RADEN ALUN / BEDANDE SAKTE BHREAU ARIH / SIN ARIH / I WAYAN SUTAMA / SUNAN TAWANG ALUN I / PANGERAN HELUMBANGAN (BLAMBANGAN) / PANGERAN ISTANA TIMUR / PANGERAN KEDAWUNG (KEDHAWUNG) / RAJA MACAM PUTIH / MENAK SERUYU / PANGERAN SINGOSARI
(Sudut pandang berbagai sumber dan berbagai versi)
Wilayah di ujung timur Pulau Jawa ini juga identik dengan peninggalan zaman Majapahit. Sebelum menjadi kabupaten, daerah ini dikenal dengan nama Blambangan. Penguasa yang paling terkenal adalah Prabu Tawang Alun. Bekas peninggalan kerajaan ini banyak ditemukan di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat.
Tidak ada prasasti yang menyebutkan tentang kisah Tawangalun. Namun dari penelusuran para sejarawan, raja Hindu ini memerintah sekitar tahun 1645-1691. Kepastian tahun ini didapatkan dari tulisan Leukerker, penulis dari Belanda. Dikisahkan, Tawang Alun adalah salah satu keturunan dari Prabu Brawijaya, raja Majapahit dari keluarga di pegunungan Tengger.
Silsilah Tawang Alun berawal dari Lembu Anisroyo, bangsawan dari daerah Tengger, Bromo. Dari bangsawan ini lahirlah Ario Kembar yang memiliki putra Bima Koncar atau Minak Sumende, dilanjutkan dengan Minak Gadru atau Minak Gandrung, kemudian Minak Lampar atau Minak Lumpat. Dari bangsawan terakhir ini nama Tawang Alun muncul, yakni Tawang Alun I dan Tawang Alun II.
Ada dua babad berbeda yang mengisahkan kebesaran Tawangalun. Termasuk julukan siapa yang dikenal dengan Tawangalun I dan II. Menurut babad Sembar, kemunculan Tawangalun diawali penyerbuan Minak Lumpat ke keraton Kedawung. Saat itu, Kedawung dengan wilayah Lumajang, Malang dan Blambangan dikuasai oleh Pangeran Singosari.
Penyerbuan itu berhasil. Pangeran Singosari takluk dan kabur ke Mataram meminta perlindungan Sultan Agung. Peristiwa ini meletus sekitar tahun 1638-1639. Saat kabur, Pangeran Singosari membawa Putranya Mas Kembar. Sepuluh tahun berselang, Mas Kembar dikawinkan dengan selir Sultan Agung yang hamil tiga bulan. Kemudian dijadikan raja di Blambangan setelah menaklukan wilayah ini. Tahun 1645, Mas Kembar dilantik menjadi raja Blambangan di Probolinggo dan bergelar Prabu Tawangalun. Oleh Sultan Agung dia diperintahkan melindungi Blambangan dari serangan Bali.
Setelah dilantik, Mas Kembar berniat membebaskan diri dari Mataram dengan bantuan keris si Gagak milik gurunya, Ki Wongso Karyo. Dikisahkan, penguasa Mataram, Amangkurat I yang dikenal dengan Pangeran Kadilangu. haus dan kepingin minum keris orang Blambangan. Kala itu, keris Wongso Karyo berubah menjadi air, lalu diminum. Saat bersamaan, Mas Kembar pamit pulang ke Blambangan. Saat itulah, keris Wongso Karyo keluar lagi dari dada Pangeran Kadilangu, dan membuatnya tewas.
Melihat lawannya tewas, Mas Kembar mengajak bawahannya pulang ke Blambangan. Bersamaan itu, lima senopatinya diperintahkan menggelar perang besar yang dikenal dengan perang undur-undur. Senopati Blambangan dengan kesaktiannya mencabut pohon kelapa, lalu mengibaskanya di sepanjang jalan yang dilewati. Sekitar tahun 1676, Tawang Alun dinobatkan sebagai raja Blambangan yang bebas dari kekuasaan Mataram dengan gelar Susuhunan Blambangan.
Versi lain, dalam babad Tawang Alun dituliskan Mas Kembar adalah bapak dari raja Tawang Alun.
Selama menjadi raja, Tawang Alun mendirikan istana besar bernama Macan Putih. Nama kerajaan ini tetap hidup hingga sekarang dan menjadi desa Macan Putih. Konon, nama Macan Putih adalah kendaraan Tawang Alun, yakni seekor harimau putih. Harimau ini diyakini sebagai penjelmaan guru spiritual Tawang Alun.
Ceritanya, setelah perang saudara dengan adiknya, Mas Wilo.
Tawang Alun merasa menyesal. Setelah membunuh adiknya, Tawangalun bersemadi di hutan Rowo Bayu, Songgon. Kala itu, bangsawan ini mendapat wangsit diminta berjalan ke arah timur laut. Saat bersamaan munculah seekor harimau putih. Sesuai petunjuk, Tawangalun diminta menaiki harimau itu.
Begitu naik, harimau tersebut membawanya ke arah timur laut dan menghilang di daerah Kabat. Tempat menghilangnya harimau itulah kemudian didirikan istana bernama Macanputih. Konon, istana itu dibuat oleh Kongco Banyuwangi selama 5 tahun 10 bulan. Tinggi benteng istananya diperkirakan mencapai 3 meter dengan lebar 2 meter. Kehebatan benteng Macanputih masih bisa ditemukan hingga sekarang. Ukuran batu merah yang digunakan mencapai 30×20 cm berbahan batu cadas putih. Sejumlah benda peninggalan zaman itu juga banyak ditemukan di sekitar lokasi.
Nama Tawangalun berkaitan dengan kerajaan Blambangan yang juga rangkaian dari Majapahit . Sesuai silsilahnya, Blambangan pernah berpindah sebanyak 7 kali. Pertama di bangun di sekitar Pasuruan, Jawa Timur. Karena terjadi pemberontakan, pusat kerajaan pindah ke Macanputih, Kabat dengan raja Tawangalun II. Dahulu desa Macanputih dikenal dengan nama Sudiamala. Dijelaskan, kerajaan Prabu Tawangalun II ini dikenal sebagai kerajaan Hindu terakhir di tanah Jawa. Kerajaanya berjaya selam 36 tahun, periode 1655-1691. Setelah rajanya wafat, kerajaan ini hancur dan berubah menjadi kerajaan kecil di bawah kekuasaan Bali.
Menurut buku yang ada di perpustakaan Leiden, raja Tawangalun II meninggal pada 25 Oktober 1591 dan diaben dengan upacara besar. Dari 400 permaisurinya, 270 diantaranya mengikuti upacara bakar diri bersama sang raja. Pusat Kerajaan Blambangan di Macanputih memiliki luas 4,5 kilometer persegi dengan jumlah pasukan 36.000 orang dan pelayan kerajaan sebanyak 1000 orang.
Istana Macan Putih diyakini sempat berpindah tiga kali. Pertama di daerah Wijenan, Keblak dan Lateng. Tiga daerah ini terletak di lereng timur laut gunung Raung. Kini, ketiganya berada dalam dua wilayah kecamatan, Rogojampi dan Kabat. Selain sakti, Prabu Tawangalun dikenal dengan sifat religiusnya. Raja ini mangkat tanggal 18 September 1691. Kemudian diaben tanggal 13 Oktober 1691 di plecutan dalam istana Macan Putih. Sebelum meninggal, Prabu Tawangalun sempat meminta bantuan Belanda dari serangan Untung Suropati dari Pasuruan, Jawa Timur.
Kala itu, Pangeran Puger dari Mataram bersama Untung Suropati berniat menaklukan Blambangan. Merasa terancam Tawangalun meminta bantuan kekuatan Belanda. Tanggal 14 September 1961, dua utusan Belanda, Jeremeas Van Flit dan Van Sen tiba. Namun empat hari berselang, Prabu Tawangalun keburu meninggal. Setelah itu, Macan Putih diserang Mataram dan hancur. Versi lainnya, hancurnya kerajaan Macan Putih karena terkena lahar api letusan gunung Raung. Sejak itulah, istana itu diwariskan ke sisa keturunan Tawangalun. Dari keturunan itulah, nama Banyuwangi yang akhirnya menjadi wilayah kabupaten ujung timur Jawa muncul.
Dalam catatan sejarah, Blambangan dikenal paling kuat mempertahankan kekuasaan. Tercatat lebih dari tujuh serangan besar dari kerajaan lain menyerang Blambangan. Seluruhnya berhasil dipukul mundur. Serangan paling besar datang dari penguasa Mataram. Bali juga sempat melakukan penyerangan ke Blambangan. Namun akhirnya berdamai. Selama mempertahankan kekuasaan, Blambangan selalu mendapat dukungan dari raja-raja di Bali. Karena itu, Banyuwangi sampai sekarang memiliki ikatan historis dengan Bali.
BERKUMPULNYA PENGIKUT KEJAWEN
Sisa peninggalan zaman Prabu Tawangalun banyak tersebar di Desa Macanputih, Kecamatan Kabat. Sayangnya, situs purbakala itu banyak yang hancur. Bahkan punah tanpa bekas. Sedikitnya, ada tiga lokasi yang masih bisa dirasakan nuansa kerajaan. Masing-masing Watu Ungkal, Mangkuto Romo dan Sanggar Pamujan. Ketiganya berada di areal Desa Macanputih.
Watu Ungkal dipercaya bekas tempat mengasahnya senjata saat membabat hutan sebelum mendirikan kerajaan Macanputih. Di tempat ini ditemukan batu berukuran besar. Watu dalam bahasa Jawa disebut batu, sedang ungkal berarti mengasah. Mangkuto Romo adalah tempat meditasinya raja Tawangalun. Di tempat ini sekarang didirikan sebuah balai besar. Sanggar Pamujan diyakini tempat bersembahyangnya para keluarga kerajaan. Di lokasi ini dibangun sebuah tempat mirip situs kuno.
Hampir seluruh bekas keraton Tawangalun berada di Desa Macanputih. Banyaknya situs yang ditemukan sebagai bukti kebesaran kerajaan ini. Warga di Desa ini sejak dulu sering menemukan benda-benda kuno. Seperti patung, perabot rumah tangga,bahkan bekas kereta. Sayangnya, tak satu pun yang peduli merawatnya. Kebanyakan begitu ditemukan langsung dijual atau dikoleksi sendiri secara diam-diam.
Dari sejumlah situs, Mangkuto Romo dan Sanggar Pamujan paling sering dikunjungi warga. Terutama para pengikut Kejawen atau filosofi Jawa kuno. Dua lokasi ini dipercaya masih memiliki kekuatan supranatural tinggi. Hari-hari tertentu, dua lokasi ini banyak diserbu warga. Apalagi jelang pesta demokrasi kemarin. Para caleg berebut mendatangi tempat ini untuk meminta berkah.
Sanggar Pamujan terletak di tengah perkebunan tebu. Lokasinya cukup terpencil dari perkampungan warga. Untuk mencapai tempat ini, pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke lokasi. Meski tergolong situs, Sanggar Pamujan masih berstatus tanah pribadi. Luasnya sekitar 30 m2.
Lokasi tersebut sering dikenal dengan istilah Petilasan. Tempat ini pertama kali ditemukan sejak zaman penjajahan Belanda. Ceritanya, salah satu pejuang Banyuwangi, Kopral Mustareh sedang melakukan penyerangan melawan Belanda. Keajaiban muncul ketika pejuang ini mulai terdesak. Sesosok orang aneh muncul melindungi Mustareh dari serangan meriam Belanda.
Merasa dilindungi, Mustareh menjadi penasaran. Dia pun mencoba berkenalan dengan orang aneh tersebut. Saat didekati, orang tak dikenal itu mengaku dari Banyuwangi, tempatnya di tengah hutan dan terdapat pohon mlinjo tua.Usai berkata tersebut, orang tak dikenal itu langsung menghilang.
Pulang dari berjuang, Mustareh mencoba mencari lokasi yang dimaksud. Setelah bermeditasi, ditemukanlah dua pohon mlinjo besar dan tua. Di sekitar lokasi ditemukan tumpukan bata mirip tembok istana dan sebuah lempengan batu menyerupai tempat duduk. Di tempat ini akhirnya dibuat tanda petilasan. Di sekitar lokasi terdapat beberapa pohon mlinjo berusia ratusan tahun. Anehnya lagi, ada sepasang pohon berbeda, beringin dan kemuning yang dahannya menyatu. Konon, pohon ini berkasiat menyatukan hubungan suami istri yang terpisah.
Petilasan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 1964. Awalnya, di atas lempengan batu ditempatkan sebuah mahkota terbuat dari tanah liat. Di sekilingnya dibangun atap berbentuk segi enam. Tahun 1981, petilasan diperlebar dengan berdirinya bangunan lebih besar. Lantai petilasan juga dikeramik. Sejak itulah, petilasan Tawangalun menjadi terkenal.
Pengunjung datang dari berbagai daerah. Seperti Bali, Lombok, Flores dan kota-kota besar di Jawa. Warga luar negeri dari Malaysia dan Australia juga sempat berkunjung. Biasanya, mereka menggelar ritual meditasi dan renungan suci. Khusus umat Hindu Bali, mereka datang saat hari raya Galungan dan Kuningan. Pengunjung kebanyakan datang pada malam hari. Juru kunci petilasan tidak membatasi mereka yang berkunjung. “ Ini terbuka untuk umum, syaratnya tidak boleh membuat keributan,” ujar Nurudin yang juga juru kunci generasi ke-3 ini.
Menariknya, meski ramai pengunjung, petilasan tersebut tidak diberikan penerangan lampu. Alasannya kata Nurudin, itu sesuai petunjuk dari eyang Tawangalun. Dia mengaku susuhan (panggilan Tawangalun),tidak berkenan petilasan tersebut diberikan lampu. Secara kenyataan, jika petilasan tersebut diberikan lampu akan mengundang bahaya. Lokasinya yang sepi menjadi sasaran empuk orang jahat.
Selain petilasan, beberapa peninggalan lainnya juga kerap kali didatangi pengunjung. Sayangnya, hingga kini belum ada kepedulian Pemkab Banyuwangi untuk menjadikan lokasi sejarah itu menjadi obyek wisata. Sementara ini, pengunjung hanya mengetahui dari kelompok mereka masing-masing.
Kebesaran Tawangalun tak hanya terlihat dari petilasannya. Zaman penjajahan Belanda, daerah ini menjadi pusat batalyon Tentara Keamanan Rakyat (TKR) warga Banyuwangi. Nama bataliyon itu adalah Macanputih, disesuaikan dengan bekas kerajaan Macanputih yang terkenal. Konon, bataliyon ini paling sulit ditaklukan Belanda dan Inggris.
Untuk mengenang perjuangan bataliyon tersebut di beberapa sudut Desa Macanputih berdiri sejumlah monumen bataliyon di bawah pimpinan Letkol. R. Ahmad Rifai itu. Termasuk beberapa tembok yang menandakan batas dari keraton Macanputih. Beberapa perabot kuno berbahan keramik juga dipajang dalam monumen. Sayang, berdirinya monumen itu belum bisa diterima warga setempat. Sejumlah bangunan monumen sempat dirusak warga. Seluruh monumen ini didirikan oleh para pemerhati budaya dan sejarah Blambangan yang tergabung dalam tim independen Banyuwangi.
BABAD TAWANGALUN
Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis Panji berjudul Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu popular di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan yang tak pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar Majapahit itu, yakni Kerajaan Blambangan. Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya rakyat dan ombo yang artinya besar atau banyak. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah kerajaan yang rakyatnya cukup banyak.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis 1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.
Blambangan Sebagai Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1295, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan, yaitu Lamajang Tigang Juru. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang disebut Lamajang Tigang Juru yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberitahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan kepada Arya Wiraraja adalah berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Blambangan), bahkan hingga Selat Bali (Wit prekawit tanah Lumajang seanteronipun kedadosaken tanah Blambangan). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah Lamajang Tigang Juru (Lumajang-Bayu- Blambangan) sejak 1296 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Menak Koncar , dari 1301 sampai 1331. Kerajaan Blambangan di bawah Lumajang hingga 1352, saat yang diangkat menjadi raja Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah Majapahit. pada tahun 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang bernama Paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk. Setelah Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cina yang memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan Kerajaan Timur yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa Kerajaan Timur yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah Istana Timur pada masa Arya Wiraraja ?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan membawa hadiah-hadiah. Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (perang yang berangsur-angsur) antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Atas bantuan puteranya, Sri Kertawijaya Bhre Tumapel yang semula tidak memihak, Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhre Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Wikramawarddhana Bhre Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian didharmakan di Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), dengan diberi nama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, meski sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan Nagarawardhani, adik kandung Wikramawarddhana,, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem Sang Alemu, puteri Bhre Pajang, adik Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359 Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas. Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama Blambangan untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan Istana Timur untuk wilayah yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah Blambangan sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ziarah kaum Hindu, di mana Balungbungan itu adalah lafal Sunda menyebut Blambangan.
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan Blambangan. Data yang diduga beridentitas Naskah Kolonial" itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit. Slamet Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya melarikan diri ke Panarukan,
Sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Slamet Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan juga kurang didukung data karena setelah Dyah Ranawijaya di Kediri masih berkuasa keturunannya, Dyah Wijayakusuma, Dyah Wijayakarana.
Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528 setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi Demak Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dariwilayah Blambangan. Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari Istana Timur di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih).
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, di Lumajang, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antar adua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk untuk berjalan ngalor wetan bila ada macan putih. Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih, Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan yang dipastikan adalah Tawang Alun dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya adalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi) jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, Tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
CERITA RAKYAT MOKSA DI ROWO BAYU (VERSI RAKYAT)
Peninggalan Tawangalun yang paling terkenal adalah Rowo Bayu. Tempat ini dipercaya sebagai lokasi bersemadi Prabu Tawangalun sebelum mendirikan keraton Macanputih. Rowo Bayu adalah danau kecil di puncak bukit di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, sekitar 80 km arah barat daya kota Banyuwangi.
Kawasan ini menyimpan sejuta kekuatan magis. Selain di tengah hutan, tempat ini memiliki empat mata air suci. Masing-masing, sumber Kaputran, Dewi Gangga, Kamulyan dan Sumber Ratu. Letaknya persis di atas danau Rowo Bayu. Konon, mata air suci ini muncul selama Tawangalun melakukan semedi dan moksa di tempat itu (versi setempat).
Dari sekian mata air, sumber Kamulyan yang paling disucikan. Mata air ini muncul langsung dari bongkahan batu. Letaknya di samping batu petilasan tempat bersemadi Prabu Tawang Alun. Zaman dahulu, mata air ini digunakan menyucikan diri sebelum melakukan semadi. Menurut cerita, sumber Kamulyan pertama kali ditemukan sesepuh Desa Bayu, Mbah Sudirjo, sekitar tahun 1960-an. Kala itu, muncul tulisan emas di atas mata air tersebut.
Rowo Bayu ditetapkan sebagai salah satu obyek wisata oleh Pemkab Banyuwangi. Kini, kawasan di tengah hutan pinus tersebut dipermak menjadi kawasan wisata alam dan spiritual. Petilasan Tawang Alun juga dibangun mirip sebuah candi. Tempat ini menjadi jujugan para pencari spiritual dari berbagai daerah.
Wisata Rowo Bayu dulunya berupa rawa dan hutan bambu. Baru sekitar tahun 1960, daerah ini mulai dijamah warga. Sebelumnya, daerah tersebut menjadi kawasan angker. Sejak dibabat warga, sudah dua juru kunci yang merawat kawasan Rowo Bayu. Pertama, perangkat desa setempat menunjuk juru kunci perempuan. Namun hanya bertahan tidak lebih setahun. Kemudian mengundurkan diri.
Kemudian dilanjutkan oleh dua juru kunci laki-laki, Mbah Saji (70) dan Jimis (72), keduanya warga setempat. Sayangnya, mereka lupa tahun berapa mulai mengabdi menjadi juru kunci. Ada pengalaman menarik ketika mbah Saji pertama kali masuk Rowo Bayu. Kala itu, dia mendengar suara tangisan dari arah atas mata air. Merasa curiga, pria lanjut usia ini mendekat. Begitu dilihat, dia mendapati mata air suci itu dipenuhi batang bambu. Saking kotornya, hampir menyerupai air rawa.
Merasa terpanggil, mbah Saji dengan suka rela membersihkan tempat tersebut. Selama 45 hari, pria ini bekerja sendirian membersihkan mata air itu. Beberapa bulan kemudian, satu warga lainya, Jimis terusik hatinya. Pria ini pun ikut merawat dan membersihkan sekitar mata air. Termasuk seluruh kawasan Rowo Bayu.
Perjuangan mbah Saji dan Jimis membuahkan hasil. Sejak itu, Rowo Bayu mulai tertata. Penataan Rowo Bayu bertambah baik tahun 2000 silam. Kawasan ini resmi dijadikan obyek pariwisata. Selain petilasan Tawangalun, Rowo Bayu dikenal dengan perang puputan Bayu, tahun 1771. Kala itu, pejuang Blambangan berperang habis-habisan melawan Belanda. Peristiwa heroik ini menjadi cikal bakal lahirnya kota Banyuwangi.
Pembangunan Rowo Bayu mulai nampak tahun 2004. Para pemerhati budaya dan sejarah mendirikan petilasan di sekitar batu semadi Prabu Tawangalun. Tahun 2005 lalu, Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari membangun petilasan dengan bahan keramik. Terakhir pembuatan candi di lokasi petilasan dan pura tahun 2007 kemarin. Bahannya terbuat dari batu gunung. Pura di Rowo Bayu diberi nama Pura Puncak Agung Macan Putih. Peristiwa gaib muncul ketika petilasan di bangun. Batu bekas semadi Tawangalun tidak bisa dipindah. Setelah dilakukan ritual, batu berbentuk lempengan itu bisa dipindahkan. Kejadian aneh lainnya, patung Tawangalun yang sedianya diletakkan di pura, ternyata tidak bisa dipindah. Sampai sekarang patung tersebut tetap berada di tempatnya semula di bawah hutan bambu dan sebuah pohon tua bercabang dua.
Sama dengan petilasan lainya, pengunjung petilasan Rowo Bayu kebanyakan pengikut kejawen. Rata-rata mereka ingin mendapatkan mukti dan ngalap berkah di tempat tersebut. Mereka yang datang kebanyakan warga dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Bali. Sejak berdiri pura, warga dari Bali sering tangkil ke tempat itu. Terutama saat hari raya Kuningan. Berdirinya pura ini pun tidak luput dari wangsit yang diterima juru kunci setempat. Begitu pula lokasi berdirinya pura.
Mbah Saji menuturkan petilasan Tawangalun bisa dijadikan tempat mencari jati diri. Ditambah lagi terdapat tiga mata air suci yang bisa memberikan pencerahan. Menurutnya, menjadi manusia hanyalah bertugas sebagai pengabdi. Dari sinilah kata dia mukti atau moksa bisa dicapai dengan mudah. Dari filosofi itu, pria ini rela mengabdi menjadi juru kunci petilasan tanpa mendapat gaji. Untuk kebutuhan sehari-hari, dia bersama istrinya membuka warung kopi di dekat lokasi.
Menurutnya, nama Tawangalun memiliki makna mendalam. Tawang artinya pikiran yang luas, sedang Alun berarti samudera. Nama Tawangalun diartikan sebagai kepribadian yang memiliki pikiran luas layaknya samudera. Alasan inilah yang menjadikan mbah Saji tanpa pamrih menjadi abdi dalem petilasan. Dia bersama Jimis bertekad mengabdikan sisa hidupnya untuk merawat petilasan itu.
NASKAH BABAD TAWANG ALUN
Naskah Babad Tawang Alun berisi teks Babad Tawangalun berbentuk tembang macapat (h.1-96; 12 pupuh) dan teks tentang
wesi aji berbentuk prosa dan macapat (h.97-102; 1 pupuh). Teks Babad Tawangalun mengisahkan tentang kerajaan Kedawung, Banyunagara.
Raden Tawangalun mendirikan kerajaan Macan Putih, dan berdirinya kerajaan Balambangan. Juga menceritakan hubungan kerajaan-kerajaan tersebut dengan Mataram, Bali
(Klungkung, Mengwi, Karangasem, Buleleng). Dilanjutkan dengan kisah Raden Wiryahadikusuma menjadi bupati Banyuwangi dengan gelar Adipati Wiryadanuadiningrat dan patihnya bernama Raden Pringgakusuma.
Babad Tawangalun ini disebutkan dalam Pigeaud 1970:408 dengan judul Tawang Alun of Blambangan; Girardet/21210; Juynboll 11:401 (Babad Blambangan); Brandes 1:133 (Babad Blambangan).
Teks kedua berisi uraian tentang wesi aji. Menerangkan sifat-sifat dan kegunaan wesi aji dalam 5 hal, yaitu untuk perang, bepergian, berdagang, bertani, atau disimpan di rumah. Diterangkan juga khasiat pamor atau cahaya wesi aji tersebut yang terbagi dalam beberapa warna, yaitu : hijau, kuning, merah, hitam, dan putih.Teks dilengkapi dengan gambar keris berikut nama-nama dari Mas Logo, Cirebon.
Naskah diterima Pigeaud di Banyuwangi pada tahun 1927.Telah dibuatkan salinan ketik oleh Mandrasastra, yaitu pada FSUI/SJ.169
Silsilah Tawang Alun Menurut Babad Tawang Alun ini diambil dari buku Babad Blambangan 5 babad antara lain :
1. Babad Sembar
2. Babad Tawang Alun
3. Babad Mas Sepuh
4. Babad Bayu
5. Babad Notodiningratan
Babad Tawangalun perkara Wong Agung Wilis ika Berkaitan dengan Wong Agung Wilis itu dhawuhé kinarya patih yang diperintahkan untuk diiangkat sebagai patih 24 sang nata ing Belambangan Sang raja Blambangan Kangjeng Pangéran sanget ajrihirèki Kangjeng Pangeran Danuningrat amat takut lawan Cokordha Kelungkung kepada Cokordha Klungkung sigra Sang Pengéran lumajar Segeralah Kangjeng Pangeran Danuningrat melarikan diri dhateng Gembong lawan putranipun ke Gembong bersama putranya kang aran Mas Sutajiwa yang bernama Mas Sutajiwa karsanira njaluk urip berencana hendak meminta perlindungan 25 maring Welanda punika kepada Kumpeni Belanda kumendan rèk aranirèki dengan komandannya yang bernama Rek ing Gembong wahu winuwus di Gembong demikianlah kabarnya saking gancanging crita Singkat cerita inggih pengéran dika kawula tulung Ya, Pangeran Danuningrat kau akan kutolong aja susah atinira Jangan bersusah hati kawula ruwaté binjing Akan kuselesaikan nanti 26 perkara mungsuh Cokordha Urusanmu melawan Cokordha Klungkung ing Bali ingkang negari yang berasal dari negeri Bali itu mantuka dika rumuhun Pulanglah dahulu kawula nusul inggal Aku akan segera menyusul saksananè pengéran anulya mantuk Maka Pangeran Danuningrat pun segera pulang rawuhirèng Belambangan kembali ke Blambangan Mas Sutajiwa panggih kari Mas Sutajiwa tidak turut serta 27 tan cinatur lampahira Tak lama kemudian sarawuhira ing negari Setibanya di Pangeran Danuningrat ing negri Blambangan wahu di Kerajaan Blambangan kocapa sira Cokordha diceritakan Cokordha Klungkung dhateng malih Pengéran timbalan Datang panggilan lagi kepada gupuh Pangeran Danuningrat 84.
Babad Tawangalun adalah I Wayan Sutama.
Dalam buku Babad Tawangalun Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang yakni cara Using (mocoan), Jawa (mocopatan), Madura (mamaca), dan Bali (mabasa). Tembang Babad Tawangalun merupakan simbol kebhinekaan yang sudah terbangun sejak Babad Tawangalun ditulis, yakni sekitar abad ke-18.
Kalau cara Madura disebut pupuh artatik dan di Jawa Mataraman disebut Dandanggulo. Kalau di Using tidak ada pupuh artatik.
Tembang Babad Tawangalun, yang memuat sejarah konflik Kerajaan Blambangan.
Latar belakang konflik di Blambangan yang melibatkan Jawa Mataraman, Bali, Madura, dan Bali menjadi alasan kita mengadakan pelantunan tembang lintas budaya. Dulu perang sekarang duduk bersama.
Dalam buku Babad Tawangalun Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang.
Babad Tawangalun diceritakan Cokorda Klungkung dan Dewa Agung Manguwi dari Bali mengirim utusannya ke Kerajaan Blambang setelah Kanjeng Sunan Tawangalun meninggal. Kedatangan utusan dari Bali untuk menyatukan para putra dan kerabat Macanputih yang sempat berebut tahta setelah Tawangalun meninggal.
Babad Tawangalun itu diceritakan jelas tentang hubungan Bali dan Blambangan.
Babad Tawangalun Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang terdapat terjemahan Babad Tawangalun dalam bahasa Indonesia.
Babad Tawangalun adalah naskah yang berbentuk tembang, puisi tradisional yang terikat dengan matra atau aturan tertentu.
Dalam Babad Tawangalun diceritakan tentang nenek moyang keluarga raja-raja Blambangan yang bermula dari para pangeran Kedhawung di abad ke- 17.
Silsilah raja Blambangan yang diceritakan dalam Babad Tawangalun ini mencakup rentang waktu lebih dari dua abad.
Buku Babad Tawangalun Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang mengatakan sebagai karya anonim, naskah babad Tawangalun ini memiliki beragam versi salinannya baik dalam bentuk macapat (puisi) maupun gancaran (prosa).
Beragam versi atau salinan naskah Babad Tawangalun berbentuk tembang macapat yang ditemukan hingga saat ini. Naskah induk babad ini ditulis dalam dua versi yakni yang beraksara Jawa dan Arab pegon.
Blambangan sendiri adalah sebuah kerajaan di ujung timur Pulau Jawa yang telah berdiri pada paruh abad ke-1. Kerajaan Blambangan bertahan hingga kira-kira dua abad lamanya sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa.
Di naskah Babad Tawangalun ragam tembang (macapat) berisi kisah pasang surut para pangeran Blambangan yang merangkum segala kisah intrik perebutan kekuasaan, gilang gemilang kejayaan hingga senjakala keruntuhannya.
Hal tersebut membuat wilayah Blambangan tak bisa lepas dari konflik dan penguasaan kerajaan yang muncul kemudian seperti Demak, Pasuruan, Mataram, dan Bali.
Termasuk aliansi Mataram-VOC-Madura yang menghentikan perlawanan Pangeran Blambangan Wong Agung Wilis yang diteruskan Pangeran Jogopati hingga kemudian Blambangan beralih nama menjadi Banyuwangi. Orang-orang keturunan Blambangan itu yang saat ini disebut dengan wong Using.
Puisi tradisional di Banyuwangi disebut sebagai pupuh dan hanya mengenal guru lagu atau disebut dangding.
Sedangkan bentuk puisi tradisional di Jawa dikenal dengan nama tembang macapat dengan aturan tertentu dalam jumlah guru lagu dan guru wilangan.
Istilah tembang di Banyuwangi lebih merujuk pada jenis nada atau lagu dalam tiap pupuh yang didendangkan.
Di Babad Tawangalun terdapat 12 pupuh yang terdiri dari 331 bait. Jenis pupuh di Babad Tawangalun ada lima yakni kasmaran, durma, sinom, dandanggula, dan pangkur.
Dari 12 pupuh yang ada dalam Babad Tawanglun, pangkur, sinom, dan durma yang menjadi pupuh terbanyak dengan tiga kali pengulangan.
Suku Using, tradisi mocoan sehinggga pupuh yang dikenal hanya empat yakni kasmaran, durma, pangkur, dan sinom.
Tembang Babad Tawangalun ada pupuh Dandanggula yang hanya bisa dibaca dengan cara Jawa Mataraman, Madura, maupun Bali. Mocoan Using tidak mengenal nada tembang dandanggula.
Jika naskah itu ditembangkan sepenuhnya dengan cara mocoan Using yang hanya mengenal empat pupuh, maka penembang Using di bagian pupuh Dandanggula akan kesulitan.
Naskah lainnya yakni Sritanjung. Di naskah tersebut hanya ada satu pupuh saja yang bisa ditembangkan dengan cara mocoan Using yakni pupuh durma. Pupuh lainnya yakni mijil, ukir dan maesalangit sudah tidak dikenal nadanya dalam mocoan Using saat ini.
Di dalam bait pertama naskah Babad Tawangalun, tidak berisi identitas pengarang dan alasan pengarang menulis cerita Tawangalun.
Bagian awal Babad Tawangalun ada petunjuk waktu penulisan naskah yakni pada hari Minggu tanggal 13 bulan Sulhaji dan tahun penulisannya yang disebut dal papat jim telu ika.
Ungkapan itu menunjuk pada tahun 1743 tarikh Jawa atau 1827/1828 Masehi. Namun menurut Wiwin, ada juga yang menyebut tahun penyusunan Babad Tawangalun adalah tahun 1832-1841.
Cerita tersebut berawal dari negeri Kedawung yang didirikan Mas Tanpa Una. Sang raja memiliki dua orang putra yakni Mas Tawangalun dan Mas Wila serta tiga orang puteri yakni Mas Ayu Tunjungsari, Mas Asyu Melok, dan Mas Ayu Gringsing.
Setelah Mas Tanpa Una meninggal, Mas Tawangalun si putra sulung menggantikannnya sebagai Raja Kedawung. Sedangkan Mas Wila sang adik menjadi patih.
Empat tahun bertahta, fitnah dan konflik mulai muncul. Karena tak ingin bersilang sengketa sesama saudara, Sang Tawangalun menyerahkan tahtanya ke sang Mas Wila, adiknya.
Sang Tawangalun meninggalkan Kedawung dan menepi di rimba raya Bayu membuka pemukiman baru.
Enam tahun meninggalkan Kedawung, Sang Tawangalun menciptakan negeri Bayu yang makmur dan sejahtera. Banyak rakyat Kedawung yang berpindah ke Bayu.
Bayu yang berkembang membuat Mas Wila iri dengan kakaknya. Perang saudara pun terjadi. Mas Wila mengirim empat ribu prajurit untuk menyerang sang kakak. Sayangnya Kedawung kalah.
Konflik mulai bergulir. Cikal bakal Kabupaten Banyuwangi sempat mengalami masa keemasan dan dipenuhi dengan konflik serta intrik selama hampir dua abad yang melibatkan suku yang ada di Nusantara.
Di akhir cerita, sang juru kisah Babad Tawangalun menyampaikan amanat.
Ingkang saduman rinepto, rong dumon datan kinawi
lamun mangke kinabehna, tan waget kawula nganggit, catur kang kaya ika,
agung kang katilar wahu, lamun cerita mangkana,
kabeh den karangga nenggih, den anggita sawindu mangsa tutuga,
(Yang diceritakan hanya sebagian, beberapa bagian lainnya tak dituliskan,
jika semua diceritakan, tak bisa saya menuliskannya, cerita seperti ini,
amat banyak kisah yang terlewat, jika cerita seperti ini, segala-galanya diceritakan,
tak akan mungkin selesai dituliskan walau dalam waktu delapan tahun)
KERAJAAN BLAMBANGAN (VERSI 1)
Kerajaan Blambangan 1546 M - 1764 M. Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di Ujung paling timur pulau Jawa Blambangan dianggap sebagaikerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa.
Di abad ke-16, satu-satunya kerajaan Islam yang berarti di Jawa Timur adalah Pasuruan. Daerah lain masih dipimpin penguasa yang beragama Hindu. Kemungkinan besar terjadi perang antara Pasuruan dan Blambangan pada tahun 1540-an, 1580-an dan 1590-an. Rupanya pada tahun 1600 atau 1601 ibukota Blambangan ditaklukkan.
Menurut babad Jawa dan juga penulis Belanda François Valentyn, pada abad ke-17, Blambangan adalah bawahan Surabaya, namun hal ini diragukan. Yang jelas, Sultan Agung dari Mataram (bertahta 1613-1646), yang menyerang Blambangan tahun 1633, tidak pernah dapat menaklukkannya.
Tahun 1697 Blambangan ditaklukkan oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti, raja Buleleng di Bali Utara, mungkin dengan bantuan Surapati Raja Blambangan Prabu Tawang Alun dikalahkan dan untuk sementara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menunjuk perwakilannya untuk memerintah Blambangan sementara, I Gusti Anglurah Panji Sakti memberikan kekekuasaan Kerajaan Blambangan kepada Cokorda Agung Mengwi setelah dinikahkan putri Raja Mengwi tersebut.
Detelah Blambangan dalam kendali Mengwi, Badung Ditunjuklah keturunan Prabu Tawang Alun untuk memegang Kerajaan Blambangan yaitu Pangeran Danuningrat, dimana Prabu Danuningrat untuk mengikat kesetiaan ia beristrikan Putri Cokorda Agung Mengwi.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan Bali. Kerajaan Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan Kesultanan Mataram terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
SILSILAH TAHTA KERAJAAN BLAMBANGAN (VERSI SILSILAH AWAL)
1. Mpu Withadarma
2. Mpu Bhajrastawa
3. Mpu Lempita
4. Mpu Gnijaya
5. Mpu Wiranatha
6. Mpu Purwantha
7. Ken Dedes
8. Mahisa Wonga Teleng
9. Mahisa Campaka
10. Lembutal
11. Rana Wijaya/Raden Wijaya
12. Tribuana Tunggadewi
13. Hayam Wuruk
14. Wikramawardhana
15. Kerta Wijaya
16. Cri Adi Suraprabawa
17. Lembu Anisraya/Minak Anisraya
18. Mas Sembar/Minak Sembar
19. Bima Koncar/Minak Sumendhe (memerintah Blambangan pada tahun 1489-1500)
20. Minak Pentor (memerintah Blambangan 1500-1541)
21. Minak Gadru ( Memerintah Prasada/Lumajang): Minak Gadru menurunkan Minak Lampor yang memerintah di Werdati-Teposono-Lumajang.
22. Minak Cucu (Memerintah Candi Bang/Kedhaton Baluran): Minak Cucu terkenal dengan sebutan Minak Djinggo penguasa Djinggan beliau berputra Sontoguno.
23. Sontoguno yang memerintah Blambangan pada 1550 hingga 1582.
24. Minak Lampor
25. Minak Lumpat (Sebagai Raja di Werdati)
26. Minak Luput (Sebagai Senopati)
27. Minak Sumendi (sebagai Karemon/Agul Agul)
28. Kemudian Minak Lumpat atau Sunan Rebut Payung berputra Minak Seruyu/Pangeran Singosari (Sunan Tawang Alun I), Pangeran Singosari menaklukan Mas Kriyan dan seluruh keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak ada keturunannya, Sunan Tawang Alun I memerintah wilayah Lumajang, Kedawung dan Blambangan pada tahun 1633-1639.
Gusti Sunan Tawang Alun I memiliki Putra :
1. Gede Buyut
2. Mas Ayu Widharba
3. Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas Brondong)
4. Mas Senepo/Mas Kembar
5. Mas Lego.
Selanjutnya Mas Lego menurunkan MAS SURANGGANTI dan MAS SURODILOGO (Mbah Kopek), sementara Mas Lanang Dangiran menurunkan Mas Aji Reksonegoro dan Mas Danuwiryo.
SILSILAH SETELAH TAWANG ALUN I
Mas Senepo inilah yang kemudian memerintah Kedhaton Macan Putih bergelar Susuhunan Gusti Prabhu Tawang Alun, Dimana beliau memerintah pada wilayah Kerajaan Blambangan 1645 hingga 1691, pada masa Pemerintahan Susuhunan Gusti Prabhu Tawang Alun Blambangan maju dengan pesat dimana kekuasaannya menyatu hingga ke lumajang. Gusti Prabhu Tawang Alun memiliki dua Permaisuri dan beberapa selir, sehingga terjadi beberapa garis keturunan.
Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun memiliki putra putri dari Mas Ayu Rangdiyah (MA. Rangdiyah adalah selir Sinuhun Gusti Adhiprabhu Sultan Agung Mataram, dimana ketika hamil 3 Bulan diserahkan pada Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun) :
Pangeran Pati, Menikah dengan Puteri Untung Surapati, menurunkan Pangeran Putro/Mas Purbo/ Danurejo.
Sementara itu Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun dari Permaisuri lainnya yaitu Mas Ayu Dewi Sumekar (Blater) menurunkan :
1. Dalem Agung Macanapuro
2. Dalem Patih Sasranegoro/Pangeran Dipati Rayi
3. Pangeran Keta
4. Pangeran Mancanegara
5. Pangeran Gajah binarong
Sementara dari para selir Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun menurunkan :
1. Mas Dalem Jurang mangun
2. Mas Dalem Puger
3. Mas Dalem ki Janingrat
4. Mas Dalem Wiroguno
5..Mas Dalem Wiroluko
6. Mas Dalem WiroludroMas Dalem Wilokromo
7. Mas Dalem Wilo Atmojo
8. Mas Dalem Wiroyudo
9. Mas Dalem Wilotulis
Ketika Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun wafat terjadi pengangkatan Pangeran Pati sebagai Raja Blambangan Macan Putih, hal ini menjadi permasalahan mengingat Pangeran Pati sejatinya adalah keturunan Sinuhun Gusti Adhiprabhu Sultan Agung, sehingga menimbulkan peperangan antara Pangeran Pati dan Dalem Agung Macanapuro dan juga Pangeran Dipati Rayi.
Pangeran Pati dikalahkan namun putranya yaitu pangeran Putro/ Danurejo menggantikan beliau, tercatat perang saudara tersebut berlangsung lama dan baik Macanapuro, Danurejo dan Sosronegoro sempat memimpin Blambangan menjadi raja namun hanya sebentar mengingat perang rebut tersebut terus menerus berlangsung.
Dipati Rayi mengamuk dan merusak Kedhaton Macan Putih pangeran dipati Rayi beliau baru berhenti karena meninggal akibat senjata Ki Buyut Wongsokaryo yaitu Tulup Ki Baru Klitik.
Perang saudara setelah swargi Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun, membuat macan putih menjadi rusak dan baik Gusti Prabhu Macanapuro, Gusti Prabhu Sosronegoro/Dipati Ray, Pangeran Patii maupun Gusti Prabhu Danurejo seluruhnya meninggal- swargi. Yang paling mengesankan adalah kemarahan Dipati Rayi yang sangat sakti beliau juga adalah murid Ki Buyut Wongsokaryo yang juga guru dari Gusti Prabhu Tawang Alun, kesaktian Dipati Rayi atau Prabhu Sosronegoro membuat Kedhaton Macan Putih hancur, para agul agul berperang secara lingsem (malu).
Gusti Prabhu Danurejo memiliki permasyuri Mas Ayu Gendhing dari perkawinan tersebut memiliki Putra Pangeran Agung Dupati
Sementara dari selir (kakak Ipar Gusti Agung Mengwi/Raja Mengwi) beliau berputra :
Mas Sirno/ Pangeran Wilis/ Wong Agung Wilis.
Karena kacaunya perang saudara Pangeran Gung Dupati dan Pangeran Mas Sirno diungsikan sampai perang mereda dan Pangerang Gung Dupati diangkat Menjadi Raja Blambangan yang bergelar Sinuhun Gusti Prabhu Danuningrat memerintah Blambangan Kedhaton Macan putih pada tahun 1736-1763
Di akhir abad ke-18, setelah terjadi perang Puputan Bayu 1771 VOC mengisi kekosongan pemerintahan dan menggabungkan Blambangan kedalam karisidenan Besuki, dan mengangkat Mas Alit sebagai KRT Wiroguno sebagai Bupati Pertama dimulai dari KRT Wiroguno inilah dinasti Kerajaan Blambangan secara pasti dan terpercaya telah memeluk Islam, generasi diatas KRT Wiroguno tidak terdapat sumber terpercaya telah memeluk Agama Islam.
Hilangnya Blambangan bagi Bali merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dari segi kebudayaan. Para raja Bali percaya bahwa moyang mereka berasal dari Majapahit. Dengan masuknya Blambangan ke dalam kekuasaan VOC, Bali menjadi lepas dari Jawa.
BUKTI SEJARAH
Beberapa penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan kerajaan blambangan adalah Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng kerajaan Blambangan sepanjang lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan tanah dan membentang dari masjid pasar muncar hingga di areal persawahan Desa Tembok Rejo. Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan setinggil yang artinya Siti adalah tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi.Objek Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan pasar muncar (lebih kurang 400 meter arah utara TPI/Tempat Pelelangan ikan). Siti Hinggil ini merupakan pos pengawasan pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa kerajaan Blambangan, berupa batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing yang mempunyai keistimewaan untuk mengawasi keadaan di sekitar teluk pang Pang dan Semenanjung Blambangan. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang kini tersimpan di museum daerah berupa Guci dan asesoris gelang lengan, sedangkan kolam dan Sumur kuno yang ditemukan masih berada di sekitar Pura Agung Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Di samping itu pada lokasi Keraton Macan Putih didaerah Kecamatan Kabat didapati relief arkeologi dan benda benda yang terkubur saat ini dilokasi seluas 44 Hectare yang telah menjadi persawahan dan kebun sering didapati benda arkeologi milik kerajaan, beberapa puing tembok batas kerajaan pun terkubur rusak dan hancur, masyarakat setempat sering memindahkan dan atau menyimpan puing puing tersebut. Ditemui juga beberapa koleksi di beberapa museum di Belanda yang berisi gambar, foto maupun artefact Keraton Macan Putih.
Setelah Keraton Macan Putih hancur penerus Raja Blambangan yaitu Mas Jaka Rempeg mendirikan Kerajaan Bayu yang berada di sekitar Rawa Bayu kerajaan ini tidak bertahan lama karena perang Puputan Bayu 1771, yakni dalam hitungan bulan saja disini dapat ditemukan beberapa sisa artefact dan bekas peperangan dengan VOC
Hingga kini meskipun Kerajaan sudah hancur Para kerabat Kerajaan secara turun temurun tetap menjaga beberapa pusaka penting peninggalan Kerajaan.
(VERSI 2)
KERAJAAN BLAMBANGAN
ASAL-USUL DAN SILSILAH
Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di Ujung paling timur pulau Jawa. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa.
Pada abad ke-16, satu-satunya kerajaan Islam yang berarti di Jawa Timur adalah Pasuruan. Daerah lain masih dipimpin penguasa yang beragama Hindu. Kemungkinan besar terjadi perang antara Pasuruan dan Blambanganpada tahun 1540-an, 1580-an dan 1590-an. Rupanya pada tahun 1600 atau 1601 ibukota Blambangan ditaklukkan.
SEJARAH AWAL MULA KERAJAAN BLAMBANGAN
Pada abad ke-16, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam, hanya ada dua kerajaan yang berpegang teguh pada coraknya yang Hindu, yakni Sunda-Pajajaran dan Blambangan. Dua kerajaan ini pula yang melakukan hubungan politik dengan Portugis yang bermarkas di Malaka. Persekutuan ini merupakan usaha politis dua kerajaan tersebut dalam menahan penetrasi kerajaan-kerajaan Islam yang justru tengah berusaha menghalau pengaruh Portugis di kawasan Nusantara.
Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan perjuangan masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di Blambangan pun berubah. Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai diimani oleh sebagian masyarakat Blambangan juga agama Nasrani yang diperkenalkan oleh Belanda.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya rakyat dan ombo yang artinya besar atau banyak. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah kerajaan yang rakyatnya cukup banyak.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah (Damarwulan - Minakjinggo) diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis 1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh.
Di samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari.
Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas.
Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan).
Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah Wiraraja).
Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu.
Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan.
Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara Keraton Barat versus Keraton Timur di wilayah Majapahit.
Kedaton Wetan dan Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan.
Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian.
Kronik Cina memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat Kerajaan Barat dan Kerajaan Timur yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400.
Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa Kerajaan Timur yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru :
Apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah Istana Timur pada masa Arya Wiraraja ?
Pada tahun 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti.
Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina.
Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (perang yang berangsur-angsur) antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta.
Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni Kusumawardhani. B
Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359 Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.
Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama Blambangan untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan Istana Timur untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah Blambangan sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg.
Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat Balungbungan yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ritual kaum Hindu.
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini.
Data itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.
Dalam bukunya Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak.
Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri.
Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit.
Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528 setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin terdesak.
Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka.
Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari Istana Timur di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel.
Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.
Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk untuk berjalan ngalor wetan bila ada macan putih. Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih, Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan.
Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan yang dipastikan adalah Tawang Alun dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali.
Sebelum itu pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.
Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi) jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
Menurut babad Jawa dan juga penulis Belanda François Valentyn, pada abad ke-17, Blambangan adalah bawahan Surabaya, namun hal ini diragukan. Yang jelas, Sultan Agung dari Mataram (bertahta 1613-1646), yang menyerang Blambangan tahun 1633, tidak pernah dapat menaklukkannya.
Tahun 1697 Blambangan ditaklukkan oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti, raja Buleleng di Bali Utara, mungkin dengan bantuan SurapatiRaja Blambangan Prabu Tawang Alun dikalahkan dan untuk sementara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menunjuk perwakilannya untuk memerintah Blambangan sementara, I Gusti Anglurah Panji Sakti memberikan kepada Cokorda Agung Mengwi untuk menguasai Kerajaan Blambangan setelah menikah dengan putri Raja Mengwi tersebut.
Setelah Blambangan dalam kendali Mengwi, Badung Ditunjuklah keturunan Prabu Tawang Alun untuk memegang Kerajaan Blambangan yaitu Pangeran Danuningrat, di mana Prabu Danuningrat untuk mengikat kesetiaan ia beristrikan Putri Cokorda Agung Mengwi.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan Bali. Kerajaan Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan Kesultanan Mataramterhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
SILSILAH KERAJAAN BLAMBANGAN
- Mpu Withadarma
- Mpu Bhajrastawa
- Mpu LempitaMpu Gnijaya
- Mpu Wiranatha
- Mpu Purwantha
- Ken Dedes
- Mahisa Wonga Teleng
- Mahisa Campaka
- Lembutal
- Rana Wijaya/Raden WijayaTribuana Tunggadewi
- Hayam Wuruk
- Wikramawardhana
- Kerta Wijaya
- Cri Adi Suraprabawa
- Lembu Anisraya/Minak Anisraya
- Mas Sembar/Minak Sembar
- Bima Koncar/Minak Sumendhe (memerintah Blambangan pada tahun 1489-1500)
- Minak Pentor (memerintah Blambangan 1500-1541)Minak Gadru ( Memerintah Prasada/Lumajang): Minak Gadru menurunkan Minak Lampor yang memerintah di Werdati-Teposono-Lumajang.
- Minak Cucu (Memerintah Candi Bang/Kedhaton Baluran): Minak Cucu terkenal dengan sebutan Minak Djinggo penguasa Djinggan dia berputra SONTOGUNO yang memerintah Blambangan pada 1550 hingga 1582.
- Minak Lampor
- Minak Lumpat (Sebagai Raja di Werdati)
- Minak Luput (Sebagai Senopati)
- Minak Sumendi (sebagai Karemon/Agul Agul)
Kemudian Minak Lumpat atau SUNAN REBUT PAYUNG berputra Minak Seruyu/Pangeran Singosari (Sunan Tawang Alun I), Pangeran Singosari menaklukan Mas Kriyan dan seluruh keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak ada keturunannya, Sunan Tawang Alun I memerintah wilayah Lumajang, Kedawung dan Blambangan pada tahun 1633-1639.
Gusti Sunan Tawang Alun I memiliki Putra :
- Gede Buyut
- Mas Ayu Widharba
- Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas Brondong)
- Mas Senepo/Mas Kembar
- Mas Lego.
Selanjutnya Mas Lego menurunkan MAS SURANGGANTI dan MAS SURODILOGO (MBAH KOPEK), Sementara Mas Lanang Dangiran menurunkan Mas Aji Reksonegoro dan Mas Danuwiryo.
SILSILAH SETELAH TAWANG ALUN I
Mas Senepo inilah yang kemudian memerintah Kedhaton Macan Putih bergelar Susuhunan Gusti Prabhu Tawang Alun, Di mana dia memerintah pada wilayah Kerajaan Blambangan 1645 hingga 1691, pada masa Pemerintahan Susuhunan Gusti Prabhu Tawang Alun Blambangan maju dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu hingga ke lumajang. Gusti Prabhu Tawang Alun memiliki dua Permaisuri dan beberapa selir, sehingga terjadi beberapa garis keturunan.
Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun memiliki putra putri dari Mas Ayu Rangdiyah (MA. Rangdiyah adalah selir Sinuhun Gusti Adhiprabhu Sultan Agung Mataram, di mana ketika hamil 3 Bulan diserahkan pada Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun) :
Pangeran Pati, Menikah dengan Puteri Untung Surapati, menurunkan :Pangeran Putro/Mas Purbo/ Danurejo.
Sementara itu Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun dari Permaisuri lainnya yaitu Mas Ayu Dewi Sumekar (Blater) menurunkan :
- Dalem Agung Macanapuro
- Dalem Patih Sasranegoro/Pangeran Dipati Rayi
- Pangeran Keta
- Pangeran Mancanegara
- Pangeran Gajah binarong
Sementara dari para selir Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun menurunkan :
- Mas Dalem Jurang mangun
- Mas Dalem Puger
- Mas Dalem ki Janingrat
- Mas Dalem Wiroguno
- Mas Dalem Wiroluko
- Mas Dalem Wiroludro
- Mas Dalem Wilokromo
- Mas Dalem Wilo Atmojo
- Mas Dalem Wiroyudo
- Mas Dalem Wilotulis
Ketika Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun wafat terjadi pengangkatan Pangeran Pati sebagai Raja Blambangan Macan Putih, hal ini menjadi permasalahan mengingat Pangeran Pati sejatinya adalah keturunan Sinuhun Gusti Adhiprabhu Sultan Agung, sehingga menimbulkan peperangan antara Pangeran Pati dan Dalem Agung Macanapuro dan juga Pangeran Dipati Rayi.
Pangeran Pati dikalahkan namun putranya yaitu pangeran Putro/ Danurejo menggantikan dia, tercatat perang saudara tersebut berlangsung lama dan baik Macanapuro, Danurejo dan Sosronegoro sempat memimpin Blambangan menjadi raja namun hanya sebentar mengingat perang rebut tersebut terus menerus berlangsung.
Dipati Rayi mengamuk dan merusak Kedhaton Macan Putih pangeran dipati Rayi dia baru berhenti karena meninggal akibat senjata Ki Buyut Wongsokaryo yaitu Tulup Ki Baru Klitik.
Perang saudara setelah swargi Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun, membuat macan putih menjadi rusak dan baik Gusti Prabhu Macanapuro, Gusti Prabhu Sosronegoro/Dipati Ray, Pangeran Patii maupun Gusti Prabhu Danurejo seluruhnya meninggal- swargi. Yang paling mengesankan adalah kemarahan Dipati Rayi yang sangat sakti dia juga adalah murid Ki Buyut Wongsokaryo yang juga guru dari Gusti Prabhu Tawang Alun, kesaktian Dipati Rayi atau Prabhu Sosronegoro membuat Kedhaton Macan Putih hancur, para agul agul berperang secara lingsem (malu).
Gusti Prabhu Danurejo memiliki permasyuri Mas Ayu Gendhing dari perkawinan tersebut memiliki Putra :
- Pangeran Agung Dupati
Sementara dari selir (kakak Ipar Gusti Agung Mengwi/Raja Mengwi) dia berputra :
- Mas Sirno/ Pangeran Wilis/ Wong Agung Wilis.
Karena kacaunya perang saudara Pangeran Gung Dupati dan Pangeran Mas Sirno diungsikan sampai perang mereda dan Pangerang Gung Dupati diangkat Menjadi Raja Blambangan yang bergelar Sinuhun Gusti Prabhu Danuningrat memerintah Blambangan Kedhaton Macan putih pada tahun 1736-1763
Di akhir abad ke-18, setelah terjadi perang Puputan Bayu 1771 VOC mengisi kekosongan pemerintahan dan menggabungkan Blambangan kedalam karisidenan Besuki, dan mengangkat Mas Alit sebagai KRT Wiroguno sebagai Bupati Pertama dimulai dari KRT Wiroguno inilah dinasti Kerajaan Blambangan secara pasti dan tepercaya telah memeluk Islam, generasi diatas KRT Wiroguno tidak terdapat sumber tepercaya telah memeluk Agama Islam.
Hilangnya Blambangan bagi Bali merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dari segi kebudayaan. Para raja Bali percaya bahwa moyang mereka berasal dari Majapahit. Dengan masuknya Blambangan ke dalam kekuasaan VOC, Bali menjadi lepas dari Jawa.
BABAD BLAMBANGAN
Babad Blambangan merupakan karya sastra klasik yang berasal dari daerah Blambangan. Daerah Blambangan merupakan negeri yang dikelilingi oleh laut. Daerah ini di luar batas Gunung Bromo dan Lamajang. Babad merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan bahasa kias yang bermuatan cerita-certia sejarah. Babad Blambangan adalah karya sastra yang berisi data-data sejarah di sekitar Blambangan. Babad blambangan bukan merupakan satu karangan utuh namun kumpulan dari beberapa babad yang ditulis pada tahun yang berbeda-beda. Aksara yang dipakai untuk menulis babad adalah aksara Jawa, Bali, Pegon dan Latin.
Naskah babad yang menyusun Babad Blambangan adalah :
1. Babad Sembar.
2. Babad Tawang Alun.
3. Babad Mas Sepuh.
4. Babad Bayu dan.
5. Babad Notodiningrat.
BABAD SEMBAR
Babad Sembar ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Bali. Babad Sembar berisi tentang silsilah mengenai raja-raja Kerajaan Blambangan. Babad sembar dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian pertama terdiri dari 10 bait yang mengungkapkan bahwa ada lima-enam angkatan sebelum Tawang Alun. Dalam bagian pertama juga dapat ditemukan bahwa nama Tawang Alun tidak hanya satu. Bagian ini menceritakan bahwa terjadi perpindahan ibu kota kerajaan sampai 3 kali, yaitu mulai dari Tepasana (Lumajang) menuju Puger dan akhirnya berpindah lagi ke wilayah semula. Bagian kedua dari babad ini merupakan kisah mengenai Tawang Alun dan Lanang Dhangiran. Lanang Dhangiran adalah pendiri keluarga bupati Surabaya.
BABAD TAWANG ALUN
Babad Tawangalun merupakan naskah yang menceritakan nenek moyang keluarga raja-raja Blambangan yang bermula dari para Pangeran Kedhawung di abad ke-17. Silsilah Raja Blambangan dalam Babad Tawangalun ini mencakup rentang waktu lebih dari dua abad.
Babad Tawang Alun kira-kira dibuat antara tahun 1832-1841. Babad Tawang Alun ditulis pada zaman Suranegara menjadi bupati Surabaya. Menurut teks babad nenek moyang raja-raja Blambangan adalah pangeran-pangeran Kedhawung abad ke-17. Tawang Alun merupakan putera dari Buyut Somani. Tawang Alun mempunyai seorang saudara bernama Menak Sembuyu, tetapi keduanya tidak hidup rukun.
BABAD BAYU
Babad Bayu ditulis oleh Wiraleksana pada tahun 1826. Wiraleksa adalah seorang pedagang dari Lumajang. Babad Bayu melukiskan segala macam tanda alam yang meramalkan kematian atau kegagalan yang akan menimpa seseorang. Babad bayu juga menceritakan kisah-kisah perempuan yang menangisi kepergian atau kematian suaminya. Kaitan sejarah dengan Blambangan, babad ini menceritakan penaklukan Blambangan dari pihak Madura.
BABAD NOTODININGRAT
Pengaran Babad Notodiningratan adalah Raden Arya Tumenggung Natadiningrat. Dia adalah bupati Banyuwangi dari tahun 1912 sampai tahun 1919 dan berasal dari Malang. Babad ini termasuk babad modern karena menggunakan data-data sejarah Blambangan yang cukup akurat untuk menulisnya. Babad ini menuliskan tentang sejarah panjang Blambangan yang sebagian sudah ditulis dalam babad-babad sebelumnya.
JEJAK KEJAYAAN BLAMBANGAN
Penguasa terbesar Blambangan membangun keratonnya di pedalaman. Kini puing-puingnya masih bisa dijumpai.
Nukti ada monumen Tulien Ngetan Ilingo Kawitane, yang menampilkan sosok Tawangalun menunjuk ke arah timur dan Macan Putih.
Dikisahkan Tawang Alun pergi menyepi. Ia bersembah semedi di pertapaan kaki Gunung Raung. Sudah tujuh hari ia melakukan laku pembersihan diri. Sampai kemudian ia mendengar suara gaib menggema berbicara kepadanya.
Pulanglah Gusti Prabu. Tawangalun diminta agar berjalan ke arah timur. Jika kau bertemu dengan Macan Putih, tunggangilah.
Maka, Tawangalun turun dari pertapaannya. Ia tempuh perjalanan berhari-hari ke arah matahari terbit. Sampai kemudian dilihatnya sesosok macan putih menghadang.
Teringat suara gaib dalam semedinya, ia mendekati macan itu lalu menungganginya. Mereka mengelilingi hutan yang luas hingga sampai ke tengah rimba Sudimara. Seakan tahu di situlah tujuan mereka, Tawangalun turun dari punggung macan. Binatang gaib itu pun tiba-tiba lenyap, tak berbekas. Pahamlah Tawangalun bahwa di tempat itulah ia harus membangun negerinya.
Begitulah ia kemudian membuka Hutan Sudimara. Menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Blambangan yang baru, berjuluk Macan Putih.
Kisah para penguasa di Macan Putih itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Babad Tawang Alun.
Tawangalun adalah moyang para penguasa di Macan Putih di tanah pedalaman Banyuwangi. Sejarawan Belanda, H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa mencatat kalau di sinilah tempat asal banyak bupati Banyuwangi dari abad ke-18 hingga ke-19.
Kini sebuah desa bernama Macan Putih, di Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, dikaitkan dengan kisah itu. Menurut Margana dalam disertasinya Java’s Last Frontier The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813 menulis kalau pada 1805, beberapa puing bata masih dapat dilihat. Bekas bangunan kuno itu tadinya masih dilingkupi belantara.
Macan Putih, yang berlokasi di Dusun Malar (salah satu dusun di Desa Macan Putih), utara Rogojampi, kini tidak lebih dari gundukan tanah dan puing-puing batu bata. Bekas rumah Macan Putih dikelilingi oleh dinding bata besar. Puing itu bisa mengindikasikan kalau pada masa pemerintahan Tawang Alun, Blambangan tumbuh dengan sejahtera. Banyak bangunan kota dan kuil didirikan, sebelum akhirnya dihancurkan Mataram.
KEKUASAAN TAWANG ALUN
Nama mirip dengan Tawangalun muncul dalam catatan seorang pertapa Sunda Kuno, Bujangga Manik. Pada sekira abad ke-14 atau awal abad ke-15, Bujangga Manik melakukan perjalanan melintasi Pulau Jawa dan Bali. Catatan perjalanannya dibahas J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa.
Diceritakan dalam perjalanannya dari Gunung Raung, Bujangga Manik pergi ke Balungbungan. Di sana ia tinggal, melakukan tapa, hingga lebih dari setahun. Seusainya, Bujangga Manik pergi ke tepi pantai. Ia melihat sebuah kapal yang akan berlayar ke Bali. Artinya, Balungbungan letaknya tak jauh dari laut. Balungbungan yang tertulis di sana adalah Pelabuhan Blambangan yang ketika itu sudah terkenal.
Balambangan atau Balangbangan terletak di sebelah selatan Banyuwangi sekarang, di Teluk Pangpang. Pelabuhan ini tetap menjadi pelabuhan yang terpenting di pantai timur Jawa sampai 1774 dan kemudian diganti menjadi Banyuwangi.
Sekembalinya dari Bali, Bujangga Manik menumpang kapal besar. Kapal itu berlayar dari Bali ke Balungbungan. Dalam perjalanan pulang itu, Bujangga Manik melewati rute sepanjang pantai selatan Jawa. Ia pun melalui Padangalun.
Sebuah nama yang jelas mengingatkan pada Tawang Alun, bandingkan bahasa Jawa padang yang berarti terang, terbuka, dan tawang, yang berarti terbuka, tidak terhalang.
Dalam bukunya Tahta di Timur Jawa, penyebutan itu pun memperkuat dugaan kalau nama Tawang Alun diambil dari nama tempat ia memerintah. Atau mungkin sebaliknya.
VERSI LAIN
Tawang Alun kalau menurut de Graaf dan Pigeaud adalah tokoh setengah legenda. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Pada masanya Kerajaan Blambangan dipercaya mencapai era kedamaian dan kejayaan.
Sayangnya, kata Sri Margana, tak banyak informasi yang ditemukan dalam arsip-arsip Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) soal kondisi Blambangan pada masa Tawang Alun. Kecuali tahun-tahun terakhir pemerintahannya, yakni tepat sebelum kematiannya pada 1691.
Untungnya sedikit manuskrip lokal, yang disusun setengah abad setelah kematiannya, masih tetap tersimpan dengan baik. Dapat dilihat pada Babad Blambangan.
Babad Blambangan bukanlah satu manuskrip utuh, melainkan tersusun dari beberapa babad yang ditulis pada tahun berbeda-beda. Di dalamnya terdiri dari Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan. Aksara yang dipakai adalah aksara Jawa, Bali, Pegon, dan Latin.
Seperti dalam babad Jawa lainnya, perhatian utama penyusun adalah mencatat peristiwa politik dan informasi silsilah tentang dinasti yang berkuasa.
Dalam Babad Blambangan, nama Tawang Alun memiliki urutan silsilah yang tak sama antara sumber yang satu dan lainnya. Tidak sinkronnya penyebutan nama-nama penguasa di Blambangan dan peristiwa yang terjadi membuat penyusunan silsilah menjadi semakin sulit.
Sumber lain bahwa Tawang Alun disebut sebagai anak Minak Lumpat atau Sunan Rebut Payung. Keratonnya di Lamajang dan Kedawung. Di atas Minak Lumpat, secara berurutan dalam silsilah, ada Minak Lampor, Minak Gadru, dan Boma Koncar. Yang teratas adalah Lembu Miruda atau Panembahan Brahma (Bromo).
Disebutkan pula ada dua Tawang Alun, I dan II. Ada Pangeran Kedhawung dan Mas Kembar yang disebut Tawang Alun I. Lalu Minak Sumendhi disebut Susuhunan Tawangalun II.
Dalam hal ini posisi silsilah Tawangalun sama dengan yang disebutkan dalam Babad Sembar.
Sementara berdasarkan versi Babad Tawang Alun, Tawang Alun disebutkan sebagai anak dari Tanpa Una (Pangeran Kedhawung I) atau Ki Mas Kembar. Menurut versi ini hanya ada satu Tawang Alun, yaitu yang disebut dengan Pangeran Kedhawung II. Sementara Mas Wila (adik Tawangalun) dikenal pula sebagai Pangeran Kedhawung III.
Saat menjadi raja, Tawang Alun memiliki nama Susuhunan Macan Putih dan Mas Sanepa. Mas Sanepa inilah yang kemudian memerintah Keraton Macan Putih. Gelarnya Susuhunan Gusti Prabu Tawang Alun.
Padahal gelar ini biasanya dipakai oleh raja atau wali dalam tradisi Islam. Sementara Tawang Alun menganut ajaran Hindu.
Babad Tawang Alun dibuat pada 1832-1841. Ditulis pada masa Suranegara menjadi bupati di Surabaya. Namun keterangan dalam Babad Blambangan, menyebut kalau Babad Tawang Alun dibuat antara 1826-1827. Ditulisnya di Banyuwangi.
MASA KEJAYAAN
Sebagaimana dijelaskan dalam Babad Tawang Alun, daerah asal Tawangalun adalah Kedawung. Moyangnya Masa Kejayaan Ki Mas Tanpa Una.
Ki Mas Tanpa Una pun bergelar Pangeran Kedawung. Pemerintahan Ki Mas Tanpa Una berlangsung sekira 1651-1665. Ia bergelar Pangeran Kedawung dengan pusat pemerintahan di Kedawung. Kini letaknya masuk wilayah Jember.
Menurut Babad Tawang Alun, dari tahun ke tahun kekuasaan Ki Mas Tanpa Una, kehidupan rakyat membaik. Muncul kemudian generasi dari Pangeran Kedawung dengan putra sulungnya Raden Mas Tawang Alun (1665-1691), Mas Wils, Mas Ayu Tanjung Sekar, Mas Ayu Melok, dan Mas Ayu Gringsing Retna.
Ketika Ki Mas Tanpa Una meninggal, Tawang Alun sang Putra Mahkota menggantiakannya sebagai penguasa Blambangan di Kedawung. Saudaranya yang termuda, Mas Wila, diberinya jabatan sebagai patih.
Namun empat tahun berikutnya, ia berontak terhadap kakaknya. Tawangalun pun lari dari istana dan mengungsi ke Bayu.
100 tahun kemudian menjadi markas para pemberontak Blambangan, Rempeg atau Jagapati.
Di sana Tawang Alun membangun sebuah keraton baru dan mendapatkan dukungan dari rakyat Blambangan.
Namun, gangguan dari adiknya tak berhenti.
6 (Enam tahun) kemudian, Mas Wila membawa pasukan menyerang dan mengepung Bayu. Buntutnya, Mas Wila yang harus tewas.
Pusat pemerintahan pun dipindahkan kembali. Kali ini ke Macan Putih.
Sejak itu, Blambangan kian maju pesat. Kekuasaannya menyatu hingga Lumajang.
Tawang Alun pun menguasai seluruh Kerajaan Blambangan.
Sejak abad ke-16 pengaruh eksternal di kekuasaan Blambangan semakin kuat. Hingga pada akhir abad itu, kata Sri Margana, Blambangan jatuh ke dalam kekuasaan Raja Bali Gelgel. C. Lekkerkerker pun meyakini bahwa setelah tahun 1600, raja-raja Blambangan memiliki darah Bali.
Pada waktu yang bersamaan, Kesultanan Mataram mulai menunjukkan kekuatannya di Jawa Timur. Pada 1625, Sultan Agung (1613-1646) mengirim ekspedisi militer ke Blambangan. 20.000 hingga 30.000 prajurit dilibatkan.
Belum lagi VOC yang kemudian menancapkan pengaruhnya di Blambangan. Makin seringlah terjadi pergolakan perebutan takhta.
Sepanjang 42 tahun, sejak 1655 sampai 1697, terjadi empat kali pemberontakan dan empat kali perpindahan ibukota.
Kedudukan istana di Kedawung dipindahkan ke Bayu pada 1655, lalu ke Macan Putih dan akhirnya ke Kutha Lateng.
Kata dia, kuatnya pengaruh eksternal yang selalu mencampuri urusan suksesi Blambangan menyebabkan perang terus-menerus. Namun pada 1676, Tawang Alun akhirnya memutuskan untuk membebaskan diri dari Mataram.
Raja memerintahkan menghentikan pemberian upeti serta kunjungan tahunannya ke Mataram.
Dalam kisah, Tawang Alun dikenal memiliki wawasan luas. Ia merupakan penganut Hindu yang taat. Kendati begitu, ia tak melarang komunitas Islam berkembang. Ia hanya berkeinginan kuat untuk membendung dominasi asing yang makin kuat.
Sepak terjang Tawang Alun ini tercatat dalam arsip-arsip Belanda. Khususnya masa-masa terakhir kekuasaannya.
Arsip Belanda misalnya mencatat prosesi pembakaran jenazah Prabu Tawang Alun yang meninggal pada 1691.
Proses ini juga direkam dalam Babad Blambangan.
Berdasarkan penuturan babad, setelah tubuh Tawang Alun dikubur di belantara Plecutan pada 1691 atau 25 hari sejak kematiannya, mayatnya dikremasi dalam sebuah acara ritual pengorbanan diri (sati) secara besar-besaran.
Disebutkan sebanyak 271 orang dari 400 istri Tawangalun ikut bela sati.
Tawangalun dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak istri, selir dan keturunannya yang kemudian tersebar.
Dalam waktu relatif singkat, Kerajaan Blambangan di bawah Tawangalun mencapai puncak kejayaannya. Tampaknya, tidak ada satu hal pun yang membuat nama Tawang Alun ternoda dalam pandangan rakyat Blambangan.
HUBUNGAN DESA BALUN LAMONGAN SUNAN TAWANG ALUN
Ternyata, nama Balun erat terkait dengan seorang tokoh yang hingga saat ini dikenal sebagai Mbah Alun. Beliau adalah seorang raja yang rendah hati dalam segala kesulitannya dan menjadikan hidupnya sebagai sumber inspirasi kerukunan dan toleransi. Ketika masih kecil, Mbah Alun dikenal dengan sebutan Raden Alun. Beliau dibesarkan di Lamajang dan Kedhawung. Pada tahun 1589, Raden Alun dititipkan oleh ayahnya untuk mengaji kepada Sunan Giri. Tahun 1624 Raden Alun dilantik menjadi raja Lamajang Kedhawung dan bergelar Sunan Tawang Alun. Dalam perjalanan waktu, karena kejaran Belanda kala itu, Sunan Tawang Alun melarikan diri ke wilayah Lamongan yaitu di desa Candipari yang kini disebut Desa Balun. Di sinilah, Sunan Tawang Alun berdakwah Islam (ulama besar ditempat tinggalnya dan sekitarnya) hingga wafatnya pada usia 80 tahun, 1654. Beliau dikenal sebagai seorang Waliyullah yang sangat toleran. Inilah salah satu hal yang menginspirasi mengapa Balun menjadi Desa Pancasila.
Kedua, keberagamaan Mbah Alun atau juga sering disebut Sin Arih dilandasi oleh kedalaman iman Islam rahmatan lilalamin. Beliau menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Itulah yang membuat hidupnya dikenal tegas, kesatria, cerdas, alim, arif, dan persuatif. Beliau terkenal dengan sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan terhadap umat beragama lain. Itu pulalah spirit dasar Balun sebagai desa Pancasila trikerukunan Islam, Hindu dan Kristen.
Ketiga, terinspirasi oleh sifat toleran penuh kasih dalam keberagaman itulah, maka saya sangat terharu dalam kegembiraan (merinding) boleh berkunjung ke Desa Balun dan secara khusus berziarah kubur ke makam Sunan Tawangalun (Raden/Mbah Alun).
Di itu pun saya ngalap berkah (menimba barokah) agar boleh tetap gembira membangun peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agama dan kepercayaan kita.
Tentang kisah Mbah Alun yang menginspirasi lahirnya Desa Balun sebagai Desa Pancasila. Semoga kisah ini pun menginspirasi dan memotivasi kamu dalam menghayati iman yang toleran, apa pun agama dan kepercayaan kita.
Balun merupakan sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan anggota tengah tepatnya Kecamatan Turi dan hanya mempunyai jarak 4 kilometer dari kota Lamongan. Desa Balun merupakan daerah yang terletak di dataran rendah yang banyak terdapat tambak dan bonorowo sehingga masuk daerah yang rawan banjir seperti umumnya daerah lain di kabupaten Lamongan. Desa Balun juga dibelah oleh sebuah sungai yang bermuara di Bengawan Solo.
ASAL-USUL
Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk mengenai penyebaran Islam oleh para santri murid Walisongo dan masih terkait dengan sejarah hari sah Kota Lamongan. Di mana kata Balun bermula dari nama Mbah Alun seorang tokoh yang mengabdi dan bertindak luhur terhadap terbentuknya desa balun sejak tahun 1600-an.
Mbah Alun yang diketahui sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon merupakan Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang kelahiran di Lumajang tahun 1574. Beliau merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar merupakan keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya). Mbah Alun berupaya bisa mengaji di bawah bimbingan Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Tamat mengaji ia kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum diangkat dijadikan Raja Blambangan.
Selama pemerintahannya (tahun 1633-1639) Blambangan mendapatkan serangan dari Mataram dan Belanda sampai kedaton Blambangan hancur. Masa itu Sunan tawang Alun melarikan diri ke arah barat menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya adalah Ki Lanang Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari (kini dijadikan desa Balun) untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Disinilah Sunan Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan nasihat Islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja, sebabnya ia diketahui sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam dirinya diketahui tegas, kesatria, tajam akal, Alim, Arif, persuatif, dan yang terkenal merupakan sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap hukum budaya istiadat lokal dan toleransinya terhadap agama lain.
Desa tempat makam Mbah Alun ini kesudahan disebut Desa Mbah Alun dan kini Dijadikan Desa Balun, Kecamatan Turi. Dan makamnya sampai sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang dari daerah lain, apalagi jika hari Jum’at kliwon banyak sekali rombongan-rombongan peziarah yang datang ke Desa Balun.
Sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Balun sebabnya penetrasi Kristen tidak menimbulkan gejolak. Di samping itu kristen tidak melakukan dakwa dengan ancaman atau kekerasan.
Pada tahun yang sama yakni 1967 juga masuk pembawa agama Hindu yang datang dari desa sebelah adalah Plosowayuh. Agama hindu inipun tidak membawa gejolak pada masyarakat umumnya. Masuknya seseorang pada agama baru bertambah pada permulaannya bertambah dikarenakan oleh ketertarikan pribadi tanpa berada paksaan. Sebagai agama pendatang di desa Balun, Kristen dan Hindu mengembang secara perlahan-lahan. Mulai melakukan sembahyang di rumah tokoh-tokoh agama mereka, kesudahan pertambahan pemeluk baru dan dengan semangat swadaya yang tinggi mulai membangun tempat ibadah sederhana dan setelah melewati tahap-tahap perkembangan sampai berakhir berdirilah Gereja dan Pura yang megah.
PENDUDUK
Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang berada di kabupaten Lamongan yang masih memelihara budaya-budaya terdahulunya. Di samping itu keanekaragaman agama lebih memperkaya hukum budaya istiadat desa Balun dan yang dijadikan ciri khas merupakan interaksi sosial di selang warganya yang multi agama (Islam, Kristen, Hindu). Sejak masuknya Hindu dan Kristen tahun 1967 dan Islam sebagai agama asli belum pernah terjadi konflik yang berkaitan agama.
Meskipun secara banyak agama mayoritas tetap Islam adalah 75%-80% dan agama yang paling sedikit merupakan hindu adalah 7%-10% serta sisanya agama kristen 18% -20%, tekanan ataupun perlakuan sewenang-wenang mengenai agama tidak pernah berada. Masing-masing dari mereka saling menjaga. Begitu pula tidak berada pengelompokan tempat tinggal berdasarkan agama, mereka campur dan menyebar merata.
HUKUM BUDAYA ISTIADAT
Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan budaya-budaya yang khas, serta hukum budaya istiadat asli juga bisa memengaruhi interaksi multi agama yang terjadi. Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan interpretasi pada simbol-simbol hukum budaya istiadat berbeda dengan daerah lain. Suatu misal pada masa datang kehajatan untuk menyumbang atau membantu para perempuan banyak yang memakai kerudung (bukan jilbab) dan bapak-bapak banyak yang memakai songkok atau kopyah, padahal agama mereka belum tentu Islam sebagaimana pada masyarakat lainnya. Hal ini gunanya kerudung dan kopyah bertambah gunanya sebagai simbol hukum budaya istiadat yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan atau cara ngaturi.
Hukum budaya istiadat selamatan juga masih banyak dilakukan oleh masyarakat Balun. Biasanya selamatan menyambut bulan Romadhon dan selamatan sebelum hari raya umat Islam. Untuk yang bukan agama Islam juga ikut mengadakan selamatan, hal ini bertambah dimaksudkan atau dimaknai sebagai tindakan sosial dari pada tindakan religius sebab mereka bukan umat Islam. Mereka memaknai untuk merekatkan antar tetangga dan mengenai waktu mereka selaraskan dengan pilihan umat Islam. Selamatan untuk orang meninggal juga masih dilakukan sebagian luhur masyarakat Balun, dan mengundang para tetangga dan kerabat termasuk mereka yang beragama Hindu dan Kristen. Untuk mereka memennuhi undangan merupakan sesuatu yang penting sebab disitu terdapat kontrol sosial yang sempit. Untuk mereka yang tidak datang wajib pamitan sebelum atau sesudahnya.
Dalam pesta hajatan terdiri dari dua hari, hari yang pertama merupakan cara ngaturi dimana dalam cara ini didatangi oleh seluruh warga sekitar yang bersangkutan dan seluruh keluarga yang berada. Dalam cara ini juga dihadiri oleh perangkat desa sebagai wakil dari pihak desa dan oleh tokoh agama yang sesuai dengan agama yang punya sebagai pembaca doa. Untuk hari kedua merupakan maksud dari hajatan itu sendiri, bisa nikah, sunatan atau lainnyanya. Masyarakat yang datangpun dari ketiga agama tersebut. Perbedaan agama terjadi bukan hanya pada antar keluarga tetapi terjadi pula dalam kelurga itu sendiri, sehingga dalam setiap cara salah satu agama pasti melibatkan aggota keluarga yang berbeda agama. Baik pertolongan berupa tenaga maupun biaya upacara keagamaan yang akan berjalan. Misal, dalam cara tahlilan anak yang beragama Kristen ikut membantu orang tuanya dalam cara tahlilan tersebut. Bahkan dalam satu atap terdiri dari tiga agamapun sudah tidak ajab lagi.
Norma budaya lain dari masyarakat Balun ini merupakan penyambutan bulan Agustus yang dimeriahkan dengan banyak cara yang biasanya atas inisiatif atau ajar untuk melaksanakan pihak desa. Untuk Agustus tahun ini cara yang disediakan dalam lingkup desa dan mencakup semua masyarakat merupakan pentas seni dan donor darah masal yang di pelopori oleh kalangan pemuda (karang taruna ). Sebagai ciri khas masyarakat yang multi agama merupakan seni yang dilakukan dalam pentas seni. Beradanya kolaborasi dari tri-agama, dimana Islam dengan seni sah pemain terbang, kristen dengan band, dan hindu dengan gamelannya.
PRABU TAWANG ALUN
(KISAH SUNAN TAWANG ALUN I DI LAMONGAN)
Sembunyikan identitas raja dalam berdakwah. Tak banyak yang tahu siapa sosok Mbah Alun. Di era tahun 1960-an makam ini lebih terkesan angker lantaran dikelilingi pohon besar. Namun setelah beberapa tahun kemudian kesan tersebut hilang. Sejak direnovasi, banyak pengunjung dari berbagai daerah yang mengunjungi makam ini hanya sekedar ngalap berkah.
Makam Mbah Alun terletak di desa Balun Kecamatan Turi, Lamongan. Di kampung ini berdiri tiga rumah ibadah dari tiga agama berbeda yang saling berdekatan. Tak heran jika Balun dikenal sebagai Kampung Pancasila atau desa tri kerukunan, lantaran harmoninya hubungan dan toleransi tinggi ketiga pemeluk agama.
Nama desa Balun diambil dari nama makam sesepuh yang ada di desa mereka yakni Mbah Alun. Meski begitu tak banyak warga yang tahu bagaimana cerita sosok Mbah Alun ini. Warga hanya tahu kalau makam yang terletak ditengah-tengah pemakaman umum tersebut dikeramatkan.
Semasa kecil Raden Alun dibesarkan di Lamajang (Istana Timur) dan Kedhawung mengikuti orang tuanya sebagai Tumenggung yakni Menak Lumpat yang bergelar Sunan Rebut Payung.
Tahun 1589, Raden Alun dititipkan oleh ayahnya untuk mengaji ke Sunan Giri.
Menak Lumpat adalah anak dari Menak Lampor Adipati Wredati masih keturunan Lembu Miruda dari Majapahit bergelar Lembu Anisraya yaitu panembahan Gunung Bromo yang masih menguasai watu putih dan Blambangan.
Tahun1591-1596 Sunan Rebut Payung berhasil mengalahkan Blambangan. Kemudian ia mengangkat adiknya Minak Luput menjadi senopati dan Minak Sumendhe menjadi penguasa Kerenon. Tahun 1596 Blambangan diserang oleh pasukan dari Pasuruan hingga terjadi peperangan hebat. Raden Alun saat itu yang sudah menjadi santri Sunan Giri juga ikut membantu melawan Pasuruan.
Tahun 1624 Raden Alun dilantik menjadi raja Istana Timur Lumajang Kedhawung bergelar Sunan Tawang Alun. Raden Alun memiliki 4 orang anak yakni :
1. Gedhe Buyut yang merupakan Syahbandar pelabuhan Sidayu Lama Kecamatan Brondong. Kini makamnya bisa dijumpai di Buyut Setana Brondong.
2. Mas Ayu Widarba yang dinikahi Adipati pesisir utara Jawa. 3. Lanang Dhagiran yang dikenal dengan sebutan Kyai Brondong yang kemudian pindah menjadi Syahbandar di Bataputih yang kemudian disebut sebagai Sunan Bataputih yang makamnya kini terlenak berseberangan dengan Sunan Ampel.
4.Terakhir Mas Kembar, yaitu raja Blambangan dengan gelar Sunan Tawangalun II (1645-1691).
KUASAI ILMU LADUNI
Saat dikejar-kejar Belanda, Sunan Tawangalun ditolong oleh anaknya Lanang Dhangiran. Saat itu Sunan Tawangalun memilih melarikan diri ke wilayah Lamongan. Lanang Dhangiran kemudian menyembunyikan ayahnya ke tempat yang aman yaitu di desa Candipari (kini Balun). Dalam persembunyiannya ini, Raden Alun mengajarkan serta berdakwah Islam secara mandiri.
Disinilah Sunan Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja, maka beliau dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuatif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain.
SUNAN TAWANG ALUN DAN SEJARAH LAMONGAN (DESA CANDIPARI / BALUN)
Dulu Lamongan merupakan Pintu Gerbang ke Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Panjalu, Kerajaan Jenggala, Kerajaan Singosari atau Kerajaan Mojopahit, berada di Ujung Galuh, Canggu dan kambang Putih ( Tuban). Setelah itu tumbuh pelabuhan Sedayu Lawas dan Gujaratan (Gresik), merupakan daerah amat ramai , sebagai penyambung hubungan dengan Kerajaan luar Jawa bahkan luar Negeri. Zaman Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur, Di Lamongan berkembang Kerajaan kecil Malawapati (kini dusun Melawan desa Kedung Wangi kecamatan Sambeng) dipimpin Raja Agung Angling darma dibantu Patih Sakti Batik Maadrim termasuk kawasan Bojonegoro kuno. Saat ini masih tersimpan dengan baik, Sumping dan Baju Anglingdarma didusun tersebut. Di sebelah barat berdiri Kerajaan Rajekwesi di dekat kota Bojonegoro sekarang. Pada waktu Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk (1350 -1389) kawasan kanan kiri Bengawan Solo menjadi daerah Pardikan. Merupakan daerah penyangga ekonomi Mojopahit dan jalan menuju pelabuhan Kambang Putih.
Wilayah ini disebut Daerah Swatantra Pamotan dibawah kendali Bhre Pamotan atau Sri Baduga Bhrameswara paman Raja Hayam Wuruk (Petilasan desa Pamotan kecamatan Sambeng), sebelumnya Di bawah kendali Bhre Wengker (Ponorogo).
Daerah swatantra Pamotan meliputi 3 kawasan pemerintahan Akuwu , meliputi :
1. Daerah Biluluk (Bluluk).
2. Daerah Tenggulunan (Tenggulun Solokuro).
3. Daerah Pepadhangan (Padangan Bojonegoro).
Menurut buku Negara Kertagama telah berdiri pusat pengkaderan para cantrik yang mondok di Wonosrama Budha Syiwa bertempat di Balwa (desa Blawi Karangbinangun), di Pacira (Sendang Duwur Paciran), di Klupang (Lopang Kembangbahu) dan di Luwansa ( desa Lawak Ngimbang).
Desa Babat kecamatan Babat ditengarahi terjadi perang Bubat, sebab saat itu babat salah satu tempat penyeberangan diantar 42 tempat sepanjang aliran bengawan Solo.
Berita ini terdapat dalam Prasasti Biluluk yang tersimpan di Musium Gajah Jakarta, berupa lempengan tembaga serta 39 gurit di Lamongan yang tersebar di Pegunungan Kendeng bagian Timur dan beberapa temapt lainnya.
Menjelang keruntuhan Mojopahit tahun 1478M, Lamongan saat itu dibawah kekuasaaan Kerajaan Sengguruh (Singosari) bergantian dengan Kerajaan Kertosono (Nganjuk) dikenal dengan kawasan Gunung Kendeng Wetan diperintah oleh Demung, bertempat disekitar Candi Budha Syiwa di Mantup.
Setelah itu diperintah Rakrian Rangga samapi 1542M (petilasan di Mushalla KH.M.Mastoer Asnawi kranggan kota Lamongan). Kekuasaan Mojopahit di bawah kendali Ario Jimbun (Ariajaya) anak Prabu Brawijaya V di Galgahwangi yang berganti Demak Bintoro bergelar Sultan Alam Akbar Al Fatah ( Raden Patah ) 1500 – 1518, lalu diganti anaknya, Adipati Unus 1518 -1521 M , Sultan Trenggono 1521 – 1546 M.
Dalam mengembangkan ambisinya, sultan Trenggono mengutus Sunan Gunung Jati (Fatahilah) ke wilayah barat untuk menaklukkan Banten, Jayakarta, danCirebon. Ke timur langsung dipimpin Sultan sendiri menyerbu Lasem, Tuban dan Surabaya sebelum menyerang Kerajaan Blambangan (Panarukan). Pada saat menaklukkan Surabaya dan sekitarnya, pemerintahan Rakryan Rangga Kali Segunting (Lamong), ditaklukkan sendiri oleh Sultan Trenggono 1541. Namun tahun 1542 terjadi pertempuran hebat antara pasukan Rakkryan Kali Segunting dibantu Kerajaan sengguruh (Singosari) dan Kerajaan Kertosono Nganjuk dibawah pimpinan Ki Ageng Angsa dan Ki Ageng Panuluh, mampu ditaklukkan pasukan Kesultanan Demak dipimpin Raden Abu Amin, Panji Laras, Panji Liris. Pertempuran sengit terjadi didaerah Bandung, Kalibumbung, Tambakboyo dan sekitarnya. Tahun 1543M, dimulailah Pemerintahan Islam yang direstui Sunan Giri III, oleh Sultan Trenggono ditunjuklah R.Abu Amin untuk memimpin Karanggan Kali Segunting, yang wilayahnya diapit kali Lamong dan kali Solo. Wilayah utara kali Solo menjadi wilayah Tuban, perdikan Drajat, Sidayu, sedang wilayah selatan kali Lamong masih menjadi wilayah Japanan dan Jombang. Tahun 1556 M R.Abu Amin wafat digantikan oleh R.Hadi yang masih paman Sunan Giri III sebagai Rangga Hadi 1556 -1569M Tepat hari Kamis pahing 10 Dzulhijjah 976H atau bertepatan 26 mei 1569M, Rangga Hadi dilantik menjadi Tumenggung Lamong bergelar Tumenggung Surajaya ( Soerodjojo) hingga tahun 1607 dan dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan kecamatan Lamongan dikenal dengan Makam Mbah Lamong.
Tanggal tersebut dipakai sebagai Hari Jadi Lamongan. Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, daerah Lamongan menjadi daerah garis depan melawan tentara pendudukan Belanda, perencanaan serangan 10 Nopember Surabaya juga dilakukan Bung Tomo dengan mengunjungi dulu Kyai Lamongan dengan pekikan khas pembakar semangat Allahu Akbar. Lamongan yang dulunya daerah miskin dan langganan banjir, berangsur-angsur bangkit menjadi daerah makmur dan menjadi rujukan daerah lain dalam pengentasan banjir.
Dulu ada pameo “ Wong Lamongan nek rendeng gak iso ndodok, nek ketigo gak iso cewok “ tapi kini diatasi dengan semboyan dari Sunan Drajat, Derajate para Sunan dan Kyai, Memayu Raharjaning Praja yang benar-benar dilakukan dengan perubahan mendasar, dalam memsejahterahkan rakyatnya masih memegang budaya kebersamaan saling membantu sesuai pesan kanjeng Sunan Drajat Menehono mangan marang wong kangluwe, menehono paying marang wong kang kudanan, menehono teken marang wong kang wutho, menehono busaono marang wong kang wudho.
Yang menonjol selama ini menjadi Ikon Wisata Bahari Lamongan (Lamongan Ocean Tourism Ressort), Lamongan Integrated Sharebased, Proyek Pelabuhan Rakyat, dan Proyek Lapangan Terbang dan Eksplorasi minyak Balong Wangi Sarirejo, memungkinkan datangnya investasi baik dari dalam negeri maupun investor luar negeri. Dengan tangan dinginnya PKL ditata rapi, Kelancara jalan desa dan pengairan ditata sedemikian rupa, termasuk memberikan Bea siswa bagi siswa dan mahasiswa berprestasi yang ekonominya kurang beruntung, dan nantinya jika telah menyelesaikan studynya bisa kembali dan menyumbangkan pikiran dan kemampuannya demi kemajuan Lamongan.
Masyarakat Madani Desa Balun adalah sebuah desa yang terletak di Lamongan bagian tengah yaitu tepatnya Kecamatan Turi dan hanya mempunyai jarak 4 kilometer dari kota Lamongan. Desa Balun merupakan daerah yang terletak di dataran rendah yang banyak terdapat tambak dan bonorowo sehingga masuk daerah yang rawan banjir seperti umumnya daerah lain di kabupaten Lamongan. Desa Balun juga di belah oleh sebuah sungai yang bermuara di bengawan Solo. Sejarah singkat Desa Balun
Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk tentang penyebaran Islam oleh para santri murid Walisongo dan masih terkait dengan sejarah hari jadi Kota Lamongan.
Di mana kata Balun berasal dari nama Mbah Alun seorang tokoh yang mengabdi dan berperan besar terhadap terbentuknya desa Balun sejak tahun 1600-an. Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau MBAH SIN ARIH sebenarnya adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I lahir di Lamajang Tahun 1574.
Dia merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya). Mbah Alun belajar mengaji dibawah asuhan sunan Giri IV (Sunan Prapen).
Selesai mengaji beliau kembali ketempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan.
Selama pemerintahannya (tahun 1633-1639) Blambangan mendapatkan serangan dari Mataram dan Belanda hingga kedaton Blambangan hancur. Saat itu Sunan tawang Alun melarikan diri ke arah barat menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yaitu Ki Lanang Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari ( kini menjadi desa Balun) untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Disinilah Sunan Tawang AlunI mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah. Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja, maka beliau dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf.
Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuatif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain.
Desa tempat makam Mbah Alun ini kemudian disebut Desa Mbah Alun dan kini Menjadi Desa Balun, Kecamatan Turi. Dan makamnya sampai sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang dari daerah lain, apalagi bila hari Jum’at kliwon banyak sekali rombongan-rombongan peziarah yang datang ke Desa Balun. Adapun kaitannya dengan adanya keanekaragaman agama yaitu agama Islam, kristen dan Hindu berawal ketika tahun 1960-an. Akibatnya terjadi kekosongan kepala desa dan perangkatnya. Maka untuk menjaga dan menjalankan pemerintahan desa ditunjuklah seorang prajurit untuk menjadi pejabat sementara di desa Balun.
Karena sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Balun maka penetrasi agama lain tidak menimbulkan gejolak.