GUNUNGSARI / PANGERAN RADEN PANJI GUNUNGSARI
Pangeran Raden Panji Gunungsari adalah saudara laki-laki dari Dewi Sekartaji. Pangeran Raden Panji Gunungsari merupakan putera dari Raja Daha Kediri kerajaan Panjalu Prabu Amiluhur.
Pangeran Raden Panji Gunungsari adalah seorang pangeran dari kerajaan Kediri Dewi Ragil Kuning, dan
Pangeran Raden Panji Gunungsari adalah adik dari Dewi Sekartaji.
Pangeran Raden Panji Gunungsari adalah tokoh dalam cerita Panji juga merupakan tokoh penyelesai konflik (ahli dibidang lobby) dalam lakon wayang topeng Malangan. Raden Gunungsari merupakan salah satu tokoh kesatria Jawa yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai identitas yang patut untuk dijadikan panutan.
RADEN PANJI DAN DEWI SEKARTAJI
Walaupun pertempuran dengan Prabu Klanasewandana dengan pasukan Hindu sudah berakhir dan telah dimenangkan oleh Kediri. Namun Sang Prabu masih merasa sedih dan cemas. Beliau berpikir bahwa selama Dewi Sekartaji belum bersuami pertempuran besar pasti akan terulang lagi. Hal itupun dirasakan oleh Sang Resi Dewi Kilisuci. Maka beliau kemudian menemui Sang Raja Jenggala, menyampaikan permasalahan yang dihadapi adindanya Sang Raja Kediri. Sang Resi menyarankan bahwa untuk menghindari permasalahan timbulnya peperangan lagi, maka Prabu Lembu Hamilihur harus memaksa Raden Panji untuk dinikahkan dengan tunangannya yang lama yaitu Dewi Sekartaji.
Namun Prabu Lembu Hamiluhur tidak sanggup merasa Raden Panji sudah bukan miliknya sebab sudah diambil menantu oleh adindanya Raja Ngurawan. Di samping itu juga takut kalau sampai mengkhianatinya lagi seperti dahulu. Prabu Lembu Hamiluhur menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Resi dalam hal membicarakannya, baik dengan yang bersangkutan yaitu Raden Panji, maupun dengan mertuanya. Oleh karena itu lalu sang Resi segera pergi ke Ngurawan untuk membicarakan hal tersebut.
Sesampainya di Ngurawan, ditemuinya Raja Ngurawan, sekalian dengan Raden Panji Kudarawisrengga beserta istrinya. Sang Resi segera menyampaikan maksud kedatangannya, seperti yang telah dibicarakannya dengan Raja Jenggala. Sang Raja Ngurawan menyerahkan permasalahan tersebut kepada sang menantu. Raden Panji pun bersedia asalkan istrinya mengizinkan, serta bersedia dimadu. Ternyata sang istri yaitu Dewi Surengrana mengizinkan. Oleh karena semua sudah bersedia dan sudah tidak ada permasalahan lagi, maka sang Prabu Ngurawan segera membuat surat untuk Raja Kediri yang isinya meminta Dewi Sekartaji untuk diambil menantu, dijodohkan dengan tunangan lamanya yaitu Raden Panji Kudarawisrengga.
Setelah Surat selesai dibuat segera memanggil dua orang menteri yaitu Cungcung dan Calbung untuk menghaturkan surat tersebut kepada kakandanya Sang Raja Kediri. Begitu menerima dan membaca surat lamaran dari Ngurawan, Sang Prabu Kediri lalu minta persetujuan kepada putranya, Raden Gunungsari. Pada mulanya Raden Gunungsari tidak setuju sebab Raden Panji Kudarawisrengga sudah diambil menantu sendiri oleh sang Paman Raja Ngurawan, dijodohkan dengan putri sulungnya yang bernama Dewi Surengrana. Dengan begitu berarti kakandanya, yaitu Dewi Sekartaji akan dimadu dengan saudaranya sendiri. Oleh karena itu Raden Gunungsari merasa berkeberatan, sebab kasihan pada kakaknya. Akan tetapi Sang Prabu mempunyai pandangan lain menurut beliau memang sudah menjadi kehendak Dewa, bahwa Dewi Sekartaji itu memang sudah ditentukan menjadi jodoh bagi Raden Panji Kudarawisrengga.
Oleh karena itu, apapun yang terjadi, walaupun harus dimadu dengan seratus putri, hanya Sekartaji yang akan mampu melahirkan putra mahkota. Dengan alasan tersebut Sang Prabu Kediri akan mengabulkan permintaan adindanya Sang Prabu Ngurawan untuk memberikan Dewi Sekartaji menjadi istri Raden Panji.
Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada putranda Raden Gunungsari untuk membuat surat balasan, serta Raden Gunungsari pula yang diutus menyerahkannya ke Ngurawan. Raden Gunungsari pun sanggup dengan syarat Dewi Honengan (putri bungsu Jenggala) akan dimintanya menjadi istri. Hal itupun telah disanggupi oleh ayahandanya.
Raden Gunungsari berangkat ke Ngurawan dengan diiringkan oleh lima orang abdinya yang sangat setia, yaitu: Ki Tisnapati, Wiranala, Singabureng, Tirtayuda, dan Secareka. Sesampainya di Ngurawan, sang paman sangatlah senang menerima balasan surat dari Kediri, terutama atas terkabulnya permintaannya. Oleh karena itu Raden Gunungsari ditahan untuk beberapa hari tinggal di Ngurawan, tidak boleh segera kembali ke Kediri, melainkan nanti bersama-sama dengan pengiringan pengantin laki-laki. Untuk sementara Raden Gunungsari beserta kelima abdinya diminta beristrirahat di kepatihan. Sedangkan Sang Prabu Ngurawan mengirimkan utusan ke Kediri lagi untuk meminta perintah kapan pengantin laki-laki harus diiringkan ke Kediri.
Selama di Ngurawan, setiap sore Raden Gunungsari diajak berpesta bersama seluruh keluarga Ngurawan sambil menikmati indahnya tari-tarian. Adapun yang menari adalah para putri Ngurawan yang dipimpin oleh Dewi Kumudaningrat. Raden Gunungsari sangat terpesona pada kemolekan Dewi Kumudaningrat, sehingga segala geraknya senantiasa tidak lepas dari perhatiannya. Namun Dewi Kumudaningrat tampak tidak menaruh perhatian kepada Raden Gunungsari, melainkan perhatiannya sepenuhnya tercurah kepada Raden Panji Sastramiruda. Maka Raden Gunungsari merasa bertepuk sebelah tangan.
Pada suatu malam hasrat Raden Gunungsari pada Dewi Kumudaningrat sudah tidak dapat dibendung lagi. Sehingga dengan diam-diam dia keluar dari kepatihan ingin menemui Dewi Kumudaningrat di taman Keputrian. Namun malang baginya. Begitu Raden Gunungsari masuk ke kamar tidur Dewi Kumudaningrat, ternyata Raden Panji Sastramiruda sudah berada disana sedang bercumbu dengan sang putri.
Sehingga mereka berdua lalu berkelahi, dan Raden Gunungsari terkena senjata terluka di paha. Raden Gunungsari lalu melarikan diri kembali ke kepatihan. Di sana beliau berjumpa dengan kelima abdinya yang terheran-heran. Kemudian Raden Gunungsari menceritakan apa telah terjadi. Atas nasehat para abdinya, Raden Gunungsari lalu melarikan diri dari Ngurawan, sebab takut ketahuan oleh pamannya Sang Raja. Setelah tiga hari tiga malam mereka berjalan, sampailah di sebuah hutan belantara.
Di sana mereka sangatlah kelaparan. Tiba-tiba mereka melihat sebuah gubuk yang berada di tepi hutan. Maka singgahlah mereka di gubug tersebut. Namun oleh karena hari tengah malam, maka yang empunya rumah sudah tidur. Kemudian dibangunkan oleh para abdi, dan diberi tahu bahwa yang datang tersebut adalah Raden Gunungsari, putra raja Kediri. Sang empunya rumah segera bangun dan tergopoh-gopoh menghaturkan sembah. Raden Gunungsari berterus terang bahwa beliau beserta kelima abdinya sangat kelaparan. Maka yang empunya rumah yang bernama Pak Sogol segera menanak nasi untuk menjamu para tamunya. Setelah masak, nasi segera disuguhkan, hanya dengan sebutir telur asin (kamal) serta sambal tanpa terasi.
Mula-mula jamuan disuguhkan kepada Raden Gunungsari. Beliau hanya makan sedikit. Selebihnya diberikan pada kelima abdinya, dan mereka makan dengan lahapnya, sehingga kesemuanya habis seketika. Sesudahnya Raden Gunungsari berniat akan segera melanjutkan perjalanan kembali ke Kediri. Sebelum berangkat beliau berkata pada Pak Sogol, bahwa tempat tersebut akan dinamakan Desa Kamal, dan Pak Sogol sendiri diganti nama menjadi Ki Sugata. Hal tersebut sebagai tanda peringatan bahwa beliau telah dijamu (disugata= Jawa) dengan lauk telur asin (telur kamal). Beliau berjanji bahwa nanti setelah beliau kembali ke istana, Raden Gunungsari akan membalas kebaikan Pak Sogol tersebut.
Sesudah berkata demikian, Raden Gunungsari lalu mengajak kelima abdinya untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian Singabureng mengingatkan bahwa Raden Gunungsari terluka karena tindakan yang memalukan. Sehingga kalau ayahandanya mengetahui pasti akan marah, apalagi jika nanti disusul dengan surat dari Ngurawan, yang menyatakan bahwa tuanku di Ngurawan berbuat yang tidak baik. Pasti ayahanda Raja akan menjadi semakin marah, karena merasa dipermalukan. Oleh karena itu maka Raden Gunungsari lalu bertanya kepada Singabureng mengenai bagaimana yang sebaiknya dilakukan.
Singabureng berkata, bahwa daripada kembali ke Kediri, lebih baik bersembunyi dahulu di Gunung Wilis, sekalian mencari obat sambil mencari berita mengenai kepergian tuan, bagaimana sikap ayahanda tuanku Raja Ngurawan maupun Kediri. Hal itupun disetujui Raden Gunungsari, sehingga mereka lalu meneruskan perjalanan menuju Gunung Wilis.
Sesampainya di Gunung Wilis mereka berjumpa dengan sang pendeta yang bernama Wasi Curiganata. Raden Gunungsari bercerita dengan terus terang mengenai apa yang telah terjadi, maka kepada sang Resi, disamping mencari obat, juga ingin minta perlindungan.
Begitu mendengar cerita dari Raden Gunungsari sang resi segera memeluknya sambi! berkata: “Aduhai adikku, ketahuilah bahwa saya ini adalah kakakmu sendiri. Saya adalah Raden Nilaprabangsa putra Jenggala yang tertua”. Raden Nilaprabangsa lalu mengisahkan awal mulanya sehingga beliau menyamar sebagai pendeta di Gunung Wilis tersebut, yaitu bahwa mula-mula dipanggil oleh uwanda resi lalu disuruh menyingkirkan istri Raden Panji Kudarawisrengga yang pertama yang bernama Dewi Hangreni. Setelah berhasil membunuh Dewi Hangreni dia disarankan untuk bersembunyi di Gunung Wilis dengan menyamar sebagai seorang pendeta dengan nama Wasi Curiganata, sehingga dapat berjumpa dengan raden Gunungsari di tempat tersebut.
Raden Nilaprabangsa menyarankan, bahwa untuk sementara waktu Raden Gunungsari tinggal di Gunung Wilis dahulu menunggu sembuhnya luka. Sedangkan kembalinya ke Kediri besok bersama-sama dengan iring-iringan pengantin dari Ngurawan. Raden Gunungsari tidak membantah, sehingga selama beberapa hari tinggal di tempat tersebut bersama dengan kelima orang abdinya.
Hari yang telah ditentukan untuk pengiringan pengantin pun telah tiba. Namun Sang Prabu Jenggala yaitu ayahanda sang pengantin laki-laki tidak berkenan hadir, melainkan hanya memberi doa restu. Oleh beliau, Raden Panji Kudarawisrengga diberi sebutan Raden Panji Klana Jayakusuma, juga disebut Raden Panji Hasmarabangun. Maksudnya Raden Panji telah dapat mengalahkan Prabu Klana, kemudian membangun parkawinan dengan tunangan lama.
Setelah Raden Panji Kudarawisrengga dipertemukan dengan Dewi Sekartaji, untuk sementara waktu Sang Maharesi Rara Dewi Kilisuci tetap tinggal di Kediri, bertempat tinggal di padepokan Gua Selamangleng, yaitu di Desa Kandairen. Begitu juga Dewi Surengrana dan raden Panji Sastramiruda juga ikut tinggal di Kediri serta Raden Gunungsari jadi memperistri Dewi Honengan. Raden Gunungsari kemudian memberi hadiah kepada kelima orang abdinya yang telah dengan setia mendampinginya, masing-masing sebuah desa. Yaitu Desa Tisnapaten untuk Ki Tisnapati Desa Wiranalan untuk Ki Wiranala, Desa Burengan untuk Ki Singabureng, Desa Tirtayudan untuk Ki Tirtayuda, serta Desa Secarekan untuk Ki Secareka.
Tidak lama kemudian Raden Panji Kudarawisrengga dipanggil kembali ke Jenggala untuk diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya.
PANJI WUYUNG
Pada jaman dahulu kala, yang memerintah Kerajaan Kediri adalah Prabu Lembu Amilihur. Prabu Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Lembu Amiluhur merupakan putra dari raja Airlangga (Resi Gentayu). Sang Raja mempunyai seorang putra yang gagah perkasa, Sang Panji Seputra namanya. Demikianlah kata yang empunya cerita, Sang Panji menjadi berubah akal, karena ditinggal mati oleh kekasihnya, yang sangat dicintainya, yakni Dewi Anggraeni. Sang Panji Seputra jatuh sakit memikirkan kepergian kekasihnya.
Tidaklah mengherankan bila penderitaan sang putra terkasih ini juga dirasakan oleh ayahandanya, Prabu Lembu Amiluhur. Negara seakan ditutup oleh awan mendung yang hitam kelam. Suasana mencekam, karena putra raja Sang Panji menderita sakit yang memang aneh dan lain dari pada yang lain. Para nayaka praja, santanakerajaan dan para kawula, benar-benar ikut prihatin akan penderitaan yang dialami oleh raja mereka. Sang Panji sakit, dan berubah ingatan. Tidak ada seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Usaha-usaha untuk menyembuhkannya selalu mengalami kegagalan. Semua usaha telah dikerjakan dan tak ada hasilnya.
Akhirnya Sang Raja Lembu Amiluhur, mengambil keputusan agar Sang Panji memperoleh pengobatan dan penyembuhan, dan diantarkan pergi ke Ngurawan. Adiknya, Sang Panji Jayakusuma diutus untuk mengantarkan Sang Panji Seputra pergi ke Ngurawan.
Akhirnya setelah lama berada di Kerajaan Ngurawan Sang Raja Ngurawan mempunyai rencana akan mengawinkan Sang Panji Seputra dengan putera puterinya, Dewi Sekartaji Galuh Candrakirana. Demikianlah kehendak Sang Raja Ngurawan, Prabu Surenggana.
Para mpu memberikan restunya, dan mereka meramalkan,
Hanya Panji Seputra dan Dewi Sekartaji Candrakiranalah yang dapat menurunkan raja-raja Kediri di tanah Jawa ini. Sebab mereka merupakan pasangan yang sangat serasi. Lagi pula mereka masih bersaudara sepupu.
Kemudian Sang Raja Kediri mengutus Gunungsari Mlayakusuma Ringin Pitu untuk menghadap Sang Raja Ngurawan untuk menyerahkan surat lamaran, untuk meminang Dewi Sekartaji Galuh Candrakirana.
Setelah sampai di Ngurawan, maka Raden Panji Mlayakusuma Ringin Pitu pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sang Raja Ngurawan, Prabu Surenggana. Demikianlah lamaran itu diterima dengan senang hati, namun para utusan tidak diperkenankan pulang terlebih dahulu, sebab mereka akan disuguhi dengan makanan-makanan yang lezat dan tarian-tarian yang lemah gemulai yang akan diperagakan oleh para putri-putri Sang Raja Ngurawan. Demikianlah para tamu itu mendapat suguhan yang sangat nikmat, dan hiburan tari-tarian yang sangat mempesona. Betapa lemah gemulainya para penari-penari itu, yang tak lain adalah putri-putri Raja Ngurawan, Prabu Surenggana. Semua pengunjung sangat kagum akan ketrampilan dan keindahan gerak para penari-penari yang cantik jelita. Terlebih Raden Panji Gunungsari. Matanya bagaikan tak berkedip menyaksikan kecantikan salah seorang penari itu yang bernama Dewi Kusumadiningrat. Sebuah perasaan yang sangat aneh telah menjalari tubuhnya. Panah asmara, diam-diam telah menembus jantungnya. Panah asmara yang sangat hebat, telah merasuki dirinya. Demikian hebatnya panah asmara itu, sehingga ketika pertunjukkan itu usai, dan para tamu dipersilahkan beristirahat dengan damai dan tenang pada tempat yang telah disediakan, Raden Panji Gunungsari tidak dapat memejamkan matanya sepicing pun. Hanya sang dara cantik jelita yang selalu datang menggoda dalam bayangannya. Sang Panji Gunungsari pun menjadi gelisah.
Karena gejolak hatinya yang maha hebat, maka Raden Panji Gunungsari pun berbuat nekad, di luar kesadaran dan penalarannya sebagai seorang tamu dan ksatria sejati. Menurut kehendak hatinya, maka Raden Panji Gunungsari pun memberanikan diri masuk ke dalam keputren pada malam itu juga, untuk menemui sang dara cantik jelita yang telah merampas hatinya, Dewi Kusumadiningrat.
Tetapi betapa terkejut Sang Panji Gunungsari, ketika menyaksikan adegan yang sangat menyakitkan hatinya dalam taman keputren tersebut. Sang Dewi Kusumadiningrat sedang bercumbu rayu dengan Raden Panji Jayakusuma, adik Sang Panji Seputra. Kemarahan Sang Panji Gunungsari meluap sampai ke ubun-ubun. Akhirnya terjadilah perkelahian yang sangat seru antara dua makhluk yang sedang dilanda asmara itu, memperebutkan seorang dara jelita, Dewi Kusumadiningrat.
Demikian Raden Panji Gunungsari bertempur dengan segala kemarahannya. Dan Panji Jayakusuma pun mempertahankan diri dengan gigihnya. Sebuah perkelahian yang betul-betul seru dengan taruhan jawa.
Namun akhirnya, Raden Panji Jayakusuma berhasil melukai Raden Panji Gunungsari. Tak kuat menahan sakitnya yang luka, dan tak kuat menahan gempuran-gempuran Panji Jayakusuma yang semakin
(Diambil dari cerita bahasa Jaya, daerah Kediri).
RAGIL KUNING
Mengenal Ragil Kuning merupakan putri berparas elok nan ayu yang jadi lambang kesetiaan dan pengabdian.
Sosok Dewi Ragil Kuning mungkin masih kurang terkenal dibandingkan tokoh-tokoh utama dalam rangkaian kisah Panji.
Namun, adik dari Panji Asmorobangun yang digambarkan cantik dan lembut itu merupakan simbol seorang perempuan yang setia dan penuh pengabdian.
Dewi Ragil Kuning atau Dewi Onengan adalah putri Raja Jenggala Manik yang bernama Prabu Amiluhur.
Ragil Kuning adalah adik dari Panji Asmorobangun yang merupakan istri Raden Gunung Sari, saudara laki-laki dari Dewi Sekartaji putera mahkota dari Raja Panjalu Daha Kediri, Prabu Amijoyo.
Sosok topeng Dewi Ragil Kuning digambarkan dengan wajahnya yang kuning dengan ekspresi lembut dan ukiran bunga pada hiasan mahkota di kepalanya.
Dewi Ragil kuning merupakan lambang dari kebaikan, sumber kemakmuran dan kesetiaan manusia.
Dewi Ragil Kuning terkenal cantik. Banyak raja-raja yang ingin melamarnya. Namun, cinta dan kesetiaannya tetap kepada Raden Gunungsari.
KISAH CINTA KERAJAAN JENGGALA
(SAKIT PARAH SAAT TERPISAH ANTARA PANJI & GALUH)
Raden Panji Asmara Bangun adalah ksatria sekaligus putra Kerajaan Jenggala yang dikenal rupawan. Ia beristrikan Dewi Galuh Candrakirana. Sepadan dengan Panji Asmara Bangun, Dewi Galuh Candrakirana juga terkenal akan kecantikannya.
Suatu hari, Panji Asmara Bangun pergi meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa diketahui sang istri. Dewi Galuh Candrakirana pun prihatin atas kepergian sang suami. Ia sangat berduka hingga akhirnya jatuh sakit.
Ia selalu memikirkan kepergian sang suami. Hatinya sangat menderita. Pasalnya, cinta Dewi Galuh Candrakirana pada sang suami sangat besar.
Tubuhnya Jadi Sangat Kurus.
Tak kunjung ada kabar dari Panji Asmara Bangun, kondisi Dewi Galuh Candrakirana semakin mengkhawatirkan. Tubuhnya sangat kurus, wajahnya pucat pasi.
Melihat kondisi Dewi Galuh Candrakirana, Raja Lembu Amiluhur mengadakan persidangan paripurna. Ia meminta Raden Panji Gunung Sari untuk mencari Raden Panji Asmara Bangun. Pasalnya, hanya dengan menemukan Panji Asmara Bangun, kesehatan Dewi Galuh Candrakirana bisa kembali pulih.
Dewi Ragil Kuning menyayangkan kepergian kakandanya Panji Asmara Bangun yang menyebabkan Dewi Galuh Candrakirana menderita sakit keras.
Akhirnya, Dewi Ragil Kuning nekat meninggalkan Kerajaan Jenggala untuk turut mencari kakandanya, Panji Asmara Bangun. Tekadnya sudah bulat, ia tidak akan pulang ke Kerajaan Jenggala sebelum menemukan Panji Asmara Bangun.
Dewi Ragil Kuning masuk keluar hutan, naik turun gunung demi cintanya kepada sang kakak. Hingga ia sampai di daerah yang disebut Desa Banjarsari.
Suatu hari di sawah, Dewi Ragil Kuning tak sengaja bertemu manusia buruk rupa yang bernama Entit. Ia menjerit keras-keras dan berusaha lari untuk meminta bantuan.
Tak hanya Dewi Ragil Kuning yang terkejut, Entit pun sangat terkejut melihat yang ada di hadapannya adalah putri Kerajaan Jenggala.
Sontak ia ingat akan semua yang ditinggalkannya saat pergi dari Kerajaan Jenggala. Melihat tekad adiknya, Dewi Ragil Kuning mencarinya, ia merasa sangat khawatir.
Sementara itu, suatu hari Raden Panji Gunung Sari yang diperintah Raja Jenggala tersesat di Desa Banjarsari. Di sana, ia menyaksikan pertengkaran sengi tantara sekelompok pemuda dengan Entit.
Raden Panji Gunung Sari berusaha menjadi penengah dan melerai pertengkaran tersebut. Ia snagat terkejut ketika mengetahui sebab pertengkaran antara pemuda dengan Entit. Terjadilah perselisihan pendapat antara Entit dengan Raden Panji Gunung Sari. Pertengkaran antara keduanya pun tak terhindari.
Pertempuran itu membuat orang-orang heran. Dua orang sakti berdarah bangsawan itu memiliki kepandaian menggunakan senjata melebihi kebanyakan orang. Keduanya adalah putra Raja Jenggala dan Kediri.
Pada akhir pertempuran, tampak bahwa Entit yang tidak lain adalah Panji Asmara Bangun memiliki kepandaian dan tataran ilmu selapis di atas Raden Panji Gunung Sari. Pelan tapi pasti, Raden Panji Gunung Sari mulai terdesak.
Panji Gunung Sari kemudian mengeluarkan pusaka sakti andalannya hingga mengenai Entit. Tiba-tiba langit menjadi gelap gulita dan hujan deras turun. Jasad Entit lenyap, lalu muncullah seorang ksatria tampan yang tidak lain adalah Raden Panji Asmara Bangun.
Raden Panji Gunung Sari sangat terkejut. Ia meminta maaf atas kelancangannya melawan Entit yang tidak lain adalah kakandanya yang sedang menyamar.
Kegembiraan atas ditemukannya Panji Asmara Bangun menggembirakan semua orang. Panji Asmara Bangun sendiri kemudian memberi pesan kepada warga Desa Banjarsari supaya menjauhkan diri dari perbuatan maksiat seperti mencuri, minum minuman keras, bermain perempuan, dan berjudi.
Mereka diminta kembali menggalakkan usaha dalam bidang pertanian dan peternakan. Selain itu, mereka diminta mengembangkan sikap saling menghormati dan mencintai sesama manusia. Sehingga pertengkaran dan perselisihan bisa dihindari.
Akhirnya, Panji Asmara Bangun kembali ke Kerajaan Jenggala dengan diiringkan oleh Dewi Ragil Kuning, Panji Gunung Sari, serta Bancak dan Doyok, abdi yang menemani Panji Gunung Sari mencari Panji Asmara Bangun. Seluruh penduduk Desa Banjarsari pun mengantar kepergian Panji Asmara Bangun hingga ke pintu gerbang pedesaan.
Sekembalinya Raden Panji Asmara Bangun ke Kerajaan Jenggala, Dewi Galuh Candrakirana pun berangsur-angsur sembuh. Hatinya menjadi tenang dan tenteram seperti sediakala. Sang Raja Lembu Amiluhur pun sangat bersyukur melihat putrinya sembuh.
RADEN PANJI GUNUNGSARI DIABADIKAN SEBAGAI TARIAN
Tari topeng Gunungsari merupakan tarian yang terdapat pada pertunjukan wayang topeng di Desa Jabung Kecamatan Jabung Kabupaten Malang. Tari topeng Gunungsari menceritakan tokoh ksatria dalam wayang topeng yaitu Raden Gunungsari. Wayang topeng merupakan kesenian turun-menurun yang terdapat di Desa Jabung Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.
Struktur gerak tari topeng Gunungsari yang terdiri dari unsur gerak, motif gerak, dan ragam gerak berupa dokumentasi tertulis struktur gerak tari topeng Gunungsari di Desa Jabung Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.
Struktur gerak tari topeng Gunungsari di Desa Jabung Kecamatan Jabung Kabupaten Malang yaitu :
1. Unsur gerak yang terdiri dari unsur gerak kepala, tangan, badan, dan kaki. 2. Motif gerak tari topeng Gunungsari terdiri dari motif gerak statis dan motif gerak dinamis. Motif gerak statis terdiri dari sikap tanjak, bapangan, sembahan, sikap Gunungsari. Motif gerak dinamis terdiri dari geberan, bukak slambu, lembehan, labas, ngrawit golengan, kencak, nggelap, pogukan lamba, pogukan rangkep, sowangan,kopyokan, pogukan ukel, wiletan, semarangan, sembahan, sowangan jengkeng, merak ngombe, merak geber, merak ngigel, gejegan,dan menjangan ranggah.
3. Ragam gerak tari topeng Gunungsari terdiri dari ragam gerak statis dan dinamis. Ragam gerak statis tari topeng Gunungsari yaitu lembehan, bapangan, golengan, kencak, sowangan, kopyokan. Ragam gerak dinamis tari topeng Gunungsari yaitu geberan, singget, labas, nggelap, pogukan lamba, pogukan rangkep, sowangan, pogukan ukel, semarangan, wiletan, sembahan, merak ngombe, merak geber, merak ngigel, kipatan sampur, gejegan dan menjangan ranggah.
4. Pelestarian tari topeng Gunungsari yang pada saat ini sudah jarang diminati oleh generasi muda sebagai generasi penerus bangsa. Selain itu penelitian ini diharapkan berguna untuk mendukung adanya penelitian serupa yang lebih mendalam mengenai tari topeng Gunungsari di Desa Jabung Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.
Tari Topeng Gunungsari Jabung .
Wayang Topeng di Jabung melampaui usia 100 tahun lebih bergantung pada sosok Mbah Kangsen. Dia yang menyambung sejarah Wayang Topeng dari masa Rusman, yang akrab disapa Kek Tir karena anaknya bernama Tirtonoto.
5. Wayang Topeng Jabung pada masa Rusman berlangsung antara 1915 sampai 1958. Setelah Rusman meninggal, tongkat estafet Wayang Topeng beralih ke tangan Kangsen sebagai dalang. Sedangkan tari dipegang Samoed dan Tirtonoto. Setelah Samoed meninggal pada 1974 disusul Tirtonoto, dan terakhir Kangsen pun meninggal.
6. Sepeninggalnya para tokoh topeng di Jabung, tradisi Tari Topeng Jabung dilestarikan melalui dua kelompok Tari Topeng Malangan antara lain kelompok Wiro Bhakti pimpinan Supardjo Desa Argosari dan Darmo Langgeng pimpinan Darmaji Desa Gunungjati.
Rekaman sejarah panjang tradisi tari topeng Malang ini terungkap saat Kampung Budaya Polowijen, Blimbing, Kota Malang berkunjung ke perajin dan sanggar tari topeng Malangan di Jabung.
7. Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi yang biasa disapa Ki Demang menjelaskan kunjungan ke Jabung merupakan usaha menimba ilmu dari sesepuh pelaku tari topengan Malangan.
8. Di Jabung ada tokoh topeng diantaranya Mbah Kari, Misdi, Suparjo, Tajab dan Tamat. Meerka merupakan anak dan murid Mbah Kangsen. Sedangkan Polowijen,merupakan kampung Ki Tjondro Suwono alias Mbah Reni sebagai penemu atau pencipta topeng Malangan.
9. Pimpinan sanggar Tari Topeng Gunungsari Jabung Wartaji menuturkan peralatan gamelan untuk seni pertunjukan dilengkapi dikumpulkan dengan susah payah. Tujuannya untuk menghidupkan kembali Wayang Topeng Malangan Gunungsari yang pernah moncer di era 1960-an sampai 1980-an.
“Setidaknya setiap tahun selalu mengadakan gebyak dan ritual bersih desa. Warga mentari topeng gunungsari dan kami mulai sering menerima pagelaran dari acara-acara dari pemerintahan atau hajatan.” ujarnya.
10. Wartaji yang juga suami Kepala Desa Jabung Anik Sri Hartatik ini kini rengah mendidik generasi muda untuk menari, menabuh gamelan dan membuat topeng.
11. Wartaji bersama Mbah Kari, Misdi, Suparjo, Tajab dan Tamat melestarikan tradisi yang dirintis kakeknya, Mbah Kangsen yang juga Kepala Desa Jabung pada 1970-an. Mbah Kangsen merupakan cucu Ki Tjondro Suwono alias Mbah Reni dari Polowijen.
12. Warga Kampung Budaya Polowijen juga bertemu Mbah Kari salah satu tokoh penari topeng Gunungsari yang berusia 90-an. Tari topeng Gunungsari menceritakan tokoh ksatria dalam wayang topeng yaitu Raden Gunungsari. Beberapa gerakan yang terakhir seperti gerakan merak ngombe, merak geber, merak ngigel sangat berat dan dibutuhkan kekuatan.
13. Ini tarian turun-menurun dan menjadi ciri khas pertunjukan wayang topeng di Jabung. Pernah tampil di Yogya, Jakarta, Kediri, dan Madura, tuturnya sambil mempraktekkan Tari Gunungsari. Setelah mengajari menari Mbah Kari mengeluarkan buku catatan dan sesekali memperagakan Tari Topeng Gunungsari.
14. Gerak tari topeng Gunungsari Jabung meliputi unsur gerak terdiri dari unsur gerak kepala, tangan, badan, dan kaki.
15. Motif gerak tari topeng Gunungsari terdiri dari motif gerak statis dan motif gerak dinamis. Motif gerak statis terdiri dari sikap tanjak, bapangan, sembahan, sikap Gunungsari.
16. Motif gerak dinamis terdiri dari geberan, bukak slambu, lembehan, labas, ngrawit golengan, kencak, nggelap, pogukan lamba, pogukan rangkep, sowangan, kopyokan, pogukan ukel, wiletan, semarangan, sembahan, sowangan jengkeng, merak ngombe, merak geber, merak ngigel, gejegan dan menjangan ranggah.
17. Studi banding Kampung Polowijen ke Jabung setidaknya menambah khasanah seni tradisi, tari dan wayang topeng Malangan .
18. Wayang topeng Malangan yang indigeous-nya berasal dari kearifan lokal, katanya, diangkat dari cerita-cerita jaman dahulu yang tidak terkontaminasi budaya luar dan patut di pertahankan.
KISAH LAKON SEKAR KEDATON
Dikisahkan dalam lakon sekar Kedaton kerajaan Jenggala hilang dari istana.
Semua kerabat kerajaan kebingungan mencari sang putri.
Sosok Dewi Ragil Kuning mungkin masih belum familiar dibandingkan tokoh-tokoh utama dalam rangkaian kisah Panji.
Namun, adik dari Panji Asmorobangun yang digambarkan cantik dan lembut itu merupakan simbol seorang perempuan yang setia dan penuh pengabdian.
Ragil Kuning adalah adik dari Panji Asmorobangun yang merupakan istri Raden Gunung Sari, saudara laki-laki dari Dewi Sekartaji putera mahkota dari Raja Panjalu Daha Kediri, Prabu Amijoyo / Prabu Amiluhur.
Sosok topeng Dewi Ragil Kuning digambarkan dengan wajahnya yang kuning dengan ekspresi lembut dan ukiran bunga pada hiasan mahkota di kepalanya.
Dewi Ragil kuning merupakan lambang dari kebaikan, sumber kemakmuran dan kesetiaan manusia.
Dewi Ragil Kuning terkenal cantik. Banyak raja-raja yang ingin melamarnya. Namun, cinta dan kesetiaannya tetap kepada Raden Gunung Sari.
Dikisahkan dalam lakon tersebut, sekar Kedaton kerajaan Jenggala hilang dari istana.
Semua kerabat kerajaan kebingungan mencari sang putri.
Kesempatan ini digunakan oleh Prabu Klono untuk ikut mencari Dewi Ragil Kuning dan kelak akan dijadikan istri.
Di tengah hutan, Dewi Ragil Kuning yang sendirian bertemu dengan Prabu Klono, dan Prabu Klono memaksanya untuk diboyong ke Keraton Prabu Klono.
Dalam pelariannya, Dewi Ragil Kuning bertemu dengan Raden Gunung Sari kekasihnya.
Terjadilah peperangan antara Klono dan Gunung Sari.
Prabu Klono kalah dan pulang ke negaranya. kemudian Dewi Ragil Kuning dibawa pulang kembali ke keraton Jenggala.
KLANA TOPENG DAN KLANA GUNUNG SARI
Kompisisi tari tunggal yang lahir dipedesaan, bersumber dari cerita Panji. Klana Topeng dalam tariannya mempergunakan topeng khusus, wajah raja yang tampan berwarna merah, seperti profil wayang kulit. Menggerakkan topeng, menghidupkannya selama menari merupakan suatu evaluasi penting bagi mutu sipenari. Bagi penari yang telah berpengalaman topeng bukan halangan, Justru seakan menjadi wajah sendiri yang membantu fantasi keperanannya yang dapat menyalurkan penghayatan tarinya.
Tokoh peranannya menggambarkan Prabu Klana Swadana, yang membayang kasih cinta pada Dewi Sekartaji dan Dewi Ragil Kuning. Pada hakekatnya Klana Topeng menunjukkan kegairahan dan kelincahan serta kekayaan variasi maupun kebebasan ekspresi yang lebih bagi sipenari, disampiong sifat kebesaran seorang raja yang harus terpelihara.
Klana Topeng gaya Yogyakarta diiringi gending Bendrong, sejak awalnya, yang mengebu membangkitkan semangat tari. Pada reprepan dapat divariasikan kepermainan atau tetap irama lamban dan lirih dari bendrong.
Klana Gunungsari.
Salah satu komposisi tari tunggal yang lahir di pedesaan, bersumber dari cerita atau ceritera Panji. Klana Gunungsari merupakan klana topeng alus dari tokoh Raden Gunungsari, adik Dewi Sekartaji yang mencinta Dewi Onengan, adik Panji. Biasanya ia tidak sendirian, melainkan didampingi abdi kesayangannya, si Regol, sehingga biasa disebut beksa Regol Gungungsari
SEKILAS KERAJAAN JENGGALA
Kerajaan Janggala adalah salah satu dari dua pecahan Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga dari wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir disekitar tahun 1135-an. Lokasi pusat kerajaan ini diperkirakan sekarang berada di wilayah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Nama Janggala diperkirakan berasal kata Hujung Galuh, atau disebut Jung-ya-lu berdasarkan catatan China. Pada masa Kerajaan Medang, dan Kahuripan, Hujung Galuh dikenal sebagai pelabuhan, kemungkinan terletak di daerah Canggu, Jetis, Mojokerto. Sumber otentik yang dapat dipakai sebagai dasar acuan. Yakni Prasasti Kamalagyan. Prasasti Kamalagyan adalah sebuah prasasti yang dibuat Airlangga pada tahun 959 Saka atau 1037 M.
Dengan berjalannya waktu, hingga Raja Airlangga membagi dua kerajaannya, daerah Hujung Galuh yang terletak di daerah aliran Sungai Brantas meluas, mencakup wilayah Sidoarjo, Surabaya hingga Pasuruan, hingga bagian timur kerajaan Kahuripan disebut Jenggala, dengan menjadikan Kali Mas dan Kali Porong sebagai pintu gerbang Kerajaan pada saat itu.
Pada masa kerajaan Kadiri, Singhasari dan Majapahit, daerah kali porong tetap bernama Kahuripan dan pelabuhan yang berada di Kali Mas Surabaya kembali disebut sebagai Hujung Galuh. Pelabuhan di daerah Surabaya ini akhirnya menjadi pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Singhasari, Majapahit hingga Hindia Belanda.
Pembagian Kerajaan Kahuripan oleh Airlangga
Pusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan (kahuripan i bhumi janggala) didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena satu tahun sebelumnya 1031, ibu kota lama yaitu Watan Mas dihancurkan seorang musuh wanita, yaitu Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja Kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur)
Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan Airlangga sudah pindah ke Daha. Tidak diketahui dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan.
Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi lebih dulu memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya menjadi Raja wilayah Panjalu, di sebelah barat, yang berpusat di ibukota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan menjadi Raja wilayah Janggala di sebelah timur, yang berpusat di ibukota lama, yaitu Kahuripan.
Masa Pemerintahan
Masa pemerintahan Janggala sepeninggal Airlangga dipenuhi oleh Perang saudara antara Janggala melawan Panjalu. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala.
Pada tahun 1044, berdasarkan Prasasti Turun Hyang, Mapanji Garasakan memenangkan pertempuran melawan Panjalu, karena para pemuka desa Turun Hyang setia membantu Janggala melawan Panjalu.
Pada tahun 1050, berdasarkan Prasasti Kambang Putih, Raja Sri Mapanji Garasakan mempertahankan istana dari pasukan Kambang Putih yang menyerang Istana Kerajaan Janggala. Kambang Putih (sekarang daerah Tuban) merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu.
Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Malenga, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Aji Linggajaya ini merupakan raja bawahan Panjalu.
Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Banjaran, Janggala di serang oleh musuh dari Kadiri yang berhasil menyingkirkan Mapanji Garasakan dan keluarganya keluar dari ibukota Janggala. Raja Janggala kedua, Alanjung Ahyes melarikan diri ke hutan Marsma untuk menyusun kekuatan, ia kemudian berhasil merebut kembali ibukota Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran.
Pada tahun 1053, berdasarkan Prasasti Garaman, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Panjalu dari Kadiri dibantu oleh pasukan dari desa Garaman.
Pada tahun 1059, berdasarkan Prasasti Sumengka, Raja ketiga Janggala, Samarotsaha, dibantu para pemuka desa Sumengka, memperbaiki saluran air peninggalan Airlangga yang dimakamkan di tirtha atau pemandian.
RAJA-RAJA JENGGALA
Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah daripada Kerajaan Kadiri, tetapi hanya tiga orang raja yang diketahui memerintah Janggala yaitu :
1. Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
2. Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
3. Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).
AKHIR KERAJAAN JENGGALA
Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam kurun waktu kurang lebih 90 tahun lamanya.
Pada tahun 1135, menurut prasasti Ngantang, Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu wilayah Janggala menjadi bawahan Kerajaan Kadiri.
1. Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri seorang putri Janggala bernama Kirana.
2. Janggala sebagai Bawahan Majapahit
Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya diteruskan oleh Majapahit tahun 1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai Majapahit.
3. Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer daripada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih populer daripada Kadiri.
Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-Janggala-Kadiri.
4. Bhre Kahuripan
Tribhuwana Wijayatunggadewi 1309-1328, 1350-1375 Pararaton.27:18,19; 29:32 negarakertagama.2:2
Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
5. Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
6. Surawardhani 1389-1400 Pararaton.29:23,26; 30:37
7. Ratnapangkaja 1400-1446 Pararaton .30:5,6; 31:35
8. Rajasawardhana 1447-1451 Pararaton.32:11; Prasasti Waringin Pitu
9. Samarawijaya 1451-1478 Pararaton .32:23
SITUS BUDAYA JENGGALA
1. Candi Prada, Dusun Reno Pencil, Kabupaten Sidoarjo.
2. Prasasti Turun Hyang (1044 M), di daerah Kemlagi, Mojokerto.
3. Prasasti Kambang Putih (1050 M), di daerah Kabupaten Tuban.
4. Prasasti Malenga (1052 M), di daerah Banjararum, Rengel, Tuban.
5. Prasasti Banjaran (1052 M)
6. Prasasti Garaman (1053 M)
7. Prasasti Sumengka (1059 M)
JENGGALA DALAM KARYA SASTRA
Adanya Kerajaan Janggala juga muncul dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365. Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya.
Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa.
Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kadiri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri Janggala.
Selanjutnya, Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan Pajajaran.
Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi dongeng. Itulah sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat yang kebenarannya sulit dibuktikan dengan fakta sejarah.