KIDUNG
Kidung adalah suatu bentuk puisi lama, terutama yang berkembang sejak era sastra Jawa periode Tengahan, yaitu dari masa Majapahit akhir. Sebagai puisi lama, bentuknya sangat terikat dengan metrum yang ketat, yang mengatur pola sajak (rima) dalam suatu bait, jumlah suku kata (syllable) dalam satu baris, dan jumlah baris dalam satu bait.
Kidung, merupakan nyanyian yang selalu dilantunkan oleh perseorangan atau kelompok dalam setiap upacara yadnya di pura yang sekarang lebih dikenal dengan Kidung Dewa Yadnya. Kidung ini merupakan puja dan puji tentang kebesaran Tuhan dan segala manifestasinya yang dinyanyikan sesuai dengan rangkaian upacara yadnya.
Dalam perkembangannya, khususnya di Bali, pembacaan kidung juga melibatkan instrumen musik sehingga masuk pula unsur lagu/nada untuk suatu pola bait. Aturan semacam ini juga dikenal dalam bentuk puisi lama lain dalam sastra Jawa, seperti kakawin dan macapat. Kidung juga dapat diartikan sebagai pola metrum.
Secara leksikal, kata kidung berasal dari bahasa Jawa Pertengahan dan mempunyai padanan dengan tembang atau sekar, bermakna nyanyian dalam bahasa Jawa baru. Bentuk verba kidung dalam bahasa Jawa Tengahan menjadi mangidung, bernyanyi. Bahasa Jawa Baru juga mengenal istilah kidung yang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kidung dalam bahasa Jawa Tengahan, dan bentuk verbanya menjadi ngidung atau angidung. Makna ini kemudian sering dipakai dalam penggunaan istilah kidung sebagai nyanyian pujian atau religius dalam bahasa Jawa moderen maupun bahasa Indonesia.
Perbedaan kidung dari kakawin yang paling jelas adalah penggunaan bahasanya. Kakawin menggunakan bahasa Jawa Kuna, sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Perbedaan lain yang juga tampak dalam absennya guru laghu (aturan nada) pada kidung, yang pada kakawin menjadi salah satu aturan yang baku.
Perbedaan metrik tentu saja juga menjadi penciri penting dari kedua bentuk puisi tersebut.
Kidung dipakai untuk menyajikan cerita maupun bacaan ritual, khususnya dalam tradisi Hindu Bali. Cerita-cerita rakyat warisan dari periode Jawa pra-Islam banyak diabadikan dalam bentuk kidung, seperti cerita-cerita Panji (misalnya dalam Kidung Malat, Kidung Wangbang Wideya, dan Kidung Waseng) atau cerita-cerita lain sezaman, seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Sunda, Kidung Sorandaka, dan Kidung Ranggalawe.
Ada pula kidung yang mengolah cerita binatang sebagaimana tertuang dalam Tantri Kamandaka (misalnya dalam Kidung Tantri Pisacaharana dan Kidung Tantri Manduka Prakarana). Zoetmulder pernah menuliskan, dalam tradisi sastra Jawa periode Tengahan, bentuk sastra kakawin tidak pernah dipakai untuk menyajikan cerita-cerita lokal; sebaliknya kidung dipakai untuk cerita-cerita lokal, meskipun ada kidung yang dipakai untuk menceritakan kisah-kisah sempalan/kembangan/carangan dari Mahabharata, seperti Kidung Dewaruci, Kidung Korawasrama, Kidung Sudamala, dan Kidung Sri Tanjung.
DEFINISI KIDUNG
Defenisi kidung, ada 2 ahli yang memberikan sumbangsih pendapat. Agastia (1994 : 8) menyatakan, kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu dalam tiap baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai bunyi tertentu (misalnya bunyi a, i, u). Sekalipun kidung adalah kata Jawa asli, tapi isinya banyak mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. sastra kidung mempunyai kaitan erat dengan musik Bali, serta berfungsi dalam kaitan upacara agama. Di lain sisi, Bandem (1983 : 31) menyatakan bahwa kidung adalah jenis puisi yang menggunakan metric dan bahasa Jawa Tengahan, yang biasa digunakan dalam lontar-lontar cerita Panji atau Malatdi Jawa. Namun dalam perkembangannya setelah masuk ke Bali, kidung sering dimainkan bersama dengan Istrumen dan lagu-lagu pokok kidung ditulis dalam lontar Tabuh-tabuh Gambang. Kidung mempergunakan laras pelog 7 yang memakai 5 nada pokok dan 2 nada pemero. Hanya dalam kidung di Bali terdapat modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah dan amat banyak dipergunakannya nada pemero.
Secara lebih spesifik, kidung di Bali memiliki bagian-bagian sebagai berikut :
Pangawit yaitu Pembuka
Pamawak yaitu bagian yang pendekPanama yaitu bagian yang panjangPangawak yaitu bagian utama dari kidung
Dalam perkembangan selanjutnya, kidung diklasifikasikan masuk ke dalam sub ruang lingkup sekar madya serta berada dalam lingkupan luas yaitu DharmagitaPengklasifikasian ini tiada lain bertujuan untuk memudahkan dalam mempelajarinya berdasarkan beberapa persamaan maupun perbedaan dengan nyanyian yang lainnya. . Pengklasifikasian ini didasarkan pada kelompok umur maupun sulit ataupun tidaknya nyanyian itu dibuat berdasarkan ketentuan tertentu. Misalnya, sekar rare, nyanyian yang diperuntukakan untuk anak kecil/balita (rare). Sekar alit, nyanyian yang diperuntukan untuk anak kecil (6-12 tahun). Sekar Agung, nyanyian yang menggunakan aturan tertentu seperti wreta dan matra, guru dan laghu serta menggunakan pemahaman yang lebih ketika kita ingin memahami maksud dari bahasan yang ada dalam nyanyian tersebut (sekar agung), karena besar dan sulitnya itulah mengapa adalah istilah agung yang melekat pada jenis nyanyian ini. Secara garis besar semua nyanyian di Bali diklasifikasikan ke dalam Dharmagita
SEJARAH KIDUNG
Karya sastra lahir dari proses kreatif seorang pengarang, disamping proses imajinatifnya. Dalam kaitan dengan hal ini amat menarik mengapa seorang pengarang disebut sebagai sang kawi, sang pencipta. Istilah kreatifitas sendiri berasal dari bahasa Inggris to create yang dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah mencipta yang berarti mengarang atau membuat sesuatu yang berbeda bentuk, susunan atau gayanya daripada yang lazim dikenal oleh orang banyak. Proses kreatif seorang kawiatau para kawi yang telah melahirkan karya-karya sastra termasuk juga nyanyian ketuhanan yaitu kidung.
Apabila kita ingin melacak asal mula kidung yang ada di Bali mau tidak mau kita harus menoleh ke sastra Jawa Kuna. Karena sastra Jawa Kuna merupakan asal mula sastra yang ada di Bali. Prof. Dr. Poerbatjaraka dalam Agastia (1994 : 24) menyatakan, Pulau Bali adalah peti tempat menyimpan perbendaharaan sastra dan budaya lama. Yang dimaksudkan budaya lama oleh beliau adalah sastra-sastra Jawa Kuna. Sastra-sastra Jawa Kuna itu memiliki kepustakaan dalam jumlah yang banyak dan beraneka, memiliki nilai yang sangat kaya dan indah termasuk kidung di dalamnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Zoetmulder dalam Agastia (1994 : 24) berdasarkan penelitiannya berasumsi bahwa sekitaran pertengahan abad ke-14 Bali masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu Jawa seperti terasa lewat berbagai pusat kebudayaan dan religi. Sehingga sebagai suatu konsekuensi, bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu Jawa. Bahwa di pusat-pusat kebudayaan dan keagamaan itu, bahasa Jawa hampir tidak dituturkan dan ditulis. Sastra Jawa tidak hanya dimaklumi dan dipelajari tetapi juga ditiru dan dikembangkan. Karya-karya baru yang ditulis yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan. Maka kesusastraan Bali, termasuk kidung di dalamnya tidak dapat memisahkan sejarahnya dengan sejarah kasusastraan Jawa Kuna.
Agastia dalam bukunya yang berjudul Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar) menyatakan, apabila kita ingin melacak dan memeriksa sastra kidung, maka pertama-tama kita dikesankan oleh banyaknya cerita-cerita Panji yang sangat kental di dalamnya. Adalah kidung Malat sebagai kidung terbesar dalam khasanah sastra kidungmemang mengolah cerita Panji sebagai bahan ceritanya, di samping kidung-kidung lainnya yaitu Wangbang Wideya, Waseng dan yang lain. Di lain pihak ada kidung–kidung historis yang cukup banyak dikenal seperti kidung Harsawijaya, kidung Sunda, kidungSorandaka, kidung Ranggalawe, ada pula kidung yang mengolah cerita binatang sebagaimana tertuang dalam Tantri Kamandaka menjadi kidung Tantri Pisacaharana dan kidung Tantri Manduka Prakarana.
Prof. Zoetmulder sebagaimana dikutip oleh Agastia (1994 : 39) pernah menyatakan bahwa bentuk kakawin dan bahasa Jawa Kuna merupakan saluran tradisional bagi kisah-kisah yang berpangkal pada epos-epos India, tetapi bentuk kidung dan bahasa Jawa Tengahan secara eksklusif dipakai untuk menyajikan kisah-kisah Panji. Tidak ada satu kakawin pun menampilkan kisah Panji, sedangkan disisi lain kidung–kidung yang menyajikan sebuah tema India, jarang sekali didapat. Walaupun demikian kita masih dapat membaca kidung Sudamala dan Kidung Sri Tanjung, dua buah kidung kerakyatan yang cerita aslinya murni berasal dari Jawa namun dewa-dewa dari mitologi India dan tokoh-tokoh Mahabrata muncul di dalamnya.
Yang lebih penting untuk dicatat di sini adalah kehadiran kisah perjalanan Bhima untuk mencari tirtha pawitra atas perintah guru Drona, sebuah kisah yang masih sangat populer di Jawa dewasa ini, ternyata kita dapati dalam bentuk kidung berjudul Dewaruci atauNawaruci. Kidung ini memang lebih bersifat penuangan ajaran-ajaran kerohanian khususnya pengetahuan esoteris ke dalam kerangka naratif dengan mengambil bentuk kidung. Masih ada yang lain yang perlu di catat adalah kidung Korawasrama, sebuah karya yang mengungkap hidupnya kembali kaum Korawa serta pelaksanaan tapanya. Dalam kidung ini, Korawa bermaksud membalas dendam terhadap Pandawa, namun Pandawa tidak berhasil ditewaskan olehnya karena mereka menegakkan kebenaran itu senantiasa dilindungi oleh para dewa.
JENIS-JENIS KIDUNG
Kidung memang tidak bisa dilepaskan dari ritual yadnya, setiap upacara yadnyatertentu pasti menggunakan gegendingan (kidung) tertentu pula. Wayan Budi Gautama dalam bukunya yang berjudul Kidung Panca Yadnya, mengaitkan jenis-jenis kidungdengan prosesi yadnya yang ada di Bali. Jenis-jenis kidung menurut Wayan Budi Gautama adalah sebagai berikut :
Kidung Dewa Yadnya digunakan ketika upacara Dewa YadnyaKidung Rsi Yadnya digunakan ketika upacara Rsi Yadnya
Kidung Manusa Yadnya digunakan ketika upacara Manusa Yadnya
Kidung Pitra Yadnya digunakan ketika upacara Pitra Yadnya
Kidung Bhuta Yadnya digunakan ketika upacara Bhuta Yadnya1
Contoh wirama kidung berkaitan dengan Panca Yadnya :
Pada upacara DewaYadnya di tembangkan kidung :
1. Di saat memuja Ida Bhatara : Kawitan Wargasari atau Wargasari.
2. Di saat sembahyang menggunakan bunga (muspa): Mredu Komala atau Totaka.
3. Di saat memohon tirta ( nunas tirta) : Wargasari.
4. Di saat penutupan upacara (nyineb) : Warga Sirang.
Pada upacara Rsi Yadnya ditembangkan kidung :
1. Upacara Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara Sangupati atau Palu Gangsa.
2. Upacara Diksa: Rara Wangi.
Pada upacara Manusa Yadnya ditembangkan kidung :
1. Upacara Raja Swala: Demung sawit
2. Upacara Metatah: Kawitan Tantri atau Demung Sawit
3. Upacara Mapetik: Malat Rasmi
4. Upacara Pawiwahan: Tunjung Biru.
Pada upacara Pitra Yadnya ditembangkan kidung :
1. Di saat menurunkan atau memandikan jenazah : Sewana Girisa atau Bala Ugu.
2. Di saat mebawa jenazah ke kuburan (setra) : Indra Wangsa
3. Upacara mengurug kuburan (gegumuk): Adri
4. Upacara Ngeseng sawa: Praharsini
5. Upacara Reka Abu: Aji Kembang
6. Upacara melarung abu ke laut (nganyut) : Sikarini atau Asti
7. Upacara Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.
Pada upacara Bhuta Yadnya ditembangkan: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, atau Swaran Kumbang.
Contoh syair- syair Kidung Dewa Yadnya
1. Kawitan Warga Sari.
Pendahuluan sembahyang
Purwakaning angripta rumning wana ukir.
Kahadang labuh.
Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
Sukania harja winangun winarne sari.
Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng.
2) Pangayat.
Menghaturkan sesajen.
Kidung Warga Sari
Ida Ratu saking luhur.
Kawula nunas lugrane.
Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
Titiang ngaturang pajati.
Canang suci lan daksina.
Sami sampun puput. Pratingkahing saji.
Asep menyan majagau.
Cendana nuhur dewane,
Mangda Ida gelis rawuh.
Mijil saking luhuring langit.
Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
Ancangan sadulur, sami pada ngiring.
Bhatarane saking luhur.
Nggagana diambarane.
Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
Prabhawa kumetug.
Angliwer ring langit.
3. Pamuspan.
Sembahyang, Merdu.
Komala
Ong sembah ning anatha. Tinghalana de Triloka sarana.
Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.
Wyapi-wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita.
Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu.
Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika.
Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.Sasi wimbha haneng: ghata mesi banyu.
Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
Ring angambeki yoga kiteng sakala.Katemun ta mareka sitan katemu.
Kahidepta mareka si tankahidep.
Kawenang ta mareka si tan ka wenang.
Paramartha Siwatwa nira warana.
4. Nunas tirtha.
Mohon tirtha
Turun tirtha saking luhur. nenyiratang pemangkune.
Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati.
Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala.
Sami pada lebur. Malane ring gumi.Rsi Yadnya
1. Wilet Mayura
Sarwi angataging sarwa sinom, sarwi anangis ring luhur, pangrikning sundari ampruang, sriokning cemara angelur, kasangga den luahning warih, sakuehning wong amemaluk, taluktak lan jurang suarania anarung, er talinia kumeroncong, tibet paranganAngrerimang sang ulangun, sang lara angundur guyu, sang karwa lingnia kasmaran, amawas istri kaleson, dadia ta amuwuhing angrawit, sapolahira sangarum, sang kakung lingnia duh yayi, paran den kwang dumung, sakeng larasta.Manusa Yadnya
2. Kawitan Tantri.
Pendahuluan.
1). Wuwusan Bhupati. Ring Patali nagantun.
Subaga wirya siniwi. Kajrihin sang para ratu.
Salwaning jambu warsadi. Prasama hatur kembang tahon.2). Tuhu tan keneng api. Pratapa sang prabu Kesyani ruktyeng sadnyari.
Sawyakti Hyang Hari Wisnu. Nitya ngde ulaping ari.
Sri dhara patra sang katong.Wetning raja wibawa, mas manik penuh.
Makinda yutan ring bahudanda. Sri Narendra, Sri Singapati,
Ujaring Empu Bhagawanta. Ridenira panca-nana.
Bratang penacasyan.
Hatur Hyang Dharma nurageng bhuh.4.
Kadi kreta yuga swapurneng nagantun Kakwehan sang yati.
Sampun saman jayendrya.
Weda Tatwa wit.
Katinen de Sri Narendra.
Nityasa ngruci tutur.
Tan kasareng. wiku apunggung wyara brantadnya ajugul.
3). Demung Sawit (bawak, dawa).
Tuhu atut bhiseka Nrapati. Sri Eswaryadala.
Dala kusuma patra nglung,
Eswarya raja laksmi.
Sang kulahamenuhi rajya.
Kwening bala diwarga.
Mukya sira.Kryana patih
Sang niti Bandeswarya patrarum.
Nityasa angulih- ulih amrih sutrepting nagara,
lan sang paradimantriya.
Tuhu widagda ngelus bhumi.
Susandi tinut rasaning aji,
Kutara manawa.
Mwang sastra sarodrsti.
Matangyan tan hanang baya kewuh.Pirang warsa Sri Nrapati Swaryadala.
Tusta ngering sana.
Kaladiwara hayu.
Sri narapati.
Lagya gugulingan ring taman.
Ring yaca ngurddha angunggul.
Yayamireng tawang.
Tinum pyata tinukir.
Kamala kinanda-kada.
Langu inipacareng santun.Mangamyat kalangenikang nagara.
Tisoba awiyar.
Indra bhuwana nurun,
Kweh tang pakwana titip.
Pada kabhi nawa.
Dening sarwendah linuhung.
Liwar sukanikang wong.
Anamtami kapti.
Arumpuka sari sama angrangsuk bhusana aneka marum.
Pitra Yadnya
1) Nedunang layon pacang nyiramang – Menurunkan Jenazah untuk dimandikan (Cewana – Girisa)
Ata sedengira mantuk sang suralaga ringayun.
Tucapa aji wiratan. Karyasa nagisi weka.
Pinahajongira laywan sang putra mala piniwa.
Pada litu hajenganwam. Lwir kandarpa pina telu.Lalu laranira nasa sambat putranira pejah.
Lakibi sira sumengkem ring putra luru kinusa.
Ginamelira ginanti kang laywan lagi ginugah.
Inutusira masabda kapwa ajara bibi aji.
2) Nyiramang layon – Memandikan Jenazah (Bala – ugu)
Bala ugu dina melah, manuju tanggal sasih.
Pan Brayut panamaya. Asisig adyus akramas.
Sinalinan wastra petak. Mamusti madayang batis.
Sampun puput maprayoga, tan swe ngemasin-mati.Ikang layon ginosongan, ne istri tuhu satya, de pamayun matingkah.
Eteh eteh sang paratra. Toya hening pabresihan.
Misi ganda burat-wangi. Lengise pudak sategal.
Sumar ganda mrbuk arum.Pusuh menuhe uttama. Malem sampun macawisan.
Tekening edon intaran. Bebek wangi lengis kapur.
Monmon mirah windusara. Waja meka panca datu.
Don tuwung sampun masembar. Sikapa kalawan taluh.Buku-buku panyosalasan. Pagamelane salaka.
Kawangene panyelawean. Gegalenge satak-seket.
Sampun puput pabersihan. Winiletang dening kasa.
Tikeh halus wijil jawa. Lante maulat panyalin.
3) Mamarga ka setra – Pergi ke Kuburan (Indra – wangsa)
Mamwit narendratmaja ring tapowana.
Manganjali ryagraning indra parwata.
Tan wis mrti sangka nikang hayun teka.
Swabhawa sang sajana rakwa mangkana.Mangkat dateng toliha rum wulat nira.
Sinambaying camara sangkaring geger.
Panawanging mrak panangisnikungalas.
Erang tininggal masaput-saput hima.Lunghang lengit lampahira ngawe tana.
Lawan Sang Erawana bajranaryama.
Tan warnanen decanikang katungkulan.
Apan leyep muksa sahinganing mulat.
4) Ngeseng Sawa – Memperabukan Jenazah.
Sang atapa sakti bhakti, astiti purwa sangkara.
Yan mati maurip malih. Wisesa sireng bhuwana.
Putih timur abang wetan. Rahina tatas apadang.
Titisning jaya kamantyan. Mapageh ta samadinira.Nghulun angadeg ring natar. Kamajaya cintanya.
Sang atunggu parawean. Mawungu pakarab-karab.
Ilangani dasa-mala, amrtang gangga asuci.
Pamunggal rwaning wandira. Pinaka len prehanira.Yan sampun sira araup. Isinikang kundi manik.
Anut marga kita mulih. Yan sira teka ring umah.
Tutugaken samadinta. Sapangruwat sariranta.
Isenikang pangasepan. Kunda kumutug samiddanya.Wewangen dadi tembaga. Rurube kang dadi emas.
Arenge kang dadi wesi, Awune kang dadi selaka.
Kukuse kang dadi mega. Yeh iku manadi ujan.
Tumiba ring Mrecapada. Yeh iku dadi amretta.
5) Rikala ngayut – Melarung abu ke laut.
Ring wetan hana telaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sarira.
Sakwehing malapataka. kalebura ring tanane.Ring kidul hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.Ring kulon hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.Ring lor hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.Ring madya hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.Sampun ta sira abresih, anambut raja bhusana.
Binurating sarwa sari. Mrebuk arum gandaning wang.
Matur sira ring Hyang Guru. Sinung wara nugraha sira.
Keasunganing mandi swara. Paripurna tur nyewana.Bhuta Yadnya
1) Pupuh Jerum
Tangeh hana muntu rida,
salimur tan kasalimur,
prakerti abayeng dangu,
tumuwuh ta andadi wong,
rasa tan kadi agemang,
marmanira misreng kidung,
tan anut ring pupuh basa pina ewa de sang wiku.
Endan kapracita ring gita,
kundangdeya aranipun,
taruna ring banjar kidul,
kang kumawi catur mangko,
kocapan i kundangdeya,
anglunjar gawenipun,
kasih-asih ingeman-eman,
kambankara dening ibu.
Kidung pangundang ring buta,
basa lumbrah pupuh jerum,
buta asih widi asung,
caru pasajine reko,
genep saha upacara,
manut warna lawan ungguh,
sekul iwak pada bina,
olah-olahan sadulur.
Kidung, Nilai Religius dan Pelestarian Budaya Bali
Kidung begitu erat hubungannya dengan ritual keagamaan di Bali. Kidung dalam pelaksanaannya selalu mengiringi dalam setiap upacara Panca Yadnya. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa ritual-ritual keagamaan yang mereka jalani sarat akan nilai-nilai ketuhanan (religius). Sebagaimana pula yadnya, karena kidung merupakan komponen dari ritual yadnya, kidung juga sarat nilai religius magis. Yadnya yang tanpakidung dirasakan kurang nilainya, seperti sayur tanpa garam. Dalam kepercayaan Hindu, setiap ritual yadnya seyogyanya ada 5 komponen suara (bunyi) sakral yang harus mengiringi yadnya tersebut. Suara (bunyi) tersebut adalah : kentongan (kulkul), gamelan (balaganjur), kidung, genta, dan mantra. Donder (2007 : 35) dalam jurnal ilmiah “Pangkaja, Jurnal Agama Hindu Vol. VII. No. 2”, menyatakan bahwa kelima bunyi-bunyian sakral tersebut ada dalam ritual yadnya adalah bermaksud untuk melakukan super posisi gelombang-gelombang mikro dan makro kosmos agar terhubung dengan kesadaran tuhan. Hal ini berarti bahwa setiap bagian kosmos (alam semesta) dapat menghubungkan manusia dengan kesadaran tuhan sebagai penguasa kesadaran kosmos.Masih menurut Donder, hal ini merupakan inti dan puncak kesadaran manusia yang harus dicapai oleh setiap orang bila ingin dapat berkomunikasi dengan pikiran alam semesta atau kesadaran kosmos.
Kidung adalah seni suara yang sakral. Lewat lantunan kidung oleh pengidung, ajaran-ajaran ketuhanan ditranforsmasikan melalui suara yang indah dan mempesona. Kidung yang tepat, dinyanyikan oleh pengidung yang ber-taksu mampu menggugah suasana hati bagi orang yang mendengarkannya. Melalui pengidung ini, pendengar mampu dibawa “hanyut” bersama suara kidung sesuai dengan keperuntukan kidung itu. Lewat alunannya, kidung menuntun kita mengalir mengikuti riak-riak perasaan. Kidung juga mengajarkan kita peka terhadap perasaan dan keadaan. Bagaimana seseorang bisa dibuat bulu romanya berdiri dan hatinya hening damai ketika mendengar suara kidung warga sari pada saat pujawali?. Bagaimana hati seseorang bisa ikut dibuat “nelangsa” ketika jenazah diturunkan hendak dimandikan dengan alunan kidung wirama cewana girisa dari seorang pengidung?. Lalu, bagaimana pula hati kita bisa ikut berbahagia, ketika mendengar kidung tunjung biru dalam upacara pernikahan(pawiwahan)?. Kidung dalam alunan suara dan keadaan telah menjelma menjadi”jembatan perasaan”. Semua itu, karena kidung tidak dibuat oleh orang sembarangan, kidung dibuat oleh sang kawi, yang telah mantap dalam orah rasa dan seni yang disampaikan lewat olah suara yang di dalamnya sarat nilai religius magis.
Kidung adalah warisan yang adiluhung yang memiliki nilai-nilai kearifan ajaran agama Hindu. Nilai-nilai ini bersifat universal dan mengandung kebenaran yang abadi. Nilai-nilai seperti ini sudah seharusnya ditransmisikan dan ditranformasikan dalam usaha membangun budaya. Karena itu kidung–kidung yang di Bali perlu dilestarikan. Adapun pelestariannya adalah melalui pesantian ataupun Utsawa Dharma Gita. Melalui jalan inilah diharapkan kidung-kidung yang ada di Bali bisa tetap ajeg dari waktu ke waktu. Perhatian yang sungguh-sungguh memang harus dilakukan terhadap kidung di Bali bukan semata-mata dalam usaha kelestarian budaya tetapi juga dalam pengembangan budaya itu sendiri. Suatu saat, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyatakan “ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa apabila dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-perubahan itu, maka selamatlah peradaban itu berjalan. Tetapi bila beban itu merupakan suatu kejutan dan manusia tidak menguasainya maka hancurlah peradaban manusia”. Oleh karena itu, terkait dengan pernyataan diatas, satu-satunya jalan bagi manusia untuk menghadapi hal itu ialah manusia harus menegakkan kehidupan rohaninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama, termasuk juga kidung di dalamnya sehingga ia utuh dalam menghadapi perubahan itu sendiri dan tetap dapat berjalan dalam mengembangkan kreatifitasnya sebagai subjek untuk menjalankan tugas dan kewajiaban umat yang beragama Hindu
6 KIDUNG DEWA YADNYA YANG DITEMBANGKAN SAAT ODALAN DI PURA
Pada pelaksanaan upacara yadnya di Bali biasanya diiringi dengan panca gita atau lima bunyi-bunyian yang menciptakan rasa suka cita dalam pelaksanaan upacara yadnya.
Salah satunya yakni kidung atau nyanyian suci.
Saat pelaksanaan upacara yadnya, khususnya yang berkaitan dengan Dewa Yadnya atau persembahan yang dipersembahkan kepada Tuhan, juga ada beberapa kidung yang biasa ditembangkan.
Berikut enam kidung yang ditembangkan saat upacara Dewa Yadnya atau odalan di pura.
1. Purwakaning
Kidung ini biasa ditembangkan sebelum persembahyangan dimulai.
Purwakaning,
angripta rum,
ning wana ukir.
Kahadang labuh.
Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur.
Angringring jangga mure.
2. Ida Ratu saking luhur.
Kawula nunas lugrane.
Mangda sampun titiang tanwruh.
Mengayat Bhatara mangkin.
Titiang ngaturang pajati.
Canang suci lan daksina.
Sami sampun puput.
Pratingkahing saji.
3. Asep menyan majagau.
Cendana nuhur dewane.
Mangda Ida gelis rawuh.
Mijil saking luhuring langit.
Sampun madabdaban sami.
Maring giri meru reko.
Ancangan sadulur.
Sami pada ngiring.
4. Sasiwimbha haneng ghata mesi banyu.
Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
Ring angambeki yoga kiteng sakala.
5. Ong sembah ning anatha.
Tinghalana de Triloka sarana.
Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.
6. Turun Tirta, yang ditembangkan saat metirtha.
Turun tirtha saking luhur.
Nenyiratang pemangkune.
Mekalangan muncrat mumbul.
Mapan tirtha mrtajati.
Paican Bhatara sami.
Panglukatan dasa-mala.
Sami pada lebur.
Malane ring gumi.
FILOSOFI DAN FUNGSI KIDUNG
Purwaka ning angripta rum ning wana wukir kahadang
labuh karttika paněděng ing sari angayon tangguli kětur
angringring jangga mure (Kidung Wargasari).
Artinya:
Saat pertama menggubah keindahan hutan dan gunung,
bertepatan dengan musim penghujan bulan Kapat (Oktober-
Nopember), ketika bunga-bunga mekar, terutama bunga
tangguli kuning dan bunga gadung mekar mengurai.
Dalam kegiatan upacara agama Hindu yang biasanya dirancang serta dilaksanakan dengan semarak dan meriah, bait Kidung Wargasari di atas diresitasikan seiring dengan prosesi upacara tersebut. Juru kidung meresitasikannya sebagai kidung pembukaan untuk menandai dimulainya suatu prosesi upacara agama Hindu. Dengan serta merta, kentongan dipukul dan gamelan pun ditabuh seiring dengan suara genta dan rapalan doa para sulinggih atau pamangku yang memimpin jalannya upacara. Begitulah prosesi agama Hindu berlangsung secara turun-temurun.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa umat Hindu meresitasikan kidung dalam prosesi keagamaan ? Jawaban yang paling pasti didapatkan adalah mula keto. Hal itu mengindikasikan bahwa wawasan pengetahuan umat Hindu tentang makna yang ada di balik aktivitas keagamaan yang dilakukannya masih terbatas.
Karena itu, pemahaman dan pendalaman umat Hindu akan ajaran agama Hindu masih perlu ditingkatkan, sebab kemantapan beragama bukan hanya dengan melaksanakan upacara yang semarak, melainkan dengan jalan meningkatkan pemahaman dan pendalaman terarah sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Hindu secara utuh, baik tattwa, susila, maupun upacara. Untuk itu, dalam kesempatan ini saya mencoba mengkaji filosofi dan fungsi kidung dengan menempatkan kidung sebagai sastra-profetik (meminjam istilah Abdul Hadi, 2004).
Sebagai sastra profetik, kidung diasumsikan memiliki semangat profetik yang merupakan segi sentral atau pusat bertemunya dimensi sosial dan transedental. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan di alam nyata atau bersifat profan (sakala). Dimensi transendental menunjuk pada kehidupan yang lebih tinggi (niskala), yang berpuncak pada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimensi transendental ini memberikan kedalaman pada sastra kidung, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian, membuat karya kidung bersifat vertikal. Dengan demikian, sastra kidung dapat dipandang sebagai jalan menuju Tuhan atau ibadat keindahan serta merupakan sarana menuju penemuan dan pengenalan kembali hakikat diri manusia. Karena itu, kidung akan dilihat sebagai sistem simbol yang berfungsi mengarahkan tingkah laku atau bentuk-bentuk simbolik yang dianggap sebagai media penyimpan makna, sebagai proses penandaan, bersifat relatif, arbitrer, buatan yang secara aktif diciptakan oleh peneliti selaku penikmat dengan menetapkan kode-kode untuk menentukan berbagai jenis signifikansi dengan sejumlah lexias (elemen-elemen yang dapat memuat beragam makna untuk beragam penikmat) di seluruh teks.
Peneliti selaku penikmat berada dalam posisi writerly text yakni penikmat aktif dalam suatu proses kreatif untuk membuka ruang penafsiran (Barthes, 2007).
Sejalan dengan itu, pendekatan hermeneutik menjadi pendekatan yang relevan dengan memandang kidung sebagai pengalaman hermeneutik yang menyingkap kebenaran. Kemunculan kebenaran di dalam pengalaman hermeneutik mendatangkan pertemuan dengan negativitas yang intrinsik pada pengalaman sehingga pengalaman menjadi momen estetik.
Momen estetik menjadikan kidung secara nyata dapat digunakan, untuk membuka ruang di dalam sesuatu, untuk memfungsikan kebenaran menjadi termanifestasikan.
Pengalaman hermeneutik memahami apa yang dikatakan, dalam hal ini kidung, menurut keadaan sekarang. Lagipula, makna karya sastra kidung adalah dinamis, temporal, dan personal (Palmer, 2003).
Kidung memang belum banyak diteliti dan dipublikasikan para peneliti sastra tradisional. Penerbitan teks kidung berhasil dilakukan para filolog antara lain Kidung Sudamala (Callenfels,1925) dalam tulisan berjudul De Sudamala in de Hindu-Javaansche kunst. Pada penelitian tersebut, Callenfels melihat peran Sudamala dalam tradisi peruwatan pada kehidupan masyarakat Hindu Jawa.
Ia juga berpendapat bahwa bahasa Jawa Pertengahan bukan saja puluhan tahun lebih tua daripada runtuhnya Majapahit, melainkan beberapa abad.
Bahasa Jawa Pertengahan digunakan dalam pergaulan sehari-hari sebagai bahasa tutur yang hidup. Berg (1927, 1930, 1931) menerbitkan Kidung Sunda, Kidung Ranggalawe, dan Kidung Harsa Wijaya dengan tulisan berjudul Kidung Sunda, Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen, Rangga Lawe, Middeljavaansche historische roman, dan Kidung Harsa-Wijaya. Pada prinsipnya, dalam ketiga penelitian tersebut Berg memandang sastra kidung sebagai roman sejarah.
Prijono (1938) menerbitkan Kidung Sri Tanjung dalam tulisan berjudul Sri Tanjung, een Oud Javaansch verhaal.
Hal prinsip yang dapat dikatakan dari penelitian tersebut adalah bahwa Prijono memandang kidung bukan sebagai sastra Jawa Pertengahan, melainkan sebagai cerita Jawa Kuna. Poerbatjaraka (1940) menerbitkan Kidung Dewa Ruci dalam tulisan berjudul Dewa-Roetji. Nuarca (1992) menerbitkan Kidung Bima Swarga dalam tulisan berjudul Kidung Bima Swarga Satu Kajian Filologis. Kedua peneliti terakhir lebih memokuskan penelitiannya pada aspek filologi, khususnya suntingan teks disertai aparat kritik dan terjemahan.
Penelitian kidung dari sisi sistem kesastraannya tidak tampak dalam penelitian tersebut.
Pembahasan kidung dari sisi sistem kesastraan dirintis Robson (1971) dalam tulisan berjudul Wangbang Wideya a Javanese Panji Romance. Ia berjasa dalam meletakkan dasar-dasar penelitian sastra kidung dengan melihat struktur Kidung Wangbang Wideya.
Metrum Těngahan dalam sastra kidung dibahas Vickers (1986, 2005) dalam karya tulis berjudul The Desiring Prince : a Study of the Kidung Malat as Text. Pada studinya itu, Vickers mencoba membahas metrum Tengahan yang digunakan dalam Kidung Malat.
Akan tetapi, ia mengalami kesulitan ketika hendak merumuskan pola metrum. Ia berpendapat bahwa bunyi akhir pada akhir bait metrum Těngahan ditentukan berdasarkan bunyi vokal yang dominan digunakan dalam nama sebuah metrum Tengahan. Misalnya, satu bait metrum Kadiri akan berakhir dengan bunyi i karena vokal i dominan pada kata Kadiri.
Kiranya, dugaan tersebut masih perlu dibuktikan lebih jauh karena bertentangan dengan kenyataan.
Tidak semua bait metrum Kadiri berakhir dengan bunyi i. Memang benar bait panjang bagian pembukaan dan bait pendek bagian batang tubuh metrum Kadiri berakhir dengan bunyi i. Namun, bait pendek bagian pembukaan metrum Kaðiri berakhir dengan bunyi o dan bait panjang bagian batang tubuh metrum Kadiri justru berakhir dengan bunyi a. Dengan demikian, pendapat tersebut tidak bisa diberlakukan secara mutlak untuk menentukan bunyi akhir pada setiap metrum Těngahan. Banyak persoalan sastra kidung perlu mendapat perhatian para peneliti sastra tradisional (Adiwimarta, 1999:93). Misalnya, Berg (1927:133; 1931:2) mengatakan bahwa dirinya lebih suka tidak membuat subbagian dalam bait-bait kidung yang diterbitkannya selama struktur metrumTěngahan belum dipelajari secara lebih mendalam. Pendapat Berg tersebut meng-indikasikan bahwa struktur metrum Těngahan masih merupakan masalah yang perlu dibahas lebih lanjut agar dapat memberi informasi yang lebih komprehensif terhadap upaya penelitian sastra kidung pada masa-masa mendatang.
Zoetmulder (1985:143) mengatakan bahwa jumlah sastra kidung yang telah diterbitkan sangat sedikit. Sementara itu, hasil penelitian sastra kidung diperlukan dalam penyusunan sejarah kebudayaan. Kelangkaan penelitian sastra kidung disebabkan beberapa kesulitan. Kesulitan utama adalah dalam naskah-naskah kidung tidak ada catatan pungtuasi yang memisahkan baris yang satu dengan baris yang lain dalam satu bait tertentu. Pembaca kidung berhadapan dengan lautan suku kata. Kesulitan berikutnya
adalah teks kidung, yang disalin dari masa ke masa, mengalami perubahan lebih parah daripada teks kakawin. Kecuali itu, sastra kidung menggunakan idiom puitis Jawa Pertengahan. Sehubungan dengan adanya kesulitan-kesulitan tersebut, Zoetmulder (1985:144) menyarankan bahwa penelitian sastra kidung mungkin lebih tepat dilakukan oleh sarjana Bali karena mereka masih akrab dengan sastra kidung hingga dewasa ini.