KARAENG GALESONG PAHLAWAN NUSANTARA PEMBURU VOC DARI KERAJAAN GOWA
Ada sebuah danau yang indah di Kabupaten Malang. Nama danau itu adalah waduk Selorejo, lokasinya berada di Kecamatan Ngantang. Siapa sangka, dibalik danau yang indah itu terdapat makam seorang bangsawan Gowa. Bangsawan itu bernama Pangeran Karaeng Galesong, putera Sultan Hasanudin dari Kerajaan Gowa.
Karaeng Galesong sendiri diketahui merupakan menantu dari Trunojoyo. Pada masa itu, di wilayah Jawa Timur terdapat dua penguasa besar dan disegani, yakni Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II di Blambangan dan Panembahan Maduretno Pangeran Trunojoyo di Sampang, Madura.
Sudah sejak lama kedua penguasa besar ini saling bantu untuk melawan VOC. Mereka berdua juga sama-sama menjadi incaran penguasa Mataram Sri Susuhunan Amangkurat I. Kedatangan Karaeng Galesong di Jawa Timur tentunya menjadi angin segar bagi Trunojoyo dan Tawangalun. Trio ini kemudian mengadakan pertemuan di Kedhaton Sampang.
Mereka bersatu padu melanjutkan perlawanan terhadap kerajaan Mataram dan Belanda pada 1676-1679. Bersama pasukannya, Karaeng Galesong menyerang Gresik dan Surabaya yang saat itu merupakan daerah kekuasaan Mataram. Sejarawan Belanda, Degraff menulis bahwa pasukan Karaeng Galesong berhasil mengubrak-abrik pasukan Amangkurat I.
Tiga tahun setelah Mataram direbut, Karaeng Galesong, sang Panglima penakluk dari Kerajaan Gowa meninggal dunia. Sejarah mencatat, beliau tutup usia pada 21 November 1679 di daerah Ngantang Kabupaten Malang.
Kematian Karaeng Galesong sendiri ada banyak versi. Apakah meninggal karena sakit atau dibunuh penjajah Belanda? kita coba mengoreknya dalam ekspedisi kali ini.
TENTANG KARAENG GALESONG
Karaeng Galesong, yang bernama lengkap I Maninrori I Kare Tojeng Karaeng Galesong lahir pada 29 Maret 1655 di Bontomajannang Pabbineang, Bontolebang Galesong, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan dan wafat di Ngantang, Malang, Jawa Timur 21 November 1679, adalah seorang laksamana angkatan laut Kesultanan Gowa yang terus melakukan peperangan di laut melawan VOC bahkan setelah Perjanjian Bongaya 1667 ditandatangani.
Dipercaya bahwa Karaeng Galesong adalah pangeran putra dari Sultan Hasanudin itu sendiri dari permaisurinya yang ke 4.
Setelah kekalahan Kesultanan Gowa dari VOC yang bersekutu dengan Kesultanan Bone, Setelah perjanjian Bongaya, dalam dokumen lontara Karaeng Galesong berpendapat, Yang menyerah hanya Raja Gowa, itu tidak berarti peperangan harus berakhir. Jadi Karaeng Galesong bersama rekannya Karaeng Bontomarannu masih terus berperang dilaut terutama sekitar perairan Pulau Jawa dengan membantu perlawanan Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa.
Karaeng Galesong meninggal karena sakit di Ngantang Malang 21 November 1679, sebelum Trunojoyo menyerah.
Dan kuburannya terdapat di Ngantang, bahkan pernah diziarahi seorang Wakil Presiden Indonesia.
KARAENG GALESONG MEMPERSUNTING PUTRI KERAJAAN BLAMBANGAN
Menurut
Dr. F. Epp (1849) : Orang Blambangan memiliki perawakan yang tidak terlalu
hitam warna kulitnya dan jarang mengalami cacat penyakit. Satu lagi, yang
paling penting, bahwa diantara 100 orang wanita Blambangan misalnya, lebih
banyak ditemukan yang cantik daripada yang jelek.
Tak heran jika dalam banyak literatur, wanita Blambangan memang terkenal cantik sehingga banyak tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah, juga beristri orang Blambangan.
Diantaranya
:
1.
Sahadewa/Sadewa/Sudamala menikahi seorang cucu dari
Pandita Citragotra di Prangalas. Inilah asal usul kisah Sritanjung.
2.
Syaikh Maulana Ishaq juga ber-istrikan puteri Blambangan namanya Dewi Sekardadu yang
merupakan putri raja Blambangan saat itu Prabu Menak Sembuyu.
3.
Dalem Waturenggong (raja terbesar Gelgel-Bali), pernah
melamar salah satu puteri Blambangan yang bernama Ni Bas, namun lamaran itu
ditolak.
4.
Danghyang Nirartha, guru suci agama Hindu itu juga
beristrikan wanita Blambangan bernama Ni Sripatni Saraswati.
5.
Sunan Gunung Jati juga beristri puteri dari Blambangan
bernama Nyimas Tepasari.
6.
Sultan Agung Mataram juga beristri (selir) dari
Blambangan bernama Mas Ayu Gandha (literasi Blambangan) atau Mas Ayu Kilara
(literasi Mataram)
7.
Untung Suropati, raja Pasuruan itu juga beristerikan
puteri Blambangan bernama Mas Ayu Sekar
8. Raja Madura/Bangkalan terkenal, Cakraningrat V, juga menikahi wanita Blambangan.
9. Karaeng Galesong putra I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin pejuang Bugis juga mempunyai / beristri putri Blambangan bernama Dewi Maduratna
10.
Dan lain-lain, para pangeran Majapahit, Kediri,
Lumajang, Mengwi, Soerabaja / Ujung Galuh, seluruh kerajaan di Jawa pada waktu
itu hingga ke manca luar Jawa juga cari istri di Blambangan.
KARAENG GALESONG PAHLAWAN NUSANTARA
Karaeng Galesong adalah Bangsawan Gowa yang Memburu VOC ke Jawa.
Karaeng Galesong adalah seorang pejuang dan salah satu bangsawan Makassar yang sangat membenci VOC.
Sejak masih muda, ia telah berjuang bersama sang ayah, Sultan Hasanuddin, untuk mengusir bangsa penjajah dari tanah kelahirannya.
Setelah pamor Kerajaan Gowa-Tallo jatuh, Karaeng Galesong mengembara bersama anak buahnya untuk memerangi VOC di Jawa hingga akhir hidupnya.
MASA MUDA
Lahir pada 29 Maret 1655 dengan nama I Maninrori, Karaeng Galesong adalah putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya yang bernama I Hatijah I L'omo Tobo.
Ketika beranjak dewasa, gelarnya adalah I Maninrori Kare Tojeng. Sedangkan nama Karaeng Galesong baru diberikan oleh Sultan Hasanuddin setelah menyaksikan bakat kepemimpinannya dan mengangkatnya sebagai Karaeng di Galesong.
Karaeng sendiri adalah gelar bangsawan Makassar, sementara Galesong adalah salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo.
Pada 1667, Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya takluk terhadap Belanda setelah Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya.
Kendati demikian, para penjajah tidak serta merta menguasai jalur pelayaran Indonesia barat ke timur.
Sebab, mereka masih mendapatkan gangguan dari prajurit Kerajaan Gowa-Tallo di bawah pimpinan Karaeng Galesong yang menolak tunduk pada isi Perjanjian Bongaya.
MENUJU TANAH JAWA
Sekitar empat tahun setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani, Karaeng Galesong bersama para bangsawan Gowa memilih untuk meninggalkan tanah leluhurnya dn berlayar ke barat guna menyusun strategi dan melanjutkan perlawanan.
Mereka datang dalam beberapa gelombang. Karaeng Galesong mendarat bersama rombongannya di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671.
Dalam rombongannya, turut ikut serta Abdul Hamid Daeng Mangalle bersama kedua pengawal setianya.
Selain itu, ada pula tokoh besar Kerajaan Gowa-Tallo, seperti I Adulu Daeng Mangalle dan Fatimah Daeng Takontu, putra dan putri Sultan Hasanuddin.
Dibanding rombongan bangsawan Gowa lainnya, armada Karaeng Galesong paling besar, yang terdiri atas 70 kapal perang dengan 20.000 laskar bersenjata lengkap.
Kedatangan Karaeng Galesong ke Banten adalah untuk membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan VOC.
MEMBANTU TRUNOJOYO
Di tengah berlangsungnya perang Banten, Raden Kejoran (mertua Raden Trunojoyo) yang sedang membangun pergerakan melawan Prabu Amangkurat I dari Kesultanan Mataram, datang untuk meminta bantuan.
Raden Kejoran meminta kepada Karaeng Galesong untuk membantu Raden Trunojoyo melawan dominasi VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada 1675, Karaeng Galesong memenuhi undangan itu dan melanjutkan perjalanannya ke Kediri, untuk bergabung dengan Raden Trunojoyo.
Untuk mempererat aliansi mereka, Karaeng Galesong bahkan mendapatkan restu untuk menikahi putri Trunojoyo yang bernama Suratna.
Namun sebelum hari pernikahan, Karaeng Galesong diminta untuk menyerang Gresik dan Surabaya yang berada di bawah kekuasaan Mataram.
Aliansi ini meraih sukses besar dalam merebut sebagian besar kota di pesisir Jawa, beserta Pasuruan.
Pada Mei 1676, Belanda kembali merebut beberapa wilayah di Jawa Timur dan memaksa Karaeng Galesong melarikan diri ke Madura.
Karaeng Galesong dan Trunojoyo merespon hal itu dengan menyerang Jawa Timur
menggunakan pasukan gabungan dari Madura, Makassar, dan Surabaya berkekuatan 9.000 tentara.
Pada Oktober 1676, aliansi Mataram dan Belanda dapat dikalahkan dalam Pertempuran Gegodog, diikuti dengan serangkaian kemenangan di pihak Trunojoyo dan Karaeng Galesong
KONGSI DENGAN TRUNOJOYO
Meski berhasil meraih kemenangan, Karaeng Galesong dan Trunojoyo justru berselisih.
Pada akhir 1676, perselisihan itu telah berkembang menjadi konflik terbuka di antara pengikutnya.
Karaeng Galesong kemudian memilih untuk menetap di Pasuruan dan tidak membantu Trunojoyo ketika Surabaya diambil alih oleh VOC pada Mei 1677. Bahkan ia sempat goyah dan memihak VOC-Mataram.
Namun, Karaeng Galesong dan 800 pengikutnya segera memutuskan hubungan dengan VOC dan mendirikan benteng di Keper, Jawa Timur.
AKHIR HIDUPNYA
Pada Oktober 1679, tentara VOC berhasil merebut benteng pasukan Karaeng Galesong setelah pengepungan selama lima minggu.
Dalam keadaan sakit, Karaeng Galesong melarikan diri dengan 60 pengikutnya untuk bergabung kembali dengan Trunojoyo.
Karaeng Galesong akhirnya meninggal pada 21 November 1679, dan kemudian dimakamkan di Ngantang, Kabupaten Malang.
Sumber referensi :
- Kiriman mr.x di medsos
- Wikipedia
Imajiner Nuswantoro