KERAJAAN SALAKANAGARA
Kerajaan Salakanagara masih mesteri bisa diasumsikan kerajaan semi mitologi mengingat minimnya bukti tertulis dan banyak cerita-cerita mitos dikalangan masyarakat yang mempercayai kerajaan Salakanagara. Kerajaan Salakanagara merupakan kerajaan tertua di Nusantara menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara yang merupakan bagian dari Naskah Wangsakerta. Salakanagara diyakini sebagai cikal bakal suku Sunda, hal ini dikarenakan peradaban Salakanagara dianggap memiliki kesamaan dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad.
Salakanagara dianggap terletak di pantai barat Jawa, yaitu provinsi Banten saat ini. Berdasarkan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara kerajaan ini didirikan oleh Dewawarman I. Ia dikisahkan sebagai seorang pedagang yang datang dari India yang dikirim untuk menjalin hubungan perdagangan di Yawadwipa.
Salakanagara keberadaannya cukup misterius karena sumber sejarah dan bukti arkeologinya tidak ditemukan. Dibandingkan dengan Tarumanagara, kerajaan ini tidak meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan lokal yang berwujud seperti prasasti atau reruntuhan candi.
KERAJAAN MITOLOGI
Kerajaan ini dikatakan kerajaan dengan keberadaan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanyalah cerita naskah yang dikemas dalam beberapa Naskah Wangsakerta.
Sumber utama sejarah Kerajaan Salakanagara hanya pada naskah Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, bagian dari Naskah Wangsakerta yang disusun pada abad ke-17 oleh dewan yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dari Cirebon.
Perdebatan dikalangan sejarawan mengenai keberadaan Kerajaan Salakanagara masih menuai kontroversi, berdasarkan sejarah dan bukti prasati bahwa kerajaan tertua adalah Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4 berdasarkan bukti temuan prasasti Yupa di Muara Kaman dekat Sungai Mahakam. Kerajaan Salakanagara diperkirakan beridiri di abad ke-2 M, yang menganggap kerajaan ini lebih tua dibandingkan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Namun bukti fisik mengenai adanya kerajaan ini tidak diketahui.
Pendapat mengenai keberadaan Kerajaan Salakanagara didasarkan pada catatan perjalanan dari Cina, dimana Kerajaan Salakanagara telah menjalin kerjasama perdagangan dengan dinasti Han, hingga abad ke-3 M, utusan dikirim ke dinasti Han. Selain itu, sejarah adanya Kerajaan Salakanagara didasarkan pada Naskah Wangsakerta, namun naskah tersebut hingga kini masih menjadi kontroversi mengenai keabsahan isinya.
Perdebatan mengenai kerajaan pertama di Nusantara bukan hanya melibatkan Kerajaan Salakanagara di Banten dan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, namun Kerajaan Kandis di Riau juga ikut terlibat saling berpacu diantara masing-masing.
SEJARAH
Diperkirakan awal berdirinya kerajaan Salakanagara pada abad ke-1 di kota yang dikenal dengan logamnya, kata Salakanagara berarti "Negeri Perak" didirikan pada 52 Saka. Penguasa pertama di Salakanagara adalah Aki Tirem yang hidup disekitar pesisir Teluk Lada Pandeglang Banten, besan dari Nyai Muti'ah, penguasa perempuan berdarah Arab yang menguasai Tanah Pusaka Sukahurip disekitar muara sungai kuno Sandang Pinggan, yang sekarang sudah dibangun untuk kota Industri Migas terbesar di dunia, Kota Balongan Indramayu Jawa Barat. istri dari Eyang Haji Saka sang penata peradaban Tanah Jawa. Saka Urip, adalah penyebutan pertama sebelum berganti menjadi Sokaurip, kemudian berganti lagi menjadi Sukahurip dan sekarang Sukaurip.
Sukahurip adalah nama salah satu Desa kuno di Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu Jawa Barat yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar sebagai Tanah Pusaka Sukahurip adalah daerah pertama di Tanah Jawa yang dibangun oleh Eyang Haji Saka dan istrinya tercinta Eyang Nyai Muti'ah. Sosok perempuan pertama yang diketahui oleh penulis (Asep Syaefullah) sebagai pemimpin Tanah Pusaka Sukahurip sebelum dinikahi oleh Mahaguru Haji Saka.
Pandeglang (Sekarang Banten), dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata Panday dan geulang artinya pembuat gelang. Sejarawan Sunda, Dr. Edi S. Ekajati, memperkirakan lokasi ibu kota kerajaan adalah di kota Merak sekarang. Dalam bahasa Sunda, merak berarti membuat perak.
KERAJAAN SUNDA
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Pasundan memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tubagus H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Konon tokoh awal yang berkuasa di Banten adalah Aki Tirem. Kota inilah yang disebut Argyrè oleh Ptolemeus dalam tahun 150, dikarenakan Salakanagara diartikan sebagai Negara Perak dalam bahasa Sanskerta.
Kota ini terletak di daerah Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua pedagang dari Pallawa (Indo-Parthia), Dewawarman I ketika putri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pohaci Larasati diperistri oleh Dewawarman I[butuh rujukan]. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman I menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke India. Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman I menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara beribu kota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agninusa (negeri api) yang berada di pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibu kota Kerajaan Salakanagara hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi.
Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana di India bernama Jayasinghawarman.
Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis. Kerajaan Salakanagara dianggap sebagai leluhur orang-orang Sunda, dibuktikan dengan persisnya wilayah kekuasaan kerajaan ini sama dengan peradaban suku Sunda dan kata Salakanagara memiliki kesamaan kosakata dengan kata Sunda.
PENDAHULU TARUMANAGARA
Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi kerajaan daerah (bawahan).
Banyak para ahli memperdebatkan masalah institusi kerajaan sebelum Tarumanegara melalui berbagai sumber sejarah seperti berita Tiongkok dan bangsa Eropa atau naskah-naskah Kuno. Claudius Ptolemaeus, seorang ahli bumi masa Yunani Kuno menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang terletak di wilayah timur jauh. Negeri ini terletak di ujung barat pulau Iabodio yang selalu dikaitkan dengan Yawadwipa yang kemudian diasumsikan sebagai Jawa. Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian diterjemahkan oleh para ahli sebagai Merak. Kemudian sebuah berita Tiongkok yang berasal dari tahun 132 M menyebutkan wilayah Ye-tiao yang sering diartikan sebagai Yawadwipa dengan rajanya Pien yang merupakan lafal Mandarin dari bahasa Sanskerta Dewawarman. Namun tidak ada bukti lain yang dapat mengungkap kebenaran dari dua berita asing tersebut.
LETAK DAN LOKASI KERAJAAN
Kerajaan Salakanagara terletak di Cihunjuran, Desa Cikoneng, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, terdapat tiga menhir dan tujuh mata air yang dikenal tujuh sumur. Ada tiga lokasi yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Salakanagara. Mereka adalah Teluk Lada (Pandeglang, Banten), Condet (Jakarta) dan Gunung Salak (Bogor).
Perkiraan letak kerajaan Salakanagara adalah sebagai berikut :
1. Rajatapura disebut oleh Naskah Wangsakerta sebagai letak pusat pemerintahan Salakanagara, yang terletak di Teluk Lada (Pandeglang, Banten). Dalam naskah tersebut, Rajatapura disebut sebagai kota tertua di Jawa. Dari sinilah kedelapan raja Dewawarman bertahta dan menguasai perdagangan di seluruh barat Pulau Jawa.
2. Ciondet atau Condet di Jakarta Timur yang berjarak 30 kilometer dari pelabuhan Sunda Kelapa. Daerah ini memiliki sungai mengalir yang bernama Sungai Tiram. Kata Tiram diyakini berasal dari nama Aki Tirem, mertua Dewawarman I pendiri Salakanagara.
3. Gunung Salak (Bogor) adalah sebuah gunung yang ketika siang berwarna keperak-perakan tertimpa matahari bersinar terang. Dalam bahasa Sunda, Salakanagara berarti Kerajaan Perak. Selain itu, pendapat ini juga didasarkan pada kemiripan nama antara Salaka dengan Salak.
NAMA RAJA-RAJA SALAKANAGARA
Tidak bisa dipungkiri bahwa awal mula kerajaan di Tatar Sunda berdiri tidak luput dari keturunan India, Salakanagara yang berdiri tahun 130 Masehi yang dalam Naskah Wangsakerta dimaknai sebagai negeri perak, konon juga tertulis dalam karya yang berjudul Geographia yang ditulis oleh Klaudius Ptolemaeus (Ptolemeus) mengenai sebutan Argyre. Penguasa pertama yang berkuasa adalah Aki Tirem, konon memiliki kesaktian luar biasa, namun pada saat itu Aki Tirem bukanlah raja melainkan penguasa yang berpengaruh.
Dewawarman I (Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara) diperkirakan meninggal pada 168 M, merupakan pemimpin dari sebuah ekpedisi perdagangan dinasti Pallawa dari India[butuh rujukan] yang kemudian memperistri Dewi Pohaci Larasati, putri dari Aki Tirem. Hal ini menyebabkan pengikut serta pasukan yang dibawa Dewawarman I ikut menikahi wanita Banten dan memutuskan untuk tidak kembali ke India. Dewawarman I kemudian mewarisi kekuasaan dari Aki Tirem setelah wafatnya Aki Tirem, dan pada tahun 130 inilah Dewawarman I mempelopori terbentuknya sebuah kerajaan pertama di Nusantara dengan takhta yang akan diwariskan secara turun temurun.
NAMA RAJA-RAJA KERJAAN SALAKANAGARA
Berikut daftar nama raja-raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara berdasarkan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara adalah :
1. 130-168 M = Dewawarman I, bergelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara sebagai Pedagang asal Bharata (India).
2. 168-195 M = Dewawarman II, bergelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra, Putra tertua Dewawarman I
3. 195-238 M = Dewawarman III, bergelar Prabu Singasagara Bimayasawirya Putra Dewawarman II
4. 238-252 M = Dewawarman IV, Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon
5. 252-276 M = Dewawarman V, Menantu Dewawarman IV
6. 276-289 M = Mahisa Suramardini Warmandewi, Putri tertua Dewawarman IV & istri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut
7. 289-308 M = Dewawarman VISang Mokteng Samudera, Putra tertua Dewawarman V
8. 308-340 M = Dewawarman VII bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati, Putra tertua Dewawarman VI
9. 340-348 M = Sphatikarnawa Warmandewi, Putri sulung Dewawarman VII
10. 348-362 MDewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya Dewawarman, Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara
11. Mulai 362 M = Dewawarman IX, Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara.
KERAJAAN BAWAHAN SALAKANAGARA
Salakanagara membawahi kerajaan-kerajaan kecil, yang didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dinasti Dewawarman (raja-raja yang memerintah Salakanagara). Kerajaan yang menjadi bawahan Salakanagara antara lain :
1. Kerajaan Ujung Kulon.
Kerajaan Ujung Kulon berlokasi di wilayah Ujung Kulon dan didirikan oleh Senapati Bahadura Harigana Jayasakti (adik kandung Dewawarman I). Saat kerajaan ini dipimpin oleh Darma Satyanagara, sang raja menikah dengan putri dari Dewawarman III dan kemudian menjadi raja ke-4 di Kerajaan Salakanagara. Ketika Tarumanagara tumbuh menjadi kerajaan yang besar, Purnawarman (raja Tarumanagara ke-3) menaklukkan Kerajaan Ujung Kulon. Akhirnya Kerajaan Ujung Kulon menjadi Kerajaan bawahan dari Tarumanagara. Lebih dari itu, pasukan Kerajaan Ujung Kulon juga ikut membantu pasukan Wisnuwarman (raja Tarumanagara ke-4) untuk menumpas pemberontakan Cakrawarman.
2. Kerajaan Tanjung Kidul.
Kerajaan Tanjung Kidul beribu kota Aghrabintapura (Sekarang termasuk wilayah Cianjur Selatan). Kerajaan ini dipimpin oleh Sweta Liman Sakti (adik ke-2 Dewawarman I).
PENGARUH DARI INDIA
Pendiri Salakanagara, Dewawarman, merupakan seorang duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan putri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Salankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai Magada. Sementara Kerajaan Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
SALAKANAGARA SEBAGAI KERAJAAN TERTUA DI NUSANTARA
Salakanagara diyakini sebagian masyarakat merupakan kerajaan tertua dan pertama di Nusantara. Bila dilihat dari dugaan waktu berdirinya, Salakanagara yang sudah eksis sejak abad ke 2 M, jelas lebih tua ketimbang Kutai yang baru muncul pada abad ke 4 M.
Walau begitu, kerajaan ini cukup misterius karena terbatasnya sumber sejarah. Munculnya nama Salakanagara berdasarkan adanya bukti beberapa arca dan naskah Wangsakerta, sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari Cirebon.
Selain itu Claudius Ptolemaeus melalui bukunya yang dipublikasikan sekitar tahun 150 M, Geographia menggambarkan adanya kawasan yang berada sangat jauh timur dari Yunani. Dirinya menyebut kawasan itu sebagai Argyre, atau negeri besi.
Dalam buku itu, Argyre tidak jauh dari semenanjung Malaya dan kawasan yang bernama Barus di Sumatra. Banyak dari para sejarawan mencari tahu keberadaan negeri yang dimaksud, dan menemukan kerajaan tertua di Nusantara yaitu kerajaan Salakanagara.
Ahmad Darsa, peneliti peninggalan kuno dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Undang menulis makalah Kropak 406, Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan tahun 2014.
Ptolemeus bisa jadi sempat mengunjungi Salakanagara, tulisnya di Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga yang dimuat National Geographic.
KISAH CELENGAN DARI KERAJAAN MAJAPAHIT
Tertulis dalam naskah Wangsakerta, Salakanagara memiliki raja pertama Dewawarman yang berasal dari India dan menjadi duta India di Pulau Jawa. Dia kemudian menikahi Pwahaci Larasati, putri kepala daerah setempat, Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya.
Ternyata, Aki Tirem leluhurnya berasal dari seberang, yaitu Suwarnabhumi (Sumatra), sedangkan nenek moyangnya berasal dari India, tulis arkeolog Universitas Indonesia, Ayatrohaedi
Setelah menjadi menantu Aki Tirem, Dewawarman memiliki nama penopatan Dharmalikapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Dari pernikahan dengan Pwahaci Larasit lahir beberapa anak salah satunya Dewawarman II.
Dewawarman I ini berkuasa selama 38 tahun (130-168 M) selanjutnya pada masa kekuasaan Dewawarman VIII berkuasa pada 340-363 Masehi. Di masa pemerintahan ini keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa.
Tetapi setelah masa pemerintahannya Kerajaan Salakanagara akhirnya tamat karena dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara. Pusat kekuasaannya pun pindah ke Jayasinghapura yang sudah menjadi kota besar.
NENEK MOYANG SUNDA DAN BETAWI
Lokasi yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Salakanagara juga masih belum pasti. Ada tiga versi terkait perkiraan di mana pemerintah Salakanagara dijalankan, yakni di Pandeglang (Banten), Condet (Jakarta), atau di lereng Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat.
Dimuat di Tirto, versi pertama, ibukota Salakanagara berada di Teluk Lada, Pandeglang, Banten, versi ini diambil dari naskah Wangsakerta yang menyebut pusat Kerajaan Salakanagara bernama Rajatpura yang diyakini merupakan kota paling tua di Pulau Jawa.
Rajatpura menjadi pusat pemerintahan Raja Dewawarman I hingga era Raja Dewawarman VIII, hingga menjadi bawahan dari Tarumanegara. Menariknya, Salakanagara pernah dua kali dipimpin oleh ratu.
Namun ada yang meragukan atas kebenaran versi pertama ini, yakni Pandeglang tidak memiliki pelabuhan besar yang menjadi bandar dagang, melainkan hanya memiliki pelabuhan nelayan biasa.
Sedangkan salah simbol kejayaan Salakanagara adalah dari sektor ekonomi dengan bukti, misalnya, kerajaan ini telah menjalin relasi dagang dengan Dinasti Han di China. Hal yang diklaim terdapat dalam naskah-naskah pedagang Tionghoa
Dari situlah kemudian muncul versi kedua yang menyakini bahwa ibukota Salakanagara bukan berada di Pandeglang, melainkan di suatu tempat bernama Ciondet (Condet) yang kini terletak di wilayah Jakarta Timur.
Ciondet alias Condet yang berada tidak jauh dari bandar niaga besar bernama Sunda Kelapa, hanya sekitar 30 kilometer ke arah utara. Pelabuhan ini pada masanya dikenal sebagai pusat perdagangan paling ramai di Nusantara.
SEKILAS KERAJAAN TARUMANEGARA
Di kawasan ini juga mengalir Sungai Tiram yang kemudian menjadi salah satu dasar untuk meyakini bahwa Salakanagara bukan berada di Banten, melainkan di Jakarta. Tiram dipercaya berasal dari Aki Tirem yang tidak lain mertua Dewawarman.
Adapun menurut versi ketiga, Salakanagara dibangun di lereng Gunung Salak, Bogor. Disebutkan, di suatu bagian di kaki Gunung Salak sering terlihat keperak-perakkan ketika diterpa sinar matahari.
Dari situlah lalu dikait-kaitkan dengan arti Salakanagara, yakni Negara Perak. Ditambah lagi, penyebutan Salaka dengan Salak hampir mirip. Selain itu, pada perkembangan nanti lereng Gunung Salak juga menjadi tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Sunda lainnya.
Dengan cangkupan wilayahnya, penduduk mayoritas Salakanagara adalah mereka yang kemudian dikenal sebagai orang Sunda. Bila mengacu pada versi kedua, orang-orang yang datang ke Sunda Kelapa kemudian beranak-pinak akhirnya menurunkan kaum Betawi.
PERBEDAAN PANDANGAN
Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon menyusun naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dalam 26 jilid pada sekitar 1677 dan 1698. Dalam naskah itu menyebut Kudungga dan Aswawarman sebagai raja Kutai pada masa lalu.
Aswawarman yang namanya berunsur bahasa Sansekerta disebutkan berasal dari Salakanagara. Naskah itu juga menyebut beberapa nama kerajaan sebelum Tarumanegara, seperti Salakanagara, Jayasinghapura, Agrabinta, dan Hujungkulwan.
Ayatrohaedi memperkirakan beberapa nama pada lokasi sekarang, seperti Agrabinta adalah kerajaan kecil di Cianjur Selatan yang terdapat nama daerah serupa, dan Jayasinghapura adalah Jasinga di Kabupaten Bogor.
Terdapat berbagai titik temu antara naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dengan ragam prasasti peninggalan Tarumanegara. Prasasti Tugu memuat banyak informasi nama dan gelar raja-raja Tarumanegara awal, meski tak bertanggal.
Para ahli memperkirakan prasasti itu berasal dari abad ke 5, yang juga tidak bertentangan dengan penanggalan naskah. Dan bila naskah itu dipercaya. banyak sejarah masa lampau di Indonesia yang perlu dirombak.
Karena berita naskah itu berbeda dengan pandangan tafsiran kita selama ini.
Kisah Sedekah 1.000 Ekor Sapi Raja Purnawarman untuk Cegah Banjir
Namun yang menjadi persoalan, naskah Wangsakerta sendiri masih menjadi kontroversi. Naskah yang digarap oleh semacam panitia riset dari Kesultanan Cirebon ini konon disusun selama 21 tahun dan selesai pada 1698.
Panitia ini terdiri dari lima penasehat agama Islam, dari Arab, Siwa dari India, Wisnu dari Jawa Timur, Buddha dari Jawa Tengah, dan Konghucu dari Semarang. Ada pula para pelaksana di bawah mereka yang terdiri tujuh orang jaksa pepitu, Cirebon.
Para panitia ini berhasil memustakaan 1.700 naskah, lengkap dengan semua jilidnya, seperti Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dan salinan kitab-kitab hukum Majapahit yang paling banyak adalah rangkaian carita, katha, dan itihasa dengan 286 jilid.
Meskipun penemuan naskah ini sangat disyukuri karena terbilang lengkap, tetapi tidak sedikit kalangan sejarawan yang meragukan keasliannya. Lantaran isinya yang begitu detail dan rinci menceritakan sejarah Nusantara, dari peradaban purba hingga Kerajaan Islam.
Tetapi terlepas berbagai kontroversi dan perdebatan itu, jejak-jejak Kerajaan Salakanagara sudah bisa sedikit diungkap. Meskipun label kerajaan pertama di Nusantara masih belum menyakinkan semua kalangan.
VERSI NATIONALGEOGRAPHIC
Salakanagara, Kerajaan Nusantara Tertua Versi Wangsakerta
Kesultanan Cirebon
Prasasti Tugu, yang diperkirakan dibuat pada abad kelima. Di batu itu menyertakan penguasa Kerajaan Tarumanagara dan asal-usul terkait kerajaan Salakanagara, kerajaan yang lebih tua dari Kutai.
Prasasti Tugu, yang diperkirakan dibuat pada abad kelima. Di batu itu menyertakan penguasa Kerajaan Tarumanagara dan asal-usul terkait kerajaan Salakanagara kerajaan yang lebih tua dari Kutai.
Claudius Ptolemeus lewat bukunya yang dipublikasikan sekitar tahun 150, Geographia, menggambarkan adanya kawasan yang berada sangat jauh di timur dari Yunani. Dia menyebut kawasan itu sebagai Argyre, atau negeri besi.
Dalam buku itu, Argyre tidak jauh dari semenanjung Malaya dan kawasan yang bernama Barus di Sumatera. Banyak dari para sejarawan mencari tahu keberadaan negeri yang dimaksud, dan menemukan kerajaan tertua di Nusantara yaitu Salakanagara.
Peneliti peningalan kuno dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Undang Ahmad Darsa, menulis makalah Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan tahun 2004. Melalui tulisannya di Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, Darsa memperkirakan bahwa Ptolemeus bisa jadi sempat mengunjungi Salakanagara.
Kita selama ini mengenal bahwa kerajaan awal di Indonesia, yakni Kutai di Kalimantan Timur (350-1605), dan Tarumanagara di Jawa bagian barat (358-669).
Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon menyusun naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dalam 26 jilid pada sekitar 1677 dan 1698. Naskah itu menyebut Kudungga dan Aswawarman sebagai raja Kutai di masa lalu.
Menurut naskah itu, Aswawarman adalah menantu Kudungga, bukan anaknya. Nama Aswawarman yang namanya berunsur bahasa Sansekerta disebutkan berasal dari Salakanagara yang merupakan kerajaan perintis Tarumanagara, dan putra dari Raja Dewawarman VIII.
Jika kebenaran naskah itu dapat dipercaya, akan dapat diketahui bahwa banyak sekali hal dalam sejarah kita yang selama ini belum jelas, dalam naskah itu diuraikan dengan jelas," tulis arkeolog Universitas Indonesia Ayatrohaedi, dalam bukunya Sundakala.
Nama kerajaan di Kutai itu, misalnya, disebutkan Bakulapura, sedangkan nama dua orang tokohnya, yaitu Kudungga dan Awaswarman segamaiana kita kenal dalam prasasti, juga ditemukan dalam naskah itu.
Naskah itu juga menyebutkan nama beberapa kerajaan sebelum Tarumanaegara, seperti :
1. Salakanagara.
2. Jayasinghapura
3. Agrabinta dan.
4. Hujungkulwan.
Ayatrohaedi memperkirakan beberapa nama ini pada loksai sekarang, seperti Agrabinta adalah kerajaan kecil di Cianjur Selatan yang terdapat nama daerah yang serupa, dan Jayasinghapura adalah Jasinga di Kabupaten Bogor.
Tertulis, Salakanagara memiliki raja pertama bernama Dewawarman yang berasal dari India, dan sebelumnya menjadi duta untuk India di Pulau Jawa. Dia kemudian menikahi Pwahaci Larasati, putri kepala daerah setempat, Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya.
Ternyata, Aki Tirem leluhurnya berasal dari seberang, yaitu Suwarnabhumi (Sumatera), sedangkan nenek-moyangnya berasal dari India.
Naskah itu menyebut garis leluhur Aki Tirem itu yang berangsur-angsur dari kakek, buyut, piut, dan selanjutnya.
Nama kakeknya adalah Ki Srengga, buyutnya beranama Nay Sariti Warawiri, piutnya Sang Aki Bajupakel, selanjutnya Aki Bungkul, yang pindah dari Suwarnabhumi ke Jawa Barat bagian selatan).
Nama-nama selanjutnya adalah Ki Pawang Sawer, Datuk Pawang Marga, Ki Bagang dari Suwarnabhumi utara, Datuk Waling, Datuk banda, dan Nesan (tinggal di Langkasuka (kini bagian dari Malaysia dan Thailand. Nesan ini adalah pendatang dari Yawana, sebuah negeri dari (abad ke-5 SM - 2 Masehi) di barat India.
Setelah menjadi menantu Aki Tirem, Dewawarman memiliki nama nobat Prabhu Dharmalikapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Ayatrohaedi menulis, Nama Raksagapurasagara ini menyengat, mengingat gunung yang terdapat di Pulau Panaitan, tempat ditemukan sejumlah arca Siwa dan Ganesa, bernama Raksa.
Salakanagara pada masa jayanya menjadi gapura maritim karena meliputi Jawa Barat, dan pulau-pulau kecil di Selat Sunda. Semua kapal yang melintasi perairan itu harus singgah ke Salakanagara untuk memberikan upeti atau persembahan kepada Dewawarman.
Dewawarman I yang menikahi Pwahaci larasit ini lahirlah beberapa anak, salah satunya adalah Dewawarman II (bergelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman). Dewawarman I ini berkuasa selama 38 tahun (130-168 M), dan sesuai dengan berita Tiongkok dari tahun 132 M yang menyebut Pien yang diperkirakan lafal untuk namanya, Ayatrohaedi berpendapat.
Selanjutnya pada masa kekuasaan Dewawarman VIII (berkuasa 340-363 M), kerajaan Salakanagara berubah nama menjadi Tarumanagara. Dia juga memindahkan pusat kekuasaannya ke Jayasinghapura yang sudah menjadi kota besar.
Pergantian nama ini juga mempengaruhi sistem untuk memulai menulis nama raja-rajanya di prasasti. Nama-nama seperti Rajadhirajaguru atau Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang merupakan raja pertama Tarumanagara sendiri adalah menantu dari Dewawarman VIII
Terdapat berbagai titik temu antara naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dengan ragam prasasti peninggalan Tarumanagara. Prasasti Tugu memuat banyak informasi nama dan gelar raja-raja Tarumanagara awal, meski tak bertanggal.
Para ahli memperkirakan prasasti itu berasal dari abad ke-5, yang juga tidak bertentangan dengan menurut penanggalan naskah.
Jika berita naskah itu dapat dipecaya, sekali lagi, berarti terjemahan Purbatjaraka mengenai Prasasti Tugu itu pada bagian yang berbunyi rajadhirajena sebagai oleh maharasa yang mulia harus diubah menjadi oleh Rajadhiraja, terang Ayatrohaedi mengenai penyamaan nama dalam naskah dan prasasti.
Jika bertia naskah itu dapat dipercaya, berarti kita harus banyak merombak atau mengubah pandangan dan pendapat kita mengenai kisah sejarah kita di masa lampau, ia menambahkan. Karena berita naskah itu berbeda dengan pandangan tafsiran kita selama ini.
Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon menyusun naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dalam 26 jilid pada sekitar 1677 dan 1698. Naskah itu menyebut Kudungga dan Aswawarman sebagai raja Kutai di masa lalu.
Menurut naskah itu, Aswawarman adalah menantu Kudungga, bukan anaknya. Nama Aswawarman yang namanya berunsur bahasa Sansekerta disebutkan berasal dari Salakanagara, yang merupakan kerajaan perintis Tarumanagara, dan putra dari Raja Dewawarman VIII.
Jika kebenaran naskah itu dapat dipercaya, akan dapat diketahui bahwa banyak sekali hal dalam sejarah kita yang selama ini belum jelas, dalam naskah itu diuraikan dengan jelas, tulis arkeolog Universitas Indonesia Ayatrohaedi, dalam bukunya Sundakala.
Nama kerajaan di Kutai itu, misalnya, disebutkan Bakulapura, sedangkan nama dua orang tokohnya, yaitu Kudungga dan Awaswarman segamaiana kita kenal dalam prasasti, juga ditemukan dalam naskah itu.
Naskah itu juga menyebutkan nama beberapa kerajaan sebelum Tarumanaegara, seperti Salakanagara, Jayasinghapura, Agrabinta, dan Hujungkulwan. Ayatrohaedi memperkirakan beberapa nama ini pada loksai sekarang, seperti Agrabinta adalah kerajaan kecil di Cianjur Selatan yang terdapat nama daerah yang serupa, dan Jayasinghapura adalah Jasinga di Kabupaten Bogor.
Tertulis, Salakanagara memiliki raja pertama bernama Dewawarman yang berasal dari India, dan sebelumnya menjadi duta untuk India di Pulau Jawa. Dia kemudian menikahi Pwahaci Larasati, putri kepala daerah setempat, Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya.
Ternyata, Aki Tirem leluhurnya berasal dari seberang, yaitu Suwarnabhumi (Sumatera), sedangkan nenek-moyangnya berasal dari India, tulis Ayatrohaedi. Naskah itu menyebut garis leluhur Aki Tirem itu yang berangsur-angsur dari kakek, buyut, piut, dan selanjutnya.
Nama kakeknya adalah Ki Srengga, buyutnya beranama Nay Sariti Warawiri, piutnya Sang Aki Bajupakel, selanjutnya Aki Bungkul, yang pindah dari Suwarnabhumi ke Jawa Barat bagian selatan).
Nama-nama selanjutnya adalah Ki Pawang Sawer, Datuk Pawang Marga, Ki Bagang dari Suwarnabhumi utara, Datuk Waling, Datuk banda, dan Nesan (tinggal di Langkasuka (kini bagian dari Malaysia dan Thailand. Nesan ini adalah pendatang dari Yawana, sebuah negeri dari abad ke-5 SM-2 Masehi di barat India.
Setelah menjadi menantu Aki Tirem, Dewawarman memiliki nama nobat Prabhu Dharmalikapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Ayatrohaedi menulis, Nama Raksagapurasagara ini menyengat, mengingat gunung yang terdapat di Pulau Panaitan, tempat ditemukan sejumlah arca Siwa dan Ganesa, bernama Raksa.
Salakanagara pada masa jayanya menjadi 'gapura' maritim karena meliputi Jawa Barat, dan pulau-pulau kecil di Selat Sunda. Semua kapal yang melintasi perairan itu harus singgah ke Salakanagara untuk memberikan upeti atau persembahan kepada Dewawarman.
Dewawarman I yang menikahi Pwahaci larasit ini lahirlah beberapa anak, salah satunya adalah Dewawarman II (bergelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman). Dewawarman I ini berkuasa selama 38 tahun (130-168), dan sesuai dengan berita Tiongkok dari tahun 132 yang menyebut Pien yang diperkirakan lafal untuk namanya, Ayatrohaedi berpendapat.
Selanjutnya pada masa kekuasaan Dewawarman VIII (berkuasa 340-363), kerajaan Salakanagara berubah nama menjadi Tarumanagara. Dia juga memindahkan pusat kekuasaannya ke Jayasinghapura yang sudah menjadi kota besar.
Pergantian nama ini juga mempengaruhi sistem untuk memulai menulis nama raja-rajanya di prasasti. Nama-nama seperti Rajadhirajaguru atau Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang merupakan raja pertama Tarumanagara sendiri adalah menantu dari Dewawarman VIII.
Terdapat berbagai titik temu antara naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dengan ragam prasasti peninggalan Tarumanagara. Prasasti Tugu memuat banyak informasi nama dan gelar raja-raja Tarumanagara awal, meski tak bertanggal.
Para ahli memperkirakan prasasti itu berasal dari abad ke-5, yang juga tidak bertentangan dengan menurut penanggalan naskah.
Jika berita naskah itu dapat dipecaya, sekali lagi, berarti terjemahan Purbatjaraka mengenai Prasasti Tugu itu pada bagian yang berbunyi rajadhirajena sebagai 'oleh maharasa yang mulia' harus diubah menjadi oleh Rajadhiraja, terang Ayatrohaedi mengenai penyamaan nama dalam naskah dan prasasti.
Jika bertia naskah itu dapat dipercaya, berarti kita harus banyak merombak atau mengubah pandangan dan pendapat kita mengenai kisah sejarah kita di masa lampau, ia menambahkan. Karena berita naskah itu berbeda dengan pandangan tafsiran kita selama ini.