SALAF
Salafiyah/Salafisme (as-Salafiyyah) merupakan salah satu cara dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa keadaan tambahan dan pengurangan, sesuai syariat yang aci pada generasi Muhammad dan para sahabat, setelah mereka dan orang-orang setelahnya.
Seseorang yang mengikuti saluran salafiyah ini dikata dengan salafi (as-salafy), jamaknya merupakan salafiyyun (as-salafiyyun).
Aci seorang syekh yang mengatakan bahwa siapa saja yang berpendapat sesuai dengan Al Qur'an dan sunnah mengenai aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman salaf, karenanya ia dikata salafi, bila argumen mereka sebaliknya karenanya, mereka itu bukan salafi meskipun mereka hidup pada zaman sahabat, tabi'in & tabi'ut tabi'in.
Dalam buku yang berjudul Ghazali and The Poetics of Imagination, karya Ebrahim Moosa, salafisme merupakan sebuah gerakan petuah politik Islamisme yang mengambil leluhur (salaf) dari patristik masa awal Islam sbg petuah dasar.
Kata salafiyah diambil dari kata "Salaf" merupakan kependekan dari "Salaf al-Ṣāliḥ" (Arab: السلف الصالح), yang faedahnya "terdahulu". Dalam terminologi Islam, secara umum digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim yaitu sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in. Ketiga generasi ini dianggap sbg contoh terbaik bagaimana Islam dipraktikkan.
Istilah salafy ini telah digunakan sejak zaman pertengahan, tetapi masa ini kalimat ini mengacu terutama kepada pengikut saluran Islam Sunni modern yang dikenal sbg Salafiyyah atau Salafisme, yang terkait pula dengan atau mencakup Wahhabisme (untuk beberapa umatnya nama Wahabi ini dianggap menghina, mereka lebih memilih istilah Salafisme), sehingga dua istilah ini sering dipandang sbg sinonim. Mereka memiliki gagasan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengajarkan agama (aliran) baru dalam konsep atau penggambaran diri, ia hanya berusaha memurnikan Islam yang telah bercampur dengan budaya lokal.
Para pengikut salafy mengasumsikan Muhammad bin Abdul Wahhab hanya sbg seorang pemikir akbar dalam agama Islam, sebuah fakta yang dikonfirmasikan oleh mereka menutup ketaatan kepada nasihat doktrinal. Biasanya, penganutnya dari gerakan salafy menjelaskan dirinya sbg Muwahidin, Ahl Hadits, atau Ahl at-Tauhid.
Istilah salafy ini juga muncul di dalam kitab Al-Ansab karangan Sisa dari pembakaran Sa'd Abd al-Kareem al-Sama'ni, yang meninggal pada tahun 1166 (562 dari kalender Islam). Di bawah untuk masuk dalam konsep al-salafi ujarnya, Ini merupakan konsep ke salaf, atau pendahulu, dan mereka mengadopsi pengajaran konsep sesuai apa yang diri sendiri telah mendengar.
Salafy melihat tiga generasi pertama dari umat Islam, yaitu Muhammad dan para sahabatnya, dan dua generasi berikut setelah mereka, tabi'in dan taba 'at-tabi'in, sbg contoh bagaimana Islam mesti diterapkan. Prinsip ini bersumber dari saluran Sunni, hadits (tradisi) diberikan kepada Nabi Muhammad :
Orang-orang dari generasi yang terbaik, karenanya orang-orang yang mengikuti mereka, kesudahan mereka yang mengikuti kedua (yakni tiga generasi pertama dari umat Islam).
Salafy umumnya menisbatkan kepada mahdzab Imam Ahmad Bin Hambali dan kesudahan rujukan konsep Ibnu Taimiyah, karenanya Salafy sedang dikategorikan Ahlusunnah Wal Jama'ah.
Inti nasihat dari ideologi dasar salafi merupakan bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Muhammad dan para sahabatnya, oleh karena itu tidak dikehendaki keadaan inovasi yang telah ditambahkan pada zaman nanti karena pengaruh hukum budaya dan tipu daya budi. Petuah ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip dengan agama Muhammad pertama kali berdakwah.
Salafisme juga telah digambarkan sbg sebuah versi sederhana dan pengetahuan Islam, di mana penganutnya mengikuti beberapa perintah dan praktik.
Para Salafy sangat berhati-hati dalam agama, apalagi dalam urusan aqidah dan fiqh. Salafy sangat berpatokan kepada salaf as-shalih. Bukan hanya persoalan agama saja mereka perhatikan, tetapi persoalan berpakaian, salafy sangat suka mengikuti gaya berpakaian seperti zaman salaf as-shalih seperti memanjangkan jenggot, memakai gamis bagi laki-laki atau memaki celana menggantung (tidak melebihi mata kaki), dan juga memakai cadar bagi beberapa wanita salafy.
Pada zaman modern, kata salafy memiliki dua makna yang kadang-kadang berlainan. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarawan, merujuk pada "aliran konsep yang muncul pada paruh kedua zaman sembilan belas sbg reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali nasihat yang telah di ambil Rasulullah serta menjauhi berbagai ke-bid'ah-an, khurafat, syirik dalam agama Islam.
Penggunaan "yang cukup berbeda" kedua yang lebih disenangi oleh para salafy kontemporer secara sepihak, mengartikan seorang salafi sbg muslim yang mengikuti "perintah kitab suci ... .. secara literal, tradisional" dan bukannya "penafsiran yang nampak tak berbatas" dari "salafi" awal. Para Salafi ini melihat ke Ibnu Taimiyah, bukan ke figur zaman ke 19 Muhammad Abduh, Jamal al-Din, Rashid Rida.
Para ulama yang tergolong salaf :
Al Bukhary Muslim
(Sisa dari pembakaran Daud, Hatim, Zur'ah)
At-Tirmidzi
An-Nasa'i
As-Sabiqun al-Awwalun
Tabi'in
Tabi'ut tabi'in
Catatan :
Sebaik-baiknya kalian merupakan generasiku (para sahabat) kesudahan orang-orang sesudah mereka (tabi'in) kesudahan orang-orang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)." Hadits riwayat Imam Bukhary dalam Shahihnya.
Imam Adz Dzahabi berkata: "As-salafi merupakan sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf." Siyar A’lamin Nubala 6/21.
Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berucap, "Barangsiapa yang argumennya sesuai dengan al-Qur'an & Sunnah mengenai aqidah, hukum & suluknya menurut pemahaman Salaf, karenanya ia dikata Salafi, meskipun tempatnya jauh dan berlainan masanya." "Sebaliknya barangsiapa argumennya menyalahi al-Qur'an & Sunnah, karenanya ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Tabi'in & Tabi'ut Tabi'in." (al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salaf as-Shalih)
SIAPAKAH PENGIKUT ULAMA SALAF SEBENARNYA.
1. Imam Hanafi lahir: 80 hijriah
2. Imam Maliki lahir: 93 hijriah
3. Imam Syafie lahir: 150 hijriah
4. Imam Hanbali lahir:164 hijriah
5. Imam Asy’ari lahir: 240 hijriah
Beliau-beliau ini semua ulama Salafus Sholeh atau dikenali dgn nama ulama Salaf.
SALAF
Salaf ialah nama zaman yaitu merujuk kpd golongan ulama yg hidup antara kurun zaman kerosulan Nabi Muhammad hingga 300 HIJRAH. 3 kurun pertama itu bisa diartikan 3 Abad pertama (0-300 H).
1. Golongan generasi pertama dari 300 tahun hijrah tu disebut Sahabat Nabi karena mereka pernah bertemu Nabi SAW.
2. Golongan generasi kedua pula disebut Tabi’in yaitu golongan yg pernah bertemu Sahabat nabi meski tidak pernah bertemu Nabi
3. Golongan generasi ketiga disebut sebagai Tabi’ tabi’in yaitu golongan yg tak pernah bertemu nabi dan sahabat tapi bertemu dengan tabi’in. Jadi Imam Abu Hanifah (pencetus mazhab Hanafi) merupakan murid Sahabat Nabi maka beliau seorang Tabi'in.
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali (Ahmad bin Hanbal), Imam Asy’ari pula berguru dgn tabi’in maka mereka adalah golongan Tabi'in. Jadi kesemua Imam-Imam yang mulia ini merupakan golongan Salaf yang sebenarnya.
Dan pengikut mazhhab mereka lah yg paling layak digelar sbg "Salafiyah" karena “salafi” maksudnya “pengikut golongan SALAF”. Jadi beruntung lah kita NU yg masih berpegang kpd mazhab Syafi'i yg merupakan mazhab SALAF yg SEBENARNYA dan tdk lari dari paham NABI DAN SAHABAT.
SEMENTARA ULAMA RUJUKAN WAHABI YANG MENGAKU SEBAGAI SALAFI ADALAH SBB :
1) Ibnu Taimiyyah lahir: 661 Hijrah (lahir 361 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF
2) Nashiruddin Al-Albani lahir: 1333 Hijrah (mati tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi,lahir 1033 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)
3) Muhammad Abdul Wahhab (pendiri gerakan Wahabi): 1115 Hijrah (lahir 815 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)
4) Bin baz lahir: 1330 Hijrah (wafat tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi, sama dfn Albani, lahir 1030 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)
5) Al-Utsaimin lahir: 1928 Masehi (wafat tahun 2001), beliau lahir entah berapa ribu tahun setelah zaman SALAF
Mereka ini semua hidup di AKHIR ZAMAN kecuali Ibnu Taimiyyah yg hidup di pertengahan zaman antara zaman salaf dan zaman dajjal (akhir zaman). Saat Islam diserang oleh tentara Mongol. Tak ada sorang pun Imam rujukan mereka yg mereka ikuti hidup di zaman SALAF.
Mereka ini ..
(ulama rujukan wahabi) semua SANGAT JAUH DARI ZAMAN SALAF tapi SANGAT ANEH apabila pengikut sekte Wahabi membanggakan diri sebagai “Salafi” (pengikut Golongan Salaf) dan menyebut sebagai SALAFI WAHABI.
Sdgkan rujukan mereka adalah dari kalangan yang datang dari golongan ulama’ akhir zaman. Mereka menuding ajaran Sifat 20 Imām Asy’ari yang lahir tahun 240 H sebagai bid’ah yang sesat.
Padahal ajaran Tauhid Uluhiyyah, dan Asma wa Shifat yang mereka ajarkan juga bid’ah dan diajarkan pada masa Khalaf, oleh orang yg lahir tahun 1115 H.
Ini jelas membodohi aqidah ummat Islam.
MENUNGSO SEJATI SEJATINE MENUNGSO (Kunci Urip).
Menungso sejati sejatine menungso, Sing di arani menungso sejati kui ngerti faham lan ngaamalaken hakekate wong urip, ngerti panciptaane manungso ,jagad sakkabehe, ngerti tujune urip yoiku sampuraning pati . bisane sampuraning pati kui yo kudu biso nglakoni sampuraning urip , nyampurnaaken sampurnane urip kui ya kudu ngerti jati diri,
Kuncine ngerti hakikate urip, golek jati diri awake dewe, lan lelaku, serta mangelmu sejati, yoiku Syari’at Hakekat Tarekat lan Makrifat.
Menungso sejati kui bermakrifat dining Gusti Allah.
Sepanjang perjalanan urip dan kehidupan, seorang hamba senantiasa dituntut untuk berusaha menjaga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan dalam menghambakan diri kepada Allah swt. Di mana mereka harus sadar akan posisi dirinya sebagai hamba Allah (‘abid) yang harus taat dan tunduk terhadap segala titah-Nya, sebagai yang disembah (al-ma’bud) dalam kondisi apa pun adanya. Dalam menuju kesana banyak cara yang ditempuh sesuai dengan cara dan pendekatan bermacam-macam dan berbeda-beda, antara lain, dengan mengasingkan diri dari keramaian, menjauhkan diri dari kehidupan materi, memilih hidup sederhana. Aktifitas-aktifitas semacam itu kemudian disebut dengan kehidupan asketis (zuhud). Semua perjalanan yang dilalui itu adalah semata-mata dalam rangka menemukan tujuan hidup hakiki yang merupakan kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Dalam perkembangan selanjutnya, perjalanan spiritual yang demikian itu kemudian dikenal dengan perjalanan dan pengalaman sufistik. Sedangkan tujuan dari perjalanan sufistik tersebut adalah semata-mata untuk memperoleh hubungan langsung dan didasari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di Hadirat Allah swt. Intisari dari ajaran sufisme ini adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Adapun kesadaran berada dengan Allah itu dapat mengambil bentuk ittihad (penyatuan diri dengan Tuhan), hulul (manifestasi Tuhan dalam diri manusia), ma’rifat (Melihat-Nya) ataupun mahabbah (Mencintai-Nya).
Dengan berbagai metode dan pendekatan yang ditempuh seorang sufi seperti itu, maka dalam kaitan ini, Imam Jakfar Ash-Shadiq pernah mengatakan, bahwa dalam beribadah kepada Allah akan ditemui tiga macam bentuk: Pertama, kaum yang menyembah Allah karena takut. Yang demikian itu adalah ibadahnya hamba sahaya; Kedua, kaum yang menyembah Allah kerena untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan Ketiga, kaum yang menyembah Allah karena rasa cinta (mahabbah). Yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka. Inilah ibadah yang paling utama. Dengan demikian, jelaslah bahwa menyembah Allah karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridha Allah swt.
Pada dasarnya tuntunan dan ajaran tasawuf adalah menekankan pada asfek esoteris (batin) dan bukan pada eksoteris (lahir), maka dalam praksisnya seseorang salik (pelaku tasawuf) senantiasa ingin mensucikan dirinya dari hal-hal yang kotor yang masih melekat pada hati dan jiwanya. Dia berusaha mengisinya dengan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga tidaklah berlebihan apabila seorang salik hatinya tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mendekat kepada kekasihnya, yaitu Allah swt. Banyak jalan yang ditempuh olehnya, antara lain dengan banyak berdzikir kepada Allah, maupun memperbanyak amalan-amalan shalih lainnya.
Oleh karena itu, terdapat ungkapan yang berbunyi, “Apabila Islam dipisahkan dari aspek esoterisme-nya, maka ia hanya menjadi kerangka formalitas saja, sehingga orang-orang yang rasionalistik hanya menerima Islam sebagai keformalan semata. Apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan, sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Dalam tradisi keberagamaan ummat Islam, motivasi ibadah ummat awam lebih cenderung bersifat simbolistik-formalistik. Mereka beribadah hanya bermotifkan mencari pahala surga dan menjauhi neraka. Mereka menganggap surga dan neraka adalah tujuan akhirnya. Mereka tidak tahu bahwa tujuan yang lebih berarti dan bermakna dari ibadah tersebut. Ibarat seorang anak kecil yang dipaksa masuk sekolah (SD) oleh ibunya, karena sang anak tidak tahu tujuan dari pendidikan maka ibu memberikan motivasi berupa hadiah, kalau anaknya mau masuk sekolah akan diberikan baju baru, dan kalau naik kelas akan diberikan sepeda mini, dan terus sampai anaknya tamat SD masih tetap dimotivasi dengan hadiah-hadiah dan kalau sang anak tidak mau sekolah akan diancam dengan hukuman. Ketika sang anak sudah masuk SMP, dia sudah mulai tahu hakikat sekolah, dia mulai mengerti untuk apa sekolah, tujuannya bukan untuk mendapatkan sepeda mini, bukan untuk menghindari hukuman, tapi tidak lain untuk mencerdaskan dirinya sebagai bekal dalam menempuh kehidupan. Sungguh, betapa banyak ummat Islam beragama seperti anak kecil yang masuk sekolah karena hadiah, dan sangat disayangkan akan terus demikian tanpa tahu hakikat beragama.
Tentang hakikat beragama, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kitab ibarat tongkat yang diperlukan untuk berlatih agar bisa berjalan, ketika sudah pandai berjalan maka tongkat itu tidak diperlukan lagi dan justru akan memperlambat perjalanan. Betapa banyak orang yang terus memeluk dengan erat kitab/buku, terus asyik dengan dalil sampai akhir hayatnya, merasa sudah pandai barjalan padahal tidak pernah menempuh perjalanan.
Tujuan hidup yang hakiki adalah menemukan Allah, memandang keindahan wajah-Nya yang kekal abadi, barulah kemudian menghambakan diri dan mencintainya dengan sebenar-benar cinta, dari sanalah sumber hikmah dan karunia mengalir dengan deras, laksana guyuran air hujan dari langit.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah merupakan benih kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah swt (ma’rifatullah).
Menurut Jalaluddin Rumi, kebahagiaan tertinggi dalam perjalanan hidup adalah terletak pada pengetahuan sejati tentang Allah swt (Ma’rifatullah). Yang dapat diperoleh langsung melalui pengalaman bathin, yaitu hati (intuisi) yang bersih dan jernih akan materi-materi lewat bimbingan seorang Guru Mursyid yang Kamil dan sangat pengerti keadaan spiritual muridnya. Bukan dengan pendekatan intelektual-teologi, filsafat, atau indera lahiriah semata.
Bahwa ma’rifat adalah buah dari fana’. Dengan kata lain, ke-fana’-an adalah ma’rifat itu sendiri. Disinilah Rumi menemukan kebahagiaan tertinggi, yaitu ketika ia sampai pada tahap ke-fana’-an atau penyaksiaan kesatuan.
Sesaat engkau fana pada-Ku, lebih baik itu pada dari engkau beramal seribu bulan”, fana’ itulah hakikat dari Lailatul Qadar, apabila orang menemukan malam itu lebih baik dari beribadah selama 1000 bulan.
Adapun bagi Rabi’ah al-Adawiyah, kebahagiaan tertinggi adalah terletak pada kasyf (terbuka hijab untuk bisa melihat Allah), yang terungkap dalam syairnya tentang cintanya, yaitu :
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu
Mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Dengan demikian, tujuan cinta Rabi’ah adalah pencarian Kasyf (dapat melihat Allah) itu sendiri, sehingga tak tampak sedikitpun selain-Nya. Seperti yang di Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 113:
“….dimanapun engkau memandang disitulah Wajah Allah”
Al-Qur’an telah menggambarkan kepada kita betapa Maha dasyatnya memandang wajah Allah swt, surga dan seluruh isinya tidak akan bisa mengalahkan kebahagiaan memandang wajah-Nya, bahkan digambarkan kebahagiaan tertinggi penduduk surga adalah memandang wajah-Nya.
Masihkah kita berusaha berebut kapling di surga kalau sudah tahu bahwa kebahagiaan itu bukan disana? Kebahagiaan itu adalah disaat kita bersama-Nya, menikmati perjamuan-Nya, memandang wajah-Nya, dari sanalah timbul rasa cinta yang menggelora, cinta yang menggetarkan seluruh jiwa dan raga, cinta yang tidak mampu ditulis walau seluruh air laut jadi tinta dan ranting kayu jadi pena. Cinta yang membuat Saidina Ali tidak merasakan pedih kakinya saat panah dicabut, cinta yang membuat Rabi’ah tidak merasakan pedih matanya tertusuk duri.
Inilah jalan kesufian, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang benar-benar bisa merasakan kehadiran-Nya, merasakan getaran cinta-Nya setiap saat, inilah tujuan hidup hakiki.