penuh dengan bara api yang membakar kita
semua akhirnya. la menjilat dengan bara-apiNya seluruh alam semesta ciptaanNya
Sendiri, dan akhirnya terbakar atau musnahlah alam semesta ini dalam DiriNya
Sendiri. Dengan kata lain, semua yang berasal dari Dia kembali kepadaNya, tanpa
kecuali.
31. Aduh Vishnu! Beritahukanlah daku siapakah DiKau ini.
Mengapa bentukMu begitu menakjubkan? Aku memujaMu: Ampuni daku, Tuhan Yang Maha
Agung! Aku ingin mengetahuiMu, Yang Maha Esa! Karena Tak kuketahui akan
jalan-jalanMu!
Arjuna, pada saat ini ibarat telah kacau pikirannya,
bukan saja ia amat takjub pada penampilan yang maha-dahsyat ini, tetapi juga
sekaligus ia ketakutan dan gemetar akan kebesaran Yang Maha Kuasa yang tak ada
tandinganNya ini. la pun bertanya-tanya bagaimana cara kerja sebenarnya dari
Yang Maha Kuasa menunjang kehidupan di alam semesta ini, dan ketakutanlah ia
melihat para pahlawan-pahlawan nan sakti dari kedua laskar di Barata-Yudha ini,
semuanya melaju deras ke mulut Sang Kreshna (Sang Vishnu) yang amat menakutkan
ini. Bukan saja mereka yang bersifat iblis, tetapi mereka yang dianggap baik
pun melaju deras ke arah kematian. Segera ia memohon ampun kepadaNya karena
gentarnya menghadapi Yang Maha Esa dalam bentukNya yang sukar dimengerti ini.
Bukankah kita manusia ini sering sekali ingin melihat bentuk Yang Maha Kuasa,
tetapi siapakah sebenarnya di dunia ini yang mampu melihatNya? Baru sebagian
kecil dari bentukNya saja sudah menyeramkan, apa lagi bentukNya yang maha tak
terbatas. Arjuna sendiri yang disebut pahlawan utama saja tidak mampu menahan
gentarnya, apa lagi kita manusia awam.
Tuhan Yang Maha Esa, memang Maha Indah tetapi Ia juga
Maha Menakutkan, ini adalah sebuah fakta yang harus kita terima. Ia adalah Maha
Pengasih dan Penyayang tetapi juga adalah Maha membinasakan, terimalah ini
sebagai suatu fakta untuk pelajaran dan penghayatan kita, agar hormat kita
kepadaNya menjadi lebih sempurna lagi. Arjuna yang gemetar ketakutan dan
merinding, bulu-bulu di sekujur raganya, jatuh berlutut dan memohon kepadaNya
agar diberikan pengampunan. Ia juga memohon keterangan apa arti dari semua
penampilan Yang Maha Esa ini? Apakah arti dari kebinasaan semua pahlawan dan
manusia ini? Dan Sang Kreshna Yang Maha Pemurah pun mengabulkan permintaan
Arjuna yang sedang dilanda rasa takjub yang luar biasa ini.
Bersabdalah Yang Maha Esa:
32. Aku adalah Sang Waktu, yang menghancurkan dunia ini!
Sang Waktu Yang menumpas, saatnya telah tiba kini, dan matang bagi hancurnya
para laskar ini: walaupun engkau lari, semua ini akan tetap binasa.
Sang Kreshna adalah Sang Kala (Waktu), Sang Waktu yang
mematikan para laskar, pendekar dan pahlawan di Kuruksetra. Di alamNya Sang
Kreshna tak ada waktu, atau kondisi-kondisi yang terikat pada waktu. Tetapi di
dunia ini terciptalah waktu, yang sebenarnya adalah hasil ilusi manusia itu
sendiri, seperti pagi dan malam, hari-hari, dan jam-jam, bulan-bulan dan
tahun-tahun dan lain sebagainya, sehingga manusia itu sendiri terjebak di dalam
waktu yang menjadi hasil karyanya sendiri. Sehingga semuanya oleh manusia
diukur dengan waktu, baik itu pekerjaan maupun itu usia seseorang. Akibatnya
manusia itu selalu berpacu dengan sang waktu, sehingga terciptalah juga
kondisi-kondisi seperti waktu-kelahiran dan waktu-kematian. Kalau saja manusia
tidak terikat pada waktu maka kita pun tak akan terikat kepada dunia ini dan
segala ekses-eksesnya dan segala aspek-aspeknya seperti mati, lahir, hidup, dan
lain sebagainya. Apakah sebenarnya yang kita cari di dunia ini, mengapa manusia
selalu terburu-buru berpacu dengan sang waktu, seakan-akan semua akan menjadi
berlarut-larut? Padahal semua ini hanyalah ilusiNya saja. Kita seharusnya sadar
bahwa Sang Waktu Yang Sejati adalah Yang Maha Esa, Ia lah Yang Maha Tahu bila
seseorang atau makhluk harus lahir dan harus mati, dan bila ia (seseorang)
harus bekerja dan berfungsi semestinya seperti yang telah Ia atur.
33. Bangkitlah dikau, ayo! Dapatkanlah yang sudah
diketahui!
Berperanglah dengan musuh-musuhmu! Kerajaan ini
menantimu. OlehKu, dan bukan olehmu, semua ini telah terbantai, seakan-akan
dikau yang membantainya! Jadilah alat Ku! Seranglah, wahai Kshatrya!
Arjuna boleh lari dari kenyataan ini, dan ia boleh saja
melepaskan tanggung-jawabnya sebagai seorang pahlawan dan kshatrya dan ingkar
dari kewajibannya, tetapi Yang Maha Kuasa yang menentukan apakah ia harus
berperang, bekerja, bertindak atau tidak berbuat sesuatu apapun juga. Yang Maha
Esa lah yang menentukan lahir dan matinya para Pandawa dan Kaurawa. Ia juga
yang menentukan lahir dan mati kita semuanya beserta seluruh ekses-ekses
kehidupan kita. Ia juga lah Sang Waktu Yang Sejati Yang Maha Mengetahui dan
Menentukan Segala-galanya. Seyogyanyalah kita sadar akan hal ini. Om Tat Sat.
34. Menyeranglah dikau terhadap Drona! Dan seranglah
Bhisma! Juga Kama, dan Jayadratha — semua pahlawan di sini. Ketahuilah sudah
Kuputuskan mereka binasa! Janganlah gentar! Berperanglah dikau dan tumpaslah
yang telah tertumpas ini!
Arjuna hanya diminta untuk menjadi alat atau instrumen
Sang Maha Kuasa saja, karena kematian semuanya di Kurukshetra telah
ditakdirkanNya sesuai dengan kehendakNya semata. Yang penting bagi Arjuna (dan
kita tentunya) adalah usaha atau perjuangan yang ‘simbolis’ saja. Seyogyanya
kita pun berperang terhadap hawa-nafsu dan angkara-murka yang meraja-lela di
sekitar kita, dan kita pasti akan berhasil selama kita bekerja demi
dharma-bhakti kita terhadapNya semata. Serahkan semua hasil atau buah dari
setiap tindakan ini kepadaNya untuk ditentukan sesuai dengan keinginanNya,
karena la juga Yang Maha Menentukan semuanya ini, kita hanya bertindak sebagai
alat-alatNya saja.
Berkatalah Sanjaya:
35. Setelah mendengar kata-kata ini dari Sang Kreshna,
Arjuna sambil mengatubkan kedua tangannya, dalam keadaan gemetar, membungkukkan
badannya untuk bersujud. Penuh rasa gentar dan bersuara sengau, Arjuna sekali
lagi menyapa Sang Kreshna.
Berkatalah Arjuna:
36. Oh Kreshna! Benar-benar dunia ini berbahagia
menyaksikan kekuasaanMu yang tanpa Batas, dan memujaMu! Para raksasa yang
ketakutan akan bentukMu lari tunggang-langgang, dan para Siddha bersujud
kepadaMu.
37. Bagaimana mungkin mereka tak menghormatiMu, Tuhan! Oh
Dikau Yang Agung dan Esa! Dibandingkan dengan Sang Brahma yang agung dan
pencipta pertama, Dikau lah Yang Maha Agung! Dikau Tuhan para dewa! Yang Maha
Pasti! Ada – dan Tiada, Yang berbentuk Makhluk dan Yang bukan Berbentuk
makhluk, dan Yang lebih lagi dari keduanya ini – Itu Yang Maha Gaib – Yang Maha
Esa!
38. Dikau adalah di atas para dewa. Dikaulah Manusia
Abadi. Di dalamMu alam semesta terjamin kelestariannya! Yang Mengetahui dan
Yang Diketahui -dua dalam satu adalah Dikau! Tujuan Yang Agung dan Suci,
semuanya ada di dalamMu!
39. Oh, Dikau adalah Sang Vayu (Sang Bayu)! Dan Dikau
adalah Yama (Kematian)! Agni (Api) dan Dikau adalah Sang Ombak! Dan Dikau
adalah Sang Rembulan! Prajapati adalah Dikau. Bapak dari semuanya! Seribu kali
aku berseru memujaMu!
40. Seru puja kepadaMu dari depan dan belakang! Dan seru
puja di setiap sisi! Oh Semua! Dengan kekuatanMu, Oh Yang Tanpa Batas! Sendiri,
Dikau mengelilingi semuanya.
Dikau Yang Esa di dalam semuanya, dan seyogyanya,
Dikaulah SemuaNya!
Begitu kagum dan takjubnya Arjuna ini, maka mulailah ia
bersenandung, memuja Yang Maha Esa sambil berpuisi. Bab ini adalah satu-satunya
yang disusun dengan bentuk puisi karena ulah Sang Arjuna yang sedang tergetar
jiwa-raganya melihat kebesaranNya Yang Tak Terbatas itu. Menurut Arjuna (di
sloka-sloka di atas), seluruh alam semesta penuh dengan rasa kasih, hormat dan
kesentosaan melihat dan menyaksikan kebesaran Yang Maha Besar ini. Di satu
pihak para raksasa, syaitan dan iblis beserta sekalian kuasa-kuasa gelap
berlarian jauh dengan penuh rasa ketakutan, maka di pihak lain para resi,
orang-orang suci, dewa-dewi dan kuasa—kuasa yang terang datang bersujud di
hadapanNya, memuja-muji Yang Maha Kuasa tanpa henti-hentinya.
Bukankah Ia lebih agung dari Dewa Brahma, sang pencipta
dunia ini? Bukankah Ia juga Tuhan dari segala dewa-dewi dan tuhan-tuhan lainnya
yang disembah manusia? Dan bukankah Ia juga yang memelihara alam semesta ini,
dan bukankah semua yang bergerak dan dan yang tidak bergerak, semuanya datang
dan pergi dari dan ke DiriNya juga? Ia juga yang disebut Sat (Abadi) dan yang
disebut juga Asat(yang tidak abadi). Dan Ia juga yang disebut Tat Para, yaitu
Itu Yang Maha Agung dan Suci. Ia juga Pemilik Semua Ini. Ia juga Maha
Mengetahui dan Yang Maha Diketahui. Ia lah tempat tujuan kita yang maha agung
dan suci, dan di dalam bentukNya seluruh alam semesta ini tersebar. DariNya
juga terbentuk fenomena-fenomena alam seperti angin, hujan, kematian, api,
rembulan, dan juga Prajapati dan para dewa-dewi. Arjuna juga melihatNya dari
aspek-aspek lain seperti aspek kasih dan cinta Ilahi, sebagai bapak dari
seluruh alam semesta dan kita semuanya, guru, teman, yang melindungi semuanya,
sebagai Cinta-Kasih Yang Abadi, Kebenaran Yang Tak Terbinasakan, sebagai
Kehidupan Yang Tak Pernah Sirna. Dan akhirnya, Arjuna dengan penuh takjub dan
ekstasi menyatakan, “Dikaulah SemuaNya, Oh SemuaNya.”
41. Sering aku berbicara kepadaMu secara gegabah, dan
kupikir Dikau sebagai ‘teman’ dan tak kusadari akan kebesaranMu ini, dan
kupanggil Dikau ‘Kreshna,’ ‘Pangeran’ atau ‘Sahabat’!
42. Karena sayang dan juga karena ingin bercanda
denganMu, sering kuberbuat salah terhadapMu, pada saat-saat kita sedang
berbaring, duduk, bersantap atau sedang berduaan, atau sedang dengan yang
lain-lainnya! Oh Yang Tak Berdosa, untuk ini (semua) kumohon kepadaMu! Maafkan!
Maafkan kesalahan-kesalahan ku, Yang Maha Abadi!
Arjuna yang baru sadar bahwa Sang Kreshna yang selama ini
dianggapnya teman bercanda (hubungan keduanya amat akrab) di bumi ini, ternyata
adalah penjelmaan Yang Maha Esa, dan karena takut dan takjubnya, langsung
secara amat spontan dan jantan ia pun meminta dimaafkan semua
kesalahan-kesalahannya. Bukankah sering sekali hal-hal yang serupa kita alami
juga. Kita sering memuja Yang Maha Esa dengan harapan la akan datang menolong
kita dari penderitaan yang kita alami. Sebenarnya setiap saat la hadir dan
menolong kita, tetapi dalam bentuk orang lain, atau makhluk lain, bahkan dalam
bentuk sesuatu kejadian, yang tidak kita sadari, dan sering sekali kita mencemoohkan
atau mengacuhkan semua ini. Kita sering lupa akan Dia karena kehidupan kita
sehari-hari hanya diperhitungkan secara duniawi dan berdasarkan yang
ilmiah-ilmiah saja, bahkan yang kita anggap rasional saja. Lupa kita akan
kehidupan dan kemukjizatan spiritual, ke-gaiban-Nya yang maha tak terkirakan
atau terpikirkan itu. Semua sering sekali kita anggap suatu kebetulan belaka,
di dunia ini tiada sesuatu pun yang serba kebetulan, semuanya secara spiritual
sudah terencana dan terkoordinir dengan baik, sampai ke hal-hal yang
sekecilnya, ini harus dicamkan oleh kita semuanya. Kalau sadar akan hal ini,
maka segeralah memohon maaf kepadaNya, karena Ia Maha Pemaaf dan Pengasih dan
Penyayang kita semuanya.
43. Karena sekarang kuketahui Dikau adalah Bapak Agung
dari semua yang dibawah dan semua yang di atas, dari semua loka-loka di seluruh
alam semesta ini! Dikau adalah guru yang paling dikagumi dan tak tertandingi di
seluruh loka-loka ini. Bagaimana mungkin ada seseorang di dunia ini yang lebih
agung dari kebesaranMu? Dikau lah Yang Tertinggi, Tuhan, kupuja Dikau!
44. Dengan tubuh yang membungkuk dan menunduk, aku
bersujud dan memohon karuniaMu, Oh Tuhan Yang kukagumi! Tunjanglah daku, ibarat
seorang ayah yang menolong putranya, ibarat seorang sahabat yang menolong
sahabatnya, ibarat seorang kekasih yang menolong yang dikasihinya!
Arjuna di sloka-sloka di atas menyebut Sang Kreshna
sebagai ‘Ayah atau Bapak semua loka-loka,’ sebagai seorang guru yang tanpa
tandingannya, dan Arjuna pun memohon kepadaNya agar Sang Kreshna sudi membantu,
menolong dan menunjangnya ibarat seorang ayah yang menolong anak-anaknya, dan
beberapa contoh-contoh lainnya seperti di atas. Dengan kata lain, sebenarnya
Arjuna yang telah sadar akan KebesaranNya mohon agar sudi di kasihi dan dikaruniai
oleh Yang Maha Kuasa. Barang siapa sadar akan kasih-sayang Ilahi Yang Tak Ada
Taranya itu, maka orang ini pastilah seseorang yang telah mendapatkan
penerangan dan kebijaksanaan yang tak ada taranya. la betul-betul telah sadar
secara sejati akan Yang Maha Esa dan Segala KebesaranNya.
45. Telah kulihat Itu yang tak pernah terlihat sebelum
ini — bentukMu yang menakjubkan! Hatiku bahagia tetapi penuh dengan ketakutan!
Oh Tuhannya tuhan-tuhan! Gunakanlah tubuh duniawiMu, agar terlihat oleh mata
duniawi (ini)!
Jiwa Arjuna tergetar terus melihat Kebesaran Yang Maha
Kuasa ini, Yang Tanpa Batas dan tak pernah terlihat oleh siapapun sebelum ini.
Tetapi karena ketakutan akan WujudNya ini, ia berseru memohon agar Sang Kreshna
sudi kembali ke WujudNya yang semula seperti wujud manusiaNya, yaitu Sang
Kreshna, agar Arjuna dapat menyaksikannya lagi dengan mata manusianya tanpa
merasa gentar lagi.
46. Kuharap melihatMu seperti yang dahulu, berhiaskan
mahkota, gada dan cakra di tangan, Oh Yang Bertangan Seribu, Oh bentuk Yang
Universal, Mohon perlihatkan bentukMu sebagai Vishnu Yang Bertangan Empat!
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
47. Yah! Telah kau lihat, Arjuna! Dengan karuniaKu dan
melalu kekuatan Yoga, bentukKu yang agung dan suci, Yang Maha Luas,
48. Dan menakjubkan, sangat terang-benderang, tak ada
habis-habisNya, Yang utama (pertama), Yang mengisi semuanya—Yang selain dikau
tak pernah terlihat oleh yang lainnya sebelum ini!
Penglihatan ini tak dapat terlihat oleh Veda-Veda, atau
para pangeran! Atau dengan pengorbanan, atau amal, atau dengan mantra-mantra,
atau dengan puja-puji suci, atau dengan puasa yang berkepanjangan. Tak seorang
pun di dunia ini dapat melihatnya, karena penglihatan ini hanya disimpan untuk
dikau semata!
Sang Kreshna menerangkan kepada Arjuna bahwa penglihatan
Ilahi yang dikaruniakanNya kepada Arjuna memang khusus telah disediakan
untuknya semata dan tidak diperlihatkan kepada dewa-dewa atau yang
lain-lainnya. Suatu penghormatan yang luar biasa bagi Arjuna karena dianggap
murid dan pemujaNya yang sangat setia dan berdedikasi, bahkan puasa yang
berkepanjangan atau penyiksaan diri yang diluar-batas pun tak dapat
menghasilkan penglihatan Ilahi ini, juga tidak yagna atau amal dan perbuatan
perbuatan baik lainnya. Hanya yang terpilih olehNya akan mendapatkan Karunia
ini, seperti yang dikaruniakan kepada Arjuna yang disayangiNya.
49. Janganlah kalut! Janganlah dikau gentar, karena
melihat bentuk yang menakutkan ini! Bebaslah dari rasa takutmu! Berbahagialah
hatimu! Saksikanlah lagi bentukKu yang telah lama dikau kenal!
Berkatalah Sanjaya:
50. Setelah bersabda demikian kepada Arjuna, Sang Kreshna
sekali lagi kembali ke bentukNya yang semula. Yang Maha Agung, setelah kembali
ke bentuk yang lembut, menghibur Arjuna yang sedang ketakutan.
Berkatalah Arjuna:
51. Sekali lagi kulihat bentuk manusiaMu yang lembut, oh
Kreshna, dan jiwaku berubah tenang. Aku kembali ke sifatku yang semula.
Mulailah hilang rasa takut dan gentar sang Arjuna,
setelah melihat vujud lembut Yang Maha Pengasih. Yang dimaksud dengan wujud
lembut Sang Kreshna adalah wujudNya sebagai manusia. Di versi lain Bhagavat
Gita yang diterjemahkan oleh pengarang-pengarang lainnya, maka di sloka-sloka
di atas diterangkan bahwa Yang Maha Esa, mengubah DiriNya dari bentukNya yang
menyeramkan ke bentuk Sang Batara Vishnu yang lembut dan bertangan empat, dan
langsung kemudian merubah DiriNya lagi ke bentuk lembut Sang Kreshna. Walaupun
oleh penterjemah buku ini XL Vaswani tidak disebutkan secara jelas hal di atas
ini, tetapi sudah terang maksudnya demikian, karena pada sloka-sloka di bawah
ini ada hubungannya dengan bentuk Sang Vishnu tersebut.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
52. Sukar sekali untuk melihat bentukKu yang telah kau
saksikan ini (bentuk Sang Vishnu bertangan empat). Bahkan para dewa mendambakan
sekali melihatKu dalam bentuk ini.
53. Tetapi tak dapat Aku terlihat dalam bentuk yang telah
kau saksikan ini, walaupun dengan (mempelajari) Veda-Veda, dengan puasa, dengan
pemberian-pemberian atau dengan pengorbanan-pengorbanan.
Sang Kreshna menegaskan sekali lagi kepada Arjuna, bahwa
tidak mungkin la dapat terlihat dalam bentuk agungNya seperti yang disaksikan
oleh Arjuna baru saja, walaupun seseorang menyiksa dirinya setengah-mati, atau
beramal sebanyak apapun juga, atau bahkan dengan mempelajari Veda-Veda selama
apapun juga. Mengapa Sang Kreshna mengulang semua pernyataan ini kepada Arjuna?
Karena dibalik itu tersirat suatu jalan untuk melihatNya dalam bentukNya yang
mulia dan maha suci ini, dan jalan itu juga terbuka untuk kita semua.
Perhatikanlah sloka-sloka yang menyusul di bawah ini, karena sebenarnya yang
dikenhendaki oleh Yang Maha Esa dari kita semuanya ini amat sederhana sifatnya
dan bukan yang sukar-sukar atau yang menyiksa diri sendiri. Lihat sloka yang
berikutnya ini.
54. Tetapi hanya dengan kesetiaan kepadaKu semata —
kesetiaan (dedikasi) yang tak terpecah-pecah — maka Aku akan diketahui dan
terlihat dalam intisariKu dan bahkan dimasuki ke dalamNya, oh Arjuna!
55. Seseorang yang bekerja untukKu, yang menjadikan
DiriKu sebagai tujuan yang suci dan agung — ia, pemujaKu, lepas dari
keterikatan, tanpa rasa-jahat kepada sesama makhluk, ia datang kepadaKu, oh
Arjuna!
Jadi sebaiknya seseorang tak perlu untuk mencari-cari
kekuatan-kekuatan gaib untuk dirinya agar menjadi sakti atau berpengaruh secara
duniawi. Yang Maha Esa dan yang peneranganNya tidak dapat dicapai dengan
kesaktian jenis apapun juga, karena kesaktian yang sejati diberikanNya sendiri
kepada mereka-mereka yang memenuhi kriteria-kriteriaNya untuk hal-hal tersebut;
penggunaan kesaktian-kesaktian ini umumnya harus bersifat kemanusiaan dan untuk
sesamanya dan demi pengabdian kepadaNya semata. Kesaktian semacam ini umumnya
timbul atau datang tanpa diminta dan merupakan karuniaNya yang khusus untuk
pemuja-pemujaNya yang tulus dan beriman dan tanpa-pamrih. Maka seyogyanyalah
berdedikasi kepadaNya tanpa terpecah-pecah iman maupun pikiran kita, terpusat
seluruhnya kepadaNya semata, dan jadikanlah Ia tujuan kita yang suci dan agung,
dan cintailah, hormatilah, dan tolonglah sesama makhluk di dunia ini secara
merata dan tanpa diskriminasi, karena bagaimana mungkin sesorang mencintaiNya
dengan tulus kalau ia tidak mencintai atau mengasihi semua ciptaanNya di alam
semesta ini secara tulus. Jangan sekali-kali menyakiti hati orang lain, atau
mengusik makhluk lainnya yang tidak berdosa maupun yang berdosa tanpa seseuatu
alasan yang pasti dan dapat dipertanggung-jawabkan kepadaNya. Dengan begitu
kita akan meniti jalan ke arahNya. Jadi intisari ajaran-ajaran Sang Kreshna
adalah kalau seseorang ingin melihatNya atau ingin mencapaiNya atau dengan kata
lain ingin mengetahui dan mengenal ilmu pengetahuan yang agung dan suci dan
kebijaksanaan yang agung dan suci ini, maka jalannya amat sederhana, yaitu
“dedikasi dan kesetiaan yang tulus kepadaNya semata.” Benar kata Sri Shankar
Acharya, seorang guru besar Hindu di masa yang lalu, bahwa sloka 55 pada bab
ini sebenarnya adalah “intisari dari seluruh Bhagavat Gita.”
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kresnha dan Arjuna, bab ini adalah
bab yang kesebelas yang disebut:
Vishvarupa Darshana Yoga atau Ilmu pengetahuan Tentang
Penglihatan Bentuk Kosmos.
Bab 12 – Jalan Dedikasi (Bhakti)
Berkatalah Arjuna:
1. Para pemuja yang selalu harmonis, memujaMu, dan para
pemuja lainnya yang memuja Yang Tak Terbinasakan, Yang Tak Berbentuk – di
antara mereka ini, yang manakah yang lebih terpelajar dalam ilmu pengetahuannya
(dalam yoganya.)
Pertanyaan ini mungkin telah menggelitik kita selama ini,
karena pasti merupakan salah satu pertanyaan di dalam hati sidang para pembaca
yang terhormat. Yang manakah yang lebih baik atau sempurna, memuja Sang Kreshna
dalam bentuk manusiaNya, atau memuja Yang Maha Esa (Para Brahman), Yang Maha
Agung dan Abadi, Yang Tak Berbentuk, Yang Maha Hadir dan Yang Tak Terbinasakan.
Jalan manakah yang terbaik: berbhakti kepada Sang Kreshna atau berkonsentrasi
kepada Sang Brahman Yang Tak Terlihat oleh mata duniawi kita? Dalam pemujaan
terhadap Sang Kreshna terdapat dua faktor penting, yaitu bhakti dan/atau
dedikasi, dan kedua seva atau pekerjaan/pemujaan yang dipersembahkan kepadaNya.
Dengan kata lain: bekerja untukNya. Tetapi dalam pemujaan kepada Yang Maha Esa
Para Brahman, bhakti atau seva tidaklah dianggap penting, yang penting adalah
meditasi secara terus-menerus (berkesinambungan) atau pemfokusan pikiran
(mental) yang terus-menerus kepada Yang Maha Esa (kontemplasi). Tentu saja bagi
Arjuna di masa itu, dan bagi kita di masa kini, pertanyaan akan timbul,
pemujaan yang manakah yang terbaik, sebenarnya bukankah Sang Kreshna dan Para
Brahman ini sama saja, dua dalam satu, atau satu yang menjadi dua.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Mereka yang memusatkan pikirannya kepadaKu, memujaKu,
yang selalu harmonis dan terlapis dengan iman yang tertinggi – merekaKu anggap
sebagai yogi-yogi yang terbaik.
3. Mereka yang memuja Yang Maha Tak Terbinasakan, Yang
Tak Terterangkan, Yang Tak Berbentuk, Yang Selalu Hadir, Yang Tak Terpikirkan,
Yang Tak Berganti-ganti, Yang Tak Bervariasi, Yang Konstan –
4. (Mereka yang memuja dengan cara demikian), menahan
indra-indranya, memandang setiap benda secara sama-rata, bahagia dengan
kesentosaan setiap makhluk — mereka pun datang padaKu.
5. Mereka yang pikirannya terpusat kepada Yang Maha Esa
(Yang Tak Berbentuk), berusaha secara susah-payah (untuk mencapaiNya); karena
jalan ke arah Yang Maha Esa ini sukar bagi mereka yang memiliki raga.
Sang Kreshna mengatakan bahwa kedua bentuk methode
dedikasi atau pemujaan di atas adalah benar, tetapi dengan memuja Sang Kreshna
dalam bentuk manusia itu lebih efisien atau mudah, karena manusia cenderung
memilih bentuk yang mudah dimengerti, sedangkan Yang Maha Esa dalam bentukNya
yang tak terlihat dan tak berwujud, tentu saja sukar untuk dihayati dan
dijangkau oleh rata-rata manusia, apa lagi yang masih gemar akan kenikmatan
duniawi, tetapi ini tidak berarti lalu tidak ada manusia yang mampu langsung
mencapaiNya (Para Brahman). Sebenarnya dalam sejarah agama Hindu terdapat
banyak bukti bahwa banyak sekali individu-individu suci yang mampu
menjangkauNya (mencapai Yang Maha Esa) dan bersatu denganNya. Bagaimana pun
juga setelah tahap pemujaan kepada Sang Kreshna maka pemuja ini pada kesempatan
berikutnya akan diteruskan kepada Sang Brahman juga. Di sini Sang Kreshna
bertindak amat demokratis dan fleksibel, la memperbolehkan para pemuja untuk
memuja dengan jalan apa saja sesuai dengan keinginan kita.
6. Mereka yang mengkonsentrasikan setiap tindakan mereka
kepadaKu, memandangKu sebagai Tujuan Yang Agung dan Suci, dan yang dengan dedikasi
yang tunggal, memujaKu dan bermeditasi kepadaKu,
7. Mereka ini, oh Arjuna, dengan segeraKu selamatkan dari
samudra kematian dan kehidupan, mereka yang pikirannya selalu terpusat
kepadaKu.
Di sini terlihat Sang Kreshna menganjurkan Arjuna untuk
memilih jalan bhakti kepada Sang Kreshna, karena sebagai manusia yang memiliki
raga, jalan ini lebih cepat dan mudah. Dan dengan jalan ini pun asalkan
dedikasinya tak terpecah-pecah, maka pasti akan diselamatkan dari dunia yang
penuh dengan derita ini.
8. Pusatkan padaKu semata pikiranmu dan letakkan
pengertianmu di dalamKu. Dan tanpa ragu lagi sesudah ini dikau akan tinggal
denganKu semata.
9. Tetapi jika dikau tak mampu secara teguh memusatkan
pikiranmu padaKu, sebaiknya dikau berusaha untuk mencapaiKu, oh Arjuna, dengan
yoga yang penuh konsentrasi dan usaha yang terus-menerus.
10. Dan juga sekiranya dikau tak mampu untuk mengusahakan
konsentrasi, beritikadlah untuk bertindak demi Aku. Bekerjalah demi Aku, dan
dikau akan mencapai kesempurnaan.
11. Dan sekiranya dikau tak bersemangat untuk bertindak
demikian, maka lepaskan hasrat untuk mendapatkan hasil dari
tindakan-tindakanmu, carilah perlindungan dan berdedikasilah kepadaKu, dengan
cara mengendalikan dirimu.
Sang Maha Pemurah Hati, Sang Kreshna mulai menerangkan
cara-cara atau tahap-tahap dedikasi menuju Sang Kreshna, dan semua keterangan
ini diberikan dengan cara yang amat demokratis dan tidak mengikat atau memaksa
Arjuna atau pun kita semua. Cara-caraNya amat mudah dan dapat disarikan sebagai
berikut ini:
a. Pusatkan pikiran kepadaNya semata dan usahakan agar
pengertian kita ada dalam DiriNya (Sang Kreshna atau Yang Maha Esa).
Konsentrasi pikiran dan daya intelek kita pada Sang Kreshna, Yang Maha Esa,
secara perlahan, terarah dan pasti, adalah cara yang terbaik. Berkonsentrasi
kepadaNya walaupun ditengah-tengah kesibukan pekerjaan kita menandakan makin
matangnya kita dan dedikasi kita kepadaNya. Pikiran (mind) dan buddhi (intelek
atau pengertian yang benar) kalau digabung dan dipusatkan kepadaNya pasti akan
menghasilkan keajaiban-keajaiban atau pengalaman-pengalaman yang menakjubkan
dan tak dapat dipercaya oleh orang lain. Dengan jalan lain semua ini
mengajurkan kita untuk bermeditasi atau bersemedi barang sejenak setiap harinya
dengan meluangkan sekedar waktu yang khusus untuk dan kepada Sang Kreshna, Yang
Maha Esa dengan penuh bhakti dan dedikasi, dan kasih yang tulus.
b. “Dengan ilmu pengetahuan (yoga) yang penuh usaha,
cobalah untuk mencapaiKu,” kalau pertama di atas tadi seseorang dianjurkan
bermeditasi atau memusatkan pikiran dan inteleknya kepada Sang Kreshna, maka
pada anjuranNya yang kedua disabdakan kepada mereka yang tidak mampu
melakukannya untuk mencoba dengan usaha-usaha untuk mencapaiNya, dan ini
disebut abhyasa-yoga (yoga usaha atau disiplin kebebasaan), yang merupakan
tahap yang lebih mudah bagi seseorang. Abhyasa atau kebiasaan memujaNya pasti
lambat laun akan meningkat menjadi suatu yang teguh, dan kemudian proses ini
lambat laun akan berubah menjadi meditasi pada suatu saat. Untuk menjadi
meditasi maka Yang Maha Kuasa pasti akan menunjukkan jalannya waktu saat untuk
itu tiba.
c. “Berkemauanlah bekerja demi Aku,” kalau samadhi atau
meditasi belum dapat dilaksanakan maka sebaiknya abhyasa, tetapi kalau yang
kedua ini pun masih sukar untuk dilaksanakan, maka cobalah jalan ketiga yang
bersifat tahap yang lebih awal lagi dari dua jalan di atas tadi, yaitu kita
sebaiknya mencoba bekerja demi Sang Kreshna, Yang Maha Esa, dalam setiap
tindakan kita. Secara mental kita berusaha untuk menyerahkan semua hasil
pekerjaan kita kepadaNya. Apapun yang kita lakukan, apakah itu makan dan minum,
tidur, bekerja demi keluarga, kewajiban apapun yang kita lakukan, lakukan demi
pemujaan terhadap Yang Maha Esa semata, jadikanlah Ia tujuan atau cita-cita
akhir kita semuanya.
d. “Serahkan atau pasrahkan semua hasil pekerjaanmu
kepadaNya,” dan kalau bekerja unrukNya masih terasa sukar, maka Sang Kreshna
dengan amat demokratis dan banyak kompromi, dan dengan kasihNya menganjurkan
agar hasil atau efek atau buah dari setiap tindakan, pekerjaan, aksi atau
perbuatan kita dipersembahkan kepadaNya. Tidak berlebihan bukan anjuran Yang
Maha Pengasih ini? Kita tetap saja bekerja demi keluarga dan kewajiban kita,
tetapi semua hasil atau efek dari pekerjaan ini secara mental kita persembahkan
kepadaNya, dan terserah kepadaNya apapun hasil pekerjaan itu, karena bukankah
semua ini dariNya, untukNya dan olehNya juga! Pasrahkanlah semua nya kepada
Yang Maha Esa, dan terjadilah apa yang harus terjadi sesuai dengan kehendakNya
semata. Berimanlah kepadaNya selalu, dan semuanya akan berakhir dengan baik
sesuai dengan rencana-rencanaNya yang telah diaturNya secara cermat dan
terperinci masing-masing untuk setiap individu dan makhluk dan lain sebagainya.
Sekali semuanya sudah dipasrahkan dan dipersembahkan kepadaNya, maka semua itu
bukan masalah atau kenikmatan kita lagi, tetapi sudah menjadi persoalan Yang
Maha Esa kembali, jadi terjadilah apa yang harus terjadi. Yang penting adalah
iman kita kepadaNya dalam segala-galanya. Serahkanlah setiap sukses dan
kegagalan kita kepadaNya, dan jangan sekali-kali meminta atau mengharapkan
apapun dariNya kecuali kehendakNya, dan bekerjalah selalu sesuai dengan
kewajiban kita. Terimalah semua kehendakNya dengan senang, pasrah, tulus dan
jujur dan tanpa pamrih. Berterima-kasihlah untuk semua yang telah diberikanNya
kepada kita, apapun itu sifatnya. Sloka-sloka berikutnya banyak menyiratkan
pemberian dan kasih-sayang Yang Maha Esa kepada kita semua.
12. llmu pengetahuan itu lebih baik sifatnya daripada
usaha konsentrasi yang terus-menerus, meditasi itu lebih baik daripada ilmu
pengetahuan, dan yang lebih baik dari meditasi adalah persembahan semua hasil
perbuatan karena setelah itu menyusullah kedamaian,
Secara bertahap sebenarnya Sang Kreshna menganjurkan kita
meniti jalan ke arah kedamaian dalam hidup ini, yaitu melalui abhyasa (usaha
dan konsentrasi) lalu menanjak ke ilmu pengetahuan, alau naik lagi ke meditasi,
dan lalu yang lebih tinggi lagi, yaitu pemasrahan secara total semua hasil dari
perbuatan kita, dan setelah pemasrahan total ini maka akan ditemui kedamaian.
Sebenarnya semua tahap atau jalan yang diajarkan Sang Kreshna itu penting bagi
kehidupan spiritual kita, tetapi yang paling penting adalah pemasrahan secara
total semua hasil dari perbuatan kita secara sadar dan tulus, dan tanpa pamrih
yang diikuti oleh mental atau pikiran dan buddhi kita secara paralel. Inilah
sebenarnya rahasia agung dan suci yang tersirat dalam ajaran-ajaran Sang
Kreshna dalam Bhagavat Gita, dan kalau kita secara tulus, suci dan sadar
melaksanakan semua ini, maka yang dikembalikan kepada kita ini adalah rasa
kedamaian yang tak ada taranya, dan apa lagi yang lebih penting untuk sesuatu
makhluk hidup di dunia ini kalau bukan rasa damai yang tanpa disertai rasa
takut atau khawatir dalam menjalani hidup ini!
13. Seseorang yang tak mempunyai itikad buruk terhadap
siapapun (dan apapun), bersikap bersahabat dan selalu simpatik, bebas dari rasa
egoisme dan rasa memiliki, dalam suka dan duka bersikap tenang, selalu
memaafkan;
14. Sang yogi ini yang selalu menerima apa yang
didapatkannya, selalu harmonis dan menjadi tuan (yang berkuasa) atas diri
pribadinya sendiri, tegas, dengan pikiran dan intelek yang didedikasikan
kepadaKu — ia, pemujaKu ini, adalah yang Kukasihi.
Sang Kreshna menyambung ajaran-ajaran dan
keterangan-keterangan spiritual yang penting untuk dipelajari Arjuna dan kita
semua. Kita kemudian sekarang ini dapat menilai diri-pribadi kita
masing-masing, menilai karakter dan jiwa kita masing-masing apakah jalan-hidup
kita sudah sesuai dengan yang dianjurkan Sang Kreshna Yang Maha Pengasih ini
atau masih jauh dari itu semua? Dan kalau sudah memenuhi semua
kriteria-kriteria di atas maka, apakah ungkapan itu jujur dan tulus dan disertai
rasa kesadaran yang sejati, atau hanya dibuat-buat atau dirasakan saja?
Berkarakter atau bersifat seperti yang dianjurkan Sang Kreshna ini tidaklah
mudah dilakukan oleh manusia yang duniawi sifatnya, walaupun nampaknya
anjuran-anjuran Sang Kreshna ini mudah dan sederhana. Diperlukan latihan,
penghayatan dan kesadaran yang harus dilalui dengan proses yang memakan waktu
dan disiplin spiritual yang ketat dan tegar.
15. Seseorang yang tidak mengusik dunia ini dan tidak
terusik oleh dunia ini, yang bebas dari rongrongan rasa nikmat, marah, dan
takut — ia adalah yang Kukasihi.
Yang dimaksud Sang Kreshna di atas ini adalah seseorang
yang tak mengusik, mengganggu dan menyusahkan orang lain, makhluk-makhluk lain
dan alam serta benda-benda di mana pun juga tanpa sesuatu alasan yang dapat
dipertanggung-jawabkan; dan tindakan semacam ini tidak dapat ditolerir olehNya
walaupun sekecil apapun tindakan ini. Juga orang ini (pemujaNya) sebaliknya
tidak merasa susah atau merasa diganggu atau terusik oleh orang maupun makhluk
lain, karena sadar bahwa semua ini adalah ciptaan-ciptaanNya dan terjadi karena
kehendakNya dan pada dasarnya adalah la juga. Orang yang sadar ini disebut
harmonis sifatnya. la telah lepas dari segala bentuk rasa takut, senang, marah
dan penampilannya selalu harmonis dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu
baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Orang semacam ini adalah
“kekasihNya” (Yang dikasihiNya).
16. Seseorang yang tak berambisi, yang bersih, cekatan
dan cerdik dalam tindakan, tak bernafsu, bebas dari rasa takut, yang
mempersembahkan hasil dari setiap keputusannya kepadaKu – ia, pemujaKu adalah
yang Kukasihi.
17. Seseorang yang tidak bergembira, tidak membenci,
tidak bersedih, tidak bernafsu (berangan-angan untuk memiliki atau menikmati sesuatu),
yang mempersembahkan buah dari kebaikan dan keburukan – pemujaKu yang setia
adalah yang Kukasihi.
Seseorang yang tak berambisi untuk diri-pribadinya
sendiri dan tak mengharapkan apapun juga dari segala tindakan-tindakannya, baik
secara fisik, mental maupun spiritual dan material; yang tegas, peka, ahli dan
bekerja dengan cekatan demi kebenaran dan hal-hal yang positif; yang secara
cepat mengambil keputusan dalam suatu keadaan darurat, dan yang selalu
memasrahkan hasil dari setiap keputusan dan perbuatannya baik yang buruk maupun
yang baik kepadaNya semata, tidak akan mempunyai rasa takut untuk menghadap
masa depan dan semua yang dihadapiNya. Yang tak mementingkan atau menginginkan
sesuatu dan tak bersedih hati untuk apapun yang dihadapinya adalah yang
“dikasihiNya,” yang dikasihi oleh Sang Kreshna. Andaikan sang pemuja yang penuh
dedikasi dan kesetiaan ini sudah mempersembahkan dirinya secara total sebagai
alat kepada Yang Maha Esa, maka sang alat ini lalu sadar bahwa ia seharusnya
berkewajiban untuk dipergunakan oleh Yang Maha Esa sesuai dengan kehendakNya,
apapun kehendakNya itu, dan semua hasil pekerjaan yang dilakukannya bukan
miliknya tetapi milik Yang Maha Menentukan, jadi lalu apa lagi yang harus
disedihkan dan apa lagi yang harus digembirakan? Apa lagi yang harus membuatnya
marah, benci atau dendam dan bebagainya? Tidak ada lagi! Semua adalah
pekerjaanNya, dan semua adalah alat-alatNya semata yang memainkan peranannya
masing-masing di dunia ini; dalam kehidupan kita ini! Semakin ia sadar akan hal
ini, semakin dikasihi ia olehNya, Yang Maha Pengasih dan berbahagialah ia yang
merasa dikasihi dan dilimpahi oleh kasih Yang Maha Kuasa, karena mencapai
status ini tidaklah mudah dan boleh dikatakan amat langka dalam dunia yang
penuh dengan ilusi duniawi ini. Yang Maha Esa Sendiri sebenarnya Amat Pengasih,
terserah pada kita ingin mendapatkan limpahan kasihNya yang bersinar terus
secara sama rata untuk setiap makhluk-makhlukNya, atau terserah kita untuk
menolak kasih ini dan lebih erat lagi merangkul nafsu-nafsu duniawi kita dan
terikat erat kepada nafsu-nafsu ini.
18. (Seseorang) yang bersikap sama terhadap seorang teman
atau seorang musuh, sama terhadap dingin dan panas, terhadap kenikmatan dan
penderitaan, bebas dari keterikatan,
19. Menerima secara sama rata pujian dan fitnah, bersikap
diam, merasa cukup dengan apa yang diterimanya, tak memiliki rumah, berpikiran
stabil, ia pemujaKu yang setia, adalah orang yangKu kasihi.
Andaikan seseorang bersikap sama terhadap semua kejadian
yang menimpanya, seperti senang dan susah, pujian atau hinaan, panas atau
dingin, dan merasa semua itu sama saja kadarnya, dan selalu merasa cukup dengan
apa yang melandanya dan apa yang diterimanya dan menganggapnya sebagai
pemberianNya jua, maka orang suci semacam ini adalah orang yang dikasihiNya.
Andaikan ia tenang dan damai dalam menghadapi segala sesuatu dan menyebarkan
kedamaian ini pada orang-orang di sekitarnya dan pada dirinya secara
senantiasa, maka jadilah ia seorang mauni (yang tenang dan damai secara lahir
dan batin). Andaikan ia merasa tak memiliki rumah atau tempat-tinggal
(aniketah), yaitu dengan kata lain berarti ia merasa dunia ini bukan milik atau
rumahnya yang sejati, tetapi ia hanya seorang musafir yang sedang melakukan
perjalanannya (yatra) demi suatu kewajiban yang disandangnya demi Yang Maha
Esa, dan merasa bahwa rumah atau tempat-tinggalnya yang abadi ada di dalam Sang
Kreshna, Yang Maha Esa, maka jadilah ia seorang yang paling dikasihi oleh Sang
Kreshna, dan manusia suci semacam ini selalu tersenyum penuh arti dalam segala
tindakannya; ia selalu bersikap tenang-tenang saja penuh arti.
20. Mereka, yang benar-benar memuja dharma (hukum) yang
abadi ini, seperti yang diajarkan ini, dan penuh dengan iman, mempercayaiKu
sebagai Yang Maha Agung dan Suci — mereka, para pemujaKu, adalah yangKu kasihi.
Dan seorang pemuja yang tulus yang memuja dan menjalani
dharma atau hukum yang diajarkan Sang Kreshna ini, yang adalah suatu bentuk
dharma yang abadi dan tak akan pernah sirna sepanjang masa, dan yang
mengantarkan kita semua kepada tujuan Yang Agung dan Suci, yaitu Sang Kreshna
atau Yang Maha Esa itu Sendiri; pemuja semacam ini adalah yang dikasihiNya.
Jelas sudah pesan-pesan Sang Kreshna untuk kita semuanya. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bob ke
dua-belas ini disebut: Bhakti Yoga Atau Ilmu pengetahuan Tentang Dedikasi.
Bab 13 – Falsafah Kehidupan
Berkatalah Arjuna:
Oh Kreshna, daku berhasrat sekali untuk mempelajari
hal-hal tentang Prakriti (alam) dan Purusha (Sang Jiwa), tentang ladang dan
tentang Yang Mengetahui ladang ini (Sang Pengenal ladang), tentang ilmu
pengetahuan (kebijaksanaan) dan tentang hal-hal yang perlu untuk diketahui.
Sloka di atas ini tak bernomor, dan sering tak
diterjemahkan karena dianggap sebuah sisipan.
Berkatalah Yang Maha Pengasih:
1. Raga ini, oh Arjuna, disebut sebagai ladang. Seseorang
yang sadar (tahu, mengenal) akan hal ini disebut sebagai sang pengenal ladang
ini, oleh mereka yang mengetahuinya (para resi).
2. Kenalilah Aku sebagai Yang Mengetahui ladang dari
semua ladang-ladang, oh Arjuna! Ilmu pengetahuan tentang ladang dan yang
mengetahuinya -adalah ilmu pengetahuan yang Ku anggap sebagai ilmu pengetahuan
yang sejati.
Dalam bab ini Sang Kreshna menerangkan tentang filsafat
(falsafah) kehidupan ini; ibaratnya menilai suatu kehidupan di atas batu-karang
yang kering dan gersang, maka setiap manusia sebenarnya memerlukan suatu
filsafat-kehidupan (suatu pegangan) agar kehidupan dapat dijalaninya dengan
sempurna. Dan untuk itu, pertama-tama amat penting untuk menyadari atau
memahami dua sifat dominan — manusia dan alam semesta kedua sifat ini disebut —
Prakriti dan Purusha. Prakriti adalah benda atau raga, dan diibaratkan sebagai
ladang (kshetrari), dan Purusha adalah Sang Jiwa yang disebut dan dikenal
sebagai Yang mengetahui tentang ladang ini (Kshetragnd).
Bahkan dalam Injil pun Yesus Kristus pun sering menyebut
tentang ladang dan penabur benih dalam parabel-parabelnya. Jadi bukan saja hal
ini disiratkan dalam agama Hindu saja tetapi dapat juga dilihat dan dihayati
dalam agama-agama lainnya. Di sini dapat dikatakan bahwa yang disebut ladang
adalah raga kita sendiri dan Sang Penabur Benih adalah Sang Kreshna, Yang Maha
Mengetahui ladang ini, la bersemayam di dalam diri kita. Dan yang disebutkan
sebagai benih di sini adalah kebijaksanaan (gnanam), yang selalu ditaburkan
olehNya untuk kita semua agar sadar dan kembali ke jalanNya. Sang Kreshna di
sini berbicara tentang ladang, tentang yang mengenal ladang dan tentang ilmu
pengetahuan dalam bentuk kebijaksanaan. Prakriti adalah ladang: di dalamnya
setiap benda dan makhluk tumbuh dan berkembang, lalu layu dan akhirnya binasa,
dan hidup dan tumbuh baru lagi. Prakriti adalah suatu bentuk aktivitas. Di
dalam Prakriti dituai buah atau hasil dari setiap tindakan dan perbuatan kita ~
ibarat sebuah ladang saja. Fungsi Prakriti adalah aktivitas tanpa dilandasi
oleh kesadaran sejati.
Gnanam (kebijaksanaan) adalah benih yang ditabur dan
dituai dari ladang ini; kebijaksanaan ini adalah ilmu pengetahuan tentang
ladang dan tentang Yang Mengetahui atau Yang Mengenal ladang ini. Di alam
semesta ini apapun yang kita lihat adalah gabungan atau kombinasi dari Purusha
dan Prakriti, antara Sang Jiwa dan benda, antara roh dan raga. Sang Jiwa, Sang
Purusha adalah Kshetragna (Yang Mengetahui Ladang) dan Yang Mengetahui adalah
Sang Kreshna, yang dengan kata lain adalah Yang Maha Esa itu Sendiri.
3. Dengarkanlah secara terperinci, dariKu, apakah ladang
itu, dan apakah sifatnya, apakah modifikasi-modifikasinya, bilakah la (ada),
apakah la (Yang Mengetahui tentang ladang) itu, dan apa sajakah
kekuatan-kekuatanNya?
4. Para resi telah meyabdakannya dengan berbagai cara,
dengan berbagai mantra, dengan sabda-sabda dalam Brahma-Sutra — disabdakan
dengan penuh alasan dan kata-kata yang konklusif, penuh dengan kebijaksanaan
Yang Maha Abadi.
Ajaran mengenai ladang dan yang mengetahui ladang ini,
bukan ajaran baru, tetapi sudah muncul dalam pustaka-pustaka dan ajaran-ajaran
Hindu kuno, dan sudah dikenal oleh orang-orang yang mempelajarinya di zaman
dahulu.
5. Lima elemen kasar, dan rasa “ke-aku-an,” juga
pengertian akan yang tak berbentuk kesepuluh indra dan pikiran, dan kelima
indra yang utama,
6. Keinginan (nafsu) dan rasa-benci, kenikmatan dan
penderitaan, bentuk kolektif, intelegensia, keteguhan – semua ini, secara
terperinci diterangkan, sebagai yang mencakup ladang ini dan
modifikasi-modifikasinya.
Kshetra (atau ladang) ini terdiri dan 24 prinsip, yaitu:
1. Avyakta – yang tak berbentuk. Ini adalah Sang Maya
(Ilusi-Ilahi), di mana semua akan terserap sewaktu terjadi pralaya atau kiamat.
2. Ahankara — rasa ego, rasa ego yang didasarkan kepada
pengalaman-pengalaman pribadi, pada personalitas, pada diri-pribadi, merupakan
kesadaran dari dan untuk diri pribadi saja.
3. Buddhi — alasan-alasan, pemahaman, pengertian yang
membedakan antara yang benar dan salah, intuisi, kekuatan untuk langsung
mengetahui sesuatu.
4. Mana — sering disebut juga sebagai ekam atau satu;
(5-14) Terdiri dari sepuluh bentuk indra, yaitu terbagi
dua. Yang lima pertama adalah gnana-indra yang terdiri dari mata (penglihatan),
kuping (pendengaran), hidung (penciuman), lidah (rasa), sentuhan atau organ
aksi. Kemudian lima indra yang berikutnya adalah karma-indra atau juga disebut
indra-indra fungsi yang terdiri dari tangan, kaki, mulut (wicara), anus dan
penis (kemaluan).
(15-19) Kemudian yang disebut lima indra yang penting
(indriyah-gocharah) adalah sparsha (sentuhan), rasa (merasakan), rupa
(pengetahuan), gandha (penciuman) dan shabda (suara).
(20-24) Lima elemen kasar (mahabhuta) adalah bhum
(tanah), apa (air) anala (api), vayu (udara) dan khan (ether).
Kshetra atau ladang ini mempunyai lima vikara, yaitu
bentuk atau transformasi, atau bisa disebut juga penggantian atau modifikasi,
dan sebagainya. Yang masing-masing adalah:
a. iccha dan dvesha — yaitu keinginan dan aversi (rasa
dualisme yang saling bertentangan seperti suka-tak suka, panas-dingin,
benci-sayang, dan lain sebagainya);
b. sukham dan dukham — yaitu kenikmatan dan penderitaan;
c. sanghata — yaitu bentuk kolektif tubuh atau raga;
d. chetana — yaitu kesadaran, intelegensia, pikiran dan
pengetahuan;
e. dhriti — yaitu keteguhan, ketegaran dan tekad yang
kuat.
Harus diketahui bahwa fungsi psikological seperti nafsu
(keinginan) dan aversi, kenikmatan, dan penderitaan, intelegensia, keteguhan
adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan kshetra (ladang) dan bukan pada Sang
Atman. Kshetra atau ladang ini terbentuk dari raga dan pikiran dan bukan dari
Sang Atman. Sebaliknya kshetra ini merupakan tempat bersemayam Sang Atman ini.
Vikara atau modifikasi timbul dalam kshetra karena sang jiwa kita berhubungan
dengan Sang Maya; Sang Maya kemudian mempermainkan jiwa kita dan timbullah
gelombang-gelombang dan pergantian-pergantian dalam pikiran dan jiwa kita, yang
selalu terombang-ambing oleh permainan atau ilusi Sang Maya ini. Sekali
terlibat dan tenggelam dalam manis dan pahitnya Sang Maya maka sukarlah bagi
seorang manusia untuk lepas dari cengkeramannya dan jadilah kita budak duniawi
ini. Jiwa kita dengan statusnya yang suci (Sang Atman) tidak ditakdirkan
sebagai tuan dari Sang Maya ini, lain dari para Avatar a, yaitu Yang Maha Esa
yang menjelma menjadi manusia seperti Sang Kreshna dan Sang Rama, mereka ini
masing-masing pada zamannya sewaktu bereinkarnasi sebagai manusia tidak dapat
dikuasai oleh Sang Maya, sebaliknya merekalah yang menguasai atau menjadi tuan
dari Sang Maya ini.
7. Rendah-diri, tidak berpura-pura, tidak menyakiti
makhluk lainnya kesabaran, bertindak berdasarkan kebenaran, merawat dan bekerja
demi guru-spiritual, pembersihan diri (raga dan pikiran), ketegaran dan
kendali-diri,
8. Bersikap tidak acuh pada benda-benda atau hal-hal yang
berhubungan dengan indra-indra, tak mempunyai rasa egois, mengenal akan
sifat-sifat buruk dari kelahiran, kematian, masa-tua, penyakit dan penderitaan.
9. Tanpa keterikatan, tidak mengidentifikasikan dirinya
dengan putra-putrinya, dengan istri dan rumahnya, dan selalu bersikap sama rata
secara konstan terhadap hal-hal dan kejadian-kejadian yang menyenangkan maupun
yang tidak menyenangkan.
10. Dedikasi kepadaKu tanpa henti-hentinya, melalui yoga
(ilmu pengetahuan), menyepikan diri ke tempat-tempat yang tenang, tak
berkeinginan untuk berkumpul secara duniawi.
11. Selalu berusaha untuk mempelajari ilmu pengetahuan
tentang Sang Atman, intuisi langsung dengan maksud untuk mengenal Kebenaran –
inilah yang disebut kebijaksanaan. Semua hal yang berlawanan dengan ini adalah
kebodohan (tak-berpengetahuan).
Pelajaran atau jalan kebijaksanaan dipaparkan dengan baik
dan terperinci oleh Sang Kreshna di atas. Semuanya berjumlah 20 karakter atau
sifat, dan kedua-puluh sifat ini adalah akar atau fondasi dari kebijaksanaan
yang akan mengantarkan seseorang kepada Yang Maha Esa, ke ilmu pengetahuan
sejati tentangNya. Kebijaksanaan ini kalau dipelajari dengan seksama adalah
indikasi dari sifat-sifat moral yang amat super atau prima, yang menjadi dasar
dari tindakan-tindakan kita yang baik dan benar, yang lepas dari rasa duniawi,
dan rasa memiliki, dari nafsu-nafsu dan malahan menjadi dasar yang kokoh dan
benar dari setiap tindakan kita dan mendorong kita untuk lebih banyak melihat
ke dalam diri kita sendiri. Kedua-puluh sifat ini menunjukkan arah seseorang
kepadaNya tanpa pamrih dan penuh dedikasi dan kebenaran bagiNya semata.
12. Akan Ku sabdakan tentang sesuatu yang harus
diketahui, yang setelah diketahui, maka tercapailah keabadian — Sang Brahman,
Yang Tak bermula, Suci dan Agung, Yang dapat disebut Sat (Berbentuk) dan juga
dapat disebut Asat (Tidak Berbentuk).
Yang mengetahui ladang ini disebut Kshetmgna, lalah Yang
Maha Suci dan Agung Para Brahman. la tak dapat dikualifikasikan karena Yang
Maha Esa ini di luar kualifikasi yang dibuat manusia, seyogyanyalah la lalu
disebut sat dan asat (berbentuk dan tidak berbentuk). la diluar kedua faktor
ini dan Maha Agung dan Suci. Ia hadir dan ada tetapi pada saat yang bersamaan
Ia pun tak hadir dan tak ada atau tak terlihat. Yang Maha Esa tak dapat
dikualifikasikan atau digambarkan karena dengan begitu malahan membatasiNya,
dan tak mungkin Ia dapat dibatasi karena Maha Tak Terbatas Yang Maha Esa ini.
13. Di mana pun Sang Brahman ini mempunyai tangan-tangan
dan kaki-kaki, di mana pun Ia bermata, berkepala dan bermulut. Ia mendengar di
setiap tempat, dan Ia tinggal di dunia ini, menyelimuti (meliput) semuanya.
14. Ia bersinar di semua fungsi indra-indra, tetapi lepas
dari indra-indra ini. tak terikat, tetapi Ia lah penunjang semuanya. Ia bebas
dari segala kualitas (Nirgunam), tetapi Ia juga yang menikmati semua kualitas.
Sang Brahman ada tapi tak ada. Ia hadir dalam Prakriti
tetapi tak terlihat oleh kita. Ia sukar menemukan istilah yang tepat tentang
Yang Maha Esa ini dan Ia hanya dapat dijelaskan secara minim dalam
paradoks-paradoks saja. Ia hadir dalam setiap hal, sifat, bentuk atau aksi,
tetapi tak pernah terlibat secara langsung.
15. Di luar dan di dalam semua makhluk Ia hadir dan juga bergerak.
Terlalu sukar untuk dipersepsikan Ia ini. Ia dekat tetapi juga Ia amat jauh.
Benar kata filsuf Meister Eckhart, “Semakin dalam Tuhan
di dalam diri sesuatu, semakin di luar Ia berada dari sesuatu tersebut.” Ia
bergerak tetapi tanpa gerak, Ia dekat tapi jauh. Ia tak dapat diterangkan
tetapi Ia dapat dirasakan kehadiranNya ditengah-tengah kita
16. Ia hadir tak terbagi-bagi di dalam makhluk-makhluk,
tetapi Ia bersemayam secara sama rata (di dalam diri makhluk-makhluk
seakan-akan terpisah-pisah). Ia penunjang semua makhluk dan benda. Ia pemusnah
kehidupan, tetapi Ia juga pemberi kehidupan.
Di atas sudah cukup tergambar atau terbayang atau terasa
dan terlihat oleh kita akan semua kebesaranNya., sebagai pemusnah sekaligus
pemberi kehidupan, sebagai yang tak ada di dalam setiap yang ada, sebagai yang
beraksi dalam setiap tak-aksi, atau pun sebaliknya.
17. Ia adalah Cahaya dari semua cahaya. Ia yang dikatakan
sebagai di luar kegelapan. Ia adalah kebijaksanaan, tujuan dan kebijaksanaan
yang dicapai dengan kebijaksanaan. Ia bersemayam di dalam hati semuanya.
Salah satu sifatNya adalah Cahaya atau Nur, Sang Surya
Yang Eka, tetapi bersinar dalam hati setiap insan dan makhluk. Ia juga adalah
ilmu pengetahuan yang sejati, sekaligus obyek dan tujuan ilmu pengetahuan
sejati tersebut. Para pencariNya melakukan perjalanan spiritual guna
mencariNya, justru dari luar ke dalam diri mereka sendiri karena Ia bersemayam
dalam diri setiap insan dan makhluk ciptaanNya. Ia hadir di mana-mana,
tangan-tangan dan kakinya tersebar di setiap sudut dan penjuru dunia. Ia adalah
satu-satuNya yang berada di kegelapan, karena Ia lah Cahaya dari semua cahaya.
18. Begitulah telah Ku katakan kepadamu, secara singkat
dan terperinci, tentang ladang ini, tentang ilmu pengetahuan dan obyek dari ilmu
pengetahuan ini. PemujaKu, setelah mengetahui ini, memasuki DiriKu.
Tiga hal yang penting untuk diketahui, yaitu ladang
(kshetra); ilmu pengetahuan (gnana), yang dimaksud ini bukan ilmu pengetahuan
yang ilmiah, tetapi justru yang gaib dan dianggap sejati; obyek dari ilmu
pengetahuan ini (gneya). Mengenal, mengetahui atau menghayati ketiga prinsip
ini dalam kehidupan kita sehari-hari berarti mencapai Yang Maha Esa, Yang Agung
dan Suci lepas dari segala penderitaan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan
ini akan mencapai cinta-kasih (bhakti). Yang Maha Esa dapat dicapai oleh mereka
yang sederhana, rendah-hati dan penuh kasih, yang telah memurnikan jiwa dan
hatinya. Yang ingin mengenalNya dengan baik harus belajar terlebih dahulu untuk
mencintai semuanya, sadar bahwa semua orang dan makhluk dan benda adalah
alat-alatNya belaka yang harus memainkan peranannya masing-masing di kehidupan
ini. Setelah sadar akan hakikat cinta-kasih yang sejati maka orang ini akan
meningkat untuk ‘bercinta-kasih denganNya.” Hidup ini lalu berubah penuh dengan
cinta-kasihNya. Hidup tidak seharusnya dihitung dari tahun-ke-tahun atau
hari-ke-hari, tetapi dari dalamnya cinta-kasih kita terhadapNya dan terhadap
semua ciptaan-ciptaanNya. Bagaimana seseorang yang suci-murni dapat merusak
atau mencederai ciptaan-ciptaanNya yang lain, sekiranya la betul-betul telah
murni cinta-kasihnya pada Yang Maha Esa?
Seorang mistik bernama Bayazid sekali masa pernah ditanya
umurnya, dan ia menjawab baru berusia empat tahun. Padahal usianya telah mencapai
74 tahun. Tentu saja para penanya menjadi heran karenanya. Tetapi Bayazid
dengan rendah hati menerangkan bahwa selama 70 tahun ia jauh dari Tuhan, dan
dekat dengan dunia. Baru empat tahun terakhir ini ia merasakan dekat kepadaNya
dan merasakan kasih-sayangNya yang tak terhingga, mendengarkanNya Yang tak
pernah didengarNya sebelum ini, merasakanNya Yang tak pernah tersentuh olehNya
selama ini. “Jadi baru empat tahun ini aku betul-betul hidup!” seru Bayazid.
19. Ketahuilah bahwa Prakriti (unsur benda atau sifat)
dan Purusha (sang Jiwa), kedua-duanya tidak bermula. Dan ketahuilah bahwa semua
modifikasi dan guna (kualitas) lahir dariNya.
Prakriti dan Purusha tak bermula dan sudah hadir sebelum
penciptaan dunia. Tetapi semua pergantian, modifikasi dan sifat-sifat alam ini
berasal dari Prakriti, yang lahir dariNya.
20. Benda atau alam dikatakan sebagai yang menjadi
penyebab yang memancarkan sebab dan akibat; sang Jiwa dikatakan sebagai
penyebab dari pengalaman suka dan duka.
21. Sang Jiwa yang bersemayam di dalam benda mencicipi
kualitas-kualitas (guna) yang lahir dari benda. Keterikatannya terhadap guna
inilah yang menjadi penyebab kelahirannya secara baik dan buruk.
Kita lihat sekarang dalam sloka 19-23 tersirat adanya
pemikiran baru yang terbagi pada tiga prinsip, yaitu Prakriti-Benda-Alam,
Purusha-Jiwa-Roh dan Purusha-Parah, Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Maha Suci.
Purusha dan Prakriti, kedua-duanya bersifat anadi (yaitu tanpa mula) dan
terpancar atau berasal dari Yang Maha Abadi, Yang Maha Esa, Sang Jiwa Yang Maha
Agung dan Maha Suci. Sang Purusha, atau Jiwa yang telah tergabung dan bersatu
dengan Sang Prakriti, menikmati semua pengalaman-pengalaman duniawi seperti
suka-duka dan lain sebagainya. Karena Jiwa bebas berkehendak maka ia sudah
menyalah-gunakan kehadirannya dalam raga dan ia hanya tenggelam dalam
kenikmatan duniawi ini dan terjebak oleh ikatan waktu dan ruang.
Jiwa sebenarnya adalah bentuk spiritual tetapi ia
diberikan kebebasan untuk menuju kepada Yang Maha Esa. la dapat memberikan
kasih dan dedikasinya kepada Yang Maha Esa atau kepada Sang Maya (Sang
Ilusi-Ilahi). Sekali ia menjadi budak Sang Maya ia akan bertolak-belakang dari
Yang Maha Esa. Dan sekali ia terjebak dalam ilusi ini, maka ia akan
timbul-tenggelam di dalamnya, terjebak dalam ikatan waktu dan spasi duniawi
ini.
22. Dalam raga (yang dimaksud di sini adalah raga
manusia) bersemayam Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Suci. la disebut sebagai
Pengamat, Yang Mengabulkan, Yang Menunjang, Yang Menikmati Pengalaman, Tuhan
Yang Agung, dan Sang Jati Diri Yang Agung dan Suci.
Dalam raga setiap makhluk terdapat Sang Jati Diri (Sang
Atman) Yang dikenal atau disebut juga sebagai Purusha Parah, Sang Purusha Yang
Maha Agung dan Suci. Ia lah sebenarnya Tuhan yang Maha Esa dan Agung dengan
nama dan sebutan yang beraneka-ragam. Yang Maha Esa bersemayam dalam diri kita
masing-masing sebagai Pengamat, dari setiap tindakan dan pikiran kita; dari
sang Jiwa atau Roh kita. la membiarkan tindakan kita untuk kemudian dikoreksi
yang salah (teguran hati nurani selalu hadir sebenarnya dalam setiap tindakan
kita yang salah, tetapi sering sekali kita mengabaikannya karena faktor-faktor
ego duniawi kita). Ia, Yang Maha Kuasa, sebenarnya hadir dalam setiap makhluk.
Seandainya Sang Jiwa atau Roh kita jatuh ke jalan Sang Maya, maka Sang Paratman
atau Sahabat Pengamat kita ini pun mengikutinya, menegurnya, menjaganya,
memberikan peringatan-peringatan kepada sang Jiwa kita ini, dan tak sekalipun
Sang Paratman ini mengabaikannya, Ia bahkan menuntun sang Jiwa ini kembali ke
jalannya yang benar. Dengan caraNya Sendiri Sang Paratman ini mengajari,
mempengaruhi dan mengajak sang Jiwa yang tersesat ini kembali ke arahNya. Maha
Besar dan Pengasih, Ia sebenarnya, karena selalu menyelamatkan kita semua dari
jalan kesesatan dalam hidup ini, agar tercapai misi kita yang seharusnya kita
lakukan, yaitu bersatu kembali denganNya. Sang Paratman adalah
“bintang-harapan” kita yang akan selalu menuntun kita dalam kegelapan duniawi
ini, sehingga akhirnya tak ada satu jiwa pun yang akan tersesat, semuanya akan
dituntun ke arahNya. Sebenarnya Ia adalah tujuan kita semuanya, kalau saja kita
mau menyadari hal ini secara sejati.
23. Seseorang yang mengetahui (menyadari) tentang Purusha
dan Prakriti dengan segala kualitas-kualitasnya, apapun keadaannya — ia tak
akan lahir kembali.
Seseorang yang sadar tentang pengetahuan Purusha dan
Prakriti ini dengan ketiga guna (sifat atau kualitas) nya, akan menuju ke arah
pembebasan, yaitu lepas dari dunia ini dan bersatu denganNya. Seseorang yang
benar-benar sadar siapa Sang Purusha Yang Maha Agung dan Suci ini betul-betul
adalah seorang yang telah bebas.
24. Sementara orang menyaksikan Sang Atman melalui Sang
Atman dengan jalan meditasi (dhyana), sementara orang lagi menyaksikan melalui
jalan Sankhya-yoga (jalan ilmu pengetahuan), dan sementara orang lagi melalui
Yoga perbuatan (tindakan, aksi atau pekerjaan)
25. Yang lainnya lagi, tidak mengenal jalan-jalan yoga
ini, memuja, karena pernah mendengarkannya dari yang lain-lainnya; dan mereka
pun lepas dari kematian, pedoman mereka adalah skripsi-skripsi (shruti).
Ada empat metode yang menuntun kita ke arah Yang Maha
Esa, atau yang disebut juga Purusha Yang Maha Agung dan Suci dan juga boleh
disebut Kebebasan atau Penerangan. Masing-masing metode terurai di bawah ini:
a. Meditasi (dhyana) — Banyak yang melakukan metode ini,
dan menemukan Sang Jati Diri di dalam dirinya sendiri. Dengan bermeditasi kita
mencoba untuk berhubungan dengan Sang Atman secara konstan dan penuh
konsentrasi, dengan menjauhkan segala gangguan. Yang penting dalam meditasi
adalah ketenangan, dan makin kita tenang dan tak terusik oleh pikiran dan
keadaan-keadaan di sekitar kita, maka makin mendekatlah kita kepadaNya.
Berbicara tanpa henti malahan membuang-buang energi. Sebaliknya ketenangan
dalam meditasi menjauhkan kita dari hal-hal yang buruk dan kesalahan-kesalahan
duniawi. Sebaiknya dan seharusnya setiap hari kita menyediakan sedikit waktu
kita untuk berdiam diri dan menyatu denganNya. Dapat kita mulai dengan lima
menit saja dahulu, kemudian meningkat sampai setengah atau satu jam secara
bertahap. Janganlah jadi budak dari pekerjaan-pekerjaan kita, dari kenikmatan
dan penderitaan kita, dan dari kesibukan kita yang tak kunjung ada habisnya.
Sisihkanlah sejenak waktu setiap pagi dan malam untukNya, dan dapatkanlah
kenikmatan yang tak dapat diperoleh di semua kesibukan, kenikmatan dan penderitaan
duniawi kita. Sekali tercapai komunikasi denganNya, kita akan mengalami
keajaiban-keajaiban yang akan mengubah cara hidup kita, dan makin tabah dan
tegarlah kita dalam menghadapi kehidupan yang unik ini. Ketenangan yang utama
adalah dengan memulainya dalam kehidupan dan diri kita sendiri, dan jalan
terbaik adalah dengan berlatih meditasi dan selalu berusaha untuk bersatu
denganNya, Yang sebenarnya bersemayam tidak jauh, tetapi dalam diri kita
masing-masing, agar tercapai jalan kehidupan yang suci dan sempurna.
Ada yang perlu dilakukan dalam bermeditasi, yaitu
mengucapkan japa secara berulang-ulang. Japa atau mantra ini dapat
bermacam-macam sesuai yang diberikan oleh sang guru meditasi, tetapi semakin
pendek japa ini, semakin efektif hasilnya. Misalnya satu kata OM atau Tuhan
atau Allah atau Hari atau Rama atau Kreshna atau Yesus, dan lain sebagainya
yang sebaiknya dipilih sendiri yang sesuai dengan diri kita pribadi, yang
sesuai dengan hati sebaiknya dipilih sendiri yang sesuai dengan diri kita
pribadi, yang sesuai dengan hati nurani dan panggilan jiwa kita sendiri.
Pilihlah atau temukanlah sendiri satu kata atau beberapa kalimat puja-puji yang
menggambarkan kebesaran Yang Maha Esa, dan sewaktu bermeditasi ucapkanlah
berulang-ulang penuh konsentrasi, dedikasi dan kasih. Lama-kelamaan kata yang
spesifik tersebut atau juga japa dan mantra yang telah teringat itu akan terus
mengiang atau terucap dalam kita melakukan pekerjaan kita sehari-hari, bahkan
di tengah-tengah kesibukan atau sedang berolah-raga misalnya. Kalau ada problem
yang datang mengganggu ucapkan kata sakti tersebut, memohon Yang Maha Esa untuk
melindungi kita semua, dan usahakanlah untuk menyatu denganNya selalu di mana
saja dan kapan saja dan lama-kelamaan perhatikanlah efeknya. Seluruh hidup kita
akan berubah menjadi lebih stabil dan tenang, dan kita jauh dari segala gejolak
nafsu kita dan juga jauh faktor-faktor buruk dan negatif, secara bertahap
tetapi pasti hidup akan bertambah tenang, stabil dan kesadaran akan menyusup
masuk ke dalam diri kita berkat kasihNya yang tak terbatas.
Bagi sementara orang atau para pemula, bermeditasi dengan
membayangkan atau memusatkan pikiran pada suatu bentuk juga sangat bermanfaat;
contoh, membayangkan wajah atau figur Sang Kreshna, Rama, Shiva, Buddha untuk
mereka yang beragama Hindu dan Buddha. Dan untuk mereka yang beriman Kristiani
dengan membayangkan figur Tuhan Yesus, dan lain sebagainya sesuai dengan
masing-masing kepercayaannya.
b. Metode Sankhya – metode dengan dasar intelektual atau
ilmu pengetahuan yang mencoba atau mempelajari tentang Sang Jati Diri, sebagai
sebagian dari Yang Maha Esa.
c. Karma-yoga — yaitu metode kerja atau tekad tanpa
pamrih dan penuh dengan pengorbanan dan disiplin bagiNya semata. Sang
karma-yogi dalam hal ini melakukan semua perbuatan, tugas dan pekerjaan
duniawinya dalam bentuk dedikasinya kepada Yang Maha Esa dan tak mengharapkan
apapun juga dari hasil pekerjaannya ini, yang semuanya diserahkan secara utuh
dan bulat-bulat kembali kepadaNya. Hidup sang karma yogi jadi suci dan bersih
karena setiap tindakan dan efeknya dipasrahkan kepada Yang Maha Esa dan ia
selalu berpikir dan berkata terjadilah kehendakNya” dan ia pun menerima semua
kehendakNya tanpa protes dan penuh ketenangan, walaupun yang ia terima itu
dalam bentuk suka dan duka, nikmat atau penderitaan, baik atau buruk, positif
atau negatif, semuanya diterima dengan kasih dan dedikasi sebagai kehendak Yang
Maha Kuasa juga. Hidupnya adalah pencetusan dari kehendak Yang Maha Kuasa, dan
diterimanya tanpa pamrih.
d. Metode upasna — dalam metode ini seseorang memuja Yang
Maha Esa sesuai dengan yang dipelajarinya atau yang didengarkannya dari sang
guru atau orang-orang lain. Cara ini dilakukan oleh para pemula. Dan
lama-kelamaan mereka pun terangkat ke permukaan pemujaan mereka dan mendapatkan
penerangan Ilahi. Ternyata Yang Maha Pengasih secara amat bebas membuka
berbagai jalan untuk mencapaiNya, jalan atau metode apa saja yang diambil
seseorang, yang penting adalah dedikasi, kesetiaan, dan kasih yang tulus
kepadaNya, dan Ia akan selalu beserta kita menuntun kita ke jalanNya yang
terang dan suci.
26. Benda atau makhluk apapun yang dilahirkan, oh Arjuna,
baik ia bergerak maupun tidak bergerak, ketahuilah itu datang dari gabungan
antara ladang dan Yang Mengetahui ladang ini.
Setiap benda atau makhluk, atau apapun saja yang
diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di alam semesta ini tercipta karena gabungan
atau kombinasi dari Kshetra (ladang) dan Kshetragna (Sang Pengenal Ladang),
gabungan dari Purusha dan Prakriti, dari Sang Jiwa dan benda atau alam dan
sifat-sifatnya.
27. Seseorang yang melihat Tuhan Yang Maha Agung dan Suci
bersemayam secara sama di setiap benda dan makhluk, Yang Maha Tak Terbinasakan
dalam setiap benda atau makhluk yang dapat binasa — ia benar-benar melihat.
Yang Maha Esa bersemayam dalam setiap bentuk ciptaannya
secara adil sama rata, jadi lupakanlah pendangan atau rasa yang penuh
diskriminasi atau yang merendahkan martabat orang lain atau sifat melecehkan
makhluk lain. Diskriminasi akan kasta atau orang-orang yang dianggap berdosa
dan buruk harus dijauhi, ingat Yang Maha Kuasa hadir dalam semuanya tanpa
diskriminasi! Ia hadir di setiap sisi dan sudut alam semesta ini dalam berbagai
ciptaan-ciptaanNya. Jangan sekali-kali memandang tinggi kasta kita, kedudukan
atau pun martabat dan kekayaan kita, apalagi kemampuan kita berbuat sesuatu,
karena semua itu sebenarnya tidak berarti sama-sekali di mataNya. Yang berarti
hanyalah la dan kehadiranNya di mana saja, baik yang di kecil maupun yang di
besar. Siapakah kita ini sebenarnya yang hanya bisa membeda-bedakan saja, yang
hanya bisa melihat baik dan buruk seseorang tanpa mau tahu akan hakikat dari
kebenaran kehidupan ini. Mengetahui kehadiran Yang Maha Esa di setiap
ciptaanNya berarti menghilangkan rasa takut, benci, diskriminasi, iri-hati pada
sesama kita, dan sebaliknya kemudian menimbulkan kasih-sayang kepada sesama
kita baik itu berupa manusia, makhluk-makhluk di alam semesta ini, pepohonan,
batu-batuan dan semua unsur-unsur alam di sekeliling kita.
Ia Yang Maha Kuasa adalah Yang Tak Terbinasakan tetapi Ia
hadir dalam setiap ciptaan-ciptaanNya yang tak pernah abadi, yang selalu binasa
dan lahir lagi. Ini mengingatkan kita kepada dialog antara St. Catherine dari
Sienna dalam komuninya dengan Yesus Kristus. la bertanya kepada Tuhan Yesus,
“Siapakah daku, Tuhan? Dan beritahu daku siapakah Engkau?” Dan Yesus
menjawabnya, “PutriKu, engkau adalah yang tiada dan Aku adalah yang Ada.” Yang
Ada ini selalu hidup dalam yang tiada, yaitu kita semuanya ini, dan sadarlah
akan sesuatu hal, mengapa Yang Ada ini mau dan bersedia tinggal dalam diri-diri
kita ini, yang sering oleh kita sendiri dianggap sebagai tubuh-tubuh atau
raga-raga yang penuh dengan dosa-dosa dan nafsu-nafsu iblis? Betulkah semua
perkiraan kita ini? Ataukah pernah terpikir oleh kita semua, bahwa Yang Maha
Esa menciptakan raga ini sebagai suatu tempat bersemayam yang sifatnya agung
dan suci, kalau tidak mengapa pula Ia (Sang Atman) mau bersemayam di dalam diri
setiap makhluk-makhlukNya?
Lihatlah sisi lain dari alam semesta dan ciptaan-ciptaanNya
ini, bukankah semua ini adalah refleksi atau cermin dariNya semata, dari
keindahanNya, dari kesucian dan keagunganNya. Dan kalau anda setuju akan konsep
ini, maka bernyanyilah, memujalah, berbahagialah dalam DiriNya. la hadir dalam
diri kita dan kita ada dalam DiriNya, seharusnyalah kita berorientasi kepadaNya
dan jangan mempergunakan kebebasanNya secara salah dan kemudian terseret dan
terjebak oleh Sang Maya. Satukan diri kita dengan alur Ilahi Yang Murni dan
Suci, bergembiralah kepadaNya. Ingat kita ini adalah kuil-kuil suci tempat la
bersemayam, dan seharusnya kita bertindak suci dan murni. Renungkanlah
pemikiran ini. Om Tat Sat.
28. Melihat, secara benar, Tuhan Yang Sama hadir di mana
pun juga, seseorang tak akan merusak Diri ini dengan dirinya, dan dengan
berbuat demikian ia mencapai Tujuan Yang Suci dan Agung.
Seperti kita ketahui sekarang, maka di dalam setiap
makhluk yang bernyawa hadir bentuk “diri” yang rendah dan kecil sifatnya, dan
juga bentuk “Diri” Yang Agung dan Tinggi sifatNya, yaitu yang disebut Sang
Atman, Yang Maha Esa itu Sendiri dalam bentuk yang bersifat sebagian dariNya
juga. Menyadari hal ini, seseorang tak akan membiarkan jiwa-raganya membunuh
atau mengotori dan menodai DiriNya Yang Agung dan Suci yang bersemayam di dalam
jiwa-raga itu sendiri, dan kesadaran semacam ini akan menuntun kita ke arah
Yang Maha Esa atau dengan kata lain ke Tujuan Yang Suci dan Agung.
29. Seseorang yang melihat bahwa semua perbuatan
dilakukan oleh Prakriti (alam) dan bahwa Sang Atman itu tak bertindak – ia
melihat secara benar.
Alam atau Prakritilah yang bertugas untuk bekerja,
beraksi atau bertindak dan berbuat, tetapi Sang Atman tak pernah melakukan
apapun juga. la hadir sebagai saksi, penuntun, pengamat, tetapi ditegaskan Sang
Kreshna, Sang Atman tidak berbuat suatu tindakan apapun juga. Semua perbuatan
kita terjadi akibat dari ikatan kita pada guna-guna yang berkaitan dengan
Prakriti. Sang Jiwa mengikuti kita terus selama kita mengembara di dunia fana
ini sebagai saksi, penuntun dan pengamat kita dan dengan kasihNya melepaskan
kita dari ikatan Prakriti ini yang diakibatkan oleh ulah kita sendiri yang
terlalu bebas untuk ‘bermain’ dengan Sang Maya.
30. Bila seseorang menyadari bahwa berbagai bentuk
kehidupan ini berakar pada Yang Esa dan terpancar (tersebar) keluar dari Yang
Maha Esa, maka ia mencapai Brahman.
Menyadari seluruh alam semesta ini berasal dariNya secara
sejati, apapun bentuk atau manifestasinya, maka seseorang yang benar-benar
sadar secara sejati dan menghayati kesadarannya itu dalam kehidupannya
sehari-hari langsung juga akan segera menyadari akan hakikat Yang Maha Esa.
Melihat atau menyadari Yang Maha Esa adalah mencapaiNya.
31. Sang Atman Yang Tak Terbinasakan, Yang Agung dan Suci
ini, oh Arjuna, tak bermula dan tanpa guna (sifat-sifat Prakriti). Dan walaupun
la bersemayam di dalam raga, tetapi la tak bertindak atau pun terpengaruh oleh
tindakan (raga ini).
Sang Paratman, Yang bersemayam secara Agung dan Suci
dalam diri kita ini, dikatakan oleh Sang Kreshna sebagai tak bermula, dan tanpa
sifat-sifat Prakriti. Walaupun Ia selalu hadir, Ia tidak bertindak sedikit pun,
dan walaupun Ia hadir di dalam raga kita Ia juga tak tercemar oleh
tindakan-tindakan kita yang buruk dan negatif, begitupun Ia tak tersentuh oleh
perbuatan-perbuatan kita yang baik dan positif. Ia tak terpengaruh sedikit pun
oleh kita, sebaliknya makin kotor perbuatan kita maka makin jauhlah kita ini
dariNya, dan makin positif tindakan kita, maka makin teranglah Ia hadir ke
hadapan kita. Maka ibaratkanlah diri kita sebagai cermin yang bersih, agar
refleksi atau bayanganNya tersingkap atau jatuh secara jelas di raga kita ini.
Renungkan ini dengan seksama. Ia jauh kalau kita jauh, Ia dekat kalau kita
dekat. Padahal sebenarnya Ia selalu dekat di dalam diri kita.
32. Bagaikan ether, walau hadir di mana pun juga, tak
pernah ternoda, karena bentuknya yang lembut (tak terlihat), begitu pun Sang
Atman, walau hadir di raga mana pun, (la) lepas dari segala noda-noda.
Bagaikan ether yang terdapat di seluruh alam semesta ini
dan menjadi penunjang hidup kita yang amat vital, tetapi tak pernah terlihat
oleh mata kita karena sifat-sifat alaminya yang demikian lembut, maka begitu
juga Sang Atman Yang Mana Hadir di mana saja dan kapan saja dalam setiap
ciptaan-ciptaanNya tak pernah nampak oleh mata duniawi kita karena kebodohan
dan kekurangan-pengetahuan kita, maka singkapkanlah semua kebodohan kita ini
agar dapat kita mengenalnya lebih terang lagi, dan masuk menyatu kedalamNya. Om
Tat Sat.
33. Bagaikan satu mentari yang menyinari seluruh dunia ini,
maka begitu juga Penguasa dari ladang ini menyinari seluruh ladang ini, oh
Arjuna!
Perumpamaan satu mentari dengan Sang Atman Yang Juga Eka
(satu) sifatnya adalah suatu perumpamaan yang menarik, karena Sang Surya
walaupun hanya satu yang terlihat dari bumi ini (dunia ini), ternyata mampu
menyinari seluruh bumi kita bahkan juga rembulan dan spasi-spasi diantara bumi
dan bulan dan juga sekitarnya. Sang Surya dari kejauhan nampak kecil dan amat
terang-benderang, tetapi sebenarnya ia amat jauh letaknya dari bumi kita ini.
Begitupun Sang Atman, la dekat tapi jauh, la jauh tetapi dekat, bahkan sangat
dekat dan menerangi kita semua. Dan seperti juga Sang Surya yang menerangi kita
tetapi tak tercemar oleh perbuatan kita, maka Sang Atman pun tak pernah
tercemar atau ternoda oleh perbuatan-perbuatan kita yang buruk atau terpengaruh
oleh perbuatan-perbuatan yang baik.
Suatu saat, Sokrates, seorang filsuf terkenal dari Yunani
di masa lalu, pernah ditanya oleh salah seorang muridnya tentang ‘kebaikan,’
yang selalu diajarkan Sokrates kepada murid-muridnya, dan Sokrates menunjuk
kepada matahari sebagai suatu contoh dari ‘kebaikan’ yang selalu hadir dari
masa ke masa, dari waktu ke waktu, tetapi tak pernah tercemar oleh bumi dan
manusia. Mungkin pemikiran atau ajaran Sokrates ini pun baik untuk kita
renungkan untuk lebih menghayati akan kebesaran dan kehadiran Sang Atman dalam
diri kita. Sang Surya selalu bersinar tanpa bosan-bosannya demi alam yang harus
ditunjangnya. Bukankah Yang Maha Esa itu Sendiri bersifat atau berkarakter
demikian juga, selalu mengasihi tanpa bosan-bosannya dan tanpa henti-hentinya
kepada kita semuanya, walaupun sering sekali kita tersesat dalam perjalanan
hidup kita ini. Tetapi Ia Maha Penunjang dan Penuntun kita semuanya. Om Tat
Sat.
34. Mereka yang melihat perbedaan antara ladang dan Sang
Pengenal Ladang ini, dengan mata kebijaksanaan, dan yang sadar bagaimana
makhluk-makhluk maupun benda-benda dapat lepas dari Prakriti – bebas dari
bentuk alam – mereka benar-benar pergi ke Yang Maha Agung dan Suci.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab
ketiga-belas ini disebut:
Kshetra Kshetragna Vibhaga Yoga Atau Ilmu Pengetahuan
tentang Perbedaan antara Ladang dan Sang Pengenal Ladang.
Bab 14 – Penguasaan Atas Ketiga Sifat
Bersabdalah yang maha pengasih
1.Sekali lagi akan Ku sabdakan kepadamu kebijaksanaan
Yang Suci dan Agung –kebijaksanaan yang terbaik dari semua kebijaksanaan-
mengetahui hal mana, para resi kemudian menuju kearah kesempurnaan yang paling
tinggi.
2.Berlindung pada kebijaksanaan ini, mereka lalu bersifat
sama dengan Ku. Mereka tidak lahir pada waktu penciptaan dan tidak binasa pada
waktu penghancuran (kiamat).
Sang Kreshna di Bab ini menguraikan mengenai pengetahuan
tentang ketiga guna (sifat-sifat alami), kemudian hubungan guna ini dengan
prakriti dan penguasaan atas guna ini oleh para resi dan orang-orang suci di
zaman dahulu kala. Dengan menguasai ketiga guna ini maka akan tercapailah
kebijaksanaan yang agung dan suci dari hidup ini. Dan dengan mencapai
kebijaksanaan ini para resi dan orang-orang suci itu telah mencapai
kesempurnaan yang agung dan suci yang disebut nirvana atau pari-nirvana.
Berlindung dibawah kebijaksanaan ini para orang-orang
suci ini lalu diberkahi oleh yang maha esa sifat-sifat identik dari diri Sang
Kreshna dan merekapun lalu tumbuh dan hidup dalam bentuk Sang Kreshna yang suci
dan agung. Inilah hasil mengikuti dengan setia dan penuh dedikasi ajaran-ajaran
Sang Kreshna. Dengan kata lain mereka ini, para orang-orang suci, berasimilasi
dengan sari atau inti Sang Kreshna itu sendiri; atau dengan bahasa singkat dan
sederhana, menyatu dengan Sang Kreshna.
Dan sekali bersatu denganNya, mereka ini lepas dari
kehidupan duniawi ini, lepas juga mereka ini dari siklus lahir dan mati yang
berulang-ulang, bahkan penciptaan dan penghancuran kehidupan-kehidupan
berikutnyapun mereka tidak diikut sertakan lagi karena dianggap Yang maha Esa
mereka ini telah mencapai status pari-nirvana, yaitu menyatu denganNya kembali
secara abadi. Om Tat Sat.
3.KandunganKu adalah Sang Brahma yang agung; dan disitu
aku letalkan benih ini, dari kandungan ini lahirlah setiap benda dan mahluk, Oh
Arjuna.
4.Dalam setiap kandungan apapun juga, lahir berbagai
bentuk kehidupan, Oh Arjuna, dan Sang Brahma Agung adalah kandungan mereka ini,
dan Aku adalah Sang Ayah yang menabur benih-benih ini.
Yang dimaksud dengan Sang Brahma Agung di sini adalah
mahad-brahma, yaitu Sang Maya yang juga diibaratkan atau disamakan dengan
kandungan di mana Sang Kreshna sebagi seorang Ayah menaburkan benih-benihNya,
yang kemudian tumbuh menjadi berbagai bentuk ciptaan-ciptaanNya.
Mahad-Brahma atau Sang Brahma yang agung ini juga sama
dengan Prakriti atau alam ini, dan Sang Kreshna adalah Ayah atau Bapak dari
setiap benih yang ditaburkanNya. Jadi hanya Ia yang dapat menentukan lahirnya
seseorang atau makhluk atau benda di alam semesta ini dan ingat di dalam setiap
ciptaanNya terdapat Sang Jiwa atau juga benih kehidupan yang bersal dariNYa.
Dan menurut Bhagawat Gita, maka benih yang ditaburkan ini berasal dari Sang
Kreshna, Yang Maha Esa, jadi dengan kata lain dalam setiap ciptaanNya hadir
sebagian dari Yang Maha Esa, atau Yang Maha Esa itu sendiri ada di dalam setiap
Ciptaan-ciptaanNya Sendiri. Sayang sekali, kita manusia sering sekali lupa
bahwa kita berasal dari benih Yang Agung dan Suci, dan kita lebih suka
tenggelam dalam alur kehidupan duniawi ini, dalam kandungan Sang Maya itu
sendiri. Padahal Sang Maya atau Prakriti ini hanyalah alat yang mengandung kita
dan menumbuhkan kita agar kita tumbuh dan lahir untuk kembali kepadaNya lagi.
Bukanlah itu maksud dan tujuan Yang Maha Esa, tetapi kita diberikan kebebasan
untuk memilih maka kebanyakan kita memilih untuk terus tinggal di dalam
kandungan Sang Maya yang penuh ilusi kenikmatan, padahal itu semua berada di
dalam kegelapan. Pikirkanlah dengan seksama, bukankah kita semua harus kemnbali
dan berbakti pada Ayah kita Yang Agung dan Suci dan menyatu kembali denganNya?
Pikirkanlah secara seksama dan menurut hati-nurani anada mana yang benar dan
mana yang salah? Dengan kasih Sang Ayah yang suci dan Agung ini pasti kita akan
dituntun kembali kepadaNya. Om Tat Sat.
5. Ketiga kualitas (guna), yaitu sattva, raja dan tama
lahir dari Prakriti. Mereka ini mengikat erat di dalam raga, Oh Arjuna, Yang
Tak Terbinasakan yang bersemayam di dalam raga.
Ketiga guna atau kualitas alami ini yang lahir dari
Prakriti dan merupakan sifat-sifat dominan dari Sang Prakriti itu sendiri,
selalu hadir dalam diri kita. Setiap tindakan kita sebenarnya didasarkan pada
ketiga sifat Prakriti ini, dan ketiga sifat ini sedemikian dominannya di dalam
raga kita sehingga diibaratkan mengikat Sang Atman (Yang Tak Terbinasakan) yang
bersemayam di dalam diri kita. Ikatan erat ini begitu gelap sifatnya, sehingga
kita yang sudah mabuk duniawi ini tidak dapat melihat Sang Atman yang
sebenarnya hadir bercahaya terang di dalam diri kita sendiri.
6. Diantara sifat-sifat ini, sattva, karena kesuciannya,
membawa penerangan dan kesehatan. Sifat ini mengikat dengan ikatan kebahagiaan
dan ikatan ilmu pengetahuan, oh Arjuna.
Apakah sattva itu? Sattva adalah sifat-sifat kesucian
atau kemurnian atau penerangan. Tetapi walaupun disebut kemurnian toh sifat ini
dapat mengikat jiwa kita ke raga dan menimbulkan keterikatan. Sifat sattva
membuat kita selalu berorientasi pada tindakan-tindakan yang baik dan pencarian
ilmu pengetahuan yang benar. Tetapi sering sekali sattva pun mengarahkan kita
kepada keterikatan-keterikatan dalam bentuk ilmu pengetahuan ini sehingga
terikatlah seseorang pada pikiran-pikiran, analisis dan metode-metode dan lain
sebagainya, dan semua ini menjadi tujuan ilmu pengetahuan mereka yang
mempelajarinya, bukan jalan untuk mengenalNya, Yang Maha Pencipta. Semua ini
membuat seseorang yang bersifat Sattva terikat pada pekerjaan dan
kebaikan-kebaikannya, tetapi tidak membuat orang-orang ini berorientasi kepada
Yang Maha Esa secara murni, padahal sifat dasar mereka ini sattvik.
Di dunia barat misalnya banyak terdapat ilmuwan yang
bersifat sattvik, tetapi tujuan mereka hanya terpusat pada ilmu pengetahuan itu
dan pemecahannyasecara ilmiah saja, mereka sama sekali tidak berpikir tentang
Yang Maha Esa, Sang Pencipta ilmu-ilmu ini. Sebaliknya di timur, Yang Maha Esa
masih manjadi tujuan atau akhir dari semua ilmu pengetahuan ini, sehingga tidak
mengherankan kalau pada abad modern dewasa ini masih banyak orang yang dianggap
pandai atau terpandang melepaskan jabatan mereka dan terjun ke dunia spiritual
dan melepaskan semua ikatan-ikatan dan unsur-unsur duniawi mereka untuk mencari
penerangan ilahi. Mereka ini benar-benar jalan dengan sifat-sifat sattva dan
mengarahkan sifat-sifat suci ini untuk tujuan yang mulia dan tak mau terikat
oleh sifat-sifat ini. Dengan kata lain, sifat-sifat sattva ini hanyalah
alat-alat belaka bagi orang-orang suci ini.
7. Ketahuilah olehmu, oh Arjuna, bahwa sifat raja, yang
berciri emosional ini adalah sumber dari keterikatan dan rasa tak puas. Dan
sifat raja ini mengikat jiwa yang ada di dalam raga dengan
keterikatan-keterikatan aksi atau perbuatan.
Sifat-sifat raja adalah energi, mobilitas, emosi dan raja
juga berati keinginan atau kehausan untuk hidup. Dengan kata lain, sifat raja
dapat diartikan energi yang penuh dengan keinginan dan nafsu-nafsu yang tak
terpuaskan. Sifat ini adalah anak dari nafsu-nafsu yang kuat dan juga dari
keterikatan itu sendiri. Raja mengikat kita, mengikat jiwa kita erat-erat ke
Sang Prakriti melalui aktivitas dan aksi.
Di kala seseorang penuh dengan keserakahan atau penuh
dengan kegelisahan eksternal yang dikarenakan aktivitas-aktivitasnya, maka
dapat dipastikan sifat-sifat raja sedang berkuasa atas diri orang itu.
Seseorang yang amat aktif, ambisius dan penuh semangat kerja atau daya juang
yang tinggi untuk kebutuhan-kebutuhan duniawinya juga menunjukan sifat-sifat
raja yang sedang dominan dalam dirinya.
Seseorang yang bersifat raja atau rajasik ini bekerja
keras bagi dirinya sendiri, bukan untuk Sang Kreshna atau Yang Maha Esa. Ia
ingin selalu berkuasa atau berpengaruh atas orang-orang disekitarnya. Seorang
dengan sifat raja ini penuh dengan aksi, inisiatif, ambisi pribadi yang tinggi
dan penuh dengan keresahan. Sebaiknya jika ia ingin keluar dari lingkaran raja
ini, maka cara terbaik adalah bertindak, bekerja, beraksi atau berbuat demi
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa semata tanpa pamrih. Tetap bekerja apa saja
sesuai dengan profesi dan kewajibannya, tetapi demi Yang Maha Esa, pekerjaannya
kemudian dengan cara ini akan berubah menjadi yagna.
8. Tetapi sifat tama (kegelapan total yang penuh
kekacauan) ketahuilah olehmu, lahir dari kebodohan dan adalah sifat yang
memperbodoh jiwa. Sifat ini mengikat dengan ketidakperdulian, kemalasan dan
tidur, oh Arjuna.
Sifat-sifat tama bukanlah bersifat energi atau
penerangan, atau aktivitas atau kesucian. Sebaliknya adalah sifat-sifat
kemalasan, ilusi kosong dan kebodohan yang berkepanjangan sifatnya. Sifat ini
mengikat jiwa seseorang dengan kebodohan, kemalasan, dengan ketidak-acuhan terhadap
setiap hal yang positif. Dengan kata lain di mana terlihat kegelapan total
dalam diri seseorang maka sudah pasti sifat tama sedang berkuasa.
Seseorang yang bersifat tama hidup tak ubahnya seperti
binatang saja. Ia makan, tidur, minum dan memenuhi hasrat-hasrat raganya saja
dari saat ke saat. Tidak ada idealisme atau cita-cita dalam dirinya. Ia malas,
bodoh, tak perduli dan selalu tak acuh pada hal-hal yang bersifat baik. Tetapi
sifat tama ini juga bisa didobrak dan seseorang yang terjerat dalam lingkaran
kebodohan ini dapat keluar juga. Caranya adalah dengan berdharma bakti
kepadaNya semata, meminta perlindunganNya semata dan bekerja tanpa pamrih untuk
Yang maha Esa. Sang Bayu (angin) tidak saja merambah dan bertiup diantara
dedaunan pohon-pohon yang besar dan tinggi saja, tetapi Sang bayu juga bertiup
diantara rerumputan liar dan kecil yang berada di bawah pohon-pohon besar ini.
Yang penting adalah kemauan kita sendiri untuk merasakan tiupan ini, merasakan
kehadiranNya diantara kita semuanya dan mau mengikuti ajaran-ajaranNya.
9. Sattva mengikat (seseorang) kepada kebahagiaan, raja
mengikat kepada aksi, oh Arjuna. Dan sifat tama membungkus kebijaksanaan,
mengikat seseorang kepada ketidak-perdulian.
10. Sewaktu sattva berada diatas raja dan tama, maka berkuasalah
sattva, oh Arjuna! Di kala raja berada diatas sattva dan tama, maka berkuasalah
raja. Dan di kala tama berada diatas sattva dan raja, maka berkuasalah tama.
11. Di kala sinar kebijaksanaan mengalir keluar dari
semua gerbang sang raga, maka ketahuilah bahwa sattvalah yang berkuasa, oh
Arjuna!
12. Di kala keserakahan, aktivitas eksternal, ambisi
untuk bekerja, keresahan, nafsu-nafsu iri terlihat jelas, ketahuilah bahwa
rajalah yang berkuasa, oh Arjuna!
13. Di kala kegelapan, non-aksi ketidakperdulian dan
kegelapan terlihat jelas, ketahuilah bahwa tamalah yang berkuasa, oh Arjuna!
14. Kalau seseorang meninggal dunia di kala sattva
berkuasa didalamnya, maka ia akan pergi ke loka-loka yang tak ternoda di mana
tinggal mereka yang mengenal Yang maha Tinggi.
Seorang sattvik, setelah meninggal dunia maka jiwanya
akan pergi ke loka-loka yang tak ternoda oleh dosa-dosa dan kebodohan. Tetapi
ia masih harus bekerja keras untuk mencapai Yang Maha Esa. Karena setelah habis
karmanya di tempat-tempat ini (Devachana), ia harus kembali lagi ke dunia ini,
tetapi ia akan lahir di tengah-tengah keluarga pencinta Yang Maha Esa, dan
jalan ke arahNya akan makin lembut saja sesudah itu.
15. Meninggal dunia sewaktu sifat raja masih berkuasa,
maka orang itu akan lahir diantara orang-orang yang terikat pada aksi; dan
sekiranya seseorang meninggal dunia sewaktu sifat tama masih berkuasa maka ia
akan lahir di dalam kandungan-kandungan yang tak berindra.
Yang tak berindra disini mungkin dimaksudkan dengan
ciptaan Yang Maha Kuasa seperti pepohonan, tumbuh-tumbuhan atau juga jenis
makhluk-makhluk lainnya yang tak memiliki ratio dan intelektual.
16. Hasil dari perbuatan sattvik disebut harmonis dan
suci, hasil dari sifat raja disebut penderitaan dan hasil dari sifat tama
adalah kedunguan dan kebodohan.
Setiap pekerjaan maupun tindakan yang dibuat dalam
pengaruh sattva akan lepas dari noda-noda dan dosa-dosa. Sedangkan setiap
pekerjaan dibawah pengaruh sifat raja akan menghasilkan dhuka, yaitu efek yang
penuh dengan penderitaan. Dan setiap tindakan atau perbuatan di bawah pengaruh
tama akan membuahkan yang lebih buruk dari penderitaan, yaitu kebodohan atau
kedunguan (agnana), yang berarti menjadi lebih jauh lagi dari Yang Maha Esa.
17. Dari sattva lahirlah ilmu pengetahuan, dari raja
lahir keserakahan, dan dari tama lahir sifat acuh tak acuh, kemalasan dan
agnana (kebodohan).
18. Mereka yang telah tegar dalam sattva menanjak ke
atas; mereka yang dalam raja berdiam di tempat yang paling tengah; dan mereka
yang bersifat tama pergi kebawah terikat pada sifat-sifat paling rendah.
19. Bila seseorang yang melihat, menyadari bahwa tidak
ada unsur yang lain selain ketiga guna ini dan mengenal Ia yang hadir di atas
ketiga guna ini, ia akan masuk ke dalam diriku.
20. Bila seseorang (jiwa yang terbungkus oleh raga ini)
telah melampaui ketiga guna ini –di mana semua bentuk raga diproduksi—maka ia
benar-benar lepas dari kelahiran dan kematian, dari usia tua dan penderitaan,
ia lalu meneguk air kehidupan yang abadi (tak dapat binasa lagi).
Di sloka-sloka di atas ini tersirat pesan Sang Krishna
bagi Arjuna dan kita semuanya, yaitu kuasailah ketiga sifat ini, dan jadilah
seorang yang sadar atau yang dapat melihat dengan jelas dan benar. Seorang yang
melihat atau sadar ini melihat (a) bahwa keterbatasan dari semua unsur duniawi
ini dapat dicapai jika seseorang benar-benar sadar bahwa hanya ketiga sifat
guna itu sajalah yang sebenarnya bertindak, bekerja, beraksi atau berbuat dan
bukan Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita bahkan bukan raga kita
juga, dan (b) bahwa ada Ia yang lepas dari semua unsur–unsur Prakriti ini, Yang
Maha Suci dan Agung. Ia lebih tinggi sifatNya dari ketiga guna ini yang
sebenarnya lahir dari Prakriti, dan dari ketiga guna ini lahirlah bentuk-bentuk
dan sifat-sifat alam, raga-raga kita dan juga makhluk-makhluk lainnya yang tak
terbilang banyak jumlah dan ragamnya.
Orang-orang yang bijaksana yang telah menyeberangi ketiga
guna ini malahan dapat mengendalikan sifat-sifat ini pada diri mereka, karena
mereka telah sadar bahwa sifat-sifat inilah penyebab semua tindakan dan
perbuatan baik dan buruk di dunia ini, sedangkan Sang Atman hanya bertindak
sebagai saksi saja di dalam raga kita masing-masing. Mereka ini oleh Sang
Kreshna diibaratkan sebagai yang telah meminum air keabadian dan tak perlu lagi
menjalani kehidupan dan kematian lagi. Mereka telah bersatu di dalamNya secara
abadi.
Berkatalah Arjuna:
21. Apakah ciri-ciri dari seseorang yang telah melampaui
ketiga guna ini? Bagaimana cara hidupnya? Dan bagaimana caranya ia melampaui
ketiga guna ini?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
22. Seseorang yang tidak menghindar (atau menolak) cahaya
(pengetahuan) atau aktivitas atau kebodohan di kala faktor-faktor ini timbul,
dan tidak mengharapkan faktor-faktor ini di kala tidak hadir.
23. Seseorang yang duduk tanpa khawatir tak terusik oleh
guna, terpisah, tanpa goyah, dan mengetahui bahwa hanya guna-guna ini yang
bertindak.
24. Seseorang yang merasakan kenikmatan dan penderitaan
adalah serupa, yang terpusat pada Sang Atman, dan baginya tanah liat atau batu
ataupun emas adalah satu, yang sama kepada yang dicintainya dan yang tidak
dicintainya, yang jalan pikirannya tak goyah, yang bersikap sama di kala terhina
dan dalam kemasyuran.
25. Yang memandang sama rata akan rasa dihormati dan
tidak dihormati, dan yang bersikap sama terhadap sahabat dan musuhnya, yang
telah melepaskan semua ambisi—orang ini disebut telah melewati semua guna-guna
ini.
Seseorang yang telah melewati, melampaui atau mengatsi
ketiga guna (sifat-sifat Prakriti) akan berubah cara hidup dan cara
berpikirnya. Ia akan menjadi ibarat seorang tuan atau majikan yang sudah dapat
menguasai atau memperalat sifat-sifat alam ini, dan tanda-tanda atau ciri-ciri
orang ini adalah:
a. Ia bersikap sama saja kepada ketiga sifat-sifat atau
kualitas Prakriti ini di kala sifat-sifat ini hadir dan sedang beraksi baik
dalam dirinya maupun dalam diri orang lain, karena ia sadar bahwa setiap sifat
ini mempunyai evolusi atau naik turunnya sendiri.
b. Ia tak terganggu atau terusik oleh efek atau hasil
atau karma dari setiap tindakan, apakah itu tindakan baik maupun tindakan
buruk. Ia sadar bahwa setiap perbuatan atau aktivitas adalah milik guna-guna
ini, milik dan merupakan alat permainan sang Prakriti. Baginya alam dan
sifat-sifatnya selalu sedang bekerja dan ia sendiri sedang duduk di
tengah-tengahnya, merasa tak asing tetapi juga tak khawatir. Tak dapat ia
digoyahkan dari jalan pikirannya ini oleh sifat-sifat Prakriti. ”Hanya
sifat-sifat ini saja bergerak” katanya, dan ”semua objek adalah benda-benda
mainan yang dipermainkan oleh guna-guna ini”. Ia merasakan dirinya sebagai
musafir yang sedang melakukan perjalanan atau pekerjaannya saja di dunia ini,
ibarat mimpi yang tak dapat mengganggu mereka yang tidak tidur, maka guna atau
sifat-sifat inipun tidak dapat mengganggu sang musafir ini, yang tenang dengan
tugas atau perjalanannya kearah Yang Maha Esa.
c. Baginya setiap benda, makhluk dan kejadian adalah hal
yang sama atau satu sifatnya. Ia Bersikap selalu sama rata terhadap hal-hal,
kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman yang berlawanan seperti suka-duka,
panas-dingin, teman-musuh, penghormatan penghinaan, cinta-benci dan lain
sebagainya. Emas atau tanah liat baginya sama saja nilainya, sama-sama ciptaan
Yang Maha Esa yang tak ada bedanya dan mempunyai fungsi masing-masing di dunia
ini, tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah.
d. Ia tidak berambisi lagi dengan tujuan-tujuan tertentu
dalam melakukan pekerjaannya. Baginya setiap aksi, perbuatan, tindakan dan
pekerjaan adalah dharma baktinya kepada Yang Maha Esa, yang tidak diiringi oleh
pamrih sama sekali. Baginya pekerjaan apapun sama saja kadar atau sifatnya,
tidak ada yang lebih agung dan tidak ada yang lebih hina, apapun jenis
pekerjaan itu harus didedikasikan secara tulus dan tanpa pamrih kepada Yang
Maha Esa semata.
26. Seseorang yang mengabdi kepadaKu dengan dedikasi yang
tanpa pamrih, melampaui semua sifat-sifat alami ini dan bersatu dengan Sang
Brahman.
Apakah caranya agar seseorang dapat melampaui ketiga guna
ini dan bersatu dengan Yang Maha Esa, Yang Maha Abadi. Caranya: (a) pengabdian
yang terus-menerus tanpa henti dan tanpa pamrih, dan (b) mengabdi kepadaNya
dengan cinta kasih yang tulus. Dalam cinta kasih terhadapNya yang tulus ini dan
tanpa henti ini maka secara lambat laun ia akan menyatu dengan yang
dikasihiNya, dan ia sendiri berubah menjadi nol untuk dirinya sendiri, tetapi
menjadi Satu dengan Yang Maha Esa. Ini disebut Atma-Svarupa, yaitu menyatu
dengan Sang Kreshna dan bersatu dengan Yang Maha Esa. Om Tat Sat.
27. Karena Akulah tempat bersemayam Sang Brahman, Air
Kehidupan Abadi yang tak ada habis-habisnya. Akulah fondasi dari kebenaran yang
abadi dan sumber dari keberkahan yang tak ada akhirnya.
Mengasihi atau mencintai Sang Kreshna adalah upaya untuk
menyatu dengan Sang Brahman, karena Sang Kreshna dan Sang Brahman adalah Satu.
Kreshna itu Brahman, dan Brahman itu Kreshna. Sang Kreshna adalah sumber dari
(a) keabadian dan (b) Hukum Dharma (Hukum Kebenaran) yang abadi dan (c) berkah
yang tak ada duanya dan tak kunjung berakhir—keberkahan yang absolut. Sekali
lagi Sang Kreshna menegaskan bahwa Ia lah Sang Brahman yang menitis menjadi Kreshna
(manusia utama) karena kasihNya kepada para pemujaNya. Sang Kreshna adalah
manifestasi dari Sang Brahman, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Agung dan Suci.
Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, karya sastra yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah
yang keempat-belas dan disebut:
Guna Traya Vibhaga Yoga atau Yoga mengenai Perbedaan
Ketiga Sifat Alam.
Bab 15 – Pohon Dunia
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Dengan akar-akarnya yang tumbuh ke atas dan cabang-cabangnya
yang menurun, Ashvattha (pohon beringin yang abadi) ini dikatakan sebagai yang
tak dapat dihancurkan. Dedaunannya adalah mantra-mantra Veda. Seseorang yang
kenal akan pohon ini, kenal akan Veda-Veda.
Di sini Sang Kreshna menerangkan atau menggambarkan
Prakriti (kosmos, alam semesta, atau dunia) sebagai pohon beringin yang abadi,
yaitu Ashvattha. Kata Asvattha berarti ‘tidak stabil’ atau ‘selalu bergoyah.’
Pohon ini dipercaya oleh orang-orang Hindu sebagai sebuah pohon beringin yang
mempunyai akar-akar yang tumbuh ke atas, dan cabang-cabangnya tumbuh ke bawah.
Sebenarnya bukahkah dunia ini sama saja ibarat pohon beringin ini, yang abadi
tetapi selalu tak pernah stabil, karena ia lahir dari Sang Maya. Akar-akar
pohon ini tumbuh ke atas, ini diartikan terpusat kepada Yang Maha Esa. Jadi
dunia atau alam kosmos atau Prakriti atau Sang Maya adalah ibarat pohon
beringin yang tak stabil ini, yang sebenarnya terpusat atau berakar pada Yang
Maha Esa, Yang Maha Abadi dan Stabil. Yang Maha Abadi inilah sebenarnya Unsur
Yang Abadi dan Stabil dan bukan alam semesta dengan segala efek-efeknya. Tetapi
hanya manusia yang penuh dengan vairagya (lepas dari keterikatan duniawi) saja
yang dapat melihat ‘pohon-dunia’ ini di dalam Yang Maha Esa dan sadar bahwa
dunia ini sebenarnya berakar atau terpusat pada Yang Maha Pencipta dan Abadi.
Akar-akar pohon ini adalah Sang Maya, pohon beringin
adalah Prakriti atau alam kosmos ini, dan tempat akar pohon ini berasal adalah
Yang Maha Esa. Daun-daun dari pohon ini adalah mantra-mantra Veda-Veda.
Dedaunan yang rindang ini diartikan sebagai ilmu pengetahuan sejati atau kasih
Yang Maha Esa yang memberikan naungan atau keteduhan kepada mereka-mereka yang
ingin berlindung dibawah pohon beringin yang rindang ini. Dengan kata lain dalam
perjalanan hidup di dunia ini, kita semua dapat mencari keteduhan dan
perlindungan dengan mempelajari mantra-mantra atau ajaran-ajaran Veda, ajaran
atau pikiran-pikiran agung para resi dan orang-orang suci pada masa-masa yang
telah lama silam, ajaran-ajaran ini tercakup dalam Veda-Veda dan kitab-kitab
suci lainnya.
2. Ke bawah dan ke atas tersebar cabang-cabang pohon ini.
Pohon ini mendapatkan sarinya dari guna-guna. Obyek-obyek indra adalah
putik-putiknya. Menurun ke bawah, tumbuh lagi akar-akarnya yang lain, akar-akar
ini menjadi pengikat setiap tindakan di dunia manusia ini.
Pohon ini mempunyai banyak cabang yang tumbuh ke atas dan
juga tumbuh ke bawah. Cabang-cabang ini diartikan sebagai jiwa-jiwa
Cabang-cabang yang mencuat ke atas adalah para dewa, yang ke bawah adalah
manusia, fauna, flora, reptil, serangga, dsb. Semua cabang-cabang ini
mendapatkan hidupnya dari sari atau makanan, dan makanan ini adalah air, udara,
dan lain sebagainya. Yang disebut sari atau makanan ini adalah ketiga guna
(sifat-sifat alam dari Prakriti). Sayang sekali kita manusia sering sekali atau
setiap kali lebih tertarik akan sari atau makanan pohon kehidupan ini dan tidak
sadar akan fungsi akar-akar yang ke atas yang terpusat pada Sang Pencipta. Kita
lebih tertarik atau terikat pada guna, padahal itu hanyalah makanan atau
penunjang dari cabang-cabang dari pohon kehidupan ini. Subyek utamanya malahan
terlepas dari perhatian kita, karena enak dan nikmatnya makanan ini. Sang Pohon
ini juga memiliki putik-putik bunga dan ini diartikan sebagai obyek-obyek luar
atau eksternal (vishaya). Pohon beringin kehidupan ini juga mempunyai bentuk
akar-akar yang lain yang menjuntai ke bawah. Akar-akar ini menurun dan mengikat
pohon ini ke tanah. Akar-akar yang ke bawah ini diartikan sebagai vasana,
trishna, raga-dvesha, semuanya ini adalah keinginan-keinginan dan nafsu-nafsu
duniawi dan badani, yang mengikat pohon atau kehidupan ini pada karma (aksi)
dan hukum-karmanya, mengikat kita semua pada kelahiran dan kematian yang tak
ada henti-hentinya. Akar-akar yang tersembunyi di dalam tanah ini (vasana)
mengikat manusia dunia ini ke dalam lingkaran-lingkarannya yang tak ada
putus-putusnya.
3. Di sini tak dapat dibedakan bentuk asli Pohon ini,
juga tidak akhir, asal, dan dasarnya. Tertancap kuat pohon Ashvattha ini.
Tebaslah pohon ini sampai tumbang dengan senjata tak-keterikatan.
4. Dengan begitu dikau akan meniti jalan ke mana tak ada
jalan kembali, dan dengan begitu dikau akan mencapai Yang Maha Utama Yang
dariNya terpancar keluar Proses Kosmos ini (energi yang telah ada semenjak masa
yang amat silam).
Sayang manusia tidak melihat atau menyadari Pohon ini
secara keseluruhannya, dan tak mengerti akan kepentingan pohon ini. Manusia
lebih terserap kepada daun-daunnya, pada buah-buah dan putik-putiknya, dengan
kata lain manusia terjebak pada rasa manis dan kenikmatan yang dikeluarkan
pohon ini dan langsung terjebak di dalamnya, dalam ilusi duniawi. Pohon ini
sendiri tampaknya tidak bermula dan tak ada akhirnya; siapa pula yang akan
pernah tahu akan asal-mulanya dan akhirnya? Bukankah Pohon ini berasal dari
Sang Maya? Tetapi Sang Maya ada asal dan akhirnya, yaitu Yang Maha Pencipta.
Sedangkan Sang Maya atau pohon Kehidupan ini sebenarnya hanyalah pantulan atau
ilusi. Dan selama kita sibuk berkelana di hamparan luasnya pohon kehidupan ini,
selama itu juga kita akan sesat di dalamnya tanpa jalan keluar karena begitu
luas dan banyaknya jalan-jalan yang salah di dalamnya seakan-akan tanpa akhir.
Maka di situ-situ juga kita akan berkelana tanpa pernah tahu akan hal-hal yang
berada di luar itu, yaitu Sang Empunya pohon ini. Jalan satu-satunya untuk
keluar dari pohon ini adalah menebasnya sama-sekali dan jalan atau metode ke
arah penebasan ini adalah dengan menebas rasa keterikatan duniawi kita secara
total dan pasrahkan hasilnya kepada Sang Kreshna, kepada Yang Maha Esa, dan la
akan menyelamatkan kita semua dan menyatukan yang menebas pohon kehidupan ini,
denganNya. Jalan ketidakterikatan duniawi ini berulang-ulang ditekankan dalam
Bhagavat Gita karena inilah faktor yang amat vital untuk menyadari atau
menyingkapkan kebodohan kita, agar terbuka ilmu pengetahuan yang sejati, ilmu
tentang arti dan hakikat dari kehidupan ini yang sebenarnya, agar tercapailah
kesatuan antara kita denganNya, yang menjadi tujuan utama mengapa kita
dilahirkan sebagai manusia yang berakal-budi, tidak seperti ciptaan-ciptaan
yang lainnya yang berbentuk fauna, flora dan benda-benda tak bergerak.
“Seseorang yang dirinya tak terikat pada obyek-obyek luar, mendapatkan
kebahagiaan yang ada di dalam dirinya sendiri,” kata Bhagavat Gita, dan lagi,
“Seseorang yang telah melepaskan semua keinginan, dan hidup bebas dari
keterikatan, mendapatkan ketenangan.”
Kebebasan dari keterikatan adalah penting dan perlu
dihayati bagi seseorang yang ingin kenal dengan Yang Maha Esa, karena ini sudah
merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan kebebasan dari
keterikatan ini harus dilaksanakan secara sadar dan tulus dan tidak dapat
dibuat-buat. Sang Jiwa di dalam raga kita harus disadarkan dari ilusinya dan
sang jiwa ini (bukan Sang Atman yang bersemayam di dalam jiwa ini!) harus
melepaskan keterikatannya akan uang, harta-benda, berbagai miliknya seperti
rumah, keluarga, negara, posisi, kedudukan, kemasyhuran dan sebagainya. Bukan
berarti semua ini harus diabaikan atau ditinggalkan tanpa tanggung-jawab,
tetapi rasa memiliki semua itu harus ditanggalkan, dan orang ini harus hidup
secara amat sederhana saja, dengan merasa semua itu hanyalah titipan atau ilusi
yang dapat datang dan pergi setiap saat. Bukankah agama-agama besar lainnya
juga menyiratkan hal yang sama, bahwa harta-benda duniawi ini sebenarnya
hanyalah pengikat jiwa kita ke dunia ini, dan selama jiwa kita terikat pada
dunia ini, bagaimana mungkin sang jiwa membersihkan dirinya agar menjadi suci
dan bersih dan mengenal Tujuannya Yang Sejati?
Jadi usahakanlah semaksimal mungkin untuk tidak terikat
kepada dunia atau pohon kehidupan ini, bekerjalah demi dharma-bhakti kita
kepadaNya semata. Hidup dan bekerjalah demi Ia semata dengan motto atau
semboyan, “Aku ini sebenarnya tak memiliki apa-apa, dan aku ini sebenarnya
bukan apa-apa.” Dengan menjadikan diri kita nol-besar dan tak memiliki apapun
juga di dunia ini, maka akan turunlah Berkah Yang Maha Besar, yang kemudian
akan menuntun pemuja ini ke arahNya yang abadi dan pasti. Ia hanya dikenal oleh
mereka yang tak memiliki apapun di dunia fana ini selain dari DiriNya Yang
Sejati. Cobaan yang maha berat sebenarnya bukan harta-benda, milik atau rasa
hormat atau pun keluarga, tetapi adalah diri kita sendiri. Pengorbanan atau
tak-keterikatan yang sejati sebenarnya adalah pemasrahan total dari diri kita
sendiri. Kita mungkin bisa tak terikat pada harta-benda duniawi, tetapi selama
kita belum melepaskan rasa ego kita, maka jalan kepadaNya masih terasa amat
jauh atau bahkan nampak sia-sia saja. Kata seorang sufi yang suci, “Percuma
saja mengganti baju dan cara makanmu, percuma saja engkau menyantap sehelai
rumput selama hidupmu atau hanya memakai sehelai baju selama hidupmu, atau
mengasingkan dirimu jauh dari masyarakat kalau engkau masih terbius oleh ego
juga. Rasa ego sebenarnya juga salah satu keinginan atau nafsu diri yang amat
licik dan lincah mempermainkan dan menipu seseorang.” Seseorang yang
benar-benar tak terikat pada dunia ini adalah yang secara lahir dan batin telah
berpasrah total kepadaNya. Orang semacam ini tak meminta atau bernafsu apapun
juga, ia hanya menerima apa yang diberikan oleh Yang Maha Esa, ia hanya
menerima semua kehendak Yang Maha Esa secara utuh dan tulus dan merasa puas
dengan apa saja yang diterimanya. la selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa,
“Tuhan, Engkau Maha Tahu, akan apa terbaik dan pantas untukku.” Om Tat Sat.
Seseorang pernah bertanya kepada seorang sufi mistik yang
bernama Junayd Baghadi, agar memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya sang
sufi dapat melihat Tuhan Yang Maha Esa. Orang itu yakin bahwa Yang Maha Esa
akan memenuhi permintaan sang sufi yang suci ini. Tetapi apa jawab sufi ini? la
berkata dengan tenang, “Aku telah beritikad tidak meminta atau menginginkan
sesuatu. Bukankah Nabi Musa pernah meminta melihat Tuhan dan doanya tak
terkabul, sedangkan Nabi Muhammad mendapatkanNya tanpa pernah memintanya? Suatu
waktu nanti kalau sudah tiba saatnya, maka Yang Maha Kuasa akan menghapus semua
rintangan dan memperbolehkan aku melihatNya sendiri tanpa aku harus
memintanya.” Dengan cara berpasrah total kepadaNya, tanpa keterikatan duniawi,
tebaslah pohon kehidupan yang penuh dengan ilusi ini, agar tampak Sinar Terang
Ilahi menuntun kita kepadaNya juga. Caranya dengan sekali lagi bertekad untuk
tidak terikat kepada semua unsur atau obyek-obyek duniawi ini dan hanya
berpasrah total kepadaNya dan menerima semua kehendakNya sebagai pemberian
dariNya.
5. Mereka pergi ke Rumah Yang Tak Dapat Dihancurkan,
mereka ini tak memiliki rasa keangkuhan dan rasa moha (cinta-kasih yang
mengikat), yang telah menang dan bangkit atas keterikatan yang baik dan buruk,
yang selalu terpusat pada Sang Adhyatman, yang telah meninggalkan
nafsu-nafsunya, yang telah bebas dari rasa dvandva (rasa dualisme yang saling
bertentangan), dari kenikmatan dan penderitaan.
6. Tiada surya atau pun chandra atau agni yang bersinar
di sana; tiada juga yang setelah sampai di sana kembali lagi. Itulah kediamanKu
yang suci dan agung.
Maka mereka ini pun pergi ke tempat yang tak ada jalan
kembali ke dunia ini. Mereka-mereka ini yang hati dan hidupnya sederhana dan
tak terpengaruh oleh noda-noda duniawi. Mereka yang telah mengalahkan semua
ikatan-ikatan duniawi, nafsu dan emosi, yang hidupnya terfokus atau terpusat
pada Sang Adhyatman, Yang Bersemayam di dalam diri mereka masing-masing, Sang
Atman. Mereka ini hidup di dalam Rumah Abadi Sang Kreshna, dan di Rumah ini tak
diperlukan cahaya mentari, rembulan atau pun cahaya api untuk meneranginya
karena cahaya Sang Kreshna Sendiri sudah tak tertandingi terangnya di sana.
7. Sebagian dari DiriKu Yang Abadi ditransformasikan
dalam dunia kehidupan, ke dalam jiwa yang hidup, dan menarik melingkupi dirinya
dengan indra-indra yang mana sang pikiran adalah indra yang keenam — yang
terbungkus dalam bentuk benda.
Dalam Pohon Kosmosnya Sang Prakriti terlahir jiwa-jiwa,
individu-individu, dan lain sebagainya. Dan siapakah mereka semua ini dan juga
kita? Setiap jiwa dan setiap makhluk adalah salah satu fragmen kecil dari Sang
Kreshna Yang Maha Esa itu Sendiri, dan setiap fragmen atau bagian kecil ini
timbul atau lahir ke dunia ini sebagai makhluk atau individu (jiwa-bhuta),
sebagai jiwa yang berkelana dalam raga-raga yang berlainan bentuk dan ragamnya.
Ditegaskan di sini bahwa semua jiwa-jiwa ini baik yang nampak maupun yang tak
terlihat oleh mata kita, berasal dari Sang Kreshna juga, Yang Maha Abadi dan
Esa. Inilah fakta-fakta yang dilupakan oleh manusia, dan manusia kebanyakan
cenderung untuk tenggelam dalam dunia ini dengan segala kenikmatan dan
penderitaannya, tetapi tidak mau mengenali diri dan jiwanya yang agung, yang
merupakan sebuah fragmen dari Yang Maha Esa. Manusia cenderung mementingkan
buah, cabang dari pohon kehidupan ini daripada asal pohon ini.
Fragmen-fragmen atau jiwa-jiwa ini kemudian diatur
sedemikian rupa oleh Prakriti (Alam) agar terbungkus oleh indra-indra kita yang
jumlahnya semua adalah lima indra organ dan satu indra pikiran. Sang Jiwa ini
kemudian diatur sedemikian rupa sehingga bebas memilih terjerumus ke dalam
nafsu-nafsu duniawi atau menyibak pembungkus Prakriti ini sehingga dapat
melihat Sinar Terang yang sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri, yaitu Sang
Adhyatman, Sang Jati Diri, atau Yang Maha Esa iru Sendiri dalam bentukNya yang
kecil. Sang Kreshna adalah Adi Purusha (Manusia Yang Terutama) di dalam (1)
setiap jiwa yang berbentuk aneka-ragam dan (2) dan sebagai Alam Semesta secara
keseluruhan. Ia lah Sang Jati Diri, Sang Jiwa dalam yang besar dan kecil, dalam
alam semesta dan dalam makhluk-makhluk, roh-roh atau jiwa-jiwa, secara
menyeluruh dalam setiap yang hidup ini. Ia adalah Adhyatman (Sang Atman Yang
Tertinggi, Terutama dan menyeluruh dan sumber dari semua jiwa-jiwa ini)!
8. Sewaktu Yang Maha Esa (Sang Jiwa) memasuki sebuah raga
dan sewaktu la meninggalkannya, la membawa serta semua indra dan pikiran ini
dan pergi bersama mereka, ibarat sang angin yang menerbangkan wewangian dari
tempat asalnya. (Contoh: wewangian bunga yang terbangkan jauh dari sang bunga
itu sendiri.)
Sang Jiwa yang mengembara di alam kosmos ini dari satu
tubuh ke tubuh yang lainnya, selalu membawa serta semua indra-indra ini dalam
tubuh halusnya. Semua ini kemudian jadi asal-mula karma barunya lagi dalam
kelahiran yang berikutnya.
9. Secara suci bersemayam di telinga, di mata, di kulit
dan di hidung – dan juga di dalam pikiran — la menikmati obyek-obyek sensual.
10. Mereka yang tidak sadar (kurang pengetahuannya) tidak
menyadariNya sewaktu la berpisah atau beristirahat atau merasa, sesuai dengan
kerja-samaNya dengan guna-guna. Tetapi mereka yang memiliki mata kebijaksanaan
dapat melihat.
11. Para yogi pun yang berusaha melihatNya di dalam diri
mereka; tetapi mereka yang tidak sadar, yang tidak bersih, mereka berjuang
tetapi tidak melihatNya.
Bagi mereka-mereka yang bijaksana dan berpengetahuan
(dalam agama Hindu selalu dipergunakan kata berpengetahuan untuk mereka yang
sadar akan Yang Maha Esa dan kata bodoh atau kurang-pengetahuan untuk mereka
yang masih jauh dariNya, dan masih bergelimang akan dosa-dosa. Kata dosa jarang
dipergunakan), maka terlihatlah oleh mereka Sang Atman yang bersemayam di dalam
raga kita dengan menikmati obyek-obyek indra, Ia terlihat hadir di telinga, di
mata, di kulit, di lidah, di hidung dan di pemikiran (pikiran) kita. Bagi yang
masih kurang sadar (agnana), maka kenyataan ini tidak nampak oleh mereka,
walaupun sebenarnya banyak di antara mereka yang berjuang ke arah Yang Maha
Esa. Mengapa begitu? Karena sebenarnya mereka-mereka ini masih terselimut oleh
ego mereka, sehingga tidak sucilah diri mereka ini. Ingatlah! Sedikit saja ego
itu masih tersisa di dalam diri kita maka masih jauh kita ini dari Yang Maha
Esa, ingat juga walaupun itu ego yang baik sifatnya, selama namanya masih ego
dan bukan demi Yang Maha Kuasa, maka selama itu pula jauh kita ini dari Yang
Maha Esa!
12. Ketahuilah bahwa gemerlapnya cahaya sang surya yang
menerangi dunia ini, dan cahaya rembulan dan api, semua kebesaran itu datang
terpancar dariKu.
13. Memasuki bumi ini, Kutunjang semua makhluk dengan
energi vitalKu dan, dengan menjadi cairan lembut dari Sang Chandra (sari Soma)
yang nikmat, Kuhidupi semua tumbuh-tumbuhan.
14. Dengan menjadi api-kehidupan, yang bersemayam di
dalam raga setiap makhluk yang bernafas, dan menyatu dengan kehidupan (nafas
yang ditarik dan yang dikeluarkan), Kucernakan semua bentuk makanan (empat
jenis makan).
15. Dan Aku bersemayam di dalam hati semuanya; dan dariKu
timbul memori (ingatan) dan gnana (pengetahuan atau kesadaran) dan kekuatan
yang menangkis dan menolak keragu-raguan atau pikiran-pikiran yang negatif.
Akulah yang dimaksud dalam Veda-Veda, dan Akulah yang dimengerti oleh Veda-Veda
ini, dan juga Akulah Pengarang Vedanta – ‘akhir’ dari Veda.
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa adalah kehidupan total
dari alam semesta ini. Setiap unsur dari alam semesta ini berasal dariNya atau
dengan kata lain Ia juga semuanya ini. Ia juga sumber dari energi di alam
semesta ini, Ia juga cahaya yang bersinar di dalam matahari, rembulan dan api.
Ia juga sari Soma dalam rembulan yang menghidupi tumbuh-tumbuhan di bumi ini. Ia
juga api-kehidupan dalam setiap manusia dan makhluk-makhluk lainnya, Ia lah
sumber tanpa batas dari segala-galanya. Ia juga yang bersemayam dalam pikiran
kita yang membedakan antara pikiran yang jahat dan yang baik. la juga yang
selalu disebut-sebut dalam Veda-Veda dan kitab-kitab suci lainnya sebagai
Tujuan Yang Abadi, Tuhan Yang Maha Esa, bahkan Ia sendiri adalah Sang Pengarang
dari Vedanta, yaitu kitab suci Hindu yang terakhir dalam jajaran kitab-kitab
Veda.
16. Ada dua Purusha (energi) di dunia ini, yaitu yang
dapat binasa dan yang tak dapat binasa. Yang dapat binasa adalah semua makhluk
dan benda-benda, yang tak dapat binasa disebut Kutashta (duduk secara tegar,
terbungkus oleh misteri dan bersemayam dalam Sang Maya).
17. Ada lagi seorang Purush — Yang Maha Tinggi – Yang
disebut Purushottama (Sang Jati Diri Yang Suci dan Agung). la menunjang
semuanya; la menghidupi ketiga loka-loka ini. Ia lah Yang Maha Abadi (Yang Tak
Dapat Binasa).
18. Karena Aku berada di atas yang dapat binasa, dan juga
Aku lebih tinggi dari yang tak dapat binasa, maka baik di dunia ini maupun di
dalam Veda Aku dikenal sebagai Manusia Yang Maha Agung dan Suci.
Ada tiga bentuk Purusha, atau orang atau energi di alam
semesta ini:
(1) Disebut Kshara-prakriti atau berarti yang tidak
abadi, yang dapat berganti-ganti, sama dengan semua makhluk dan benda-benda
yang dapat binasa.
(2) Akshara-prakriti atau Kutashta (yang duduk tegar
bagaikan batu di dalam Sang Maya) — yaitu Sang Jiwa atau Chaitanya-shakti yang
melahirkan bentuk purusha yang pertama tadi.
(3) Uttama Purusha, atau Purushottama, Paramatman, atau
Sang Jati Diri Yang maha Agung dan Suci. Ia adalah Yang Maha Esa Yang
menunjang, menghidupi, menghadirkan alam semesta ini. Ia lah Sang Kreshna Yang
Maha Pengasih dan Penyayang. Om Tat Sat.
Di bab VII, oleh Sang Kreshna, kedua bentuk energi ini
disebut Purusha dan Prakriti, sebagai dua buah bentuk dari PrakritiNya. Di bab
XV ini, Sang Kreshna menyebut kedua-duanya sebenarnya bermakna sama, yaitu dua
bentuk Energi (atau Upadhi) dari Satu Purusha Yang Maha Agung dan Suci, yaitu
Yang Maha Esa, Sang Purushottama, Sang Kreshna, Yang Hadir dan Berkuasa di atas
Kshara dan Aksara.
19. Seseorang yang telah sadar, mengenalKu sebagai
Purushottama, orang ini tahu akan semua hal dan ia memujaKu dengan seluruh
jiwanya, oh Arjuna!
20. Demikian telah ku beritahukan kepadamu ajaran yang
amat rahasia ini, oh Arjuna! Seseorang yang tahu akan hal ini, adalah orang
yang telah mencapai penerangan dan tugas-tugasnya selesai sudah, oh Arjuna!
Ilmu pengetahuan tentang Sang Kreshna sebagai
Purushottama menuntun seseorang ke arah bhakti (dedikasi tulus tanpa pamrih).
Ilmu atau pengetahuan ini memberikan rasa pengertian atau penerangan akan Yang
Maha Esa dan segala aspek-aspekNya yang terlihat di alam semesta dan diri kita.
Dan seseorang yang telah sadar akan hal ini adalah orang yang telah mendapatkan
penerangan Ilahi, dan menurut Sang Kreshna selesai sudahlah tugas-tugas dan
kewajibannya di dunia ini. Orang ini lalu sadar bahwa semua yang manis dan baik
dalam hidup ini, seperti sahabat-sahabat, orang-orang yang dikasihinya,
kekayaan, kesehatan, ilmu-ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, hanyalah
merupakan ‘bunga-bunga’ dan ‘buah-buah’ kehidupan belaka, yang merupakan hadiah
atau pemberian Sang Purushottama kepadanya, untuk digunakan demi menunjang
kehidupannya selama ia berkelana di dunia ini. la tak akan pernah lupa, bahwa
tujuannya ke dunia ini sebenarnya adalah untuk mengenal Yang Maha Esa, bekerja
demi Yang Maha Esa, dan berusaha untuk kembali kepadaNya lagi secara sadar.
Untuk mencapai Rumah Yang Maha Esa ini maka semua materi-materi yang merupakan
penunjang hidupnya di dunia ini harus ditinggalkannya, bukan diikat erat-erat
dengannya. Seseorang yang secara sejati telah menyadari akan hakikat ini
disebut Vairagi. la sadar dunia beserta seluruh isinya dapat binasa, tetapi
Yang Maha Esa adalah Abadi. Pemuja semacam ini walau sehari-hari tetap bekerja
seperti biasa dan sesuai dengan kewajibannya, sebenamya secara spiritual
tugas-tugasnya di dunia ini telah selesai, karena walau masih memiliki raga ia
sudah mencapai dan mengenal Sang Misteri Yang Maha Agung dan Suci, Yang Maha
Pengasih dan Penyayang, Yang memiliki Keajaiban-Keajaiban Yang Tak Tertandingi.
Pemuja yang suci ini di dalam hidupnya telah mencapai Nirvana. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ini
adalah yang kelima-belas dan disebut: Purushottama Yoga atau Ilmu Pengetahuan
tentang Manusia Utama Yang Maha Agung dan Suci.
Bab 16 – Yang Berhati Suci dan Yang Berhati Iblis
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Tidak memiliki rasa takut, kemurnian hati, ketegaran
dalam ilmu dan yoga, memberikan dana, kendali diri, pengorbanan, mempelajari
buku-buku suci, tindakan disiplin spiritual (meditasi, puasa, pantangan dan
lain sebagainya), menjunjung tinggi kebenaran;
2. Tidak mencelakakan yang lainnya, kejujuran, jauh dari
rasa amarah, penyerahan total hasil dari tindakan-tindakannya, kedamaian, tidak
mencari-cari kesalahan, rasa sayang terhadap semua makhluk hidup,
kesederhanaan, jauh dari rasa ketidak setiaan;
3. Keperkasaan (keberanian), pemaaf, dapat menahan
penderitaan, kesucian, jauh dari rasa iri, bebas dari rasa sombong yang
berlebih-lebihan — ini semua, oh Arjuna, adalah ciri-ciri seseorang yang lahir
dalam keturunan yang suci.
Di dunia ini ada dua jenis manusia, yaitu yang suci dan
yang bersifat iblis. Manusia-manusia yang lahir dengan karakter-karakter yang
suci secara mendasar sudah spiritual sifatnya. Mereka-mereka ini adalah
jiwa-jiwa yang hidup dalam raga tetapi tak terpengaruh oleh Sang Maya. Mereka
ingat dan sadar akan kesucian yang menunjang mereka untuk sampai ke Rumah
Tujuan akhir nanti. Segala perbuatan dan tindak-tanduk mereka memancarkan
kesucian dan kemurnian bagi sesamanya dan diri mereka sendiri. Dalam
tindak-tanduk mereka di dunia ini mereka tidak menunjukkan nafsu atau
keinginan-keinginan duniawi baik dalam cara berpikir, aspirasi maupun perbuatan
mereka. Mereka ini selalu terserap dalam yoga dan jauh dari segala bhoga
(kenikmatan-kenikmatan duniawi). Semenjak lahir, dalam diri mereka telah nampak
tendensi-tendensi suci. Bakat-bakat kesucian ini mereka bawa dari karma yang
terdahulu, dan dipraktekkan dengan lebih aktif lagi di kelahiran mereka yang
berikutnya secara lebih intensif.
Mereka-mereka yang dianggap memiliki ciri-ciri keturunan
suci ini (daivi sampad), dan telah siap melangkah ke arah pembebasan duniawi
ini menampakkan dua-puluh enam ciri-ciri atau tanda-tanda khas, seperti berikut
ini:
1) Tak memiliki rasa takut. Kita sering sekali dilanda
rasa takut dan khawatir dalam hidup ini seperti takut dan khawatir kehilangan
barta-benda, milik atau seseorang yang tersayang dan lain sebagainya. Seseorang
yang telah menyerahkan atau memasrahkan semua tindakan dan hasil tindakan
mereka kepada Yang Maha Esa, dan yakin akan kehendakNya semata tak akan pernah
takut, khawatir dan gentar mengarungi hidup ini. Baginya hidup ini adalah suatu
tindakan atau pekerjaan yang suci demi Yang Maha Esa, jadi tak ada lagi rasa
takut dalam diri mereka, karena selain merasa tak memiliki sesuatu apapun juga
di dunia ini, mereka ini juga dapat merasakan kasih-sayang Ilahi Yang Tak
Terbatas yang tak dapat dirasakan oleh mereka-mereka yang belum sadar
sepenuhnya.
2) Kesucian atau kemurnian hati. Kebersihan hati berarti
lepas dari segala unsur-unsur atau sifat-sifat palsu, betapa kecilpun sifat
palsu itu. Biasanya seorang yang tabah dalam hidupnya dan sudah lepas dari
segala rasa takut, akan berubah menjadi seorang ‘anak-kecil’ yang bersih dan
murni hati dan tingkah-lakunya. Goethe pernah berkata, “Bersihkan dirimu dengan
merendahkan dirimu.” Untuk menjadi murni dan bersih ini, seseorang harus selalu
berpikir bahwa raga ini adalah ‘kuil dari Sang Atman Yang Suci dan Agung. Hati
yang suci-bersih tak pernah menuntut atau mengingini apapun juga selain
mengasihi Yang Maha Esa dan menerima semua kehendakNya semata tanpa pamrih.
Jadilah dikau hati yang suci dan murni dalam segala tindak-tandukmu, dalam
segala pikiran dan puja-pujimu.
3) Ketegaran atau keteguhan dalam ilmu pengetahuan sejati
mengenai Yang Maha Esa, dan ketekunan dalam yoga adalah praktek-praktek
disiplin ketat dalam menekuni ilmu-sejati ini. Ketegaran ini dasarnya adalah moral
dan iman yang kuat. Caranya ada beberapa macam dan semuanya menuntut keyakinan,
ketekunan dan keteguhan yang tak ada putus-putusnya dalam melakukan: (a)
meditasi setiap harinya, (b) usaha-usaha spiritual seperti puasa dan sembahyang
dan lain sebagainya yang dipilih masing-masing individu, (c) cinta-kasih yang
tulus pada setiap makhluk, benda dan sesamanya, (d) melayani atau bekerja tanpa
pamrih demi membantu fakir-miskin, orang-orang tua, orang-orang sakit dan
mereka-mereka yang pantas ditolong, dan semuanya ini harus dilakukan tanpa
pamrih. Dalam melakukan semua usaha-usaha ini akan banyak ditemui
hambatan-hambatan yang sukar dan sering sekali terjadi para pemula tumbang
karena tidak melihat hasil yang nyata dan segera. Tetapi seseorang yang tegar akan
berjalan dan melangkah terus dengan perlahan tapi pasti, dan suatu saat karena
keyakinannya yang tegar ia akan sampai ke tujuannya yang mulia. la sadar sukar
dahulu, mudah kemudian, itulah jalannya.
4) Dana atau amal dianjurkan bukan saja dalam agama Hindu
tetapi juga dalam agama-agama besar lainnya, dan ini merupakan salah satu jalan
untuk membersihkan diri kita. Yesus sendiri berkata, “Secara cuma-cuma engkau
telah menerimanya, secara cuma-cuma pula berikanlah!” Lalu apakah dalam hidup
ini, kita benar-benar rela memberikan harta-benda yang kita kira sudah jadi
milik kita kepada yang paling membutuhkannya? Relakah kita berkorban sedikit
saja demi sesama makhluk atau manusia lainnya yang menderita? Sebenarnya dana
atau amal-perbuatan yang baik tidak dihitung dari segi kuantitasnya melainkan
dari segi kualitasnya. Dan yang paling penting dari semua itu adalah itikadnya,
itikad yang ada di balik semua perbuatan baik itu. Dana atau amal itu datang
dari hati-nurani kita yang tulus dan bukan dari harta-benda atau pun kedudukan
kita, bukan juga dari paksaan atau keadaan tertentu. Sebuah senyum kecil yang
simpatik untuk seseorang yang membutuhkannya adalah dana, memberikan air kepada
seorang musafir yang kehausan adalah dana, menyingkirkan kulit pisang di jalan agar
orang lain tidak terpeleset adalah dana, menyisihkan waktu sedikit untuk
menolong seseorang yang memerlukannya adalah dana. Tiga faktor utama dalam
ajaran agama Islam adalah amal, puasa dan sembahyang. Alkisah suatu waktu
seorang yang bernama Bernard ingin bergabung dengan St. Francis dalam melakukan
misi-misi sucinya, maka berkatalah St. Francis kepadanya, “Pertama-tama pergi
dan juallah apa yang kau punya dan berikanlah kepada yang miskin dan papa.”
5) Kendali diri, yaitu kendali pada indra-indra kita dan
menguasai selera dan nafsu-nafsu kita yang selalu kelaparan akan obyek-obyek
indra ini. Kuda-kuda liar dapat dijinakkan, begitupun indra-indra ini adalah
ibarat kuda-kuda ini, merekapun harus dijinakkan. Bagaimana caranya? Jadilah
engkau seorang kusir atau penunggang kuda ini dan bukan sebaliknya! Raga kita
sebenarnya diciptakan agar menjadi karma-kshetra, tetapi kebanyakan diantara
kita malahan menjadikannya bhoga-kshetra (ladang untuk mencicipi kenikmatan).
Kuasailah semua trishna atau keinginan-keinginan dan selera-selera,
kendalikanlah nafsu-nafsu dan hasrat-hasratmu, dan jadilah seorang majikan atas
dirimu sendiri dan bukan sebaliknya! Intisari kebijaksanaan yang diajarkan oleh
filsuf Sokrates adalah kata-kata yang berbunyi, “Kenalilah dirimu sendiri!”
Intisari dari kebijaksanaan Hindu adalah, “Kuasailah dirimu sendiri!” Sedangkan
Pythagoras yang terkenal itu pernah berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat
disebut merdeka (bebas) yang tak dapat memerintah atas dirinya sendiri!”
6) Pengorbanan, persembahan (yagna), jenis yagna atau
pengorbanan ini ada banyak caranya. Persembahan spiritual ini didasarkan pada
pemikiran bahwa dewa-dewa, manusia, dan makhluk-makhluk halus, semua ini
membentuk suatu simfoni kehidupan. Yagna menunjukkan suatu itikad berkorban
atau menolong sesama makhluk di dunia ini baik yang terlihat maupun yang tak
terlihat, yang membutuhkan pertolongan kita di alamnya masing-masing. Yagna
juga mengajarkan kita untuk menjadi sederhana dan tulus dalam hidup kita
sewaktu kita melakukan yagna ini untuk para dewa, dan mengajarkan kita akan
kewajiban dan perhatian kita pada para leluhur kita agar mereka tak terlupakan.
Karena karma yang lalu para leluhur yang berada di alam sana hidupnya belum
tentu bahagia, jadi mereka selalu saja membutuhkan pertolongan kita agar
kuranglah dosa-dosa mereka. Pada hakikatnya yagna ini secara bertahap
mengajarkan kita untuk berkewajiban dan berkorban secara murni kepada Yang Maha
Esa. Untuk itu kita harus belajar dahulu dengan ber-yagna untuk para dewa dan leluhur.
Intisari sesungguhnya dari yagna ini adalah berkoban secara tulus dengan
mengorbankan seluruh hidup kita ini kepadaNya tanpa pamrih, yaitu bekerja demi
Ia semata tanpa pamrih dan tanpa bosan-bosannya!
7) Mempelajari skripsi-skripsi atau ajaran-ajaran suci
(ini disebut Svadhaya).
Terangkan dalam ajaran-ajaran ini adalah pemujaan oral
(puja-puji dan nyanyian) kepada Yang Maha Esa pada setiap kesempatan yang ada.
8) Tapa atau tindakan-tindakan disiplin spiritual yang
aneka ragam bentuknya seperti puasa, meditasi, dan berbagai tindakan disiplin
spiritual lainnya. Intisari dari tapa ini adalah selalu berusaha untuk tidak
berbohong kepada diri sendiri maupun orang lain, jadi setiap pembicaraan harus
benar dan jujur, mencintai kebenaran dan kehidupan yang jauh dari kemewahan.
9) Menjunjung tinggi kebenaran, tegas dan tulus dalam
tindakan (arjavam). Mereka yang memiliki sifat-sifat yang suci dan agung selalu
berkata dan bertindak tegas dalam setiap aspek kehidupan mereka, tetapi jiwa
mereka sebenamya amatlah lembut, tulus dan jujur akan kebenaran. Inilah
sebenarnya yang mendasari tindakan dan ucapan mereka yang tegas. Mereka juga
amat tinggi dalam menjunjung nilai-nilai kebenaran walaupun untuk hal-hal yang
amat kecil sekalipun.
10) Mereka menjalankan praktek-praktek ahimsa, yaitu
tidak menyakiti seseorang atau makhluk lainnya baik dalam tindakan mereka atau
kata-kata mereka. Di dunia yang penuh dengan manusia-manusia yang berwajah
srigala ini, masih ada saja manusia-manusia tulus dan suci yang melakukan
ahimsa ini secara total. Inilah salah satu ciri khas dari yang memiliki potensi
suci dan agung ini. Tetapi ingat jangan salah-pergunakan mereka ini, karena
demi kebenaran mereka ini adalah manusia yang amat tegas!
11) Mereka mempraktekkan kebenaran (safram) dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka menampakkan diri mereka sebagaimana yang mereka
sadari akan arti kehidupan ini, dan juga akan arti dan hakikat Yang Maha Esa.
Bagi mereka apapun yang benar dibenarkan dan yang salah disalahkan tanpa
memandang kasta, kedudukan dan harta. Bagi mereka kebenaran itu sekecil apapun
kebenaran itu, maka sifatnya adalah di atas segala-galanya. Bagi mereka seorang
yang lahir dengan predikat kasta pariah bukanlah seorang pariah, tetapi seseorang
yang tak dapat menghormati kata-katanya adalah seorang pariah. Tuhan Yesus
sendiri pernah berkata, “Kebenaran akan membuatmu bebas!” “Kebenaran dan kasih
adalah bagi kami arti sesungguhnya dari Tuhan Yang Maha Esa,” kata TL Vaswani,
pengarang naskah Bhagavat Gita.
12) Orang-orang ini tak mempunyai rasa marah atau geram
(akrodhd). Mereka bahkan tak pernah marah atau benci pada yang menyakiti mereka
walaupun dipancing untuk marah sekalipun.
13) Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang telah melakukan
dan menghayati penyerahan total akan hasil tindakan mereka sehari-hari (tyaga)
yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
(a) penyerahan total secara mental dan dari pemikiran
mereka bahwa apa yang mereka lakukan dan apapun hasilnya adalah kehendak Yang Maha
Esa semata-mata dan seyogyanyalah dilakukan tanpa pamrih,
(b) setiap tindakan mereka jauh dari rasa keberhasilan,
egoisme, optimisme, pesimisme, keserakahan, nafsu dan keinginan,
(c) mereka jauh dari obyek-obyek duniawi.
14) Pikiran dan jiwa mereka selalu tenang (shanti) dalam
segala tindakan mereka sehari-harinya.
15) Mereka jauh dari segala gosip atau obrolan-obrolan
iseng yang menyangkut orang lain. Jauh juga mereka ini dari segala pikiran dan
pembicaraan mengenai orang lain atau mencela orang lain dan mencari-cari
kesalahan seseorang. Mereka tak mau menyakiti atau mencelakakan orang atau
makhluk lain baik secara mental maupun secara tindakan.
16) Mereka memiliki rasa kasihan, iba, simpati dan rasa
sayang untuk setiap makhluk di dunia ini.
17) Mereka selalu merasa cukup dengan apa adanya, dan tak
pernah memohon atau meminta lebih apapun yang diterima mereka. “manusia ini tak
pernah puas, walaupun memiliki sebuah danau penuh dengan emas, tetapi masih
saja merasa miskin,” kata Hitopadesha. Tetapi mereka-mereka ini yang telah
terpanggil ke jalannya Tuhan, malahan amat puas dengan apa adanya. Bagi mereka
alam semesta dan seluruh isinya sudah merupakan karunia yang tak ada
habis-habisnya. Lalu untuk apa harus serakah dan menuntut dan menuntut lagi?
Feridoun merasa tak puas dengan kerajaan yang
dimilikinya. Sedangkan Alexander meratap telah menguasai semuanya karena tidak
ada lagi yang bisa dikuasainya. Tetapi seorang anak kecil yang polos dan lugu
akan gembira sekali dan bahagia kalau dapat memenuhi kedua tangannya dengan
pasir dan bermain-main dengannya. Bagi seorang anak kecil yang masih polos akan
hal-hal duniawi ini, maka segenggam pasir dan segenggam emas sama saja
nilainya, karena ia masih suci dan tidak sadar akan standar-standar yang telah
ditentukan oleh manusia dewasa.
Setiap pekerjaan itu baik, karena pekerjaan itu
diperlukan dan karena merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kita. Tetapi
ingatlah pekerjaan yang tak diperlukan dan sia-sia janganlah dilakukan dan
jauhilah pekerjaan-pekerjaan ini yang sifatnya negatif dan merusak. Pekerjaan
atau profesi sehari-hari diperlukan dan wajib kita kerjakan tetapi disertai
dengan itikad yang murni dan suci dan dilandasi oleh rasa bakti kita kepada
Yang Maha Esa, kepada masyarakat dan lingkungan kita, bukan atas keserakahan
pribadi atau dilandasi oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Sebuah pekerjaan
yang sederhana sifatnya akan lebih berarti daripada suatu pekerjaan yang
nampaknya canggih, selama pekerjaan itu dikerjakan dengan penuh bakti dan
kesadaran yang tulus akan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa. Suatu
pekerjaan yang dianggap besar dan luar biasa akan sia-sia saja maknanya kalau
dilandasi oleh nafsu dan kepentingan duniawi karena yang timbul darinya
hanyalah ambisi dan perjuangan pribadi dan terjebaklah sang pelaku dalam
nafsu-nafsu duniawinya dan segala ekses-ekses yang timbul dari nafsu itu.
Sebaliknya suatu pekerjaan yang sederhana sifatnya seperti memasak dan menyapu
akan terasa suci dan syahdu kalau dilakukan dengan kesadaran total bahwa itu
juga merupakan kewajiban kita kepadaNya, karena akan turun berkat dan rahmatNya
pada si pelaku pekerjaan ini. Yang Maha Esa tidak memandang kedudukan atau
pekerjaan seseorang, yang dianjurkanNya adalah kesetiaan dan dedikasi kita
kepadanya yang tulus dan tidak ternoda.
18) Mereka-mereka ini memiliki kelembutan hati dan
pikiran. Mereka ini amat penyabar dan pengasih, dan selalu menerima dan sabar
menghadapi segala caci-maki, hinaan, pengkhianatan, dan tindakan-tindakan keji
yang dilakukan oleh orang-orang terhadap mereka, karena mereka sadar bahwa yang
menyakiti mereka ini sebenarnya tidak tahu apa-apa dan “kurang pengetahuannya
atau tersesat jalannya.” Sebaliknya mereka jadi amat pemaaf dan selalu
mendoakan mereka yang menyakiti ini.
19) Mereka-mereka ini amat sederhana dan pemalu sifatnya.
Malu akan berbuat sesuatu yang salah karena yakin akan kehadiran Yang Maha Esa
di mana-mana.
20) Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang tidak mudah
mengubah keputusan atau pemikiran mereka, tidak mudah terpengaruh dan sangat
stabil pendiriannya. Mereka tak mau mencampuri urusan orang lain dan jauh dari
pikiran maupun tindakan yang tak ada artinya.
21) Mereka memiliki teja, yaitu energi, cahaya dan
kharisma yang luar biasa dan penuh dengan kehangatan. Wajah-wajah mereka selalu
simpatik dan memancarkan cahaya kesucian dan kebaikan, ketulusan hati yang luar
biasa. Sang Kreshna, Sang Buddha dan Kristus memiliki wajah-wajah semacam ini.
Salah satu ciri-ciri teja ini adalah rasa respek yang luar biasa yang dimiliki
oleh orang ini, dan juga kejantanan (ketegasan) dalam setiap aspek
tindak-tinduknya yang tak dapat ditawar-tawar. Contoh: Sokrates dari Yunani,
yang tidak mau mundur dari pendiriannya dan lebih baik memilih kematian dengan
meminum racun secara tenang.
22) Mereka adalah manusia atau orang-orang yang memiliki
rasa memaafkan terhadap semua dan sesamanya secara luar biasa. Tak ada
kebencian di dalam diri mereka walaupun untuk mereka yang telah mencoba
menyakiti atau membunuh mereka. Nabi Muhamaad SAW memaafkan musuh-musuhnya.
Kristus memaafkan musuh-musuh dan murid-muridnya. Mahatma Gandhi memaafkan
pembunuhnya dan jauh-jauh telah meramalkan akan dibunuh. Resi Dayanand
memaafkan tukang masaknya yang berusaha meracuni sang Resi. Di era modern ini kita
melihat Sri Paus Yohannes Paulus II memaafkan penembaknya.
23) Mereka memiliki kekuatan luar biasa untuk menghadapi
segala rintangan dan penderitaan hidup ini, dan tidak kehilangan kesabaran (ini
disebut dhriti).
24) Mereka memiliki rasa sancham, yaitu rasa akan
kebersihan. Mereka selalu menjaga agar raga mereka bersih luar dan dalam.
Kebersihan sebenarnya adalah salah satu aspek yang penting dalam agama dan
mendekatkan kita kepadaNya. Pada masa sekarang manusia cenderung untuk
mementingkan peragaan di luar tubuh mereka seperti rias-wajah, wangi-wangian,
busana yang menyolok dan lain sebagainya. Juga banyak diantara kita yang
mengotori tubuh bagian dalam kita dengan merokok, menghisap ganja dan meminum
minuman keras, obat-obatan terlarang dan makanan yang merangsang rubuh. Juga
manusia dewasa ini lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak segar dan
penuh dengan zat-zat yang mengotori dan membahayakan tubuh dari pada
menyehatkan tubuh ini dengan memakan buah-buahan dan sayur-sayuran segar,
menghisap udara segar dan lain sebagainya.
25) Mereka bebas dari rasa iri-hati atau cemburu. Mereka
tak mau berperasangka buruk atau iri-hati pada orang lain atau bahkan berpikir
negatif tentang orang lain. Mereka cukup dengan apapun yang mereka terima dan
selalu berterima kasih kepadaNya. Melihat sukses dan kekayaan orang lain mereka
biasa-biasa saja dan tak terpengaruh sama sekali. Mereka tak dapat melupakan
kebaikan orang lain terhadap mereka walau sekecil apapun kebaikan itu. Mereka
selalu mengabdi demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain baik yang
membutuhkan mereka atau tidak, dan menyatu dalam jiwa dengan yang mereka tolong
ini. Rasa benci dan iri-hati dapat menghancurkan bukan saja kebahagiaan
seseorang tetapi juga menghancurkan kerajaan-kerajaan besar. Lihat saja
bagaimana iri-hati sang Kaikeyi (ibu-tiri sang Rama) membunuh suaminya dan
sekaligus menghantarkan Sang Rama dan Shinta beserta Lesmana ke hutan Dandaka.
Iri-hati dan benci, atau dengki adalah sebenarnya perusak diri dan hidup kita
sendiri.
26) Mereka tidak memiliki rasa sombong atau superior
terhadap orang lain. Rasa sombong atau ahankara ini memang salah satu faktor
yang harus dijauhi setiap manusia, atau tersandung kita nanti dalam perjalanan
hidup spiritual kita.
Kedua-puluh enam faktor atau ciri-ciri khas seseorang
yang telah suci hati dan jiwanya ini disebut daivi-sampad, yaitu harta-benda
sejati seseorang yang suci dan agung, harta Ilahi yang benar dalam melakukan
kehidupan yang sejati.
4. Kemunafikan, mementingkan diri sendiri, iri-hati, rasa
amarah, juga kekasaran dalam pembicaraan dan kebodohan — semua ini, oh Arjuna,
adalah milik seseorang yang lahir dengan sifat-sifat iblis.
Siapakah manusia-manusia yang disebut bersifat sebagai
atau bagaikan iblis ini? Mereka disebut Asura. Dalam salah satu Upanishad
terdapat satu kisah mengenai Prajapati yang pada waktu penciptaan, menciptakan
para dewa (sura) dengan nafas yang dihembuskannya ke atas, dan menciptakan para
asura (raksasa, setan, jin, iblis, dan kuasa-kuasa gelap) dengan nafasnya yang
dihembuskannya ke bawah. Setelah menciptakan para iblis ini maka terciptalah
kegelapan, kebodohan dan keburukan di sekitarnya. Maka disebut bahwa
nafas-bawah tadi adalah nafas dari segala nafsu yang negatif dan kebatilan,
sedangkan nafas-atas adalah nafas dari segala yang baik, agung dan suci. Nafsu
dengan begitu adalah faktor atau hal-hal yang tidak suci di dalam dunia ini,
karena ia adalah getaran atau vibrasi dari ‘jiwa-bawah’ kita sedangkan
‘jiwa-atas’ kita penuh dengan kebajikan dan kesucian. Dengan kata lain,
manusia-manusia yang bersifat asura adalah mereka yang terikat secara duniawi
dengan nafsu-nafsu mereka dan selalu tenggelam dalam kebodohan mereka.
Terikatlah selalu mereka ini dengan dunia dan dengan kelahiran/kematian yang
berkelanjutan terus-menerus.
Karakter atau ciri-ciri khas mereka ini adalah:
(a) Kemunafikan — apa yang mereka tampilkan dalam
tindak-tanduk mereka sehari-hari dalam kehidupan mereka penuh dengan sandiwara,
kepalsuan dan topeng-topeng manis belaka, padahal hati dan jiwa mereka mungkin
terikat pada pikiran dan tindakan-tindakan yang tidak sehat dan selaras dengan
topeng-topeng kemunafikan mereka.
b) Dalam setiap hal, mereka selalu mementingkan diri
mereka sendiri. Mereka ini juga penuh dengan rasa iri-hati dan terbius oleh
harta-benda, milik, kekasih dan kekuasaan mereka.
(c) Mereka ini mudah sekali marah.
(d) Tindak-tanduk mereka maupun cara mereka berbicara
mencerminkan kekasaran dan amat menyakitkan bagi yang mendengarkan.
(e) Mereka-mereka ini jauh dari kebenaran dan kebijaksanaan
yang sejati.
5. Sifat-sifat suci menuntun seseorang ke arah
pembebasan, dan sifat-sifat iblis ke arah keterikatan. Janganlah bersedih, oh
Arjuna, karena dikau lahir dengan sifat-sifat yang suci dan agung.
6. Ada dua jenis makhluk yang diciptakan di dunia ini —
yang suci dan yang bersifat iblis. Yang suci telah dijelaskan secara
terperinci. Sekarang dengarkanlah dariKu, oh Arjuna, mengenai yang bersifat
keiblisan ini.
Dua jenis makhluk hidup atau manusia atau makhluk halus
diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di dunia ini, yaitu yang bersifat suci seperti
yang telah kita baca di atas tadi, dan yang bersifat ke iblis-iblisan. Yang
pertama karena dasar sifat-sifatnya telah bebas dan lepas dari karma-karmanya
dan dari kehidupan/kematian, untuk kemudian langsung bersatu dengan Sang
Pencipta, sedangkan yang kedua akan terikat secara terus-menerus dengan
karma-karmanya dan kehidupan dan kematian, tak bisa lepas dari dunia ini.
7. Mereka-mereka yang bersifat iblis ini tidak sadar akan
arti tindakan atau akan disiplin-disiplin spiritual. Tak mereka miliki kesucian
maupun tindakan-tindakan baik atau pun kebenaran.
8. Mereka berkata bahwa di dunia ini tak ada kebenaran,
tak ada dasar moral, tak ada Tuhan, (dunia) ini tercipta dari penyatuan dua
jenis kelamin yang berlawanan, (dunia) ini adalah produk dari nafsu-nafsu
belaka dan tak ada hal selain itu.
9. Teguh dalam kepercayaan ini, jiwa-jiwa yang tersesat
ini yang pengertiannya tumpul dan tindakan-tindakannya kejam, muncul sebagai
musuh-musuh dan penghancur dunia ini.
10. Menyerahkan diri mereka kepada nafsu-nafsu yang tak
pernah terpuaskan dengan kemunafikan, kedengkian, dan kepentingan diri-pribadi,
tergantung pada ide-ide yang salah akibat ilusi, mereka ini bertindak dengan
itikad-itikad yang tidak bersih.
11. (Mereka) ini terkurung oleh kekhawatiran-kekhawatiran
yang tak terhitung jumlahnya, (mereka) berpikir bahwa pemuasan nafsu-nafsu dan
keinginan sebagai puncak cita-cita mereka, yakin bahwa itulah semua ini.
12. Terperangkap oleh seratus harapan-harapan kosong,
menjadi budak dari nafsu dan kemarahan, mereka menumpuk kekayaan dengan
memuaskan selera-selera panas (mereka) dan melibatkan diri (mereka) dalam
kenikmatan-kenikmatan sensual.
13. “Ini telah kudapatkan hari ini, dan akan kucapai
keinginan itu. Harta ini milikku, harta itu pun akan menjadi milikku.
14. “Musuh ini telah kubunuh, yang lainnya pun akan
kubunuh. Aku lah Tuhan dari segalanya. Aku menikmati diriku sendiri. Aku
makmur, berkuasa dan bahagia.
15. “Aku kaya-raya dan lahir dari derajat yang tinggi.
Adakah seseorang yang sepadan denganku? Aku akan menyelenggarakan
pengorbanan-pengorbanan (yagna), aku akan menyumbangkan dana, aku akan membuat
“pesta-pesta kesenangan.” Begitulah mereka berkata, tersesat dalam kebodohan
mereka.
16. Kacau-balau oleh berbagai pikiran, terperangkap dalam
jala ilusi, terbius oleh kepuasan nafsu-nafsu, mereka tenggelam ke neraka yang
menjijikkan (penuh dengan kotoran yang berbau dan menjijikkan).
17. Terlalu percaya pada diri-sendiri, keras-kepala,
mabuk-kepayang akan kekayaan mereka, mereka melakukan pengorbanan-pengorbanan
untuk pertunjukan belaka, tanpa memperhatikan skripsi-skripsi (suci).
18. Terpaku pada rasa ego, pada kekasaran dan kekuatan,
dan nafsu-nafsu dan rasa marah, orang-orang yang berhati iblis ini membenciKu
yang bersemayam di dalam raga mereka dan di dalam raga-raga yang lainnya.
19. Mereka yang membenciKu dengan cara itu, mereka yang
kejam ini, yang terburuk diantara jajaran manusia, mereka-mereka pelaku
perbuatan iblis ini, Ku giring terus-menerus ke perut para iblis.
20. Terjatuh ke perut-perut iblis, mereka hidup dari satu
kehidupan ke kehidupan yang lainnya, terbungkus oleh kegelapan. Mereka ini
tidak datang kepadaKu, oh Arjuna, tetapi tenggelam ke tempat yang paling dalam.
Mereka-mereka yang memiliki asuri-sampad (sifat-sifat
keiblisan) dan terikat kepada dunia ini mempunyai ciri-ciri khas seperti
berikut:
a. Mereka kurang memiliki rasa perbedaan antara yang baik
dan buruk. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan seharusnya tidak
dilakukan.
b. Tidak atau kurang memiliki rasa kebersihan. Mereka
tidak bersih dalam pikiran maupun dalam menjaga raga mereka.
c. Mereka tidak kenal atau tidak mau kenal atau mengakui
kaidah-kaidah moral atau hukum-hukum moral dan etika dalam kehidupan ini.
d. Mereka jauh dari kebenaran. Mereka penuh dengan
kebohongan dan tipu-daya.
e. Mereka ini umumnya atheis. Bagi mereka alam semesta
atau dunia ini tidak berdasarkan moral, agama atau dasar-dasar spiritual, tanpa
Sang Pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka dunia ini hanya tempat
melampiaskan nafsu-nafsu, dan pikir mereka semua makhluk tercipta dari kesatuan
atau percampuran pria dan wanita, jadi dasar dunia ini bagi mereka adalah
nafsu-nafsu dan kenikmatan duniawi belaka. Itulah hidup dan tujuan mereka dalam
hidup ini.
f. Cara berpikir mereka penuh dengan kegelapan, karena
jiwa mereka telah sesat. Akibatnya daya intelektual mereka menurun.
g. Mereka gemar melakukan pekerjaan-pekerjaan buruk dan
keji yang berada di luar prikemanusiaan. Hidup mereka adalah demi penghancuran
sesamanya, atau makhluk-makhluk lain. Sebenarnya mereka ini adalah musuh dari
dunia dan umat manusia itu sendiri.
h. Kata mereka dunia ini hanya untuk bersenang-senang
saja, dan mereka memasrahkan hidup mereka ke nafsu-nafsu dan kenikmatan yang
tak ada habis-habisnya. Hidup mereka hanya itu dan tak lebih.
i. Mereka adalah orang-orang yang munafik. Untuk mendapatkan
suatu impresi atau keperluan sesuatu, tidak segan-segan mereka menampilkan
wajah-wajah yang lain agar tercapai segala maksud-maksud mereka.
j. Mereka penuh dengan kesombongan
k. Dalam kebutaan pikiran, mereka memegang erat-erat
prinsip hidup yang salah. Contoh: Sang Rahvana yang berpikir tidak ada salahnya
mencuri istri orang lain demi kepuasannya pribadi.
1. Sampai matipun mereka tidak lepas dari rasa khawatir
dan ketakutan yang tak ada habis-habisnya (berbagai ragam sifat-sifat
ketakutan).
m. Motto hidup mereka adalah kenikmatan, dan itulah
tujuan mereka yang tertinggi.
n. Mereka gemar akan perbuatan-perbuatan amoral yang
penuh dengan nafsu dan dosa.
o. Mereka gemar amarah. Selalu murka bahkan hal-hal yang
kecilpun mudah menimbulkan rasa amarah mereka.
p. Mereka mengumpulkan harta-benda mereka secara tidak
halal.
q. Rasa egoisme mereka amat tinggi. Tidak ada yang tidak
dikaitkan dengan “ke-aku-. an”-nya. “Aku ini yang perkasa, yang berkuasa,
berkedudukan, tanpa aku pemerintahan ini tidak jalan, atau perkerjaan ini tidak
terselesaikan. Aku tak ada tandingannya, yang paling hebat dan super dan
terkaya,” dan lain sebagainya. Mereka ini juga takabur dan sering berkata, “aku
ini Tuhan, aku tak pernah sakit, aku tak bisa mati,” dan lain sebagainya. Makin
lama rasa ego dan keserakahannya makin bertambah dan ia makin sering membunuh
orang-orang yang dianggapnya musuh karena ia merasa amat berkuasa dan tak punya
tandingan. Demi nama baik mereka, orang-orang ini tidak segan-segan
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial yagna dan dana, yang sebenarnya hanya
kedok belaka, hanya sandiwara untuk tujuan-tujuan tertentu.
r. Jalan pikiran mereka tak pernah stabil.
s. Mereka terjebak dalam perangkap atau jalan
ketersesatan (kegelapan). Duniawi lebih penting bagi mereka daripada Ilahi.
t. Mereka membenci Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di
dalam diri mereka dan dalam diri orang-orang lain.
Orang-orang yang bersifat iblis ini secara terus-menerus
berkelana dalam lingkaran karma dan lingkaran hidup-mati, dan lahir kembali di
tengah-tengah keluarga yang tak bermoral dan penuh dengan kegelapan. Makin lama
makin turunlah taraf kehidupan mereka dan oleh karma mereka dibawa tenggelam ke
arah kehidupan yang makin rendah tarafnya.
Tetapi Yang Maha Pengasih selalu memberikan kesempatan
kepada mereka-mereka ini, yaitu pembersihan diri melalui berbagai penderitaan
dan kesempatan-kesempatan dalam tahap-tahap evolusi kehidupan mereka ini,
karena di dalam setiap jiwa yang sesat pun bersemayam Sang Atman, Sang Kreshna,
Sang Adhyatman Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang tidak akan segan-segannya
menunjukkan jalan kepada semua makhluk-makhlukNya. Dan lambat laun jiwa-jiwa
yang menderita dan tersesat ini akan tergugah juga memohon Yang Maha Kuasa agar
dibebaskan dari penderitaan dan karma mereka. Dan kalau sudah tiba saatnya yang
tepat, maka Yang Maha Esa pun akan menjatuhkan berkahNya kepada makhluk atau
individu ini dan terbukalah jalan ke arahNya lagi, dan suatu saat mereka-mereka
ini pun akan dapat mengalahkan nafsu-nafsu duniawi mereka dan lepas dari dunia
yang penuh dengan penderitaan ini, menyatu denganNya, Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Om Tat Sat.
Maka, kalau sudah merasa suci atau bersih janganlah
sekali-kali memandang rendah atau hina kepada mereka yang berdosa atau pada
makhluk-makhluk yang tak berdaya, tetapi selalulah menuntun mereka-mereka ini
ke jalan yang benar dengan kasih-sayang yang sejati. Maafkanlah dosa-dosa
mereka seperti yang dilakukan oleh Yang Maha Kuasa terhadap kita juga.
Sebenarnya tidak ada seseorang pun yang berdosa di dunia ini, yang ada hanyalah
orang-orang yang kurang pengetahuannya dan tidak sadar, tersesat oleh
kenikmatan duniawi. Jadi tuntunlah selalu mereka-mereka ini. Yesus Kristus
pernah bersabda, “Tidak ada yang baik selain Tuhan.” Memang benar, hanya Ia
Yang Maha Baik, kita manusia harus selalu belajar untuk menjadi baik dan benar
agar diterima oleh Yang Maha Baik ini. Seorang yang suci dan agung, seandainya
tidak lagi terpakai oleh Yang Maha Kuasa maka ia pasti akan menjadi sampah
lagi, tetapi seorang asura yang menjijikkan akan menjadi suci, sekali Yang Maha
Esa berkenan mengubahnya. Camkanlah hal ini dan jauhikan diri kita dari rasa
jijik, diskriminasi, perbedaan kasta dan derajat. Pandanglah setiap manusia dan
makhluk dengan pandangan yang sama, ingat Yang Maha Esa hadir di mana-mana dan
dalam setiap makhluk, dan la tidak mengenal diskriminasi, maka seharusnya kita
pun bersikap sama. Yang Maha Esa bisa saja mengubah status seseorang sesuai
dengan kehendakNya, maka jangan sekali-kali pongah atau tinggi hati terhadap
seseorang atau dalam suatu situasi tertentu.
21. Terdapat tiga gerbang untuk menuju ke neraka ini,
yang menjadi penghancur dari diri sendiri — nafsu, kemarahan dan keserakahan.
Maka seyogyanyalah manusia membuang jauh-jauh ketiga faktor ini.
22. Seseorang yang telah lepas dari ketiga gerbang
kegelapan ini, oh Arjuna, maka telah selesailah semua kebutuhan-kebutuhannya
dan kemudian (ia) mencapai tujuan yang tertinggi.
Ada tiga pintu gerbang kegelapan, yang diartikan juga
sebagai tiga pintu masuk utama ke neraka, yaitu nafsu, rasa amarah dan
keserakahan atau rasa iri. Nafsu (kama) atau keinginan yang beraneka-ragam ini
sebenarnya adalah pemuasan membabi-buta untuk indra-indra kita. Sedangkan rasa
amarah timbul kalau jalan ke arah pemuasan nafsu-nafsu ini terhalang.
Keserakahan atau lobha adalah salah satu nafsu untuk memperkaya diri sendiri
dengan obyek-obyek duniawi baik secara material maupun secara psikologis dan
demi memenuhi nafsu indra-indra dan pribadi. Raga kita sebenarnya diciptakan
agar menjadi instrumen atau alat yang dapat memenuhi kebutuhan akan potensi
spiritual kita, agar tercapai kembali kesatuan antara kita dan Sang Pencipta.
Tetapi kalau diberikan kebebasan dan fasilitas untuk memilih sendiri tujuan
kita, maka banyak manusia akan tersesat dan menggunakan raga mereka demi tujuan
nafsu-nafsu belaka, tanpa sadar bahwa di dalam tubuh dan otak kita tersimpan
potensi spiritual yang amat luarbiasa yang sekiranya digunakan secara benar
akan menimbulkan keajaiban-keajaiban dan keadaan yang memungkinkan kita
mencapai Yang Maha Esa dengan lebih sempurna lagi. Faktor potensial ini sering
lepas dari jangkauan manusia dan kita melaju makin dalam ke arah kegelapan yang
tak ada ujung-ujungnya, mengembara dari satu neraka ke neraka yang lainnya,
tanpa akhir.
Dunia dan isinya ini sebenarnya diartikan sebagai
ekspresi dari kesucian dan keagungan Yang Maha Esa, dari cinta-kasih dan
saling-menolong atau menunjang diantara sesamanya, agar tercapai kedamaian,
keharmonisan dan kehidupan yang layak bagi semuanya. Tetapi kalau semua potensi
dan kekayaan alam semesta ini dipakai manusia hanya untuk memuaskan
pribadi-pribadi manusia-manusia itu sendiri, dan manusia itu kemudian
mengabaikan semua kebahagian, keagungan dan kekayaan yang telah disediakan Yang
Maha Kuasa, maka tak ada jalan lain, silahkan menuju ke arah neraka yang paling
dalam. Selama manusia mengeksploitasi nafsu-nafsu dan dirinya sendiri, merusak
alam dan makhluk lain sesamanya dengan nafsu-nafsu ini maka selama itu pula
manusia ini akan menjurus kelingkaran setan yang tak ada habis-habisnya.
Dan ingatlah seandainya anda berjalan di jalan nafsu dan
keserakahan maka anda akan menghadapi oposisi dari pihak yang lain, karena anda
sedang berjalan di jalan yang salah. Jalan salah ini berarti anda sedang
melawan Hukum Abadi yang hadir di alam semesta ini, yang tak nampak tetapi
selalu ada dan berkuasa. Dan sekali atau terus-menerus anda mendapatkan
perlawanan ini, maka anda akan meledak dengan kemarahan yang dahsyat, anda akan
membenci dan secara brutal menyerang mereka-mereka yang beroposisi terhadap
anda. Selama itu anda boleh yakin bahwa anda sedang diikat erat-erat oleh
keterikatan duniawi ini, dan itu berarti anda sedang melaju cepat ke neraka
yang dalam.
23. Seseorang yang telah mengabaikan shastra-vidhi
(kaidah-kaidah suci yang terdapat di skripsi-skripsi suci agama Hindu),
mengikuti dorongan-dorongan nafsu — maka orang ini tidak mencapai kesempurnaan,
tidak juga kebahagiaan yang benar, tidak juga tujuan yang tertinggi.
24. Maka seyogyanyalah, jadikanlah kaidah suci ini
sebagai pedoman untuk mengambil sesuatu putusan tentang apa yang harus
dilakukan dan apa yang tak harus dilakukan. Sadar akan apa yang telah
disabdakan oleh kaidah-kaidah suci ini, bekerjalah dikau, oh Arjuna,
pekerjaanmu di dunia ini.
Agar jauh dari gerbang-gerbang kegelapan ini, maka
seyogyanyalah manusia menjauhi dan mengendalikan diri mereka dari semua
nafsu-nafsu dan berpedoman pada skripsi-skripsi suci yang memuat hukum atau
kaidah suci bagi kesejahteraan manusia. Hukum atau kaidah suci yang dikandung
oleh kitab-kitab (shastrci) suci Hindu semenjak masa silam adalah sumber
pengetahuan yang suci dan agung yang tak ada habis-habisnya, dan merupakan
penerangan di jalan kegelapan kita. Dengan kata lain, tidak usah jauh-jauh
mencari sumber kaidah atau hukum suci ini, Bhagavat Gita adalah intisari dari
semua Veda-Veda yang ibarat sebuah sumur yang tak pernah sarat airnya kalau
kita ingin berbicara tentang kaidah-kaidah suci dari agama Hindu ini.
Berpedoman pada ajaran Bhagavat Gita manusia akan lepas dari
keterikatan-keterikatan duniawinya secara tuntas, kalau mau kita betul-betul
menghayati ajaran dan sabda-sabda Sang Kreshna, seperti sloka di atas, “sadar
akan apa yang telah disabdakan oleh kaidah-kaidah suci ini, bekerjalah dikau,
oh Arjuna, pekerjaanmu di dunia ini.” Yang Maha Esa tidak melarang kita
bekerja. Ia malahan menganjurkannya dengan jalan yang benar bekerja tanpa
pamrih demi Ia semata. Sadarlah akan hal ini wahai manusia, kebahagiaan akan
kehidupan ini dan Yang Maha Esa itu sendiri sebenarnya ada diantara kita-kita
ini juga, Mengapa melangkah jauh-jauh dari ini semua? Om Tat Sat.Dalam
Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog
antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah bab yang keenam-belas yang
disebut: Daivasura Sampad Vibhaga Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang Perbedaan
antara Sifat Yang Suci dan Sifat Iblis.
Bab 17 – Tiga Jenis Kepercayaan
Berkatalah Arjuna:
1. Mereka yang tidak kenal akan kaidah-kaidah suci ini,
tetapi mempersembahkan pengorbanan dengan kepercayaan (iman) –bagaimanakah
keadaan mereka ini, oh Kreshna? Apakah (mereka) ini tergolong sattva, raja atau
tama?
Timbul pertanyaan yang wajar di dalam hati sang Arjuna,
apakah perlu kita semua belajar tentang hukum atau kaidah-kaidah yang dikandung
oleh skripsi kuno dan buku-buku suci lainnya? Apakah Bhagavat Gita sendiri
tidak cukup atau memadai? Dan bagaimana dengan nasib mereka yang beriman tetapi
tidak pernah membaca atau mengetahui tentang naskah atau skripsi-skripsi kuno
ini? Sebenarnya hukum ini — karena sifatnya yang abadi, spiritual dan alami —
secara otomatis akan bekerja sendiri. Tidak penting apakah setiap orang yang
beriman itu pernah mendengar atau tidak akan hukum/kaidah ini. Sesuai dengan
karuniaNya maka seseorang yang beriman akan belajar sendiri atau dengan kata
lain mendapatkan sendiri semua kaidah-kaidah suci ini secara bertahap, dan ia
akan memahami itu semua dengan baik. Yang penting, kita ini (setiap individu)
harus jujur pada diri sendiri, dan walaupun tak pernah mendengar tentang
sastra-sastra ini, seorang yang telah terpanggil ke jalanNya akan secara
otomatis mempelajari dan mempraktekkan secara langsung semua kaidah dan
hukum-hukum suci ini, sesuai dengan hati nuraninya, karena memang hukum ini
sifatnya amat universal dan alami. Arjuna yang khawatir akan nasib seseorang
yang beriman tetapi tidak kenal kaidah-kaidah suci ini, sebenarnya tidak perlu
khawatir, karena yang penting adalah penghayatan dan pengamalan kaidah-kaidah
itu sendiri secara tulus, dan bukan dengan membaca atau mengetahuinya. Kaidah-kaidah
itu sendiri secara tulus, dan bukan semua itu datang dari Satu Tuhan Yang Maha
Esa dan Maha Pengasih dan Penyayang. Walau nampaknya kaidah-kaidah ini
berlainan dalam berbagai ajaran agama, ajaran moral, kebatinan dan hukum tetapi
intisarinya selalu Manunggal, yaitu Satu, dan semua itu selalu berporos dan
kembali kepadaNya juga. Om Tat Sat.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Kepercayaan manusia (makhluk yang dapat binasa), yang
lahir dari sifat-sifat mereka terbagi dalam tiga bagian — sattvik, rajasik dan
tamasik. Dengarkanlah oleh mu semua ini.
3. Iman seseorang, oh Arjuna, adalah berdasarkan sifat
seseorang itu. Manusia dibentuk oleh imannya: begitu imannya, begitu juga
manusianya.
Shradda, atau iman atau kepercayaan, adalah ekspressi
dari setiap sifat sejati atau asli dari individu itu sendiri yang sudah diatur
oleh karma-karmanya. Begitu sifatnya, begitu juga prilaku orang itu.
Kepercayaannya akan Yang Maha Esa, otomatis terpancarkan sesuai dengan
sifat-sifat asli setiap individu yang tentunya berbeda-beda dari setiap manusia
ke manusia yang lainnya, dan faktor ini juga akan membeda-bedakan prilaku
manusia tersebut. Dan ada tiga golongan kepercayaan pada setiap makhluk yang
hidup, terutama yang disebut manusia (makhluk yang juga dapat binasa), yaitu
sattvik (dari sattva), rajasik (dari raja) dan tamasik (dari tama), yang hadir
secara berbeda-beda dan dominan dalam bentuk dan kekuasaannya masing-masing.
4. Manusia-manusia yang bersih memuja para dewa,
manusia-manusia yang bernafsu memuja para yaksha dan para rakshasa, dan yang
lainnya, yaitu manusia-manusia yang berada dalam kegelapan — memuja hantu-hantu
dan roh-roh yang bergentayangan.
Shradda (iman) yang bersifat sattvik ini menunjukkan
kemurnian atau kesucian orang-orang dengan sifat ini, yaitu memuja Tuhan Yang
Maha Esa atau para dewa-dewa yang dianggapnya Tuhan atau pengganti Tuhan. Dan
sewaktu ajal mereka tiba, mereka ini pergi ke tujuan pemujaan mereka sesuai
dengan imannya masing-masing. Mereka ini dapat saja mencapai penerangan atau
nirvana pada akhir hayat mereka. Sifat-sifat rajasik adalah sifat-sifat yang
penuh dengan energi. Iman rajasik adalah iman yang penuh energi, nafsu dan
keinginan-keinginan bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, harta-benda,
sukses dan lain sebagainya. Mereka-mereka yang punya kepercayaan rajasik ini
memuja para yaksha (dewa-dewa pemberi harta dan kesejahteraan duniawi) dan para
rakshasa (setan dan iblis). Sedangkan sifat-sifat tamasik adalah sifat-sifat
kegelapan total yang dimiliki oleh mereka-mereka yang kurang sekali
pengetahuannya akan kebesaran Yang Maha Esa, mereka amat serakah dan tidak
suci, amat sensual, malas dan penuh akan sifat-sifat gelap lainnya. Demi hasrat
dan jalan pintas ke sukses dan pencapaian kesejahteraan duniawi ini mereka
memuja roh-roh yang sesat, hantu, jin dan kuasa-kuasa gelap yang cepat
mendatangkan kenikmatan bagi mereka.
5. Manusia-manusia yang menjalankan disiplin-disiplin
spiritual secara negatif, yang tidak dianjurkan oleh skripsi-skripsi suci, yang
telah terbiasa dengan kemunafikan dan rasa egoisme dan telah terseret oleh
kekuatan nafsu dan keinginan (duniawi).
6. Manusia-manusia semacam ini tak memiliki akal-budi.
Mereka merusak elemen-elemen raga mereka dan Aku yang bersemayam di dalam raga
ini. Ketahuilah bahwa orang-orang ini berpikiran iblis.
Cara pemujaan juga merefleksikan iman atau shraddha ini.
Dan seandainya seseorang memuja sesuatu unsur alami atau yang lainnya dengan
menyiksa tubuh mereka atau merusak tubuh ini dengan sesuatu ritus-ritus
tertentu, maka tapa, pemujaan atau usaha spiritual ini tidaklah suci sifatnya,
tidak sinkron dengan kaidah-kaidah suci yang tertera di kitab-kitab suci Hindu
kita ini; mereka yang merusak raga mereka demi kepuasan duniawi ini sebenarnya
merusak “kuil yang suci,” kuil Sang Kreshna yang dilahirkan sebenarnya dengan
tujuan yang suci, yaitu menyembah dan mengenal Yang Maha Esa dan bukan menjadi
budak dari nafsu mereka. Raga ini pantang untuk dirusak karena sebenarnya bukan
milik kita dan seharusnya dipergunakan untuk maksud-maksud yang positif, dan
seandainya orang-orang ini masih saja merasa lebih benar dari yang dianjurkan
oleh skripsi-skripsi ini, maka manusia semacam ini adalah manusia yang egoistik
dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan menghalalkan segala cara demi
tercapainya maksud-maksud duniawi mereka.
7. Pangan yang diperlukan oleh semua makhluk terdiri dari
tiga jenis. Begitupun bentuk pengorbanan, tapa dan dana. Dengarlah
perincian-perinciannya.
8. Makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang
kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut,
penuh dengan gizi dan sesuai, disukai oleh orang-orang yang bersifat sattvik.
9. Makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas,
berbau, kering dan membakar, yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan
penyakit disukai oleh mereka-mereka yang bersifat rajasik.
10. Makan yang tak segar, tak berasa, basi, cacat, tidak
bersih adalah jenis makanan yang disukai oleh orang-orang yang bersifat
tamasik.
Makanan yang dimakan seseorang pun merefleksikan karakter
seseorang itu sendiri, yang didasarkan pada iman orang itu sendiri
sesungguhnya. Seperti juga iman atau kepercayaan yang terbagi tiga, maka jenis
makanan pun dibagi tiga:
a. Makanan sattvik, makanan jenis ini menambah
kewibawaan, intelegensia, intelektualitas, kekuatan, kesegaran, kesehatan,
kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Makanan jenis
ini adalah yang mudah dimakan, beraroma, manis, mengandung cairan seperti
sari-buah dan buah-buahan; menyehatkan dan sesuai dengan mereka-mereka yang
bertemparamen sattvik. Contoh: gandum, beras, kacang-kacangan, mentega, susu,
produk dari ternak (bukan daging ternak), buah-buahan dan sayur-sayuran segar
dan matang.
b. Makanan rajasik adalah jenis makanan untuk
mereka-mereka yang penuh dengan nafsu dan keinginan-keinginan duniawi, yaitu
jenis-jenis makanan yang rasanya pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau,
keras dan menyengat seperti opium, tembakau, tamarin, cabai, gandum yang
dibentuk alkohol dan lain sebagainya. Makanan sejenis ini menimbulkan sakit,
penderitaan dan kesusahan.
c. Makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai oleh
mereka-mereka yang hidup dalam kegelapan dan berpikiran gelap dan iblis. Mereka
ini menggemari makanan yang tidak dimasak dengan baik, yang kotor, yang tidak
ada rasanya, cacat, basi, tidak dapat digolongkan suci atau bersih. Contoh:
daging, ikan, bawang, telur, daging-mentah, buah-buahan dan sayur-sayuran yang
diasamkan, alkohol dan sisa-sisa makanan orang lain. Juga makanan hasil korupsi
dan kejahatan termasuk golongan ini.
Makanan yang disantap kita seharusnya adalah makanan yang
menyehatkan dan membersihkan diri kita. Hasil kerja kita yang halal adalah
sattvik, dan seandainya kita memakan sesuatu dari uang hasil korupsi atau
pekerjaan haram lainnya, dan seandainya kita menerima sesuatu pemberian atau
makanan dari seseorang yang jelas-jelas kita ketahui uangnya berasal dari uang
yang tidak jujur atau tidak halal, maka yang dimakan itu tidak sattvik. Sebuah
pepatah Jerman mengatakan, “Seorang manusia adalah apa yang ia makan!” Dan ini
memang benar adanya, karena berdasarkan makanan yang kita konsumsikan kemudian
timbul berbagai jenis pikiran di dalam benak. Pikiran, jiwa dan hati kita, dan
semua pikiran ini, kemudian menghasilkan berbagai aktivitas yang berhubungan
dengan kehidupan kita. Jadi berhati-hatilah akan apa yang kita makan atau
konsumsikan. Makanlah sesuatu dari orang-orang yang sifat dan rasa
magnetismenya suci dan bersih. Seseorang yang pantas dimakan makanannya adalah
ibu kita sendiri, istri yang berbakti, putri, saudara perempuan dan guru kita
sendiri. Dan secara mental selalu mempersembahkan makanan ini sebagai ahuti
(persembahan) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara ini makanan yang dimakan
ini akan memberikan kekuatan untuk pekerjaan kita dan juga untuk amal kita bagi
semuanya. Dan sewaktu bersantap harap diperhatikan bahwa suasana di sekitar
tempat makan ini tenang dan tidak berisik. Makanlah dengan diam-diam tanpa
banyak berbicara, jauhkanlah pikiran dan pembicaraan yang tidak perlu. Ini
penting sekali baik untuk segi kejiwaan maupun kesehatan badani. Cobalah!
11. Persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat sattvik,
seandainya dipersembahkan sesuai dengan kaidah-kaidah suci, oleh orang-orang
yang tidak menginginkan suatu imbalan, dan yang percaya dengan teguh bahwa
persembahan (atau pengorbanan) ini adalah wajib sifatnya.
12. Persembahan (atau pengorbanan) yang dipersembahkan
dengan maksud untuk mendapatkan suatu imbalan tertentu atau demi suatu
pertunjukkan belaka adalah persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat rajasik
(penuh nafsu), oh Arjuna.
13. Persembahan (atau pengorbanan) yang tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah suci, di mana tak ada makanan yang dibagikan, tak ada
mantra-mantra yang diucapkan, dan tak ada dana atau hadiah yang diberikan, yang
kosong akan iman, adalah bersifat tamasik (gelap).
Pengorbanan atau persembahan pun berhubungan dengan
karakter asli dari para pemuja, dan terdapat tiga kualifikasi dari persembahan
atau pengorbanan ini:
a. Persembahan yang bersifat sattvik dilakukan oleh
seseorang karena merasakan adanya kewajiban berdasarkan kewajibannya terhadap
Yang Maha Esa dan kaidah-kaidah suci. Persembahan atau pengorbanan ini
dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan suatu keuntungan tertentu.
b. Persembahan secara rajasik adalah persembahan atau
pengorbanan yang tidak tulus karena dilakukan dengan mengharapkan pamrih atau
untuk suatu tujuan tertentu. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan demi
mendapatkan kemasyhuran dan ada juga yang demi memamerkan kekayaan dan
kekuasaan seseorang.
c. Persembahan secara tamasik adalah persembahan tanpa
iman, yang dilandasi akan maksud-maksud gelap. Persembahan atau pengorbanan ini
bertolak belakang dengan ajaran-ajaran suci.
14. Pemujaan kepada para dewa, kepada yang lahir dua
kali, kepada para guru, dan kaum bijaksana; kemurnian, kejujuran (yang tidak
ditutup-tutupi), disiplin spiritual bagi diri, dan tidak menyakiti siapapun —
inilah yang disebut sebagai tapa-tapa bagi raga ini.
15. Kata-kata (wicara) yang tidak menyakiti seseorang,
yang jujur, menyenangkan dan menguntungkan, dan mempelajari buku-buku suci
secara konstan – inilah yang disebut sebagai tapa-tapa wicara ini.
16. Ketenangan pikiran, kelembutan, diam-diri,
kendali-diri, berpikir (dan juga merasa) secara baik dan murni – inilah yang
disebut tapa-tapa pikiran ini.
Tapa atau disiplin spiritual bagi seseorang pun dibagi
tiga. Tapa yang benar adalah disiplin diri yang dilakukan pada raga, kata-kata
(mulut dan pembicaraan) dan pikiran kita masing-masing sebagai berikut:
a. Tapa atau disiplin pada raga itu adalah dengan
menyembah dan memuja kepada Yang Maha Esa secara teratur dan konstan; menyembah
dan bekerja untuk para guru dan orang-orang yang bijaksana yang menjadi tempat
kita belajar, kepada para pendeta dan Brahmin yang kita hormati dan pada
individu-individu yang agung dan suci ajaran-ajarannya. Dalam tapa untuk raga
ini tercakup juga disiplin yang kuat dalam membersihkan tubuh kita dari berbagai
kekotoran duniawi dan juga benda-benda lainnya yang dapat membuat kita sakit.
Juga kendali pada semu; indra-indra sensual kita adalah salah satu dari
tapa-raga ini. Menjaga kesehatan raga kita dari berbagai kemungkinan terkena
penyakit kotor dan penyakit-penyakit lainnya, berolah-raga secara teratur,
berekreasi ke alam bebas, bermeditasi adalah tapa atau disiplin bagi raga kita,
yang amat vital dan penting efeknya pada kehidupan spiritual kita.
Juga termasuk dalam tapa-raga ini, ialah kualitas-kualitas
atau sifat-sifat seperti keterus-terangan atau kejujuran, tidak menyakiti
sesama makhluk dan usaha-usaha bramacharya, yaitu mendisiplinkan diri dan raga
kita agar jauh dari nafsu-nafsu badani. Jauhkanlah kemanjaan dalam hidup ini,
hiduplah secara sederhana saja dai lebih alami. Jangan berpikir semasih ada
pergunakan saja kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan Tuhan kepada
kita, kemudian dengan landasan pemikiran semacam ini, kita berfoya-foya atau
hidup yang mewah dan penuh dengan kenikmatan duniawi. Tetapi berpikirlah selama
diberi kesempatan dan fasilitas ini kita malahan menggunakan secara minim dan
yang perlu saja, dan ingat Yang Maha Esa tidak pernah menciptakan uang, rumah,
AC, mobil dan benda-benda mewah lainnya, yang menciptakan semua ini adalah
manusia. Yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa adalah alam, jadi kembalilah ke
alam yang tak ada habis-habisnya ini, di alam yang murni ini terletak
kebahagiaan dan obat kita untuk mengatasi semua problem kita. Semua yang
nampaknya mewah dan praktis ini sebaliknya malahan membuat raga kita sakit
karena kurang gerak dan jadilah kita budak dari semua milik kita yang
mewah-mewah ini dan timbullah efek dari semua ini yang biasanya membuat
kehidupan kita makin tergantung kepadanya, dan bukan sebaliknya. Padahal tubuh
dan pikiran kita diciptakan sedemikian rupa agar makin banyak gerak dan semakin
alami hidup kita maka semakin sehatlah raga dan pikiran kita akhirnya. Jauhilah
dan kurangilah pembantu rumah-tangga yang berlebihan jumlahnya, sebisa mungkin
kita bekerja sendiri semua urusan rumah-tangga kita dan bergeraklah semaksimum
mungkin sambil bekerja. Inilah salah satu tapa-raga kita yang sehat dan sattvik
sifatnya.
b. tapa-wicara atau disiplin pada kata-kata atau
pembicaraan kita adalah disiplin diri kita dalam bertutur-kata. Jauhilah
bualan-bualan kosong maupun kata-kata yang penuh dengan nada kebanggaan,
sombong dan egois. Selalu berkata sejujur mungkin, tulus dan mengutarakan
kata-kata yang baik, lembut dan bermakna, yang menyejukkan hati yang
mendengarkannya. Sebuah pepatah Jepang mengatakan, “Satu kata yang lembut,
menyejukkan tiga bulan musim panas.” Kata-kata yang jauh dari nafsu dan
kekotoran adalah kata-kata yang harus selalu melekat pada bibir dan pikiran
kita. Gunakanlah selalu kata-kata yang dapat menolong seseorang yang
memerlukannya, (nasehat-nasehat) dan Jauhilah argumen-argumen yang menunjukkan
rasa egoisme yang pribadi, seperti “ini punyaku, ini aku yang melakukannya, dan
lain sebagainya.” Jauhilah kata-kata kasar dan didorong rasa amarah. Dekatilah
Ia selalu setiap saat, setiap waktu baik sedang bekerja maupun tidak, dan
selalu mengucapkan doa-doa, mantra-mantra suci dan “berdialoglah denganNya baik
secara verbal maupun secara mental. Inilah tapa-wicara yang penting dilakukan
kita semua, demi tercapainya disiplin spiritual kita yang lebih tinggi, yaitu
disiplin kepada dan bagiNya.
c. Tapa-jiwa (atau pikiran) adalah: (1) Selalu membuat
pikiran kita gembira dan balans (stabil) dengan menenangkan diri dan mencari
ketenangan baik di tengah-tengah kesibukan maupun ketika sedang seorang diri.
(2) Kelembutan atau ramah-tamah, tetapi ini tidak berarti kelemahan atau rasa
pengecut, tetapi bersikap ramah, baik dan terus-terang, tenang dan welas-asih
terhadap semua makhluk, manusia dan benda-benda. (3) Diam-diri atau tenang-diri
tidak berarti kita harus bermeditasi sepanjang hari, atau diam seperti patung,
atau bagaikan orang-mati dan tidak bergerak sama-sekali, atau juga lari dari
pekerjaan dan kewajiban kita sehari-hari, melainkan berarti mengusahakan setiap
harinya untuk sejenak meluangkan waktu kira-kira 10 menit atau satu jam, dan
duduk bermeditasi atau “berdialog” dengan Yang Maha Esa secara tenang dan tidak
terganggu. Ini baik untuk menjauhkan stress dan berbagai problem, tetapi lebih
baik secara spiritual karena akan makin mendekatkan kita kepadaNya secara
lambat laun tapi pasti. Hal ini dapat dilakukan di kantor, rumah, di toko, atau
sambil berolah-raga jalan kaki misalnya, sambil berdiri di suatu tempat secara
tenang dan lain sebagainya. Yang Maha Esa dapat dihubungi dengan cara apa saja
dan di mana saja karena Ia Maha Hadir di alam semesta ini. Yang penting
luangkan waktu sejenak pada waktu-waktu tertentu atau secara bebas, dan
berusaha tenang dan menyatu denganNya. (4) Kendali pada pikiran dan (5)
membersihkan perasaan kita. Kedua hal terakhir ini berarti janganlah berpikir
yang tidak-tidak atau berspekulasi atau mencurigai sesuatu atau seseorang.
Tetapi fokuskanlah diri padaNya selalu dan banyak berpikirlah mengenai hal-hal
yang positif dan suci, dan yang tidak merusak jiwa dan mental kita. Seperti
raga yang harus dibersihkan setiap hari dengan air bersih, maka jiwa dan
pikiran kita pun harus dimandikan dan dibersihkan dengan selalu berpikir
tentang Yang Maha Esa dan hal-hal yang positif, bersih, murni dan baik untuk
semua yang di sekitar kita dan di seluruh alam semesta ini, dengan doa-doa dan
mantra-mantra suci bagi semuanya (di alam semesta ini).
17. Ketiga tapa (di atas) ini disebut sattvik, seandainya
dilaksanakan dengan iman yang tinggi oleh mereka-mereka yang stabil pikirannya
dan tanpa mengharapkan pamrih.
18. Tapa-tapa yang dilakukan demi peragaan atau
pertunjukan yang penuh dengan rasa kesombongan agar mendapatkan rasa hormat,
kemasyhuran dan agar dipuja orang, disebut sebagai tapa-rajasik, tapa ini tidak
stabil dan hanya sementara sifatnya.
19. Tapa-tapa yang mengakibatkan penyiksaan pada
diri-sendiri atau pada orang (dan makhluk lainnya), yang dilaksanakan oleh
mereka yang pikirannya telah tersesat disebut sebagai tapa tamasik.
Tapa atau disiplin diri secara sattvik adalah
kendali-raga, wicara dan pikiran dengan penuh iman dan tanpa keserakahan.
Sedangkan tapa yang bersifat rajasik mengarah pada rasa-hormat dan kemasyhuran
dan bermotifkan sesuatu, jadi tidak tulus dan selalu mengharapkan imbalan. Tapa
tamasik bahkan merusak diri atau orang dan makhluk lain. Disiplin yang amat
keras dan fanatik, yang merusak diri sendiri tidak dianjurkan karena sebenarnya
secara spiritual malahan tidak spiritual sama sekali dan tidak mengarah kepada
pembebasan (mukti) dan Yang Maha Esa. Memang disiplin semacam ini dapat
menghasilkan kekuatan-kekuatan gaib tertentu baik secara ragawi maupun secara
batin, tetapi semua kekuatan-kekuatan ini sebenarnya adalah hambatan-hambatan
yang besar ke arah jalan spiritual yang sejati dan penerangan Ilahi tidak akan
turun karenanya. Sebaliknya yang timbul akibat kesaktian-kesaktian ini adalah
rasa sombong dan ego yang baru sifatnya. Jadi supaya tidak sia-sia jalan
spiritual kita, dianjurkan untuk secara sederhana saja memuja Yang Maha Esa;
dan kekuatan gaib yang datang sendiri karena karuniaNya saja yang boleh
dipergunakan untuk tujuan-tujuan manusiawi dan demi Yang Maha Esa tanpa pamrih.
Puasa yang berkepanjangan dan menyiksa diri, kemudian
praktek-praktek atau ritus-ritus yang merusak tubuh, yang menyiksa tubuh, tidak
pernah dianjurkan oleh guru-guru maupun ajaran-ajaran suci di dunia ini. Lebih
baik melakukan suatu disiplin diri yang tidak terlalu keras dan bersifat kejam,
tetapi tidak juga yang santai-santai sifatnya. Yang dianjurkan dengan disiplin
ini adalah pengendalian dan nafsu-nafsu kita yang kalau tidak diajarkan yang
baik akan selalu bergentayangan ke arah obyek-obyek sensual. Semua disiplin ini
juga sebenarnya mengajarkan kita untuk membersihkan dan menguatkan diri dan
jiwa kita, guna menghadapi semua cobaan hidup sehari-hari, semua suka dan duka,
semua kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan penderitaan secara stabil. Bukankah
hidup kita sehari-hari tidak lain dan tidak bukan ibarat ujian-ujian yang berat
saja. Semua itu bisa dihadapi secara stabil dan teguh, jika kita terbiasa akan
disiplin diri ini. Setiap tindakan disiplin diri yang sejati seharusnya
menghasilkan suatu tekad yang kuat dalam berbagai tindakan dan pemikiran kita,
menghasilkan suatu rasa kasih-sayang yang positif terhadap semua makhluk dan
sesama kita yang menderita, menjauhkan kita dari rasa ego, rasa marah, dan
keinginan-keinginan pribadi kita yang selalu tak pernah kunjung habis.
Suatu tapa yang baik dan sejati akan menghasilkan
seseorang yang tegar imannya, yang aktif bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa
tanpa pamrih, yang aktif menolong siapa saja tanpa pamrih, yang aktif
berekreasi dan berolah-raga secara sehat, yang berkewajiban penuh kepada semua
kewajiban-kewajibannya di lingkungannya, di negaranya dan tempat-tempat yang
berhubungan dengan orang itu sendiri, terutama kewajibannya kepada Yang Maha
Esa. tapa yang sejati menghasilkan sesuatu yang amat besar nilainya secara
spiritual dan kejiwaan bagi seseorang yang melakukannya secara sejati. Sukar
dilukiskan ketenangan orang semacam ini, sukar dikatakan akan kekuatan jiwanya,
karena ketegaran dan kepasrahannya pada Yang Maha Esa akan menghapus semua rasa
takutnya pada apapun juga di dunia ini selain Yang Maha Esa. Kalau ada yang
ingin anda salibkan atau kuburkan sebelum kita ini binasa, maka saliblah atau
kuburkanlah pikiran dan jiwa anda yang penuh polusi, agar jauh dari
kekotoran-kekotoran duniawi. Dengan jiwa dan pikiran yang terkendali, bersih
dan murni akan dihasilkan raga perbuatan yang bersih, suci, murni dan bebas
dari polusi duniawi. Jauhilah unsur-unsur kenikmatan yang berlebihan dan juga
unsur-unsur yang memancing kenikmatan-kenikmatan ini, kendalikan diri,
pergunakan semua fasilitas yang diberikan olehNya secukupnya saja sesuai
kebutuhan kita, dan jangan sekali-kali menghamburkan tenaga, pikiran dan
fasilitas anda pada semua yang berbau duniawi ini. Kibarkanlah panji-panji
kebajikan mulai dari diri kita sendiri, dan bertapa atau berdisiplin dirilah
secara sejati dan murni, inilah penyaliban atau penguburan diri kita yang
sejati.
Kita pun harus belajar untuk menjadi miskin dalam hidup
ini, bukan berarti lalu setiap orang mengubah dirinya menjadi peminta-minta,
tetapi baik penampilan dan kehidupan sehari-hari diubah sederhana. Pola hidup
sederhana jangan hanya dijadikan semboyan pemanis bibir saja, tetapi harus
dilaksanakan secara lahir dan batin, dimulai sebaiknya semenjak dini. Dan ini
adalah tanggung-jawab orang-orang tua sebenarnya dalam mendidik dan membesarkan
anak-anaknya. Seandainya anda seorang yang hartawan, mulailah berdisiplin diri
dengan tinggal di sebuah rumah yang sederhana saja tetapi baik dan sehat
lingkungannya, berpakaian dan makan secara sederhana saja tetapi sehat dan
penuh gizi, dan bersifat makanan sattvik, karena yang penting adalah berpikir
dan bertindak sattvik. Seharusnya kita menyadari bahwa manusia ini sebenarnya
amat miskin, karena sewaktu lahir kita dikirim ke dunia ini dalam keadaan
telanjang-bulat dan sewaktu mati nanti apa yang akan kita bawa serta? Semua ini
hanya pinjaman dan ilusi saja, sebenarnya hanya penunjang saja untuk kehidupan
kita, lalu untuk apa serba mewah dan gemerlapan, kalau yang terpakai hanya sekedar
saja dan sisanya dalam jumlah yang besar hanya sebagai dekor dan penghias
belaka? Sewaktu berlebihan inilah kita belajar hidup sederhana, agar di
kemudian hari sewaktu mengembalikan semua ini kita sudah siap sedia sama
seperti kita datang ke dunia ini.
Intisari dari semua tapa dan disiplin diri spiritual ini
ialah: Disiplin dan kendalikan diri anda sebegitu rupa agar anda jauh dari rasa
memiliki, rasa ego, dan rasa pamrih. Hanya Yang Maha Esa saja yang seharusnya
tampil sebagai tujuan kita bekerja, dan hanya Ia saja terpikir senantiasa dalam
jiwa sanubari kita, kosongkanlah, sekosong-kosongnya jiwa dan pikiran kita dari
semuanya yang berbau duniawi. Kalau sudah kosong secara sejati, maka Yang Maha
Esa akan mengisinya!
20. Pemberian yang diberikan, terdorong oleh rasa
kewajiban, kepada seseorang tanpa mengharapkan sesuatu kembali, dan diberikan
di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat dan kepada orang yang
membutuhkannya –pemberian ini disebut sattvik (bersih).
21. Bila suatu pemberian diberikan dengan itikad
mendapatkan sesuatu imbalan atau dengan harapan bahwa di kemudian hari akan ada
balasannya, atau diberikan secara tidak ikhlas – pemberian ini disebut rajasik
(bersifat mementingkan diri sendiri).
22. Pemberian yang diberikan pada tempat dan waktu yang
salah atau kepada orang yang tak pantas menerimanya, atau diberikan tanpa rasa
hormat atau dengan diiringi caci-maki — pemberian ini disebut tamasik (gelap).
Terdapat tiga jenis pemberian dana atau perbuatan amal
yang jelas diperinci di atas, yang masing-masing didasarkan pada sifat-sifat
seseorang. Seperti kata Nabi Muhammad SAW, maka sebenarnya memberikan dana atau
perbuatan amal itu lebih ditegaskan pada itikadnya, contoh: memberikan air pada
seorang musafir yang kehausan adalah dana, membersihkan batu atau benda-benda
tajam dari jalan agar orang lain tidak tersandung dan tertusuk adalah dana,
tersenyum memberi semangat pada seseorang yang kesukaran adalah dana. Menggali
sumur, menyediakan tempat minum, membangun jalan, membangun tempat ibadah dan
menanam pepohonan demi kebutuhan masyarakat dan melestarikan alam adalah dana.
Bukankah sebenarnya dengan kata lain pemberian dana atau perbuatan amal itu
adalah kekayaan seorang manusia yang sebenarnya. Pemberian tidak selalu identik
dengan uang, tanpa uangpun seseorang dapat memberi tanpa habis-habisnya dan
itulah kekayaan kita yang sejati. Sadarkah kita akan hal ini? Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda, “Sewaktu seseorang meninggal dunia, orang-orang bertanya
harta-benda apa saja yang telah ditinggalkannya, tetapi para malaikat bertanya
amal-perbuatan baik apa saja yang telah dilakukannya sebelum ia meninggal
dunia? Pemberian yang ikhlas dan tanpa pamrih adalah kekayaan sejati, seperti
kata sebuah pepatah: “Hanya orang kaya yang dapat memberikan tanpa merasakan
kehabisan, yang miskin hanya dapat menerima saja tanpa memberi kembali!”
Seseorang disebut miskin kalau sudah menerima apa adanya masih saja merasa
kurang dan meminta terus, dan hal ini berlaku untuk orang-orang yang merasa
kaya-raya tetapi selalu haus akan harta-benda, kedudukan dan hal-hal duniawi
lainnya. Sebaliknya seorang petani yang miskin secara duniawi mungkin adalah
orang yang amat kaya, karena setiap harinya ia bersyukur ke hadirat Yang Maha
Esa untuk semua yang didapatkannya hari itu. Kalau saja semua ini dapat
dihayati oleh semua insan di dunia ini, damai sentosalah kita semuanya.
Dana atau amal adalah perbuatan yang amat mulia sifatnya,
yang dianjurkan oleh semua agama di dunia ini, karena dengan jalan ini lahirlah
rasa simpati yang dalam dari hati nurani kita kepada makhluk-makhluk ciptaan
Yang Maha Esa yang lainnya seperti sesama manusia, fauna, flora,
makhluk-makhluk halus dan lain sebagainya. Dana atau amal yang sejati
menciptakan kedamaian, kebahagiaan, membuat hidup ini berarti bagi sesamanya.
Perbuatan dana atau amal adalah salah satu kreasi Yang Amat Indah dan Penuh
Makna, ciptaan Yang Maha Esa. Memberikan dana adalah ibarat menanam pohon yang
cabang-cabangnya menjulang tinggi langit tanpa habis-habisnya. Memberikan tanpa
pamrih adalah inti dari kebahagiaan sejati atau berkah dari Yang Maha Esa
sesungguhnya.
Lihatlah Ibu Theresia, pemenang hadiah Nobel untuk
perdamaian dari India, yang telah menolong jutaan manusia hina-papah di India
dan di bagian-bagian lain di dunia tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun
juga. Memulai usahanya tanpa uang sepeserpun dan hanya berbekal iman pada Tuhan
Yang Maha Esa ia masih dapat menolong ribuan manusia setiap harinya. Ibu
Theresia inilah lambang dari Yang Maha Esa sesungguhnya dalam bentuk manusia di
muka bumi ini, yaitu memberi tanpa pernah merasa akan kehabisan, dan tetap saja
Ibu yang suci ini berkata, “Tuhan belum memberikan aku suatu kesuksesan, la
hanya telah membuatku beriman.” Om Tat Sat.
23. “Om Tat Sat” – inilah yang dikatakan sebagai ketiga
faktor penting dari Sang Brahman (Yang Maha Esa). Dengan ini terciptalah para
Brahmin di masa lalu, Veda-Veda dan persembahan-persembahan (pengorbanan).
24. Maka dengan itu semua tindakan pengorbanan,
persembahan (pemberian) dan disiplin spiritual yang dianjurkan skripsi-skripsi
suci, dimulai dengan ucapan kata Om oleh mereka-mereka yang mengetahui akan
Sang Brahman.
25. Mereka yang menginginkan pembebasan (penerangan)
memulai tindakan pengorbanan, disiplin dan persembahan mereka dengan ucapan
kata Tat (Itu), tanpa mengharapkan pamrih.
26. Kata Sat dipergunakan dengan menyadari realitas dan
kebenaran. Begitu juga, oh Arjuna, kata Sat dipergunakan untuk
tindakan-tindakan terpuji.
27. Keteguhan dalam pengorbanan, disiplin-disiplin
spiritual dan pemberian dana juga, disebut “Sat,” dan juga tindakan yang
terpusat pada hal itu disebut Sat.
28. Apapun yang dilakukan tanpa iman, apakah itu
persembahan (dalam suatu pengorbanan), dana atau disiplin spiritual, atau apa
saja yang lain daripada itu, disebut asat, oh Arjuna! Pekerjaan semacam itu tak
ada nilainya (artinya) baik di sana maupun di sini.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata mistik yang
disebut-sebut di pustaka-pustaka suci Hindu. Ada hubungannya yang amat dalam
dan bersifat mistik, suci, sekaligus spiritual antara kata-kata ini dengan
semua tindakan yagna, tapa dan dana.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata yang menyatu artinya
dan merupakan manifestasi dari Yang Maha Esa, Sang Para Brahman dan semua
tindakan-tindakanNya. Kata Om berarti supremasi Yang Maha Esa yang tanpa ada
tandingannya. Yang Maha Esa atau Sang Brahman begitu tinggi dan agung bentuk
dan sifatNya sehingga tidak ada suatu kata pun yang dapat menggambarkanNya atau
melukiskanNya dengan pasti apa itu sebenarnya Yang Maha Kuasa ini. Kata Om maka
dari itu dijadikan lambang dari supremasi atau keagunganNya. Om kata filsuf
shankara dapat berarti “setiap kata tunduk di hadapan Yang Maha Esa.” Begitu
agung makna simbol atau kata Om ini bagi orang-orang Hindu. Manusia hanya bisa
menangkap apa arti Yang Maha Esa tetapi tidak bisa menggambarkan atau
mengekspresikan Apa Itu Yang Maha Esa sebenar-benarNya.”
Setiap agama berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan
atau bahkan memberikan nama dan arti untuk Yang Maha Esa dengan versinya
masing-masing, tetapi sesungguhnya kita manusia begitu terbatas kemampuannya
sehingga tak akan pernah dapat dan tahu apa itu Yang Maha Esa sesungguhnya
dengan segala manifestasi dan keagunganNya. Setiap agama dan ajaran suci
memanggilNya dengan nama dan sebutan suci masing-masing, begitu juga para Aryan
yang menjadi nenek-moyang dari orang-orang Hindu di India memberikanNya suatu
nama atau sebutan suci, yaitu Om. Dengarkanlah gema nama ini dalam alunan Sang
Bayu, dan gelegarnya suara ombak, dalam alunan aliran sungai yang mengalir, dan
dalam cahaya bintang-bintang di langit, dalam kicauan dan lagu-lagu alam para
burung di alam-bebas, dan dalam gegap-gempitanya suara halilintar, dalam
lagu-lagu pujaan seorang bhakta (pemuja)Nya, dalam suara lonceng-lonceng di
gereja dan di kuil, dalam puja-puji dan kidung-kidung suci di stupa-stupa dan
suara azan yang merdu di mesjid-mesjid. Semua ini menyebut nama Yang Maha Esa,
yang Tak Ada TandinganNya: bagi orang Hindu semua itu suara Om yang tak ada
taranya di alam semesta ini. Sebutkanlah kata sakti ini sekali, dua kali, tiga
kali dan seterusnya, karena Om inilah lagu kehidupan, lagu Yang Maha Esa, lagu
penciptaan Yang Maha Esa, dengan ini diciptakannya alam semesta beserta segala
isinya. Sebutkanlah mantra Om ini tujuh kali atau seterusnya dan biasakanlah
kita ini selalu merasa hadir di tengah-tengah kebesaran Yang Maha Esa, di
tengah-tengah Yang Maha Esa Itu Sendiri.
Om adalah meditasi, Om adalah kesucian diri kita, Om
adalah hidup kita sehari-hari, Om adalah aspirasi kita kepada Yang Maha Esa,
kepada Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om adalah setiap tindakan
kita yang tanpa pamrih, tanpa keserakahan dan motivasi apapun juga. Hadirkan
diri kita secara suci-bersih di hadapan setiap hal, tindakan dan kewajiban kita
dengan memulai kata Om selalulah menghayatiNya dengan tulus dan murni.
Kata Tat mengekspresikan universalitas Sang Brahman, Yang
Maha Esa. la adalah Sifat UniversalNya. Tuhan Yang Maha Esa ini menurut
Shankara adalah kesadaran Yang Maha Suci. Tat dengan kata lain dapat dan baik
diartikan sebagai Kesadaran Universal Yang Suci. “Bermeditasilah,” kata
Shankara, “di dalam kesadaranmu sendiri.” Meditasi ini mengarah ke arah
penerangan atau pembebasan. Kata Sat mengekspresikan Kebenaran dan Kebaikan
Sang Para Brahman. Sang Brahman ini adalah Yang Maha Baik, dan Ia hadir dalam
setiap jiwa kita dan para makhluk-makhluk lainnya sebagai Yang Baik, Yang Suci,
dan berbagai manifestasiNya seperti Itikad Yang Suci, Itikad Yang Baik, semua
unsur yang baik dan suci dalam diri kita. Ia menuntun kita dan menyadarkan dan
memberitahukan kita apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Tuhan Yang Maha
Esa adalah Itu. Ia juga berarti “Apa,” yaitu “Kebaikan.” Sat juga berarti
memproduksi yang baik dan suci. Semua tindakan tanpa pamrih dan demi kewajiban
kita kepada Yang Maha Esa adalah Sat. Semua tindakan yang bukan demi Yang Maha
Esa adalah asat, tidak realis, tidak benar atau tidak nyata.
Om Tat Sat adalah mantra suci Bhagavat Gita.
Mengulang-ulang mantra ini adalah suatu tindakan sakramental, yang akan
membukakan pintu berkahNya bagi yang melakukannya. Orang-orang Kristen dan
Buddhis, Muslim dan Yahudi pun masing-masing mempunyai ucapan-ucapan atau
formula-formula suci, yang kalau diucapkan menjadi semacam jembatan spiritual
bagi yang melakukannya dengan Yang Maha Esa, dan yang dapat memberikan semacam
sakti atau kekuatan spiritual bagi yang telah menghayati kata-kata suci ini.
Kata-kata suci ini juga menjauhkan kita dari segala efek-efek dan
pengaruh-pengaruh negatif yang gelap, buruk dan yang bersifat iblis.
Penghayatan akan mantra-mantra suci mempengaruhi jiwa kita sehingga
lama-kelamaan menjadi suatu kesatuan dan tenaga spiritual bagi jiwa-raga kita.
Berbagai kata suci dalam berbagai agama dapat diterangkan secara singkat
seperti berikut ini: “Sat Nam.” “Tuhan,” “kasih,” “Kreshna,” “Kristus,” “Hare
Ram,” “Hari Bol,” “Haq Maujud,” “Rahman,” “Rahim,” dan banyak lainnya. Kalau
diucapkan berulang-ulang setiap saat, hari dan pada setiap kesempatan yang
tersedia, dengan dedikasi dan kesetiaan kita yang tulus, dengan penghayatan dan
maksud membersihkan dan menyucikan diri dan pikiran kita, dan sambil menjauhkan
segala ego kita, maka semua itu akan mempertebal iman kita kepadaNya. Seorang
sufi pernah berkata, “Pintu kata-kata ini akhirnya terbuka dan Sang Jiwa pun
masuk kedalam Keadaan Yang Nyata.” Mantra-mantra atau kata-kata suci yang
diulang-ulang sepanjang hidup kita pasti suatu saat akan mengantar kita ke
alamNya yang penuh dengan cahaya dan penerangan Ilahi Bagi seorang Hindu,
setiap bentuk perbuatan, pekerjaan, yagna dan lain sebagainya dimulai dengan
kata-kata Om Tat Sat. Mulailah semuanya dengan kata Om, lalu mulailah dengan
puja atau mantra yang akan dibacakan. Tidak ada pekerjaan, mantra atau suatu
tindakan yang tidak dilakukan tanpa diawali kata Om. Inilah salah satu kaidah
atau hukum suci yang terdapat di kitab-kitab suci Hindu kuno, yang kesemuanya
juga adalah hasil kerjaNya semata, hasil kerja dari Om Tat Sat Itu Sendiri,
begitu pun dengan semua ciptaan dan kreasiNya, semua kasih dan berkahNya,
semuanya adalah Om Tat Sat, berawal dari Itu dan berakhir ke Itu juga.
Demikianlah, seyogyanya kita memulai semua perbuatan kita, apa saja pekerjaan
atau perbuatan itu dengan kata Om Tat Sat.
Semua tindakan tanpa kata-kata suci adalah asat. Walaupun
semua tindakan baik sifatnya, tetapi tanpa penghayatan akan kata-kata suci ini
secara sejati tidak akan menghasilkan apapun juga baik di dunia ini maupun di
loka-loka lainnya. Om Tat Sat adalah pencetusan iman kita kepadaNya, dengan
kata lain mengingatNya dan mendahulukanNya untuk dan dalam setiap tindakan atau
perbuatan kita yang berarti mengutamakanNya dan bekerja demi la semata secara
tulus. lalah semua ini sebenarnya, la juga Hidup dan Tujuan kehidupan ini
sebenarnya. Tanpa iman kepada Yang Maha Kuasa, semuanya jadi tidak berarti. Om
Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah
bab ketujuh-belas yang disebut:
Shraddha Traya Vibhaga Yoga Atau
Yoga Ketiga Bentuk Sifat Kepercayaan (Iman).
Bab 18 – Kata Terakhir
Berkatalah Arjuna:
1. Aku berhasrat, oh Kreshna, mengetahui kebenaran
tentang sanyasa dan tentang tyaga.
Arjuna sebenarnya bertanya dan ingin mengetahui apakah
perbedaan antara sanyasa dan tyaga. Sanyasa adalah meninggalkan setiap
tindakan, perbuatan dan aksi (kamya-karma), yaitu tindakan dan perbuatan yang
diikuti oleh keinginan-keinginan tertentu. Tetapi dalam hidup ini ada saja
perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu yang tidak bermotif egois seperti
makan, tidur, mandi, jalan dan lain sebagainya yang tak dapat ditinggalkan atau
diserahkan kepada Yang Maha Esa dalam arti harfiah, baik oleh seorang yang teramat
suci sekalipun. Sedangkan kalau seseorang sama sekali tak bekerja atau berbuat
sesuatu, maka orang semacam ini pun tentunya tak dapat disebut seorang
sanyasin.
Sedangkan tyaga berarti penyerahan total hasil dari
setiap tindakan, perbuatan dan aksi kita ini. Setiap buah atau hasil dari
berbagai perbuatan kita dipasrahkan atau dikembalikan kepadaNya lagi. Semua
pekerjaan orang semacam ini (sanyasin) adalah kewajibannya kepada Yang Maha Esa
tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu. Pekerjaan dan perbuatannya penuh dengan
dedikasi semata; dedikasi inilah sebenarnya motor penggerak dari
individu-individu semacam ini, dedikasi yang tanpa pamrih dan demi Ia semata.
Seorang tyagi (penganut tyaga) tidak akan menjauhi ketiga
pekerjaan utamanya, yaitu: yagna, dana, dan tapa. Tindakan-tindakan ini baginya
adalah kewajiban, disiplin bagi diri pribadinya dan untuk tujuan sosial bagi
sesamanya, berdasarkan kewajiban dan dedikasinya kepada Yang Maha Esa.
Perbuatan dan pekerjaan ini bukan merupakan ikatan-ikatan duniawi tetapi
sebenarnya adalah jalan ke arah pembebasan atau penerangan baginya. Sanyasa
atau tyaga tidak berarti menjauhi pekerjaan atau hal-hal yang bersifat duniawi
dan segala efek atau aktivitasnya, tetapi berarti tetap bekerja tetapi tanpa
suatu motivasi, imbalan atau pamrih yang penuh dengan ego, keserakahan dan
harapan. Semuanya seharusnya dilakukan dan dipersembahkan kembali kepada Yang
Maha Esa tanpa pamrih.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Para resi sadar bahwa sanyasa itu adalah penyerahan
dari bentuk-bentuk pekerjaan yang diikuti oleh nafsu dan keinginan-keinginan
tertentu; sedangkan tyaga oleh mereka-mereka yang bijaksana diartikan sebagai
penyerahan total seluruh hasil atau buah sesuatu perbuatan yang dilakukan
seseorang.
3. “Aksi harus dilepaskan karena ibarat iblis,” kata
sementara pemikir. “Aksi-aksi seperti dana dan disiplin spiritual tidak boleh
dilepaskan,” kata yang lainnya.
Banyak pemikir atau orang-orang pintar, para penganut
ajaran Kapila (yang disebut ajaran Sankhya), mengutuk semua bentuk aksi,
tindakan dan perbuatan karena bagaimanapun juga kata mereka tak ada pekerjaan,
aksi atau sesuatu perbuatan yang tanpa maksud dan motif, sekecil apapun
tindakan tersebut. Jadi menurut mereka setiap pekerjaan ada motivasinya, dan
itu berarti menyandang dosha, dan dosha (dosa) inilah penyebab keterikatan kita
pada dunia ini. Jadi semua bentuk aksi atau tindakan harus dilepaskan. Tetapi
para pemikir golongan lainnya, yang disebut Mimansaka, berpendapat tindakan
atau perbuatan pengorbanan (yagna), tapa dan dana harus dilaksanakan karena
tindakan-tindakan ini menyucikan diri dan membantu seseorang mendaki
tahap-tahap evolusi spiritualnya.
Apa yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita sebenarnya adalah
melepaskan semua keterikatan-keterikatan akan hasil atau buah dari semua yang
kita lakukan dan perbuat. Dengan kata lain terjadilah kehendakNya adalah arti
dari ajaran Bhagavat Gita. Semua pekerjaan atau kewajiban sehari-hari kita
harus dilakukan demi kebenaran dan kebaikan (dharma) dan dedikasi kita
kepadaNya. Seseorang benar-benar bertindak seandainya ia bertindak atau bekerja
tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu dari hasil perbuatannya.
4. Dengarkanlah sekarang, oh Arjuna, kesimpulanKu
mengenai penyerahan total akan buah atau hasil kerja seseorang. Penyerahan
total dari hasil kerja ini terbagi tiga sifatnya.
5. Perbuatan (tindakan) pengorbanan, dana (amal) dan
disiplin-spiritual tidak boleh diabaikan, tetapi wajib dikerjakan, karena
pengorbanan, dana dan disiplin spiritual adalah unsur-unsur yang menyucikan bagi
mereka yang bijaksana.
Yagna atau pemujaan atau pengorbanan/persembahan adalah
kewajiban bagi setiap manusia terhadap Yang Maha Kuasa. Dana atau amal adalah
kewajiban terhadap guru-guru spiritual dan terhadap masyarakat atau yang
membutuhkannya. Tapa atau disiplin spiritual adalah kewajiban kita terhadap
diri sendiri sebenarnya. Mengabaikan ketiga tindakan positif ini sama saja
mengotori diri sendiri dengan unsur-unsur duniawi yang negatif. Lakukanlah
semua tindakan ini secara sattvik dan bersihkanlah raga, hati dan jiwa kita
dari noda-noda duniawi ini.
6. Tetapi tindakan-tindakan ini pun harus dilakukan
dengan mengesampingkan sesuatu pamrih. Inilah, oh Arjuna, keputusan dan
pandanganKu yang final.
Jadi walaupun ketiga faktor penting di atas harus dilakukan,
tetapi tetap saja menurut keputusan akhir (keputusan final) Sang Kreshna,
perbuatan-perbuatan itu harus dikerjakan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan
dalam bentuk apapun juga, baik secara spiritual maupun duniawi. Ini sudah
merupakan keputusan Yang Tegas, dari Yang Maha Esa, tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Di pihak lain setiap tindakan sehari-hari apapun juga harus tetap
dilaksanakan tanpa pamrih tetapi demi kewajiban kita kepada semuanya dan
terhadap Yang Maha Esa dan lokasangraha (kesejahteraaan demi kemanusiaan). Yang
penting adalah penyerahan total dari semua nafsu dan keinginan, semua bentuk
ego yang mementingkan diri sendiri. Kalau kita tidak mau menyerahkan
pikiran-pikiran negatif ini secara total, maka timbullah kama (nafsu dan
keinginan) yang sebenarnya sudah ada dan hadir dalam pikiran dan indra-indra
kita.
Sering timbul pertanyaan bagaimana caranya untuk
menyingkirkan kama ini? Menurut teori di Barat yang diilhami oleh Freud, maka
sebaiknya kama dijadikan teman saja dan semua keinginannya dipenuhi saja.
Tetapi ajaran Hindu menolak mentah-mentah hal ini, karena kama ini ibarat api
dan kalau dipenuhi terus menerus semua hasrat-hasratnya maka ibarat memberi
minyak pada api ini, yang akibatnya adalah makin membara dan membesarnya api
ini. Lalu ada ajaran yang mengatakan tindaslah kama atau nafsu ini. Tidak,
menindasnya tidak menolong sama-sekali, karena bentuk nafsu atau kama ini tidak
dapat ditindas karena sifat-sifatnya yang tidak dapat dimengerti dan amat
misterius, apalagi oleh mereka yang masih jauh dari jalan spiritual.
Jalan yang benar untuk menjauhkan kama atau nafsu ini
adalah dengan abhyasa atau meditasi, dengan usaha upaya atau praktek yang
berketerusan. Dengan kata lain, seperti yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita,
yaitu dengan kendali diri yang disertai dengan penuh kesadaran atau mawas diri.
Dengan kesadaran dan tekanan pada pikiran kita bahwa sebenarnya indra-indra dan
nafsu kita juga bisa diarahkan ke arah yang positif secara spiritual dan
duniawi, yaitu ketenangan dan kekuatan, kesucian dan kebenaran. Langkah demi
langkah, secara perlahan tetapi pasti kita harus mengarahkan pikiran kita dan
mengendalikannya (bukan menghentikannya sama sekali, tetapi mengendalikannya!)
secara positif. Secara perlahan pastikan diri kita bahwa pemuasan nafsu-nafsu
indra-indra kita secara tanpa kendali itu bukanlah cara dan jalan yang baik,
begitupun menindas nafsu ini bukan juga jalan keluar. Jalan yang terbaik adalah
yang terletak di tengah-tengah kedua metode tersebut, yaitu kendali-diri dengan
mengendalikan nafsu-nafsu yang beraneka-ragam ini dan mempergunakannya
seperlunya saja dan secara positif. Sadarlah akan suatu pengetahuan, yaitu
tubuh kita ini dibentuk ibarat mata-pisau yang tajam dan peka; pisau itu dapat
dipergunakan untuk tujuan positif seperti memotong sayur-sayuran dan kayu, atau
untuk hal-hal negatif seperti membunuh atau merampok orang. Lalu bagaimana
seharusnya kita gunakan tubuh ini dan semua indra-indranya. Untuk tersesat di
dunia ini tanpa kendali dan terikat selama-lamanya secara duniawi atau untuk
mengabdi dan kembali mengenal Yang Maha Esa. Dalam melakukan kendali diri yang
penuh kesadaran ini, maka setahap demi setahap akan terbuka horizon baru dalam
kehidupan kita dan akan nampak pergantian yang ajaib, misterius dan penuh
dengan mukjizat yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena merupakan suatu
pengalaman yang misterius dan spiritual. Seseorang yang indra-indranya
terkendali dan terpakai secara positif akan menemui pengalaman-pengalaman unik,
karena jiwa dan pikirannya yang bersih akan melakukan kontak-kontak ke
obyek-obyek indranya dengan hasil yang berlainan sifatnya dari yang dialami
selama ini. Kontak-kontak spiritual akan berlangsung secara otomatis, ingat
pisau yang bermata dua, begitu pun indra-indra kita dapat dipergunakan secara
duniawi dan secara spiritual, suatu potensi yang tersembunyi tetapi amat
dahsyat karena kita tidak tahu akan hal ini selama kita terjebak dengan yang
duniawi. Setelah itu akan timbul, secara perlahan tetapi pasti, sinar atau
penerangan dalam hidup kita. Dan sekali ini tercapai maka seseorang yang telah
hasil kerjanya secara total kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih, akan menjadi
seseorang yang tetap bekerja di dunia ini sesuai dengan kewajibannya, tetapi
sama sekali tanpa nafsu atau keinginan duniawi, karena ia telah mendapatkan
sesuatu yang lebih menarik lagi dari semua itu, sesuatu kekuatan yang misterius
dan membahagiakannya secara lahir dan batin, ia pun akan menjadi pusat dan
inspirasi atau penerangan bagi mereka-mereka yang masuk ke dalam radius pengaruhnya.
Jalan ke arah ini memang nampaknya sukar untuk manusia, tetapi tidak ada yang
tidak mungkin di dunia ini seandainya seseorang telah beritikad ke arah itu,
karena memang setiap manusia diberikan potensi yang amat besar untuk
melakukannya. Jadi terserah kita lagi, jalannya memang sukar, dan banyak
jatuh-bangunnya, banyak jurang dan jeram yang menghadang, tetapi Yang Maha Esa
sendiri secara “pribadi” akan menuntun kita, akan membimbing kita dan
mengajarkan kita cara-cara mengatasi semua rintangan ini dan individu-individu
yang kuat akhirnya akan sampai kepadaNya, karena itulah janji Yang Maha Esa
kepada kita semua dan itulah tujuan yang dimaksud olehNya, yang telah
ditentukan olehNya. Tanyakanlah kebenaran akan hal ini kepada mereka-mereka
yang dianggap telah mencapai kesadaran ini, dan semua kebenaran akan dijawab
dengan kebenaran. Om Tat Sat.
7. Sebenarnya mengesampingkan pekerjaan-pekerjaan yang
sudah seharusnya itu, adalah tidak benar. Memasrahkan dengan cara tersebut
karena kebodohan, disebut bersifat tamasik (gelap).
Pekerjaan atau perbuatan yang sudah seharusnya menjadi
kewajiban seseorang dan merupakan keharusan sehari-hari (tertera jelas dalam
pustaka-pustaka Hindu), tidak boleh dikesampingkan dengan alasan apapun juga.
Berbuat demikian menandakan kebodohan yang amat dalam dari si pelaku tersebut.
Begitupun tindakan seperti dana, tapa dan yagna, berulang-ulang ditekankan agar
tidak diabaikan, karena merupakan penyucian dari jiwa dan raga kita.
Tyaga sendiri terbagi dalam tiga sifat, yaitu tamasik,
rajasik dan sattvik. Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik di mana
lepas sudah bahkan itikad akan hasil atau buah dari tyaga itu sendiri.
Sedangkan dalam sifat tyaga yang tamasik terlihat jelas dominasi dari
keterikatan (moha), ilusi, kebodohan, kegelapan dan hasrat untuk mendapatkan
imbalan-imbalan tertentu baik secara spiritual maupun duniawi. Tyaga semacam
ini disebut gelap sifatnya. Misalnya: seorang pria meninggalkan semua
pekerjaannya atau kewajiban rumah-tangganya demi seorang wanita atau demi
menuntut suatu kesaktian tertentu untuk tujuan duniawi, ini disebut
cinta-duniawi yang menyesatkan dan bukan tyaga pemasrahan total.
8. Seseorang yang tidak mau bertindak sesuatu karena
merasa tindakan itu menyusahkannya atau khawatir akan menjadi derita untuk
fisiknya, disebut melakukan tyaga bersifat rajasik. Dan tyaga semacam ini tidak
akan menghasilkan keuntungan apapun juga.
Tyaga bersifat rajasik tidak akan menghasilkan mukti
(pembebasan) karena seorang yang melakukan tyaga ini hanya melakukannya demi
menjauhi derita, tantangan hidup dan kesusahan atau kerja keras.
9. Seseorang yang melakukan sesuatu tindakan seperti yang
telah diwajibkan, oh Arjuna, karena harus dilakukannya, tanpa keterikatan dan
pamrih — tyaga semacam itu dipandang sebagai bersifat sattvik (bersih).
Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik, yaitu
tyaga yang tanpa keterikatan, hasil atau buah. Pekerjaan yang dilakukan ini
sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan anjuran dan kaidah-kaidah yang
tertulis di buku-buku suci. Dan semua kewajiban ini dilaksanakan sebagai
kewajiban semata tanpa mencari atau mengharapkan sesuatu keuntungan, imbalan
dan rasa egoisme.
10. Seseorang bijaksana yang telah diliputi oleh
sifat-sifat sattva (kesucian), yang keragu-raguannya telah terbuang jauh —
seseorang yang pasrah semacam ini tidak membenci sesuatu tindakan yang tidak
menyenangkan, juga tidak terikat pada suatu tindakan yang menyenangkan.
Seorang tyagi (pelaksana tyaga) yang telah pasrah total
kepada Yang Maha Esa, yang telah menyerahkan diri dan semua
tindakan-tindakannya sekecil apapun perbuatan atau tindakan tersebut kepadaNya
dan telah mencari dan mendapatkan perlindunganNya, tak akan pernah ragu-ragu
dalam bertindak apapun juga. Baik itu tindakan nikmat dan memberikan kepuasan
dan kesenangan ataukah tindakan itu memberikan rasa derita, kegagalan atau
kedukaan, baginya sama saja sifatnya. Baginya yang wajib adalah bekerja, dan
semua emosi, hasil atau efek dari pekerjaan itu tidak penting sifatnya karena
ia sadar bahwa ia tidak menghasilkan atau memberikan suatu efek kepada setiap
tindakannya, melainkan semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, dan
terjadilah kehendakNya sesuai dengan keinginanNya, ia hanya alat dan sebuah
alat hanya berkewajiban untuk bekerja sewaktu dipergunakanNya dan tidak berhak
untuk memprotes majikan yang mempergunakannya ataupun menilai hasil kerja dari
alat itu sendiri. Semuanya terserah kepadaNya. Baginya nikmat dan derita sama
saja rasanya, saling mengisi malahan, dan semua itu diterimanya dengan sama
rata dan tanpa banyak mengeluh. Jadi dengan kata lain, Sang Kreshna Yang Maha
Pengasih sedang mengajarkan Arjuna dan kita semua agar menerima dan memainkan
peranan kita masing-masing di dunia ini secara setia dan penuh semangat. Jangan
berduka atau bersuka baik dalam kegagalan maupun dalam kesuksesan. Pasrahkan
semuanya kepada Yang Maha Esa!” Karena hanya kehendakNya saja yang akan
terlaksana, bukankah kita tidak tahu mengapa kita dilahirkan di dunia ini, dan
sekali kita lahir dan tumbuh, lalu mengapa harus kita yang mengatur hidup ini,
mengapa tidak dikembalikan semua skenario kehidupan ini kepada Sang
Sutradaranya sendiri. Camkanlah pesan ini dan jadilah sebuah alat yang baik
atau seorang pemain sandiwara kehidupan ini yang baik dan penuh dedikasi.
Seseorang yang bekerja sesuai dengan kewajibannya sadar
bahwa suatu kewajiban yang dilaksanakan tanpa pamrih akan menuntunnya ke arah
penerangan Ilahi, ke arah pembebasan dari ikatan dan derita duniawi. Seseorang
yang secara sejati bekerja tanpa pamrih tidak akan pernah mau mengkhayal
mengharapkan sedikit pun akan penerangan Ilahi, semua pekerjaan ia lakukan
secara tulus dan penuh dengan tekad, yaitu dengan pemikiran terjadilah
kehendakNya semata, dan pekerjaan adalah hukum alam di dunia ini bagi semuanya,
sebagai misi yang diembannya dari Yang Maha Esa. Itulah kaidah atau hukum
spiritual ini — yakinlah akan Yang Maha Esa dan semua kehendakNya. Tyaga yang
sejati berarti bekerja tanpa pamrih, bukan tidak bekerja sama sekali.
11. Sebenarnya, tidak mungkin bagi seseorang makhluk yang
memiliki raga untuk tidak bekerja secara total. Sebenarnya, seseorang yang
memasrahkan hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatannya — disebut sebagai
seorang tyagi.
12. Tidak nikmat, nikmat dan perpaduan keduanya – ketiga
sifat ini adalah hasil dari setiap perbuatan yang akan didapati setelah
meninggalkan dunia ini, bagi mereka-mereka yang tidak menyerahkan perbuatannya.
Tetapi bagi mereka-mereka yang telah menyerahkan hasil perbuatannya, tak ada
semua itu.
Seorang tyagi yang sejati adalah seseorang yang tidak
mengabaikan pekerjaannnya, tetapi hasil atau buah dari pekerjaannya. Dan di
sloka di atas ini Sang Kreshna menyinggung soal hasil atau buah perbuatan
seorang sanyasin, yaitu sesorang yang telah memasrahkan secara total dan tanpa
pamrih seluruh efek dari perbuatan-perbuatan dan kewajibannya. Bagi orang
semacam ini, menurut Sang Kreshna tak akan menghasilkan suatu efek atau buah
(karma), karena perbuatan-perbuatannya telah menyatu dengan kehendakNya. Di
Bhagavat Gita sering kita jumpai istilah-istilah seperti tyaga dan sanyasa,
tyagi dan sanyasin, yang kesemuanya ini sebenarnya adalah istilah-istilah
alternatif yang dipergunakan oleh Sang Kreshna dalam mengajar Bhagavat Gita.
Sang Kreshna pada prinsipnya tidak menganjurkan seseorang agar melepaskan atau
mengabaikan pekerjaannya. la hanya menganjurkan agar terjadi peralihan dari
semua kamya-karma (pekerjaan yang bermotivasi sesuatu) ke nishkama (yaitu
pekerjaan tanpa pamrih).
Seseorang yang tidak mempunyai motif-motif duniawi untuk
setiap pekerjaannya adalah ibarat sebuah pohon yang lebat di tepi sebuah sungai
(tempat yang subur). Buah pohon ini pergi ke orang-orang yang membutuhkannya.
Sedangkan orang ini sendiri tidak perlu ke mana-mana lagi, karena ia sudah
tegar dalam kewajibannya dan telah menyatu dengan Yang Maha Esa.
13. Pelajarilah dariKu, oh Arjuna, lima unsur penyebab,
penyelesaian semua tindakan, seperti yang telah disabdakan dalam doktrin
Sankhya.
14. Tempat bersemayam semua tindakan (raga ini), Sang
Jiwa (Karta) berbagai organ tubuh (karanam), berbagai ragam usaha (cheshta) dan
yang kelima, yaitu takdir (daivam).
Di sloka ini Sang Kreshna mulai menerangkan tentang lima
penyebab atau unsur atau kondisi dari setiap tindakan sampai selesai atau (akhir
dari tindakan/perbuatan tersebut). Yang pertama adalah adhishthanam, yaitu raga
atau badan kita yang merupakan tempat bersemayam (rumah-tinggal) Sang Jiwa dan
berbagai keinginan kita. Yang pertama ini adalah raga duniawi atau jasad kasar
kita. Yang kedua disebut karta atau sang agen. Siapakah Sang Agen? Tidak lain
dan tidak bukan adalah sang jiwa kita, personalitas dalam raga ini, sang raja
ego. Bergabung dengan Sang Prakriti, Sang Jiwa ini pun lupa pada bentuknya yang
Asal dan Asli, yaitu Atma-Svanipa, dan dalam keangkuhan rasa egoisme ia pun
lain berkata “aku,” “akulah yang memiliki ini dan itu,” “akulah yang berbuat,”
dan lain sebagainya. Dalam mencapai kebebasan jiwa kita, maka rasa ego ini
harus dilepaskan agar tersingkaplah yang asli ini. Yang ketiga disebut karanam
atau instrumen/alat. Alat-alat ini adalah kesepuluh indra-indra, pikiran, rasa
intelek, dan ahankara kita. Yang keempat adalah cheshta, yaitu usaha, fungsi
prana atau energi-vital atau nafas dalam raga kita. Yang kelima disebut daivam,
takdir, sesuatu yang tak terjangkau oleh manusia itu sendiri, pada hal ini yang
menentukan dan menjadi jalan hidup kita sebenarnya; yang menghasilkan setiap
usaha dan efeknya yang berhubungan dengan usaha atau perbuatan tersebut
masing-masing. Daivam atau takdir ini adalah yang mengatur semua tindak-tanduk
kita.
Kelima unsur penting ini adalah kelima instrumen yang
menjadi penyebab dari semua tindakan kita baik yang positif maupun yang
negatif, baik atau buruk, dalam perjalanan hidup kita.
15. Apapun tindakan yang diambil seseorang melalui
raganya, kata-kata dan pikirannya, baik yang benar maupun yang salah – kelima
unsur inilah penyebabnya.
16. Dengan begitu, seseorang yang salah pengertiannya,
yang karena tidak terlatih kesadarannya, memandang dirinya sebagai satu-satunya
pelaku (setiap perbuatannya) — sebenarnya orang-orang ini tidak melihat!
Seseorang yang berpikir sebagai pelaku tunggal dari
setiap tindakannya adalah seorang yang egois, yang pandir dan terlalu buta
untuk menyadari atau melihat suatu kenyataan Ilahi. Orang semacam ini disebut
sebagai seorang yang gagal melihat hal yang sebenarnya.
17. Seseorang yang bebas dari itikad, egoisme, yang
pengertian (intelektualnya) tidak tertutup, walaupun ia membunuh orang-orang
ini, ia tidak membunuh, atau terikat (oleh perbuatan-perbuatannya).
Arjuna boleh saja membantai para Kaurawa (Kurawa = bahasa
Jawa), dan selama ia berbuat itu bukan karena ego pribadinya, tetapi melainkan
karena kewajibannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka selama itu juga
segala perbuatannya tidak akan mengikat dia dan di mata Sang Kreshna (Yang Maha
Esa), ia bukan seorang pembunuh tetapi hanya sebuah alat dariNya belaka, tidak
lebih dan tidak kurang.
Seseorang yang telah berada di atas kesadaran bahwa
“akulah yang sebenarnya berbuat,” dan telah sadar akan Sang Atman, Sang Jati
Diri, dan yang telah dapat mengatasi pikiran-pikiran perbuatannya, maka orang
ini tidak dapat dipuji atau dihukum untuk setiap perbuatan-perbuatannya. Tetapi
jangan sekali-kali menyalah gunakan sloka ini, karena bagi yang rasa ego, atau
fanatismenya (fanatisme juga adalah suatu bentuk ego yang ekstrim!) masih
tinggi, atau yang masih kurang kesadarannya, maka penghayatan yang salah akan
berakibat amat fatal bagi sesamanya. Lalu bagaimanakah cara yang terbaik untuk
memahami sloka ini? Bhagavat Gita menekankan bahwa ada dua faktor penting yang
harus diperhatikan dalam bertindak atau berbuat sesuatu, yaitu kebebasan dari
rasa egoisme dan kesadaran yang tidak ternoda! Camkanlah hal ini secara sejati
dan dengan hati-nurani yang bersih dan murni berdasarkan ratio atau intelektual
anda sebelum bertindak sesuatu seperti yang dianjurkan di sloka ini. Mereka
yang telah secara total berlindung di dalam Yang Maha Esa dan pasrah dengan
segala kehendakNya, yang telah melewati rasa dualisme yang bertentangan, akan
tahu secara sadar (sejati) akan makna dan perbuatan yang tertulis di sloka ini!
18. Pengetahuan, obyek pengetahuan (hal-hal yang
diketahui), subyek yang mengetahui (yang mengetahui), adalah tiga unsur stimulus
ke arah setiap tindakan. Sang alat, tindakan, dan sang jiwa adalah tiga unsur
gabungan dari setiap tindakan.
Setiap tindakan ada dua penyebabnya: subyektif dan
obyektif. Yang subyektif ini dimaksudkan dengan rangsangan-rangsangan awal dari
setiap tindakan, yaitu suatu kondisi sebelum suatu tindakan diambil, yaitu
konsep yang tergambar dahulu dalam benak pikiran, yang lalu ditransformasikan
dalam bentuk tindakan ragawi. Keadaan ini disebut karmachodana, dan hal ini
terdiri dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, yang diketahui dan yang mengetahui.
Sedangkan yang obyektif disebut karmasangraha. Sewaktu
sesuatu tindakan dilakukan, maka ada tiga faktor yang menyertainya: karana,
yaitu alat, instrumen atau indra-indra kita; kemudian subyek tindakan/aksi,
yaitu karta, Sang Jiwa; dan akhirnya, obyek tindakan/aksi, yaitu karma itu
sendiri, yaitu akhir atau tujuan yang ingin dicapai oleh tindakan yang
dimaksud. Dengan kata lain, karmachodana ini adalah perencanaan secara mental
dan karmasangraha adalah perbuatan atau tindakan hasil dari perencanaan secara
aktual.
19. Pengetahuan, aksi (tindakan) dan sang pemeran
dikatakan dalam pengetahuan tentang sifat-sifat (guna-guna dalam filosofi
Sankhya), ada tiga jenis saja, sesuai dengan perbedaan sifat-sifat (guna-guna)
ini. Dengarkanlah juga dengan seksama mengenai hal ini.
20. Sesuatu pengetahuan dengan mana seseorang melihat
Yang Maha Esa dan Tak Terbinasakan di dalam semua makhluk — tak terpisah-pisah
di dalam keterpisah-pisahan – ketahuilah pengetahuan tersebut bersifat sattvik
(bersih).
Dalam sesuatu kepercayaan yang bersifat sattvik, maka
Yang Maha Esa dianggap Satu-Satu-Nya Inti Kehidupan yang hadir dalam setiap
makhluk dan benda di alam semesta ini. Yang Maha Esa ini juga disebut sebagai
Avyayam, yaitu Tak Terbinasakan, juga disebut sebagai Avibhaktam, yaitu
Keseluruhan Yang Tak Terpisahkan.
Yang Maha Esa itu hadir secara sama rata dalam setiap
makhluk, benda dan manusia. Baik dalam seorang kaya atau miskin, dalam seorang
kriminal maupun dalam seorang pendeta, hadirlah Yang Maha Esa secara sama dalam
setiap jiwa ini, tanpa diskriminasi atau perbedaan sedikitpun. Walau di alam semesta
ini terdapat jumlah jiwa-jiwa yang tak terbatas dan terhitung jumlahnya, pada
hakekatnya semua jiwa-jiwa ini ber Intisari atau berasal dari Satu, yaitu Yang
Maha Esa. Jadi dengan kata lain, semua jiwa ini sifatnya Eka atau Satu dan
identik dengan Yang Maha Esa. Pengetahuan atau kesadaran semacam ini disebut
bersifat sattvik.
21. Pengetahuan yang melihat berbagai-ragam kelainan
dalam berbagai makhluk-mahuk, setiap makhluk lain dari yang lainnya, yang
beraneka-ragam pengetahuan itu ketahuilah olehmu sebagai rajasik.
Seseorang yang berpengetahuan rajasik memandang setiap
makhluk atau benda di dunia ini sebagai terpisah-pisah atau berdiri
sendiri-sendiri. Bagi orang semacam ini setiap individu makhluk, atau benda
adalah unsur yang berbeda-beda. Pengetahuan rajasik adalah pengetahuan tentang
nama dan rupa seseorang belaka, bukan pengetahuan tentang Intisari yang sejati.
Ibarat seseorang yang tahu bahwa sesuatu benda disebut tempayan, tetapi tidak
tahu bahwa benda tersebut dibuat dan berasal dari apa. Ibarat seseorang
mengetahui apa itu lampu, tetapi tidak mengenal unsur cahaya di dalamnya, atau
ibarat mengenal yang namanya baju tetapi tidak tahu unsur apa yang menjadi
bahan dasar dari baju tersebut.
Bagi seorang yang berpengetahuan rajasik semuanya nampak
berbeda-beda dan berlainan derajatnya. Bagi orang semacam ini status seseorang
dewa, brahmana atau seekor tikus itu lain, padahal sabda Sang Kreshna semua
yang ada di alam semesta ini berintikan satu unsur yang sama, yaitu Yang Maha
Esa.
22. Pengetahuan yang tergantung pada suatu unsur atau
obyek yang seakan-akan adalah segala-galanya, tanpa mau tahu akan asal-usul
unsur tersebut, tanpa mau menyadari yang realitas, dan berpandangan sempit –
disebut sebagai pengetahuan yang tamasik.
Pengetahuan yang bersifat tamasik adalah pengetahuan yang
palsu dan tak berdasar sama sekali. Orang yang berpengetahuan ini amat sempit
pandangannya. la melihat suatu obyek kecil sebagai sesuatu yang amat penting
dan lalu bergantung kepada obyek tersebut seakan-akan tidak ada lagi yang
lainnya di dunia ini. Misalnya seseorang yang mencintai seorang wanita cantik
dan menganggap wanita tersebut sebagai segala-galanya di dunia ini, atau
seseorang berpikir bahwa keluarganya adalah di atas segala-galanya di dunia
ini, Tuhan lalu dinomorduakan. Hal semacam ini disebut moha (keterikatan) dan
keterikatan ini disebut pengetahuan yang bersifat tamasik atau gelap.
Hal yang sama berlaku sekiranya seseorang hanya
tergantung pada pesta-pesta pora, makanan atau kenikmatan dan keterikatan
duniawi lainnya, yang memberikannya kenikmatan yang bersifat sementara dan
merasa itulah arti kehidupan dunia. Pengetahuan semacam ini adalah hampa dan
irasional. Pengetahuan tentang Sang Atman adalah pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan tentang logika duniawi yang berdasarkan perbedaan atau diskriminasi
adalah rajasik. Sedangkan pengetahuan yang tanpa dasar, tanpa pengorbanan atau
pengertian pada Yang Maha Esa adalah sifat tamasik.
23. Suatu tindakan yang berdasarkan moral, yang lepas
dari keterikatan, yang dilakukan tanpa mengharapkan suatu pamrih dan yang
dilakukan bukan karena cinta atau benci — tindakan tersebut adalah sattvik
(bersih).
Suatu tindakan, aksi atau perbuatan yang bersih atau yang
benar dan sejati disebut sattvik, yaitu perbuatan yang berdasarkan nilai-nilai
moral, kewajiban dan prikemanusiaan. Pekerjaan seperti bekerja sehari-hari,
mencari nafkah secara jujur demi kehidupan keluarga adalah pekerjaan yang
bersifat sattvik. Seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya dengan baik adalah
seorang yang sattvik dan bekerja sattvik. Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan
yang dianjurkan pustaka-pustaka kuno seperti yagna, tapa dan dana adalah
perbuatan sattvik. Berbicara jujur, menolong yang harus ditolong, memuja Yang
Maha Esa adalah perbuatan sattvik yang harus dilakukan. Dan semua pekerjaan ini
harus dilakukan tanpa mengharapkan kembali sesuatu pamrih atau imbalan dalam
bentuk apapun juga baik dari siapapun maupun dari Yang Maha Esa atau para
dewa-dewa.
Semua pekerjaan ini harus lepas dari rasa ego dan
keterikatan, secara total harus dihayati bahwa yang berbuat ini sebenarnya
hanya alat dari Yang Maha Esa, tidak lebih dan tidak kurang. Setiap pekerjaan
harus dikerjakan lepas dari hawa-nafsu dan dengan tanggung-jawab dan penuh
kewajiban terhadap sesama makhluk dan terutama terhadap Yang Maha Esa, karena
Ialah sumber atau asal-mula kehidupan ini.
24. Tetapi suatu tindakan yang dilakukan secara penuh
dengan ketegangan (stres) oleh seseorang yang ingin memuaskan
keinginan-keinginannya, dan yang berdasarkan kepentingan dirinya — disebut
bersifat rajasik (mementingkan diri pribadi).
Tindakan atau perbuatan rajasik selalu bercirikan
kepentingan pribadi, dan tindakan ini sebenarnya tidak akan menghasilkan suatu
keuntungan spiritual, melainkan akan menghasilkan duka atau penderitaan.
Tindakan-tindakan rajasik ini memperlihatkan tanda-tanda khas seperti:
a. Tindakan-tindakan ini selalu dilakukan secara bergegas
secara menggebu-gebu, dan penuh semangat yang menderu-deru, tetapi diikuti oleh
rasa tegang yang luar biasa atau stres berat dan penghamburan energi secara
sia-sia.
b. Pekerjaan ini dilakukan karena pengaruh karma (nafsu)
atau keinginan-keinginan duniawi untuk mendapatkan kepuasan seksual,
harta-benda, kedudukan, kekuasaan, wanita dan lain sebagainya.
c. Tindakan-tindakan ini dilakukan berdasarkan
kepentingan atau kepuasan pribadi ego, kesombongan pribadi, dan ini semua
disebut ahankara.
25. Tindakan yang dilakukan berdasarkan moha (cinta dan
keterikatan duniawi) tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya – yang merugikan
dan melukai yang lain – yang tak memikirkan kemampuan pribadinya – disebut
sebagai tindakan atau perbuatan yang tamasik.
Ciri-ciri perbuatan atau tindakan tamasik adalah:
a. Dikerjakan karena keterikatan akan hal-hal yang
sifatnya duniawi dan gelap.
Orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan ini
sudah jauh tenggelam dalam kegelapan duniawi.
b. Dilakukan tanpa memikirkan akibat-akibatnya, yang
bukan saja dapat menghancurkan dirinya, tetapi juga orang-orang atau
makhluk-makhluk lainnya. Semua ini dilakukan tanpa pikir panjang karena mabuk
kekuasaan, karena kenikmatan dunia dan lain sebagainya.
c. Dan perbuatan-perbuatan ini dilakukan tanpa melihat
atau sadar akan keterbatasan orang yang melakukan ini, karena jalan pikiran
yang sudah gelap dan buntu. Dan kalau ia gagal, ia akan menempuh segala jalan
baik yang bersifat kekerasan maupun yang gelap, walaupun itu harus dibayar
mahal olehnya.
26. Seseorang yang bertindak lepas dari keterikatan, yang
pembicaraannya jauh dari rasa egois yang penuh dengan tekad yang teguh dan
antusiasme yang tak tergoyahkan oleh sukses atau kegagalan – orang ini disebut
sattvik karta (orang yang benar atau bersih perbuatannya).
Seorang sattvik karta ini benar-benar bertindak sesuai
dengan kewajibannya, menerima semua kehendakNya. Dalam menghadapi sukses atau
kegagalan ia tenang-tenang saja, dalam menghadapi yang jahat dan suci, yang
busuk dan bersih, ia sama saja sikapnya. la maju terus dengan tekad yang amat
teguh, yaitu selalu bertindak tanpa pamrih, hanya demi kebenaran dan
kewajibannya terhadap Yang Maha Esa semata. Orang semacam ini memiliki beberapa
tanda atau ciri khas:
a. la selalu bertindak tanpa pamrih dan keterikatan. la
tidak membutuhkan pujian, jasa, sanjungan, keagungan dan kehormatan duniawi
untuk apa saja yang dilakukannya.
b. la tidak membual akan apa yang dilakukannya. Tak mau
ia berkata bahwa tanpa dia sesuatu hal mustahil terjadi. Setiap patah katanya
jauh dari rasa egoisme atau demi kepentingan diri sendiri.
c. la penuh dengan kesabaran dan semangat yang tinggi.
Dalam setiap halangan ia penuh dengan tekad, berjuang terus dan tidak patah
semangat.
d. la memiliki rasa sama, yaitu selalu bersikap sama baik
dalam menghadapi keuntungan maupun kerugian, baik dalam kesenangan maupun
penderitaan. Tak tersentuh ia oleh kemenangan dan tak terganggu oleh kekalahan,
sama dalam sukses maupun kegagalan.
27. Seseorang yang terombang-ambing oleh kepentingan
nafsunya, yang mencari imbalan dari hasil perbuatannya, yang serakah, merugikan
yang lainnya, yang tidak bersih (perbuatannya), yang terombang-ambing oleh
kesenangan dan penderitaan — orang ini disebut seorang rajasik karta.
Seorang rajasik karta mempunyai beberapa tanda dan
sifat-sifat tertentu seperti:
a. Ia tenggelam dalam nafsu duniawi beserta segala
kenikmatannya. la terikat pada indra-indranya.
b. la selalu memerlukan imbalan untuk setiap
perbuatannya. Setiap tindakannya penuh dengan motivasi tertentu.
c. Ia amat serakah.
d. la bersifat brutal, sifatnya ini selalu merugikan,
melukai dan menyakiti orang lain, atau pun makhluk-makhluk lain,
e. Dalam setiap sukses dan kemenangan ia cepat gembira,
dalam kegagalan dan kekalahan ia cepat putus asa.
28. Seorang yang tak stabil, kasar, keras-kepala, penuh
kepalsuan, beritikad jahat, malas, tak punya harapan, mudah putus-asa, dan
selalu menunda-nunda sesuatu — disebut seorang tamasik.
Seorang tamasik nampak aneh atau eksentrik dan tak
berbudaya dalam tingkah-lakunya. Hati atau pikirannya tidak tertuju pada
tindakan-tindakannya. la juga pandir dan keras kepala. la penuh tipu-daya dan
licik atau penuh dengan kepalsuan. la gemar menunda-nunda sesuatu dalam
tindakan dan perbuatannya, dan sering membatalkan sesuatu yang akan dikerjakan
dengan alasan-alasan tertentu. la mudah putus asa dan orang dengan sifat-sifat
ini bekerja atau bertindak dengan motif-motif kejahatan dan berdasarkan
pengaruh jahat dan iblis. la bisa saja berwajah meyakinkan dan hidup mewah dan
necis, tetapi secara kejiwaan ia tak berbudaya dan memiliki semua karakter
tamasik di dalam dirinya.
29. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, diterangkan secara
lengkap dan berulang-ulang, ketiga bagian, yang didasarkan pada ketiga guna
(sifat-sifat) dari buddhi (intelektual) dan dhriti (kebulatan tekad).
Ada tiga macam atau jenis buddhi (intelektualitas atau
kesadaran manusia). Dan juga ada tiga jenis sifat dari dhriti, yaitu tekad atau
suatu keputusan tetap yang diambil seseorang berdasarkan kadar
intelektualitasnya, atau kadar kesadaran dan pengertiannya.
Buddhi dan dhriti ini sangat dekat dengan setiap tindakan
yang kita ambil. Buddhi menganalisa apa yang harus dilaksanakan seseorang dalam
setiap aksi, sedangkan dhriti memutuskan dan menyelesaikan suatu aksi atau
tindakan sehingga selesailah atau tuntaslah perbuatan tersebut. Buddhi dengan
kata lain adalah suatu kekuatan yang dapat membedakan antara yang baik dan
buruk, yang salah dengan yang benar. Sering sekali kita manusia memohon kepada
Yang Maha Kuasa untuk ditunjukkan jalan yang benar dalam menghadapi
rintangan-rintangan di depan kita. Yang memohon ini sebenarnya adalah suatu
faktor pengertian atau kesadaran, dan ini disebut buddhi (intelektualitas).
Tindakan selanjutnya berdasarkan pengertian tersebut adalah yang didasarkan
pada kebulatan tekad atau suatu keputusan yang tuntas, dan ini secara
keseluruhan disebut dhriti.
30. Buddhi yang menyadari akan pravritti (tindakan yang
benar) dan nivritti (tindakan yang tidak harus dilakukan) – apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan, apa yang harus ditakuti dan apa
yang tidak harus ditakuti, perbuatan dan pekerjaan apa yang mengikat dan apa
yang membebaskan — pengertian (buddhi) tersebut, oh Arjuna, adalah sattvik
(suet dan bersih).
Sloka di atas jelas sekali pengertiannya dan kita manusia
seharusnya tahu akan apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita jauhi
dan cegah. Siapakah sebenarnya yang harus ditakuti dalam hidup ini dan siapa
pula yang harus kita lawan dan hadapi. Lebih dari itu pengertian atau kesadaran
yang bersih akan memberikan pengetahuan akan apa yang mengikat secara duniawi
dan apa saja yang akan melepaskan kita dari lingkaran penderitaan dan karma
kita.
31. Sesuatu yang diketahui secara menyimpang, secara
salah — tentang dharma dan adharma (yang betul dan salah), tentang apa yang
harus diperbuat dan yang tidak harus dilakukan – pengertian semacam itu, oh
Arjuna, bersifat rajasik.
Sesuatu pengertian atau buddhi yang bersifat rajasik yang
terpengaruh sifat-sifat raja ini adalah suatu pengertian berdasarkan konsep
yang salah atau menyimpang karena berdasarkan semangat egoisme. Pengertian
semacam ini selalu mencampur-adukkan yang baik dan yang buruk. Sedangkan
pengertian sattvik akan tegas dalam keputusan dan pengertiannya. Buddhi secara
rajasik sering melakukan perbuatan salah dan menyimpang karena keputusan yang
diambil selalu berdasarkan nilai-nilai yang salah persepsinya. Keputusan
semacam ini mencampur-adukkan kewajiban dengan kesenangan, benar dengan salah,
dan lain sebagainya dan menganggap semua itu adalah tindakan yang benar. Bagi
seorang yang bersifat rajasik, nilai-nilai kebenaran jadi kabur penghayatannya.
32. Buddhi yang terbungkus oleh kegelapan, yang berpikir
bahwa adharma (kesalahan) sebagai dharma (benar), dan melihat semuanya secara
tidak benar – buddhi (atau pengertian) ini, oh Arjuna, adalah tamasik.
Suatu pengertian yang bersifat tamasik, malahan
mengacaukan semuanya, semua nilai-nilai moral bisa saja jadi kacau-balau oleh
pola pemikiran semacam ini. Semua ini karena kegelapan yang menyelimuti
pengetahuan orang yang bersifat tamasik ini. Yang salah malahan terasa benar
baginya. Buddhi ini tidak sadar atau tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Bagi seorang tamasik, pemujaan kepada Yang Maha Esa itu salah, bersikap
anti-Tuhan dan anti-kebenaran malahan benar jadinya. Baginya kebenaran akan
hidup dan dunia ini tidak ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Orang-orang semacam ini lebih condong ke arah kekuatan-kekuatan gelap.
33. Suatu tekad atau keputusan (yang diambil seseorang)
yang tidak terombang-ambing sifatnya, melalui yoga atau konsentrasi
pengendalian aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan dan indra-indranya — tekad
tersebut, oh Arjuna, adalah tekad (atau keputusan) yang sattvik sifatnya.
Tekad atau keputusan ini disebut dhriti. Tekad yang
bersih dan sattvik karena:
• bersifat tegas dan tidak mudah digoyahkan, alias
stabil,
• diperkuat atau didasari oleh latihan-latihan dan
konsentrasi yoga,
• mengendalikan secara benar aktivitas-aktivitas pikiran,
pernafasan (meditasi) dan indra-indranya. Orang ini lalu mempunyai potensi
lahir-batin yang amat kuat, tegas, teguh pendirian dan raganya.
Tekad yang bersifat sattvik ini, mengendalikan pikiran
atau jiwa kita ke arah pengetahuan akan tenaga-tenaga yang tersembunyi dan juga
potensi-potensi yang tak nampak tetapi sebenarnya banyak terdapat dalam diri
kita. Juga akan terbuka potensi dan kekuatan yang ada di alam semesta ini yang
dapat dikaruniakan kepada orang yang teguh, yang penuh dedikasi kepadaNya
semata. Tekad sattvik kemudian menimbulkan kendali pada pemikiran kita, yang
kemudian mengendalikan setiap tindakan kita, sehingga kita pun berubah menjadi
sattvik, tanpa pamrih. Hanya bertindak karena harus dan karena kewajiban yang
bersifat dedikasi semata.
Tekad yang bersih ini mendisiplinkan pikiran, nafas, dan
indra-indra kita, dan diarahkan semua ini ketujuan yang benar. Indra-indra kita
akan terkendali secara otomatis secara bertahap. Dan ini bukan ilusi, tetapi
kenyataan yang telah dialami oleh mereka-mereka yang telah bersifat sattvik,
walaupun dalam abad modern ini.
34. Seseorang yang bertekad kuat pada dharma (kewajiban),
pada kama (kenikmatan), dan pada artha (harta) tetapi menginginkan imbalan
untuk tekadnya ini — tekad semacam ini, oh Arjuna, adalah rajasik.
Tekad yang bersifat rajasik adalah suatu tekad yang hanya
dilakukan untuk suatu imbalan tertentu.
35. Sesuatu tekad yang diambil seseorang, yang berasal
dari kebodohan, terlalu banyak tidur, ketakutan, kesusahan, depresi dan
kepentingan diri sendiri –tekad tersebut, oh Arjuna, bersifat tamasik (gelap).
Seseorang yang bersifat tamasik sangat keras sifatnya,
tetapi kekerasannya bersifat ngawur, karena berdasarkan kemalasan dan
kebodohan. Tindakan-tindakannya hanya berdasarkan opini sendiri yang didasarkan
pada sifat-sifat pribadinya yang dominan dan serba gelap. la pun selalu dekat
dengan rasa takut, depresi, penderitaan dan selalu berada di dalam lingkaran
gelap.
36. Dan sekarang dengarlah dariKu, oh Arjuna, tiga bentuk
kebahagiaan. Kebahagiaan ini, bagi seseorang yang mempelajarinya
(mempraktekkannya), akan menghasilkan kebahagiaan yang mengakhiri penderitaannya.
37. Yang terasa bagaikan racun pada awalnya tetapi serasa
air-surgawi pada akhirnya, dan yang terpancar dari pengertian yang murni dari
Sang Atman -kebahagiaan tersebut dikatakan bersifat sattvik (bersih).
Kebahagiaan sattvik yang sejati timbul dari kesadaran
diri atau dari penampilan/wahyu atau wangsit dari Sang Atman pada diri kita.
Tetapi kebahagiaan ini tidak mudah didapat karena harus dipelajari dan
dipraktekkan untuk jangka waktu yang lama yang tidak dapat ditentukan oleh
seseorang, dan harus diikuti oleh kepasrahan total kepada Yang Maha Esa. Ada
tiga ciri khas sattvik-sukha (kebahagiaan sattvik) ini:
1. Dicapai dengan abhyasa (praktek dan usaha spiritual
seperti pemujaan dan meditasi pada Yang Maha Esa secara berkesinambungan).
2. Sangat sukar dan pahit rasanya pada permulaan ini
dilakukan, tetapi terasa nikmat dan manis pada akhirnya.
3. Tidak didapatkan dari suatu unsur luar raga kita,
tetapi terpancar keluar dari diri sendiri yang sudah bersih dari awan-awan
gelap dan kebodohan, terpancar keluar dari lubuk jiwa kita yang paling dalam.
Sang Atman, Sang Jati Diri kita Yang Sejati akan memancarkan kenikmatan Ilahi
ini secara langsung pada waktunya.
Sattvik-sukha ini bersifat ananda, yaitu bersifat amat
menenangkan jiwa, suatu kebijaksanaan atau kesadaran yang amat menentramkan dan
membahagiakan jiwa kita.
38. Sesuatu yang terjadi karena kontak-kontak indra dan
obyek-obyeknya (vishaya), yang pada mulanya, terasa sebagai air-surgawi, tetapi
pada akhirnya terasa sebagai racun – kebahagiaan atau sukha ini dikatakan
sebagai rajasik.
Kenikmatan atau kebahagiaan rajasik itu terasa manis
seperti amrita (air-surgawi) pada mulanya, karena memang bersifat duniawi dan
tercipta akibat hubungan antara obyek-obyek sensual dan indra-indra kita.
Tetapi sesudah itu berakibat penderitaan yang amat menyakitkan. Semua
kenikmatan duniawi baik itu secara seksual, maupun melalui pesta-pora dan hidup
mewah terasa nikmat pada mulanya tetapi selalu terasa pahit pada akhirnya,
karena tidak disertai oleh nilai-nilai moral yang sejati, yaitu demi dan untuk
Yang Maha Esa semata, tetapi demi kesenangan dan kenikmatan pribadi, dan ini
disebut kebahagiaan rajasik, yaitu bersifat sementara saja.
39. Kenikmatan yang pada mulanya dan kemudian selanjutnya
menyesatkan sang jiwa, dan yang timbul dari tidur, kemalasan dan kekurangan
perhatian –kenikmatan tersebut dikatakan tamasik (gelap).
Kenikmatan tamasik sudah menyesatkan dan menderitakan
seseorang dari awal-mula dan selanjutnya pada akhirnya tetap mendatangkan
penderitaan. Seseorang yang terbius secara tamasik ini tenggelam dalam
kenikmatan yang diakibatkan oleh kebodohan, kekurang-pengetahuan, dan kekacauan
jiwa-raganya.
40. Tak ada satu makhluk pun, baik di bumi atau juga di
antara para disvarga-loka, yang bebas dari ketiga guna (sifat-sifat Prakriti)
ini, yang lahir dari Prakriti (alam).
41. Mengenai para Brahmin, Kshatrya, Vaishya dan para
Sudra, oh Arjuna, aktivitas-aktivitas mereka ini telah dijelaskan, sesuai
dengan guna-guna yang lahir dan sifat sejati mereka.
Svabhava, atau sifat seseorang, adalah pembawaan karma
seseorang atau sesuatu makhluk dari kehidupan masa lampaunya. Keempat varna
(sistim kasta) manusia pun terpengaruh oleh sifat atau guna-guna ini, dan semua
itu mempengaruhi cara kerja atau sifat perbuatannya. Svabhava dengan begitu
menentukan suatu kewajiban atau perbuatan seseorang berdasarkan guna-guna yang
dominan dalam orang tersebut. Kewajiban setiap varna dengan kata lain datang
dari Prakriti itu sendiri.
Sattva dominan dalam seseorang yang ditakdirkan menjadi
Brahmin sejati, raja dominan dalam seorang Kshatriya, dan kemudian setelah
sifat raja ini menyusul dua sifat, yaitu sattva dan tama dalam Kshatriya. Dalam
Vaishya yang dominan adalah unsur atau sifat raja plus tama, unsur sattva
menyusul kemudian.
Dalam Shudra, unsur yang dominan adalah tama, kemudian
menyusul raja dan terakhir sattva. Tetapi ingat dalam naungan Sang Atman,
setiap makhluk dan manusia adalah sama, yaitu hanya satu unsur, yaitu Sang
Atman Sendiri. Dalam IntiNya yang sejati dan secara spiritual kita semua adalah
berasal dari satu unsur yang tunggal. Satu dalam perjalanan, tujuan dan takdir
kita. Tetapi di dalam olahan sang Prakriti kita berbeda-beda, dan ingat sistim
varna atau kasta adalah produk dari sang Prakriti ini!
Semua bentuk kasta-kasta ini adalah ibarat alat-alat atau
anak-anak dari Yang Maha Esa. Kepandaian, ilmu pengetahuan, dan kekayaan dunia
lahir dan batin, dibagikan secara sama rata kepada masing-masing kasta ini
sesuai dengan kewajiban-kewajibannya di dunia ini untuk mencapai Yang Maha Esa
kembali. Tetapi tidak ada perlombaan kekuasaan atau kedudukan atau diskriminasi
yang dianjurkan di antara mereka-mereka ini. Yang ada hanya sifat-sifat dominan
pada seseorang, dan sifat-sifat inilah yang menentukan kewajibannya dan
kastanya. Jadi kasta itu ditentukan oleh jenis sifat, pekerjaan dan perbuatan
seseorang sehari-hari dan bukan karena status kelahiran seseorang. Seseorang
dalam perjalanan hidupnya di dunia ini bisa raja berubah dari seorang yang
lahir secara (atau tidak) Vaishya menjadi seorang brahmana sesuai dengan
panggilan atau ketentuan Ilahi, menurut takdirnya masing-masing, dan begitupun
sebaliknya. Mukti atau pembebasan spiritual terbuka untuk siapa saja tanpa
pandang bulu, yang penting seseorang itu mau bertindak tanpa pamrih, dan penuh
dengan dedikasi yang luhur terhadap Yang Maha Esa.
Sekali lagi ditegaskan di sini, Svabhava adalah sanskara
(penderitaan duniawi) yang diakibatkan oleh perbuatan dari kelahiran yang
silam. Sesuai dengan sanskara ini, maka dalam hidup ini terciptalah pada
seseorang unsur-unsur sattva, raja dan tama. Dan sesuai atau berdasarkan guna
ini timbullah keempat sistim varna (kasta) atau jenis-jenis profesi dan perbuatan
masing-masing orang, bukan diskriminasi atau perbedaan
kekayaan/kedudukan/status seseorang. Status seseorang, makhluk dan benda di
mata Yang Maha Esa adalah sama saja, yaitu satu: sebagai alatNya belaka, tidak
lebih dan benda tidak kurang. Om Tat Sat.
42. Ketenangan, pengendalian diri, disiplin spiritual,
kebersihan lahir-batin, kesabaran, menjunjung tinggi kebenaran, kebijaksanaan,
pengetahuan dan iman — adalah kewajiban seorang Brahmin, lahir dari sifatnya
yang pribadi.
Keempat sistim varna ini sebenarnya kalau ditinjau dengan
kaca-mata yang benar, maka melambangkan suatu fungsi sehat dari suatu
tata-negara dalam satu negara yang baik dan bijaksana pemerintahannya. Negara
yang sehat dan kuat, aman dan makmur adalah suatu negara di mana kaum brahmana,
kshatriya, vaishya dan sudra bersatu, bergabung, bahu-membahu bekerja demi
kesejahteraan yang lainnya, dan bukan saling mendepak, menjatuhkan atau
merendahkan lainnya.
Tetapi inti dari sistim varna atau kasta ini sebenarnya
adalah kaum Brahmin. Bukan harta-benda atau jumlah tentara yang melimpah-ruah,
bukan perencanaan ekonomi yang fantastis, atau pidato-pidato kosong yang
muluk-muluk para politisi, tetapi kehidupan orang-orang awam yang berdedikasi,
bermoral tinggi dan beragama secara saleh, yang sebenarnya menjadi dasar atau
sendi utama dari varna atau kasta-kasta lainnya. Dan orang-orang yang sederhana
tetapi bermoral tinggi inilah yang sebenarnya yang disebut brahmin-brahmin
dalam arti yang sebenarnya, yang orientasinya selalu dalam menegakkan dharma dan
bhaktinya. tanpa pamrih demi Yang Maha Esa dan masyarakat banyak. Dan kalau
masyarakat banyak bermoral baik, maka negara itu akan baik, sehat dan kuat.
Tetapi seandainya masyarakat itu sakit, maka negara itupun akan sakit dan
lemah. Semakin banyak yang bersifat brahmin dalam suatu masyarakat atau negara
makin jayalah negara itu, karena akan selalu jauh dari unsur-unsur yang
merugikan. Seorang brahmin sejati adalah seorang guru bagi sesamanya.
43. Keberanian, semangat, ketegaran, pandai berunding,
tidak bersifat pengecut (tidak lari dari suatu peperangan), bermurah-hati dan
berwibawa sebagai pemimpin (sifat asli seorang pemimpin) – semua ini adalah
kewajiban seorang kshatriya yang lahir dari sifat-sifat pembawaannya.
Brahmin yang sejati adalah guru, dan kshatriya yang
sejati adalah pengayom masyarakat yang bersedia mati setiap saat ia dibutuhkan
demi tegaknya kebenaran, kedamaian dan kemajuan atau kemakmuran suatu negara
dan masyarakat. Orang-orang yang berjiwa kshatriya tidak mengenal takut, selalu
bersemangat baja, dan tak mudah dipengaruhi oleh uang dan harta-benda. Harapan
bangsa terletak di pundak mereka, dan itulah dharma-bhakti mereka pada Yang
Maha Esa dan masyarakat. Salah satu contoh adalah Sang Bhishma, suatu waktu
Yudhishthira pernah memohon kepada Sang Kreshna agar ia dijadikan muridnya.
Oleh Sang Kreshna ia diminta berguru ke Bhisma, dan salah satu ajaran Sang
Bhishma pada Yudhishthira adalah, “Di mana Sang Kreshna bekerja, di situ
terdapat dharma (kebenaran), di mana dharma berfungsi, di situ terdapat
kemenangan.” Seorang kshatriya sejati adalah yang bekerja berdasarkan dharma,
dan tak merasa takut akan apapun juga selain Yang Maha Esa. Biasanya seorang
pemimpin semacam itu sudah lahir dengan wibawa dan kharisma semacam itu. Maka
dikatakan, seorang kshatriya adalah seorang pemimpin bangsa, sedangkan seorang
brahmin adalah guru dari masyarakat (semuanya).
44. Berladang, menjaga ternak dan berdagang adalah
kewajiban seorang vaishya, lahir dari sifat pribadinya. Tindakan atau perbuatan
yang bersifat jasa atau pelayanan (masyarakat) adalah kewajiban seorang shudra,
yang lahir dari sifat pribadinya.
Seorang yang berkarakter atau hidup sebagai seorang
vaishya berciri khas seperti (1) petani dan yang berhubungan dengan pertanian,
(2) beternak dan menjaga agar ternak-ternak dipelihara dengan baik karena sapi,
kerbau dan sejenisnya dianggap suci dan amat bermanfaat dalam agama Hindu, (3)
berdagang atau berwira swasta dalam berbagai bidang ekonomi adalah sifat-sifat
dominan seorang vaishya. Sedangkan yang digolongkan sebagai shudra adalah
orang-orang yang berkerja di bidang jasa atau pelayanan secara umum, juga
sebagai buruh, karyawan, dan petugas dalam segala bidang pekerjaan milik
pemerintah maupun non-pemerintah.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa sistim varna atau
kasta ini sebenarnya adalah pembagian golongan kerja, dan bukan pembagian hak
hidup seseorang yang dapat diatur semena-mena. Tidak boleh ada orang yang
merasa dilahirkan dalam kasta ini atau kasta itu. Yang benar adalah sewaktu
seseorang tersebut dewasa dan ingin menentukan pekerjaan dan jalan-hidupnya
sendiri maka terserah olehnya pekerjaan apa yang akan dipilihnya. Jadi sistim
kasta yang berlaku sekarang ini yang membeda-bedakan, hak, status, nama dan
sebutan, dan pekerjaan adalah salah besar. Yang benar itu, kasta ini hanyalah
sekedar pembagian golongan, yang dalam abad modern ini bisa disebut sebagai
berikut: para rohaniwan untuk sebutan modem para brahmana (tercakup di dalamnya
para guru dan ilmuwan dan lain sebagainya yang berhubungan), kemudian para
ekonom adalah sebutan modern atau masa kini untuk para pedagang, bankir dan
lain sebagainya yang berhubungan dengan bidang ekonomi, para petani dan nelayan
termasuk juga dalam golongan ini. Para politisi, pejabat negara, tentara dan
pamong-praja dan lain sebagainya adalah istilah modern para kshatriya; dan para
buruh, pekerja, petugas dan lain sebagainya yang berstatus bekerja pada
seseorang, negara, dan lainnya disebut shudra. Keempat golongan ini menjadi
tiang-tiang utama dari sebuah negara, dan saling menunjang karena setiap tiang
ini sama kekuatan dan kedudukannya. Satu tiang patah maka patahlah juga
tiang-tiang lainnya, karena tidak akan mampu menyanggah negara yang ibarat
sebuah gedung besar bertiang empat.
Seandainya sesuatu bangsa dan negara tidak melakukan
suatu diskriminasi dengan, golongan-golongan yang ada di dalamnya, dan
menghargai setiap golongan ini, maka aman-sejahtera dan sentosalah negara ini.
Berbeda-beda tetapi eka, berbagai aspirasi tetapi satu tujuan, yaitu
kesejahteraan bagi sesama dan semuanya adalah misi yang dikandung di
sloka-sloka di atas ini, dan ingat bukan perbedaan kasta yang diskriminatif.
Sebuah bangsa dan negara yang besar, maju dan sejahtera adalah yang
masyarakatnya harmonis, dan duduk sama penting di antara sesamanya.
45. Seseorang mencapai kesempurnaan apabila ia
berdedikasi kepada kewajibanya sendiri. Dengarkanlah olehmu bagaimana
kesempurnaan ini didapatkan oleh seseorang yang setia kepada kewajibannya
sendiri.
Yang dimaksudkan dengan kesempurnaan ini adalah
penyadaran akan Ilahi. Seseorang dapat mencapainya dengan bekerja secara setia
dan penuh dedikasi kepada kewajibannya sendiri, yaitu bekerja sesuai dengan
sifat sejati yang dimilikinya. Sewaktu seseorang menyerahkan semua pekerjaan
dan perbuatannya kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih sedikitpun, maka secara
bertahap ia akan mencapai kesempurnaan ini atas karuniaNya. Tidak menjadi
masalah kalau pekerjaan itu secara duniawi sifatnya amat sederhana atau kecil.
Sekali perbuatan atau pekerjaan ini diserahkan secara total kepadaNya maka
terbukalah jalan ke arah Yang Maha Esa.
Bekerjalah demi Yang Maha Esa sesuai dengan sifat-sifat
kita yang sejati, janganlah iri atau berganti-ganti profesi karena harta
duniawi, padahal belum tentu kita menghayati pekerjaan baru kita karena tidak
berbakat ke arah itu. Pekerjaan, profesi atau perbuatan seharusnya dilakukan
karena dedikasi kita kepada Yang Maha Esa, bukan karena nafsu atau keinginan
duniawi. Maka sebaiknya setiap orang mengerjakan pekerjaan yang disenanginya,
dihayatinya dan sesuai kodratnya, walaupun profesi tersebut tidak menghasilkan
sesuatu harta duniawi. Harta sesungguhnya di dunia ini adalah Yang Maha Esa
sendiri dengan segala karunia-karuniaNya, jadi seyogyanyalah kita selalu
bekerja demi Yang Maha Esa semata, tanpa pamrih dan tulus jiwa-raga. Om Tat
Sat.
46. la dari siapa semua makhluk dan benda ini datang dan
oleh siapa seluruh ciptaan ini dijaga — dengan memujaNya melalui kewajibannya
masing-masing, maka seseorang akan mencapai kesempurnaan.
Suatu pekerjaan yang menjadi kewajiban seseorang dapat
menjadi pemujaan kepada Yang Maha Esa seandainya semua itu dipersembahkannya
kepada Yang Maha Esa secara mental dan ragawi, untukNya, demi Ia semata tanpa
pamrih. Tetapi pekerjaan ini harus selaras dengan kewajiban orang tersebut,
yang juga senada dengan kewajibannya terhadap sesamanya secara tulus, bukan
pekerjaan atau perbuatan orang lain yang ditiru atau dipaksakan olehnya.
Yang Maha Esa adalah sumber segala ciptaanNya di alam
semesta, dan Ia juga yang menjaga semua itu, maka dengan bekerja demi Yang Maha
Esa sesuai kewajiban kita masing-masing sebenarnya seseorang ikut melestarikan
dan menjaga alam semesta ini. Dan Yang Maha Esa pun lalu tentu dengan senang
hati akan membuka jalan ke arah kesempurnaan bagi sang pemuja yang penuh dengan
bakti yang tulus ini.
47. Lebih utama dharma seseorang itu sendiri, walaupun
ada kekurangan-kekurangannya, daripada melakukan dharma orang lain walaupun
dikerjakan dengan baik. Seseorang yang melakukan dharmanya sendiri, yang
didasarkan pada sifatnya pribadi (svabhava), tidaklah berdosa.
Jangan sekali-kali mengabaikan kewajiban anda, untuk
sesuatu perbuatan atau pekerjaan orang lain, walaupun perbuatan atau pekerjaan
tersebut nampak dan terasa lebih baik dan menghasilkan laba yang lebih besar,
atau nampaknya lebih bermanfaat daripada pekerjaan seseorang itu sendiri.
Contoh: seorang yang bersifat dan berpembawaan sejati sebagai brahmana
janganlah melakukan pekerjaan seorang politisi, akibatnya bisa kacau nanti
semua hasil akibatnya lahir dan batin. Pekerjaan atau kewajiban kita yang asli
adalah di mana svabhava (sifat pembawaan) kita menemukan ekspresi keluarnya
yang sejati tanpa berdasarkan suatu rasa iri-hati, dengki dan cemburu.
Biarkanlah alam bekerja melalui diri kita masing-masing secara alami, dan itu
akan lebih utama bagi kita, daripada menentang kodrat dan kemauan alam yang ada
dan hadir setiap saat dalam diri kita. Seorang tukang pembuat sepatu sebaiknya
bekerja sebagai tukang sepatu, ia boleh bercita-cita setinggi langit, itu
haknya, tetapi ia lebih baik mengembangkan usaha yang dihayatinya daripada ia
merasa iri-hati terhadap salah satu saudaranya yang diangkat menjadi kepala
desa oleh masyarakat setempat. Begitu iri-hatinya sang tukang sepatu sehingga
ia mengorbankan segala-galanya untuk mendapatkan posisi tersebut, padahal ia
sama sekali tidak menghayati peranan seorang kepala desa yang harus bekerja
untuk seluruh masyarakat di sekitarnya tanpa pamrih. Hal semacam ini tidak akan
diterima oleh Yang Maha Esa, dan semua usahanya sia-sia saja secara spiritual.
Ia, Yang Maha Esa, lebih mengutamakan kewajiban seorang yang sejati walaupun
sifat pekerjaan itu sederhana saja, karena pekerjaan yang sederhana ini kalau
dikerjakan penuh dengan dedikasi kepadaNya semata akan mengantar orang ini ke
moksha. Seorang penjaga toko atau seorang kusir kereta yang sederhana mungkin
lebih dekat dengan kehidupan yang benar dan sejati dibandingkan seorang raja
atau presiden yang hidupnya bergelimang kemewahan tetapi lupa akan kewajibannya
yang sejati akan rakyat yang menjadi tujuannya mengabdi.
48. Yang sudah menjadi kewajiban seseorang walaupun
cacat, tidak boleh dilepaskan. Karena semua perbuatan itu terselubung oleh
kecacatan ibarat api yang terselubung oleh asap.
Jangan sekali-kali melepaskan kewajiban yang sudah
menjadi panggilan nurani kita yang tulus dan sebenarnya. Walaupun kewajiban
tersebut terasa kurang sempurna dalam pelaksanaannya. Karena sebenarnya tidak
ada sesuatu pekerjaan pun, atau aksi dan perbuatan yang sempurna. Semuanya
selalu ada saja cacat atau kurungnya, yang sempurna adalah Yang Maha Esa dan
segala kehendak-kehendakNya, yang scring sekali tidak dapat dimengerti oleh
manusia. Secacat-cacatnya suatu pekerjaan pada mulanya, pasti akan lebih
sempurna pada tahap-tahap selanjutnya. Bekerjalah sesuai dengan kewajiban kita
semata, dengan segala ketulusan dan kesucian hati kita, dan secara bertahap
akan makin dekatlah kita kepadaNya.
49. Seseorang yang buddhinya (pengertian) tidak terikat
di mana pun juga, yang telah mengendalikan dirinya, yang keinginannya telah
lari jauh – dengan pemasrahan segala hasil pekerjaannya secara total, orang ini
menuju ke Kesempurnaan Yang Agung yang disebut naishkarmya (kebebasan dari
perbuatan atau tindakan).
Inilah salah satu petunjuk penting dalam Bhagavat Gita,
yaitu melalui suatu perbuatan atau tindakan, seseorang dapat mencapai suatu
bentuk kesempurnaan dalam non-tindakan atau non-aksi (perbuatan). Kesempurnaan
ini adalah suatu kebebasan dari karma, kesempurnaan ini adalah suatu penyadaran
akan Yang Maha Esa secara sejati. Ada tiga tahap dalam jalan ke arah
kesempurnaan ini: a. Pada tahap pertama seseorang melepaskan rasa ego, rasa
“ke-aku’an” nya, rasa memiliki, rasa superior atas dirinya sendiri, atas setiap
tindakan dan perbuatannya. b. Pada tahap kedua ia melepaskan semua hasil atau
buah dari perbuatan, aksi dan tindakannya, termasuk hasil dari semua
pekerjaannya. c. Pada tahap ketiga ia melepaskan semua pemikiran atau ide-ide
mengenai kewajibannya, ia melepaskan semua karma-karmanya. la menjadi tuan atau
majikan bagi dirinya sendiri, yaitu yang dalam agama Hindu disebut mencapai
suatu kekuatan dari non-perbuatan (non-aksi yang sempurna). Ia dengan kata lain
mencapai penyatuan dengan Sang Brahman, Yang Maha Agung, yang jauh dari semua
tindakan-tindakan di dunia ini. la sadar sesungguh-sungguhnya bahwa bukan ia
yang bekerja, tetapi Ia yang bekerja dan berbuat, sesuatu non-aksi dalam setiap
aksi.
Dalam sloka di atas, sanyasa yang berarti penyerahan
total dari setiap hasil perbuatan disamakan dengan tyaga yang berarti
penyerahan atau pelepasan nafsu dan keinginan. Naishkarmya di sloka di atas
bukan berarti akarma, melainkan berarti tidak berbuat aksi atau tindakan yang
dapat menimbulkan keterikatan duniawi.
50. Pelajarilah dariKu secara singkat, oh Arjuna,
bagaimana sesudah mencapai kesempurnaan, orang itu mencapai Sang Brahman — Yang
Maha Memiliki Kebijaksanaan.
Pada sloka-sloka berikutnya, Sang Kreshna mulai
mengajarkan kepada Arjuna bagaimana seseorang yang telah berhasil melakukan
usaha-usaha non-tindakan, non-aksi dan non-perbuatan ini dapat mencapai Sang
Brahman, yang menjadi tujuan kesadaran dari Sang Atman dalam diri kita.
Berbagai tahap-tahap dalam pencapaian kesadaran diri ini diterangkan di
sloka-sloka berikut ini.
51. Penuh dengan pengertian yang bersih, secara tegar
mengendalikan dirinya, menjauhi suara dan obyek-obyek sensual (indra-indra dan
obyek-obyeknya), melepaskan rasa senang dan rasa benci akan sesuatu.
52. Tinggal di tempat yang sepi dan tenang, memakan
secukupnya (sedikit yang diperlukan saja), mengendalikan kata-kata, raga dan
pikirannya, selalu terserap di dalam yoga meditasi, berlindung (kepadaNya)
tanpa sesuatu keinginan duniawi.
53. Menjauhkan “rasa-kepunyaanku,” kekerasan, kepentingan
pribadi, keinginan (dan nafsu), harta-benda; merasa dirinya bukan apa-apa dan
bersifat damai — orang semacam ini pantas untuk bersatu dengan Sang Brahman.
Seorang pemuja, untuk mencapai Sang Brahman, harus
berjuang melalui berbagai tahap-tahap yang jauh dari sifat-sifat duniawi. Yang
pertama adalah sadar akan pengetahuan yang sejati dan pengetahuan ini dicapai
melalui karma (tindakan atau perbuatan yang tidak mementingkan diri pribadi.
Yang kedua, lain menyusul dedikasi dalam pemujaannya kepada Yang Maha Esa.
Sewaktu mencapai pengetahuan sejati melalui tindakan atau
perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri, maka sang pemuja Yang Maha Esa
ini mengalami berbagai hal seperti berikut:
a. Timbul dalam dirinya suatu pengertian yang bersih,
suci dan murni, dan bangkit juga tekadnya akan hal-hal yang bersih, suci dan
murni, yang lepas dari ilusi-ilusi duniawi; dan sang pemuja ini sadar bahwa
raganya lain dengan Yang menumpang raganya, yaitu Sang Atman.
b. la menjauhi semua kenikmatan-kenikmatan sensual atau
indra-indranya seperti menjauhi suara-suara yang berisik, yang penuh polusi dan
rangsangan sensual, dan lain sebagainya yang menyebabkan gangguan pada jiwa;
juga menjauhi melihat dan menyentuh hal-hal yang negatif baginya.
c. la akan mampu mengendalikan dirinya dan berada di atas
sifat-sifat dualislik yang saling bertentangan seperti suka-duka, cinta-benci,
panas-dingin, dan seterusnya.
d. la akan menyenangi tempat yang sepi dan tenang.
e. Makan-minumnya, tidur dan bicaranya akan secukupnya
saja, amat bersahaja dan sattvik sifatnya. Baginya sedikit tetapi mencukupi
sudah amat baik baginya.
f. la terkendali dalam kebutuhan dan gerak-gerik
tubuhnya, pikirannya dan pembicaraannya.
g. la selalu terserap dalam meditasi, demi Kebenaran Yang
Sejati, demi Yang Maha Esa.
h. Jauh dari rasa keinginan-keinginan duniawi, dari nafsu
dan mengarah kepada hal-hal yang tidak bersifat duniawi atau keterikatan
(vairagya).
i. Jauh dari ambisi, rasa memiliki atau “aku,” kepalsuan,
kekerasan, kesombongan, ego, nafsu, dan rasa marah.
j. Selalu bersikap damai, penuh dengan ketenangan jiwa,
sopan-santun, budi baik, penuh simpati kepada sesama makhluk, penolong dan
tidak serakah.
54. Menyatu dengan Sang Brahman, jiwanya tenang, ia tidak
bersedih, atau bernafsu. Memandang setiap benda dan makhluk sama rata, ia
mencapai dedikasi nan agung di dalamKu.
Seorang pemuja Yang Maha Esa yang telah menyatu akhirnya
dengan Sang Brahman, tak akan pernah bersedih untuk apapun juga dan tak pernah
bernafsu untuk hal-hal yang bersifat duniawi maupun yang bersifat spiritual
demi kebutuhan-kebutuhan egonya. Raga, jiwa dan batinnya telah berubah suci,
bersih dan murni, dan ia telah lepas dari semua karma-karmanya. la bahagia
dengan dirinya sendiri. la melihat secara sama-rata pada setiap benda dan
makhluk. la mencintai Yang Maha Esa dengan penuh bakti, kasih yang tulus dan
dedikasi yang murni. Bagi Yang Maha Esa, Sang Kreshna, pemuja semacam ini
adalah agung dan merupakan Sang Atman sendiri secara keseluruhan. Dan bakti
pemuja ini dianggap berada di atas semua sifat-sifat alam (guna-guna) Sang Maya
(Prakriti), di atas semua bentuk karma.
Bakti pemuja semacam ini sesungguhnya mulai setelah ia
menyadari atau mendapatkan penerangan Ilahi. Begitu bergabung dengan penerangan
yang dikaruniakan Yang Maha Esa, maka tindak-tanduknya, intuisi, maupun
pemikiran dan pemujaannya akan sinkron dan selaras dengan kehendak Yang Maha
Esa (Sang Atman), pemujaannya akan penuh dedikasi yang tulus dan murni, secara
sejati ia akan memuja Yang Maha Esa.
55. Dengan dedikasi dan kesetiaan ia mengenalKu,
(menyadari) apa kemampuanKu dan apa Aku ini dalam arti yang sejati, kemudian
setelah mengenalKu secara sejati, maka berlanjutlah ia memasuki Itu, Yang Maha
Agung.
Untuk mencapai atau memasuki Sang Brahman adalah dengan
mencintai dan mengasihi Sang Kreshna setulus-tulusnya. Untuk mencintai Sang
Kreshna adalah dengan mengenal Sang Kreshna dulu, mengenal betapa menakjubkan
Ia, apa saja bentuk sejati dari sifat-sifatNya, keajaiban-keajaibanNya,
mukjizat-mukjizatNya dan kegaibanNya, keagungan dan kebesaranNya. Untuk
mengetahui ini semua adalah dengan memasuki kehidupanNya. Dan seseorang bekerja
dan bertindak bukan untuk dirinya lagi, tetapi hanya demi Ia semata. Jadi dengan
kata lain, klimaks dari kesadaran akan kasih itu sebenarnya terletak pada
bhakti (bakti) dan prema (kasih-Ilahi). Memasuki atau menyatu dengan Yang Maha
Esa bukan berarti “menyia-nyiakan diri kita,” tetapi lebih berarti bahwa Sang
Jiwa kita harus dilepaskan dari ikatan-ikatan duniawinya, kemudian akan
terbukalah tabir yang selama ini menutupi jiwa kita, dan terlihatlah sifat gaib
Yang Maha Esa dalam diri kita, yang sebenarnya adalah duplikat atau rupa dari
Yang Maha Suci dan Agung, Sang Kreshna Yang Sejati; Menyatu atau masuk ke
dalamNya berarti menjadi gambaranNya, menjadi seperti Sang Kreshna. Dan karena
Sang Kreshna, Yang Maha Esa, itu kasih adanya, maka menyatu denganNya berarti
mencintai dengan kasih Yang Tak Kunjung Habis secara konstan dan abadi, selama-lamanya,
kepadaNya dan sesama makhluk dan manusia di alam semesta ini. Bayangkan seperti
apakah kasih ini: di luar kata-kata untuk menggambarkan kebesaran dan
keagunganNya, di luar batas-batas khayalan manusia awam!
Mencintai Sang Kreshna adalah dengan (sekali lagi!)
mengenalNya, mengenal sifat-sifatNya yang paling dalam mengenal kebenaran apa
saja Ia ini sebenarnya. Melalui pengetahuan kasih ini, Sang Jiwa kita akan
memasukiNya. Dan dengan dedikasi yang disertai dengan kasih yang tulus dan
sejati, maka Sang Jiwa akan tinggal di dalam Sang Kreshna sampai saat ajal
datang menjemput, kemudian secara abadi ia larut dan bersatu tinggal di dalam
Yang Maha Esa (setelah kematian pemuja yang tulus ini).
56. Melakukan semua tindakan secara konstan, apapun jenis
tindakan ini, berlindung kepadaKu, dengan karuniaKu, ia akan mencapai tempat
nan abadi, yang tak pernah binasa.
Dalam sloka ini Sang Kreshna menggabungkan seluruh
doktrin atau ajaran-ajaranNya yang terdiri dari unsur-unsur karma, gnana dan
bhakti. Seorang pemuja Sang Kreshna yang sejati tidak perlu malu-malu untuk
ber-karma. la dapat melakukan pekerjaan apa saja yang positif tentunya, selama
itu disertai oleh rasa bhakti yang tulus. Dan karunia Yang Maha Esa akan
memutuskan seluruh ikatan-ikatan karmanya. Seseorang yang secara sejati telah
bersandar kepada Sang Kreshna, Yang Maha Esa, walau ia bertindak apa saja,
apapun yang dilakukannya walau mungkin terkesan salah bagi sebagian orang,
sebenarnya hasil atau buah dari perbuatan itu sudah diambil dan dinetralisir
oleh Yang Maha Kuasa. Pemuja ini sebenarnya sudah bersandar total kepadaNya,
dan hanya hidup dan bekerja atas karuniaNya yang sejati. Ada tiga pemikiran
yang dapat disimpulkan dari sloka-sloka di atas, yaitu:
a. Sang Jiwa dituntun ke arah gnana (pcngetahuan atau
kesadaran) oleh tindakan-tindakan yang tanpa pamrih, atau yang telah
dipasrahkan secara total kepada Yang Maha Esa.
b. Sarnagati, yaitu bersandar pada Yang Maha Kuasa,
(walaupun mungkin dengan motif-motif yang penuh dengan maksud-maksud pribadi),
mendedikasikan berbagai kewajiban-kewajiban kepadaNya.
c. Prema-bhakti, yaitu melalui cinta atau kasih yang
agung dan suci.
57. Menyerahkan dalam pikiran semua tindakan kepadaKu,
memandangKu sebagai Yang Maha Agung, berlindung dalam buddhi-yoga, yoga kebijaksanaan
yang dapat membedakan, maka pusatkanlah pikiranmu senantiasa kepadaKu.
Di sloka ini Sang Kreshna bersabda agar secara mental
Arjuna mcnyerahkan atau memasrahkan semua tindakan-tindakannya kepada Yang Maha
Esa dari lubuk hati dan jiwanya secara tulus dan sejati.
Yang dimaksud di sini amat penting, yaitu menjadikan diri
kita tidak lain dan tidak bukan semacam wakil atau utusan dari Yang Maha Esa
Itu sendiri, yang ditugaskan bekerja dan beribadah kepadaNya di bumi ini,
sesuai dengan kehendakNya, dan senantiasalah berpikir akan Yang Maha Esa dan
memohon petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunanNya. Kemudian secara tulus
memasrahkan secara total semua perbuatan itu dan hasil-hasilnya kepada Yang
Maha Esa: terjadilah kehendakNya. Dan janganlah ini disertai dengan pamrih atau
pemikiran akan imbalan sedikitpun, sekecil apapun, janganlah terlintas pikiran
akan pamrih ini! Dengan belajar, berusaha dan mempraktekkan tahap demi tahap,
langkah demi langkah buddhi-yoga sebagai dasar dari semua yoga-yoga lainnya, seseorang
harus hidup di dunia ini dengan segala kewajiban-kcwajibannya, dengan segala
efek dan aspek dari kewajiban, perbuatan, pekerjaan dan aksi ini, bukannya
melarikan diri dari semua aspek kehidupan yang kita hadapi ini dengan berbagai
alasan, misalnya berdosa atau sukar melakukan sesuatu. Semua alasan-alasan yang
dicari untuk menghindar dari aksi-aksi yang positif dan sesuai dengan kewajiban
adalah kebodohan yang amat sangat. Bekerjalah, berbuatlah, berkarmalah,
beraksilah, semuanya dengan dasar kewajiban kita, memakai istilah agama Islam,
berdasarkan ibadah kita kepada Yang Maha Kuasa, dan serahkan hasilnya secara
total dan murni kepadaNya semata. Dengan demikian bersihlah karma kita dari
ikatan-ikatan duniawi ini. Sekali lagi, bersatulah dengan Yang Maha Esa dalam
tekad, iman, jiwa dan kesadaran!
58. Berpikir akan Aku, maka dikau akan mengatasi semua
rintangan-rintangan dengan karuniaKu. Tetapi kalau terdorong rasa egoisme dikau
tak mau mendengarkan Aku, maka dikau akan binasa.
Sang Jiwa harus bermeditasi kepada Sang Kreshna dan
melupakan pikiran akan kepentingan diri-pribadinya sendiri. Seseorang yang
telah membunuh rasa egonya, akan mendapatkan bimbingan Sang Kreshna ke arah
sukses spiritual. Tetapi seseorang yang karena hanya mementingkan egonya dan
tak mau acuh kepada ajaran-ajaran Sang Kreshna akan binasa. Jadi tinggal
memilih sendiri keselamatan atau kehancuran. Kalau kita menginginkan kehancuran
maka percayalah diri-sendiri dan ikutilah segala kemauan diri ini. Kita bisa
saja menentang yang Maha Esa, tetapi tidak mungkin menentang kehendakNya.
Sekali menentangNya, maka jatuh, hancur dan binasalah kita, dalam arti masuk ke
dalam lingkaran setan kelahiran dan kematian yang seakan-akan tidak ada
habis-habisnya.
Seandainya secara salah kita mengidentifikasi diri kita
dengan badan dan pikiran kita, dan hanya tergantung pada “ego” kita, (dan
berpikir bahwa kitalah pelaku setiap tindakan) atau pun yang ada disekitar kita
berdasarkan ego kita pribadi, maka kita pasti akan jatuh. Dengan demikian kita
akan jauh dari Yang Maha Esa, kalau kita makin jauh maka kita akan bertambah
kotor dan penuh dengan polusi duniawi, dan hancurlah kita kemudian jadinya.
Biasanya rasa kesombongan, ego dan kebesaran kita akan diri kita ini akan
hancur dahulu sebelum kita sendiri kemudian menyusul hancur. Tetapi
bergandengan tangan dengan Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka
tujuan dan sukses pasti akan tercapai. Dengan kata lain, kejatuhan sang jiwa
kita adalah karena tidak patuhnya, karena pertentangan kita dengan kehendakNya.
Dalam perjalanan atau evolusi hidupnya Sang Jiwa ini lalu menjadi cacat dan
cemar, dan inilah yang disebut kehancuran dan kejatuhan Sang Jiwa ini ke dalam
kegelapan.
59. Kalau bertahan dalam egoisme, dikau berpikir, “Aku
tak akan berperang,” maka ketahuilah bahwa keputusanmu itu sia-sia saja. Alam
(pembawaan dan takdir) akan memaksamu untuk bertindak!
60. Oh Arjuna, terikat oleh tindakan-tindakanmu sendiri,
lahir dari sifatmu sendiri. Hal-hal yang karena kekurang-sadaranmu tidak ingin
kau lakukan, tanpa daya akan kau lakukan juga.
Seandainya Arjuna yang berstatus kshatriya ini tidak
ingin berperang karena rasa egonya yang salah tidak menginginkan ia berperang.
Tetapi tanpa akan disadarinya segala naluri alaminya, sifat dan pembawaannya
beserta takdir yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa akan memaksanya untuk
bertindak dan berperang demi kelangsungan hidupnya atau demi alasan-alasan
lainnya. Semua tindakan ini sebenarnya berdasarkan akan karma-karma yang kita
buat sendiri pada kelahiran-kelahiran yang lalu. Jalan yang paling benar secara
spiritual dan kejiwaan adalah dengan mempersembahkan secara tulus dan penuh
kesadaran jivva-raga kita kembali kepada Yang Maha Esa. Lalu karma-karma kita
secara tahap demi tahap akan menyesuaikan diri dan berubah karakternya menjadi
penuh dengan dedikasi dan kesetiaan demi Yang Maha Kuasa. Bahkan seorang
yogipun tak akan bisa berubah sekaligus, semua atau setiap orang harus melalui
tahap penyerahan total kepadaNya dulu. Ada suatu hal yang tak dapat kita perkirakan,
yaitu episode-episode yang akan terjadi dalam perjalanan hidup kita ini, bahkan
setiap hari kita jumpai kisah-kisah yang penuh dengan pengalaman yang unik, dan
semua itu bisa saja jauh dari perkiraan dan rencana kita yang sudah matang.
Bahkan sering kita melakukan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan dulunya,
bahkan sering sekali kita melakukan hal-hal tanpa kesadaran; sering sekali
bahkan secara suka-rela, sering juga tanpa daya dan terpaksa, hal-hal ini
semuanya ada yang bertentangan dengan diri kita, ada yang selaras, ada yang
setelah dilakukan menimbulkan sesal, ada yang setelah dilakukan secara terpaksa
tetapi kemudian mendatangkan suatu kesenangan tersendiri. Sebenarnya tanpa
kesadaran kita, semua ini telah diatur dan tercipta sewaktu kita sendiri mulai
tercipta di dunia ini bahkan mungkin sebelumnya. Seperti wayang atau pemain
sandiwara kita ini sudah diatur cara bermainnya oleh sang dalang dan
sutradaranya, mau tak mau kita harus memainkan peranan kita masing-masing,
karena itulah karma-karma kita yang berjalan di bawah kuasa Sang Prakriti.
61. Yang Maha Esa bersemayam di dalam hati (jiwa) setiap
makhluk, oh Arjuna, mengakibatkan mereka terputar oleh Sang Maya (kekuatanNya),
ibarat makhluk-makhluk ini diletakkan di atas suatu alat (yang berputar).
Sebenarnya semua yang kita berbuat adalah perbuatan atau
kehendak Yang Maha Esa itu sendiri yang bersemayam di dalam jiwa kita dan dalam
jiwa setiap makhluk lainnya. Ia lah yang ‘membolak-balikkan” kita tanpa kita
bisa berdaya atau menentang kehendakNya sedikitpun, dan alat pemutar ini adalah
Sang Maya (ilusi, tenaga alami, dan juga kekuatanNya). Sering alat-pemutar ini
disebut juga ibarat gangsing oleh penterjemah sloka ini di versi-versi lain
dari Bhagavat Gita). Yang Maha Esa adalah ibarat seorang dalang dalam
pertunjukan, Yang Mengatur segala-galanya baik segi kostum, tata-ruang,
penampilan dan semua gerak-gerik dan dialog kita. Sedangkan motor penggerak
atau alat penggerak dibalik semua itu adalah Ia juga dalam benluk kekuatannya,
yaitu Sang Maya yang diciptakanNya Sendiri; tanpa Sang Maya tidak akan ada
kekacauan dan kebaikan di dunia ini. Sang Maya ini dengan kehendakNya membuat
kita “menang, berlari, jatuh-bangun, tunggang-langgang, terbuai, dan lain
sebagainya.
Yang Maha Esa ini, oh manusia, Yang Menentukan seseorang
harus berperang, berjuang, dan melawan kegelapan, kezaliman dan kekurangan
pengetahuan kita. Prakriti memberikan kepada setiap makhluk, manusia dan benda
peranan-peranan tertentu dalam kehidupan kita ini, tetapi semua itu juga diikuti
oleh ikatan-ikatan duniawi, jadi mau tak mau harus bertindak, berbuat dan
beraksi sesuai dengan pola dari Sang Prakriti ini (kekuatanNya).
Di alam semesta ini yang merupakan suatu roda dari Sang
Waktu, maka Yang Maha Kuasa telah menggariskan atau merencanakan setiap karma
bagi setiap makhluk-makhluk ciptaanNya yang harus dilaksanakan oleh
makhluk-makhluk ini. Jadi setiap manusia dan makhluk dan benda harus berputar
atau berfungsi ibarat di atas suatu alat pemutar pembuat keramik, dan sewaktu
diputar ini maka keramiknya atau tanah-liat yang akan dijadikan benda keramik
inipun dipoles dan dibentuk sesuai dengan kehendak dan cita-rasa sang pembuat
keramik. Dan dalam proses pembuatan keramik ini, tentu saja tidak semua keramik
ini akan terbentuk dengan sempurna atau sama. Ada yang cacat, dan ada juga yang
pecah berantakan, tetapi banyak juga yang cantik dan sempurna bentuknya. Jadi
dengan kata lain, tidak ada suatu kejadian atau nasib atau takdir yang
kebetulan sifatnya atau penuh dengan “seandainya,” yang ada hanyalah Yang Maha
Esa dan semua rencana-rencanaNya, tidak lebih dan tidak kurang!
62. Berlarilah mencari perlindungan di dalamNya dengan
segenap jiwa-ragamu, oh Arjuna! Dengan karuniaNya dikau akan mendapatkan
Kedamaian Yang Agung — Tempat Tinggal Yang Abadi.
Sang Kreshna Yang Maha Bijaksana setelah mengajarkan
rahasia yang amat suci dan agung sifat ini, masih saja bersifat amat demokratis
dan tidak mau menang sendiri atau memaksakan ajaran-ajaran ini kepada Arjuna
atau kita semua. Malahan Ia menganjurkan agar semua ajaran dan wejangan ini
dipelajari dan direnungkan dulu, dengan kata lain, kita semua diberikan
kebebasan olehNya untuk bertindak atau memutuskan apa kita ingin mengikuti
semua ajaran-ajaran ini secara semestinya, atau ingin bebas beritikad sesuai
dengan selera kita sendiri.
Pengetahuan tentang kesadaran atau pencapaian Sang
Brahman oleh manusia melalui tindakan atau perbuatan tanpa pamrih secara total
adalah sebuah rahasia atau misteri yang sifatnya lebih dari rahasia itu
sendiri, apapun bentuk rahasia itu. Rahasia yang lainnya adalah bahwa Sang
Kreshna, Yang Maha Esa itu, adalah monitor yang bersemayam di dalam diri setiap
makhluk, yang sebenarnya menyelenggarakan dan yang dengan kekuatanNya (Sang
Maya) mcmbuat kita bertindak, berbuat, bekerja, beraksi dan “menari-nari” tanpa
daya di panggung dunia ini. Maka berlindunglah selalu kepadaNya semata, kepada
Yang Maha Esa, kepada Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Kebijaksanaan ini amat jelas sifatnya, terserah kepada kita semua mau mengikuti
semua ajaran-ajaran kebijaksanaan ini dan mengamalkan kepada sesama kita dan
demi Yang Maha Esa tanpa pamrih atau mengikuti kehendak pribadi kita sendiri.
Yang Maha Esa jelas sifat dan pendirianNya, yaitu amat demokratis dan tidak
memaksa. Semua ini tentunya kembali lagi kepada kita untuk direnungkan dan
dijalani.
63. Demikianlah ilmu pengetahuan yang paling rahasia dari
semua mistik, telah Ku-ajarkan kepadamu; Setelah mempertimbangkan semua ini
sepenuhnya, bertindaklah seperti yang engkau kehendaki.
Setelah sekian banyak ajaran yang telah diberikan Kreshna
kepada Arjuna, hingga saat ini. Dia sepenuhnya menyerahkan segala keputusan
akhir di tangan Arjuna sendiri, yang bebas memilih dan menentukan sendiri apa
yang harus dilakukannya. Disini Arjuna harus menemukan jati dirinya terlebih
dahulu agar dapat menentukan arah yang tepat dan benar bagi penentuan
selanjutnya. Ajaran dari Sri Kreshna ini bukanlah indoktrinasi dan memberikan
kebebasan penuh kepada siswa untuk mempergunakan penalaran dan kemampuan pemahamannya
dalam mengambil keputusan akhir.
64. Dengarkanlah lagi kata-kataKu yang agung, yang paling
rahasia sifatnya dibandingkan semuanya. Dikau adalah yang amat Kukasihi, maka
akan Kukatakan kepadamu demi kebaikanmu.
Sebenarnya sabda atau wejangan-wejangan Sang Kreshna
adalah “sabda-sabda nan agung” sifatnya, yang menjadi intisari dari Bhagavat
Gita, intisari dari yoga atau ilmu pengetahuan yang sejati.
65. Pusatkanlah pikiranmu padaKu; berdedikasilah
kepadaKu; berkorbanlah demi Aku; sujudkanlah dirimu di hadapanKu. Maka dikau
dengan demikian akan datang kepadaKu. Aku menjamin dikau dengan kebenaranKu;
dikau adalah kesayanganKu!
Arjuna adalah kesayangan Sang Kreshna, maka diturunkanlah
ajaran mengenai bhakti yang amat murni sifatnya ini kepadanya. Sang Kreshna
atau Yang Maha Esa pun menyayangi kita semua, dan diturunkanlah ajaran Bhagavat
Gita kepada kita semuanya, maka dengan memberikan segenap jiwa-raga kita secara
total kepadaNya, dengan mencintai dan mengasihiNya, memujaNya, selalu
mengingatNya, tunduk dan bersujud selalu kepadaNya bekerja untukNya semata
apapun jenis pekerjaan itu tanpa pamrih, maka kita semua akan menemukanNya,
menemukan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan dari segala bentuk kehidupan dan tujuan
kehidupan ini, kehidupan kita semua ini. Om Tat Sat.
66. Serahkanlah semua kewajiban, datanglah kepadaKu
semata untuk berlindung. Janganlah bersedih! Akan Kubebaskan dikau dari semua
dosa-dosa.
Sloka ini dianggap sebagai sloka yang amat penting dalam
Bhagavat Gita, dan merupakan suatu ungkapan dan ajaran yang dianggap amat
rahasia sekaligus penuh dengan kasih-sayang Yang Maha Esa yang tak terbatas.
Ajaran atau wejangan ini dianggap sebagai suatu kebijaksanaan yang amat dalam
artinya dan menjadi patokan yang amat disegani dan dihormati oleh umat Hindu
yang suci semenjak ribuan tahun yang silam di India dan di mana saja agama
Hindu ini berkembang. “Serahkan semua kewajiban,” pada sloka ini berarti
tanggalkan atau lepaskanlah dharma yang ditekankan atau terdapat di
pustaka-pustaka suci kuno untuk sesuatu yang nilainya lebih luhur dan agung,
yaitu dengan menjadikan Yang Maha Esa secara tunggal tempat kita berlindung,
memohon dan mengabdi, dan memandangnya sebagai Yang mengayom dan Yang Menuntun
kita sesuai dengan kehendakNya semata. Jangan membuang-buang waktu untuk
mendiskusikan soal kasta yang sudah jelas maksudnya, yaitu pembagian kerja dan
bukan perbedaan status atau diskriminasi. Jangan membuang-buang waktu yang
berharga dengan melakukan tradisi dan upacara-upacara yang membingungkan dan
membuang-buang energi, tetapi langsung saja menuju ke suatu perbuatan nyata
yang hakiki dan sejati sifatnya, yang tanpa pamrih demi dan untuk Yang Maha Esa
semata, dan bukan demi kepuasan mata, kepuasan jiwa atau indra-indra dan
pikiran pribadi kita. Janganlah menerapkan kewajiban-kewajiban atau
instruksi-instruksi dalam dharma-shastra kita secara ngawur dan salah, secara
metafisik dan etika belaka, tetapi lakukanlah secara murni sesuai dengan
sabda-sabda Sang Kreshna, Tuhan dari semua dewa-dewa dan kekuatan-kekuatan di alam
semesta ini. Semua kewajiban dan instruksi yang terdapat di dalam
dharma-shastra ini akan hilang nilai dan artinya sekali seseorang sudah
melakukan bhakti yang luhur dan tulus kepada Yang Maha Esa secara langsung.
Seorang jignasu (pencari kebenaran) harus menyerahkan
secara total, jiwa dan raganya bagi Yang Maha Esa, dan Yang Maha Esa pasti akan
membebaskannya dari segala dosa-dosa dan keterbatasannya, dari
kekurang-pengetahuannya dan dari semua segi negatifnya. Ini adalah janji tulus
Sang Kreshna, Yang Maha Esa, kepada kita semua dan ini menunjukkan kasihNya
Yang Agung dan Suci. Rahasia ke Tuhan Yang Maha Suci adalah bhakti yang tulus
dan tanpa pamrih, tanpa benci, tanpa keinginan duniawi, tetapi hanya demi dan
untuk Ia semata. Terjadilah kehendakNya. Om Tat Sat.
Seseorang yang dedikasinya kepada Yang Maha Esa masih
dalam taraf yang belum matang, sewaktu bertindak sesuatu akan menganalisa dan
mengkonfirmasikan setiap tindakan dan efeknya secara mental, fisik, moral,
kewajiban, hukum, kaidah, kegunaan, bahkan dari segi spiritual juga akan
diperhitungkan olehnya. Tetapi sekali ia berjalan dan berdedikasi secara tulus,
tanpa pamrih dan dengan kesadaran yang matang, maka semua unsur, kaidah, dan
nilai-nilai kewajibannya akan sirna, dan kemudian hanya timbul satu kesadaran
Ilahi yang amat sukar diterangkan dengan kata-kata atau bahasa awam. Kesadaran
ini bentuknya amat spiritual dan orientasinya hanya Yang Maha Esa semata. Di
sini semua yang dikerjakan, diperbuat dan setiap aksi akan menjadi ibadah atau
dedikasi yang amat tulus sifatnya dan setiap bentuk perbuatan pemuja ini akan
sinkron dengan kehendakNya, dan inilah misteri dari kehendakNya, yang hanya
bisa dimengerti secara spiritual dan duniawi oleh pemuja itu berkat karuniaNya
juga. Suatu bentuk pengalaman atau kehidupan yang sukar dapat diterangkan
dengan logika duniawi. Maka seyogyanyalah jangan menjadikan diri anda sebagai
budak dari tradisi, kewajiban yang belum tentu positif nilainya, atau sesuatu
tindakan yang nampaknya positif berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Ini bukan
wejangan sesat atau ajaran Sang Kreshna yang salah, tetapi bhakti yang tulus
kepada Yang Maha Esa memang akan menimbulkan semacam prema (kasih-Ilahi) yang
tak terbatas agung dan suci yang penuh dengan pengetahuan-pengetahuan spiritual
yang sukar dijangkau dengan logika duniawi, dan sukar diterangkan dengan
kata-kata biasa, dan kebijaksanaan atau kesadaran Ilahi ini berada di atas
semua kebaikan dan keburukan duniawi. Tanggalkanlah semua baju-baju duniawi
anda, dan secara “telanjang-bulat” lepaslah dari nafsu-nafsu dan keinginan.
Sambutlah Yang Maha Esa dengan bhakti yang tulus, berlindunglah di dalamNya dan
selalulah berdoa “terjadilah kehendakNya.” Inilah intisari ajaran Bhagavat Gita
yang agung dan suci ini. Aliran Ramanuja di India menyimpulkan sloka 66 ini
sebagai intisari atau klimak dari ajaran Bhagavat Gita. Bekerja, bertindak dan
berbuat suatu apapun; misalnya hal-hal yang dianggap terbaik dan suci, tetapi
demi Yang Maha Esa semata dan tanpa harapan akan imbalan, maka perbuatan ini
akan dilindungi oleh Yang Maha Esa dan sang pemujanya akan diselamatkan dari
segala mara bahaya. Tetapi kalau sang pemuja sebaliknya berpikir bahwa semua
tindakan tanpa pamrih ini malahan akan melepaskannya dari mara-bahaya dan akan
dilindungi oleh Yang Maha Esa, maka pikiran semacam ini tidak murni lagi karena
sudah terkena polusi dari pamrih itu sendiri. Ingat secercah harapan sekecil
apapun merupakan tanda bahwa dedikasi itu sudah tidak murni lagi. “Terjadilah
kehendakNya,” apapun itu! Baik yang terlihat negatif maupun positif, Yang Maha
Esa yang tahu apakah hasil dan efek yang diberikannya kepada seseorang itu
negatif atau positif. Seorang yang bersatu denganNya secara sejati akan
mendapatkan juga pengetahuan ini, dan ia akan selalu bahagia dengan apapun yang
dibcrikan oleh Yang Maha Esa kepadanya. Om Tat Sat.
67. Jangan sekali-kali dikau bicarakan ajaran ini kepada
seseorang yang tidak berdisiplin secara spiritual dalam hidupnya, juga tidak
kepada seseorang yang tak memiliki dedikasi, juga tidak kepada seseorang yang
tidak ingin mendengarkannya, juga tidak kepada yang menjelek-jelekkan Aku.
Kebenaran yang sejati ini jangan diajarkan atau
dibicarakan dengan mereka-mereka yang hidupnya penuh dengan kemewahan dan
kenikmatan duniawi, yang sudah terbius oleh semua unsur duniawi ini juga tidak
kepada yang tak memiliki dedikasi atau ibadah kepadaNya, atau kepada
mereka-mereka yang tak mau melakukan disiplin-disiplin spiritual seperti puasa,
pemujaan, sembahyang, meditasi dan kegiatan-kegiatan spiritual lainnya yang berorientasi
kepada Yang Maha Esa, atau mereka-mereka yang tidak mau memikirkan sesamanya.
Jangan juga ajarkan Bhagavat Gita kepada orang-orang yang anti-Tuhan dan yang
senang dan gemar menjelek-jelekkan Tuhan Yang Maha Esa. Juga jangan ajarkan
Bhagavat Gita kepada mereka yang nafsu sensualnya terlalu besar, atau
mereka-mereka yang selalu mencari-cari kesalahan dalam setiap agama dan
ajaran-ajaran suci lainnya. Karena ini sama saja meletakkan sebutir mutiara
yang berharga dihadapan seekor babi, yang hanya senang makan kotoran dan tidak
sadar atau tahu akan nilai mutiara ini.
Ajarkanlah Bhagavat Gita kepada mereka yang
memperlihatkan dedikasi yang tinggi kepadaNya, yang hidupnya penuh dengan
perbuatan baik bagi sesamanya, yang berdisiplin secara spiritual, karena
orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ini akan salah mengerti akan
ajaran-ajaran Bhagavat Gita, dan menyalah gunakannya. Jadi lebih baik tidak
diajarkan, karena malahan akan menimbulkan kekacauan dan kebatilan daripada
kebaikan dan kebenaran.
68. Seseorang yang membukakan (menjelaskan) rahasia agung
ini kepada pemuja-pemujaKu, memperlihatkan dedikasi yang tertinggi kepadaKu –
ia, tanpa diragukan, akan datang kepadaKu.
69. Juga tak ada di antara manusia yang lebih tinggi
dedikasinya kepadaKu selain ia. Juga tak akan ada orang lain yang lebih
Kukasihi di bumi ini selain ia.
Seseorang yang dengan bakti dan dedikasi yang tulus
mengajarkan Bhagavat Gita kepada yang lain-lainnya adalah seorang manusia yang
amat dikasihi oleh Sang Kreshna, oleh Yang Maha Esa, demikian sabda Sang
Kreshna disloka-sloka di atas, karena orang ini membantu orang lain untuk
menyeberangi kehidupan (sansara) ini ke Tujuan Nan Abadi, Tempat Tinggal Kita
Yang Selama-lamanya. Om Tat Sat.
70. Dan seseorang yang mempelajari dialog Kita yang suci
ini, maka ia akan memujaKu dengan mengorbankan (mempersembahkan) ilmu
pengetahuan. Begitulah ketetapanKu.
Mempelajari atau melakukan suatu studi akan Bhagavat Gita
secara tulus adalah suatu bentuk pemujaan akan Yang Maha Esa. Barangsiapa mempelajari
Bhagavat Gita berarti mempersembahkan suatu persembahan yang tak ternilai
harganya bagi Yang Maha Esa. Ini sudah menjadi ketetapan Sang Kreshna, Yang
Maha Pengasih dan Penyayang. Om Tat Sat.
71. Dan seseorang yang penuh dengan iman dan tanpa itikad
mencemoohkan, walaupun ia hanya mendengarkan saja, ia pun, lepas (dari
perbuatan-perbuatan iblis), akan mencapai loka-loka kebenaran nan
terang-benderang.
Bahkan seseorang yang tidak mempelajari Bhagavat Gita,
dan hanya mendengarkan ajaran-ajaran ini dari mulut orang lain, dapat berubuh
menjadi seorang mukta, yaitu yang mendapatkan mukti (kebebasan), selama ia
mendengarkannya dengan penuh iman dan kepercayaan penuh tanpa maksud untuk
mencemohkan ajaran ini. Tetapi kebebasan yang didapatkan orang ini bukan
kebebasan dari lahir dan mati yang berulang-ulang, tetapi kebebasan dari
dosa-dosanya, dari perbuatan-perbuatan buruknya — karena dosa-dosa atau
perbuatan-perbuatan iblis seseorang adalah hambatan-hambatan yang sukar di
jalan bakti atau dedikasi kepada Yang Maha Esa. Sekali terbebas dari
dosa-dosanya, dan setelah meninggal-dunia, ia akan pergi ke loka-loka di mana
tinggal orang-orang yang selama hidupnya penuh dengan tindakan-tindakan yang
suci dan murni.
Bhagavat Gita adalah salah satu karya Ilahi yang berbentuk
amat spiritual; yang menghancurkan kegelapan bagi seseorang yang tekun dan mau
untuk merenungi ajaran-ajaran suci ini. Ajaran ini menghancurkan keragu-raguan
seseorang yang beriman kepadaNya. Dengarkanlah pesan-pesan Sang Kreshna dengan
penuh penghayatan, dan kalau ada yang kurang di mengerti jangan ragu-ragu untuk
bertanya kepada guru atau pada yang mengetahuinya, dan suatu saat yang tepat
nanti kita akan sampai ke tujuan hidup ini, yang sebenar-benarnya, yaitu
kehidupan yang sejati bersamaNya.
72. Sudahkan dikau dengarkan ini, oh Arjuna, dengan
pikiran yang terpusat pada suatu arah? Sudah hancurkah moha (kegelapan) mu yang
dikarenakan oleh agnana (kekurangan-pengetahuan), oh Arjuna?
Sang Kreshna kini bertanya kepada Arjuna apakah
keragu-raguannya yang dikarenakan oleh kekurang-pengetahuan akan ilmu
pengetahuan yang sejati telah pupus kini, setelah mendengarkan wejangan dan
sabda-sabda suci Sang Kreshna. Apakah moha (kasih-sayang atau keterikatan
duniawinya) akan keluarga dan negaranya telah berganti menjadi kasih-sayang
Ilahi Yang Sejati, yang penuh dengan kesadaran sejati akan arti dan hakikat
misi kita ke dunia ini?
Berkatalah Arjuna:
73. Hancurlah sudah kegelapanku, telah kudapatkan
kesadaran ini melalui karuniaMu, oh Kreshna! Tegarlah daku kini, dan hilanglah
sudah keragu-raguanku. Daku akan bertindak sesuai dengan sabda-sabdaMu.
Akhirnya, Arjuna mendapatkan kesadarannya dan siap
melakukan sabda-sabda Sang Kreshna, tegarlah sudah jiwa, pikiran dan raganya.
Kebenaran Ilahi, kebenaran dan penerangan Sang Atman datang sudah ke dalam
dirinya. Hilang sudah kegelapan dari diri dan jiwanya, dan sadarlah Arjuna
kini, bahwa Sang Jiwa itu sebenarnya adalah abdi Yang Maha Kuasa yang sifat
sejatinya adalah abadi dan tidak bisa binasa. Tempat sebenarnya dari Sang Jiwa
di dunia adalah di telapak kaki suci Sang Kreshna, Yang Maha Esa. Dengan kata
lain, ini berarti Sang Jiwa seharusnya mengabdi di dunia sesuai dengan
kehendakNya dan bukan sesuai dengan kehendak dan nafsu Sang Jiwa sendiri, dan
Arjuna pun sadar akhirnya bahwa kebijaksanaan yang tertinggi adalah dalam
bentuk penyerahan total jiwa, raga, pikiran dan perbuatan serta hasil
perbuatan-perbuatan itu, secara tulus dan tanpa pamrih, kepada Yang Maha Esa
semata. Tidak mengherankan kalau di sloka ini Arjuna akhirnya berkata, “Daku
akan bertindak sesuai dengan sabda-sabdaMu.”
Begitulah selalu, setelah Sang Jiwa dalam diri kita sadar
maka — egoismenya akan hilang, ilusi-ilusi di sekitarnya hilang, kegelapannya
tersibak dan keragu-raguannya hancur-lebur, maka — akan terdengarlah sebuah
suara kecil dari Yang Maha Esa di dalam dirinya, dan mulailah ia bertindak
mengikuti semua instruksi-instruksi dan tuntunan-tuntunanNya, ia menjadi alat
atau instrumen Yang Maha Kuasa dengan penuh kesadaran dan penerangan Ilahi penuh
dengan ilmu pengetahuan yang sejati.
Berkatalah Sanjaya:
74. Demikianlah telah kudengar dialog yang amat
menakjubkan antara Sang Vasudeva (Kreshna) dan Partha (Arjuna) yang berjiwa
luhur (besar), dialog ini membuat bulu-bulu romaku berdiri.
Sanjaya yang pada awal Bhagavat Gita memulai kisah
Bhagavat Gita kepada Raja Dhritarashtra; telah menceritakan semua yang
didengarkan dan yang dilihatnya ini pada sang raja, dan di sloka-sloka
berikutnya ia akan mengakhiri kisah
Bhagavat Gita.
75. Dengan kebaikan Vyasa, kudengar rahasia agung ini,
Yoga yang diajarkan sendiri oleh Sang Kreshna, Tuhan dari segala ilmu
pengetahuan yang bersabda didepanku.
Sanjaya menerangkan kepada raja Dhristarashtra bahwa
dengan pertolongan Resi Vyasa yang memberikan Sanjaya penglihatan mistik, maka
ia telah mendengarkan sabda-sabda Sang Kreshna kepada Arjuna, tetapi tidak
dengan telinga duniawi milik raganya, karena kekuatan mistik Resi Vyasa. Bukan
saja Sanjaya mendengarkannya, tetapi ia pun bertekad untuk mempelajari dialog
suci ini. Sang raja sebaliknya akan menderita karena masih penuh dengan
itikad-itikad jahat.
76. Mengingat-ingat dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna
yang menakjubkan dan suci ini, oh raja. Aku gemetar dalam kebahagiaan, lagi dan
lagi!
Sanjaya sendiri yang mendengar dan melihat dari jauh tak
dapat melupakan dialog suci ini dan raganya berulang-ulang gemetar kalau
meningat-ingat lagi akan apa saja yang ia saksikan dan dengar. Sebaliknya raja
Dhritarashta, ayah para Kaurawa tidak nampak tertarik akan ajaran-ajaran suci
Sang Kreshna ini, karena ia lebih mementingkan keluarga dan putra-putranya.
Sanjaya di lain pihak akan bertambah terus keyakinannya terhadap Sang Kreshna
dan ajaran-ajaranNya.
77. Teringat, dan teringat juga, bentuk yang menakjubkan
dari Sang Kreshna, besar takjubku, oh raja, dan aku gemetar dengan kebahagiaan,
lagi dan lagi!
78. Di mana hadir Sang Kreshna, Tuhan dari ilmu
pengetahuan, di mana hadir Arjuna, sang pemanah, terjaminlah di sana
kemakmuran, kemenangan (kejayaan), kesejahteraan dan neeti (kebenaran atau
moralitas).
Sang Kreshna adalah ilmu pengetahuan yang sejati, dan
Arjuna adalah energi. Kalau kedua unsur ini bergabung maka terciptalah
kemenangan, kejayaan, kesejahteraan, kesentosaan, kemajuan dan kebenaran.
Dengan kata lain, Sang Kreshna adalah Sang Para-Atman yang bersemayam di dalam
diri kita semua. Arjuna adalah tidak lain dan tidak bukan, kita, manusia di
dunia ini. Kalau kedua unsur ini bergabung secara sejati, maka terciptalah
kebenaran yang sejati. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang
Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ini
adalah yang kedelapan-belas yang berjudul:
Moksha Sanyasa Atau
llmu Pengetahuan mengenai Pembebasan melalui Penyerahan
secara Total
Om Shri Kreshna Arpanam Astu Shubham Bhavantu
Puja-puji bagi Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan
Penyayang,
Semoga tercipta kebahagiaan di manapun.
Dengan ini berakhirlah Upanishad Bhagavat Gita,
Semoga damailah setiap benda dan makhluk di alam semesta
ini.
Om Tat Sat. Om Shanti, Shanti, Shanti. Om Tat Sat.