DEWATA CENGKER
Dewata Cengkar atau (lebih dikenal dengan nama Prabu Dewata Cengkar) adalah seorang raja dari Medang Kamulan dalam legenda Aji Saka. Dewata Cengkar kono adalah makhluk dari bangsa denawa (raksasa) yang biadab, penindas, dan gemar memangsa manusia. Ia raja raksasa yang lalim yang punya kebiasaan memakan manusia dan rakyatnya.
Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bijaksana bernama Aji Saka yang berniat melawan kelaliman Prabu Dewata Cengkar.
Setelah tiba di Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman tempat ibu kota Kerajaan Medang Kamulan. Ia kemudian menantang Dewata Kamajaya bertarung. Setelah pertarungan yang sengit, Aji Saka akhirnya berhasil mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut Selatan (Samudra Hindia). Akan tetapi Dewata Cengkar belum mati, ia berubah wujud menjadi Bajul Putih (Buaya Putih). Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja Medang Kamulan.
LEGENDA AJISAKA
Legenda Aji Saka merupakan cerita pendek nusantara yang sangat populer dan berasal dari Jawa Tengah.
Daerah Jawa Tengah memiliki banyak sekali kumpulan cerita pendek anak beberapa diantaranya terangkum dalam posting kami sebelumnya yaitu cerita rakyat indonesia dan cerita rakyat nusantara. Kisah Aji Saka sangat terkenal di Nusantara, bahkan kisah ini sering dihubungkan dengan asal muasal tulisan Caraka.
Tersebutlah seorang pemuda sakti yang tinggal di desa Medang Kawit. Aji Saka namanya. Ia mempunyai dua pembantu yang sangat setia. Dora dan Sembada nama keduanya.
Suatu hari Aji Saka berniat ke wilayah Medang Kamulan. Ia mendengar perilaku Raja Medang Kamulan yang bernama Prabu Dewata Cengkar yang sangat jahat. Prabu Dewata Cengkar gemar memangsa manusia.
Setiap hari ia harus makan daging manusia. Patih Medang Kamulan yang bernama Jugul Muda harus sibuk mencari manusia untuk dipersembahkan kepada rajanya yang sangat kejam itu. Rakyat Medang Kamulan sangat ketakutan dan mereka memilih untuk mengungsi dari Medang Kamulan dibandingkan harus menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berniat menghentikan kekejaman penguasa kerajaan Medang Kamulan yang gemar memakan manusia itu untuk selama-Iamanya.
Dalam perjalanan menuju kerajaan Medang Kamulan, Aji Saka dan dua pembantunya tiba di daerah pegunungan Kendeng. Aji Saka meminta Sembada untuk tinggal di daerah itu dan menyerahkan keris saktinya. Katanya, "Kutitipkan keris sakti pusakaku ini kepadamu. Sekali-kali jangan engkau serahkan keris sakti pusakaku ini kepada siapa pun kecuali hanya kepadaku saja! Aku sendiri yang akan datang mengambil keris pusakaku ini.” Sembada mengiyakan pesan Aji Saka.
Aji Saka bersama Dora melanjutkan perjalanan. Di sebuah tempat, Aji Saka meminta Dora untuk tinggal karena ia akan ke kerajaan Medang Kamulan seorang diri.
Syandan, Aji Saka bertemu dengan Patih Jugul Muda yang tampak kebingungan karena tidak mendapatkan seorang manusia pun yang dapat dipersembahkan untuk Prabu Dewata Cengkar. "Jika itu yang menjadi kebingunganmu, serahkan aku kepada rajamu, wahai Patih Jugul Muda," kata Aji Saka.
Patih Jugul Muda sangat keheranan mendengar ucapan Aji Saka. Jika orang lain akan lari terbirit-birit jika hendak dijadikan korban guna memuaskan nafsu Prabu Dewata Cengkar itu, Aji Saka malah menawarkan dirinya!
Patih Jugul Muda lantas membawa Aji Saka ke istana kerajaan Medang Kamulan. Berbeda dengan orang-orang lainnya yang sangat ketakutan ketika dihadapkan pada Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka tampak tenang. Sama sekali ia tidak menunjukkan ketakutan.
Katanya di hadapan Raja Medang Kamulan yang sangat kejam itu, "Sebelum hamba Paduka makan, perkenankan hamba mengajukan satu syarat terlebih dahulu."
"Syarat?" Prabu Dewata Cengkar melototkan kedua bola matanya, "Syarat apa yang engkau kehendaki?"
"Hamba meminta imbalan tanah seluas surban yang hamba kenakan ini," jawab Aji Saka.
Tak terkirakan gembiranya hati Prabu Dewata Cengkar mendengar syarat yang diajukan Aji Saka. Syarat yang sangat mudah menurutnya. Hanya dengan memberikan imbalan tanah seluas surban yang dikenakan Aji Saka ia telah dapat memangsa Aji Saka. Maka katanya kemudian dengan wajah berseri-seri, "Aku akan penuhi permintaanmu! Lekas engkau buka surbanmu itu dan gelarlah. Aku telah sangat lapar!"
Aji Saka membuka surbannya dan mulai menggelarnya. Sangat mengherankan, surban itu ternyata sangat panjang. Surban seolah-olah tidak putus-putusnya digelar hingga wilayah Kerajaan Medang Kamulan pun kurang panjang. Surban bagai terus memanjang hingga membentang dari istana kerajaan menjangkau wilayah gunung, sungai, hutan, dan bahkan hingga ke Iembah- lembah. Semua tidak menyangka jika surban yang dikenakan Aji Saka itu begitu panjang lagi luas. Begitu pula dengan Prabu Dewata Cengkar tidak menyangkanya.
Sesuai perjanjian yang telah disepakati Prabu Dewata Cengkar yang akan menyerahkan tanah seluas surban yang dikenakan Aji Saka, itu berarti wilayah kekuasaan Prabu Dewata Cengkar diserahkan kepada Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar pun sangat murka. Ia langsung menangkap Aji Saka untuk dimangsanya.
Namun, Aji Saka bukan pemuda sembarangan. Ia bisa menghindari serangan tiba-tiba Prabu Dewata Cengkar itu. Sebaliknya, Prabu Dewata Cengkar tidak berdaya ketika terlilit surban Aji Saka. Meski telah meronta-ronta sekuat tenaga, Prabu Dewata Cengkar tidak dapat melepaskan diri dari lilitan surban. Semakin keras ia berusaha melepaskan diri, semakin kuat ia terbelit surban Aji Saka. Dengan kesaktiannya, Aji Saka mampu melemparkan tubuh Prabu Dewata Cengkar ke Laut Selatan. Seketika itu Raja Medang Kamulan yang gemar memakan daging manusia itu menemui kematiannya.
Tak terkirakan kegembiraan rakyat Medang Kamulan setelah mendengar kematian Prabu Dewata Cengkar. Berbondong-bondong mereka kembali ke desa mereka masing-masing. Segenap rakyat pun akhirnya sepakat menunjuk Aji Saka sebagai pemimpin mereka. Maka, Aji Saka lantas bertakhta sebagai Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar. Kian gembira dan berbahagia rakyat Medang Kamulan mendapati Aji Saka memerintah dengan adil dan bijaksana.
Pada suatu hari Aji Saka teringat pada keris sakti pusakanya yang masih ditinggalkannya di pegunungan Kendeng yang dijaga Sembada. Ia lantas memerintahkan Dora untuk mengambil keris pusakanya itu.
Berangkatlah Doa memenuhi perintah Aji Saka. Bertemulah ia dengan sahabat dekatnya yang masih tetap setia berada di pegunungan Kendeng. Setelah berbincang-bincang melepas kerinduan, Dora menyatakan maksud kedatangannya. "Aku diutus junjungan kita untuk mengambil keris pusaka yang dititipkannya kepadamu."
Sembada sama sekali tidak curiga mendengar ucapan Dora. Namun, ia tidak bisa menyerahkan keris pusaka milik Aji Saka itu kepada sahabat dekatnya itu. "Untuk engkau ketahui wahai Dora sahabatku, junjungan kita pernah berpesan kepadaku untuk tidak sekali-kali menyerahkan keris pusaka itu kepada siapa pun juga! Aku dipesannya untuk hanya menyerahkan keris pusaka itu kepadanya saja. Junjungan kita itu juga telah berjanji kepadaku untuk mengambiL keris pusakanya sendiri."
"Sembada sahabatku, apakah engkau mencurigai aku? Demi Sang Hyang Dewata Agung, aku sungguh-sungguh menjalankan perintah junjungan kita!" ujar Dora untuk meyakinkan.
Namun, tetap juga Sembada tidak berkenan memberikan keris pusaka milik Aji Saka itu. Ia tetap bersikeras hanya akan menyerahkan keris pusaka itu kepada Aji Saka sesuai amanat yang diterimanya. Sementara Dora juga tetap bersikeras untuk meminta keris pusaka Aji Saka sesuai perintah yang diterimanya. Keduanya saling bersikeras hingga akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Perselisihan itu terus meruncing hingga akhirnya terjadilah pertarungan di antara dua sahabat dekat itu.
Aji Saka terus menunggu di istana Kerajaan Medang Kamulan. Benar-benar heran ia karena Dora yang diutusnya belum juga kembali. Menurutnya, Dora seharusnya telah kembali. Karena keheranan dan penasarannya, Aji Saka pun bergegas menuju pegunungan Kendeng.
Tak terkirakan terperanjatnya Aji Saka ketika tiba di pegunungan Kendenga. Ia mendapati dua pembantu setianya itu telah tewas karena pusaka masing-masing. Mengertilah Aji Saka jika kedua pembantu setianya itu telah bertarung demi menjaga amanat yang diberikannya. Sembada akan mati-matian menjaga amanatnya untuk tidak memberikan keris pusaka titipannya kepada siapa pun selain kepada dirinya sendiri, sementara Dora akan mati-matian pula meminta keris pusaka itu sesuai perintahnya.
Aji Saka sangat merasa bersalah atas tewasnya dua pembantu setianya itu. Benar- benar ia terharu dan memberikan kehormatan besarnya terhadap Sembada dan Dora yang begitu setia kepadanya. Keduanya rela mati demi menjaga amanat dan perintah yang mereka emban. Sebagai wujud penghormatannya atas kesetiaan dua pembantunya, Aji Saka lantas menuliskan huruf-huruf di atas batu. Bunyi tulisan itu adalah:
ha na ca ra ka datasawala
pa dhaja ya nya ma ga ba tha ngal
(Makna tulisan itu adalah Ada utusan, (utusan itu) saling bertengkar, (keduanya) sama-sama sakti, (keduanya pun) mati bersama.)
Tulisan Aji Saka itu kemudian dikenal dengan nama Carakan dan menjadi asal mula huruf Jawa yang hingga kini masih juga menjadi tulisan dan juga bacaan orang-orang Jawa.
AJI SAKA DAN DEWATA CENGKAR
Pada zaman dahulu ada seorang satria dari tanah seberang datang ke kerajaan Medangkamulan. Selain tampan, Ajisaka juga baik hati, sakti, dan berilmu tinggi. Di kerajaan Medangkamulan ia tinggal di dusun Dadapan. Saat itu, Medangkamulan diperintah oleh Prabu Dewata Cengkar. Tubuhnya gemuk besar seperti raksasa. Ia mempunyai taring yang cukup panjang. Prabu Dewata Cengkar juga dikenal sebagai raja yang kuat dan sakti.
Itulah sebabnya, semua rakyat dan prajurit kerajaannya takut kepadanya. Wilayah Medangkamulan adalah daerah yang subur. Kerajaan ini terletak di dekat Sungai Brantas. Apa saja bisa tumbuh. Hasil pertaniannya melimpah. Rakyatnya hidup berkecukupan. Sayang seribu sayang, Prabu Dewata Cengkar mempunyai kesukaan yang merugikan rakyatnya. Karena tubuhnya yang besar, Prabu Dewata Cengkar suka makan enak. Setiap makan tidak pernah sedikit. Tidak hanya itu, setiap bulan purnama ia suka makan daging.
Daging itu adalah daging manusia. Orang yang dimakan adalah perjaka yang masih muda dan sehat. Dengan kebiasaan rajanya ini, setiap menjelang bulan purnama, penduduk Medangkamulan menjadi takut. Perjaka yang masih muda dan sehat tidak berani keluar rumah. Atas perintah rajanya, prajurit istana terpaksa mencarikan korban untuk persembahan rajanya. Mereka masuk kampung keluar kampung untuk mencari pemuda yang sehat. Karena takut menjadi korban, banyak penduduk Medangkamulan yang melarikan diri.
Penduduk di Medangkamulan semakin hari semakin sedikit. Setiap menjelang bulan purnama, prajurit Medangkamulan tidak hanya mencari pemuda di kerajaan sendiri, bahkan mereka juga mencari ke luar daerah. Berita ini akhirnya terdengar sampai ke dusun Dadapan. Pada saat Ajisaka berjalan-jalan, ia bertemu dengan seorang pemuda yang lari tunggang langgang.
“Ada apa Kisanak?” begitu tanya Ajisaka kepada pemuda yang wajahnya basah oleh peluh.
“Tolonglah hamba, Tuan” jawab pemuda itu terbata-bata.
“Apa yang bisa saya tolong?” ungkap Ajisaka yang baik hati itu sambil memegang bahu pemuda itu untuk mencoba menenangkannya.
“Hamba dikejar-kejar prajurit kerajaan Medangkamulan”
“Mengapa sampai Kisanak dikejar-kejar?” tanya Ajisaka dengan herannya.
Akhirnya, pemuda itu menceritakan perihal rajanya yang suka makan daging orang setiap bulan purnama.
Mendengar cerita pemuda itu, wajah Ajisaka tampak mengeras. Rupanya ia mencoba menahan amarahnya. Beberapa saat ia diam. Ia mencoba untuk berpikir keras mencari akal.
“Kalau begitu, antarkan aku ke rajamu”
“Hamba tidak berani, Tuan. Nanti hamba akan ditangkap dan dijadikan korban”
“Jangan khawatir, aku nanti yang akan menghadapi rajamu”
Karena ia percaya bahwa Ajisaka tulus akan membantunya, pemuda itu akhirnya menuruti permintaan Ajisaka.
Dengan ditunjukkan pemuda itu, akhirnya Ajisaka menghadap ke Prabu Dewata Cengkar. Melihat Ajisaka yang masih muda dan gagah menghadap kepadanya, Prabu Dewata Cengkar menjadi gembira. Matanya jadi berbinar-binar. Tanpa terasa ia menelan ludah berkali-kali, membayangkan lezatnya daging Ajisaka.
“Izinkan hamba mengaturkan hormat hamba ke hadapan Paduka” ungkap Ajisaka dengan sikap hormat setelah ia bersila di hadapan Prabu Dewata Cengkar.
“Ya, ya, aku terima sembah hormatmu. Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Prabu Dewata Cengkar sambil tertawa keras.
“Hamba Ajisaka. Hamba dari tanah seberang. Sekarang hamba tinggal di dusun Dadapan” jawab Ajisaka
“Ada perlu apa anak tampan?” tanya Dewata Cengkar dengan sorot matanya yang tidak berkedip memandang Ajisaka.
“Hamba hanya memohon kepada Paduka. Mulai sekarang, Janganlah Paduka mengejar-ngejar pemuda untuk dijadikan santapan setiap bulan purnama. Sebagai gantinya, hamba bersedia menjadi santapan Paduka, tetapi hamba mohon satu syarat.”
Prabu Dewata Cengkar yang semula hendak marah atas keberanian Ajisaka, berganti gembira. Bayangan tentang kelezatan daging Ajisaka sekarang mulai menari-nari di hadapannya.
“Apa yang kamu minta Ajisaka?”
“Sebagai gantinya, hamba minta sebidang tanah seluas ikat kepala hamba di sebelah selatan kerajaan Paduka. Hamba mohon, yang mengukur tanah itu adalah Paduka sendiri,” ujar Ajisaka sambil menunjuk ikat kepalanya yang berwarna putih bersih itu.
Mendengar permintaan Ajisaka, Prabu Dewata Cengkar tertawa terbahak-bahak.
“Hanya itu? Hanya itu? Baik, akan aku turuti” sahut Dewata Cengkar sambil membelalakkan matanya seakan-akan tidak percaya pada permintaan Ajisaka.
Dengan disaksikan oleh seluruh prajurit kerajaan dan rakyat Medangkamulan, Ajisaka dan Prabu Dewata Cengkar mengukur tanah. Ajisaka segera melepas ikat kepalanya. Dua ujung ikat kepalanya dipakukan ke bumi, sedangkan dua ujung lainnya dipegang oleh Prabu Dewata Cengkar.
Mula-mula Prabu Dewata Cengkar merentangkan ikat kepala Ajisaka. Terjadi keajaiban. Ikat kepala itu semakin lebar. Prabu Dewata Cengkar akhirnya bergerak mundur untuk merentang ikat kepala itu. Setelah direntangkan, ternyata ikat kepala itu semakin lama semakin lebar. Semakin direntangkan, ikat kepala itu semakin lebar, hingga menutupi daerah selatan kerajaan Medangkamulan. Tanpa terasa, perjalanan Prabu Dewata Cengkar merentang ikat kepala Ajisaka hingga mencapai pantai selatan.
Setelah mencapai bibir pantai, sadarlah Prabu Dewata Cengkar betapa luasnya tanah yang akan diberikan kepada Ajisaka. Belum sampai ia berkata apa-apa, Ajisaka segera mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut. Tubuh Prabu Dewata Cengkar yang besar itu terlempar jauh ke tengah laut. Begitu kerasnya dorongan Ajisaka, jatuhnya tubuh Prabu Dewata Cengkar ke laut menimbulkan suara gelegar.
Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi. Ternyata suasana itu tidak berlangsung lama, tiba-tiba muncul ombak yang cukup besar. Bersama dengan itu muncul buaya putih. Rupanya, Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. Buaya itu tampak meronta-ronta. Prabu Dewata Cengkar yang biasa hidup di darat, kelabakan hidup di laut. Rakyat yang selama ini takut dengan Prabu Dewata Cengkar menyambut peristiwa ini dengan suka cita. Mereka segera menyambut Ajisaka. Mereka meminta agar Ajisaka menjadi raja mereka.
Ajisaka pun tidak bisa menolak. Akhirnya, ia menggantikan Prabu Dewata Cengkar menjadi raja di Medangkamulan. Esoknya, penduduk mendapati ada buaya putih yang mati di pinggir pantai. Sampai sekarang, daerah itu disebut Pantai Bajul Mati (Pantai Buaya Mati).
AJISAKA CERITA RAKYAT JAWA TENGAH
Menurut cerita rakyat daerah Jawa Tengah, Aji Saka adalah seorang pemuda tampan lagi sakti pembela rakyat jelata dari kekejaman Raja Dewata Cengkar nan bengis.
Alkisah di Jawa Tengah ada sebuah kerajaan bernama Medang Kemulan.
Kerajaan Medang Kemulan dipimpin seorang raja bernama Dewata Cengkar.
Raja Dewata Cengkar dikenal sebagai raja kejam. Ia juga gemar memakan daging manusia.
Setiap hari sang raja kejam memerintahkan patihnya yang bernama Jugul Muda mencari manusia untuk ia dimakan.
Rakyat sangat takut terhadap Raja Dewata Cengkar.
Mereka akan langsung lari bersembunyi jika bertemu Patih Jugul Muda.
Alkisah, hidup seorang pemuda bernama Aji Saka tinggal di sebuah desa bernama Medang Kawit.
Sehari-hari ia ditemani oleh pengawalnya, Dora & Sembada.
Berita kekejaman Raja Dewata Cengkar telah sampai ke telinganya.
Ia berencana akan pergi ke Medang Kemulan untuk membantu rakyat jelata.
Maka berangkatlah sang pemuda sakti ke Kerajaan Medang Kemulan, ditemani oleh dua pengawalnya, Dora & Sembada.
Ketika sampai di Pegunungan Kendeng, Aji Saka menyuruh salah satu pengawalnya, Sembada, untuk tinggal disana sembari menjaga keris pusakanya.
“Sembada, kau tinggalah disini menjaga keris pusakaku. Jangan serahkan keris tersebut pada siapapun. Nanti aku akan mengambil keris tersebut. Aku beserta Dora akan melanjutkan perjalanan ke Medang Kemulan.” ia berkata pada Sembada.
“Baik, aku akan menjaga keris milik paduka. Aku berjanji tak akan menyerahkannya kepada siapapun selain paduka.” jawab Sembada.
AJISAKA MEMBUNUH DEWATA CENGKAR
Saat melanjutkan perjalanan bersama Dora, tanpa sengaja mereka bertemu Patih Jugul Muda.
Mereka berdua melihat Patih Jugul Muda nampak tengah kebingungan.
Rupanya si patih belum berhasil mendapatkan manusia untuk diserahkan pada Raja Dewata Cengkar.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Aji Saka kemudian menawarkan dirinya untuk diserahkan pada Raja Dewata Cengkar.
Mendengar permintaan itu, Jugul Muda kegirangan.
Mereka segera berangkat ke istana Medang Kemulan.
Sesampainya di istana mereka segera menghadap Dewata Cengkar.
Aji Saka meminta sebuah permohonan sebelum Raja memakannya.
Yaitu, ia meminta agar Raja Dewata Cengkar memberinya tanah seluas sorbannya.
Raja bengis langsung menyetujuinya.
“Apa permintaannmu sebelum aku mangsa?” tanya Dewata Cengkar sambil tertawa terbahak-bahak.
“Yang Mulia, aku hanya meminta tanah seluas sorbanku.” jawab Aji Saka.
Dewata Cengkar langsung menyanggupinya.
Segera saja Aji Saka menggelar surbannya.
Anehnya. Surban miliknya terus meluas dan meluas hingga menutupi seluruh Medang Kemulan.
Dewata Cengkar sangat marah karena merasa telah ditantang.
“Kurang ajar kau anak muda! Ternyata kau ingin menantangku.”
Raja Dewata Cengkar segera menyerangnya.
Namun surban yang sudah meluas, menutupi tubuh Dewata Cengkar dan menggulungnya hingga hilang di pantai selatan yang berombak besar.
Dewata Cengkar pun tewas seketika.
Kabar kematian Raja bengis Dewata Cengkar tersebar luas.
Seluruh rakyat Medang Kemulan sangat bergembira.
Rakyat Medang Kemulan kemudian mengangkat Aji Saka menjadi Raja.
Aji Saka kini memerintah Kerajaan Medang Kemulan dengan arif bijaksana.
PERANG DORA DAN SEMBADA
Setelah menjadi raja, Aji Saka kemudian teringat kerisnya yang ia titipkan pada Sembada di Pegunungan Kendeng.
Ia kemudian menyuruh pengawalnya Dora untuk mengambil keris pusakanya yang dipegang Dora.
Dora segera pergi ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil keris pusaka milik Raja.
Sesampainya di Pegunungan Kendeng, Dora bertemu Sembada.
Mereka berdua saling melepas rindu.
Dora menceritakan bahwa Aji Saka telah menjadi raja Medang Kemulan.
Sembada merasa senang mendengarnya.
Dora kemudian mengatakan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk mengambil keris pusaka milik tuan mereka.
Tapi Sembada menolaknya karena Aji Saka berpesan bahwa yang boleh mengambil keris pusaka adalah beliau sendiri.
Mereka berdua akhirnya berkelahi memperebutkan keris pusaka.
Pertarungan berlangsung sengit karena keduanya sama-sama sakti mandraguna.
Akhirnya mereka berdua meninggal karena bertarung.
Di Medang Kemulan, Raja Aji Saka gelisah menunggu kedatangan Dora.
Ia teringat pernah berpesan pada Sembada agar tidak menyerahkan keris pusakanya pada siapapun kecuali pada dirinya.
Karena kuatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Aji Saka segera menyusul ke Pegunungan Kendeng.
Namun terlambat, sesampainya disana, ia menemukan dua jasad pengawalnya, Dora dan Sembada, terbujur kaku.
Aji Saka merasa bersalah dan sangat sedih.
Untuk menghormati kesetiaan kedua pegawalnya, ia kemudian menciptakan aksara jawa yang menceritakan kesetiaan dan pertarungan dua pengawalnya.