BUDHA JAWA WISNU
Purwane wong Jawa padha ninggalake agama Budi (Budda Jawi Wisnu), banjur salin agama Rasul nalika Sirna Ilang Kertaning Bumi. Ing wektu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu kramaoleh Putri Cêmpa, ing mangka Putri Cêmpa mau agamane rasul,sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang Nata,bab luruhe agama rasul, sabên marak, ora ana maneh kang diaturake,kajaba mung mulyakake agama rasul, nganti njalari katarikingpanggalihe Sang Prabu marang agama rasul mau.
Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran Sayid Rakhmat tinjo mênyang Majapahit, sarta nyuwun idi marang Sang Nata, kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasul.Sang Prabu iya marêngake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau. Sayid Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana Ngampeldênta ing Surabaya anggêlarake agama Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padha marêk sang Prabu ing Majapahit, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing pasisir.
Mau-maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggalake agama Budi lan salin agama rasul nalika Sirna Ilang Hawaning Janmo. Bab Mangkono mau supaya pada dadiyo panimbange panggalih para kawula Jawi kang limpat ing budi.
Cara Nagri Rum menjajah berbekal perkawinan (naturalisasi/ perkawinan antar bangsa).
Lahir generasi yang telah memusuhi Majapahit, di masa kini hal tersebut terulang kembali akibat ramainya kawin kontrak di puncak kota Bogor lahirlah generasi Ngarab yang memusuhi dan mengharamkan budaya Nuswantara.
Flashback cerita jauh ketika Sang Patih Majapahit pulang dari Gresik melaporkan hasil penaklukan terhadap Giri kedaton yang dipimpin oleh orang Cina Bernama Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis Panjang berkepala gundul, berpakaian serba putih.Dalam berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit menembaki. Akibatnya, pasukan Giri kedaton tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima peluru.
Senapati Setyasena menemui ajal.Pasukan Giri kedaton melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Tuban dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang ikut dalam perahu itu ikut melarikan diri dan tidak kembali ke Gresik. Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak dengan mendirikan sebuah kerajaan Giri kedaton di Gresik, tanpa mau menghadap raja Majapahit dan bertekat melawan Majapahit dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat (terkenal dengan Menak Tanjangpura ) mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di Pesisir Utara sepakat mendukungnya. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat Sultan Adi Surya. Surat dari bupati Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prangbakat. Sang Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.Sangat heran kepada orang Ngarab yang tidak menyadari kebaikan sang raja. Selanjutnya, sang patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat itu.Mendengar laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki kemauan seperti itu Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan jahat mereka itu.
Pikiran sang raja sangat sedih,dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi hutan.Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan para sunan serta bupati pesisir utara tega melawan Majapahit. Patih pun menjawab tak mengerti. Sang Patih juga heran, pemikiran orang negeri Ngarab ternyata tidak baik, diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya sendiri. Yang meremehkan agama Budi (Budda Jawi Wisnu) yang telah berlaku turun-temurun begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para sunan menyebarkan agama Rasul. Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Ngarab.Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba. Orang-orang Ngarab kelak terbaliklah ajaran agamanya, menjelma menjadi orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan membalas dengan kejahatan."Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad. Terbukti dengan adanya suara menggelegar membelah bumi. Terkenal sampai sekarang, wali menjadi walikan, tengkuknya dikucir putih.
Tentang kedatangan musuh yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara memberontak. Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan.Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Panaraga karena putra yang ada di istana Majapahit Raden Gugur belum saatnya maju berperang.Setelah memerintahkan demikian, sang prabu meloloskan diri pergi ke Bali diikuti Sabdo Palon dan Nayagenggong. Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana. Maka Sang Raja segera pergi meninggalkan istana Majapahit, kemudian pamit hendak mengungsi ke Bali.
Pasukan Demak kemudian perang dengan pasukan Majapahit. Para Sunan sendiri yang memimpin peperangan. Patih Majapahit mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati Nayaka Majapahit delapan orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai. Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu. Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu, prajuritnya banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka yang mengamuk semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti mati tegelempang. Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah peperangan, bertanding dengan Sunan Kudus. Ketika sedang ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk. Ia menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.Patih Majapahit tidak mempan senjata apapun, seperti tugu baja, tidak ada senjata yang bisa menggores tubuhnya, siapa pun yang diterjang bubar berlarian, yang menghadang terjungkal mampus. Bangkai manusia tumpang tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan. Jatuhnya peluru seperti hujan jatuh di batu. Sunan Ngundung menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung balas ditombak, tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan Majapahit lama-lama habis. Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya Patih Majapahit gugur sambil bersuara, “Ingat-ingat orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas kejahatan, tega merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan pembunuhan. Kelak kubalas, kuajari kalian benar salah, kutiup kepala kalian, kucukur rambut kalian bersih-bersih.”Setelah Sang Patih Majapahit gugur, para Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu sudah tidak ada, yang ada hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri diajak menyingkir ke Gresik. Para prajurit Demak kemudian masuk ke istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang kampung tidak ada yang berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam istana, membakari semua buku-buku ajaran agama Budi (Budda Jawi Wisnu). Orang-orang di sekeliling istana bubar, benteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke gunung dan hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan orang Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu Pangrasa.
Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu jimbuningrat. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus. Sebagian pasukan dan para Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jimbuningrat sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati berganti-ganti menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbuningrat. Beliau meminta restu, agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memberontak.Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya ?.
Para sunan diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, Ngger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah, sebenarnya siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi Bupati Demak dan semua para bupati pesisir utara , serta mengizinkan para Sunan menyebarkan agama.
Majapahit diserang karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama Budi yang kawak-dawuk seperti kuwuk.Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Ngger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja yang sekaligus orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah kepada kamu. Kamu berani-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itulah mati yang utama, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.Gusti Allah tidak menyiksa terhadap manusia yang bersalah, serta tidak memberi ganjaran surga kepada orang Islam yang bertindak paling benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pek Kong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Budi (Budda Jawi Wisnu). Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega memberontak kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi.Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orang tuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepada mertuanya itu. Itulah ngger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang agama nya Budda Jawi Wisnu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku ingin lihat?”Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja kok dipercayai, apalagi dari buku . Orang mengembara sebagai tamu kok diturut perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam merah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? seluruh kata-katamu lidah api.”Nyai Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmana dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemudian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.Nyai Ageng Ampel masih meneruskan gejolak amarahnya, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu kok mau menjalani nya, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua sendiri. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Panaraga dan Adipati Pengging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabil tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.
Prabu Jimbun kembali ke DemakSetelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah. Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Budda Wisnu sudah dibakar semuanya, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak mengungsi ke Gresik. Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Sunan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya.Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta (pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.Mendengar hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Tetapi (karena gengsi dan sudah kepalang tanggung) rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patih, karena tidak mau pindah agama Islam. Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu terlalu dipikirkan, karena pertimbangan wanita itu pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan.Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa.Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya Raden Gugur lebih baik di tenun (disantet) saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.