TATA KRAMA
Tata krama adalah aturan berperilaku dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat tata krama yaitu menjadi lebih menghargai dan menghormati orang lain.
Tata krama terdiri dari kata "tata" dan krama. Tata berarti aturan, norma, atau adat. Krama berarti sopan santun, perilaku santun, tingkah laku yang santun, bahasa yang santun, tindakan yang santun.
Jadi, tata krama adalah aturan kehidupan yang mengalir dalam hubungan antar manusia. Selain itu, tata krama juga berkaitan erat dengan etika. Perilaku seseorang yang beretika artinya, orang tersebut memiliki tata krama.
Tata krama adalah suatu aturan yang diwariskan turun temurun untuk mengatur hubungan antara individu satu dengan individu lainnya.
Tata krama bertujuan untuk menimbulkan saling pengertian, hormat-menghormati dan penghargaan menurut adat yang berlaku di suatu masyarakat. Tata krama umumnya mengandung nilai lokal, yaitu hanya berlaku pada daerah tertentu saja. Untuk itulah tata krama satu suku bangsa dan yang lainnya bisa berbeda-beda.
Tata krama yang akan kita bahas adalah tata krama Jawa. Dalam tata krama Jawa, ada etika dan sopan santun yang harus dipenuhi. Ini tidak terlepas dari sifat halus dan kasar. Tata krama jawa mengatur semua hubungan mencakup antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan manusia yang lainnya. Etika yang ada antara manusia dan manusia dibedakan dalam tata krama Jawa.
LUHURNYA TATA KRAMA ORANG JAWA
Antara orang muda kepada orang tua memiliki etika tersendiri, berbeda dengan etika yang ada antar orang yang sebaya atau antara orang yang lebih tua ke orang yang lebih muda. Dengan pengelompokan ini membuat manusia Jawa diharuskan berbicara dan berperilaku dengan melihat posisi, peran serta kedudukan dirinya di hadapan orang lain.
Tata krama ini tidak hanya tampak pada tiga jenis bahasa yang digunakan yakni :
1. Krama Alus,
2. Krama Madya dan.
3. Ngoko.
Tata krama ini juga diwujudkan dalam gerakan dan bahasa tubuh merupakan isyarat yang dipahami secara universal.
Dengan melihat dari kejauhan saja kita bisa tahu posisi seseorang terhadap orang lainnya dari gesture atau gerak badannya cara berbicaranya. Tata krama yang menonjol dalam keluarga Jawa adalah adanya perbedaan dalam percakapan sehari-hari dengan keragaman bahasa yang digunakan.
Jawa tidak hanya memiliki beragam ritual, namun juga beragam etika khas. Orang jawa menyebutnya dengan sopan santun atau tata krama. Selain menjadi pendorong keteraturan masyarakat, tata krama, berfungsi menciptakan keselarasan dalam segala hal.
Tata krama terdiri dari kata tata dan krama. Tata adalah adat, aturan, norma, ataupun peraturan. Krama adalah sopan santun, tindakan, perbuatan, maupun perilaku. Jadi tata krama adalah aturan berperilaku yang sopan dan santun sesuai dengan lingkungan hidup atau pergaulan manusia setempat (Aristo Farela, 2017: 87).
Istilah tata krama terkadang penggunaanya dipertukarkan dengan etiket. Karena tata krama dan etiket memiliki lingkup makna yang hampir sama, aturan berperilaku dalam kehidupan. Tapi tata krama berlaku berdasarkan waktu dan tempat. Sedangkan etiket berlaku secara global atau umum.
Di Jawa, orang yang memiliki tata krama disebut memiliki unggah-ungguh. Seperti yang dijelaskan Franz Magnis-Suseno dalam karyanya berjudul Javanese Ethics and World-view: The Javanese Idea of the Good Life (1997) bahwa unggah-ungguh adalah cara berbicara dan membawa diri. Seseroang dapat menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Sebab bagi masyarakat Jawa keadaan rukun dan damai didasarkan penyesuaiannya terhadap lingkungan. Unggah–ungguh juga menjadi perhatian utama, agar tidak luntur begitu saja.
Salah satu tata krama diwujudkan dalam bentuk sapaan. Saat menyapa, terutama orang lain, diharuskan menggunakan bahasa krama atau krama alus. Sedangkan, bila sapaan itu berasal dari teman yang seusia, biasanya menggunakan bahasa ngoko. Bertujuan agar lebih tampak akrab. Sedangkan, krama alus digunakan ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Bisa juga digunakan kepada orang-orang yang dihormati.
Bahasa ngoko dan krama ini memiliki beberapa tingkatan. Setiap tingkatan memiliki fungsi berbeda. Adanya tingkatan bahasa berfungsi mengatur segala bentuk interaksi. Baik di lingkungan keluarga, teman-teman, maupun orang yang tidak kenal. Tingkatan bahasa sesuai unggah-ungguh ada dua, ngoko dan krama. Ngoko masih dibagi menjadi ngoko lugu dan ngoko andhap. Sedangkan, bahasa krama dibagi menjadi krama lugu dan krama alus.
Ngoko lugu digunakan berkomunikasi dengan orang berstatus lebih rendah, sejajar, dan bersifat umum. Ngoko andhap digunakan berkomunikasi dengan orang yang memiliki hubungan lebih akrab. Sedangkan krama lugu digunakan untuk orang yang baru dikenal. Krama alus digunakan seseorang kepada orang berkedudukan lebih tinggi atau lebih tua. Berdasarkan hal ini saja bahwa bahasa digunakan untuk menunjukan derajat dalam masyarakat.
Penggunaan bahasa ngoko misalnya, aku turu, adek mangan (Saya tidur, adek makan). Sedangkan pemakaian bahasa krama seperti, eyang putri lenggah wonten ing kursi goyang (Nenek duduk di kursi goyang). Dari sini bisa dilihat adanya stratifikasi di antara orang Jawa.
Hal ini memudahkan orang Jawa untuk beradaptasi dengan orang yang baru dikenal maupun yang sudah dikenal secara baik, sekaligus melanggengkan bangunan sosial yang ada.
Selain bahasa yang bertingkat, orang Jawa juga memiliki ungkapan yang penuh dengan pitutur. Pitutur atau nasehat ini kebanyakan bersifat samar. Salah satunya dapat ditemukan dalam ungkapan, aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton. Arti dari nasehat tersebut, jangan berbicara secara asal, berbicaralah dengan landasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena tidak setiap kata yang keluar dari mulut bisa diterima secara langsung oleh orang lain. Beberapa nasehat inilah yang terus menjaga tindak tanduk bagi orang Jawa.
Unggah–ungguh tidak hanya diwujudkan dengan bahasa. Tapi juga dengan gerakan tubuh. Sikap sopan, diperlihatkan dengan kehalusan dalam gerak tubuh. Tindakan tersebut biasanya disebut dengan andhap-asor (rendah hati). Tindakan tersebut akan sangat tampak saat seseorang melakukan sesuatu untuk orang lain. Biasanya saat menyajikan makanan dengan berlutut, menundukkan kepala ketika berpapasan dengan orang yang lebih tua, membungkukkan badan ketika melewati orang yang sedang duduk, mencium tangan kedua orang tua ketika berjabat tangan, dan lain-lain.
Keberadaan tata krama dalam hidup orang Jawa mampu menciptakan ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat. Karena prinsip dasarnya adalah kerukunan dan saling menghormati. Keberadaan kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis.
Rukun adalah keadaan baik pada sebuah hubungan sosial baik dalam keluarga, tetangga, desa, bangsa, dan negara. Orang Jawa selalu menjaga keselarasan sehingga terciptalah harmoni.
KEBIASAAN, KARAKTER, ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA ORANG JAWA
Suku Jawa merupakan salah satu suku mayoritas di Indonesia. Bahkan persebarannya tak hanya di hampir seluruh daerah Indonesia namun hingga mancanegara. Persebaran tersebut biasanya dilakukan karena dulunya terjadi imigrasi besar-besaran dari tanah Jawa ke berbagai tempat.
Karakter orang Jawa yang gemar merantau juga membuat persebarannya begitu luas ke berbagai tempat. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari kebiasaan, karakter, adat, hingga budaya orang Jawa.
KEBIASAAN DAN KARAKTER ORANG JAWA
1. Menjaga Sopan Santun.
2. Ramah Tapi Sungkan Menyapa (Pemalu).
3. Ngalah dan Menghindari Konflik.
4. Filosofi Hidup Mengalir Seperti Air.
5. Karakter Pekerja Keras dan Penurut.
6. Nrimo.
7. Saat Berjalan Sungkan Mendahului.
8. Mudah Bergaul dan Membaur.
9. Kebersamaan dan Tolong-menolong.
10. Banyak Pantangan.
11. Memegang Erat Tradisi dan Budaya.
12. Tata Bahasa Berdasarkan pada Nilai Kesopanan.
13. Muluk/Puluk.
ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA ORANG JAWA
1. Kenduren
2. Sekaten
3. Tedak Siten
4. Ruwatan
5. Tumpengan
6. Air Kendi di Depan Rumah
7. Panggih Manten
8. Wayang Kulit
9. Keris
10. Aksara Jawa
KEBIASAAN DAN KARAKTER ORANG JAWA
1. Menjaga Sopan Santun.
Orang Jawa pada umumnya pandai menjaga sopan santun. Baik dengan orang yang lebih tua, sesama umur, hingga yang lebih muda. Mereka tahu bagaimana caranya bersikap. Misalnya ketika sedang bertamu hingga sebagai tuan rumah.
2. Ramah Tapi Sungkan Menyapa (Pemalu).
Jangan heran jika berpapasan dengan orang Jawa akan melihat sebagian besar mereka suka sedikit menundukkan pandangan. Hal tersebut sebenarnya wajar karena karakter mayoritas orang Jawa memang pemalu.
Namun meskipun pemalu, sebenarnya mereka ingin mulai percakapan atau mengobrol. Hanya saja mereka malu untuk memulainya. Namun jika sudah mulai mengobrol dengan orang Jawa, anda akan merasakan betapa asik dan kentalnya percakapan.
3. Ngalah dan Menghindari Konflik.
Di kehidupan sosialnya, mayoritas orang Jawa memiliki sifat mengalah. Mereka lebih senang mengalah bukan karena takut, namun tidak suka dengan pertikaian. Tentunya karakter satu ini memiliki nilai plus tersendiri, termasuk dalam kehidupan berpasangan.
4. Filosofi Hidup Mengalir Seperti Air.
Tidak neko-neko dan mengalir layaknya air memang sudah menjadi karakter kuat orang Jawa. Mereka kebanyakan tidak terlalu memikirkan beban hidup. Asalkan sudah berjalan, bisa mencukupi keluarga, dan tidak punya hutang, mereka sudah amat bersyukur.
Hidup tidak perlu terlalu dipusingkan, hidup itu untuk dijalai. Begitulah filosofi yang kebanyakan dipegang oleh orang Jawa.
5. Karakter Pekerja Keras dan Penurut.
Pemalas bukanlah image orang Jawa. Sudah sangat terkenal hingga ke luar negeri bahwa orang Jawa lekat dengan karakter pekerja kerasnya. Mereka akan mengerjakan apa yang semestinya dikerjakan.
Bahkan ketika tidak mendapat pekerjaan, kebanyakan tidak akan tinggal diam. Selain itu ketika menerima gaji, mayoritas karakter orang Jawa bukanlah tipe pemboros. Mereka senang menyisihkan sedikit uangnya untuk ditabung atau dikirim ke kampung halaman (jika hidup di tanah rantau).
6. Nrimo.
Nrimo maksudnya adalah menerima, bisa juga diartikan dengan istilah menerima apa adanya. Orang Jawa tidak suka macam-macam. Misalnya ketika mendapati masakan di rumah adanya tempe, si anak tidak meminta macam-macam dan memakan apa yang ada.
Sejujurnya, karakter dan kebiasaan satu ini mulai memudar, namun bukan berarti kita sulit mendapatinya. Nrimo juga bisa pada contoh kehidupan berumahtangga yang mampu menerima keadaan pasangan apapun itu.
7. Saat Berjalan Sungkan Mendahului.
Sungkan mendahului ketika berjalan sudah menjadi tabiat orang Jawa. Apalagi jika mesti mendahului orang tua, itu adalah sebuah pantangan. Mereka lebih memilih bersabar berjalan di belakang meskipun rasanya kurang nyaman. Kebiasaan satu ini juga begitu erat kaitannya dengan sopan santun yang notabene sudah menjadi karakter kuat orang Jawa.
8. Mudah Bergaul dan Membaur.
Mengapa orang Jawa begitu mudah diterima di manapun ia berada? Salah satu sebabnya adalah sikap mudah bergaul yang dimilikinya. Mudahnya bergaul juga dipengaruhi oleh karakter mudah mengalah yang ada di jati diri mereka. Itulah sebabnya mereka dapat diterima di manapun dan minim konflik. Hal ini juga bisa menjadi alasan mengapa hampir di seluruh wilayah Indonesia hingga luar negeri, kita bisa dengan mudah menemui orang Jawa.
9. Kebersamaan dan Tolong-menolong.
Daripada mesti hidup enak sendiri, orang Jawa sangat mengedepankan kebersamaan. Anda tentu paham peribahasa mangan ora mangan sing penting kumpul atau makan ngga makan yang penting kumpul. Susah senang sebisa mungkin terus bersama, begitulah maksud peribahasa Jawa tersebut. Dari peribahasa itu, kita bisa menyimpulkan bagaimana sifat tolong-menolong yang dimiliki orang Jawa. Mereka sangat solid dan jiwa sosialnya sangat mengagumkan.
10. Banyak Pantangan.
Orang Jawa percaya akan pantangan. Tak heran jika sedikit-sedikit mereka berkata ora ilok (tidak dibolehkan). Misalnya ketika sedang makan sembari ngobrol, biasanya akan ada yang memperingatkan bahwa tindakan tersebut tidak boleh. Atau duduk di depan pintu, tidur di pagi hari, keluar di waktu maghrib, dsb. Memang banyak sekali pantangan yang dipercaya oleh orang Jawa. Namun tak semua pantangan tersebut hanyalah mitos. Sebenarnya ada beberapa sisi logis dengan adanya sebuah pantangan.
11. Memegang Erat Tradisi dan Budaya.
Orang-orang Jawa begitu erat memegang budayanya. Di sejumlah kota, tradisi-tradisi Jawa masih sangat kental. Meskipun orang Jawa tidak berada di kampung halamannya. Memegang tradisi memang sudah menjadi tabiat kuat mereka. Selain itu, di era modern seperti sekarang, budaya-budaya di keraton Yogyakarta dan sejumlah daerah Jawa lainnya juga masih dipegang erat. Hal ini membuktikan kuatnya tabiat orang Jawa dalam memegang tradisi dan budayanya.
12. Tata Bahasa Berdasarkan pada Nilai Kesopanan.
Meskipun zaman semakin berkembang, pengetahuan akan bahasa lain makin mudah diakses, namun orang Jawa tetap menjaga norma dalam bertutur kata. Hingga saat ini, banyak dijumpai orang Jawa yang berbicara berdasarkan hirarki usia atau dengan siapa mereka berbicara. Hal ini bisa kita lihat dalam struktur bahasa Jawa. Dimana ada bahasa Jawa ngoko (bahasa sehari-hari), hingga krama inggil yang digunakan untuk meninggikan derajat lawan bicara. Krama inggil merupakan bahasa halus yang umumnya ditujukan kepada yang lebih tua, lebih dihormati, atau orang asing.
13. Muluk/Puluk.
Bagi anda yang bukan asli Jawa mungkin asing dengan istilah ‘puluk’ atau ‘muluk’. Bahkan istilah tersebut juga masih asing oleh sebagian orang Jawa. Istilah tersebut berarti kebiasaan makan dengan tangan, tanpa sendok atau alat bantu makan lainnya. Makan langsung dengan tangan sudah diturunkan sejak lama. Dan hingga saat ini masih banyak yang melestarikannya. Umumnya orang Jawa sangat suka makan langsung dengan tangan sembari duduk lesehan.
ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA ORANG JAWA
1. Kenduren.
Kenduren atau kenduri bisa diartikan sebagai selametan. Umumnya di acara kenduren diselenggarakan doa bersama teruntuk yang punya hajat. Kenduren diselenggarakan dalam sejumlah maksud. Misalnya ungkapan rasa syukur untuk hal tertentu yang sifatnya baik. Di beberapa daerah Jawa, kenduren diselenggarakan untuk memperingati kematian seseorang, acara doa bersama sebelum dan sesudah pernikahan, dan berbagai hal lainnya. Dulunya, kenduren diselenggarakan menggunakan sesaji. Namun dengan penggabungan ajaran islam, sesaji diganti dengan makanan, dan mantra-mantra diganti dengan doa-doa yang diajarkan oleh islam.
2. Sekaten.
Sekaten merupakan upacara yang ditujukan sebagai bentuk rasa syukur dan hormat kepada Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wassalam. Upacara tersebut juga dilakukan untuk memperingati kelahiran Rasullullah. Adat yang dilakukan selama 7 hari ini, biasanya dilakukan di Yogyakarta dan Solo. Dalam pelaksanaannya, terdapat gunungan yang berisi aneka hasil bumi. Gunungan tersebut nantinya dibagikan kepada orang-orang yang menyaksikannya. Ketika upacara berlangsung, keraton Surakarta pun mengeluarkan 2 jenis alat musik gamelan. Yakni Gamelan Guntur Sari dan Gamelan Kyai Gunturmadu.
3. Tedak Siten.
Tedak siten merupakan upacara yang diperuntukan bagi bayi yang sudah mulai bisa berjalan. Di kawasan lain, upacara satu ini juga dikenal sebagai turun tanah. Di upacara tedak siten, bayi akan dimasukkan ke dalam kurungan dan mesti mengambil benda apapun yang ada di sekitarnya. Benda pertama yang diambilnya dipercaya sebagai keahlian yang nantinya akan dimiliki si bayi. Upacara satu ini juga bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur pada Sang Pencipta yang telah memberikan berbagai nikmat kepada si bayi.
4. Ruwatan.
Ruwatan merupakan upacara yang ditujukan untuk menghilangkan kesialan atau nasib buruk. Umumnya orang-orang Jawa masih melakukan upacara tersebut. salah satu daerah yang masih memegang teguh upacara satu ini adalah dataran tinggi Dieng. Tiap tahunnya, anak-anak dengan rambut gimbal diruwat demi keselamatannya. Ruwatan juga bisa kita lihat para prosesi peresmian mobil Esemka yang dilakukan oleh presiden Jokowidodo beberapa waktu silam.
5. Tumpengan.
Tumpengan bisa diartikan sebagai prosesi syukuran dengan tumpeng sebagai sarananya. Tumpeng yang berisi nasi kuning atau nasi putih lengkap dengan segala lauk pauknya merupakan filosofi dari ucapan syukur. Tradisi ini kerap dilakukan ketika memperingati sesuatu. Misalnya syukuran hari lahir, membuka gedung/rumah baru, dan berbagai hal yang sifatnya bersyukur. Di sejumlah daerah Jawa, tumpengan juga kerap dilakukan pasca sholat Idulfitri sebagai ungkapan rasa syukur setelah sebulan penuh berpuasa.
6. Air Kendi di Depan Rumah.
Di daerah desa-desa, masih banyak rumah yang menyediakan kendi lengkap berisi air minum. Air kendi di depan rumah adalah budaya Jawa yang begitu luhur. Sebab dengan menyediakan air di dalam kendi untuk minum, sama artinya dengan memberikan minum untuk orang lain. Adat satu ini tentu begitu erat dengan karakter orang Jawa yang gemar tolong-menolong.
7. Panggih Manten.
Panggih manten biasanya diselenggarakan di acara pernikahan yang menggunakan adat Jawa lengkap. Upacara tersebut memiliki sejumlah susunan yang begitu menakjubkan. Upacara tersebut intinya adalah mempertemukan mempelai laki-laki dan perempuan namun dengan sejumlah ritual tertentu.
Berikut urutan-urutan dalam acara pernikahan tradisional Jawa hingga panggih manten :
- Siraman
- Ngerik
- Midodareni
- Seserahan
- Nyantri
- Balangan suruh (lempar sirih)
- Panggih (bertemu)
- Wiji dadi
- Kacar kucur
- Dhahar klimah (makan saling menyuapi)
- Tumplek sunjen
- Sungkeman
8. Wayang Kulit.
Jika di Sunda ada wayang golek, maka di Jawa ada wayang kulit. Wayang berasal dari kata ‘ayang-ayang’ yang berarti bayangan. Cerita dalam wayang kulit umumnya menggambil bentuk kehidupan manusia di dunia. Seperti peperangan antara kebaikan dan angkara murka.
Pertunjukan tradisional ini masih terus dijalankan hingga sekarang. Bahkan wali songo menggunakannya sebagai sarana dalam menyebarkan agama islam di tanah Jawa. Di era sekarang, pertunjukan wayang kulit biasanya diselenggarakan di acara pernikahan, selamatan, hingga peringatan ulang tahun sebuah daerah.
9. Keris.
Keris merupakan senjata tradisional Jawa yang terbuat dari besi. Berbeda dengan pedang, keris memiliki ukuran lebih pendek dengan lekukan yang penuh arti. Senjata tradisional ini dikenal penuh dengan unsur magis.
Saat ini, penggunaan keris tidak hanya sebatas sebagai senjata. Namun juga dijadikan sebagai pelengkap baju adat di acara pernikahan.
10. Aksara Jawa.
Aksara Jawa merupakan abjad memiliki 20 karakter huruf. Sebelum penggunaan aksara modern seperti sekarang, aksara jawa digunakan dalam surat menyurat dan berbagai hal lainnya. Dalam mata pelajaran bahasa Jawa pun, siswa-siswa diajarkan agar bisa membaca, menulis, dan mengenal secara baik aksara Jawa.
Di beberapa daerah seperti Jogja dan Solo, penggunaan aksara Jawa masih terdapat di sejumlah tempat. Salah satunya ditulis pada papan nama jalan di seluruh daerah tersebut.
Tentunya ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari orang Jawa. Baik dari karakter-karakter hingga budayanya. Semoga artikel di atas bermanfaat menambah pengetahuan kita.