TANAH JAWA
1.
Provinsi
Jawa Tengah
2.
Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
3.
Provinsi
Jawa Timur
Bagi
penduduk daerah Jakarta atau daerah barat pulau Jawa, mereka merasa bukan
bagian dari Tanah Jawa (Daerah Jawa), sehingga mereka jika pergi ke daerah
timur, mereka menyebutnya pergi ke Jawa.
Hal
tersebut dapat dibandingkan dengan sebutan Tanah Melayu, yang berarti
Semenanjung Melayu, bukan keseluruhan wilayah hunian etnik Melayu. Demikian
juga sebutan Tanah Dayak hanya mengacu kepada sepertiga wilayah Kalimantan
Tengah, bukan meliputi seluruh hunian sukubangsa Dayak di seluruh Borneo.
Sebutan Tanah Banjar (Daerah Banjar), tidak meliputi seluruh wilayah Kesultanan
Banjar.
Mengenai
sejarah pulau Jawa telah ditulis banyak sekali, namun selalu masih dapat
ditambah informasi yang baru. Di sini kita ingin mempopulerkan sedikit dari studi
kita mengenai masa yang biasanya tidak ditinjau oleh sejarawan, yaitu masa sebelum
ada sumber tertulis. Masa ini biasanya disebut prasejarah atau prehistori. Merekonstruksi
prasejarah suatu bangsa pada umumnya lebih
sulit
dari pada merekonstruksi sejarahnya. Seorang ahli sejarah pada prinsipnya berpijak
pada sumber tertulis peninggalan masa lampau. Dalam merekonstruksi prasejarah umumnya
dibutuhkan kerja sama para ahli dari berbagai bidang ilmu, seperti prehistori,
paleogeograf yang sangat erat terkait dengan geologi, paleodemografi,
linguistik komparatif, antropologi ragawi dan ilmu lainnya. Penelitian macam
ini jauh lebih sulit dari pada studi sejarah, karena sumbernya tersembunyi di dalam
tanah atau dibutuhkan teknik khusus yang semuanya agak membutuhkan banyak
biaya. Maka dapat dikatakan bahwa rekonstruksi prasejarah seperti menyusun
puzzle, dari fragmen-fragmen perlu disusun gambar yang sebenarnya. Karena
beberapa bagian puzzle ini tidak/belum ditemukan, maka terpaksa dalam proses
rekonstruksi para ahli harus membuat interpolasi, guna mengisi fragmen yang kosong.
BERDASARKAN
FOSIL
Fosil
Manusia di Jawa Kepulauan Nusantara merupakan suatu kawasan yang sangat muda. Kurang
lebih 60 juta tahun yang lalu terjadi suatu gempa bumi yang dahsyat sekali di
sekitar pulau Natuna. Gempa ini begitu besar, sehingga mengangkat sebagian
dasar laut menjadi daratan, yaitu seluruh rangkaian kepulauan mulai dari Sumatera
melalui pulau Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Maluku sampai ke kepulauan Filipina.
Lempeng tempat letaknya kepulauan Nusantara terjebak oleh empat lempeng lainnya
yang tetap menekan dari Barat, Utara, Timur dan Selatan. Maka tidak
mengherankan, bahwa kepulauan kita ini masih agak tidak stabil dan penuh gunung
api dipinggirnya. Bentuk kepulauan Nusantara masih jauh berbeda dari sekarang.
Manusia tertua, yang dikenal di dunia, berumur 1.8 juta tahun.
Fosil
manusia ini adalah tengkorak dari lima individu, tempat penemuannya di Perning,
Mojokerto dan ke dalam ilmu paleoantropologi dikategorikan sebagai Pithecanthropus
modjokertensis atau menurut terminologi baru disebut Homo erectus modjokertensis.
Inilah awal hunian manusia di pulau Jawa. Homo erectus hidup di Jawa dan
rupanya disebagian pulau lain juga sampai kurang lebih 200 ribu tahun yang lampau.
Zaman Homo erectus berakhir dengan Homo erectus soloensis.
Dalam
kurun waktu itu Homo erectus mengalami evolusi terutama ke arah pembesaran
volumen otak. Homo erectus hidup dari mengumpulkan hasil tanah dan berburu.
Alat yang diproduksinya bercorak paleolitis.
Apa
yang terjadi dengan Homo erectus ini, sampai sekarang kurang jelas.
Ada
kemungkinan, bahwa sudah punah, ada kemungkinan bahwa mereka bermigrasi ke arah
Timur dan Tenggara sampai ke Australia, ada kemungkinan lain bahwa ia tidak
tahan persaingan dengan Homo sapiens. Namun untuk semua hipotesis ini tidak ada
bukti, karena fosil yang berikut jauh lebih muda, yaitu 40 ribu tahun. Ini
adalah Homo wadjakensis, yang jelas tergolong sebagai Homo sapiens. Apa yang
terjadi di kepulauan kita ini antara 200.000 dan 40.000 tahun yang lampau,
masih merupakan suatu misteri. Belum ditemukan fosil manusia dari masa itu
(Jacob 1967, 197?). Jacob (1967), manusia dari Wajak memiliki ciri badani
intermedier, yakni baik ciri Austromelanesid maupun ciri Mongolid primitif.
Jacob berpendapat, bahwa manusia dari Wajak merupakan leluhur penduduk seluruh
Nusantara. Dengan ini manusia dari W ajak dapat dipandang sebagai orang Jawa
yang tertua. Namun sejauh mana Jacob benar, sulit dapat diuji, karena fosilnya
sedikit atau malah sama sekali tidak ada. Untuk sementara waktu interpolasi
Jacob itu harus diterima, karena tidak ada bukti lain berupa fosil manusia.
Dari waktu itu telah ada bukti berupa alat batu bahwa sebagian besar kepulauan Indonesia telah dihuni. Menurut kebudayaannya manusia telah masuk tahap Paleolit akhir, di mana masih dipergunakan alat batu, namun alat yang sudah agak sempurna. Batu itu digabungkan dengan kayu, sehingga tercipta pemukul, tombak, dan panah. Pada masa itu pula telah mulai berkembang hortikultura di kawasan AsiaTenggara.
Mula-mula didomestikasi ubi-ubian, namun beberapa waktu kemudian telah ditanam tumbuhan berbijian seperti padi.
Domestikasi binatang baru
ter-laksana dalam periode berikut. Sekitar 3.000 tahun yang lalu perkembangan
kemahiran mengerjakan logam (Jacob 1976).
Fosil-fosil
lainnya baru berasal dari masa 4-3 ribuan tahun yg lampau. Adanya masa agak
panjang antara fosil tidak berarti bahwa fosil ini tidak ada. Sebab yang s
ebenarnya ialah bahwa Indonesia memiliki hanya beberapa ahli antropologi ragawi
dan mereka pun tidak mempunyai uang cukup untuk mengadakan penelitian secara sistematis
baik di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya. Malah agak sering terjadi, bahwa
jika pada galian untuk membangun perumahan. Ditemukan tulang-tulang, yang dapat
merupakan sumber informasi baru, maka hal ini tidak dilaporkan kepada instansi
yang bersangkutan, agar pekerjaan jangan terganggu. Dengan demikian banyak
informasi masa lampau hilang selamanya.
Terpaksa
para ahli berusaha mengisi tampat kosong dalam puzzle ini dengan interpolasi
dari data fosil-fosil yang di negara tetangga.
Berdasarkan
komparasi ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebagian besar kawasan Indonesia pada
masa Mesolit diduduki oleh anggota ras Melanesid, Australid dan Weddoid,
berarti dari orang berwarna kulit agak gelap dan rupanya berambut berombak atau
ikal. Mulai dengan Neolit jelas bertambah unsur rasial berciri Mongolid. Hal
ini merupakan tanda adanya migrasi populasi dengan ciri Mongolid dari Utara ke
arah Selatan (Jacob 1967, Glinka 1981).
Proses
ini dapat dimengerti, jika diperhatikan, bahwa pada zaman Pleistosin permukaan
laut turun, sehingga Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali tergabung
dengan
daratan Asia merupakan satu benua, terkenal sebagai Sundaland, sehingga migrasi
dari Utara ke Selatan tidak merupakan masalah besar. Jembatan darat ini akhirnya
putus sekitar 11.000 tahun yang lampau. Maka selama b eberapa puluh ribu tahun
migrasi ke arah selatan ini dapat berlangsung terus (Bemmelen 1949, Glinka 1981,
1985, 1987).
Karena
kurangnya bukti berupa fosil, maka agak sulit mengatakan sesuatu yang pasti.
Hanya diduga bahwa migrasi ini pasti tidak besar-besaran, sehingga dewasa ini proses
ini dilihat lebih sebagai peresapan gen (gene flow) ke dalam populasi asli.
Karena diduga bahwa banyak gen Mongolid dominan terhadap gen penduduk asli dan
masanya agak panjang, maka populasi asli yang berciri Austromelanesid lambat laun
berubah dengan dominasi ciri Mongolid, seperti dapat kita saksikan dewasa ini
antara lain pada populasi Jawa (Glinka 1981).
Dari
Masa Sekarang ke Masa Lampau Sistuasi macam ini memaksa kita
untuk
mendekati seluruh masalah etnogensis dari aspek lain, yakni
Membuat
ekstrapolasi dari masa sekarang ke masa lampau (Glinka 1978). Guna mencapai
tujuan ini kita memperbandingkan data antropometris dari 110 populasi dari seluruh
kawasan Indonesia, Malaysia, Taiwan, Filipina dan Madagaskar.
Hasilnya
ialah satu diagram raksasa, di mana semua populasi teratur menurut mirip
badaninya.
Cluster
I terdiri dari populasi yang menduduki pulau-pulau luar Nusantara, tambah
populasi-populasi Malayu dari pulau Taiwan, cluster II mengandung populasi dari
Kalimantan, Madagaskar dan populasi penduduk primitif dari Filipina. Berdasarkan
pembagian ini kita menarik hipotesis, bahwa
populasi
dalam cluster I dan II ini merupakan dua kelompok, yang
berkembang
secara terpisah atau berasal dari migrasi yang berbeda.
Cluster
I terbagi lagi dengan jelas atas dua subcluster : A+B dan C+D+F.
Subcluster
A+B mengandung populasi dari NTT, Siberut, Tengger, Nias Selatan serta populasi
Semang dan Senoi dari Malaka, subcluster C+D+F berisi populasi dari Nias,
Sipora, Sumatera, Jawa, Madura, Bawean, Bali, Lombok, dua popuasi dari Flotim,
Tionghoa dari Indonesia dan populasi dari Taiwan. Inilah subcluster yang
menarik minat kita, karena mengandung populasi Jawa. Subcluster A+B meliputi
terutama populasi rasial bersifat Austromelanesid. Subcluster C+ D+F mengandung
populasi bersifat rasial jelas Mongolid.
Subcluster
inilah yang mendapat gen-gen dari populasi Mongolid dari arah Utara, sehingga
akhirnya sendiri menjadi Mongolid.
Hanya sekian dapat dikatakan berdasarkan penelitian antropologi ragawi dengan ekstrapolasi dari masa kini ke masa lampau.
Bagaimana proses ini berlangsung secara
rinci, hanya dapat dijawab oleh studi komparatif paleoantropologi
berdasarkan
fosil/kerangka yang masih tersimpan dalam tanah.
Waktu Terbentuknya Etnis Jawa .
Dari
peninggalan puing bangunan, prasasti maupun sumber tertulis
telah
tersusun tahap-tahapan sejarah dengan pengaruh Hinduisme, Budisme dan Islam
serta pengaruh Barat.
Namun
kelompok etnis Jawa telah ada sebelum pengaruh dari luar ini. Kapan terjadinya ?
Untuk
menjawab masalah ini perlu kita pindah ke linguistik historis komparatif.
Linguistik
historis komparatif memiliki beberapa metode untuk membandingkan bahasa-bahasa berbagai
kelompok etnis. Salah satunya adalah komparasi melalui leksikostatistik, yaitu
dengan menghitung perbendaharaan kata bersama dalam dua bahasa. Studi semacam
ini menyangkut sebagian besar bahasa Malayo Polinesia pernah dilakukan Dyen
(1962, 1965). Dyen memberikan kebersamaan dalam perbendaraan kata dalam bentuk
persen. Berdasarkan persentase ini dengan asumsi, berapa lama waktu retensi
(pertahanan kata yang sama dalam dua bahasa), kita dapat memperkirakan, kapan dua
bahasa terpisah satu dari yang lain menjadi dialek dan akhirnya bahasa
tersendiri. Bahasa merupakan komponen budaya yang amat penting, kelahiran suatu
bahasa dapat dianggap sebagai kelahiran kelompok etnis yang bersangkutan. Ternyata,
pembentukan/pemisahan bahasa di Nusantara berlangsung kurang lebih 5.000 tahun
yang akhir ini.
Menurut pembagian oleh Dyen (1965), bahasa Jawa masuk rumpun berikut ini :
ASAL
USUL TANAH JAWA VERSI LAIN
Suku
Jawa menjadi salah satu suku terbesar di Indonesia, dengan jumlah sekitar
40,22% dari populasi manusia di nusantara. Suku yang memiliki banyak keunikan
di bidang budaya, bahasa, dan kuliner khasnya ini terkenal dengan sifat dan
tutur katanya yang halus. Tidak hanya bertempat tinggal di Pulau Jawa, suku
jawa juga tersebar di berbagai pelosok di Indonesia.
Peradaban
suku Jawa termasuk maju. Hal ini dapat dibuktikan karena adanya peninggalan
kerajaan-kerajaan besar yang berada di tanah Jawa, dan masih dapat dilihat
hingga kini. Misalnua Candi Borobudur, Prambanan, Mendut, Singosari, dan
sebagainya.
Walaupun
suku Jawa telah tersebar di seluruh nusantara. Namun, banyak orang yang tak
tahu bagaimana sejarah dan asal-usul suku Jawa. Apakah suku Jawa berasal dari
nenek moyang asli pribumi? Atau mereka berasal dari pendatang? Berikut ialah
beberapa teori yang menjelaskan asal usul suku Jawa.
Menurut
arkeolog, Eugene Dubois, seorang ahli anatomi yang berasal dari Belanda
menemukan sebuah fosil manusia purba Homo erectus. Fosil ini ditemukan di
Trinil pada tahun 1891. Pasca penemuan ini, dilakukan perbandingan antara DNA
fosil kuno tersebut dengan suku Jawa di masa kini.
Hasilnya,
DNA tersebut tidak memiliki perbedaan jauh dengan suku Jawa masa kini. Hal ini
diperkuat dengan ditemukannya fosil manusia purba, yaitu Pithecanthropus
erectus. Sehingga membuat para arkeolog ini menjadi yakin bahwa nenek moyang
suku jawa berasal dari penduduk pribumi.
Berbeda
dengan Eugene, menurut seorang sejarawan justru berbanding terbalik. Von Hein
Geldern menyebutkan bahwa telah terjadi migrasi penduduk dari daerah Tiongkok
(Yunan) di kepulauan Nusantara. Migrasi ini sudah ada sejak zaman neolitikum
2000 SM, sampai zaman perunggu 500 SM, secara besar-besaran bertahap
menggunakan perahu cadik.
Begitu
juga Dr. H. Kern menyebutkan, berdasarkan penelitiannya di tahun 1899 bahwa
bahasa daerah di Indonesia mirip satu sama lain, dan Kern menarik kesimpulan
bahwa bahasa tersebut akar dari rumpun yang sama, yaitu Austronesia.
Maka,
hal inilah yang membuat Geldern yakin bahwa Suku Jawa tidak berasal dari
masyarakat pribumi asli. Namun, ada bukti juga melalui tulisan kuno India dan
keraton Malang yang berbeda.
Pasalnya,
dalam tulisan kuno India disebutkan bahwa jika beberapa pulau di Nusantara termasuk
pulau Jawa, adalah tanah yang menyatu dengan daratan Asia dan Australia. Akan
tetapi, pada saat itu terjadi musibah permukaan air laut naik. Hal ini membuat
Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya terpisah.
Tulisan
kuno tersebut juga menyebutkan Aji Saka, seorang pengembara yang pertama kali
datang di daratan Pulau Jawa, dan menetap di sana bersama para pengikutnya
menjadikan mereka sebagai nenek moyang orang dari suku Jawa.
Adapun
menurut Babad Jawa kuno, asal usul nenek moyang suku jawa juga disebutkan dalam
babad kuno jawa. Dalam babad ini, diceritakan bahwa pangeran yang berasal dari
Kerajaan Kling tersisihkan bersama pengikutnya.
Hal
tersebut merupakan akibat dari perebutan kekuasaan membuka lahan baru di sebuah
pulau terpencil yang dibangun oleh mereka, sebagai pemukiman dan mendirikan
kerajaan yang diberi nama Javacekwara. Keturunan pangeran inilah yang dianggap
sebagai nenek moyang suku Jawa menurut Babad Tanah Jawa.
Sementara
itu, ditemukan sejarah yang lebih jelas. Menurut surat kuno keraton Malang,
asal-usul suku Jawa berasal dari kerajaan Turki tahun 450 SM. Kala itu, Raja
Rum, raja dari Kerajaan Turki mengutus para penduduknya untuk membuka lahan di
pulau kekuasaannya yang belum berpenghuni. Namun, karena gangguan binatang
buas, banyak penduduknya yang menderita sehingga mereka pulang kembali ke
negara aslinya.
Kemudian,
pada tahun 350 SM, raja kembali mengirim para penduduk untuk kedua kalinya.
Perpindahan tersebut membawa 20.000 laki-laki, dan 20.000 perempuan berasal
dari Koromandel. Perpindahan dipimpin oleh Aji Keler yang menemukan Nusa
Kendang dengan dataran tinggi yang ditutupi oleh hutan lebat, dan banyak
binatang buas.
Konon,
saat itu para penduduk sangat senang karena di pulau tersebut banyak ditemukan
bahan pangan, dan tanaman yang subur bernama tanaman Jawi. Tanaman jawi banyak
ditemukan dimana-mana, maka dari itu nama dari jenis tanaman inilah dijadikan
sebagai nama pulau tersebut yakni, Pulau Jawi.
Hingga
kini dikenal dengan Pulau Jawa dengan sebutan para pendudukanya, yakni suku Jawa.
MAKHLUK ANEH YANG PERTAMA MENGUASAI PULAU JAWA
Ambil
saja salah satu suku terbesar di Indonesia yaitu suku Jawa. Suku ini tersebar
di hampir semua pulau di Indonesia. Namun, untuk menelusuri asal-usulnya
bukanlah perkara gampang.
Ada
banyak pendapat dan teori.
Dalam
catatan-catatan Kitab Hindu Kuno seperti dikutip Capt RP Suyono dalam Dunia
Mistik Orang Jawa (2009: 15-16) dikisahkan bahwa pada 450 SM hingga 78 M, nenek
moyang suku Jawa dari Koromandel mulai berdatangan. Pada masa itu, Jawa masih
diliputi hutan belantara dan dikenal dengan nama Nusa Kendang. Daerah itu
berhasil dikunjungi oleh orang-orang dari Kerajaan Astina atau Kling,
Koromandel atas perintah raja mereka yang bernama Arjuna.
Diperkirakan
mereka mendarat pertama kali di daerah Banten. Namun, mereka tidak mampu
bertahan lama mendiami daratan Jawa karena ganasnya gangguan makhluk-makhluk
berbentuk aneh. Ada beberapa jenis makhluk aneh, antara lain diberi nama gandarwa (Sanskerta: gandharva)
atau biasa disebut genderuwo. Mahkluk
aneh lainnya adalah tetekan, cicet, bahung, dan banaspati.
Selain
serbuan makhluk aneh itu, mereka juga dimangsa oleh binatang-binatang buas.
Akibatnya, banyak di antara mereka tewas. Dan yang selamat memutuskan kembali
ke negeri asalnya. Sekitar 500 tahun berikutnya, penguasa Kerajaan Kling yang
bernama Brahmani Wati, kembali mencoba menaklukkan pulau Jawa. Kapal-kapal
penuh dengan penduduk desa dibawa ikut serta.
Kedatangan
mereka kali ini, berhasil membabat hutan. Para gandarwa dan kawan-kawanya sudah
tidak mengganggu. Sehingga mereka pun mampu membangun desa hingga wilayah
pedalaman. Mereka dan keturunannya inilah, yang menjadi cikal bakal Kerajaan
Pajajaran di Jawa Barat. Dari keturunan mereka ini pula, diduga menjadi cikal
bakal suku Sunda, yang hingga kini mendominasi masyarakat Provinsi Jawa Barat.
Selain
dari Kitab Hindu Kuno, kisah tentang para pendatang atau nenek moyang orang
Jawa juga dapat diketahui dari literatur kuno lainnya seperti Babad Tanah Jawa
dan Serat Kuno Keraton Malang. Namun, pada prinsipnya, semua mengatakan hal
yang sama bahwa pada masa awal didatangi, Pulau Jawa masih berupa hutan
belantara dan dihuni oleh makhluk-makhluk aneh serta binatang buas.
Menurut
pemaparan Sri Wintala Achmad dalam Asal-Usul dan Sejarah Orang Jawa (2017:
18-24), untuk mengetahui asal-usul orang Jawa harus mempertimbangkan banyak
sumber.
Sumber-sumber
itu antara lain hasil kajian para arkeolog, penelitian para sejarawan,
literatur kuno tentang Jawa seperti Babad Tanah Jawa, Serat Kuno Keraton
Malang, surat-surat kuno dari India, Cina, bahkan boleh juga menengok catatan
kuno suku Maya tentang bangsa Atlantis dan Lemuria.
Menurut
arkeolog, satu juta tahun sebelum Masehi, Pulau Jawa diperkirakan sudah dihuni.
Hanya saja, peradaban manusia kala itu masih sangat primitif dan biasa disebut
sebagai manusia purba.
Penemuan-penemuan
fosil manusia purba di lembah Bengawan Solo oleh von Koenigswald, Eugène
Dubois, dan arkeolog lain membuktikan bahwa DNA manusia purba seperti
Pithecanthropus erectus dan Homo sapiens
memiliki struktur DNA yang mirip dengan DNA orang Jawa di zaman
sekarang.
Manusia
purba berjenis Homo erectus di Dusun Trinil, Kawu, Kedunggalar, Ngawi, Jawa
Timur oleh Eugène Dubois memperkuat teori itu. Padahal mereka
diperkirakan hidup pada 700.000 tahun sebelum Masehi.
Hanya
saja, jenis manusia purba ini bisa dikatakan masih menyerupai kera berjalan
tegak. Artinya, peradabannya masih sangat jauh dengan manusia modern.
1.
Pertanyaannya,
apakah mereka kemudian berevolusi dan menjadi manusia modern ?
2.
Apakah
mereka kemudian punah ?
3.
Atau
mereka inilah yang disebut makhluk aneh
tatkala nenek moyang dari Koromandel datang ke Jawa Barat ?
Sebagian
Arkeolog berpendapat bahwa mayoritas manusia purba ini mengalami kepunahan ketika Gunung Lawu purba,
Gunung Kelud purba, Gunung Krakatau
purba, dan gunung berapi purba lainnya di Pulau Jawa, meletus. Kalaupun ada
yang selamat dari letusan-letusan itu, diperkirakan mereka kemudian berhadapan
dengan para pendatang dari negeri lain. Benturan budaya pun terjadi atau bisa
pula mengalami proses asimilasi melalui
perkawinan.
Ketika
manusia mampu membuat tulisan, babak baru dimulai. Dari catatan-catatan berupa
aksara kuno itulah, para sejarawan mulai mampu merangkai kisah masa lampu yang
mendekati kebenaran. Hanya saja, era ini, Pulau Jawa sudah dihuni oleh beragam
manusia baik dari penghuni yang lebih lama maupun para pendatang. Semua berbaur
dalam arti yang sesungguhnya.
Sekitar
3000 SM, orang-orang dari suku Lingga, Tiongkok Daratan, Yunan atau Funan di
Cina Selatan, Kasi di India Selatan, orang dari Dinasti Kusana dari India,
orang Siam dari Thailand, orang Turki, dan orang Arab, serta Campa, berdatangan
secara bergelombang.
Gelombang
awal kedatangan itu dikenal juga sebagai zaman Proto Melayu. Selanjutnya
disusul kedatangan berikutnya yang dikenal sebagai gelombang Deutro Melayu. Semua pendatang itu membawa
peradaban yang jauh lebih maju dibanding penduduk Pulau Jawa yang lebih dulu
menghuni. Dari mereka inilah kemudian mulai dikenal teknik pelayaran, ladang,
sawah, dan sistem kampung.
Dan
tatkala mereka berbaur dan saling kawin-mawin, akan sangat sulit untuk bisa
membedakan kemurnian darah. Niscaya tidak bisa lagi menelusuri mana yang murni
berasal dari Cina, India, Turki, dan Arab. Dengan demikian, semua orang di
Pulau Jawa masa kini, entah bersuku Jawa, Sunda, Badui, Tengger, maupun suku
Jawa lainnya, sebaiknya sadar bahwa dalam tubuh, bisa jadi ada campuran darah
Cina, India, Siam, Arab, maupun Turki.
Misteri Tanah Jawa yang Belum Terpecahkan hingga Kini
Sesuatu
yang tidak bisa dimungkiri hingga saat ini adalah bahwa tanah Nusantara ini
penuh dengan misteri. Alamnya, pulaunya, bahkan juga manusia-manusia penghuni
Nusantara ini juga kerap diselubung misteri.
Namanya
juga misteri, sehingga sangat sulit untuk dipecahkan. Karena tidak bisa
memecahkan, akhirnya semuanya pun tinggal dalam misteri itu sendiri. Demikian
juga dengan tanah Jawa yang hendak diulas dalam tulisan ini juga ya, penuh
dengan misteri itu.
Kata
di Pulau Jawa ini dulunya merupakan koloni dari bangsa Atlantis, kemudian
karena bangsa dan peradaban di hancur-hancuran Jawa seperti ini. Lalu, juga
asal-usul orang Jawa sendiri hingga kini masih juga diselimuti kabut misteri
itu.
1.
Misteri
dewa-dewi sebelum manusia sakti. Ada juga misteri misalnya, bahwa di tanah Jawa
ini selama ratusan ribu tahun lalu ditemui oleh dewa-dewi yang menguasai
daratan lautan tanah jawa. Para dewa dewi itu kembali ke nirwana setelah
manusia-manusia sakti mulai menguasai tanah Jawa .
2.
Misteri
Semar Sebagai Demit Paling Tua di Tanah Jawa. Semar merupakan tokoh wayang nan
sakti, eang sepuh dari pandawa lima yang sangat populer sekaligus dalam
pertokohan dia kedudukannya sebagai ayah dari Petruk, Gareng serta Bagong.
Perlu diketahui ternyata konon itu adalah sosok demit yang paling tua usianya
di kawasan tanah Jawa .
3.
Misteri
Masuknya Islam. Apakah kamu tahu Islam masuk ke tanah Jawa itu kapan? Kabarnya
ajaran tersebut masuk pada abad 13. Ada sumber yang mengatakan kalau Islam itu
masuk ke Tanah Jawa , sebagaimana juga masuk ke Nusantara selama Nabi Muhammad
masih hidup. Konon Syekh Subakir sebagai utusan ulama dari mewujudkan ottoman
yang datang, dengan menenteng batu hitam yang telah dirajah dari kawasan
jazirah Arab.
4.
Misteri
Peredaman Pengaruh Negatif Makhluk Halus. Konon banyak keajaiban yang
mengganggu kehidupan manusia di tanah Jawa . Mereka semua membawa pengaruh
negatif kepada warga sekitar. Namun untungnya di puncak gunung Tidar ada rajah
Aji Kalacakra yang mampu menangkalnya saat itu. Kemudian lambat laun kabarnya
diberitakan oleh para Wali Songo. Sehingga ilmu ulama tersebut bisa dianggap
pengaruh negatif terhadap makhluk itu juga.
5.
Misteri
Tersingkirnya Hantu. Semakin berjalannya waktu, jumlah populasi manusia semakin
banyak. Hutan, sawah, perkebunan pun kini telah berubah menjadi tempat tinggal,
maupun perumahan. Sehingga para hantu dan sejenisnya tersingkir, serta pindah
ke dasar laut selatan ataupun disekitar kawah gunung berapi kabarnya.
6.
Ritual
Misteri Tradisional. Ritual Konon yang biasa kita kenal dengan nama Slametan
itu, kabarnya ada dengan kisah jin paling tua di tanah Jawa . Banyak yang
bilang kalau kita melakukan ritual seperti itu, maka para dedemit akan
melindungi warga. Apalagi jika dalam permintaan bantuan disertai tangisan, maka
permintaannya akan segera terkabulkan.
7.
Misteri
Babad Tanah Jawi. Masyarakat bisa mengetahui silsilah raja zaman dahulu,
seperti pada Singasari, kerajaan Padjajaran, Mataram, Majapahit, Demak, maupun
yang lainnya dengan membaca buku babad tanah Jawi. Bahkan kabarnya ada juga
cerita mengenai para nabi, yang dulunya dianggap oleh warga kerajaan Mataram
Islam sebagai nenek moyang mereka.
8.
Tuan
Gugur Gunung. Tujuan gugur gunung dilakukan oleh masyarakat di tanah Jawa ,
adalah agar kita menyadari pentignya kebersamaan. Kata tersebut mengarahkan
pada suatu permasalahan yang dialami seseorang, kalau memecahkan secara bersama
pasti akan terasa ringan. Seperti itulah kira-kira gambaran mengenai kebiasaan
sesepuh kita zaman dahulu. Kalau sekarang ini kita lebih mengenalnya dengan
kata gotong royong, kerja sama saling membantu membantu pekerjaan secara
bersama-sama.
9.
Misteri
Banyak Ahli Sejarah yang Mengkajinya. Kabarnya konon banyak ahli yang tertarik
untuk mengkaji mengenai kisah tanah Jawa . Misalnya saja ahli sejarah yang
bernama HJ de Graaf. Beliau sudah banyak sekali belajar tentang peristiwa yang
terjadi di tanah itu, sejak zaman kerajaan Pajang. Akan tetapi hasilnya tak
berani beliau sebutkan pada masyarakat umum, karena kabarnya sangat berkaitan
dengan kosmologi, dongeng, serta mitologi.
10. Misteri
syirik. Menurut sebagian orang kisah jin di tanah Jawa itu mengarahkan kita
pada kesyirikan. Karena berdoa itu hanya kepada Allah semata, bukan memberikan
sesaji dan sebagainya pada makhluk halus. Kamu jangan ikut-ikutan, karena semua
itu adalah dosa besar yang tak mungkin dimaafkan. Saat di akherat nanti tidak
kekal yaitu di neraka, maka dari itu janganlah kamu mencobannya.
11.Tuan
Aji Saka. Salah satu legenda Jawa yang sangat populer yaitu kisah Aji Saka. Di
dalamnya menceritakan tentang asal mula adanya aksara Jawa . Banyak cerita yang
mengatakan Aji Saka itu orang paling sakti dari India yang membangun kerjaaan
pertama di tanah Jawa . Selain itu juga menggambarkan tentang kedatangan
peradaban di tanah Jawa yang mulai dirintis oleh Aji Saka itu. Hanya ada yang
mengatakan kalau kerajaan yang dibangun Aji Saka itu masih bersifat sangat
mistis. Kitangnya terdapat berbagai pendapat mengenai mana ceritanya, ada yang
bilang kalau itu berasal dari pulau Bawean, ada pula yang kabar hal tersebut
dari Jawa Tengah, dan masih banyak lagi anggapan lainnya.
LEGENDA
PULAU JAWA
Sejarah
awal Pulau Jawa seolah terbungkus oleh misteri, karena sama sekali tidak
diketahui keberadaannya oleh dunia sampai pulau ini dikunjungi oleh peziarah
dari China, Fa Hien pada tahun 412 Masehi.
Berdasarkan
buku Sejarah Gaib Tanah Jawa, karangan CW Leadbeater, Cetakan 1 Maret 2015,
disebutkan, pada 2.000 tahun sebelum masehi (SM), Pulau Jawa sudah menjadi
koloni bangsa Atlantis, tapi saat Atlantis hancur Jawa menjadi negeri terpisah.
Nah,
disaat masih dikuasai oleh bangsa Atlantis inilah ajaran gaib hitam dan sesat
mulai diajarkan kepada penduduk yang tinggal di Pulau Jawa ini.
Sehingga
pengaruh aliran sesat itu kemudian semakin kuat dan merusak tatanan kehidupan
yang ada saat itu.
Mereka
memuja dewa yang kejam yang selalu meminta persembahan manusia dan hidup di
bawah bayang-bayang tirani tanpa kesempatan untuk melepaskan diri.
Pada
zaman itu, mereka diperintah oleh raja yang merangkap Imam Agung dari aliran
hitam itu. Di antara raja ini ada seorang yang sungguh fanatik dalam
kepercayaan aliran hitam itu.
Sang
raja memiliki keyakinan bahwa hanya dengan menjalankan praktik kepercayaan yang
mengorbankan darah setiap hari, wilayahnya dapat diselamatkan dari kehancuran.
Hal
ini didasari keyakinan bahwa, dewa-dewa ganas dan haus darahlah yang memegang
kendali atas Pulau Jawa pada saat itu.
Para
dewa telah membuktikan kekuatan dahsyatnya dengan letusan gunung berapi
berulang-ulang dan bencana-bencana alam lainnya.
Raja
tersebut lalu memutuskan untuk melakukan sebuah pemagaran gaib demi untuk tetap
menjaga dan memelihara perlindungan atas Pulau Jawa. Salah satu caranya dengan
praktik ilmu gaib dari para ahli sihir.
Hal
ini dilakukan agar kelak semua sesembahan darah kepada dewa-dewa haus darah
yang bercokol di seluruh Jawa tetap dilanjutkan di sepanjang abad-abad yang
akan datang.
Kisah Sejarah Gaib Tanah Jawa
Demi
terwujudnya maksud itu, dia kemudian menciptakan mantera yang sangat kuat di
atas Pulau Jawa agar aliran hitam yang dianutnya tersebut tak akan lenyap selamanya.
Efek
dari hal itu, masih dapat dilihat baik secara etheris maupun astral dalam
bentuk awan gelap yang besar melayang-layang di atas Pulau Jawa.
Awan
hitam ini, anehnya kelihatan seolah-olah seperti tertambat pada titik-titik
tertentu, sehingga tidak lantas terbawa oleh angin dan tetap tinggal pada
tempatnya.
Titik-titik
lokasi awan hitam ini sengaja dimagnetisir oleh raja, dekat dengan kawah-kawah
gunung berapi. Salah satu alasannya adalah karena kawah-kawah tersebut biasanya
ditempati oleh beragam jenis makhluk-makhluk halus. Sehingga makhluk-makhluk
gaib itu dapat diperintah oleh sang raja.
Kemudian
pada 1.200 tahun SM terjadi invasi secara damai terhadap Pulau Jawa oleh Raja
Vaivasvata Manu yang beragama Hindu.
Mereka
datang secara damai tinggal di pantai dan pada akhirnya membentuk kota
perdagangan kecil yang independen.
Seiring
waktu, kekuatan para pendatang Hindu ini meningkat pesat dan akhirnya menjadi
dominan dalam komunitas.
Akan
tetapi walaupun Agama Hindu telah diterima oleh penduduk namun dalam
kenyataannya pemujaan lama terhadap ajaran sesat tetap dilaksanakan dan praktik
ilmu gaib malah makin menjamur.
Melihat
kondisi tersebut Raja Vaivasvata yang berkuasa saat itu meminta untuk
mengirimkan ekspedisi ke Jawa pada tahun 78 Masehi.
Ekspedisi
ini dilakukan untuk menangkal pengaruh buruk dari aliran sesat yang sudah
membumi di Tanah Jawa tersebut.
Pemimpin
ekspedisi ini dipimpin oleh ahli spritual bernama Aji Saka atau Sakaji. Aji
Saka ini sangat memahami tugas yang diembannya.
Aji
Saka lalu menanam benda yang berdaya magnet kuat yang telah dimantrai di tujuh
tempat di Pulau Jawa untuk menyingkirkan pengaruh aliran hitam dari tanah Jawa
(tumbal bagi tanah Jawa).
Untuk
tempat menguburkan tumbal atau jimatnya yang paling penting dan kuat, Aji Saka
memilih perbukitan yang mengarah ke Sungai Progo, tempat yang sangat dekat
dengan titik Pulau Jawa.
Legenda
mengenai Aji Saka ini dalam berbagai cerita juga dianggap melambangkan
kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke Pulau Jawa.
Akan
tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah berasal dari istilah
dalam Bahasa Jawa Saka atau Soko yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula,
maka namanya bermakna "raja asal-mula" atau "raja pertama".
Mitos
ini mengisahkan mengenai kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban,
tata tertib dan keteraturan ke Jawa.
Karena
Aji Saka telah mengalahkan raja jahat Prabu Dewata Cengkar sang penguasan hitam
yang kala itu menguasai Pulau Jawa.
Legenda
ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka, atau
setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di Jawa.
Tumbal
Aji Saka untuk menangkal kekekuatan hitam pun bertahan hingga beratus-ratus
tahun kemudian. Hingga sampai pada keadaan dimana jin kembali berkuasa, hujan
darah dimana-mana, bencana merajalela.
Pada
masa ini berkembanglah beberapa aliran ilmu gaib di Pulau Jawa diantaranya,
kejawen, klenik dan kebatinan.
Lalu
pada awal abad 13 datanglah Syekh Subakir seorang ulama yang dikirim Kesultanan
Turki Utsmaniyah ke tanah Jawa.
Syekh
Subakir adalah seorang ulama besar yang dikirim untuk menumbal tanah Jawa dari
pengaruh negatif makhluk halus saat awal penyebaran ajaran Islam di nusantara.
Karena
Syekh Subakir mengetahui kondisi Pulau Jawa banyak dipengaruhi unsur gaib yang
sangat mengganggu. Lalu, Syekh Subakir membawa batu hitam dari Arab yang telah
dirajah.
Kemudian
dengan karomah yang dimilikinya batu hitam dengan nama Rajah Aji Kalacakra
tersebut dipasang di tengah-tengah tanah Jawa yaitu di Puncak Gunung Tidar,
Magelang.
Karena,
Gunung Tidar dipercayai sebagai titik sentral atau pakunya tanah Jawa. Hasilnya
kekuatan gaib yang mengganggu di Pulau Jawa dapat dihalau.
Pada
masa ini ilmu kebatinan berkembang lagi menjadi beberapa cabang yaitu,
ketabiban, kawaskitaan, kesaktian, kanuragan, kekebalan, pengasihan, termasuk
juga tenaga dalam.
Kemudian
sepeninggalan Syekh Subakir pemagaran gaib terhadap pengaruh negatif
dilanjutkan oleh para Wali Songo. Para wali ini mengajarkan ajaran Islam. Salah
satu diantaranya yang terkenal yaitu Sunan Kalijaga.
CERITA
SEMAR DAN TOGOG DALAM WAYANG PURWA
Pada
suatu hari di istana Jonggring Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang Hyang Tunggal
yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya, Sang Hyang
Antaga, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya.
Ia
bermaksud ingin menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun
sebelumnya Sang Hyang Tunggal mengisahkan perihal kelahiran mereka yang berasal
dari sebutir telur hingga tercipta menjadi sosok manusia dewa. Dan yang membuat
Sang Hyang Tunggal belum bisa menentukan siapa diantara putranya yang berhak
mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah karena dulu Sang Hyang Tunggal menyirami
tiga bagian pecahan telur itu secara bersamaan sehingga tidak ada yang tercipta
lebih dahulu dari bagian lainnya, tidak ada istilah ter-tua diantara yang
lainnya, besarnya pun bersamaan.
Sebelum
Sang Hyang Tunggal selesai bersabda, tiba-tiba Sang Hyang Antaga berkata kepada
Sang Hyang Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit telur tentunya lebih awal
dilahirkan, sebab kulit berada diluar isi dan telah ditakdirkan menjadi
pelindung, yaitu melindungi isi telur yang lemah.
Maka
menurut Sang Hyang Antaga, kulit telurlah yang dianggap lebih tua dibandingkan
dengan isinya.
Sang
Hyang Ismaya menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya, bahwa kulit dan
isi telur adalah satu kesatuan yang terlahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan
merah telur yang menjadi isi, maka kulit telur pun tidak akan ada.
Tidaklah
mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja tanpa ada isi yang telah ikut
menyempurnakan keadaannya. Dan Sang Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang
Antaga, bahwa putih dan merah telur yang menjadi isi adalah cikal bakal yang
menjadi adanya tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangannya saja, tetapi
isilah yang menjadi sumber dan keutamanya.
Sang
Hyang Antaga tersinggung mendengar kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia yang
tercipta dari kulit telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki keutamaan,
hanya ragangan yang berarti benda kosong yang tidak memiliki arti. Sang Hyang
Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur adalah yang terkuat dengan
wujud keras dibandingkan isi.
Sang
Hyang Ismaya membantah, bagaimana bisa disebut kuat kalau kulit telur bisa
retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian
memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.
Kita
adu kesaktian!
Siapa
yang kuat diantara kita!
Sang
Hyang Antaga menunjukan perwatakannya yang secara lahir tercipta dari kulit
telur, keras, jumawa dan selalu merasa dirinya yang paling hebat.
Sang
Hyang Ismaya yang sudah merasa jengah dengan segala perkataan dan sikap
saudaranya, menanggapi tantangan.
Bagi
Sang Hyang Ismaya menolak tantangan adalah tindakan seorang pengecut. Sekaligus
akan memberi pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa “girilusi jalmo tan keno ing
ngino” di atas langit masih ada langit, jangan menganggap diri paling sakti di
atas muka bumi.
Melihat
perselisihan yang kian memanas diantara kedua putranya, Sang Hyang Tunggal
segera melerai. Ia menasehati putra-putranya agar bisa lebih berpikir secara
jernih dan terbuka, sebab semua masalah akan ada jalan keluarnya bila tanggapi
dengan jiwa yang bersih. Tapi sudah terlanjur, keduanya sudah merasa saling
dihinakan satu sama lainnya, maka keduanya pun sudah tidak menghiraukan lagi
nasehat ayahandanya.
Bertikai
dengan saudara sendiri, apakah kalian tidak akan menyesal nantinya ?
Guntur
menggelegar dan kilat menyambar. Awan hitam berarak berkejaran menutupi langit,
bumi pun bergetar. Candradimuka bergolak menyemburkan lahar api yang sangat
panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi kutukan bagi mereka, namun karena
keduanya sudah sama dirasuki nafsu angkara murka, maka keduanya sudah tidak
mampu berfikir dengan hati nuraninya. Hyang Antaga segera melesat meninggalkan
Jonggring Salaka, dan kemudian disusul oleh Sang Hyang Ismaya.
Dilain
pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu. Dia tidak mau melibatkan diri
dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin ikut campur. Akan
tetapi diam yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya bukanlah sebab halus budi
pekertinya.
Disinilah
perbedaan perwatakan diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya lebih cerdik
dibandingkan kedua saudaranya, ia licik dan otaknya mampu bekerja dengan baik
dibandingkan nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya
yang bertikai.
Ia
tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian yang berimbang, jadi untuk apa
harus membuang tenaga ikut mengadu kesaktian dengan mereka. Yang terlintas
dalam pikirannya adalah, ini kesempatan baik untuk bisa merebut hati
ayahandanya dan mengincar singgasana Suralaya.
Sementara
itu, jauh di luar gerbang gaib Selamatangkep, dua kesatria dewa telah saling
beradu kesaktian. Masing-masing dari keduanya menunjukan keluhuran ilmunya.
Saling mengeluarkan aji jaya kawijaya dan saling menghunus pusaka kadewatan.
Mereka
saling serang, saling pukul, saling tusuk dan saling banting hingga
mengakibatkan guncangan hebat bagi bumi tempat mereka bertarung. Gunung
longsor, bukit rug-rug. Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan semburan
api panas yang menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak Himalaya.
Tidak
disangsikan lagi kehebatan dari kedua putra Sang Hyang Tunggal itu, keduanya
sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Palagan yuda
tempat bertarung mereka tidak hanya di atas lapisan bumi, tapi juga masuk ke
dalam perut bumi, bertarung di dasar samudera dan bahkan berdirgantara di
angkasa.
Pertempuran
dua kesatria dewa yang berlangsung dahsyat ini mengundang rasa keprihatinan bagi
kakek-kakek mereka, baik Sang Hyang Wenang yang bersemayam di alam sunyaruri,
ataupun Sah Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) yang bersemayam di Samudralaya.
Telah
banyak yang menjadi korban karena dampak dari pertarungan kedua cucunya.
Rusaknya gunung, hutan dan lautan, juga mahluk-mahluk lain baik yang berada di
alam maya ataupun di alam nyata.
Pertarungan
antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah memakan waktu yang cukup
lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal rasa lelah. Dan saat pertarungan menginjak
waktu yang ke-empat puluh hari, Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk
menyelesaikan pertarungan dengan mengajukan syarat sayembara kepada kedua
putranya.
Barang
siapa yang mampu menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka
dialah yang akan diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja
Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.
Sang
Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya menyanggupi sayembara tersebut. Keduanya
lalu mempersiapkan diri. Didahului oleh Sang Hyang Antaga, ia bertiwikrama
menjadi berhala sewu yang besarnya melebihi gunung.
Dan
lalu gunung Jamurdipa dicabut dan dimasukan ke dalam mulutnya. Ia memaksa untuk
menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk menelannya, Gunung Jamurdipa
itu masih berukuran lebih besar dari mulutnya, tapi karena nafsunya yang besar,
maka ia terus mencoba memasukan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya
robek besar.
Kegedhen
empyak kurang cagak, besar keinginannya namun kurang mempunyai perhitungan.
Melihat
Sang Hayang Antaga yang sedang bersusah payah ingin menelan gunung, Sang Hyang
Ismaya segera melakukan tiwikrama. Tubuhnya seketika meninggi dan membesar,
wujudnya seketika itu juga berubah menjadi berhala sewu. Akan tetapi wujud
reksa denawa Sang Hyang Ismaya lebih tinggi besar dibandingkan dengan wujud
raksasa jelmaan Sang Hyang Antaga.
Tingginya
melebihi tujuh kali puncak Himalaya. Kemudian Berhala Sewu perwujudan dari Sang
Hyang Ismaya dengan cepat merebut gunung yang hendak ditelan oleh Sang Hyang
Antaga. Dalam keadaan seperti itu Sang Hyang Antaga menjadi limbung, pandangan
matanyapun dengan serta merta menjadi gelap, tidak sadarkan diri. Tubuhnya
sekejap berubah kembali menjadi kecil dan luruh ambruk di atas bumi.
Kini
gilliran Sang Hyang Ismaya, dengan kekuatan luar biasa Sang Hyang Ismaya
memaksakan gunung Jamurdipa masuk ke dalam mulutnya. Oleh sebab itu tubuhnya
lebih besar dari reksa denawa jelmaan Sang Hyang Antaga, maka dengan
kekuatannya Sang Hyang Ismaya berhasil memasukan gunung Jamurdipa ke dalam
mulutnya, lalu ditelan.
Sang
Hyang Ismaya sempat tercekat, ia merasa seperti tercekik dan sulit bernafas
saat gunung Jamurdipa tertelan masuk di kerongkongannya. Ia mengerahkan seluruh
tenaga dan kesaktiannya hingga gunung itu pun langsung amblas ke dalam
perutnya.
Seperi
juga Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya sudah kehabisan seluruh tenaganya, ia
merasa sudah tidak mampu lagi untuk mencoba memuntahkan kembali gunung
Jamurdipa. Tubuhnya dingin dan lunglai, lalu seketika berubah kembali menjadi
kecil, jatuh terkapar tidak sadarkan diri.
Sementara
di Jonggring Salaka, Sang Hyang Tunggal yang sudah mengetahui peristiwa yang
telah dialami kedua putranya hanya merenung. Ia pun menyesali atas kesalahannya
waktu dulu, saat menyempurnakan wujud telur yang menjadi asal muasal mereka.
Seharusnya
mereka tidak disempurnakan secara bersamaan, sehingga bisa dibedakan mana yang
lebih awal tercipta dan untuk dituakan. Namun yang lebih disesalkan lagi adalah
mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatnya sebagai orang tua, apa mau
dikata, semuanya sudah terlanjur, dan mereka telah memilih jalannya
masing-masing.
Alam
kembali menjadi tenang, burung-burung berkicau dikegelapan pagi, dan angin
berhembus semilir meniupkan nafasnya yang gemulai. Diantara basahnya embun pagi
di atas dedaunan, dua sosok mahluk yang terkapar di atas tanah kini mulai
bergerak hidup, menunjukan bahwa keberadaan mereka masih memiliki nafas.
Mereka
yang tidak lain adalah Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya yang telah tidak
sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya, dan kini mulai terbangun dari
sadarnya. Keduanya masih terlihat bingung dan seperti sedang mengingat-ingat
sesuatu. Baik Sang Hyang Antaga maunpun Sang Hyang Ismaya belum pulih total
kesadarannya, mereka sama terkejutnya saat saling berhadapan.
Dan
Salah satu dari mereka lalu bertanya.
Siapa
anda ?
Yang
ditanya menjawab sebagai Sang Hyang Antaga. Yang bertanya sontak terkejut
seperti mendengar petir disiang bolong. Betapa tidak, yang mengaku sebagai Sang
Hyang Antaga itu berpenampilan buruk rupa. Penampilan dan mukanya sangat jauh
dari Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenal.
Sang
Hyang Antaga yang sangat ia kenali adalah sosok kesatria perkasa, sedangkan
yang dihadapinya bisa dibilang lebih mirip dengan mahluk jadi-jadian sebangsa
Jin atau Dedemit. Tubuhnya pendek buncit, mukanya tidak seimbang dengan
mulutnya yang sangat lebar menyerupai mulut angsa.
Belum
lagi habis rasa herannya, yang tadi mengaku bernama Sang Hyang Antaga balik
bertanya.
Lah!
Anda sendiri siapa ?
Kini
giliran dia menjawab dan mengaku bernama Sang Hyang Ismaya. Seperti juga Sang
Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga pun terkejut bukan kepalang. Sang Hyang Ismaya
seharusnya berwajah elok dan bersinar seperti matahari, tapi yang mengaku
Ismaya ini bertubuh gemuk berpantat besar, wajahnya pun sama sekali tidak
mirip, sangat lebih tua.
Mereka
berdua saling meyakinkan siapa mereka, dan baru tersadar saat mereka mencoba
untuk mengenali bentuk tubuh masing-masing, merabai seluruh wajah dan tubuhnya.
Mereka sama-sama terkejut dan menjadi sadar bahwa mereka berdua telah terkena
kutukan orang tua mereka, Sang Hyang Tunggal.
Lalu
mereka berdua menangis sejadi-jadinya sambil berangkulan seperti anak kecil.
Dan kemudian memutuskan untuk kembali pulang ke Kahyangan Suralaya, menghadap
Sang Hyang Tunggal.
Di
Jonggring Salaka, di hadapan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Ismaya dan Sang
Hyang Antaga masih terus menangis memohon ampunan, mereka memohon ayahandanya
untuk merubah kembali wujud mereka seperti semula. Namun Sang Hyang Tunggal
tidak dapat mengabulkan permohonan mereka. Menurutnya ini sudah takdir dan
kehendak Yang Maha Kuasa.
Sang
Hyang Tunggal bersabda kepada para putranya bahwa dirinya akan segera mokswa ke
alam sunyaruri, namun sebelumnya ia akan menunjuk salah satu dari putranya
untuk menggantikannya menjadi Raja Tribuana di Kahyangan Suralaya.
Lalu
Sang Hyang Tunggal menunjuk dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya menjadi Raja
Tribuana, dan kepada Sang Hyang Antaga juga Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang
Tunggal menyarankan mereka untuk turun ke marcapada apabila Sang Hyang
Manikmaya kelak menurunkan keturunannya di Marcapada.
Sebagai
Raja Tribuana, Sang Hyang Manikmaya diberi tugas untuk menentramkan marcapada.
Sedangkan Sang Hyang Antaga bila saatnya nanti turun ke marcapada harus merubah
namanya menjadi Togog (Togog Wijomantri).
Ia
ditugaskan untuk mengasuh, mendidik dan memberi nasehat budi pekerti yang baik
kepada para raja keturunan Sang Hyang Manikmaya yang berwujud raksasa.
Semar
dikenal sebagai ayah dari punakawan, dimana dikenal sebagai penasihat sejak leluhur
Pandawa hingga generasi-generasi berikutnya.
Lantas
apa peran dari para punakawan yang biasanya muncul di adegan goro-goro dan
membuat penonton terpingkal-pingkal ?
Apakah
mereka sekedar pelawak ?
Siapa
juga si Togog ?
Kehadiran
Semar, Togog, dan para punakawan di dunia pewayangan sesuatu yang menarik. Oleh
karena mereka hanya muncul di kisah pewayangan ala Indonesia, sedangkan di
versi India sendiri kisah mereka tidak ada. Yang sebagai penasihat di kisah
India hanya Krisna dan Begawan Abiyasa, peran Semar dan lain-lainnya tidak
terungkap. Nah, sebenarnya siapakah Semar, Togog, Gareng dan kawan-kawannya?
Ini
sebuah kisah yang kita sarikan dari buku komik berjudul Wayang Purwa karya Ardi
Soma terbitan Elex Media Komputindo.
Kita
yakin ada banyak versi di luar sana tentang asal asal usul Semar dkk. Versi
wayang Jawa dan versi Sunda mungkin juga berbeda.
Oke
kita mulai ceritanya. Alkisah Menurut kisah wayang purwa, manusia pertama
adalah Nabi Adam yang berputera Nabi Sis. Nabi Sis ini kemudian memiliki putera
bernama Sanghyang Nurcahya yang kemudian berputera Sanghyang Nurrasa. Sanghyang
Nurrasa kemudian berputera Wenang dan bercucu Sanghyang Tunggal.
Semar
dan Togog awalnya adalah putera dari Sanghyang Tunggal dari Dewi Wiranti. Ada
tiga puteranya yang lahir dimana berbentuk telur. Setelah bersemedi maka telur
itu berubah menjadi bayi yang tampan. Bayi dari kulit telur bernama Antaga atau
Puguh. Bayi berikutnya dari putih telur adalah Ismaya dan yang terakhir dari
kuning telur bernama Manikmaya. Dewa tersebut tinggal di Jonggringsalaka di
Swargaloka di atas Gunung Mahameru.
Suatu
ketika Sanghyang Tunggal hendak mewariskan tahta di antara ketiga puteranya.
Antaga dan Ismaya pun berselisih merasa salah satu dari mereka yang berhak.
Mereka berkelahi dan sama kuatnya, hingga suatu saat saling menantang untuk
menelan gunung. Yang terjadi fatal. Mulut Antaga menjadi lebar dan perut Ismaya
menjadi besar. penampilan mereka menjadi buruk rupa dan tak bisa diperbaiki.
Tampuk
kekuasaan berikutnya jatuh ke Manikmaya yang mendapat gelar Sanghyang Jagatnata
atau Surapati. Manikmaya juga memiliki nama lain Guru (bersemayam di Tengguru)
dan Samba juga Sanghyang Otipati (berkuasa menghukum). Ia juga menerima pusaka
para dewa seperti kalaminta, tranggayeni, dan aji kemayan.
Antaga
sendiri berperan sebagai penasihat dan pengritik jika Manikmaya berbuat salah. Setelah Manikmaya
memiliki penerus ia bertugas mengawasi dan menghalangi orang-orang yang berniat
jahat kepada setiap keturunan dewa. Ia mendapat julukan Togog.
Sedangkan
Ismaya yang berperut besar mendapat julukan Semar. Ia bertugas sebagai
penasihat raja juga mengasuh keturunannya kelak.
Setelah
Manikmaya berkuasa, ada banyak serangan baik dari para jin maupun dari kerajaan
manusia yang kuat. Mereka ingin menguasai Suralaya, namun berkali-kali berhasil
dihalau dan beberapa di antaranya menjadi abdi Manikmaya. Di antara penyerang
itu ada yang berubah menjadi Gareng dan Dawala. Keduanya diangkat menjadi anak
Semar. Keduanya gemar bersenda gurau.
Ada dua cersi utama yang menceritakan asal-usul Semar
Pertama
Surga
dan bumi dalam kisah pewayangan dikuasai oleh Sang Hyang Wenang. Sang Hyang
Wenang memiliki putra bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal
memperistri Rekathawati. Pada suatu hari, Dewi Rekathawati bertelur. Seketika
itu telur tersebut terbang ke hadapan Sang Hyang Wenang. Setiba di hadapan Sang
Hyang Wenang, telur tersebut menetas sendiri dan terwujudlah tiga makhluk
antropomorfis. Yang muncul dari kulit telur dinamai Tejamantri, putih telur
menjadi Ismaya, dan kuning telur menjadi Manikmaya.
Pada
suatu hari, ketiganya membicarakan masalah siapa yang akan menggantikan
kekuasaan ayah mereka. Manikmaya menyarankan diadakan pertandingan menelan
gunung dan memutahkannya kembali. Tejamantri sebagai yang tertua melakukannya
dulu tetapi gagal yang berakibat mulutnya sobek.
Ismaya
kemudian maju dan berhasil menelannya tetapi tidak berhasil memuntahkannya.
Insiden ini menyebabkan terjadinya gara-gara atau bencana. Sang Hyang Wenang
segera datang dan mengambil keputusan. Beliau mengatakan bahwa pada waktunya,
Manikmaya akan menjadi raja para dewa, penguasa surga di Kahyangan. Manikmaya
juga akan mempunyai keturunan yang menjadi penduduk bumi. Ismaya dan Tejamantri
harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan Manikmaya. Keduanya hanya boleh
menghadap Sang Hyang Wenang apabila Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak itu
Sang Hyang Wenang mengganti nama mereka. Manikmaya menjadi Bathara Guru,
Tejamantri menjadi Togog, dan Ismaya menjadi Semar. Karena sebuah gunung pernah
ditelan Ismaya maka bentuk tubuh Smer menjadi besar, gemuk, dan bundar.
Kedua
Versi
ini menyebutkan bahwa alam semesta muncul sebagai sesuatu yang tercipta
sekaligus. Diceritakan bahwa sebutir telur yang dipegang Sang Hyang Wenang
menetas dengan sendirinya dan tampaklah langit, bumi, dan cahaya (teja), serta
dua makhluk anthroporphis, Manik dan Maya. Kalau versi pertama dan kedua
dibandingkan ada persamaannya. Ismaya dari versi pertama dan Maya dari versi
kedua, terjadi dari putih telur dan keduanya memelihara bumi. Manikmaya atau
Manik merupakan transformasi dari kuning telur dan keduanya menjadi raja para
dewa di Surga. dalam kedua versi itu Manikmaya dan Manik menjadi Bathara Guru
yang keturunannya tersebar di surga dan di bumi, sedangkan Ismaya dan Maya
dinamakan Semar dan dijadikan pelindung bumi.
Namun
ada juga yang berasal dari beberapa kitab seperti berikut ini:
Dalam
naskah Serat Kanda dikisahkan,penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa
memiliki dua orang putra bernama Sang Hyang Tunggal dan Sanghyang Wenang.
Karena Sang Hyang Tunggal berwajah
jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskankepada Sanghyang Wenang. Dari
Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru.
Sanghyang
Tunggal kemudian menjadi pengasuh parakesatria keturunan Batara Guru, dengan
nama Semar.
Dalam
naskah Paramayoga dikisahkan,Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang
Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri
raja jin kepiting bernamaSanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir
mustika berwujud telur yangkemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya
masing-masing diberi namaIsmaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk
yang berkulit putih. Ismayamerasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal
kurang berkenan. Takhtakahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian
bergelar Batara Guru.
Sementara
itu Ismaya hanya diberi kedudukansebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat
tinggal golongan makhluk halus.Putra sulung Ismaya yang bernama Batara
Wungkuham memiliki anak berbadan bulatbernama Janggan Smarasanta, atau
disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunanBatara Guru yang bernama Resi
Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya.Dalam keadaan istimewa, Ismaya
dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadisosok yang sangat ditakuti,
bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versiini, Semar adalah cucu dari
Ismaya.
Dalam
naskah Purwakanda dikisahkan,Sanghyang Tunggal me miliki empat orang putra
bernama Batara Puguh, BataraPunggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu
hari terdengar kabar bah-watakhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal
ini mem buat ketiga kakaknyamerasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak
dibunuh. Namun perbuatantersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal
pun mengutuk ketigaputranya menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi
Togog, Pung-gungmenjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai peng-asuh
keturunan Samba,yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat
pengampunankarena hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada
dandiangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam
naskah Purwacarita dikisahkan,Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati
putra Sanghyang Rekatatama.Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang
bercahaya. Sanghyang Tunggaldengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga
pecah menjadi tiga bagian,yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya
masing-masing menjelmamenjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama
Antaga, yang berasaldari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal
dari kuningnyadiberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya
berselisih karenamasing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan.
Keduanya
pun mengadakan perlombaan menelangunung. Antaga berusaha melahap gunung
tersebut dengan sekali telan namunjustru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek
dan matanya me-lebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu memakan gunung itu
sedikit demi sedikit.
Setelah
melewati beberapa hari seluruh bagiangunung pun ber-pindah ke dalam tubuh
Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan.Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun
bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murkamengetahui ambisi dan keserakahan kedua
pu-tranya itu. Mereka pun dihukummenjadi pengasuh keturunan Ma-nikmaya, yang
kemudian diangkat sebagai rajakahyangan, bergelar Batara Guru.
Antaga
dan Ismaya pun turun ke dunia.Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Kisah Syekh Subakir Memaku Pulau Jawa di Gunung Tidar
Dalam
Babad Tanah Jawi diceritakan tentang Syekh Subakir dalam menumbali tanah Jawa.
Pada zaman dahulu kala, ketika pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha
Pencipta dalam bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut
senantiasa bergerak kesana kemari.
Seorang
dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar
berhenti bergerak. Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa
tersebut akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung
Tidar
Gunung
yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang kebetulan berada tepat
dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang berbentuk kepala paku; karena itu
gunung Tidar dikenal luas sebagai pakuning tanah jawa.
Legenda
ini sangat melekat bagi masyarakat tradisional Jawa, tidak sekedar di Magelang,
tapi juga ke daerah-daerah lain di Jawa, bahkan sampai di Lampung dan
mancanegara (Suriname). Hal ini karena telah disebutkan dalam jangka Joyoboyo
dan mengalir secara tutur tinular menjadi kepercayaan masyarakat.
Dalam
legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, beberapa kali ulama menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa tapi telah gagal.
Orang-orang
Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh
gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar Pulau Jawa.
Para
ulama yang dikirim untuk menyebarkan agama Islam mendapat halangan yang sangat
berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa
berkembang secara luas.
Maka
diutuslah Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan membawa batu hitam
yang dipasang oleh Syekh Subakir di seantero Nusantara. DI tanah Jawa
diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar.
Kemudian,
gunung Tidar dikenal dengan Paku Tanah Jawa. Gunung yang dalam legenda dikenal
sebagai "Pakunya tanah Jawa" itu terletak di tengah Kota Magelang.
Di
tengah lapangan di atas gunung Tidar terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf
Sa (dibaca seperti pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya.
Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh (Siapa Salah
Ketahuan Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya
Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.
Gunung
Tidar terkenal akan ke-angker-annya dan menjadi rumah bagi para Jin dan Makhluk
Halus. Jalmo Moro Jalmo Mati, setiap orang yang datang ke Gunung Tidar bisa
dipastikan kalau tidak mati ya modar (dan mungkin hal ini yang menjadi asal
usul nama Tidar).
Efek
dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah
para mahluk : Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syekh Subakir yang mampu
meredam amukan dari mereka.
Berdasarkan
penuturan Juru Kunci Gunung Tidar, di Gunung Tidar terdapat makam yaitu Makam
Kyai Sepanjang dan Makam Sang Hyang Ismoyo (atau yang lebih dikenal sebagai
Kyai Semar). Sedangkan tempat yang selama ini dikenal sebagai Makam Syekh
Subakir sebenarnya hanyalah petilasan beliau.
Jadi,
beliau dikenal sebagai wali Allah yang menaklukkan Jin dan makhluk halus di
Gunung Tidar sehingga para makhluk halus tersebut ‘mengungsi’ ke Pantai
Selatan, tempat Nyai Roro Kidul. Setelah berhasil menaklukkan Jin dan Makhluk
Halus, Syekh Subakir kembali ke tanah asalnya di Rom (Baghdad).
Syekh
Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama,
yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari Istambul, Turki untuk berdakwah di
pulau Jawa pada tahun 1404.
Mereka
diantaranya, Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan. Maulana
Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
Maulana
Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko. Maulana Malik Isro’il, dari Turki,
ahli mengatur negara. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli
pengobatan. Maulana Hasanudin, dari Palestina. Maulana Aliyudin, dari
Palestina. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang
dihuni jin jahat.
Pada
tahap berikutnya, kedudukan Syekh Subakir, Sang Babad Tanah Jawa sebagai salah
satu Wali Songo, digantikan oleh Sunan Kalijaga.
Tombak Kiai Panjang dan Tumbal Tanah Jawa
Syekh
Subakir adalah salah seorang ulama asal Persia (Iran saat ini) yang dikirim
Khalifah Turki Utsmaniyah, Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam di
wilayah Nusantara atau tanah Jawa. Syekh Subakir konon adalah seorang ulama
besar yang juga menjadi anggota Wali Songo periode pertama.
Konon
dengan kesaktiannya dan tombak pusaka Kiai Panjang telah menumbal tanah Jawa
dari pengaruh negatif makhluk halus saat awal penyebaran ajaran Islam di
nusantara.
Syekh
Subakir diutus ke tanah Jawa secara khusus untuk menangani masalah-masalah gaib
dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang diterimanya Islam oleh
masyarakat Jawa ketika itu. Karena Syekh Subakir ini ahli dalam merukyah,
ekologi, meteorologi dan geofisika.
Berdasarkan
Babad Tanah Jawa, setelah sampai ke nusantara, Syekh Subakir yang menguasai
ilmu gaib dan dapat menerawang makhluk halus mengetahui penyebab utama
kegagalan para ulama pendahulu dalam menyebarkan ajaran Islam karena dihalangi
para jin dan dedemit penunggu tanah Jawa.
Lalu
tombak pusaka Kiai Panjang tersebut ditancapkan tepat di Puncak Tidar sebagai
penolak bala.
Konon
tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi para lelembut dan
bangsa jin yang berdiam di Gunung Tidar.
Lelembut,
setan, siluman lari menyelamatkan diri. Jin, peri, banaspati, semuanya tak kuat
menahan panasnya pancaran kekuatan hawa panas yang dikeluarkan tombak tersebut.
Sebagian
jin yang lain ada yang mati akibat hawa panas dari tumbal yang dipasang Syekh
Subakir tersebut.
Konon
Sabda Palon, raja bangsa jin yang telah 9.000 tahun bersemayam di Puncak Gunung
Tidar terusik dan keluar mencari penyebab timbulnya hawa panas bagi bangsa jin
dan lelembut.
Sabda
Palon lalu berhadapan dengan Syekh Subakir. Sabda Palon lalu menanyakan maksud
pemasangan tombak tersebut.
Sang
ulama menyatakan, maksud dia, menancapkan tombak itu untuk mengusir bangsa jin
dan lelembut yang mengganggu upaya penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa oleh
para ulama utusan Sultan Sultan Muhammad I.
Setelah
terjadi perdebatan mereka lalu mengadu kesaktian. Konon pertempuran antara
keduanya terjadi selama 40 hari 40 malam, hingga Sabda Palon yang juga dikenal
sebagai Ki Semar Badranaya sang Danyang tanah Jawa ini merasa kewalahan dan
menawarkan perundingan.
Sabda
Palon mensyaratkan beberapa point dalam upaya penyebaran Islam di tanah Jawa.
Isi kesepakatan antara lain, Sabda Palon memberi kesempatan kepada Syekh
Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak
boleh dengan cara memaksa.
Kemudian
Sabda Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam untuk berkuasa di tanah
Jawa Raja-raja Islam namun dengan catatan.
Para
Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adat
istiadat dan budaya yang ada. Silahkan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan
kitab yang diakuinya, tetapi biarlah adat dan budaya berkembang sedemikian
rupa. Syarat-syarat itu pun akhirnya disetujui Syekh Subakir.
Selain
di Puncak Gunung Tidar, Syekh Subakir juga membersihkan beberapa tempat angker
di tanah Jawa yang dikuasai para raja jin dan makhluk halus lainnya.
Tombak
itu sekarang masih dijaga oleh masyarakat dan ditempatkan di Puncak Gunung
Tidar dengan nama Makam Tombak Kiai Panjang.
Dengan
adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan
makhluk halus
Dalam
versi lain disebutkan konon Syekh Subakir membawa batu hitam dari Arab yang
telah dirajah.
Batu
dengan nama Rajah Aji Kalacakra tersebut lalu dipasang di tengah-tengah tanah
Jawa yaitu di Puncak Gunung Tidar, Magelang. Karena, Gunung Tidar dipercayai
sebagai titik sentral atau pakunya tanah Jawa.
Efek
dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam tersebut menimbulkan
gejolak.
Alam
yang tadinya cerah dan sejuk, matahari bersinar terang, damai dengan kicau
burung. Tiba-tiba berubah drastis selama tiga hari tiga malam.
Cuaca
mendung, angin bergerak cepat, kilat menyambar menimbulkan hujan api.
gunung-gunung bergemuruh tiada henti.
Para
makhluk halus pun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar. Sebagian
pengikut Sabda Palon dari bangsa jin melarikan diri ke timur dan konon hingga
sekarang menempati daerah Gunung Merapi yang masih dipercaya sebagian
masyarakat sebagai wilayah yang angker.
Bahkan
sebagian lagi anak buah Sabda Palon ada yang melarikan diri ke alas Roban, dan
ke Gunung Srandil.
Karena
keberhasilannya menumbal tanah Jawa lalu penyebaran Islam oleh Wali Songo
periode pertama menjadi menjadi lancar.
Nama
Syekh Subakir lalu menjadi sangat terkenal dan dikagumi di kalangan para
pendekar, penganut ilmu gaib dan kanuragan, bangsawan serta masyarakat di tanah
Jawa ketika itu. Sehingga mereka terkesan mendewakan sang ulama asal Persia
tersebut.
Akhirnya,
untuk melepaskan kefanatikan masyarakat terhadap Syekh Subakir dan untuk menjaga
aqidah umat Islam. Maka pada tahun 1462 Masehi, Syekh Subakir pulang ke Persia,
Iran.
Ini
dimaksudkan agar kefanatikan tersebut runtuh, dan masyarakat kembali kepada
tauhid yang benar.
Selain
itu tugas utama Syekh Subakir untuk membersihkan tanah Jawa dari pengaruh
negatif makhluk halus telah selesai.
Selanjutnya
setelah Syekh Subakir wafat posisinya digantikan oleh Wali Songo lainnya yaitu
Sunan Kalijaga.
VERSI PEWAYANGAN
Kisah Semar dan Syaikh
Subakir di Belukar Tidar
Semar iku/ Pamomong satriya tuhu/ Ing njero lan njaba
Tansah gumolong nyawiji/ Kehing lamis lawan cidra swuh
kabrasta
(Semar itu/ Pamomong ksatria utama/ Hati dan raganya
Selalu menjadi satu/ Seluruh dusta dan khianat habis
terkikis)
Semar dipuja oleh dewa dari sebutir telur. Dari kulitnya
terciptalah Antaga. Dari dagingnya yang putih terciptalah dirinya. Dan dari
kuning itu telur terciptalah adiknya, Manikmaya.
Sak wijining dino, setelah beranjak dewasa, terbitlah
ambisi di antara ketiganya. Mereka berebut tua. Maklum, seperti lazimnya, yang
tertua akan menjadi sang pengganti ayahanda. Sayembara dimulai: menelan
kemudian memuntahkan kembali sebuah gunung.
Antaga tak berhasil, mulutnya sobek. Gunung itu tak
dapat ditelannya. Ismaya, putera kedua dari Sang Hyang Tunggal ini, berhasil
menelannya. Tapi celaka, gunung itu tak dapat dimuntahkannya. Perutnya buncit,
mengandung itu gunung.
Mereka berdua, Antaga dan Ismaya, nggege mangsa
(terburu-buru), menyebabkan murkanya sang ayahanda. Sudah jelek terkutuk pula.
Keduanya dibuang ke dunia. Antaga bertugas memomong para ksatria berwatak
jahat. Dan Ismaya memomong para ksatria utama, trahing witaradya (keturunan
manusia utama).
Tinggallah Manikmaya, ketiban beja (beruntung), ambisi
tak terlampiaskan tersebab gunung telah terbenam dalam perut Ismaya.
Maka atas nama beja (peruntungan) jadilah ia sang
penguasa Triloka yang jika dirunut menurunkan para ksatria utama.
Siapa di antara ketiganya yang sesungguhnya paling
tua?
Banyak sumber mengatakan, Manikmaya, karena ia tak
kebagian pamer.
Tapi tak sesederhana itu sebenarnya. Jawa nggone semu,
jawa itu tempatnya kiasan, yang tak mudah ditelan mentahan.
VERSI Sejarah
Ada yang bilang, kita tak pernah menemukan makna, kita
menciptakannya. Pendapat ini pernah menghiasi apa yang disebut sebagai the
linguistic turn dalam epistemologi, yang pada akhirnya juga kebudayaan.
Senada dengan serpihan skeptisisme itu, pada dekade
60-an, Sartre pernah membuhul bahwa eksistensi mendahului esensi. Konsekuensi
atas semua bentuk skeptisisme epistemologis semacam ini tentu serius. Paling
tidak, universalitas yang menandai
modernisme
merupakan sebentuk omong-kosong ideologis. Selalu saja
pertanyaannya,
Universal menurut siapa ?
Positivisme, yang merupakan paradigma tunggal sains,
tumbang. Dampak ini kentara di lapangan ilmu-ilmu sosial-budaya (humaniora).
Janma tan kena kinira, manusia tak bisa diukur, merupakan salah satu warisan
kearifan lokal yang menegaskan bahwa tak ada standar yang pasti perihal manusia
dan sekitarnya.
Dalam khazanah musik Jawa kita tak pernah tahu pasti
tentang ukuran sebuah nada. Bisa jadi antara satu empu dengan empu lainnya tak
sama ukuran nada dari perangkat gamelan yang dihasilkan.
Berbeda dengan musik di Barat, entah di pedalaman
papua atau di Amerika ukuran nadanya tetap sama terimakasih buat komputer.
Ada satu piranti yang menjadi tolak-ukur dalam
menimbang segala sesuatu dalam estetika Jawa: rasa. Jamak ketika seseorang
kebingungan untuk memilih, ungkapan yang kerap terlontar:
Lha, piye rasamu ?
Seje silit seje anggit, lain pantat lain pendapat.
Pada akhirnya itulah yang menjadi semangat, atau
diberi ruang, dalam kebudayaan Jawa.
Tapi masalah timbul ketika kejawaan itu begitu dominan
dan berupaya menerapkannya ke semua segi kehidupan, di mana yang bakal terjadi
adalah sebentuk nandhing sarira, yang ketemunya sudah pasti perbedaan.
Celakanya, perbedaan ini bukanlah perbedaan dialogis
yang menyiratkan kesetaraan, tapi hierarkis di mana satu mendominasi lainnya.
Apakah berarti semua penilaian akan semena-mena ?
Tak selamanya, ternyata dalam kawruh beja Ki Ageng
Suryomentaram ada yang dinamakan raos sami, bahwa rasa itu sesungguhnya adalah
kesatuan yang utuh, maligi (kesatuan), dari berbagai pangrasa (cabangnya rasa)
atau yang oleh KAS disebut sebagai kramadangsa (kedirian/keakuan).
Tapi tentu, pada dimensi keempat semacam ini kata-kata
sudah binasa. Dan itu artinya, tak ada lagi harapan akan tumbuh-kembangnya
sebuah pengetahuan, yang mesti terukur sifatnya.
Kita akan beralih sebentar ke Gunung Tidar di Magelang
Jawa Tengah. Gunung Tidar adalah saksi suksesi Aji Saka di tanah Jawa.
Kita tak mendekati sejarah gunung ini selayaknya
sejarawan pada umumnya. Seperti halnya seorang peziarah sejarah, yang
memperolehnya langsung dari tempat yang disebut-sebut sebagai titik tengah
tanah Jawa ini.
Kita memahami bahwa di sinilah sejarah interpretatif
mendapatkan ruang, setelah sekitar 500-an tahun mengubur fakta-fakta historis
hingga menyisakan cuma serpihan tanda.
Kebenaran pada akhirnya adalah perihal kemanfaatan.
Dalam Kitab Musarar gubahan Sunan Giri Prapen (Rahasia
Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdapalon, Andjar Any, 1979), yang
barangkali induknya sudah ada pada masa Kediri, dikisahkan bahwa dahulu kala
ada seorang syaikh dari Ngerum atau yang kini dikenal sebagai Turki: Maulana
Ali Samsu Zain (Maolana Ngali Samsujen), sang penumbal tanah Jawa, yang
bersenjatakan cis
semacam tombak kecil nan panjang. Konon, saat itu dekadensi telah melanda tanah Jawa,
digambarkan dengan lelembut (makhluk halus), jin, dan brekakasan yang menjajah
tanah tersebut.
Dalam cerita tutur lainnya, jauh sebelum masa Maulana
Samsu Ali Zain, kita mengenal yang namanya Aji Saka yang datang dari Bumi
Majeti. Dikabarkan bahwa ia adalah pembawa peraaban pertama di nusa Jawa.
Secara semantik Aji bermakna
nilai-nilai dan Saka adalah tiang. Jadi, Aji Saka hanyalah gelar.
Persis yang dialami Maulana Samsu Ali Zain dalam Kitab
Musarar, Aji Saka secara khusus diutus untuk menumpas Prabu Dewata Cengkar yang
dikisahkan sebagai seorang kanibal.
Apa benar kanibal ?
Mungkin tidak, karena sastra Jawa, baik lisan maupun
tertulis, lekat dengan pasemon (perumpamaan). Barangkali, Dewata Cengkar
hanyalah seorang tiran yang suka menghisap dan menindas orang.
Aji Saka, utusan dari Bumi Majeti itu menegakkan
kembali sebuah kondisi dekadensi atau
bahkan nihilisme
yang melanda Jawa. Karena itulah ia digelari sebagai
Sang Aji Saka.
Lantas, di puncak gunung Tidar, ada lagi satu tokoh
yang tertidur dan dikenal sebagai Eyang Ismaya Jati atau dalam pewayangan menjadi nama lain dari Ki lurah
Semar Badranaya.
Ketika kita memaknai Aji Saka sebagai gelar, maka
dimungkinkan bahwa Eyang Ismaya Jati yang diyakini bermukim di Tidar itu adalah
representasinya. Adapun Maulana Samsu Ali Zain adalah Syaikh Subakir.
Dalam Kitab Musarar diceritakan bahwa Maulana Samsu
Ali Zain bersenjatakan cis udharati (tongkat besi).
Dua penegak tata nilai yang pernah rusak tersebut,
Eyang Ismaya Jati dan Syaikh Subakir, memiliki titik sambung sebagai sesama penegak sebuah tata nilai dari
dekadensi dan krisis moral yang dimunculkan oleh Dewata Cengkar. Dewata berarti
para dewa dan cengkar berarti gersang / desakralisasi.
Adapun nihilisme adalah terjadinya devaluasi, ketika
apa yang dulu dianggap bernilai kini tak lagi bernilai.
Mencermati kiprah Eyang Ismaya Jati, mestinya kita
bisa pula menyeksamai berbagai kisah Semar dalam pewayangan Jawa, seperti kita
tuturkan di awal tulisan. Konon rusaknya jagad tersebab Manikmaya, sebagai
penguasa Triloka, terpikat oleh rayuan Durga.
Karena itulah ia dikenal pula sebagai Sang Hyang Jagad
Pratingkah, bahwa gejolak dunia seturut dengan gelegak sang kutub para dewa
itu. Hanya Semar yang mampu menundukkan, dengan membuat penguasa Pasetran Ganda
Mayit itu wirang (marah).
Siapakah yang sebenernya tua, atau siapakah penguasa
Triloka sesungguhnya? Adalah Ismaya, apabila ukurannya purih (pretensi).
Tanpa purih orang tak mungkin melenyapkan purih. Maka
dalam berbagai kisah, Ismaya-lah yang paling berwibawa hingga Manikmaya tunduk.
Ismaya, yang setelah kejatuhannya bernama Semar,
menjadi karakter yang hidup di ruang ambang.
Segala paradoks menyatu di dalam dirinya. Ia lelaki
tapi kopek, payudaranya besar.
Matanya berlinang air mata, tapi mulutnya tersenyum
(menandakan duka-suka).
Ia dewa sekaligus jelata, cuma pembantu. Secara
hakikat, justru Ismaya-lah representasi dari Yang Maha Tunggal itu.
Inilah risalah ketauhidan yang timbul-tenggelam
sepanjang zaman, Sang Alif, titik-sambung antara Eyang Ismaya Jati atau Sang
Aji Saka dan Maulana Samsu Ali Zain atau Syaikh Subakir.
Tidar adalah belukar, yang kerap digambarkan dalam
pewayangan sebagai janma mara janma mati (modar), untuk tegaknya Sang Alif
(isbat).
4 Penjuru Kunci Kekuasaan Tanah Jawa
Indonesia
merupakan negara yang sangat menghormati budaya, aturan, bahkan mitos yang
diwariskan dari nenek moyang jaman dahulu.
Tidak
hanya berkembang di kalangan akar rumput, di kalangan penguasa dan orang vital
di negara ini juga masih memiliki pegangan tentang aturan mistis dalam budaya
Jawa.
Salah
satunya tentang mitos 4 tempat yang harus ditaklukan untuk dapat menjadi penguasa
tanah jawa.
Konon,
bagi siapapun yang menginginkan kekuasaan di Tanah Jawa harus mendapat restu
dan Kekuatan dari 4 penguasa gaib di Tanah Jawa yang tersebar di 4 penjuru mata
angin.
Lantas,
tempat mana saja yang menjadi pusat kekuatan gaib di Tanah Jawa, mari kita
simak.
1.
Pantai
Seltan (Selatan). Pantai di pesisir selatan Jawa selalu dikaitkan dengan mitos
Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul. Tempat awal untuk meminta restu dengan
bertapa hingga menemui penguasa Pantai Selatan Nyi Roro Kidul. Konon, bertapa
disepanjang panaai Selatan akan meningkatknan kebijaksanaan dalam bertindak.
2.
Gunung
Merapi (Barat). Gunung api paling aktif ini diyakini sebagai salah satu
pusatnya keraton makhluk halus di nusantara yang masih berhubungan kerajaan
gaib di Pantai Selatan. Beberapa tokoh yang dipercaya sebagai penghuni dari
Keraton Merapi, yaitu Eyang Merapi yang merupakan seorang raja alias pemimpin
dari para makhluk gaib yang mendiami Keraton Merapi.
3.
Hutan
Krendawahana (Utara). Alas Krendawahana adalah sebuah hutan yang sampai
sekarang masih terkenal dengan kesan keangkerannya. Karena dipercaya sebagai
tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati Durga. Ritual yang sudah menjadi agenda
pokok Keraton ini, selalu dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis. Keraton
Kasunanan Surakarta menggelar acara ritual budaya Mahesa Lawung, ritual adat
Keraton untuk memohon keselamatan dan supaya terhindar dari segala macam mara
bahaya.
4.
Pringgondani
( Timur). Kawasan Pringgondani, selama ini dikenal sebagai lokasi yang wingit
dan juga angker. Sebuah komplek pertapaan yang dipercaya sebagai salah satu
petilasan Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V. Masyarakat
mempercayai jika Brawijaya V melarikan diri dari para musuhnya hingga ke puncak
Lawu dan moksa (menghilang) di puncak Lawu. Sejumlah nama besar seperti
Presiden pertama Soekarno, Soeharto hingga Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono
dan Joko Widodo konon mengunjungi Pringgondani yang berada di ketinggian 1300
meter diatas permukaan laut.
PERJANJIAN
TANAH JAWA
Nama
Syekh Subakir sudah tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Beliau
dikenal sebagai orang yang berhasil menumbali Pulau Jawa yang terkenal angker
dan wingit. Beliau juga berhasil bernegosiasi dengan Danyang Jawa, sang
pelindung gaib tanah Jawa, untuk menyebarkan Islam di Jawa dengan beberapa
syarat.
Lantas
apa saja syarat yang harus dipenuhi Syekh Subakir ?
Di
dalam kitab Musarar diceritakan bahwa pada masa dahulu Pulau Jawa terkenal
sangat angker dan kondisinya tak karuan. Pengaruh magis di tanah Jawa masih
begitu kuat di mana banyak jin dan setan menghuni setiap sudut tanah Jawa yang
saat itu masih berbentuk hutan belantara. Suatu hari, Sultan Turki saat itu
yaitu Sultan Muhammad I mendapatkan petunjuk untuk melakukan penyebaran Islam
di Pulau Jawa. Maka diutuslah rombongan para alim ulama’ untuk mendatangi Pulau
Jawa guna syi’ar Islam. Kitangnya, hampir seluruh rombongan tersebut tewas
dikarenakan perbuatan para lelembut penduduk tanah Jawa yang tidak mau menerima
ajaran Islam.
Mendengar
kegagalan utusan yang dikirimnya, membuat Sultan Muhammad I sedikit gusar.
Akhirnya ia pun memerintahkan seseorang yang terkenal alim, ahli ruqyah,
memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia ghaib, serta memiliki
keahlian dalam membabat tanah yang angker. Dialah Syekh Subakir yang memiliki
nama asli Syekh Tambuh Aly bin Syekh Baqir. Lelaki yang berasal dari tanah
Persia atau yang sekarang lebih dikenal dengan Negara Iran.
Setelah
mendapat perintah Sultan, Syekh Subakir langsung berlayar ke Pulau Jawa. Namun,
sebelum sampai ke Pulau Jawa, beliau terlebih dahulu mampir ke Praja Keling,
sebuah daerah yang diduga terletak di India, untuk mengajak penduduk di Praja
Keling agar mau menempati Pulau Jawa. Sekitar 20 ribu penduduk Praja Keling
turut serta dalam pelayaran Syekh Subakir menuju Pulau Jawa.
Sesampainya
di Pulau Jawa, Syekh Subakir langsung menuju ke Gunung Tidar yang diyakini
sebagai titik pusat dari tanah Jawa. Di puncak Gunung Tidar, Syekh Subakir
memasang tumbal berupa batu hitam yang sudah dirajah. Batu tersebut dikenal
dengan nama Aji Kalacakra yang mampu menetralisir daya magis negatif dari
bangsa jin. Selama tiga hari tiga malam, batu tersebut mengeluarkan hawa yang
sangat panas. Sehingga membuat para lelembut terpaksa menyingkir ke Laut
Selatan Jawa.
Kegegeran
di dunia gaib pun mengusik ketenangan Ki Semar Badrayana, sang danyang tanah
Jawa, yang selama ribuan tahun khusyuk bertapa. Selanjutnya terjadilah adu
kekuatan antara Syekh Subakir dengan Ki Semar selama 40 hari 40 malam. Sebab
sama-sama kuatnya, akhirnya Ki Semar menawarkan sebuah perundingan kepada Syekh
Subakir yang mana menghasilkan sebuah perjanjian yang terkenal dengan sebutan
perjanjian Sabda Palon.
Syekh
Subakir menyampaikan maksud kedatangan beliau ke tanah Jawa guna menyebarkan
ajaran Islam. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai pamungkas agama
samawi. Kemudian Ki Semar pun memperbolehkan Syekh Subakir untuk menyebarkan
agama Islam di tanah yang ia lindungi. Namun, dengan beberapa syarat.
1.
Pertama,
penyebaran ajaran Islam tidak boleh dilakukan dengan cara paksaan apalagi
dengan jalan peperangan. Penyebaran Islam di tanah Jawa harus dilakukan dengan
cara halus dan memberikan keleluasaan bagi penduduk Jawa untuk memilih masuk ke
dalam agama Islam atau tetap meyakini kepercayaan sebelumnya.
2.
Kedua,
akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa dalam pendirian tempat peribadatan.
Meskipun tempat peribadatan tersebut dari luar memiliki gaya asli Jawa, namun
di dalamnya ajaran-ajaran Islam disebarluaskan.
3.
Ketiga,
kerajaan Islam diperbolehkan berdiri di tanah Jawa. Tapi, raja pertama haruslah
anak campuran. Maksudnya orang tua sang raja memiliki campuran agama. jika
bapak Hindu, ibu Islam. Sebaliknya jika bapak Islam, ibu Hindu.
4.
Keempat,
tidak boleh mengubah orang Jawa menjadi orang yang kearab-araban. Biarkanlah
padi tetap ditanam di sawah dan kurma tetap ditanam di padang pasir. Orang Jawa
harus tetap menjadi Jawa dengan segala budi pekerti dan kepribadian asli orang
Jawa. Jika orang Jawa sampai hilang “Jawanya”, 500 tahun lagi Ki Semar berjanji
akan muncul lagi dengan membuat goro-goro.
BABAD
TANAH JAWI
Babad
Tanah Jawi (Sejarah Tanah Jawa) adalah naskah berbahasa Jawa yang berisi
sejarah raja-raja yang pernah bertahta di pulau Jawa. Terdapat beragam susunan
dan isi dan tidak ditemukan salinan yang berusia lebih tua daripada abad ke-18.
Dibuat sebagai suatu karya sastra sejarah yang berbentuk tembang Jawa. Sebagai
babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak
pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Buku
ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik
dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi
lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah
raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit,
Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada
pertengahan abad ke-18.
Buku
ini telah dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa.
Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu
menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Versi
Versi
lain (sekitar abad ke-19)
Banyaknya
versi Babad Tanah Jawi yang beredar bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok induk
naskah:
Pertama,
induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno (Carik
Braja) atas perintah Pakubuwana III.
Induk ini telah beredar pada tahun 1788. Pada tahun 1874, Johannes Jacobus
Meinsma menerbitkan versi gancaran (prosa) dari induk ini yang dikerjakan oleh
Ngabehi Kertapraja. W. L. Olthof pernah mereproduksi ulang versi Meinsma pada
tahun 1941. Pada kedua versi tersebut, nama Ngabehi Kertapradja tidak dicantum.
Menurut Merle Calvin Ricklefs, versi Meinsma bukan sumber utama yang bisa
diterima untuk riset sejarah, dan sebaliknya mengakui edisi Olthof.
Kedua,
induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Adilangu II yang hidup di masa
Pakubuwana I dan Pakubuwana II. Naskah tertuanya bertanggal tahun 1722.
Perbedaan
keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal
bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram
secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan, sementara
kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad
Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain, H. J. de
Graaf. Menurutnya, apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya,
khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura pada abad
ke-18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang
kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita setelah era itu, de Graaf tidak berani
menyebutnya sebagai data sejarah karena terlalu sarat dengan campuran mitologi,
kosmologi, dan dongeng.
Menjelang
Perang Dunia II, Balai Pustaka juga menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad
Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang
dan tulisan Jawa.
Penguasa-penguasa Jawa menurut Babad Tanah Jawi
Wangsa Syailendra
1.
Dapunta
Hyang (671 M - 702 M)
2.
Sri
Indra Warman (702 M - 775 M)
3.
Wisnu
Warman (775 M - 782 M)
4.
Daranindra
(Sri Wirarairimathana) (782 M - 812 M)
5.
Samara
Tungga (812 M - 833 M)
6.
Pramodha
Wardhani (833 M - 856 M)
Wangsa Sanjaya
1.
Sanjaya
(732-?)
2.
Rakai
Panangkaran Dyah Pancapana (Syailendra)
3.
Rakai
Panunggalan
4.
Rakai
Warak
5.
Rakai
Garung
6.
Rakai
Patapan (8XX-838)
7.
Rakai
Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Syailendra
8.
Rakai
Kayuwangi (855-885)
9.
Dyah
Tagwas (885)
10.
Rakai
Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
11.
Rakai
Gurunwangi Dyah Badra (887)
12.
Rakai
Watuhumalang (894-898)
13.
Rakai
Watukura Dyah Balitung (898-910)
14.
Daksa
(910-919)
15.
Dyah
Tulodong (919-921)
16.
Dyah
Wawa (924-928)
17.
Mpu
Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)
Wangsa Medang Kamulan
1.
Mpu
Sindok (929-947)
2.
Sri
Isyanatunggawijaya (947-9xx)
3.
Makutawangsawardhana
(9xx-985)
4.
Dharmawangsa
Teguh Anantawikrama (985-1006)
Wangsa Kahuripan
1.
Airlangga
(1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang (Airlangga kemudian
memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri) :
-
Janggala.
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)
-
Kadiri.
(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
2.
Kameswara
(1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
3.
Jayabaya
(1135-1159)
4.
Rakai
Sirikan (1159-1169)
5.
Sri
Aryeswara (1169-1171)
6.
Sri
Candra (1171-1182)
7.
Kertajaya
(1182-1222)
Wangsa Singhasari
1.
Ken
Arok (1222-1227)
2.
Anusapati
(1227-1248)
3.
Tohjaya
(1248)
4.
Ranggawuni
(Wisnuwardhana) (1248-1254)
5.
Kertanagara
( 1254-1292)
Wangsa Majapahit
1.
Raden
Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
2.
Jayanagara
(1309-1328)
3.
Tribhuwana
Wijayatunggadewi (1328-1350)
4.
Hayam
Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
5.
Wikramawardhana
(1390-1428)
6.
Suhita
(1429-1447)
7.
Dyah
Kertawijaya (1447-1451)
8.
Rajasawardhana
(1451-1453)
9.
Girishawardhana
(1456-1466)
10.
Singhawikramawardhana
(Suraprabhawa) (1466-1474)
11.
Girindrawardhana
Dyah Wijayakarana (1468-1478)
12.
Singawardhana
Dyah Wijayakusuma (menurut Pararaton menjadi Raja Majapahit selama 4 bulan
sebelum wafat secara mendadak) ( ? – 1486 )
13.
Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi (diduga kuat sebagai Brawijaya, menurut
Kitab Pararaton dan Suma Oriental karangan Tome Pires pada tahun 1513)
(1474-1519)
Kerajaan Demak
1.
Raden
Patah (1478 – 1518)
2.
Adipati
Unus (1518 – 1521)
3.
Sultan
Trenggono (1521 – 1546)
4.
Sunan
Prawoto (1546 – 1547)
5.
Arya
Penangsang (1547 - 1554)
Kesultanan Pajang
1.
Jaka
Tingkir, bergelar Sultan Hadiwijoyo (1568 – 1582)
2.
Arya
Pangiri, bergelar Sultan Ngawantipuro (1583 – 1586)
3.
Pangeran
Benawa
Kesultanan Mataram
1.
Ki
Ageng Pamanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
2.
Panembahan
Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 – 1601), menjadikan Mataram sebagai kerajaan
merdeka.
3.
Panembahan
Hanyakrawati (1601 – 1613)
4.
Adipati
Martapura (1613 selama satu hari)
5.
Sultan
Agung (Raden Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma) (1613 – 1645)
6.
Amangkurat
I (Sinuhun Tegal Arum/Amangkurat Agung) (1645 – 1677) menyingkir dari ibu kota
Plered karena diserbu Pangeran Trunojoyo, raja dari Madura.
Kasunanan Kartasura Hadiningrat
1.
Amangkurat
II (Amangkurat Amral) (1680 – 1702), pendiri Kartasura.
2.
Amangkurat
III (1702 – 1705), dibuang VOC ke Srilangka karena kalah dari Pakubuwana I yang
didukung VOC
3.
Pakubuwana
I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya, juga dikenal dengan nama
Pangeran Puger atau Sultan ing Alaga.
4.
Amangkurat
IV (1719 – 1726), Terjadi banyak pemberontakan, Sunan Kuning (Mas Garendi).
5.
Pakubuwana
II (1726 – 1742),
6.
Pakubuwana
III (diangkat oleh Belanda) dan hal ini ditentang oleh Mangkubumi dan Raden Mas
Said. Atas ketidak puasannya Raden Mas Said mengangkat mertuanya Mangkubumi
sebagai penguasa oposisi di Mataram, namun beberapa saat kemudian partai
oposisi ini pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Raden Mas Said dan
kelompok Mangkubumi. Kemudian muncullah Perundingan Giyanti (13 Februari 1755)
Wangsa Baru
Perjanjian
Giyanti telah membagi Wangsa Mataram menjadi 2 keluarga besar, yaitu
Hamengkubuwana dan Pakubuwana sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan
satu keluarga dari Pakubuwana, yaitu Mangkunegara. Keluarga Pakubuwana dimulai
dari Pakubuwana I dan Hamengkubuwana dimulai dari Hamengkubuwana I, sedangkan
Mangkunegara dimulai dari Mangkunegara I.
Pakubuwana
1.
Pakubuwana
I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya, juga dikenal dengan nama
Pangeran Puger.
2.
Pakubuwana
II (1745 – 1749), pendiri kota Surakarta, memindahkan keraton Kartasura ke
Surakarta pada tahun 1745
3.
Pakubuwana
III (1749 – 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa
setengah wilayah kerajaannya.
4.
Pakubuwana
IV (1788 – 1820)
5.
Pakubuwana
V (1820 – 1823)
6.
Pakubuwana
VI (1823 – 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia, juga dikenal
dengan nama Pangeran Bangun Tapa.
7.
Pakubuwana
VII (1830 – 1858)
8.
Pakubuwana
VIII (1859 – 1861)
9.
Pakubuwana
IX (1861 – 1893)
10.
Pakubuwana
X (1893 – 1939)
11.
Pakubuwana
XI (1939 – 1944)
12.
Pakubuwana
XII (1944 – 2004)
13.
Gelar
Pakubuwana XIII (2004 – sekarang) diklaim oleh dua orang, Pangeran Hangabehi
dan Pangeran Tejowulan.
Hamengkubuwana
1.
Sri
Sultan Hamengkubuwono I / Pangeran Mangkubumi (13 Februari 1755 - 24 Maret 1792
)
2.
Sri
Sultan Hamengkubuwono II / Gusti Raden Mas Sundara ( 2 April 1792 - 1810)
periode pertama
3.
Sri
Sultan Hamengkubuwono III / Raden Mas Surojo (1810 - 1811) periode pertama
4.
Sri
Sultan Hamengkubuwono IV / Gusti Raden Mas Ibnu Jarot ( 9 November 1814 - 6
Desember 1823)
5.
Sri
Sultan Hamengkubuwono V / Gusti Raden Mas Gathot Menol (19 Desember 1823 - 17
Agustus 1826) periode pertama
6.
Sri
Sultan Hamengkubuwono VI / Gusti Raden Mas Mustojo ( 5 Juli 1855 - 20 Juli
1877)
7.
Sri
Sultan Hamengkubuwono VII / Gusti Raden Mas Murtejo / Sultan Sugih ( 22 Desember
1877 - 29 Januari 1921)
8.
Sri
Sultan Hamengkubuwono VIII / Gusti Raden Mas Sujadi ( 8 Februari 1921 - 22
Oktober 1939)
9.
Sri
Sultan Hamengkubuwono IX / Gusti Raden Mas Dorodjatun( 18 Maret 1940 - 2
Oktober 1988)
10.
Sri
Sultan Hamengkubuwono X / Bendara Raden Mas Herjuno Darpito ( 7 Maret 1989 -
sekarang)
Mangkunegara
1.
Mangkunegara
I atau bernama asli Raden Mas Said dengan gelar Pangeran Samber Nyowo (1757 –
1795)
2.
KGPAA
Mangkunegara II atau R.M Sulomo dengan gelar dimasa muda Pangeran Surya Mataram
dan juga bergelar Pangeran Surya Mangkubumi (1795 - 1835)
3.
Mangkunegara
III (1835 - 1853)
4.
Mangkunegara
IV (1853 - 1881)
5.
Mangkunegara
V ( 1881 - 1896)
6.
Mangkunegara
VI (1896 - 1916)
7.
Mangkunegara
VII (1916 - 1944)
8.
Mangkunegara
VIII (1944- 1987)
9.
Mangkunegara
IX (1987 - 2021)
Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha
Indonesia
mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan
negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah
Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh
Masehi, dibawa oleh para musafir dari India selang lain: Maha Resi Agastya,
yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para
musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada
zaman ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu
kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda hingga zaman
ke-16.
Pada
masa ini pula muncul dua kerajaan akbar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada
masa zaman ke-7 hingga zaman ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat
di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang
sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh
Jawa Tengah dan Kamboja. Zaman ke-14 juga dijadikan saksi bangungnya sebuah
kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit selang tahun 1331
hingga 1364, Gajah Mada, sukses memperoleh kekuasaan atas wilayah yang sekarang
beberapa akbarnya merupakan Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung
Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan
kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Masuknya
nasihat Islam pada sekitar zaman ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak
Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa.
Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan
Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai kesudahan dari era ini.
1.
101
- Penempatan Lembah Bujang yang memakai aksara Sanskrit Pallava membuktikan
hubungan dengan India di Sungai Batu.
2.
300
- Kerajaan-kerajaan di asia tenggara telah menerapkan hubungan dagang dengan
India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada zaman ke-2 M. Memperdagangkan
barang-barang dalam pasaran internasional misalnya: logam agung, perhiasan,
kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia
diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkeh. Hubungan dagang ini memberi
pengaruh yang akbar dalam penduduk Indonesia, terutama dengan masuknya nasihat
Hindu dan Budha, pengaruh yang lain terlihat pada sistem pemerintahan.
3.
300
- Telah diterapkannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok.
Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan Gunavarman.
Hubungan dagang ini telah lazim diterapkan, barang-barang yang diperdagangkan
kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.
4.
400
- Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia diamati dari sejarah
kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu diantaranya
prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan
kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
5.
603
- Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini merupakan
konfederasi dari para pedagang-pedagang yang bermula dari pedalaman
Minangkabau. Tahun 683, Malayu runtuh oleh serangan Sriwijaya.
6.
671
- Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing beranjak dari Kanton ke
India. Ia singgah di Sriwijaya kepada berusaha bisa kelola bahasa Sanskerta,
kesudahan ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru melanjutkan
perjalanannya ke India.
7.
685
- I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun kepada
menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa.
8.
692
- Keliru satu kerajaan Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang
dijadikan pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang Arab, Parsi, dan
Tiongkok. Yang diperdagangkan diantaranya tekstil, kapur barus, mutiara,
rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya mencakup Sumatera, Semenanjung
Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya juga menguasai jalur perdagangan Selat
Malaka, Selat Sunda, dan Laut China Selatan. Dengan penguasaan ini, Sriwijaya
mengontrol lalu lintas perdagangan selang Tiongkok dan India, sekaligus
menciptakan kekayaan untuk kerajaan.
9.
922
- Dari sebuah laporan tertulis dikenal seorang musafir Tiongkok telah datang
kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah menghadiahkan pedang
pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.
10.
932
- Restorasi kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini muncul melewati Prasasti Kebon
Kopi II yang bertanggal 854 Saka atau 932 Masehi.
11.
1292
- Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bidang utara Sumatera dalam perjalanan
pulangnya dari Tiongkok ke Persia melewati laut. Marco Polo berpendapat bahwa
Perlak merupakan sebuah kota Islam.
12.
1292
- Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik dijadikan permukiman
yang dikata Majapahit. Nama ini bermula dari pohon Maja yang berbuah pahit di
tempat ini.
13.
1293
- Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol kepada menggulingkan Jayakatwang di
Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik takhta sbg raja Majapahit
pertama pada 12 November.
14.
1293
- 1478 - Kota Majapahit dijadikan pusat kemaharajaan yang pengaruhnya
membentang dari Sumatera ke Papua, kecuali Sunda dan Madura. Daerah urban yang
padat dihuni oleh populasi yang kosmopolitan dan menjalankan berbagai jenis
pekerjaan. Kitab Negarakertagama menggambarkan keluhuran tipu daya budi
Majapahit dengan cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.
15.
1345-1346
- Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari
Tiongkok. Dikenal juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang paling penting,
tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa
penguasa Samudra merupakan seorang pengikut Mahzab Syafi'i keliru satu nasihat
dalam Islam.
16.
1350-1389
- Puncak kejayaan Majapahit dibawah pemimpin raja Hayam Wuruk dan patihnya
Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan di asia tenggara bahkan
jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa" yang menyatakan bahwa
Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.
17.
1478
Majapahit runtuh dampak serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur dibiarkan
lepas sama sekali penduduknya, tertimbun tanah, dan dijadikan hutan jati.
18.
1570
- Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa dihancurkan oleh
Kesultanan Banten.
1.
Kerajaan
Hindu/Buddha
2.
Kerajaan
Hindu/Buddha di Kalimantan
3.
Kerajaan
Kutai
4.
Kerajaan
Sribangun (Buddha)
5.
Kerajaan
Wijayapura
6.
Kerajaan
Bakulapura
7.
Kerajaan
Brunei Buddha
8.
Kerajaan
Kuripan
9.
Kerajaan
Negara Dipa
10.
Kerajaan
Negara Daha
11.
Kerajaan
Hindu/Buddha di Jawa
12.
Kerajaan
Salakanagara (150-362)
13.
Kerajaan
Tarumanegara (358-669)
14.
Kerajaan
Sunda Galuh (669-1482)
15.
Kerajaan
Kalingga
16.
Kerajaan
Kanjuruhan
17.
Kerajaan
Mataram Hindu
18.
Kerajaan
Kahuripan
19.
Kerajaan
Janggala
20.
Kerajaan
Kadiri (1042 - 1222)
21.
Kerajaan
Singasari (1222-1292)
22.
Kerajaan
Majapahit (1292-1527)
23.
Kerajaan
Hindu/Buddha di Sumatra
24.
Kerajaan
Malayu Dharmasraya 1183–1347
25.
Kerajaan
Sriwijaya 600–1300
Kerajaan Islam Nusantara
Kerajaan
Islam di Indonesia (Nusantara) dan Sejarahnya
Kerajaan
Islam di Indonesia (Nusantara) dan Sejarahnya.
Menurut
berbagai sumber sejarah, agama Islam masuk pertama kalinya ke nusantara sekitar
abad ke 6 Masehi. Saat kerajaan-kerajaan Islam masuk ke tanah air pada abad ke
13, berbagai kerajaan Hindu Budha juga telah mengakhiri masa kejayaannya.
Kerajaan
Islam yang berkembang saat itu turut menjadi bagian terbentuknya berbagai
kebudayaan di Indonesia. Kemudian, salah satu faktor yang menjadikan kerajaan-kerajaan
Islam makin berjaya beberapa abad yang lalu ialah karena dipengaruhi oleh
adanya jalur perdagangan yang berasal dari Timur Tengah, India, dan negara
lainnya.
Semakin berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia sekitar abad ke 13 juga didukung oleh faktor lalu lintas
perdagangan laut nusantara saat itu. Banyak pedagang-pedagang Islam dari
berbagai penjuru dunia seperti dari Arab, Persia, India hingga Tiongkok masuk
ke nusantara.
Para
pedagang-pedagang Islam ini pun akhirnya berbaur dengan masyarakat Indonesia.
Semakin tersebarnya agama Islam di tanah air melalui perdagangan ini pun turut
membawa banyak perubahan dari sisi budaya hingga sisi pemerintahan nusantara
saat itu.
Munculnya
berbagai kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tersebar di nusantara menjadi
pertanda awal terjadinya perubahan sistem pemerintahan dan budaya di Indonesia.
Keterlibatan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga turut berperan dalam
tersebarnya agama Islam hingga ke seluruh penjuru tanah air.
Kerajaan Islam Pertama di Indonesia
Kerajaan
Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berlokasi di
Aceh
Beberapa
kerajaan Islam tertua di tanah air yang menjadi bukti jejak peninggalan Islam
dan masih bisa disaksikan hingga hari ini di antaranya ialah :
1.
Kerajaan
Perlak (840-1292).
2.
Kerajaan
Ternate (1257).
3.
Kerajaan
Samudera Pasai (1267-1521).
4.
Kerajaan
Gowa (1300-1945).
5.
Kesultanan
Malaka (1405-1511).
6.
Kerajaan
Islam Cirebon (1430-1677).
7.
Kerajaan
Demak 1478-1554).
8.
Kerajaan
Islam Banten (1526-1813).
9.
Kerajaan
Pajang (1568-1586), dan.
10.
Kerajaan
Mataram Islam (1588-1680).
Kerajaan Islam di Jawa
1.
Kerajaan
Islam di Indonesia (Nusantara) dan Sejarahnya 1
2.
Kerajaan
Demak
3.
Kerajaan
Demak merupakan kerajaan Islam pertama yang terdapat di pulau Jawa. Kerajaan
ini didirikan oleh Raden Patah di tahun 1478. Kerajaan Demak berkembang sebagai
pusat perdagangan sekaligus pusat penyebaran agama Islam kala itu.
Penyebaran
Islam saat itu sangat dipengaruh oleh jasa para wali baik di pulau Jawa maupun
yang berada di luar pulau Jawa seperti Maluku hingga ke wilayah Kalimantan
Timur. Di masa pemerintahan Raden Patah, kerajaan Demak mendirikan masjid yang
kala itu juga dibantu oleh para wali ataupun sunan. Kemudian, kebudayaan yang
berkembang di kerajaan Demak juga mendapat dukungan dari para wali terutama
dari Sunan Kalijaga. Kehidupan masyarakat di sekitaran Kerajaan Demak juga
telah diatur oleh aturan-aturan Islam tapi tetap tak meninggalkan tradisi lama
mereka.
Kerajaan Banten
Kerajaan
Islam Banten berada di ujung pulau Jawa yaitu daerah Banten. Tanda penyebaran
Islam di wilayah ini bermula ketika Fatahillah merebut Banten dan mulai
melakukan penyebaran Islam. Islam tersebar dengan baik saat itu karena
dipengaruhi oleh banyaknya pedagang-pedagang asing seperti dari Gujarat, Persia,
Turki, dan lain sebagainya. Masjid Agung Banten menjadi salah satu hasil
peninggalan Islam yang dibangun sekitar abad ke 16 Masehi.
Kesultanan Cirebon
Kesultanan
Cirebon masuk sebagai kesultanan Islam ternama di wilayah Jawa Barat sekitar
abad ke 15 dan 16 masehi. Wilayah Cirebon juga masuk dalam area strategis jalur
perdagangan antar pulau.
Kerajaan
ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Sebelum mendirikan kerajaan Cirebon,
Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam terlebih dahulu di Tanah Pasundan. Beliau
juga berkelana ke Mekkah dan Pasai. Sunan Gunung Jati juga berhasil menghapus
kekuasaan kerajaan Padjajaran yang saat itu masih bercorak Hindu.
Kerajaan Islam di Maluku
Kerajaan
Jailolo
Kerajaan
Jailolo terletak di bagian pesisir utara pulau Seram dan sebagian Halmahera.
Kerajaan ini termasuk ke dalam kerajaan tertua di wilayah Maluku. Menurut
sejarah kerajaan Jailolo berdiri sejak tahun 1321 dan mulai masuk Islam setelah
kedatangan mubaligh dari Malaka.
Kerajaan Ternate
Menurut
sejarah kerajaan Ternate telah berdiri sekitar abad ke 13 Masehi. Kerajaan ini
berada di Maluku Utara dan beribukotakan di Simpalu. Penyebaran Islam di
kerajaan Ternate dipengaruhi oleh ulama-ulama dari Jawa, Arab dan Melayu.
Kemudian,
kerajaan ini pun resmi memeluk Islam setelah raja Zainal Abidin belajar tentang
Islam dari Sunan Giri pada tahun 1486 Masehi. Sebagai pusat perdagangan
rempah-rempah, maka banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia yang singgah di
wilayah Ternate.
Kerajaan Tidore
Kerajaan
ini terletak di sebagian pulau Halmahera dan sebagian lagi di pulau Seram.
Kerajaan Tidore memeluk Islam sekitar abad ke 15 Masehi. Cirali Lijitu
merupakan sultan Tidore yang pertama kali memeluk agama Islam dan memiliki
gelar Sultan Jamaludin.
Sultan
Jamaludin memeluk Islam berkat seorang mubaligh bernama Syekh Mansyur. Kerajaan
ini sendiri terkenal karena ekonomi perdagangan di sektor rempah-rempah.
Menurut sumber sejarah, kerajaan Tidore kala itu memiliki persekutuan yang
disebut dengan Ulisiwa yang terdiri atas wilayah Halmahera, Makyan, Kai,
Jailolo serta pulau-pulau lainnya di wilayah sebelah timur Maluku.
Kerajaan Bacan
Kekuasaan
kerajaan Bacan telah meliputi seluruh kepulauan Bacan, Obi, Waigeo, Solawati
hingga di wilayah Irian Barat. Penyebaran agama Islam di kerajaan Bacan ini
sendiri bermula ketika seorang Mubalig dari kerajaan Islam Maluku lainnya
datang dan mulai menyebarkan Islam.
Adapun
raja pertama dari kerajaan Bacan ini bernama Zainal Abidin. Ketika memimpin
Kerajaan Bacan, Zainal Abidin pun mulai menerapkan ajaran dan aturan-aturan
Islam di wilayah Kerajaan Bacan.
Kerajaan Islam di Sulawesi
Kesultanan
Buton
Kerajaan
Kesultanan Buton merupakan kerajaan Islam yang terletak di Sulawesi Tenggara.
Menurut sejarah, kerajaan ini telah lama berdiri bahkan sebelum agama Islam
masuk ke wilayah Sulawesi. Kerajaan ini muncul pada awal ke 14 Masehi.
Kerajaan
Kesultanan Buton ini sendiri awalnya memiliki corak agama Hindu Budha, akan
tetapi seiring semakin berkembangnya agama Islam di wilayah Sulawesi, kerajaan
ini pun kemudian berubah menjadi kerajaan bercorak Islam.
Kerajaan
Buton menguasai banyak wilayah di kepulauan Buton termasuk di kawasan
perairannya. Nama Buton memang sudah terkenal sejak zaman Majapahit. Bahkan
dalam kitab Negarakertagama dan dalam Sumpah Palapa dari Gajah Mada, nama Buton
sering sekali disebutkan. Hingga hari ini Kesultanan Buton tetap masih ada dan
menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh banyak pelancong.
Kesultanan Banggai
Kerajaan
Islam di wilayah Sulawesi selanjutnya ialah kerajaan Banggai. Kerajaan Banggai
ini terletak di wilayah Semenanjung Timur pulau Sulawesi dan Kepulauan Banggai.
Kesultanan Banggai telah lama berdiri yaitu sekitar abad ke 16 Masehi.
Hingga
hari, Kerajaan Banggai masih tetap eksis dan selalu didatangi banyak
pengunjung. Sebenarnya, Kerajaan ini juga pernah mengalami masa-masa
keterpurukan akibat kalah dari kerajaan Majapahit. Namun, setelah keruntuhan
kerajaan Majapahit, Kerajaan Banggai kembali bangkit dan menjadi kerajaan
independen kembali serta telah bercorak Islam.
Kerajaan Gowa Tallo
Sesuai
namanya, Kerajaan Gowa Tallo sebenarnya memang terdiri atas dua kerajaan yang
menjalin persatuan atau persekutuan. Persatuan dua kerajaan besar di wilayah
Sulawesi ini kemudian memberikan dampak yang begitu besar.
Kerajaan
Gowa sendiri menguasai wilayah dataran tinggi, adapun untuk wilayah Tallo
menguasai daratan pesisir. Pengaruh yang cukup kuat menjadikan dua persekutuan
kerajaan ini sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh pada jalur perdagangan di
wilayah timur tanah air. Sejarah juga
menyebutkan jika kerajaan Gowa Tallo ini telah berdiri sejak sebelum Islam
masuk ke wilayah Sulawesi atau lebih tepatnya sekitar tahun 13 Masehi.
Kerajaan
ini akhirnya bergabung menjadi bagian dari NKRI pada tahun 1946 dengan Andi Ijo
Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin sebagai
raja terakhirnya.
Kerajaan Bone
Bila
dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di wilayah Sulawesi,
kerajaan Bone termasuk kerajaan yang cukup kecil. Karena posisinya sebagai
kerajaan kecil maka saat itu kerajaan Bone sangat dipengaruhi oleh Kerajaan
Gowa dan Tallo.
Kekuatan
kerajaan Gowa Tallo memang sangat besar pada setiap kerajaan-kerajaan kecil
kala itu. Oleh sebab itu, karena pengaruh dari kerajaan Gowa Tallo ini maka
kerajaan Bone pun akhirnya menjadikan kerajaannya sebagai kerajaan yang
bercorak Islam.
Agama
Islam ini sendiri masuk ke kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone XI
atau sekitar tahun 1611 Masehi. Setelah itu, agama Islam pun makin tersebar
karena dapat diterima dengan baik oleh masyarakat di wilayah kekuasaan kerajaan
Bone.
Kerajaan Konawe
Kerajaan
Konawe berada di wilayah Sulawesi Tenggara. Sebelum bercorak Islam, kerajaan
ini awal mulanya merupakan kerajaan bercorak Hindu. Akan tetapi, seiring
berkembangnya agama Islam di Konawe, sekitar tahun 18 Masehi, kerajaan Konawe
pun secara perlahan mulai mengalami perubahan sistem pemerintahan dan pada
akhirnya juga masuk menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa
kerajaan yang telah disebutkan di atas merupakan sejumlah kerajaan Islam yang
paling Berjaya di wilayah Sulawesi di masa lalu. Meskipun beberapa di antaranya
ada yang telah runtuh akan tetapi beberapa kerajaan juga telah menjadi
peninggalan budaya yang patut untuk tetap dijaga.
Sejumlah
kerajaan Islam di wilayah Sulawesi ini menjadi bukti yang kuat bahwa pengaruh
Islam di Sulawesi memang sangat berkembang dengan pesat. Ketika beberapa
kerajaan masih memegang corak Hindu Budha, secara pelan tapi pasti, penyebaran
agama Islam di Sulawesi mengambil alih corak Hindu Budha menjadi kerajaan yang
bercorak Islam.
Kerajaan Islam di Nusa Tenggara Barat & Timur
Kesultanan Bima
Kesultanan
ini didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 Masehi. Masuknya Islam di kerajaan
Bima diawali ketika pada tahun 1540 Masehi para mubalig dan pedagang dari
Kesultanan Demak datang dan menyebarkan Islam.
Penyebaran
Islam terus berlanjut dan diteruskan oleh Sultan Alauddin sekitar tahun 1619.
Beliau mengirimkan para mubalig dari Kesultanan Luwu, Kerajaan Tallo dan
Kerajaan Bone.
Kesultanan Sumbawa
Menurut
Zolinger, sebelum masuk ke pulau Lombok, Islam terlebih dahulu masuk ke pulau
Sumbawa yaitu sekitar tahun 1450-1540. Ajaran Islam dibawa langsung oleh para
pedagang Islam dari Jawa dan Sumatera.
Runtuhnya
kekuasaan Majapahit menjadikan banyak kerajaan kecil di wilayah pulau Sumbawa
menjadi merdeka. Kondisi semakin memudahkan masuknya agama Islam di lingkungan
kesultanan Sumbawa. Sekitar tahun 16 Masehi, Sunan Prapen yang merupakan
keturunan Sunan Giri masuk ke pulau Sumbawa dan menyebarkan Islam ke
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu.
Kerajaan Dompu
Kerajaan
Dompu terletak di wilayah Kabupaten Dompu saat ini. Kerajaan ini berada di
wilayah Kabupaten Bima dan Kabupaten Sumbawa. Mayoritas penduduk setempat kini
telah memeluk agama Islam dengan tradisi dan budaya Islam.
Keturunan
raja atau dikenal dengan istilah Bangsawan Dompu hingga kini masih tetap ada.
Mereka sering dipanggil dengan sebutan Ruma ataupun Dae. Istana Dompu yang
menjadi simbol kekuasaan zaman dahulu kala kini telah diubah menjadi Masjid
Raya Dompu.
Kerajaan Islam di Kalimantan
Kerajaan Selimbau
Kerajaan
Islam pertama di wilayah Kalimantan ialah Kerajaan Selimbau. Kerajaan ini
terletak di wilayah kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi
Kalimantan Barat. Sebelum memeluk Islam, kerajaan Selimbau menjadi kerajaan
Hindu tertua di Kalimantan Barat.
Selama
bertahun-tahun, Kerajaan Selimbau diperintah dengan garis turun temurun yang
berjumlah 25 generasi. Mulai dari raja-raja yang beragama Hindu hingga sampai
pada masa pemerintahan Kerajaan bercorak Islam.
Kerajaan Mempawah
Kerajaan
ini merupakan kerajaan Islam yang berlokasi sekitar wilayah Kabupaten Mempawah,
Kalimantan Barat. Nama Mempawah ini sendiri diambil dari istilah Mempauh yang
berarti nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian dikenal dengan
sebutan Sungai Mempawah.
Di
masa perkembangannya, pemerintahaan kerajaan dibagi menjadi dua periode yang
pertama ialah masa kerajaan Suku Dayak yang bercorak Hindu lalu masa Kesultanan
yang bercorak Islam.
Kerajaan Tanjungpura
Salah
satu kerajaan tertua di Kalimantan Barat ialah Kerajaan Tanjungpura atau sering
juga disebut dengan Tanjompura. Kerajaan ini telah mengalami beberapa kali
perpindahan ibu kota kerajaan.
Awalnya
ibu kota kerajaan terletak di Negeri Baru atau di Kabupaten Ketapang saat ini,
setelah itu berpindah lagi ke wilayah Sukadana yang menjadi Kabupaten Kayong
Utara. Kemudian, di abad ke 15 Masehi berubah nama menjadi Kerajaan Matan
ketika Rajanya Sorgi atau Giri Kesuma masuk Islam.
Kerajaan Landak
Kerajaan
Landak atau dikenal juga dengan Kerajaan Ismahayana landak ialah sebuah
kerajaan yang berada di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Kerajaan Landak ini
sendiri memiliki kronik sejarah yang cukup panjang.
Beberapa
sumber tertulis mengenai kerajaan ini memang cukup terbatas. Namun, berbagai
bukti arkeologis berupa bangunan istana kerajaan atau keraton hingga berbagai
atribut-atribut kerajaan yang masih bisa dilihat hingga saat ini menjadi bukti
eksisnya kerajaan ini.
Menurut
sejarah kerajaan Landak ini juga terbagi menjadi dua fase yang bertema ialah
masa kerajaan bercorak Hindu dan kemudian menjadi kerajaan bercorak Islam yang
telah dimulai sekitar tahun 1257 M.
Kerajaan Tayan
Kerajaan
Islam ini terletak di kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Tayan, Provinsi Kapuas
Raya. Pendiri dari kerajaan Tayan ialah Putra Brawijaya yang berasal dari
Kerajaan Majapahit. Beliau bernama Gusti Likar atau sering juga disebut dengan
Lekar.
Gusti
Lekar ini sendiri merupakan anak kedua dari Panembahan Dikiri yang merupakan
Raja Matan. Anak pertama dari Panembahan Dikiri bernama Duli Maulana Sultan
Muhammad Syarifuidin yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai Raja Matan.
Sultan
Muhammad Syarifudin ini sendiri merupakan Raja pertama yang masuk Islam berkat
jasa tuan Syech Syamsuddin. Beliau kemudian mendapatkan hadiah berupa sebuah
Qur’an kecil serta sebentuk cincin bermata jamrud merah yang didapatkan
langsung dari Raja Mekkah.
Kesultanan Paser
Sebelumnya
Kesultanan Paser disebut sebagai Kerajaan Sadurangas yang merupakan sebuah
kerajaan yang berdiri sekitar tahun 1516. Saat itu kerajaan dipimpin oleh
seorang Ratu yang bernama Putri Di Dalam Petung.
Sebelum
Ratu menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya, Putri Petong masih menganut ajaran
animisme atau kepercayaan menyembah roh-roh halus. Lewat jalur perkawinan
antara Ratu Petong dan Abu Mansyur Indra Jaya, Kesultanan Panser mulai memeluk
Islam. Selain itu, jalur perdagangan yang berasal dari berbagai pedagang muslim
juga berperan besar tersiarnya agama Islam di Kesultanan Paser.
Sejarah Islam di Jawa
Tidak
mudah mengkaji sejarah Islam, khususnya di Tanah Jawa, sebab terbatasnya
data-data tentang kapan dan bagaimana Islam datang dan berkembang di Jawa.
Narasi yang dipahami hingga saat ini bahwa Islam masuk ke Jawa dibawa oleh para
pedagang muslim sekaligus pendakwah dan kemudian dikembangkan lebih kreatif
oleh para wali, khususnya Walisongo.
Tetapi,
apakah narasi itu sudah cukup menjelaskan tentang sejarah Islam di Jawa?
Para
sejarahwan berbeda pendapat. Berbagai hasil riset mereka sudah dibukukan
berdasarkan perspektif serta fokus kajian yang berbeda-beda sehingga
menghadirkan kebergaman pemahaman. Banyaknya publikasi buku-buku sejarah Islam
di Jawa, termasuk buku ini, tentu dapat memperkaya khazanah pemahaman kita
tentang bagaimana Islam di Tanah Jawa.
Namun,
buku ini menjelaskan tiga hal pokok, yaitu awal mula kedatangan Islam, para
penyebar Islam dan strategi penyebaran Islam di Tanah Jawa. Keunggulan buku ini
adalah pada penjelasan kondisi sosial masyarakatJawa, asal-usul orang Jawa,
serta keadaan Jawa pra-Hindu-Budha. Dengan demikian, kajian buku ini lebih
komprehensif dari buku lainnya.
Buku
ini menyajikan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa dari masa Hindu-Buddha hingga
peralihan ke masa Islam. Titik fokus yang diangkat dalam tulisan ini adalah
bagaimana terjadinya transformasi politik dan religius dari kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha menuju kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Dengan
gaya bahasa yang populer, buku ini bermaksud memberikan penjelasan ringan dan
mudah dipahami tentang peralihan peradaban di Jawa pada masa lalu.
Jejak
Islam Dalam Kebudayaan Jawa
Agama
dan budaya adalah pengikat kuat bagi masyarakat agar selalu terhubungan dengan
nilai luhur, dengan nilai sosial, dan dengan kehangatan masa lalu. Di saat
perubahan terjadi secara cepat, agama, dan budaya menyediakan ruang untuk
membangun kohesivitas sosial dan sarana untuk mencapai ketenangan rohani.
Peran
Islam dalam budaya Jawa tidak bisa diabaikan untuk pembangunan masyarakat dan
kebudayaannya. Buku ini muncul sebagai upaya untuk melihat jejak Islam dalam
kebudayaan Jawa. Islam di Jawa tumbuh berkembang dengan pesat dan menjadi satu
anyaman yang kuat dan menguatkan dengan nilai sosial yang ada di masyarakat.
Buku ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai eksistensi nilai Islam
dalam kebudayaan Jawa dan bagaimana cipta, karsa, dan karya manusia Jawa
dilihat kembali sebagai khazanah untuk menggali kearifan lokal, seraya tetap
mendorong pembangunan manusia yang unggul dan berdaya saing, sehingga pembaca
bisa menapaki kembali kekayaan khazanah nilai luhur agama dalam kebudayaan
Jawa.
PESAN PENULIS :
PERADAPAN
PENGHUNI TANAH JAWA SANGAT TINGGI DAN ADILUHUNG.
SETIAP
PERADAPAN PASTI ADA DUA SIFAT BAIK DAN JAHAT (KEKELAPAN)
PENULIS
MENGILUSTRASIKAN BAHWA PENGHUNI TANAH JAWA GEGIRISI KURANG TEPAT TAPI JIKA DILIHAT DARI
FAKTA SEJARAH KERAJAAN DI NUSANTARA KHUSUSNYA DI TANAH JAWA, MAKA PERADAPAN DI
TANAH JAWA LEBIH TINGGI DIBANDING DENGAN PERADAPAN DUNIA YANG LAIN.
PEMAHAMAN
SANG PENCITA JUGA DEMIKIAN SUDAH PAHAM BAHWA ALAM SEMESTA INI ADA YANG MEMBUAT
YAITU GUSTI PENGERAN.
NAMUN
DENGAN MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA MENAMBAH KHASANAH TENTANG DOGMA AGAMA SUCI YANG MENYEMPURNAKAN (SYARIAT DAN TUNTUNAN ISLAM).