Wali Songo
Wali
Songo adalah tokoh Islam yang dihormati
di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, karena peran historis mereka dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia. Wali Songo berasal dari kata Wali adalah orang yang dipercaya atau orang yang ditugaskan sedangkan kata Sanga / Songo berarti nomor sembilan. Dengan
demikian, istilah ini sering diterjemahkan sebagai Sembilan Wali.
Meskipun
disebut sebagai Wali Songo (Sembilan Wali) tetapi ada bukti bahwa anggota dari
kesembilan wali hidup pada waktu yang berbeda tidak dalam waktu yang sama.
Juga, ada sumber yang menggunakan istilah Wali Songo untuk merujuk
pada sosok selain dari kesembilan individu dari Wali Songo yang
paling terkenal.
Setiap
anggota Wali Songo saling dikaitkan dengan gelar Sunan dalam bahasa Jawa, konteks
ini berarti terhormat.
Sebagian
besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka berketurunan
ningrat.
Makam (pundhen) para wali dihormati oleh masyarakat Jawa sebagai lokasi ziarah di Jawa sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih atas manfaat dan syafaat yang mereka amalkan pada masa hidupnya. Dalam tradisi Jawa makam memiliki istilah pundhen.
Masjid
Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang
paling awal.
Ada
beberapa pendapat mengenai arti Wali Songo. Pertama adalah wali yang sembilan,
yang menandakan jumlah wali yang berjumlah sembilan, atau sanga dalam bahasa
Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo / sanga berasal dari kata
tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata
sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat
lain yang mengatakan bahwa Wali Songo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama
kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi
(808 Hijriah). Para Wali Songo adalah pembaharu masyarakat pada masanya.
Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru
masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Konsep
Wali Songo atau Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat
dilacak pada konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut sufisme
diyakini meliputi sembilan tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu
Araby dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat
kewalian dengan tugas masing-masing sesuai kewilayahan. Kesembilan tingkat
kewalian itu :
1.
Wali
Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam
semesta.
2.
Wali
Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan menggantikan kedudukannya jika wafat.
3.
Wali
Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin .
4.
Wali
Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.
5.
Wali
Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.
6.
Wali
Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.
7.
Wali
Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam bentuk
argumentasi maupun senjata.
8.
Wali
Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab.
9.
Wali
Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.
Nama para Wali Songo
Dari
nama para Wali Songo tersebut, pada umumnya terdapat 9 nama yang dikenal
sebagai anggota Wali Songo yang paling terkenal, yaitu :
1.
Sunan
Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2.
Sunan
Ampel atau Raden Rahmat
3.
Sunan
Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4.
Sunan
Drajat atau Raden Qasim Syarifuddin
5.
Sunan
Kudus atau Raden Ja'far Shadiq
6.
Sunan
Giri atau Raden Paku atau Muhammad 'Ainul Yaqin atau Prabu Satmata
7.
Sunan
Kalijaga atau Raden Syahid
8.
Sunan
Muria atau Raden Umar Said
9.
Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
10. Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik
Makam
Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana
Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan
Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab
As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan
Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian
dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume
(jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin
As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid
Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi
bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin
Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin
Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain
bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad
Rasulullah
Ia
diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14.
Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan
lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama :
1.
Siti
Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1),
memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah.
2.
Siti
Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul
Ghafur, dan Ahmad.
3.
Wan
Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu:
Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya
Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali
Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji
Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid
Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di
Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan
Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama
di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan pertama
di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi masjid Jami'
Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan
Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut
riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa
yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming.
Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid
Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin
Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad
Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin
Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam
Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan
Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya
bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar
Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan
Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti
Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal
Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam
Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Kedatangan
Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa keempat abad
ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana
riwayat yang menyatakan bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah ke
Palembang. Menurut Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), Raden
Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya Damar selama dua bulan, dan dia
berusaha memperkenalkan Islam kepada raja muda Palembang itu. Arya Damar yang
sudah tertarik kepada Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun,
karena tidak berani menanggung risiko menghadapi tindakan rakyatnya yang masih
terikat pada kepercayaan lama, ia tidak mengatakan keislamannya di hadapan
umum. Menurut cerita setempat, setelah memeluk Islam, Arya Damar memakai nama
Ario Abdillah.
Keterangan
dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J. Edel (1938) menjelaskan bahwa pada
waktu Kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim
di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum tahun 1446 M,
yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan Vietnam. Hal itu sejalan dengan
sumber dari Serat Walisana yang menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, Raja
Majapahit mencegah Raden Rahmat kembali ke Champa karena Champa sudah rusak
akibat kalah perang dengan Kerajaan Koci. Penempatan Raden Rahmat di Surabaya
dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik
di Champa, sehingga dua bersaudara tersebut ditempatkan di Surabaya dan Gresik,
kemudian dinikahkan dengan perempuan setempat.
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati
Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk
menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah
suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang
sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya
sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J.
Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya.
Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban,
Jawa Timur.
Sunan Drajat
Sunan
Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Nama asli dari sunan drajat adalah masih munat. masih munat nantinya
terkenal dengan nama sunan drajat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim.
Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang
memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan
Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan
Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri
sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.
Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan
Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil
atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti
Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus
bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain binti Sayyidah Fathimah Az-Zahra bin Nabi Muhammad
Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan
Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak,
Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan
kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah
Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah
satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya
bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun
1550.
Sunan Giri
Sunan
Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan
Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang
selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia
timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal
ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan
Bima. Makam Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kabupaten Gresik.
Sunan Kalijaga
Sunan
Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau
Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan
Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk
lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam
satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana
Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano
Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan
Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari
Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq.
Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria
adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Gapura
Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat
Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin
putra Ali Nurul Alam Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih
keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri
Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah
dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan
dan menyebarkan agama Islam di Banten.
Tokoh pendahulu Wali Songo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh
Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar
bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad
bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali
Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh
Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri
Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering
disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya
terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo
(dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul
merupakan kuburnya.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh
Datuk Kahfi merupakan guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang
(Syarifah Muda'im), yaitu putera dan puteri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu
Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi wafat dan
dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.
Syekh
Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh
yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makhdum, Maulana Pangeran Panjunan,
Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh
Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah.
Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah
pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang
tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya:
“Wahai
murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita
laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana
pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk
masyarakat islamiyah itu?”.
Para
murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah
berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha
memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini
mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang
inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
Asal usul Wali Songo
Teori
keturunan Hadramaut
Walaupun
masih ada pendapat yang menyebut Wali Songo adalah keturunan Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut
lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal
mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi
yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju
Kebahagiaan, mendukung bahwa Wali Songo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
L.W.C
van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada
1884–1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel
Indien (1886)[8] mengatakan:
”Adapun
hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang
Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara
raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga
suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini
tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid
Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van
den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada
abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya,
yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab
bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempunyai jabatan-jabatan
tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya
pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat
keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam
(Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada
orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab,
mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan
van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad ke-15
ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang
berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad,
Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga
saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama
seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar),
Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh
Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar
bermadzhab Hanafi.
Kesamaan
dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait;
seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi,
doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir,
Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab
fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al
Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha
maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut,
karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan
fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Pada
abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Wali Songo seperti Raden
Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga
merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di
Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah
Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama
besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh
musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai
putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal
Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori
keturunan Cina (Hui)
Sejarawan
Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
(1968), dengan menyatakan bahwa Wali Songo adalah keturunan Tionghoa Muslim. Pendapat
tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Wali Songo
adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya
buku tersebut.
Referensi-referensi
yang menyatakan dugaan bahwa Wali Songo berasal dari atau keturunan Tionghoa
sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana,
yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian
merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident
Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta
kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck
Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak
mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak
pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat
detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah
satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs
berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang
ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan
seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat
dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan
Parlindungan.
Sumber tertulis tentang Wali Songo
Terdapat
beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Wali Songo, antara lain Serat
Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Wali Songo karya Sunan
Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan
cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
Mantan
Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962)
juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur
Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya
dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu
(sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
Dalam
penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams
al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan
mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan
Bonang dan Sunan Gresik.
Nama-Nama
Asli Wali Songo: Strategi Dakwah & Wilayah Persebarannya Masjid Agung
Demak, Bintoro, Demak, Jawa Tengah, Minggu (20/5). Masjid ini dipercayai pernah
menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa yang disebut dengan Wali Songo. ANTARA FOTO/Aji Styawan Oleh: Abdul
Hadi - 19 Februari 2021 Dibaca Normal 2 menit Nama-nama Wali Songo: nama asli,
strategi Dakwah dan wilayah persebarannya. tirto.id - Pada abad ke-14 di
wilayah Jawa, dikenal sembilan penyebar agama Islam yang kondang dengan sebutan
Wali Songo. Sembilan wali itu tinggal di beberapa daerah penting di sekitar
pantai utara Jawa. Strategi dakwah yang digunakan Wali Songo amat bervariasi,
tergantung wilayah dan kondisi masyarakatnya. Sebagian besar dari para penyebar
Islam ini beradaptasi dengan luwes agar penyampaian Islamnya diterima
masyarakat. Penamaan Wali Songo sering kali dilekatkan dengan wilayah
dakwahnya. Akibatnya, sebagian besar masyarakat tidak mengenal nama asli dari
masing-masing wali. Nama-nama Wali Songo Berikut adalah sembilan tokoh Wali
Songo, nama asli, strategi, dan wilayah persebaran dakwahnya, sebagaimana
dituliskan Agus Sunyoto di buku Atlas Wali Songo (2016): 1. Sunan Gresik Sunan
Gresik atau Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai orang pertama yang
menyebarkan Islam di Jawa. Ia pertama kali datang ke desa Sembolo, sekarang
Desa Laren di kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Strategi
dakwahnya dimulai dari perdagangan, yang dilanjutkan dengan pendekatan politik.
Sunan Gresik kemudian menjalin hubungan dengan penguasa saat itu. Sunan Grasik
juga mendirikan pesantren dan masjid untuk menyebarkan Islam. Keberadaan Sunan
Gresik ini menjadi kontroversi. Selama ini, ada perbedaan antara pandangan
masyarakat dan fakta sejarah. Sebagaimana dilansir dari NU Online, keberadaan Sunan
Gresik tidak diakui secara akademis, namun tetap berkembang sebagai kepercayaan
masyarakat. 2. Sunan Ampel Nama asli Sunan Ampel ialah Raden Rahmat. Sunan
Ampel lahir pada tahun 1401. Wilayah dakwahnya berada di sekitar Surabaya. Ia
juga memiliki pesantren Ampeldenta yang terletak di daerah Denta, Surabaya.
Strategi dakwahnya yang terkenal adalah dengan mendidik para dai atau juru
dakwah. Kemudian, ia menikahkan banyak juru dakwah dengan putra-putri penguasa
bawahan Majapahit. 3. Sunan Kudus Sunan Kudus bernama asli Ja'far Shadiq, ia
lahir pada tahun 1400. Wilayah dakwahnya adalah di Kudus, Jawa Tengah. Sunan
Kudus terkenal tegas dalam menegakkan ajaran syariat Islam. Di masanya, ia
dikenal sebagai eksekutor Ki Ageng Pengging dan Syaikh Siti Jenar. Strategi
dakwah yang digunakan Sunan Kudus untuk menyebarkan Islam adalah dengan
mendekati masyarakat melalui kebutuhan mereka. Ia mengajarkan alat-alat
pertukangan, kerajinan emas, membuat keris pusaka, dan lain sebagainya. 4.
Sunan Giri Sunan Giri bernama asli Muhammad Ainul Yakin, ia lahir pada tahun
1442. Orang tuanya adalah Syaikh Maulana Ishaq bersama Dewi Sekardadu, putri
Menak Sembuyu yang merupakan seorang penguasa wilayah Balambangan di ujung
kerajaan Majapahit. Sunan Giri dikenal sebagai raja sekaligus guru suci. Ia
berperan penting dalam pengembangan dakwah di Nusantara. Strategi dakwahnya
yang terkenal adalah dengan memanfaatkan kekuasaan, perniagaan, dan pendidikan.
Dengan cara dakwah tersebut, pengaruh Sunan Giri mencapai wilayah Banjar,
Martapura, Pasir, Kutai, hingga Nusa Tenggara dan Maluku. Baca juga: Sejarah
Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam & Daftar Raja-raja 5. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati mempunyai sebuah nama asli Syarif Hidayatullah. Ia lahir pada
tahun 1448 di Kairo, Mesir. Di Mesir, ia adalah putra Sultan Hud dan pernah
menjadi pangeran untuk penerus raja Mesir, menggantikan ayahnya, tetapi ia
menolak dan memutuskan untuk menyebarkan ajaran Islam dengan ibunya di wilayah
Jawa. Strategi dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati adalah dengan menguatkan
kedudukan politik. Ia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di
Cirebon, Banten, dan Demak untuk memuluskan dakwahnya. 6. Sunan Kalijaga Sunan
Kalijaga atau Raden Said lahir pada tahun 1450 di Tuban. Ayahnya adalah Tumenggung
Wilatikta Bupati Tuban. Strategi dakwah Sunan Kalijaga amat terkenal melalui
seni dan budaya. Ia piawai mendalang, menciptakan bentuk-bentuk wayang, dan
lakon-lakon carangan. 7. Sunan Muria Sebagai putra Sunan Kalijaga, Sunan Muria
yang bernama asli Raden Umar Said atau Raden Said mewarisi darah seni ayahnya.
Ia lahir pada tahun 1450 dan dianggap sebagai sunan termuda di antara para Wali
Songo lainnya. Dalam menyebarkan Islam, Sunan Muria melestarikan seni gamelan
dan boneka sebagai sarana dakwah. Dia menciptakan beberapa lagu dan tembang
untuk mempraktikkan ajaran Islam. 8. Sunan Bonang Sunan Bonang lahir ada tahun
1465 serta nama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel
dengan Nyai Ageng Manila. Julukan Sunan Bonang berasal dari salah nama desa di
kabupaten Rembang, yaitu desa Bonang. Sunan Bonang dikenal amat pandai dengan
ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan lain sebagainya.
Wilayah dakwahnya adalah daerah Kediri. Di sana, Ia mengajarkan Islam melalui
wayang, tembang, dan sastra sufistik. Karya sastra terkenal yang digubah Sunan
Bonang adalah Suluk Wujil. 9. Sunan Drajat Sunan Drajat memiliki nama asli
Raden Qasim atau Syarifuddin. Ia lahir pada tahun 1470 dan merupakan putra
bungsu Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Wilayah dakwahnya berada di
Paciran, Lamongan. Strategi dakwahnya terkenal dengan pendidikan akhlak kepada
masyarakat. Di Paciran, Sunan Drajat mendidik masyarakat untuk memperhatikan
kaum fakir miskin. Ia menjunjung tinggi kesejahteraan umat. Selain itu, Sunan
Drajat juga dikenal dengan pengajaran teknik membuat rumah dan tandu. Baca
juga: Kesultanan Aceh Darussalam: Sejarah Masa Kejayaan dan Peninggalan Sejarah
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Dinasti Umayyah Baca juga artikel terkait WALI
SONGO atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi (tirto.id - Pendidikan)
Kontributor: Abdul Hadi Penulis: Abdul Hadi Editor: Dhita Koesno Subscribe Now
Penamaan Wali Songo sering kali dilekatkan dengan wilayah dakwahnya.
Kisah Wali Songo dalam Menyebarkan Islam di Pulau
Jawa
Wali
Songo dikenal gigih menyebarkan ajaran agama Islam pada abad ke 14 di tanah
Jawa. Para Wali Songo tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Mereka cepat dikenal masyarakat luas karena kerap berdakwah tanpa memaksa harus
masuk Islam.
Masyarakat
muslim di nusantara pasti sudah tak asing lagi dengan Wali Songo. Wali memiliki
arti wakil, sementara songo memiliki arti sembilan. Dengan demikian, Wali Songo
adalah sembilan wakil atau wali Allah SWT.
Perjalanan
dakwah Wali Songo telah dicatat dalam sejarah penyebaran agama Islam di
Indonesia. Mereka telah meninggalkan banyak jejak dalam berdakwah. Wali Songo
membawa perubahan besar terhadap masyarakat Jawa yang dulunya banyak beragama
Hindu-Budha. Berikut kisah selengkapnya.
Kisah Wali Songo dalam Menyebarkan Islam diNUSANTARA
1.
Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, khususnya Cirebon. Sunan
Gunung Jati adalah pendiri dinasti kesultanan Banten yang dimulai dengan
putranya, Sultan Maulana Hasanudin. Pada tahun 1527, Sunan Gunung Jati
menyerang Sunda Kelapa di bawah pimpinan panglima perang Kesultanan Demak,
Fatahillah.
Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang
cerdas dan tekun dalam menuntut ilmu. Karena kesungguhannya, ia diizinkan
ibunya untuk menuntut ilmu ke Makkah. Di sana, dia berguru pada Syekh Tajudin Al-Qurthubi. Tak lama kemudian,
ia lanjut ke Mesir dan berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, ulama
bermadzhab Syafi’i. Di sana, Sunan Gunung Jati belajar tasawuf tarekat
syadziliyah.
Setelah diarahkan oleh Syekh Ataillah,
Syarif Hidayatullah memutuskan pulang ke Nusantara untuk berguru pada Syekh
Maulana Ishak di Pasai, Aceh. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan ke Karawang,
Kudus, sampai di Pesantren Ampeldenta, Surabaya. Di sana, ia berguru pada Sunan
Ampel.
Sunan Gunung Jati lantas diminta untuk
berdakwah dan menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan menjadi guru agama.
Ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung. Setelah masyarakat Cirebon
banyak yang memeluk agama Islam, Syarif Hidayatullah lantas lanjut berdakwah ke
daerah Banten.
Selama berdakwah di Cirebon, Syarif
Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Pakungwati, putri dari Pangeran Cakrabuana atau
Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon saat itu. Di sana, ia mendirikan sebuah
pondok pesantren, lalu mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar. Para
santri di sana memanggilnya dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati. Selain
itu, ia juga mendapatkan gelar Sunan Gunung Jati karena berdakwah di daerah
pegunungan.
2.
Sunan
Ampel (Raden Rahmat).
Sunan Ampel memiliki nama asli Raden
Rahmat. Ia memulai dakwahnya dari sebuah pondok pesantren yang didirikan di
Ampel Denta, Surabaya. Ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di
Jawa Timur. Sunan Ampel memiliki murid yang mengikuti jejak dakwahnya, yaitu
Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Suatu ketika, Sunan Ampel diberi tanah
oleh Prabu Brawijaya di daerah Ampel Denta. Ia lantas mendirikan sebuah masjid.
Di sana, masjid tersebut dijaga oleh Mbah Sholeh. Ia sangat terkenal sebagai
orang yang selalu menjaga kebersihan. Hal itu juga diakui oleh Sunan Ampel.
Hingga suatu hari, Mbah Sholeh meninggal dunia. Ia lantas dimakamkan di samping
masjid.
Sepeninggal Mbah Sholeh, Sunan Ampel tak
kunjung menemukan pengganti penjaga
masjid yang serajin Mbah Sholeh. Akibatnya, masjid tak terurus dan kotor. Sunan
Ampel kemudian bergumam, “Seandainya Mbah Sholeh masih hidup, pasti masjidnya
jadi bersih.”
Seketika itu pula sosok serupa Mbah
Sholeh muncul. Ia lantas menjalankan rutinitas yang biasa dilakukan Mbah
Sholeh, namun tak lama kemudian meninggal lagi dan dimakamkan persis di samping
makam Mbah Sholeh. Peristiwa itu terulang hingga sembilan kali. Konon, Mbah
Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel meninggal dunia.
3.
Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim).
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
dikenal dengan nama Maulana Maghribi (Syekh Maghribi). Ia diduga berasal dari
wilayah Magribi, Afrika Utara. Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui
secara pasti sejarah tempat dan tahun kelahirannya.
Sunan Gresik diperkirakan lahir pada
pertengahan abad ke 14. Ia merupakan guru para wali lainnya. Sunan Gresik
berasal dari keluarga muslim yang taat. Kendati ia belajar agama Islam sejak
kecil, namun tidak diketahui siapa saja gurunya hingga ia menjadi ulama.
Pada abad ke-14, Sunan Gresik ditugaskan
untuk menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara. Ia berlabuh di Desa Leran,
Gresik. Saat itu, Gresik merupakan bandar kerajaan Majapahit. Tentu saja
masyarakat saat itu banyak yang memeluk agama Hindu dan Buddha. Di Gresik, ia
menjadi pedagang dan tabib. Di sela-sela itu, ia berdakwah.
Sunan Gresik berdakwah melalui
perdagangan dan pendidikan pesantren. Pada awalnya, ia berdagang di tempat
terbuka dekat pelabuhan agar masyarakat tidak kaget dengan ajaran baru yang
dibawanya. Sunan Gresik berhasil mengundang simpati masyarakat, termasuk Raja
Brawijaya. Akhirnya, ia diangkat sebagai Syahbandar atau kepala pelabuhan.
Tidak hanya jadi pedagang andal, Sunan
Gresik juga berjiwa sosial tinggi. Ia bahkan mengajarkan cara bercocok tanam
kepada masyarakat kelas bawah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh
ajaran Hindu. Karena strategi dakwah inilah, ajaran agama Islam secara
berangsur-angsur diterima oleh masyarakat setempat.
4.
Sunan
Bonang (Raden Makhdum).
Sunan Bonang adalah salah satu Wali
Songo yang menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Jawa. Ia memiliki nama asli
Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati (Nyai
Ageng Manila). Namun, ada versi lain yang mengatakan Dewi Condrowati adalah
putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian, Sunan Bonang adalah Pangeran Majapahit.
Sebab, ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sunan Bonang menyebarkan ajaran agama
Islam dengan cara menyesuaikan diri terhadap corak kebudayaan masyarakat Jawa.
Seperti diketahui, orang Jawa sangat menggemari wayang dan musik gamelan.
Karena itulah, Sunan Bonang menciptakan gending-gending yang memiliki
nilai-nilai keislaman. Setiap bait lagu ciptaannya diselingi ucapan dua kalimat
syahadat sehingga musik gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah
sekaten.
5.
Sunan
Giri (Raden Paku)
Sunan Giri memiliki nama asli Raden
Paku. Ia merupakan putra Maulana Ishak. Suatu ketika, ia ditugaskan oleh Sunan
Ampel untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Blambangan. Semasa hidupnya.
Sunan Giri pernah belajar di pesantren
Ampel Denta, melakukan perjalanan haji bersama Sunan Bonang. Sepulangnya dari
haji, ia singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu agama. Saat itu, Sunan Giri
mendirikan sebuah pesantren di daerah Giri. Kemudian, ia mengirimkan banyak
juru dakwah ke berbagai daerah di nusantara.
6.
Sunan
Drajat (Raden Qasim).
Sunan Drajat (Raden Qasim) merupakan
putra Sunan Ampel. Sunan Drajat merupakan seorang wali yang dikenal berjiwa
sosial tinggi. Ia banyak menolong yatim piatu, fakir miskin, dan orang sakit.
Ia memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah sosial. Sunan Drajat
menyebarkan agama Islam di Lamongan, Jawa Timur.
Sunan Drajat merupakan Wali Songo yang
memiliki banyak nama, yaitu Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada,
Raden Imam, dan Maulana Hasyim. Pada 1484, ia
diberi gelar oleh Raden Patah dari Demak, yaitu Sunan Mayang Madu.
Ketika Sunan Drajat datang ke Desa
Banjaranyar, Paciran, Lamongan, ia mendatangi pesisir Lamongan yang gersang
bernama Desa Jelak. Masyarakat sekitar masih menganut agama Hindu dan Buddha.
Di desa tersebut, Sunan Drajat membangun mushola untuk beribadah dan
mengajarkan agama Islam. Selain itu, Sunan Drajat juga membangun daerah baru di
dalam hutan belantara. Ia mengubahnya menjadi daerah yang berkembang, subur,
serta makmur. Daerah tersebut bernama Drajat, oleh sebab itu ia diberi gelar
Sunan Drajat.
7.
Sunan
Muria (Raden Umar Said).
Sunan Muria merupakan seorang Wali Songo
yang sangat berjasa bagi penyebaran agama Islam di nusantara, terutama di
daerah pedesaan. Ia gemar bergaul dengan masyarakat kalangan bawah. Hal itu
membuat masyarakat mudah menerima ajaran yang disampaikannya.
Membaurnya Sunan Muria dengan masyarakat
dikenal dengan istilah “topo ngeli”. Artinya, menghanyutkan diri dalam
masyarakat. Sunan Muria berdakwah dengan metode tersebut hingga ke Gunung
Muria.
Selain itu, ia juga berdakwah lewat
kesenian seperti gamelan, wayang, dan tembang jawa. Ajaran Sunan Muria meliputi
penghayatan kebenaran dan ketaatan pada Allah SWT, wirid, kesederhanaan,
kedermawanan, dan ajaran dakwah secara bijak dalam menghadapi budaya masyarakat
yang dianut.
Karena dakwahnya, ada beberapa hasil
kesenian peninggalan Sunan Muria yang masih bisa dipelajari hingga saat ini. Di
antaranya tembang Kinanthi dan Sinom. Tembang Kinanthi terkenal karena menceritakan
tentang bimbingan dan kasih sayang orang tua kepada anaknya.
8.
Sunan
Kudus (Jafar Shadiq).
Sunan Kudus (Jafar Sadiq) diberi gelar
oleh para wali dengan nama Wali Al-ilmi yang memiliki arti orang yang berilmu
luas. Sunan Kudus memiliki keahlian
khusus dalam bidang agama. Ia juga dipercaya untuk memegang pemerintahan di
daerah Kudus. Sunan Kudus merupakan salah satu Wali Songo penyebar agama Islam
di Jawa, khususnya wilayah Jawa Tengah.
Sunan Kudus merupakan putra dari Raden
Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, dekat Blora. Selain
belajar agama kepada ayahnya, Sunan Kudus juga belajar kepada beberapa ulama
terkenal, seperti Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Setelah menimba ilmu agama dari Kyai
Telingsing, Sunan Kudus mewarisi ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau
meraih cita-cita. Selanjutnya, Sunan Kudus juga berguru kepada Sunan Ampel di
Surabaya selama beberapa tahun lamanya.
Perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan
agama Islam sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan para wali lainnya. Ia
senantiasa menempuh jalan kebijaksanaan. Dengan siasat dan taktik itu,
masyarakat dapat diajak memeluk agama Islam.
Saat itu, masyarakat di Kudus masih
banyak yang belum beriman. Tentu saja bukan pekerjaan yang mudah untuk mengajak
mereka memeluk agama. Apalagi mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan
memegang teguh adat-istiadat jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat
dengan kondisi seperti itulah Sunan Kudus harus berjuang menegakkan agama.
9.
Sunan
Kalijaga (Raden Sahid).
Sunan Kalijaga (Raden Sahid) merupakan
anak dari adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta. Ia dikenal sebagai budayawan dan
seniman seni suara, seni ukir hingga seni busana. Ia juga menciptakan aneka
cerita wayang yang bercorak keislaman.
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga
memperkenalkan bentuk wayang yang terbuat dari kulit kambing atau biasa dikenal
sebagai wayang kulit. Sebab, pada masa itu wayang populer dilukis pada semacan
kertas atau wayang beber. Dalam seni
suara, ia menciptakan lagu Dandanggula.
Sebelum menjadi ulama, Sunan Kalijaga
konon pengalaman hidup sebagai perampok atau begal. Bahkan, ia juga pernah
merampok Sunan Bonang. Peristiwa tersebut diyakini terjadi saat Sunan Kalijaga
masih berusia muda. Sunan Kalijaga juga dikenal kerap melakukan tindak
kekerasan.
Aksi perampokan yang dilakukan Sunan
Kalijaga diketahui oleh ayahnya. Tumenggung Wilantika pun marah, malu dan
merasa namanya tercoreng karena kelakuan buruk sang anak. Ia lantas mengusir
Sunan Kalijaga dari rumah mereka. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah Sunan
Kalijaga membongkar Gudang Kadipaten untuk membagikan bahan makanan kepada
orang-orang yang membutuhkan. Sebab, saat itu masyarakat Tuban hidup sangat
memprihatinkan lantaran adanya upeti ditambah musim kemarau panjang.
Kendati sudah diusir dari Tuban, Sunan
Kalijaga tidak berhenti melakukan aksi pembegalan. Ia bahkan merampok
orang-orang kaya di Kadipaten Tuban. Mengetahui hal itu, ayahnya tentu semakin
marah. Sunan Kalijaga kembali diusir. Kali ini ia disuruh angkat kaki dari
wilayah Kadipaten Tuban. Keluar dari daerah Tuban, Sunan Kalijaga masih juga
tidak menghentikan aksi perampokan itu. Bahkan, ia sampai tega meminta harta
seorang yang sepuh.
Saat itu, Sunan Kalijaga bertemu dengan
seseorang di hutan Jati Wangi. Ternyata, orang tua tersebut diketahui sebagai
Sunan Bonang. Raden Syahid alias Sunan Kalijaga tidak mengenal orang tua
tersebut. Karena masih memiliki jiwa begal, ia berniat untuk membegal Sunan
Bonang.
Bahkan, Sunan Kalijaga berhasil
melumpuhkan Sunan Bonang. Ia pun meminta Sunan Bonang menyerahkan barang
bawaannya.Tanpa disangka, Sunan Bonang menolak permintaan itu. Kemudian, Sunan
Kalijaga pun menjelaskan alasannya membegal adalah untuk membantu orang miskin.
Dalam cerita versi lainnya, Sunan
Kalijaga meminta maaf dan bertobat lantaran Sunan Bonang menasihatinya dan
menunjukkan kesaktiannya, yaitu mengubah buah pohon aren menjadi emas.
Pertemuan tersebut membuat Sunan Kalijaga bertobat dan langsung memohon agar
diperbolehkan menjadi muridnya. Sunan Bonang tentu saja menerima permintaan
tersebut.
Namun, Sunan Bonang mengajukan suatu
syarat, yaitu Sunan Kalijaga harus bersemedi di pinggir kali sampai Sunan
Bonang kembali. Sunan Kalijaga pun menyanggupi syarat tersebut. Dikisahkan,
Sunan Bonang pun akhirnya kembali ke tempat yang sama setelah tiga tahun
lamanya. Ia lantas menemukan tubuh Sunan Kalijaga sudah dirambati oleh
rerumputan.
Di tanah Jawa, Walisongo sukses menyebarkan agama
Islam melalui dakwah dan kebudayaan.
Persebaran
agama Islam oleh Walisongo dimulai di daerah Demak.
Dikutip
dari bobo.grid.id, masjid Demak dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para
Walisongo yang bertugas menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Masjid
Agung Demak didirikan oleh Raden Patah, raja pertama dari Kesultanan Demak.
Masjid
yang sudah ada sejak 1474 ini memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru.
Bagian
atapnya berbentuk limas yang ditopang oleh delapan tiang yang disebut saka
majapahit.
Masjid
Demak termasuk dalam daftar masjid tertua di Indonesia.
Agama
Islam kemudian dianut oleh sebagian besar manyarakat Jawa, mulai dari
perkotaan, pedesaan, dan pegunungan.
Pada
saat melakukan pendekatan dengan masyarakat para wali ini mendirikan masjid,
baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan agama.
Mengajarkan
agama di serambi masjid ini, merupakan lembaga pendidikan tertua di Jawa yang
sifatnya lebih demokratis.
Pada
masa awal perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut "gurukula",
yaitu seorang guru menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di
depannya, sifatnya tidak masal bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh
Siti Jenar.
Selain
prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan
ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.
Ketika
melakukan penyebaran Islam, mereka menggunakan berbagai cara, yakni kebudayaan,
kesenian dan pendidikan.
Penyebaran
agama Islam di Nusantara juga terjadi karena pengaruh pedagang dari berbagai
negara, seperti Arab, Mesir, Persia (Iran), dan Gujarat (India).
Selain
berdagang, para pendatang juga melakukan perkawinan dengan wanita pribumi dan
memiliki keturunan.
Hal
ini jelas membuat agama Islam semakin berkembang dan menyebar di berbagai
daerah di Nusantara, tak terkecuali di tanah Jawa.
Peran Walisongo
Masih
dikutip dari buku Sejarah Islam di Nusantara (2015), keberadaan Walisongo
membawa pengaruh baik di Jawa.
Misalnya
seperti di beberapa daerah menjadi pusat-pusat perdagangan semakin mendekatkan
berbagai kawasan Islam, termasuk bandar-bandar seperti Gowa (Makassar).
Karena
dukungan sunan Giri, Gowa menjadi pengislam yang aktif baik terhadap para
tetangga maupun pulau-pulau lain yang lebih jauh, seperti Banda, Lombok, dan
Sumbawa.
Walisongo
diartikan sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Wali
bukanlah nama, melainkan sebutan julukan yang mengadung perlambang suatu dewan
para wali.
Angka
Sembilan sebelum Islam berkembang dianggap angka keramat.
Peran
walisongo dan ulama sengaja untuk berdakwah, mengajar, dan mendirikan
pesantren.
Melalui
pendidikan proses penyebaran Islam lebih cepat dan berhasil.
Dari
berbagai daerah berdatangan utusan untuk belajar di sekolah atau pesantren dan
setelah selesai pendidikannya kembali ke daerah asal atau daerah lain untuk
menyebarkan agama Islam.
Peran
Ulama dan para wali sangat penting dalam proses penyebaran Islam terutama di
lingkungan pedalaman yang masih menganut kepercayaan lama sehingga dapat
memeluk agama Islam.
Walisongo
menggunakan kebudayaan dan kesenian untuk berdakwah, seperti wayang, lagi
macapat.
Bahkan
sampai sekarang masih tetap eksis dipakai masyarakat.
Penyebaran dan perkembangan Islam di Nusatara
Penyebaran
dan perkembangan Islam di Nusatara dapat dianggap sudah terjadi pada
tahun-tahun
awal abad ke-12 M. Berdasarkan data yang telah diteliti oleh pakar antropologi
dan
sejarah, dapat diketahui bahwa penyiaran Islam di Nusantara tidak bersamaan
waktunya,
demikian pula kadar pengaruhnya berbeda-beda di suatu daerah.
Berdasarkan
konteks sejarah kebudayaan Islam di Jawa, rentangan waktu abad ke-15
sampai
ke-16 ditandai tumbuhnya suatu kebudayaan baru yang menampilkan sintesis antara
unsur
kebudayaan Hindu-Budha dengan unsur kebudayaan Islam. Kebudayaan baru di
dalam
kepustakaan antara lain dikenal sebagai kebudayaan masa peeralihan.
Berdasarkan
temuan bukti-bukti arkeologis Islam di daerah pantai dan pedalaman
menunjukan
bahwa apa yang digambarkan sebagai kebudayaan tersebut sebagaian besar
adalah
hasil kebudayaan Islam yang tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya pada
masa
kejayaan hingga surutnya kerajaan Majapahit dan tumbuhnya Demak sebagai
kesultanan
Islam pertama di Jawa.
Kajian
yang membahas kebudayaan Islam masa peralihan di Jawa secara menyeluruh dan
utuh
belum banyak diketahui. Seperti Islamisasi di Jawa Timur masa peralihan belum
banyak
di ungkap berdasarkan bukti-bukti arkeologis yangh memadai. Publikasi
kepurbakalaan
Islam di Jawa Timur sebagian besar masih berupa laporan berdasarkan hasil
dari
penelitian.
Namun
pengetahuan tentang kebudayaan Islam masa peralihan di Jawa Timur kiranya
cukup
penting. Sebagaimana pendapat Muhammad Habib Mustopo, ada dua hal yang
cukup
penting tentang kebudayaan Islam masa peralihan di Jawa Timur. Pertama, untuk
melacak
proses penyiaran Islam di lingkungan masyarakat, di bandar-bandar dan
dilingkungan
keraton yang mayoritas beragama Hindu-Budha. Kedua, untuk mengetahui
latar
belakang sejarah pertumbuhan seni bangunan dan tradisi sastra tulis Islam yang
masih
memperlihatkan
unsur-unsur budaya pra-Islam. Hasil budaya tersebut sebagai kreatifitas
yang
berakar dan pengalaman kolektif sejak mengalami interaksi dengan dan luar
sekitar
abad
ke-4 M. Mustopo juga mengutip pendapat L.C. Damais, bahwa istilah masa
peralihan
dimaksudkan
sebagai suatu periode transisi dari zaman Hindu ke zaman Islam atau masa
peralihan
agama secara resmi. Dan pada periode itu para penguasa formal (raja, pejabat
dan
kerajaan)
di pusat pemerintahan atau dasar perdagangan, telah memeluk Islam secara resmi.
Akibatnya,
sebagian besar rakyat mengikutinya, meskipun di antara meraka mungkin sudah
terlebih
dahulu memeluknya.
Dalam
kondisi semacam itu komunitas muslim di Jawa sebagai pendukung budaya Islam
telah membentuk budayanya yang berciri masa peralihan yaitu perpaduan unsur
islami dengan unsur-unsur budaya pra-Islam.
Kawasan
kebudayaan yang disatukan oleh masa persamaan yang islami selalu mengandung
sejumlah besar unsur budaya lokal yang lebih kurang lengkap serta memiliki
kebebasan
yang berbeda-beda terhadap pengaruh yang dominan dan kebudayaan Islam.
Proses
akulturasi yang dialami dalam masyarakat yang menerima Islam, baik yang telah
memeluk
Islam sejak Nabi maupun pada masa abad XVI dan beberapa abad sesudahnya.
Unsur
budaya lokal tersebut masih tetap bertahan, dan masyarakat muslim diberbagai
kawasan
dengan setia dan secara sadar berpegang teguh pada pola-pola perilaku sosial
yang
lama
serta dapat diselaraskan dengan nilai-nilai Islam. Seperti penyelarasan konsep
kerohanian
Muslim oleh para Wali di Jawa.
Sementara
itu tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa, para penulis sejarah sepakat
menunjuk
para Ulama yang kemudian dikenal dengan julukan Wali Sanga (Sembilan Wali).
Menurut
kebanyakan penulis, yang dimaksud dengan Wali sanga adalah Maulana Malik
Ibrahim,
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunun Kudus, Sunan Drajat, Sunan
Gunung
Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Awal
Masuknya Islam Awal Masuknya Islam Awal Masuknya Islam di Jawa
Masuknya
Islam ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir seperti Pasai, Gresik, Goa,
talo,
Cirebon,
Banten dan Demak.
Hal
ini terjadi karena pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan interaksi antar
kawasan realitas ini mencerminkan bahwa masyarakat Islam periode awal
adalah
masyarakat kosmopolit.
Sebagaiman
Islam didaerah lain, Islam di Jawa juga berangkat dari daerah pesisir. Proses
pergeseran
menuju pedalaman, ditengarai oleh Kuntowijoyo sebagai pergeseran Islam
kosmopolit
menuju Islam agraris dan Islam yang mistik (Kuntowijoyo, 1995: 132).
Sebagai
pendapat Azra, ada empat hal disampaikan histiografi tradisional. Pertama,
Islam
di
Nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para
guru
atau
juru dakwah profesional. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam
adalah
penguasa.
Keempat, sebagaian besar para juru dakwah profesional datang di Nusantara pada
abad
ke-12 dan ke-135.
Perlu
dibedakan pula antara kedatangan Islam, penyebaran Islam dan pelembagaan
Islam.
Menurut Graaf (Graaf, 1989: 2), berdasarkan atas studinya terhadap cerita
cerita-cerita
diseputar
Islamisasi di Nusantara dapat dibedakan bahwa ada tiga metode penyebaran Islam,
yaitu
pedagang muslim, oleh para da’i dan orang suci (wali) yang datang dari India
atau
Arab
yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan
pengetahuan
mereka yang telah beriman.
Masa
penyebaran Islam yang paling dominan adalah pendapat yang menyatakan bahwa
Islam
disebarkan melalui perdagangan. Pendapat seperti ini diangkat oleh para sarjana
Barat
khususnya
Belanda, diantaranya adalah Wertheim.
Melihat
proses masuknya Islam di Indonesia dari perspektif perkembangan nampaknya
dapat
dikompromikan bahwa Islam di Jawa mengalami tiga tahap :
Pertama,
masa awal masuknya Islam ke Wilayah Indonesia terjadi pada abad VII M. Kedua,
masa penyebaran keberbagai pelosok dilaksanakan pada abad VII sampai XIII M.
Ketiga, masa perkembangan yang terjadi mulai abad XIII M dan seterusnya.
Sedangkan sejarah Jawa akhir abad ke 15 hingga awal abad ke 16 mempunyai arti
penting bagi perkembangan Islam. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari dua sisi.
Pertama, sebagai masa peralihan dari sistem politik HinduBudha yang berpusat
dipedalaman Jawa Timur ke sistem sosial politik Islam yang berpusat di pesisir
utara Jawa tengah. Kedua, sebagai puncak islamisasi di Jawa yang dilakukan oleh
para wali.
Walisanga
pada masa pelembagaan Islam menggunakan beberapa tahapan, yaitu pertama mendirikan
masjid. Dalam proses penyebaran Islam masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat
beribadah tetapi juga tempat pengajian, dan dari majidlah proses penyebaran
Islam di mulai. Masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat ritual,
masjid juga sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam
masjid segala aktifitas pengembangan Islam berlangsung. Banyak masjid yang
diyakini sebagai peninggalan Wali dan dinamakan Wali yang bersangkutan. Seperti
masjid yang didirikan oleh Raden Rahmat yang diberi nama Laqab sebagaimana
tradisi Timur Tengah Sunan Ampel, sehingga masjidnya dinamakan Masjid Ampel,
masjid Giri didirikan oleh Sunan Giri, Masjid Drajat yang didirikan oleh Sunan
Drajat dan sebagainya. Selain nmasjid dalam pembentukan kelembagaan Islam
Walisongo dalam penyebaran Islam juga mendirikan pesantren. Didalam khazanah
penyebaran Islam, setiap Wali memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama
wali tersebut berada. Seperti pesantren Ampel, pesantren Bangkuning, Pesantren
Drajat, pesantren Giri dan sebagainya.
Peranan
pesantren sebagai lembaga penyebaran Islam di Jawa telah dibahas secara
mendalam
oleh ahli sejarah, misalnya Soebardi (1976) dan Anthony Jhon, sebagaimana dikutip
oleh Dhofier.Lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman dari
kerajaan-kerajaan Islam dan yang memegang peranan paling penting bagi
penyebaran Islam sampai pelosok-pelosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah
asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran islam di Asia Tenggara, yang
tersedia secara terbatas. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi
diwilayah ini, kita harus mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut,
karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di
wilayah ini.
Pesantren
menjadi sangat penting tatkala pelembagaan Islam telah berjalan sedemikian rupa.
Pada abad ke-20, munculah berbagai pesantren yang menjadi lembaga untuk pengembangan
Islam dengan segala sistem pembelajaran dan pengajaran yang khusus yaitu sorogan,wetonan
dan bandongan. D. Pemilihan Wilayah
Dakwah Pemilihan Wilayah Dakwah Pemilihan Wilayah Dakwah.
Ada
sembilan Wali (Walisanga) dan Wali lokal dalam tradisi masyarakat muslim di
Jawa. Mereka kebanyakan berkedudukan di kota-kota pesisir dan sebagian kecil di
daerah pedalaman.
Wilayah
pengaruhnya terbatas dilingkungan kota yang menjadi basisnya, hanya satu-dua
diantaranya yangmempunyai pengaruh jauh melampaui batas daerahnya, misalnya : Sunan
Bonan da Sunan Giri.
Keterbatasan
daerah tersebut sesuai dengan struktur politik pada waktu itu, yaitu karena adanya
penguasa setempat yang lazim disebut Kyai Ageng. Mereka termasuk tuan feodal yang mandiri, dan apabila terpaksa
tunduk kepada kekuasaan raja yang berhasil memegang
kedaulatan
di daerah tertentu, maka biasanya mereka berkedudukan sebagai penguasa.
Para
Wali meskipun hidupnya tidak sezaman, tetapi dalam pemilihan dakwahnya tidak
sembarangan.
Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor strategi
yang
sesuai dengan kondisi zamannya. Jika kita perhatikan dari kesembilan wali dalam
pembagian
wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang
mapan.
Kesembilan wali tersebut membagi kerjanya dengan rasio 5:3:1.
Jawa
Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Disini ditempatkan 5 Wali,
dengan
pembagian
teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis,
mengambil
wilayah dakwah Gresik. Setelah Maulana Malik Ibrahim wafat wilayah ini
dikuasai
oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan
Bonang
sedikit ke Utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu.
Jika
diperhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima Wali tersebut,
kesemuanya
mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Pengambilan
posisi
pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i
yang
mempunyai
profesi pedagang. Berkumpulnya lima Wali di Jawa Timur adalah karena
kekuasaan
politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan
Majapahit di
Mojokerto.
Pengambilan posisi di pantai ini, sekaligus melayani atau berhubungan dengan
pedagang
rempah-rempah di Indonesia Timur. Sekaligus juga berhubungan dengan
pedagang
beras dan palawija lainnya, yang datang dari pedalaman wilayah kekuasaan Kediri
dan
Majapahit.
Seperti
dikemukakan oleh J.C. Van Leur dalam Indonesia dalam Indonesia: Trade and
society,
selain Islam telah mulai masuk ke Indonesia sejak abad ke-7, juga dijelaskan
bahwa
penyebaran
Islam di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga khusus yang menanganinya.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa setiap Muslim bertindak sebagai da’i nya.14
Penyebaran
Islam di Indonesia tidak mengenal agresi militer dan agama. Penyebaran
lebih
banyak dijalankan melalui perdagangan. Dari keterangan ini dapatlah ditarik
kesimpulan
bahwa pemilihan tempat Wali dalam dakwahnya lebih banyak posisi bandar
perdagangan
dari pada kota pedalaman.
Seperti
di Jawa Timur, para Wali lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang.
Artinya
tidak seperti digambarkan oleh senetara dongeng yang memberitakan kisah para
Wali
sebagai tokoh yang menjauhi masyarakat, seperti berlaku sebagai Bhiksu, atau lebih
banyak
beribadah semacam bertapa di gunung dari pada aktif dibidang perekomonian.
Ternyata
dinamika kehidupanya lebih rasional seperti halnya yang dicontohkan Rosulullah
yang
juga pernah berdagang.
Sedangkan
di Jawa Tengah para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria.
Sasaran
dakwah para Wali yang di Jawa Tengah tentu berbeda yang berada di Jawa Timur.
Di
Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindhu dan Budha
sudah
tidak
berperan lagi. Hanya para Wali melihat realitas masyarakat yang masih
dipengaruhi
oleh
budaya yang bersumber dari ajaran Hindhu dan Budha. Saat itu para Wali mengakui
wayang
sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola pikir
masyarakat.
Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya
perlu
diislamkan. Instrumen gong juga perlu diubah, yaitu secara lahiriah tetap
seperti
biasanya,
tetapi makna diislamkan.
Penempatan
di ketiga tempat tersebut tidak hanya melayani penyebaran ajaran Islam
untuk
Jawa Tengah semata, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pelayanan Indonesia
Tengah.
Saat
berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut pusat kekuasaan politik dan ekonomi
beralih
ke
Jawa Tengah. Yakni dengan runtuhnya kerajaan Majapahit akibat serangan Kediri
(1478).
Munculnya
kesultanan Demak nantinya melahirkan Kesultanan Pajang dan Mataram II.
Perubahan
kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti
geostrategis
yang menentukan.
Proses
islamisasinya di daerah Jawa Barat hanya ditangani seorang Wali, Syarif
Hidayatullah,
yang setelah wafat dikenal dengan Sunan Gunung jati. Adapun pemilihan kota
sebagai
pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungan
dengan
jalan
perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur.
Dan
Cirebon
merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa tengah dan Indonesia
Timur,
atau pun ke Indonesia Barat. Oleh karena itu pemilihan Cirebon dengan
pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, memiliki nilai geostrategis,
geopolitik, dan
geoekonomi
yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.
Proses
islamisasi di Jawa, Jawa Timur menempati posisi penting dilihat dari banyaknya
Wali
Allah sebagai penyebar Islam. Seperti Maulana Malik Ibrahim yang mengambil
wilayah
dakwahnya
di Gresik kemudian digantikan oleh Sunan Giri. Sunan Ampel menyebarkan
Islam
yang berpusat di Surabaya, Sunan Bonang menyebarkan Islam diwilayah Tuban dan
Sunan
Drajat di wilayah Sedayu.
Kelima
Wali tersebut, secara geostategis memanfatkan wilayah pesisir yang memiliki
pelabuhan
atau kota bandar pelabuhan. Pemilihan wilayah pesisir sebagai basis islamisasi
dengan
bandar pelabuhannya adalah pesisir menjadi basis pertemuan dengan suku, tradisi
dan
budaya dari masyarakat lain. Lalu lintas laut lebih mudah pada saat itu
dibandingkan
daratan,
sehingga masyarakat pesisir cenderung lebih terbuka dibandingkan masyarakat
pedalaman.
Hal tersebut sampai saat ini masih terjadi dimana masyarakat perkotaan dapat
diidentikan
dengan masyarakat pesisir yang mampu menerima keterbukaan karena
keterbiasaan
mereka, dan sebaliknya masyarakat pedalaman yang terbiasa dengan
ketertutupan
untuk menerima berbagai akses yang datanya dari luar.
E.
Karateristik Walisongo Karateristik Walisongo Karateristik Walisongo
Para
Wali adalah orang yang pernah berjasa dalam penyebaran agama Islam di Jawa dan
memprakasai
berdirinya suatu kerjaan Islam. Kecuali memiliki tugas, keyakinan, tujuan dan
cita-cita
yang sama, ternyata sebagian besar juga memiliki hubungan darah langsung
maupun
hubungan perkawinan.
Setiap
orang mempunyai nama yang diberikan ketika ia dilahirkan, tetapi nama para
Wali
yang disebut-sebut orang banyak ternisbahkan oleh nama tempat yang secara
historik
terhubung
dengan riwayat hidup mereka. Semua penulis sejarah sependapat bahwa ulama
pembawa
Islam di Pulau Jawa adalah para Wali Sembilan yang lebih dikenal dengan sebutan
Walisongo.
Sembilan
Wali tersebut hanya Sunan Bonang yang sampai sekarang diketahui ajaranya
dan
keasliannya dapat dipegang, sedangkan ajaran walisongo yang lain masih samar-samar
belum
tersingkap. Ajaran Sunan Bonang ini menggambarkan bagaimana corak ajaran Islam
dari
Walisongo secara umum yang tersebar di Pulau Jawa.
Ajaran
yang terdapat dalam primbon Sunan Bonang yaitu mengajarkan ilmu fiqih,
tauhid
dan tasawuf yang lengkap dan tersusun rapi menurut ajaran aqidah Ahlussunnah wa
al-Jamaah
dengan mazhab Syafi’i. Primbon tersebut disamping berisikan tauhid juga
melarang
pembaca berbuat syirik. Primbon tersebut ditutup oleh Sunan Bonang dengan
nasihat
“hendaklah perjalanan lahir batinmu menurut jalan-jalan syariat, cinta, serta
meneladani
Rasulullah SAW. Dengan demikian jelas
Sunan Bonang dapat digolongkan
dalam
golongan Ahlussunnah wa al-Jamaah.
Konon
ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya berguru
kepada
Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali Lanang, kali ini Ayah Raden
Paku,
di
Malaka, tetapi kemuduan diminta ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM
dalam
Sunang Bonang, perintis dan pendekar Sastra Suluk (1993), “Pada tahun 1503,
setelah
beberapa
tahun jabatan imam masjid dipegangnya, dia bersilisih paham dengan Sultan
Demak
dan meletakkan jabatan, lalu pindah ke Lasem. Di Lasem dia memilih Desa Bonang
sebagai
tempat tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat
tafakur),
sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban.
Sangat
terkenal kisahnya sebagai Wali yang memberikan Raden Sahid alias Brandal
Lokajaya
suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi pendakwah sinkretis ulung bernama
Sunan
Kalijaga. Namun dalam serat Dermagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang
bersifat
negatif terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard (Lombard, 1990),
Sunan
Bonang
“digambarkan sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu” tentu saja ini bagian
dari
“politik
dongeng” yang sering bisa dilacak atas sebagai legenda, mengingat tokoh
Sabdopalon
dan
Nayagenggong dalam karya itu digambarkan menolak masuk Islam.
Lain
hal nya dengan riwayat Sunan Bonang terdapat keunikan tersendiri, dikarenakan
terdapat
tiga lokasi pemakaman Sunan Bonang. Jika tiga lokasi tersebut ditanggapi secara
serius
oleh juru kuncinya, tentu akan menjadi bingung karena tidak ada bukti
kebenarannya.
Kerancuan
ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak terbedakan, mana yang
makam
dan mana yang petilasan: tempat para wali pernah tinggal, mengajar atau sekedar
lewat
saja. Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang
berhubungan
dengan
Sunan Bonang menjadi empat.
Lokasi
pertama, dan yang paling populer, adalah makam dibelakang Masjid Agung
Tuban.
Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat suatu kontras, antara Masjid Agung
tuban
yang arsitekturnya megah dan berwarna-warni itu, dengan astana Masjid Sunan
Bonang
di belakangnya yangh sederhana. Di dekat astana masjid terletak makam Sunan
Bonang.
Untuk mencapainya harus menyusuri gang sempit disamping masjid besar.
Lokasi
kedua adalah petilasan disebuah bukit di pantai utara Jawa, antara Rembang dan
Lasem,
tempat yang dikenal sebagai bonang, dan dari sanalah memang ternisbahkan nama
Sunan.
Di kaki bukit konon juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa
nisan,
hanya ditandai oleh tanaman bunga melati. Namun di atas bukit, terdapat batu
yang
dugunakan
sebagai alas untuk shalat di batu itu terdapat jejak kaki Sunan Bonang, konon
karena
kesaktiannya membuat batu itu melesak.
Lokasi
ketiga adalah makan Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau Bawean. Ketika
Intisari
melacak pulau terpencil antara Jawa dan Kalimantan tersebut, terdapat dua makam
Sunan
Bonang di tepi pantai. Salah satu makam memang tampak lebih terurus, karena
dibuatkan
“rumah” dan diberi kelambu sedang makam satunya masih harus bersaing
pengakuan
dengan spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari Sulawesi
yang
kapalnya karam di sekitar Bawean.
Lokasi
keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai Brantas di Kediri.
Konon
dari tempat itu, seperti dituturkan dalam Babad Kadhiri, Sunan Bonang
melancarkan
dakwah
tetapi gagal mengislamkan Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678
menyerang pasukan Trunajaya didaerah itu, mereka menemukan masjid yang
digunakan sebagai gudang mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt. Menurut Graaf
dan Pigeaud, “adanya masjid yang cukup penting di Singkal pada abad ke -17
menyebabkan legenda yang
mengisahkan
tempat itu sebagai propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16
menjadi
agak lebih dapat dipercaya.
Sunan
Bonang dalam dakwahnya berusaha memasukan pengaruh Islam ke dalam
kalangan
bangsawan keraton Majapahit. Sunan Bonanglah yang memberikan didikan Islam
kepada
Raden Patah, sultan Demak pertama. Raden Patah ini adalah putra Brawijaya V
(Raja
Majapahit).
Pada
masa hidupnya Sunan Bonang termasuk penyokong dari kerajaan Demak dan ikut
pula
membantu pendirian masjid di kota Bintoro Demak. Filsafat ketuhanan Sunan
Bonang
yaitu
iman, tauhid dan makrifat terdiri dari pengetahuan yang sempurna. Maksudnya
bahwa
kesempurnaan
barulah akan tercapai hanya dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan.
Seseorang
tidak mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri
dan
segala geraknya itu datang dari Allah.
Sunan
Bonang adalah pencipta gending Darma. Sunan Bonang berusaha mengganti
nama-nama
hari nahas menurut kepercayaan Hindu dan nama-nama dewa Hindu dan
nama-nama
malaikat dan nabi-nabi menurut agama Islam.
Selain
Sunan Bonang, Wali yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa adalah Sunan
Ampel.
Nama itu dihubungkan dengan Ampel yang kini menjadi bagian dari kota Surabaya.
Nama
lain yang sering disebut Raden Rahmat, orang suci dari Ampel Denta, tepatnya
Sunan
Ampel
Denta. Disebutkan bahwa Raden Rahmat berasal dari dan merupakan anggota
keluarga
kerajaan Cempa. Seperti diketahui, dalam kisah Walisanga, Sunan Ampel
disebutkan
berputra Sunan bonang yang menjadi guru Sunan Kalijaga, serta bermurid antara
lain
Sunan Giri yang juga merupakan Wali tersohor.
Makam
Sunan Ngampel Denta tidak kalah ramainya dibandingkan dengan makam para
Wali
lain pada abad ke-21 ini. Bahkan dari semua makam yang telah dilaporkan
Intisari
adalah
makam Sunan Ngampel Denta ini saja yang tidak boleh dipotret ataupun di rekam
kamera
video. Kompleks makan dan pemukiman Ngampel Denta sendiri telah menjadi
khas
dan unik bukan karena kesunyiannya, melainkan telah mengalami metamorfosa:
betapa
sebuah
pusat keagamaan dengan masjid besar di tengah kampung melebur dalam sebuah
pusat
perdagangan, tanpa harus kehilangan suasana sakral sama sekali. Sebaliknya,
kompleks
makam
dan masjid Ampel bagaikan sebuah perayaan menyatunya kekhusukan agama
dengan
gairah kehidupan sehari-hari, bagaikan suatu agama bisa sangat membumi.
Ketika
Raden Rahmat pertama kali datang di Jawa dan tiba di Gresik, ia disambut
seorang
ulama Arab bernama Syekh Maulana Kubra. Ia menyambut dengan gembira dan
meramalkan
berakhirnya kepercayaan berhala dan Raden Rahmat akan menjadi pelopor
Islam
di Jawa.
Demikian
pula dengan pendapat Tamar Djaya pertama kali Raden Rahmat tiba di Gresik
di
sambut dengan gembira oleh penduduk yang telah beragama Islam oleh seorang
ulama
ternama
bangsa Arab yang bernama Syekh Maulana Jamad Al-Kubra, yang kemudian
bergaul
dengan Raden Rahmat. Beliau melihat Raden Rahmat mempunyai sifat berani, tegas,
berpengaruh
dan tabah sehingga diramalkan Raden Rahmat kelak akan pengembang Islam
di
Tanah Jawa.21 Salah satu buktinya pada tahun 1479 M Raden Rahmat mendirikan
Masjid
Agung
Demak. Kerajaan Demak tersebut berdiri sebagai kerajaan Islam yang pertama
dengan
rajanya Raden Patah, hal ini tentunya atas dukungan dari Sunan Ampel. 22
Selain
Ampel Denta, menurut penuturan Babad Gresik, Raden Rahmat berhasil
mendirikan
daerahnya semula berlumpur dan berair menjadi daerah yang makmur. Di
daerah
tersebut didirikan pula pesantren yang bertujuan untuk mendidik akidah dan
syariat
bagi
para poengikut-pengikutnya, sehingga Ampel menjadi pusat dakwah Islam.
Keberhasilan
beliau dalam mengelola pesantren terlihat dari ketenaran nama Ampel Denta
dalam
waktu singkat.
Perkembangan
Ampel Denta sebagai suatu koloni di Surabaya yang dihuni oleh orangorang yang
beragama Islam pada gilirannya menjadi tempat belajar para santri yang berasal
dari
beberapa daerah, terutama saudagar dan para bangsawan, melainkan juga menjadi
tempat
persinggahan bagi para juru dakwah dari beberapa penjuru negeri.
Faktor
lain yang mempengaruhi pesatnya perkembangan Ampel Denta adalah karena
Raden
Rahmat tidak pernah mempersoalkan mahzhab yang dianut oleh para juru dakwah
maupun
santrinya, meskipun beliau sebagai penganut mahzhab Hanafi. Dalam
mengembangkan
pendidikan Islam, beliau lebih mengutamakan segi penanaman akidah dan
pelaksanaan
syariat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Sehingga dengan
cara
yang netral seperti itu, pendidikan di Ampel Denta banyak mempengaruhi simpati
di
kalangan
masyarakat.
Tokoh
Walisongo yang ketiga adalah Sunan Giri. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara
lain
sebagai anggota dewan walisongo dan namanya tersebut dalam versi Jawa Barat,
Jawa
Tengah
dan Jawa Timur. Setiap versi berbeda nama Wali yang termasuk dalam kelompok
Walisongo.
Ada seorang Wali yang termasuk dalam versi tertentu dalam versi yang lain.
Hanya
Wali yang besar saja yang disebut dalam ketiga versi, dan Sunan Giri termasuk
dalam
kelompok
ini. Namun Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses kerajaan Islam pertama
di
Jawa, Demak. Ia adalah Wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya
negara
tersebut,
serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai penasehat militer. Nama
lain/gelar
Sunan Giri yang sering disebut adalah Joko Samudro, yaitu nama yang diberikan
ibu
angkatnya, Nyai Gede pinatih. Nama lainya adalah Raden Paku, nama yang
diberikan
Sunan
Ampel atas permintaan ayah Sunan Giri yaitu Maulana Ishak sewaktu meninggalkan
Jawa.
Sedangkan Sunan Kalijaga menamainya Prabu Satmata.
Kisah
Sunan Giri dalam legenda terulang kembali riwayat Sunan Ngampel Denta dan
sunan
Bonang. Bahwa Sunan Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta, mereka menjadi
murid
Sunan Ngampel Denta tersebut sebelum mengembara sampai tanah Malaka dan
berguru
kepada Syeh Wali Lanang, yang ternyata adalah ayah Sunan Giri.
Cerita
tutur Jawa disebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih sebagai pengasuh Prabu Satmata
meninggal
tahun1477; pembuatan kedaton atau istana berlangsung 1485, disusul pembuatan
“kolam”
diduga adalah “taman” yang memang termasuk di dalamnya adalah danau tiruan,
dengan
pulau kecil di tengahnya inilah taman air (taman sari) yang merupakan bagian
dari
kompleks
istana raja Jawa. Artinya, bangunan tersebut adalah legitimasi kekuasaan
duniawi,
dan
jika Prabu Satmata adalah juga Sunan Giri, berarti kekuasaan rohani tersatukan
dengan
kekuasaan
duniawi. Dalam komentar Graaf dan Pigeaud, memiliki taman semacam ini
tentu
menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama di Giri .
Tindakan
Prabu Satmata dari Giri itu (seperti juga dilakukan para Wali Islam di Jawa
pada
zaman yang sama) dapat di anggap sebagai usaha memantapkan dan menguatkan
pusat
keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi kepentingan pada pedagang Islam yang
sering
kurang
semangat agamanya” Para pedagang ini keturunan asing, berasal dari golongan
menengah,
dan diduga sudah tinggal di Jawa sejak abad ke-14, baik di kota besar maupun
kecil”.
Dibangunnya kedaton dan dipakainya nama gelar dan raja (Prabu Satmata).
Perhatikan
bahwa konsentrasi para sejarawan ini bukanlah personifikasi Sunan Giri itu
sendiri,
melainkan bagaimana personifikasi Sunan Giri dalam legenda menunjukan
fenomena
agama dan sejarah Jawa. Tentang kediaman di puncak bukit misalnya disebutkan,
“...
dialah orang pertama di antara ulama yang membangun tempat berkhalwat dan
tempat
berkubur
di atas bukit”. Dibahas, “Tempat keramat di atas gunung tentu sudah dianggap penting
dalam kehidupan keagamaan sebelum zaman Islam di Jawa Timur /dapat diduga
bahwa
kelompok-kelompok “kafir” yang memiliki satu atau beberapa bukit keramat
sebagai
pusat keagamaannya telah memberikan perlawanan bersenjata waktu orang-orang
alim
Islam datang untuk menjadikan gunung keramat mereka menjadi daerah Islam.
Apakah
Giri dekat Gresik sebagai pusat kehidupan Islam dan sebagai tempat penghayatan
agama
bagi orang-orang Islam beriman telah didirikan sekadar mencontoh “gunung
keramat’
di Jawa Timur ? ataukah didirikan di bekas ‘ gunung keramat”?
Personifikasi
Nyai Gede Pinatih juga memungkinkan spekulasi bahwa pembangunan
kedaton
Giri mendapat dukungan dana komunitas dagang tersebut. Dalam bahasa alQurtuby
yang khusus meneliti tentang peranan Tionghoa sebagai penyebar Islam. “ Bahkan
di
Giri, back up dana Giri Kedaton adalah seorang Cina Muslimah dan saudagar kaya
bernama
Nyai Gede Pinatih yang sekaligus ibu angkat Sunan Giri.
Sunan
Giri menyiarkan Islam dan menamakannya ke dalam jiwa para penduduk. Beliau
mendirikan
masjid sebagai langkah pertama dan dasar untuk mensyiarkan Islam. Sunan Giri
mendirikan
beberapa pesantren dan mengajarkan ilmu fiqih, ilmu tasfir, ilmu hadist, serta
nahwu
dan sharaf kepada santrinya. Santrinya yang belajar di pesantren bukan hanya
dari
sekitar
Surabaya tetapi juga dari Madura, Lombok, Makasar dan Ternate. 26(Syamsu AS,
1999:
49)
Sebagai
ulama dan guru, beliau juga berdagang untuk penghidupannya. Dengan modal
yang
diberikan oleh ibu angkatnya Nyai Gede Pinatih, beliau pedagang mengelilingi
pulaupulau di Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi dan juga sampai Kamboja.
Karena beliau berdagang melayari lautan menuju pulau-pulau, maka banyak orang
kaya dan orang-orang terpandang dari Maluku.
Perjuangan
terbesar yang dilakukan Sunan Giri dalam dakwahnya islamiyah yaitu
mengirim
santrinya ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mensyiarkan Islam, misalnya
pulaupulau Madura, Bawean, kangean, bahkan sampai Ternate dan huraku (di
kepulauan
Maluku).
Kemasyurannya melebihi gurunyan, Sunan Ampel dan Maulana Ishak.
Maulana
Malik Ibrahim adalah tokoh yang termasuk Walisembilan. Nama lain yang
dipakai
oleh beliaua adalah Maulana Magribi atau Maulana Ibrahim. Saat datang di Pulau
Jawa
beliau menetap di desa Leran yang terletak di kota Gresik. Beliau mengajak Raja
Majapahit
untuk memeluk Islam. Oleh raja tersebut Maulana Malik Ibrahim diberi hadiah
sebidang
tanah. Di atas tanah tersebut kemudian dibangun masjid untuk tempat beribadah
dan
tempat mengajarkan Islam.
Maulana
Malik Ibrahim menyebarkan Islam dengan cara melayani kebutuhan sehari-hari
masyarakat
yang diajaknya, dan tidak dengan secara langsung mengajarkan apa Islam itu.
Dalam
penyebaran Islam Maualana Malik Ibrahim berdakwah dengan cara diplomasi yang
ulung
yang bisa diterima oleh akal pikiran masyarakat sehingga Islam dapat diterima
masyarakat.
Demikian
halnya dengan Sunan Kudus, nama lain / gelar Sunan Kudus yang disebut
adalah
Ja’afar Shadiq, Raden Undung atau Raden Untung dan Raden Amor Haji. Sunan
Kudus
terkenal sebagai ulama besar yang mengusai ilmu ushul hadist, ilmu tasfir
al-Qur’an,
ilmu
sastra, matiq dan yang terutama sekali adalah ilmu fiqih. Karena itu di antara
para
Walisongo,
beliau diberikan julukan Waliyul Ilmi,yang artinya Wali yang menjadi segudang
ilmu.
Sunan
Kudus juga terkenal di bidang kesenian. Kecintaannya adalah pada geding
maskumambang
dan mijil. Beliau pun seorang pujangga dan berinisiatif mengarang
dongeng-dongeng
pondok yang bersifat dan berjiwa Islam. Salah satu pujangga Beliau
lainnya
dalam menyebarkan Islam adalah pada saat Maulud Nabi Muhammad saw, orang
berduyun-duyun
datang. Di pintu gapura masjid, semua orang harus membaca dua kalimat
syahadat
terlebih dahulu sebelum masuk. Ini yang disebut dengan Syahadatain, suatu
ucapan
dalam
dakwah islamiyah. Hal tersebut termasyur di Jawa Tengah atau Jawa Timur sebagai
upacara
sekaten (dari asal kata Syahadatain).
Anggota
Walisembilan lainnya adalah Sunan Drajat. Sunan Drajat adalah Syarifuddin
Hasyim,
putra Sunan Ampel. Sunan Drajat adalah seorang Waliyullah yang memiliki sifat
sosial.
Di dalam menjalankan agama dan dakwah Islamiah, beliau tidak segan-segan
membantu
rakyat yang sengsara, anak-anak yatim piatu, orang sakit dan membantu fakir
dan
miskin.
Sikap
hidup yang dicontohkan Sunan Drajat tidak ketinggalan Beliau adalah pencipta
gending
pengkur. Sikap hidup yang dicontohkan Sunan Drajat adalah agar pengikutnya
dapat
mengambil suri tauladan yang dilakukan oleh seorang Muslim, sebab Islam
menganjurkan
pengikutnya untuk berbuat serupa yaitu ajaran kolektifisme, yaitu ajaran
untuk
gotong royong, hidup rukun, saling tolong menolong dimana yang kuat menolong
yang
lemah dan yang kaya menolong yang miskin. Demikian ajaran Islam yang
sebenarnya.
Sunan
Drajat mendirikan tempat dakwah yang strategis, yaitu tempat yang tinggi.
Tempat
tersebut
kemudian dikenal dengan Dalem Duwur yang kini didirikan museum yang cukup
megah
dekat makam beliau. Di tempat tersebut dakwahnya beliau lebih berhasil. Metode
yang digunakan sebagaimana yang dilakukan Sunan Muria, yakni melalui lagu-lagu
Jawa.
Sunan
Gunung Jati adalah salah satu Wali yang terkenal menyebarkan Islam di pulau
Jawa.
Nama lain dari Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Beliau menjalankan
agama
dan dakwah Islamiah di daerah Cirebon. Ilmu agama yang dipelajarinya adalah
ilmu
syariat,
ilmu hakekat, ilmu tarekat dan ilmu makrifat. Sunan Gunung Jati diangkat oleh
Sultan
Demak menjadi penguasa Cirebon. Disanalah beliau menyebarkan agama Islam.
Sunan
Gunung Jati, dalam menjalankan dakwah Islamiahnya, beliau berhasil mengislamkan
penduduk daerah Jawa Barat, dan Raja Banten dapat diinsafkan oleh beliau untuk
memeluk agama Islam. Beliau berhasil menggagalkan pendaratan orang portugis
yang hendak mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Jalan lain dari Sunan Gunung
Jati adalah beliau mengganti Sunda Kelapa dengan Jayakarta, yang saat ini kita
kenal dengan Jakarta.
Masa
penyebaran ilmu dimulai setelah Sunan Gunung Jati mendapatkan ilmu yang
lengkap
yang didapat dari Nabi Muhammad SAW. Sunan Gunung Jati adalah sebagai
penegak
Islam pertama di Jawa dan sebagai penyebar Islam. Beliau memiliki benda-benda
berkekuatan
magis. Bagi masyarakat Jawa benda-benda keramat tersebut dipercaya
melindungi
raja atau negara dari marabahaya dan dapat membantu pemiliknya mencapai
maksud,
maka makin banyak benda yang dimilikinya makin sakti pemiliknya.
Tujuan
hidupnya adalah cenderung yang bersifat abadi, beliau adalah seorang yang teguh
pendirian
tidak mudah menyerah kepada segala macam rintangan yang dijumpainya dalam
mencapai
cita-citanya.
Selanjutnya
Sunan Kalijaga, beliau sangat dekat sekali dengan kaum Muslim di tanah
Jawa.
Nama lain Sunan Kalijaga adalah Muhammad Said atau Joko Said. Salah satu
kelebihan
Sunan Kalijaga adalah kemampuannya memasukkan pengaruh Islam kepada
kebiasaan
orang Jawa. Kecintaan orang Jawa yang tidak bisa dilepas terhadap wayang,
menyebabkan
beliau memasukan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang.
Sunan
Kalijaga menjadi tokoh legendaris dalam kisah yang masyhur menajdi soko tatal
dalam
masjid Demak. Diceritakan bahwa semua Wali sembilan membuat sebuah tiang (soko
guru)
untuk pendirian masjid Demak. Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang kulit dan
pengarang
buku-buku wayang mengandung cerita dramatis dan berjiawa Islam.28
Tentang
asal-usul nama Kalijaga, terdapat perbedaan penafsiran, satu pendapat
menyatakan
bahwa jaga kali (bahasa Jawa). Pendapat lain menyatakan bahwa Kalijaga
berasal
dari kata Arab, qodli dzakka (hakim suci/penghulu suci), nama ini merupakan
nama
sanjungan
dari Pangeran Modang , Adipati Cirebon. Pendapat lain lagi menyatakan Kalijaga
berasal
dari nama dusun Kalijaga yang terletak di Cirebon.
Penafsiran
yang menyatakan bahwa Kalijaga artinya menjaga kali, dari asal kata jaga yang
berarti
menjada dan kali berarti sunga, boleh jadi ditafsirkan tersebut sebagaimana
ditafsirkan
dalam
babad Tanah Jawi bahwa beliau pernah berkhalwat ketengah hutan yang sepi,
seakan
beliau
menjaga kali dan kebetulan hutan tersebut bernama Kalijaga yang berada di
daerah
Cirebon.
Penafsiran
lain berpendapat bahwa Kalijaga berarti kemampuan Sunan Kalijaga dalam
menjaga
aliran atau kepercayaan yang hidup dimasyarakat. Beliau tidak antipati terhadap
semua
aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan Islam, tetapi dengan penuh
kebijaksanaan
aliran-aliran kepercayaan yang hidup dalam masyarakat tersebut dihadapi
dengan
penuh toleransi. Konon menurut cerita memang Sunan Kalijaga adalah satu-satunya
Wali
yang faham dan mendalami segala pergerakan dan aliran agama yang hidup dalam
masyarakat.
WAYANG
Wayang
adalah sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh Sunan
Kalijaga
dalam kesempatan dakwahnya di berbagai daerah, dan wayang pada saat itu
merupakan
media yang efektif, dapat menarik simpati rakyat terhadap agama. Peranannya
dalam
bidang politik pemerintahan sudah mulai sejak awal berdirinya Kasultanan Demak
sampai
akhir Kasultanan. Dalam rangka dakwah Islam maka fungsi Waliyul Amri adalah
memberi
nasihat tentang pelaksanaan pemerintahan agar senantiasa dijiwai roh Islam.
Begitu
halnya dengan Sunan Muria. Sunan Muria dikenal dengan Raden Prawoto. Nama
lainnya
adalah Raden Said bin Raden Syahid. Sunan Muria adalah seorang sufi/ahli
tasawuf.
Beliau
mengajarkan santrinya untuk menyelami tasawuf. Sunan Muria memiliki cermin
pribadi
yang menempatkan rasa cinta kepada Allah. Sepanjang hidupnya diperuntukkan
memuji
kesebasaran Allah.
Kediaman
di pesantren Sunan Muria terletak di kaki gunung Muria yang mengawal
keselamatan
pantai utara Pulau Jawa di Tanjung Jepara, Jawa Tengah. Di bawah bimbingan
beliau
orang-orang membenamkan dirinya untuk berdzikir kepada Allah. Beliau selalu
mengucapkan
kalimat thoyyibah dan kalimat risalah. Laa ilaaha illallah, Muhammad
Rasulullah.
Sunan
Muria, dalam mentebarkan Islam di Jawa menggunakan pendekatan seperti yang
dilakukan
oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang ada bukan dimusnahkan, tetapi diberi warna
Islam.
Seperti upacara selamatan yang dilakukan orang Jawa pada waktu itu tetap
dipelihara.
Para
Wali telah mengubah beberapa lakon pewayangan yang isinya membawa pesan Islam.
F.
Dakwah Walisongo Dakwah Walisongo Dakwah Walisongo
Menyiarkan
agama Islam adalah merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim, karena
hal
itu diperintahkan oleh Islam. Agama Islam mulai masuk ke Indonesia di mulai
dari
Pulau
Jawa. Pusat-pusat penyebaran agama Islam tertua adalah di daerah Gresik dan
Surabaya.
Sebagaimana dimaklumi daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa, seperti di
Gresik,
Tuban,
Jepara dahulu merupakan pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
saudagar-saudagar
asing. Melalui jalan tersebut Islam masuk ke daerah pesisir Jawa Utara.
Adapun
yang memimpin penyebaran Islam ke pulau Jawa dewasa itu adalah Walisongo,
merekalah
yang telah berjasa memimpin pengembangan agama Islam di seluruh pulau Jawa,
yang
kemudian menyebar keseluruh kepulauan lain di Indonesia.
Gelar
yang diberikan kepada Walisongo adalah gelar yang diberikan karena memiliki
keahlian
yang holistik terutama dalam bidang keislaman. Sasaran dakwah yang dilakukan
Walisongo
dalam mengislamkan tanah Jawa, pertama-tama yang harus dilihat tokoh
utamanya
adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Sejak
Raden Rahmat di Surabaya tepatnya di daerah Ampel Denta, julah penduduk yang
beragama
Islam menjadi bertambah. Demekian halnya dengan pengembangan pondok
pesantren,
sekalipun pondok pesantren pertama kali didirikan oleh Syeh Maulana ibrahim di
daerah
Gresik namun Raden Rahmat lah yang paling berhasil mendidik ulama dan
mengembangkan
pesantren. Dengan demikian dalam waktu singkat nama Ampel Denta
sedemikian
terkenal.
Pesatnya
pertumbuhan dan pekembangan Ampel Denta pada dasarnya didukung oleh
beberapa
faktor :
1.
Pertama, karena letaknya yang strategis di
pintu gerbang Majapahit sehingga dilewati sikulasi perdagangan Majapahit.
2.
Kedua,Raden
Rahmat tidak membatasi seorang yang ingin menuntut ilmu agama darinya. Setelah
Raden Rahmat merasa bahwa para Maulana dan santrinya telah memungkinkan untuk
berdakwah, maka mereka pada gilirannya disebarkan keberbagai tempat untuk menyebarkan
dan mengembangkan agama Islam. Namun gerakan dakwah untuk angkatan pertama
tersebut tidak semuanya berhasil, tetapi sedikitnya perjuangan mereka telah
menjadi sebuah pondasi bagi para pelanjut mereka. Kemudian Raden Rahmat
melanjutkan taktik dakwahnya bagi angkatan berikutnya sampai terbentuknya Dewan
Walisongo.
Islamisasi
masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia bagian timur pada umumnya dapat
dikatakan
merupakan hasil dakwah dan perjuangan para Walisongo.
Dalam
menjalankan tugas dakwah tentulah model dakwah Walisongo tersebut sesuai dengan
tujuan dakwah Islam. M. Masyhur Amin menjabarkan tujuan dakwah menjadi tiga
hal.32 :
1.
Pertama,
menanamkan akidah yang mantap di setiap hati seseorang, sehingga keyakinan tentang
ajaran Islam tidak dicampuri dengan rasa keraguan. Seperti upaya Walisongo
dalam rangka menanamkan akidah Islam kepada masyarakat Jawa adalah dengan
menggunakan mitologi Hindu. Yakni dengan memunculkan kisah-kisah dewa yang
asal-usulnya dari Nabi Adam, dimana kisah-kisah para ulama tersebut makin lama
makin diyakini sehingga dapat mengalahkan kisah mitologi Hindu yang asli.
2.
Kedua,adalah
tujuan hukum. Dakwah harus disyariatkan kepada kepatuhan setiap orang terhadap
hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT. Salah satu upaya para wali dalam menyebarkan
nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa adalah dengan membentuk nilai tandingan
bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima.
Tujuan
dakwah yang ketiga adalah dengan menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat
Jawa. Sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat
terpuji dan bersih dari sifat tercela. Para Wali dalam menanamkan dakwah Islam
di tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijak dan adiluhung. Organisasi
Walisongo tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang utuh. Sebagaimana diceritakan
oleh Widji Saksono, bahwa kesembilan Wali tersebut sering berjumpa dan mengadakan
rapat untuk berunding berbagai hal yang bertalian dengan tugas dan perjuangan
mereka. Dalam pertemuan tersebut dibahas antara lain tentang persoalan mistik dan
agama pada umumnya. Forum Walisongo dikatakan organisasi karena memiliki sifat yang
teratur, tertentu dan kontinue. Para Wali memiliki kesatuan tujuan dasar
perjuangan. Para Wali memiliki kesatuan jiwa dan seideologi. Sejiwa yaitu Islam
dan seideologi dan sealiran yaitu tasawuf/mistik dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah,
serta maksud dakwah menyiarkan agama Islam.
Semua
itu terbukti dari kompaknya persatuan dan pendapat di antara mereka. Strategi
yang
dilakukan Walisongo adalah mengajak manusia ke jalan Allah dengan memanfaatkan
segala
sumber daya yang dimiliki. Dalam berdakwah para Wali menerapkan siasat dengan
bijaksana,
misalnya para Wali itu dikatakan kaya akan kesaktian, jaya akan kawijayan. Itu
semua
merupakan bukti keahlian dan kepandaian mereka dalam mengatur siasat dan
strategi,
membuat pendekatan psikologis yang dapat menguntungkan para Wali dan juga
bagi
Islam yang mereka sampaikan.
Pendekatan
psikologis dalam berdakwah sebagaimana di kemukakan di atas, para
Walisongo
khususnya Raden Patah menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Pertama,
membagi wilayah kerajaan Majapahit sesuai hirarki pembagian wilayah negara
bagian yang ada.
2.
Kedua,
sistem dakwah dilakukan dengan pengenalan ajaran Islam melalui pendekatan persuasif
yang berorientasi pada penanaman akidah Islam yang dilakukan melalui situasi
dan kondisi yang ada.
3.
Ketiga,
perang ideologi untuk membrantas etos dan nilai-nilai dogmatis yang bertentangan
dengan aqidah Islam, dimana para Wali harus menciptakan mitos dan nilainilai
tandingan yang baru sesuai dengan Islam. Keempat,melakukan pendekatan dengan para
tokoh yang dianggap memiliki pengaruh di suatu tempat dan berusaha menghin dari konflik. Dan kelima berusaha menguasai
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat baik kebutuhan bersifat
materiil maupun spiritual.
Keberhasilan
taktik dan dakwah Walisongo disebabkan karena beberapa hal diantaranya;
pertama,
dakwah mereka dengan konsep yang pas. Kedua, dakwah yang mereka lakukan
dengan
penuh keuletan, keikhlasan, kesediaan berkorban. Ketiga, kegiatan dakwah mereka
didasarkan
pada perhitungan yang riil dan rasional. Keempat, kegiatan dakwah mereka
memperhatikan
masyarakat yang dihadapi. Dan kelima, dakwah mereka dengan cara
bijaksana
tidak menyinggung perasaan. Keenam, para Wali menggunakan kecakapan dan
kepandaian
yang ada pada mereka.