BABAD DIPONEGORO
Babad Diponegoro adalah naskah kuno yang berisi riwayat hidup dari Pangeran Diponegoro, pangeran Yogyakarta yang memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam Perang Diponegoro yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830. Ditulis ketika Diponegoro berada dalam pengasingan di Sulawesi Utara pada sekitar 1831-1832, naskah ini merupakan biografi pertama dalam kesusastraan Jawa modern.
Isi Babad Diponegoro berjumlah 1.151 halaman folio tulisan tangan yang dibagi menjadi beberapa bagian kisah, dimulai dari runtuhnya sisa-sisa Majapahit pada 1527 hingga Perjanjian Giyanti pada 1755. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan keadaan Kesultanan Ngayogyakarta dan riwayat hidup Diponegoro dari kelahirannya pada 1785 hingga diasingkan ke Manado pada 1830. Naskah ini aslinya ditulis dalam abjad Pegon dengan bentuk Macapat (puisi tradisional Jawa).
Peter Carey, sejarawan Indonesia berkebangsaan Britania Raya, meragukan bahwa Diponegoro sendiri adalah penulisnya. Hal ini didasarkan pada laporan dari seorang ajudan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditugaskan mendampingi Diponegoro yang mendengar dari Diponegoro sendiri bahwa kemampuan menulisnya dalam bahasa Jawa sangat kurang. Ia menduga bahwa Diponegoro menceritakannya untuk dituliskan pada iparnya yang bernama Tumenggung Dipowiyono yang ikut dibuang.
WARISAN INGATAN DUNIA
Pada 2010, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) mengajukan Babad Diponegoro, yang bernomor KBG 282, sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World) melalui Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU). Kemudian, Babad Diponegoro diajukan bersama oleh Perpusnas dan KITLV pada 2012. Hal ini dikarenakan naskah ini mempunyai salinan aslinya yang tersimpan di Indonesia, sedangkan yang ditulis dalam aksara Jawa tersimpan di Belanda. Namun, naskah aslinya sudah hilang.
Babad Diponegoro, bersama Kakawin Nagarakretagama, diterima sebagai Warisan Ingatan Dunia dalam Pertemuan ke-11 Komite Penasihat Internasional untuk Program Warisan Ingatan Dunia yang diadakan di Gwangju, Korea Selatan, pada tanggal 18-21 Juni 2013.
BABAD DIPONEGORO WARISAN INGATAN DUNIA
Pengakuan UNESCO atas Babad Diponegoro menjadi kebanggan tersendiri di tengah kritisnya apresiasi dari dalam negeri.
Pada 21 Juni 2013, Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World).
Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat ketika Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.
Menurut P. Swantoro, isi dari Babad Diponegoro dibagi menjadi beberapa bagian kisah. “Sepertiga bagian dari Babad Diponegoro menceritakan sejarah Jawa dari jatuhnya Majapahit (1527) sampai Perjanjian Giyanti (1755). Duapertiga lainnya memaparkan keadaaan Kesultanan Yogyakarta dan riwayat hidup Pangeran Diponegoro sendiri dari saat kelahirannya pada 1785 sampai ia diasingkan ke Manado pada 1830,” tulis P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu.
Kisah perjalanan hidupnya itu dituangkan dalam tembang Macapat di mana Pangeran Diponegoro menampilkan diri sebagai orang ketiga. Masa penulisan babad ini memakan waktu hampir sembilan bulan, dari 13 November 1831 sampai 3 Februari 1832, dan terdiri dari 1.151 halaman folio tulisan tangan.
Sejarawan Peter Carey, dalam bukunya Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 menyangsikan siapa yang menulis Babad Diponegoro, apakah Pangeran Diponegoro sendiri atau dia menunjuk seseorang untuk menuliskannya.
Pasalnya, menurut salah satu laporan Ajudan Gubernur Jenderal, Knoerle, yang ditugaskan mendampingi Pangeran Diponegoro menuju tempat pengasingannya di Manado, dia mendengar sendiri pengakuan Pangeran Diponegoro yang mengatakan bahwa kemampuannya menulis dalam bahasa Jawa sangat kurang. “Dat hij de Javaansche taal gebreking schreef,” tulis Knoerle sebagaimana terlampir dalam De Java Oorlog: 1825-1830, terjemahan Babad Diponegoro dalam bahasa Belanda.
Berdasarkan laporan itu, Peter Carey menduga, Diponegoro memberikan garis besar secara lisan, lalu sang penulis menuangkannya dalam bentuk tembang. Dugaan Carey, orang yang ditugasi menulis babad itu ialah Tumenggung Dipowiyono, ipar Pangeran Diponegoro yang ikut dibuang ke Manado.
Naskah asli Babad Diponegoro ditulis dalam aksara Arab Pegon. Naskah asli tersebut kemudian disalin ke dalam aksara Jawa. Babad Diponegoro juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Dikerjakan Palmer van den Broek, peneliti Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1877, terjemahan ini diberi judul De Java Oorlog: 1825-1830.
De Java Oorlog terdiri dari enam jilid. Setiap jilidnya lebih dari 700 halaman, kecuali jilid VI yang hanya 375 halaman. Penggarapannya memakan waktu 15 tahun. Jilid pertama terbit pada 1894, sedangkan jilid terakhir terbit tahun 1909.
Babad Diponegoro pada 2012 diajukan secara bersama oleh Perpustakaan Nasional RI dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) ke UNESCO untuk diakui sebagai Memory of the World. Pengajuan bersama ini karena salinan naskah Babad Diponegoro yang ditulis menggunakan aksara Pegon tersimpan di Perpustakaan Nasional, sedangkan yang ditulis dalam aksara Jawa tersimpan di Belanda. Sementara itu, naskah aslinya sudah tidak ditemukan.
Sungguh suatu kebanggan bagi Indonesia atas apresiasi dari dunia terhadap warisan Indonesia yang terkadang justru dilupakan oleh bangsanya sendiri.
AV MICHIELS DALAM PERANG JAWA, SUMATERA DAN BALI
Bagi pemerintah kolonial, Imam Bonjol bukanlah lawan yang mudah. Apalagi ketika terjadi Perang Jawa alias Perang Diponegoro pada 1825 hingga 1830. Perhatian mereka pun teralihkan ke Jawa. Baru setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro, pada Maret 1830, pemerintah kolonial fokus terhadap Imam Bonjol. Beberapa veteran Perang Jawa pun dilibatkan dalam penaklukan orang-orang Padri di Sumatera Barat itu. Termasuk bekas panglima Diponegoro : Sentot Ali Basah dan pasukannya. Tak tanggung-tanggung, Jenderal Mayor Frans David Cochius (komandan tentara Kerajaan di Hindia Belanda) turun langsung ke Sumatera Barat pada 12 April 1837. Tentu saja mereka datang bersama balatentara, peralatan tempur, dan logistiknya. Pemerintah Belanda setidaknya telah mengerahkan pasukan - pasukan dari Tentara Kerajaan di Hindia Belanda yang belakangan dalam sejarah dikenal sebagai Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Pasukan yang kebanyakan serdadu-serdadu bawahannya adalah orang-orang dari berbagai suku di Indonesia, terutama dari Nias, Ambon, Maluku, Suku Dayak Kalimantan, Manado, Timor, Jawa. Tentara kolonial itu banyak dikerahkan untuk menghadapi perlawanan rakyat di Indonesia. Termasuk di Sumatera Barat, yang salah satu pemimpinnya adalah Imam Bonjol. Perang yang oleh pihak Belanda disebut Perang Padri ini terbagi dalam tiga fase. Yang dihadapi Cochius dan rekan-rekannya adalah fase ketiga.
Sudah tiga bulan lamanya Jenderal Cochius memimpin peperangan dengan segenap tenaganya, tiada juga bertambah baik kedudukan tentaranya, tulis Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki dalam Tuanku Imam Bondjol : Perintis Djalan Ke Kemerdekaan (1951).
Namun, petinggi-petinggi Tentara Belanda itu, “tiadalah mengetahui bahwa di Bonjol (daerahnya Imam Bonjol) sendiripun selalu bertambah genting dan berbahaya pula […] Rumah-rumah dan masjid Tuanku Imam Bonjol habis ditembaki musuh dengan meriam dan periuk api (bom pembakar), sehingga menjadi abu semuanya. Melihat perbuatan tentara Belanda yang demikian, yaitu masjid pun mereka tembaki, bertambah mendidihlah darah rakyat dan mau berperang sampai mati.”
Pada bulan Juli 1837 itu pula, jabatan Komandan Tentara di Sumatera Barat pun berpindah dari Letnan Kolonel Cleerens ke tangan Letnan Kolonel Andries Victor Michiels. Nama yang disebut terakhir baru datang dari Jawa. Cleerens, Cochius, dan Michiels adalah veteran Perang Jawa.
Michiels memutuskan sendiri untuk meneruskan perang dan menjelang Agustus 1837 memuncak sampai pendudukan Benteng Paderi yang terakhir, yaitu Bonjol..,tulis Elizabeth Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern (2007).
Suatu malam kira-kira pukul tiga, sedang orang kampung nyenyak tidur, datanglah satu pasukan Tentara Belanda dengan diam-diam ke dalam benteng Bonjol, kata buku Tuanku Imam Bondjol : Perintis Djalan Ke Kemerdekaan.
Anak dan istri Imam Bonjol hendak dihampiri serdadu-serdadu itu. Belum sempat jadi tawanan, Mahmud, salah seorang anak melawan dan yang lain akhirnya terluka. Jeritannya pun membangunkan Imam Bonjol yang sebelum terlelap. Ini Taktik Belanda yang selalu menyergap & menyandera keluarga para pejuang. Sang imam mengambil pedang lalu ia bersama Umar Ali, anaknya yang lain, berlari menuju tempat anak dan istrinya yang diganggu. Serdadu-serdadu Belanda menyambut Imam Bonjol dan Umar Ali dengan tambakan senapan. Sebuah pelor mengenai rusuk Umar Ali. Selanjutnya, Imam Bonjol bertempur layaknya orang mengamuk dengan pedangnya. Dalam kepungan serdadu-serdadu itu, dia kena tusuk bayonet. Pertempuran itu terhenti, serdadu-serdadu Belanda menghilang, Imam Bonjol lalu diamankan pengikutnya.
“Ada 13 luka pada badan beliau dan banyak mengeluarkan darah,” tulis buku Tuanku Imam Bondjol : Perintis Djalan Ke Kemerdekaan itu.
Esok paginya, sekitar pukul lima, serdadu-serdadu Belanda muncul lagi dan disambut orang-orang kampung hingga pecah pertempuran.
“Perempuan - perempuan turun mempermainkan senjata untuk mengusir musuh itu.”
Pertempuran terjadi hingga pukul dua belas siang, ketika serdadu-serdadu Belanda itu kemudian kabur lagi ke luar benteng pengikut Imam Bonjol itu. Benteng itu kemudian dikepung pasukan Belanda di bawah komando Michiels selama berhari-hari. Keunggulan Belanda dalam hal senjata api dan pasukan yang lebih terlatih ketimbang orang-orang kampung tentu membuat Belanda lebih unggul. Tak heran jika banyak korban di pihak Imam Bonjol. Benteng itu benar-benar dikuasai pada 16 Agustus 1837. Namun, Tuanku Imam Bonjol tak mereka temukan karena ia sudah lari. Baru pada 28 Oktober 1837 Imam Bonjol dapat ditahan oleh pemerintah kolonial. Setelah dibuang ke Cianjur, Imam Bonjol dibuang ke Sulawesi hingga meninggal dunia pada 8 November 1864.
Setelah Imam Bonjol dibuang, Michiels naik pangkat menjadi kolonel pada 3 Oktober 1837. Dia jelas berjasa dalam melumpuhkan Tuanku Imam Bonjol. Selain itu, dia berjasa dalam penguasaan Tiga belas Kota, Baros, Tapos dan Singkel, dan Patipuh. Sempat juga dia menjadi pejabat kepala daerah semacam residen dan gubernur di Pantai Barat Sumatera, setelah 1838.
Menurut Elizabeth Graves, dia sangat berlaku hati - hati terhadap petani, “dengan mengurangi tekanan terhadap petani setempat.” Namun, dia juga ikut mengusulkan tanam paksa kopi dan penyerahan wajib hasil panen secara langsung, tanpa melalui pedagang kecil yang dianggapnya parasit. Di dalam posisi itu setidaknya hingga 1847.
Di masa pemerintahan sipilnya di Sumatera Barat itu, dia pernah bentrok dengan pegawai rendahan Belanda yang belakangan sohor karena novel monumental Max Havelaar : Eduard Douwes Dekker.
Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam Greget Tuanku Rao (2007), Michiels bahkan memecat penulis itu.
Setelah Sumatera Barat, Michiels mendapat tugas berat lagi. Dia menjadi panglima tentara Belanda di Bali. Menurut catatan buku Gedenkschrift Koninklijk Nederlandsche Indische Leger 1830-1950 (1990), setidaknya tiga kali KNIL mengirimkan ekspedisi - ekspedisi militernya ke Bali di masa Perang Bali. Tepatnya pada 1846, 1948, dan 1849.
Menurut catatan RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003), perang ini bermula dari dirampoknya kapal Belanda oleh orang-orang Bali dalam hukum tawan karang. Kemudian, permintaan ganti rugi sebesar 300 ribu gulden yang dituntut pemerintah Belanda ditolak raja Bali. Ekspedisi ke Bali pun dikirim. KNIL setidaknya pernah mengerahkan 19 Batalyon Infanteri, 8 Squadran Kavaleri, dan 15 Arteleri Meriam lapangan. Ditambah pasukan Gunung dan 6 kompi pasukan Zeni. Pasukan-pasukan itu datang bergelombang. Namun, akhirnya Michiels terbunuh oleh laskar - laskar Bali pada 25 Mei 1849 di Kusamba.
Nama Michiels cukup dikenal oleh pemerintah kolonial. Di Padang pernah ada taman yang dinamai dengan namanya disertai monumen untuknya. Letaknya di sekitar Museum Adityawarman, kota Padang. Di Sumatera Barat, rekan-rekan tempur dan atasannya bahkan menjadi nama Benteng yang kemudian berubah jadi nama kota. Hendrik Merkus de Kock diabadikan jadi nama benteng Fort de Kock (kini Bukittinggi); Frans David Cochius diabadikan jadi Fort Cochius (Bonjol); Cornelis Pieter Jacob jadi Fort Elout (Penyabungan).
Di Museum Taman Prasasti, Jakarta juga terdapat prasasti dalam batu nisan bertulis : “Jenderal Mayor AV Michiels, Balie, 23 May 1849.” Prasasti serupa dibuat untuk mengenang Jenderal J.H.R. Kohler yang terbunuh di depan Masjid Raya Aceh.
Selain di Bali dan Sumatera Barat, Michiels juga berperan dalam mengalahkan Pangeran Diponegoro. Pada “11 November 1829, Diponegoro nyaris tertangkap di Pegunungan Gowong oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dikomandani Mayor AV Michiels,” tulis Peter Carey dalam Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855 (2014).
Pada 25 Maret 1830 sampai 29 Ramadhan 1830 jelang lebaran, Michiels juga jadi bagian tindak “tidak terpuji, tidak ksatria dan curang” dari Jenderal Merkus de Kock. Mayor A.V. Michels, bersama Letnan Kolonel du Perron, diperintahkan mengamankan penangkapan sang pangeran jika ia datang. Akhirnya, sang Pangeran pun tertangkap kala lebaran.
Menurut Encyclopedie van Nederlandsch-Indië - Volume 2 (1918), perwira kelahiran Maastricht, Belanda, 30 April 1797 ini sudah masuk militer sejak ia berumur 17 tahun. Dia adalah anak dari pengacara J. Michiels dan A. Gillis. Pangkat pertamanya letnan dua. Pertempuran penting yang pernah diikuti oleh Michiels adalah Waterloo pada 1815. Setelah Napoleon kalah, tahun 1817, dia dikapalkan Jawa sebagai letnan satu. Dia kemudian ikut serta dalam menumpas perlawanan di Cirebon. Kariernya pun menanjak sangat cepat. Tak butuh waktu lama untuknya menjadi kapten. Ketika Perang Jawa berkobar, dia sudah berpangkat mayor. Perang Jawa adalah debut penting dalam karier militer veteran Waterloo yang gemilang di Sumatera Barat dan akhirnya mampus di Bali itu.
PETIKAN TITAH PANGERAN DIPONEGORO
(R. Ng. Yosodipuro II)
Dengan sira para satriya Nagari Mataram nagarining Jawi hing dodotira, sumimpin watak, wantune Sayyidina Ngali, sumimpin kawicaksanane Sayyidina Kasan, sumimpin kakendelane Sayyidina Kusen.
Den seksenana, hing wanci sura,
Landa bakal den sira sirnakake saka tanah Jawa. Karana sinurung pangribawaning para satrianing Mukhamad yaiku Ngali, Kasan, Kusen.
Sira padha lumaksanana yuddha kairing Takbir lan Salawat, yen sira guguring bantala cinandra, guguring sakabete Sayyidina Kusen hing Nainawa (Karbala) sira kang wicaksana hing yuddha, pinates tampa sesilih Ali Basya.
Pekikan titah dari Pangeran Diponegoro, seperti yang dicatat oleh R. Ng. Yosodipuro II :
Den sira para satria Nagari Mataram nagarining Jawi hing dodotira, sumimpin watak, wantune Sayyidina Ngali, sumimpin kawicaksanane Sayyidina Kasan, sumimpin kakendelane Sayyidina Kusen.
Den seksenana, hing wanci Sura, Landa bakal den sira sirnaake saka tanah Jawa. Karana sinurung pangribawaning para satrianing Mukhamad yaiku Ngali, Kasan, Kusen.
Sira padha lumaksanana yuddha kairing Takbir lan Selawat, yen sira guguring bantala cinandra, guguring sakabate Sayyidina Kusen hing Nainawa (Karbala) sira kang wicaksana hing yuddha, pinates tampa sesilih Ali Basya.
TERJEMAHAN
Wahai kalian para ksatria Negara Mataram negeri Jawa di hati kalian, dipimpin oleh watak keberaniannya Sayyidina Ali, dipimpin oleh kebijaksanaannya Sayyidina Hasan, dipimpin keberaniannya Sayyidina Husain.
Saksikanlah, pada saat bulan Suro (Muharram), Belanda akan kalian sirnakan dari tanah Jawa. Karena didorong oleh kewibawaan para Ksatria Muhammad yaitu Ali, Hasan, Husain.
Laksanakanlah perang, dengan iringan Takbir dan Shalawat. Jika kalian gugur dalam peperangan, maka kalian akan gugur seperti gugurnya sahabat Sayyidina Husain di Nainawa (Karbala). Engkau yang bijaksana dalam peperangan, pantas mendapat julukan Ali Basya”.
PANGERAN DIPONEGORO DAN TAWASSUL KEPADA AHLUL BAIT
(Dikutip dari Babad Diponegoro : R.Ng.Yasadipura II)
Inilah doa tawassul kepada Ahlul Bayt Nabi (saw) yang diamalkan oleh Pangeran Diponegoro saat akan berperang mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa.
Den Siro Poro Satrio Nagari Mataram…
Nagarining Jawi dodot iro…
Sumimpin Watak Wantune Sayyidina Ngali…
Sumimpin Kawicaksanane Sayyidina Kasan…
Sumimpin Kekendelane Sayyidina Kusen…
Den seksenono..
Hing wanci Suro…
Londo bakal den siro sirnaake soko tanah jawa…
Krana sinurung Pangribawaning poro Satrianing Mukhamad yoiku Ngali, Kasan, Kusen…
Siro podho lumaksanana yudho kairing Takbir lan
Sholawat…
Yen siro gugur ing bantala…Cinondro guguring sakabate
Sayyidina Kusen ing Nainawa…
Yang artinya lebih kurang adalah :
Wahai kalian para Ksatria Negara Mataram…
Negara di Jawa tempat Yang aku pegang dengan teguh..
Bersama Sifat kepemimpinan Sayyidina Ali yang tegas…
Bersama sifat Kepemimpinan Sayyidina Hasan yang bijaksana…
Bersama Sifat Kepemimpinan Sayyidina Husein yang pemberani..
Wahai semua saksikanlah..
Tunggulah nanti di bulan Asyura (Muharam)..
Belanda akan kita lenyapkan dari tanah Jawa…
Karena dengan kewibawaan putra-putra Muhammad (saw) yaitu Ali, Hasan dan Husein…
Kita semua akan berperang dengan diiringi kalimat Takbir dan Shalawat…
Jika kita gugur di medan perang…
Itu adalah tanda seperti gugurnya sahabat Husein di Padang Nainawa (Karbala)…
PANGERAN SEJATI
Kadang sedih lihatnya. Kita lebih asyik ngurusin Ratu, Pangeran negara lain, tapi luput mengingat Pangeran bangsa sendiri. Yang jelas-jelas karena jasa dialah kita merdeka. Belum lagi yg sibuk bahas sultan inilah, sultan itulah.
Memakai sorban putih di kepala, jubah putih, tampilan Pangeran Diponegoro lebih mirip seorang ulama mahsyur, dibanding seorang pangeran. Fisiknya biasa-biasa saja, hanya sepucuk keris di pinggang yang menampakkan dengan nyata, dia adalah panglima perang, seorang pangeran dengan wibawa tak terbilang.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubawana III (itu cukup untuk membuatnya pantas dipanggil Pangeran), tapi meski sulung, menyadari posisinya putra dari selir, dia menolak usulan Ayahnya yang hendak mengangkatnya menjadi raja. Dia memilih menekuni agama, tinggal merakyat. Pilihan yang amat langka. Dan itu membuktikan betapa berbeda level seorang Pangeran Diponegoro--dia tidak tertarik dengan kekuasaan.
Tetapi sejarah mencatat lain, dia tetap dikenang, bahkan lebih mahsyur dari sebuah jabatan Raja. Apa yang terjadi? Adalah serdadu Belanda, yang bertahun-tahun merendahkan penduduk, bertahun-tahun membebani dengan segala pajak, tidak menghormati adat-istiadat setempat, menghina agama, dan sebagainya.
Pangeran Diponegoro yang telah lama muak melihat kesombongan Belanda, memutuskan mencabut kerisnya, memulai perang yang akan dikenang oleh sejarah. Pangeran Diponegoro mulai membangun markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong, di sinilah dia memimpin pasukan menyerukan ‘perang sabil’, melawan penjajah Belanda. Seruan itu bergaung jauh sekali, banyak tokoh dan rakyat jelata yang bergabung, termasuk Kyai Maja, tokoh agama di Surakarta.
1825-1830, lima tahun berperang, kerugian Belanda tiada tara. 15.000 serdadu, 20 juta gulden. Jika di kurs-kan hari ini, boleh jadi bisa setara puluhan trilyun (susah menelusuri daya beli nilai gulden ke 2016). Perang ini bukan perang ecek-ecek, ini perang massif, terbuka, perebutan puluhan desa, kota. Juga melibatkan taktik perang gerilya, hit & run. Jika siang hari Belanda mengambil sebuah desa, malamnya, desa itu sudah dikuasai kembali oleh pasukan Pangeran Diponegoro, serdadu Belanda berhasil di pukul mundur.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerakan 23.000 serdadu untuk menyerang Pangeran. Jika itu jadi film, dek, itu lebih megah dibanding adegan film Lord Of The Ring, atau The Last Samurai. Belanda menggunakan peralatan paling canggih di jaman itu untuk melumpuhkan pasukan Pangeran. Dan catat baik-baik, bedanya adalah, kisah Lord Of The Ring adalah fiksi, sementara kisah Pangeran Diponegoro adalah nyata. Senyata catatan-catatan perwira Belanda yang di bawah ke negerinya, senyata nama-nama korban serdadu, jutaan gulden yang dihamburkan mereka.
Yang buronan dicari, dihargai uang? Belanda juga membuat sayembara, harga kepala Pangeran Diponegoro saat itu adalah 50.000 gulden. Itu boleh jadi harga ‘buronan’ termahal yang pernah ada. Tapi tidak ada rakyat yang mau mengkhianati Pangeran Diponegoro, meski Belanda dengan liciknya membuat strategi adu domba, memprovokasi rakyat, dan semua cara-cara menjijikkan lainnya.
Perang terus berkecamuk, puluhan kapal dari Belanda merapat di tanah jawa, membawa serdadu tambahan. Sayangnya, setelah diserbu habis-habisan oleh Belanda, kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro semakin berkurang. Satu per satu panglima perang Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. Kyai Maja, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasya. Pangeran semakin terjepit, hingga akhirnya, tahun 1830, Pangeran 'dijebak' Belanda. Perlawanan perang sabil itu terhenti. Pangeran Diponegoro dibuang ke Sulawesi. Beliau wafat, dimakamkan di Makassar.
Demikianlah kisah Pangeran Diponegoro. Ingatlah selalu, saat dia memimpin perang sabil, melawan penjajah Belanda. Ingatlah seorang Pangeran Diponegoro, berderap kudanya, teracung kerisnya, memimpin pasukan rakyat jelata, sambil berseru, “Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!” Tauhid memberikan mereka semangat perlawanan.
Betapa besar jasa para ulama bagi negeri ini. Mereka hidup mati melawan penjajah. Kenanglah kisah-kisah ini, agar kita tidak lupa siapa yang sesungguhnya membuat kita merdeka. Walaupun hari ini, entah siapa yang sebenarnya menikmati jerih payah kemerdekaan ini.
RADEN BAGUS DIPONEGORO
Salah satu potret foto lukisan Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro (lukisan arang kayu oleh tukang gambar keraton Jogjakarta. Memakai pakaian keraton adat Jawa surjan dan mengenakan blangkon (sumber buku Peter Carey).
Lahir waktu subuh / sang fajar di Bangsal Keputren Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada hari Jumat Wage 11 November 1785 M (kalender Jawa, Jumat Wage, 8 Suro 1712 Tahun Be).
Wafat 8 Januari 1855 di jl. Diponegoro Makassar dekat pantai Lohsari.
Bopo : Gusti Raden Mas Surojo (Sultan Hamengkubowono III)
Biyung : Bendoro Raden Ayu. Mangkarawati saking Pacitan.
Nama lahir : Raden Mas Musthohar.
Nama santri : Abdul Hamid.
Nama lain : Syajid Abdul Hamid Pangeran Diponegoro.
Nama populer : Pangeran Diponegoro.
Nama lengkap : Kyai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidina Panotogomo Amirul Mu'minim Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.
MAKAM PANGERAN DIPONEGORO
Pangeran Diponegoro merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yg terkenal sebagai pemimpin Perang Jawa tahun 1825-1830.
Dalam perang tersebut, konon Belanda sangat kewalahan. Sehingga, digunakanlah taktik tipu muslihat. Hingga akhirnya, di Magelang Pangeran Diponegoro bisa ditangkap.
Belanda kemudian mengasingkan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya ke Manado. Dan pada 8 Januari 1855 di Makassar, Pangeran Diponegoro menghembuskan nafas terakhirnya.
Makamnya kini dapat kita temui di Jl. Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
PANGERAN DIPONEGORO DAN MAKASSAR
Ada pohon Kamboja yang tumbuh merunduk di Makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan seperti terlihat dalam gambar. Ketika memasuki pekarangan ini, saya melihat seekor kucing putih melompat ke atasnya. Ini tak punya arti mitis apapun. Di manapun, kuncing suka melompat.
Tentu saya ingat lukisan Brumun yang menulis tentang watak Diponegoro pada 1850an. Seperti saya tulis dalam sebuah kolom di Tempo pertengahan 1980-an, Brumun melukiskan gagasan pemberontakan 1825-30 Diponegoro lahir dalam khalwatnya di Gua Selarong. Saya sempat singgah di gua berbukit ini. Berdiri di hadapan gua itu dan dibantu lukisan Brumun, saya bayangkan perasaan menggelegar sang Pangeran. ‘Engkaulah satu-satunya laki-laki di Tanah Jawa,’ lukis Brumun tentang percakapan dalam hati Diponegoro di gua Selarong tempatnya berkhalwat itu.
Tetapi belakangan, saya membaca ‘Babad Diponegoro’ versi Inggris hasil terjemahan sejarawan andal Peter Carey. Di situ Diponegoro membuat pengakuan tentang motif pemberontakannya. ‘Hukum Islam tak lagi berlaku di kraton Yogyakarta. Dan raja berserta kaum bangsawan bermabok-mabokan,’ kata Diponegoro. Maka sang Pangeran angkat senjata dengan melibatkan, tulis sejarawan Rickkefs, ‘separuh penduduk Jawa.’ Dan kalau kita baca disertasi tebal Peter Carey, akan diketahui bahwa sang Pangeran dikelilingi pengikut Muslim yang taat. Sentot Alibasjah, pengikut dekat Diponegoro, menceritakan bahwa sang Pangeran bersurat kepada penguasa Belanda. Isinya, ‘Anda boleh memerintah Tanah Jawa, asal masuk Islam.’ Hampir seabad kemudian, Teungku Chik di Tiro di Aceh, mengirim surat kepada Belanda dengan pesan yang sama.
Dan Makassar punya arti tertentu. Di satu pihak, Makassar adalah simbol kekalahan perlawanan agraris terhadap kekuasaan modern Eropa. Kota ini adalah penjara yang membuat sang Pangeran tak berdaya. Tapi, di lain pihak, justru Makassar memberinya keluangan waktu untuk menulis ‘Babad Diponegoro’. Melalui karya ini, bukan saja ingatan diawetkan. Melainkan, distorsi sejarah menemukan bahan untuk dikoreksi.
Di atas semuanya, tanah Makassar yang mengayomi tubuh sang Pangeran punya arti simbolis. Dengan mengunjungi makam ini pada 3 September 2022, tiba-tiba saya mendapat jawaban atas pertanyaan musykil seorang pragmatis tentang kegunaan Perang Jawa yang dipimpin sang Pangeran. Seperti halnya Tanah Sumedang di Jawa Barat yang mengayomi tubuh Tjut Nja’ Dien dari Aceh, kehadiran makam Diponegoro di Tanah Sabrang itu telah bertindak memberikan ‘paku ingatan kolektif’ yang bersifat silang etnis bangsa Indonesia.
Di sini, makam tersebut memperteguh konsep ‘imagined communities’ Benedict R. O’G Anderson atas dasar apa, semangat kebangsaan lintas etnik bisa dibangun.
KERIS PANGERAN DIPONEGORO
Setelah ratusan tahun sempat hilang, hingga akhirnya ditemukan di museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, sebuah keris peninggalan Pangeran Diponegoro dikembalikan oleh Raja Belanda, William Alexander kepada Pemerintah Indonesia. Pengembelian tersebut seiring dengan kunjungan Raja Belanda ke Indonesia.
KERIS KIAI NAGA SILUMAN KERIS PANGERAN DIPONEGORO
Keris Pangeran Diponegoro bergelar Kiai Naga Siluman telah kembali ke Tanah Air. Kontroversi keotentikan pusaka itu sudah mulai muncul sejak hari pertama tampilnya keris itu ke muka publik Indonesia.
Senyampang kunjungan Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Máxima, keris itu dipertontonkan di Istana Bogor, Jawa Barat.
Keris yang sempat meninggalkan Tanah Jawa sejak 1830 itu ditempatkan dalam lemari kaca, berdiri terpisah dari warangka (sarung keris). Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bersetelah jas biru terlihat sedikit membungkuk untuk mencermati detail keris itu.
Kontroversi dimulai dari keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo. Dia meragukan bahwa keris yang sudah dihadirkan di Istana Bogor itu adalah keris Kiai Naga Siluman. Dia melihatnya dari segi dhapur atau rancang bangun.
Kalau melihat fisiknya (keris yang dikembalikan Pemerintah Belanda ke Indonesia) itu dhapur keris nagasasra, itu kalau bicara dhapur ya, menurut keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo.
Namun,tidak memastikan bahwa keris yang dikembalikan tersebut bukan keris Diponegoro. Sebab bisa jadi, nama keris naga siluman sebagai milik Diponegoro selama ini tidak merujuk pada dhapur, tapi sebutan. Dalam tradisi Jawa, memang ada kebiasaan memanai benda-benda khusus dengan nama dan bahkan gelar sesuai kemauan pemiliknya.
Ada pula Kurator Museum Keris Nusantara di Solo, Ki Ronggajati Sugiyatno, yang meragukan kebenaran bahwa keris itu adalah Kiai Naga Siluman. Ki Ronggajati memaparkan sejumlah alasan yang membuatnya ragu. Dia menegaskan keris yang dikembalikan ke Indonesia tersebut adalah keris dhapur Nagasasra Kamarogan, bukan keris Kiai Naga Siluman.
Tidak mungkin Pangeran Diponegoro tak bisa membedakan keris dhapur Nagasasra dengan keris dhapur Naga Siluman. Hal yang lebih tak mungkin lagi adalah Diponegoro memberi gelar atau nama keris dhapur Nagasasra dengan nama Naga Siluman karena dia pasti tahu bahwa Naga Siluman adalah dhapur tersendiri.
Keraguannya juga didasari oleh analisis warangka atau sarung keris yang dipamerkan di Istana Bogor itu. Warangka itu berjenis Ladrangan Kagok gaya Surakarta. Untuk diketahui, warangka keris Jawa ada empat macam, yakni Ladrangan, Capu, Gayaman, dan Sandhang Walikat.
Diponegoro berasal dari Yogyakata, tidak mungkin menggunakan warangka keris Ladrangan Kagok gaya Surakarta sebegaimana warangan yang dipampang di Istana Bogor itu.
Diponegoro itu pangeran dari Yogyakarta, tidak mungkin mengenakan keris dengan warangka gaya Surakarta. Seperti diketahui, beliau hidup adalah pada masa awal-awal pecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa itu, identitas-identitas atribut seperti itu sangat diperhatikan sebagai penanda khusus asal seseorang.
Menjawab keraguan tersebut, sejarawan yang merupakan salah seorang verifikator penelitian tentang Keris Kiai Naga Siluman memaparkan keaslian keris itu.
Saya sebagai verifikator ditugaskan memverifikasi apakah penelitian sejak 1984 hingga kemarin sudah akurat atau belum. Dengan mantap, saya bisa mengatakan bahwa mereka sudah cukup menghadirkan bukti arsip yang sangat kuat, menurut anggota Tim Verifikasi Keris Pangeran Diponegoro, Sri Margana.
Raja Belanda Serahkan Keris Pangeran Diponegoro ke Jokowi.
Margana yang merupakan sejarawan dari UGM ini mendasarkan identifikasi keris tersebut pada arsip bersejarah yang ditulis Sentot Alibasyah Prawiradiredja, panglima perang Diponegoro, yang ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa pada Mei 1830, diterjemahkan ke Bahasa Belanda dan diberi deskripsi oleh pelukis kenamaan Raden Saleh. Deskripsi ditulis Raden Saleh berdasarkan pengamatan langsung terhadap Keris Kiai Naga Siluman itu. Arsip itu baru ditemukan tahun 2017.
Raden Saleh memberi catatan dalam Bahasa Belanda, dituliskannya bahwa keris Naga Siluman itu punya luk berjumlah 11.
Keris itu datang ke Belanda sejak 1831 dan akhirnya disimpan di Museum Volkenkunde, Leiden. Nomor inventarisnya RV-360-8084. Nomor itu ada di bagian gagang dan bagian warangka (sarung keris). Di situ memang tidak disertai keterangan bahwa keris ini bernama Kiai Naga Siluman, namun hanya dituliskan bahwa pemilik sebelumnya adalah Pangeran Diponegoro.
Kemudian keris ini diidentifikasi dengan ciri-ciri fisik yang disampaikan Raden Saleh. Maka benarlah, keris bernomor RV-360-8084 inilah yang merupakan Keris Kiai Naga Siluman.
Jadi dhapur (rancang bangun)-nya dhapur Nagasasra, tapi karakteristik yang membuat saya yakin itu Naga Siluman yakni pada bagian ganja (bagian pangkal dari bilah keris) ada gambar Naga Siluman.
Selanjutnya, menunjukkan penampakan Naga Siluman pada keris itu. Dan menyebut Naga Siluman berbeda dengan naga yang terdapat pada keris Nagasasra biasanya. Bila keris Nagasasra berwujud naga bermahkota, maka Naga Siluman tidak bermahkota.
Bentuk Naga Siluman ini adalah naga yang punya tangan, seperti naga China, tanpa mahkota, memiliki rambut panjang mirip singa. Bagian punggungnya terdapat semacam sirip.
Imajier Nuswantoro