GIRINDRAWARDHANA/ BRAWIJAYA VI (1478-1498)
Sejarah Kerajaan.
Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Pa Bu Ta La adalah bupati bekas Kerajaan Majapahit yang memerintah sekitar tahun 1488-1527 sebagai bawahan Kesultanan Demak. Dia menantu Kertabhumi dan ipar Raden Fatah/Senapati Jin Bun. Dia dilantik oleh Panembahan Jin Bun/Raden Fatah menjadi penguasa Majapahit sejak tahun 1488 dan meninggal tahun 1527. Tahun 1517 dia menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka, karena itu Kesultanan Demak kembali menyerang Majapahit pada tahun tersebut, tetapi jabatannya sebagai bupati di Majapahit sedang dipertahankan karena dia ipar Jin Bun/Raden Fatah, sebab menikahi adinda bungsu Jin Bun. Setelah wafatnya, sebagai bupati Majapahit dijabat oleh salah seorang anak Sultan Trenggana.
Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1486-1527. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Suprabhawa alias Singhawikramawardhana, raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474. Hubungan antara Ranawijaya dan Suprabhawa ini diperkuat dengan adanya unsur kata Girindra dan Giripati dalam gelar abhiseka masing-masing. Kedua kata tersebut memiliki arti sama, yaitu raja gunung. Girindrawarddhana (Girīndrawarddhana) adalah gelar bagi raja Majapahit Bhre Keling atau penguasa Keling. Penguasa yang menggunakan gelar ini adalah :
1. Dyah Wijayakarana
2. Dyah Wijayakusuma
3. Dyah Ranawijaya
Menurut kitab Pararaton mereka adalah keturunan dari Raja Majapahit Singhawikramawardhana yang sebelum menjadi raja pernah menjabat sebagai Bhre Pandansalas dan Bhre Keling.
Anak sulung Rajasawardhana, 'Dyah Samarawijaya' (identik dengan Bhre Kahuripan), diceritakan setelah Rajasawardhana meninggal, terjadi adanya perebutan takhta antara Samarawijaya melawan pamannya 'Suryawikrama' (identik dengan Girishawardhana), pada tahun 1456 Samarawijaya merelakan takhta Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya tersebut.
Pada tahun 1466, Girisawardhana wafat dan digantikan oleh Suraprabhawa, adiknya. Hal ini menyebabkan kembali perebutan kekuasaan dengan anak-anak Rajasawardhana. Sehingga pada tahun 1468, anak bungsu Rajasawardhana yaitu Bhre Kertabhumi melakukan pemberontakan terhadap Suraprabhawa. Dyah Suraprabhawa bersama keluarganya termasuk Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma dan Dyah Ranawijaya melarikan diri ke daerah Keling-Kadiri dan menjadi penguasa Keling dengan gelar Girindrawardhana.
Setelah Bhre Kertabhumi dikalahkan, menurut Prasasti Jiwu I menyebutkan bahwa pada tahun 1474, Girīndrawardhana Dyah Ranawijaya menjadi raja yang berkuasa atas Wilwatiktapura (nama lain Majapahit), Janggala, dan Kaḍiri.
Gelar Girindrawarddhana ini ditemukan dalam :
1. Prasasti Waringinpitu yang bertahun 1369 Saka (1447 M), serta Prasasti Ptak (OJO XCI).
2. Prasasti Jiwu (OJO XCII-XCV) yang keduanya bertahun 1408 Saka (1486 M).
Pakar dari Belanda seperti Krom, Stutterheim, Schrieke, dan Zoetmulder menganggap para raja tersebut membentuk satu dinasti baru di Majapahit, yaitu Dinasti Girindrawarddhana, dan berasal dari Keling-Khadiri.
Di kalangan awam, para Raja Girindrawarddhana sering dikaitkan dengan Brawijaya, yang populer dan hanya ada dalam karya-karya sastra Jawa era Mataram Islam serta cerita rakyat.
Silsilah Ranawijaya juga terdapat dalam prasasti Jiyu (1486) tentang pengesahan anugerah Suprabhawa kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara berupa tanah Trailokyapuri. Pengesahan ini dilakukan bersamaan dengan upacara Sraddha memperingati 12 tahun meninggalnya Suprabhawa. Dalam prasasti itu Ranawijaya bergelar Sri Wilwatikta Janggala Kadiri, artinya penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Prasasti Jiyu juga menyebut adanya nama Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma saudara Ranawijaya.
Dalam tahun 1468 Suprabhawa alias Singhawikramawardhana terdesak oleh Kertabhumi (anak bungsu Rajasa wardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474. Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Kertabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474.
Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri
Pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabumi. putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabumi. melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu. Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabumi. adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.
Brawijaya adalah nama raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah, misalnya prasasti. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga raja terakhir Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit , dan kemudian dikalahkan Demak tahun 1527.
Berita yang berkembang di masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527 bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhra Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “ditempatkan” sebagai Brawijaya yang pemerintahannya berakhir tahun 1478. Akibatnya pula, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, raja Majapahit tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebut Bhre Kertabhumi juga bergelar Brawijaya.
Lebih lanjut tentang identifikasi Brawijaya, bisa dilihat dalam Bhre Kertabhumi dan Kertawijaya.
Hubungan Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi
Menurut kronik Cina , Ranawijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai raja bawahan Demak. Pendapat lain mengatakan, Ranawijaya menjadi raja Majapahit atas usahanya sendiri, yaitu dengan cara mengalahkan Bhre Kertabhumi tahun 1478, demi membalas kekalahan ayahnya, yaitu Suprabhawa. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Petak yang menyebutkan kalau keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit .
MENGULAS TENTANG STATUS GIRINDRAWARDHANA DYAH RANAWIJAYA APA BENAR RAJA MAJAPAHIT
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya setelah mengalahkan Majapahit mengambil gelar : Cri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabu Natha Bhatara i Keling.
Hal tersebut terbukti dari pernyataan Prasasti Jiyu (OJO XCII) Th. 1486 M. Ungkapan dari gelar tersebut hanya dapat ditafsirkan bahwa Girindrawardhana Dyah Ranawijaya itu sebagai raja/maharaja yang menguasai Majapahit, Janggala dan sekaligus Kadiri.
Persoalannya adalah apakah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya itu raja Majapahit seperti anggapan yang berlaku hingga sekarang?
Akan di kupas tentang benar tidaknya anggapan tersebut berdasarkan arti dari gelar yang digunakan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Seperti yang telah di ungkapkan di atas bahwa Girindrawardhana Dyah Ranawijaya berdasarkan gelar yang disandangnya adalah raja yang menguasai Majapahit, juga Janggala dan Kadiri dan dia adalah nyata-nyata raja Keling (Bhatara i Keling atau Bhre Keling).
Dari gelar tersebut jelas bahwa Majapahit disejajarkan dengan negara /kerajaan bawahan lainnya yaitu Janggala dan Kadiri. Itu jelas membuktikan bahwa kekalahan Majapahit melawan Keling berakibat Majapahit menjadi negara bawahan Keling.
Mari qta bandingkan gelar Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dengan gelar Dyah Suraprabhawa ketika menjadi raja Majapahit pada Th. 1473 M, dalam gelar itu nama Majapahit /Wilwatikta tidak disebut. Yang disebut dalam gelar itu hanya Janggala dan Kadiri. Gelarnya Dyah Suraprabhawa adalah : Cri Giripati Prasutabhupati Ketubhuta, Sakalajanarddhananindya Parakramadigwijaya Janggala-Kadiri-Jawabhumyekadhipa. Dengan tidak di sebutnya nama Majapahit /Wilwatikta itu menunjukkan bahwa Dyah Suraprabhawa memang raja Majapahit yang membawahi Janggala dan Kadiri.
Seandainya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya benar raja Majapahit, namanya pasti disebut dalam Pararaton sesudah Sang mokta ring kadaton i caka cunya-nora-yuganing-wong. Kenyataannya ialah Pararaton sama sekali tidak menyebut dia. Hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa Girindrawardhana Dyah Ranawijaya memang bukan raja Majapahit.
Dari ungkapan gelar Girindrawardhana Dyah Ranawijaya juga bisa disimpulkan bahwa dia bukan raja Janggala maupun Kadiri walaupun ibukota kerajaannya dipindahkan dari Keling ke Daha. Jadi Girindrawardhana Dyah Ranawijaya itu adalah raja Keling yang beribukota di Daha. Namun kapan tepatnya terjadinya perpindahan itu, tidak dinyatakan dalam sumber sejarah lokal manapun. Bahwa perpindahan itu benar berlangsung, justru dikenal dari sumber sejarah yang ditulis bangsa Portugis karya Tome Pires yang berjudul 'Suma Oriental' yang di tulis dari tahun 1512-1515 M.
Nama Majapahit tidak dikenal dalam sumber sejarah Portugis, juga dalam Suma Oriental. Tome Pires selalu menyebut Jawa dan yang dimaksud adalah Jawa Timur salah satu provinsi Nusantara.
PERANG PAREGREG
Gelombang perang saudara, secara perlahan menenggelamkan keagungan Kerajaan Majapahit. Kerajaan besar yang berada pada masa keemasan kala dipimpin Raja Hayam Wuruk, dan didukung oleh Mahapatih Gajah Mada itupun akhirnya hancur lebur. Baca juga: Kisah Jayanegara, Raja Kedua Majapahit yang Penuh Pemberontakan dan Terbunuh Akibat Wanita Cantik Usai mangkatnya Mahapatih Gajah Mada, dan kemudian disusul dengan mangkatnya Raja Hayam Wuruk. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 masehi ini, tak pernah surut dari aksi pemberontakan dan perang saudara. Pemberontakan bertubi-tubi mendera Majapahit. Bahkan berbagai pemberontakan dahsyat terjadi usai Raden Wijaya Mangkat, dan Jayanegara yang merupakan putra mahkota diangkat menjadi raja kedua di Kerajaan Majapahit.
Perangai yang buruk dari Jayanagara, dan posisinya yang merupakan keturunan dari ibu berdarah Melayu, membuat sejumlah petinggi kerajaan tidak menyukainya, sehingga bara pemberontakan sulit untuk dipadamkan. Kitab Pararaton mencatat, sejumlah pengikut setia Raden Wijaya, beberapa kali melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Jayanagara. Di antaranya, dilakukan oleh Ranggalawe yang diduga terjadi tahun 1309 saat Jayanagara naik tahta di Majapahit. Bahkan, patih yang membantunya memerintah di Kadiri, atau Daha, Lembu Sora, turut melakukan pemberontakan pada tahun 1311. Pemberontakan ini terjadi karena hasutan Mahapati yang diduga juga musuh dalam selimut Jayanagara. Pemberontakan berikutnya, dilancarkan oleh Nambi pada tahun 1316. Pemberontakan ini, diduga akibat ambisi ayah Nambi, Aria Wiraraja. Sebelum memberontak kepada rajanya, Nambi menjabat sebagai patih istana, namun ayahnya menginginkan Nambi menjadi raja. Aksi pemberontakan paling dahsyat, adalah yang dilakukan Kuti pada tahun 1319. Di mana Kuti mampu menguasai istana Majapahit, hingga membuat Jayanagara lari mengungsi di Desa Badamder. Namun, berkat kelihaian dan keberanian Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkaranya, akhirnya pemberontakan Kuti berhasil ditumpas. Baca juga: Kisah Calon Arang Usik Raja Airlangga, Gara-gara Cemas Putri Cantiknya Jadi Perawan Tua Bukan hanya menghadapi pemberontakan dari internal kerajaannya. Jayanagara ternyata juga sempat menghadapi serangan dari pasukan Mongol. Hal ini didasarkan pada kesaksian seorang misonaris Odorico da Pordenone saat mengunjungi Pulau Jawa. Upaya pasukan Mongol menjajah Jawa, berhasil digagalkan oleh pasukan Majapahit. Kematian raja Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara tersebut, menyisakan cerita buruk karena dibunuh oleh abdi dalem kerajaan yang istrinya digoda oleh sang raja. Usai sang raja mangkat, tahta raja Majapahit dijabat Gayatri yang merupakan ibu suri di Kerajaan Majapahit. Hal ini diakibatkan karena Jayanegara belum memiliki keturunan. Tetapi karena Gayatri telah menjadi seorang Bhiksuni, akhirnya raja Majapahit diisi adik tiri Jayanegara, Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi. Usai Tribhuwana Wijayatunggadewi mundur dari jabatannya sebagai raja, karena Gayatri meninggal dunia. Akhirnya tampuk kepemimpinan Majapahit berpindah ke putra mahkota, Hayam Wuruk, dan bersama Mahapatih Gajah Mada, membawa Majapahit mencapai puncak kejayaan. Setelah Hayam Wuruk mangkat, peneliti sejarah Riboet Darmosoetopo dalam tulisannya yang berjudul "Sejarah Perkembangan Majapahit ", menyebutkan posisi raja digantikan oleh Wikramawardhana, yang merupakan anak Dyah Nrtta Rajasaduhitecwari. Baca juga: Kisah Istana Kerajaan Majapahit, Ternyata Mahapatih Gajah Mada Tinggal di Utara Benteng Dyah Nrtta Rajasaduhitecwari merupakan adik Hayam Wuruk, yang menikah dengan Bhre Paguhan. Wikramawardhana juga menikahi putri Hayam Wuruk, Kusumawardhani. Setelah memerintah Majapahit selama 11 tahun, Wikramawardhana mangkat, dan posisinya sebagai raja digantikan putranya, Suhita. Naik tahtanya Suhita, memicu pertentangan antara dua keluarga besar di kerajaan Majapahit. Yakni antara keluarga besar Wikramawardhana, dengan Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi merupakan anak Hayam Wuruk dengan istri selir. Sengketa dua keluarga ini, menimbulkan perang saudara selama tiga tahun lamanya. Perang ini dikenal dengan sebutan perang Paragreg. Dalam buku "700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai" keluarga Wikramawardhana yang disebut sebagai kelompok Keraton Kulon (Barat), mendapatkan bantuan dari Bhre Tumapel, Bhre Hyang Parameswara. Sementara keluarga Bhre Wirabhumi disebut sebagai kelompok Keraton Etan (Timur). Bhre Wiabhumi sendiri akhirnya berhasil ditangkap oleh pemimpin pasukan Keraton Kulon, yakni Raden Gajah. Dan akhirnya kepala Bhre Wirabhumi dipenggal oleh Raden Gajah. Kematian Bhre Wirabhumi, ternyata tidak serta-merta menyurutkan pertentangan dua keluarga tersebut. Bahkan, Raden Gajah juga akhirnya dibunuh karena membunuh Bhre Wirabhumi. Suhita akhirnya mangkat pada tahun 1447 masehi. Karena Suhita belum memiliki anak, akhirnya takhta Raja Majapahit digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Setelah Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya mangkat, posisinya sebagai raja digantikan oleh Bhre Pamotan, dengan gelar Sri Rajasawardhana, dan lebih dikenal dengan nama Sang Sinagara. Baca juga: Kisah Fitnah Keji di Majapahit, Membuat Mpu Prapanca Dipecat dan Diusir Dalam Kitab Pararaton, Sri Rajasawardhana menjadi raja Majapahit yang berkedudukan di Keling-Kahuripan. Dalam tulisannya, Riboet Darmosoetopo menyebutkan, ada dugaan pada masa kepemimpinan Sri Rajasawardhana, ada pemindahan pusat kerajaan ke Keling-Kahuripan. Kondisi ini diperkirakan akibat masih terjadinya pertentangan dua keluarga di pusat kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit, sempat mengalami kekosongan kepemimpinan selama tiga tahun. Tepatnya, saat Sri Rajasawardhana mangkat pada tahun 1453 masehi. Hingga akhirnya, pada tahun 1456 masehi Dyah Suryyawikrama Girindrawardhana, anak dari Dyah Kertawijaya, naik takhta. Selama 10 tahun lamanya Dyah Suryyawikrama Girindrawardhana mengisi tampuk kepemimpinan Majapahit, hingga akhirnya mangkat, dan digantikan oleh Bhre Pandan Salas, yang bergelar Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana. Dalam prasasti Paminyihan tahun 1473 masehi, Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana disebut sebagai peuasa tunggal di Jawa yang disebutkan sebagai Jawabhumyekadhipa. Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana juga disebut dalam Kitab Siwaratrialpa karya Mpu Tanakung, sebagai keturunan wangsa Girindra. Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana akhirnya menyingkir dari Keraton Majapahit, karena adanya serangan dari Bhre Kertabhumi yang merupakan anak bungsu dari Sang Suragara. Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana menyingkir ke Daha, demi menyelamatkan pemerintahannya, hingga akhirnya mangkat pada tahun 1474 masehi. Posisinya digantikan oleh Dyah Ranawijaya, dengan gelar Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Pada tahun 1478 masehi, Dyah Ranawijaya melancarkan serangan kepada Bhre Kertabhumi di pusat Keraton Majapahit. Dalam peperangan besar ini, Bhre Kertabhumi akhirnya tewas.
Hal ini ditandai dengan sengkalan sirna ilang kertaning bumi, bertahun 1.400 saka atau 1478 masehi. Dalam catatan Riboet Darmosoetopo, keberadaan kerajaan Majapahit tidak benar-benar lenyap usai adanya serangan Demak. Sejumlah prasasti menyebut, pada tahun 1486 masehi Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana merupakan raja di wilayah Wilwatiktapura Janggala, dan Kadiri. Berita China dari Dinasti Ming, menyebutkan adanya hubungan dengan raja Jawa, pada tahun 1499 masehi. Bahkan Gubernur Portugis di Malaka, Rui de Brito pada tahun 1514 masehi, menyebutkan ada dua raja "Kafir" yaitu raja Sunda, dan raja Jawa. Hal yang sama juga dituliskan oleh penulis Italia, Barbosa, yang menyebut raja 'kafir" di pedalaman Jawa, pada tahun 1518 masehi. Barulah pada tahun 1522 masehi, seorang ahli Italia lainnya, Antonio Pigafeta menyebutkan bahwa penguasa di Majapahit adalah Pati Unus. Tulisan inilah yang mengisyaratkan bahwa kala itu Majapahit sudah masuk dalam kekuasaan kerajaan Demak. Penakhlukan Majapahit oleh Demak, tak terlalu gamblang diceritakan dalam Seran Kanda, dan Serat Darmogandul. Riboet Darmosoetopo menduga, kematian Bhre Kertabhumi pada tahun 1478 masehi akibat serangan Dyah Ranawijaya, dijadikan sengkalan sirna ilang kertaning bumi dalam Babad Tanah Jawi.
SILSILAH KERAJAAN MAJAPAHIT DARI RADEN WIJAYA HINGGA GIRINDRAWARDHANA
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan besar terakhir Hindu-Budha pada abad ke-14 di kepulauan Nusantara. Kerajaan ini berdiri antara tahun 1293 hingga sekitar 1527 dan berpusat di Jawa Timur. Kerajaan Majapahit mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja keempat yang memerintah tahun 1350–1389.
Raja Majapahit pertama merupakan Raden Wijaya dengan gelar Sri Kertajasa Jayawardhana Anantawikramottunggadewa. Setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan menyerang tentara Cina, Raden Wijaya menjadi raja Majapahit pertama. Raden Wijaya meninggal pada tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Siwa Di Simping dan di Candi Buddha, di dalam kota Majapahit.
Selain Raden Wijaya dan Hayam Wuruk, terdapat raja-raja lain yang juga berkuasa di Kerajaan Majapahit. Artikel ini akan membahas tentang silsilah Kerajaan Majapahit untuk menambah pengetahuan dalam pelajaran sejarah.
SILSILAH KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit berdiri antara 1293 hingga sekitar 1527. Selama berdiri di Jawa Timur, Kerajaan Majapahit memiliki 12 raja yang pernah berkuasa atas pemerintahannya.
Berikut silsilah Kerajaan Majapahit :
1. Raden Wijaya dengan gelar Sri Kertajasa Jayawardhana Anantawikramottunggadewa (1293–1309)
2. Jayanegara (1309–1328)
3. Tribhuwanatunggadewi (1328–1350)
4. Hayam Wuruk (1350–1389)
5. Wikramawardhana (1389–1429)
6. Suhita (1429–1447)
7. Kertawijaya (1447–1451)
8. Rajadewardhana (1451–1453)
9. Bhre Wengker (1456–1466)
10. Singha Wikramawardhana (1466–1468)
11. Kertabhumi (1468–1478)
12. Rabawijaya/Girindrawardhana (1478–?)
Seperti yang telah dibilang sebelumnya, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya ketika di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dengan wilayah kerajan di kepulauan Nusantara dan daratan Asia Tenggara. Namun, Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran setelah terjadi pemecatan mahapatih Gadjah Mada dan wafatnya Hayam Wuruk.
Setelah itu, masa akhir Kerajaan Majapahit kemudian pun diwarnai oleh sekian banyak perselisihan antara keluarga kerajaan yang mengganggu kelancaran pemerintahan. Raja-raja terakhir Majapahit merupakan hasil perselisihan tersebut. Akibatnya, pucuk pemerintahan sering bergonta-ganti tanpa ada kebijakan raja yang jelas dan terarah.