EMBAN CINDE EMBAN SILADAN
Emban cinde emban siladan adalah peribahasa Jawa yang dari banyak khasanah peribahasa muntiara Djawa. Peribahasa ini tentang seorang pemimpin, orang tua, atau siapa saja yang berkuasa, tetapi senang membeda-bedakan rakyat atau anaknya.
Emban Cinde Emban Siladan Tegese, Tuladha Ukara. Pitutur, paribasan, bebasan, artinya Emban Cinde Emban Siladan Tegese yaiku Siji lan sijine ora padha pangrengkuhe (ora adil). tumindak ora adil, mbedak-mbedakne siji lan sijine tanpa adhedasar rasa keadilan utawa kamanungsan. Peribahasa Bahasa Jawa mengenai tindakan berlaku tidak adil atau memperlakukan satu dengan lainnya dengan tak adil.
Emban mempunyai arti gendong atau digendong. Cinde artinya kain sutra, kain yang mahal atau sangat bagus. Siladan berarti kulit bambu yang disayat tipis yang sangat tajam, atau sembilu.
Jadi makna harfiahnya adalah digendong dengan menggunakan kain sutera dan digendong dengan menggunakan sembilu yang tajam dan bisa membuat terluka atau celaka.
Disini adalah sifat pilih kasih yang ada dalam diri manusia yang mana dia menghormati sedemikian rupa pada orang yang berpangkat atau orang yang dia sukai. Demi sebuah jabatan atau demi gengsi dan hawa nafsunya.
Sehingga jika dia sedang berhadapan dengan orang yang dia sukai maka apapun akan dituruti, dipuja-puja setinggi langit, bahkan tidak sungkan-sungkan menjilat, mencari muka. Ini adalah perilaku yang diskriminatif.
Peribahasa tersebut menggambarkan sifat pilih asih dan menunjukkan anak kesayangan. Artinya, yang satu digendong dengan selendang, yang satunya lagi digendong dengan rautan buluh atau bambu. Rakyat atau anak yang disukai sangat diperhatikan dan selalu diistimewakan, apa yang diminta pasti diberi bahkan ditawarkan apa keinginannya, sangat dimanja dan disanjung-sanjung di mana saja.
Perlakuan sebaliknya untuk anak atau rakyat yang tidak disukai atau tidak diperhatikan. Boleh dikata, anak atau rakyat yang tidak sukai ini terlantar bahkan dibuang begitu saja. Tidak ada sesuatu yang benar, benar dikatakan salah, salah dimarahi dan selalu dijadikan kambing hitam. Perlakuan yang sangat berbeda dengan anak yang disukai tiadi, bagaikan bumi dengan langit, hitam dengan putih, kutub utara dengan kutub selatan.
Kemunculan peribahasa tentu karena adanya peristiwa atau kenyataan di sekitar kita. Orang tua kita zaman dahulu lebih bijaksana melihat berbagai hal. Kebijaksanaan tersebut sering dituangkan dalam bentuk peribahasa. Makna dari peribahasa tentu sangat menarik jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya, agar kita berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku karena semua pasti ada konsekuensi hukum yang ditimbulkan. Pada konteks sekarang, terkait pula dengan apa yang kita ucap dan tuliskan.
Sikap yang digambarkan peribahasa tersebut merupakan sikap yang tidak baik. Oleh sebab itu, jauhi sejauh mungkin, jangan sampai ditiru. Saat kita menjadi pemimpin, tidak boleh bersikap emban cinde emban siladan. Semua orang harus mendapat perlakuan sama sesuai dengan kapasitasnya. Menilai dan memperlakukan orang jangan hanya berdasar suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung. Apabila berbuat seperti peribahasa tersebut, kepemimpinan kita akan merugikan banyak orang.
Pada hakikatnya, kita adalah pemimpin, pemimpin bagi anak-anak, pemimpin dalam keluarga, pemimpin dalam jabatan, pemimpin dalan tugas, pemimpin dalam instansi, dan pemimpin bagi para pemimpin. Mari introspeksi kepada diri kita sendiri, bercermin kepada kepribadian masing-masing, sebelum menghakimi dan menilai orang lain. Ingatlah, bahwa setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
EMBAN CINDE EMBAN SILADAN NASEHAT TERHADAP PERILAKU PILIH KASIH
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Itulah sebabnya manusia tidak lepas dari pergaulan dengan lingkungannya. Lingkungan turut membesarkannya dan memberikan warna. Perilaku dalam lingkungan secara umum membentuk karakter pribadi manusia.
Walaupun begitu manusia memiliki hati nurani yang dapat digunakan sebagai filter atau penyaring tentang apa saja yang dinilai buruk. Karena walau bagaiamanapun dalam berinteraksi dengan lingkungannya kadang manusia mengalami gesekan sehingga terjadilah sebuah masalah.
Sebenarnya masalah tersebut tidaklah berarti apabila manusia masih berpegangan pada hati nurani dan etika. Tentunya etika tersebut memilah-milah dan dijadikan sebagai hukum tidak tertulis.
Manusia memiliki hasrat. Dalam budaya jawa manusia memiliki nafsu dasar. Nafsu yang selalu mendorong fikiran untuk menguasai apa saja yang bisa dikuasai. Termasuk dunia beserta isinya. Keberadaan nafsu tersebut dalam diri manusia adalah sebuah ujian.
Seberapa bisa manusia mengalahkan nafsunya, seberapa bisa menundukkan nafsunya. Sebab nafsu tersebut kadang tampak nyata dan kadang terselip tidak terlihat. Nafsu itu sesuatu yang jelek.
Ungkapan bernada nasihat ini sangat populer dalam kehidupan masyarakat Jawa, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, kedinasan dan lain-lain. Untaian kata itu terbentuk dari kata emban (menggendong), cindhe (kain halus), dan siladan (sisa rautan bambu ). Siladan bersifat sangat tajam sehingga jika tidak hati - hati dapat menyayat kulit, menggores tangan yang memegangnya. Rasa sakit yang ditorehkan sungguh luar biasa melebihi sayatan pisau.
Secara harafiah ungkapan itu mengandung arti menggendong (biasanya anak) dengan kain cindhe (kain halus) dan menggendong dengan siladan (sisa rautan bambu). Jelas sekali bahwa anak yang diemban dengan cindhe akan merasa nikmat, dapat merasakan enaknya tidur, indahnya kasih sayang. Sedangkan yang digendong dengan siladan akan merasa sakit sekujur tubuhnya.
Menggendong dengan kain cindhe mengiaskan sikap orang dalam memperlakukan orang lain (anak, saudara, bawahan, tetangga, karyawan dan siapa pun juga) dengan cara yang baik serta membahagiakan pihak yang diembannya. Sebaliknya menggendong dengan siladan melambangkan keadaan yang sebaliknya, yakni perlakuan yang tidak baik / tidak semestinya terhadap orang lain, anak, tetangga dan lainnya. Dengan demikian ungkapan tersebut dimaksudkan untuk menyatakan orang yang pilih kasih atau orang yang tidak bertindak adil dalam memperlakukan orang lain. Sikap tidak adil itu dinilai sebagai sikap yang negatif dan tidak dapat dibenarkan karena menimbulkan disharmoni dalam tata pergaulan bermasyarakat.
Untuk menciptakan keadaan hubungan yang harmonis tiap orang dituntut untuk menghindari sikap emban cindhe, emban siladan kepada siapapun juga. Khususnya orang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan, perlu sekali ia diingatkan agar jangan emban cindhe, emban siladan (jangan pilih kasih) dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Pepatah tersebut sangat efektif untuk mengingatkan para pemimpin agar kembali ke rel keadilan dalam menjalankan kewajiban sesuai amanat yang dipercayakan kepadanya. Seseorang seharusnya menjadi gelisah, malu dan merasa bersalah jika diberi julukan sebagai orang yang emban cindhe, emban siladan (pilih kasih, berat sebelah, atau tidak adil).