GUSTI ALLAH MBOTEN SARE
Gusti mboten sare itu artinya Tuhan tidak tidur.
Gusti = Tuhan, Mboten = tidak, Sare = tidur
Biasanya diucapkan dlm situasi meyakinkan sesuatu atau butuh penyemangat dlm hidup. Disaat sekitar nggak ada yg mendukung kita, pasti ada Tuhan yg selalu ada buat kita. Disaat orang lain nggak ada yg percaya sama kita, ada Tuhan yg selalu tahu apa yg baik buat kita.
Gusti Allah mboten sare adalah ungkapan dalam bahasa Jawa tinggi. Artinya, Allah itu tidak tidur.
Gusti Allah Mboten Sare atau Gusti Allah ora Sare yang artinya Gusti Allah tidak tidur mungkin kerap kali kita temukan dan kita dengar jika seseorang mengalami suatu kebuntuan menghadapi masalah akhirnya ada sandaran terakhir yaitu Tuhan Allah swt.
Gusti mboten sare merupakan kalimat dalam bahasa Jawa yang memiliki arti bahwa Tuhan tidak mungkin tidur. Tulisan Gusti Allah Mboten Sare, atau Gusti Mboten Sare mungkin kerap kali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Filosofi sederhana yang telah ada sejak zaman dahulu ini, ternyata memiliki efek yang luar biasa. Sebab filofosi ini bukanlah kata-kata kosong tanpa makna. Secara mendalam hal ini menggambarkan keyakinan akan adanya kekuatan dan kekuasaan jauh di atas kekuatan dan kekuasaan mereka. Bukan hanya pengakuan akan keterbatasan diri dan kepercayaan akan kemahakuasaan Tuhan. Namun juga dipakai untuk menanamkan kesabaran, optimisme, dan meredam emosi serta keputusasaan.
Masyarakat Jawa kerap menjadikan kalimat ini sebagai pegangan hidup untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan juga, bahwa semua sudah dicatat dan diperhitungkan oleh Tuhan. Bahwa Tuhan tidak pernah tidur, karena semua momen yang kita alami bagi Tuhan berlaku sekejap, sesaat, sudah dimulai dan pun sudah berakhir.
FILOSOFI HIDUP MASYARAKAT JAWA
Kalimat ini menjadi semacam filosofi hidup bagi masyarakat Jawa. Yang menjadi simbol optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan. Misalnya saat orang yang sudah berusaha keras semaksimal mungkin. Namun masih belum bisa mencapai target yang diharapkannya. Maka orang-orang sekitar akan memberi semangat dengan mengucapkan ”gusti Allah ora turu, pasti melihat segala usahamu, dan tak akan pernah ada usaha yang sia-sia”.
Kalimat ini juga secara tersirat mengandung makna untuk tetap semangat, tidak mengeluh. Sebab Tuhan pasti akan membalas kerja kerasnya. Keyakinan ini juga mengandung makna bahwa sesungguhnya Tuhan senantiasa memperhatikan, menjaga dan mengasihi umat-Nya. Ketika penderitaan dialami, situasi hidup menekan berat, fitnah dan kejahatan dialami, percayakan hidup pada Tuhan. Karena Tuhan selalu memperhatikan dan akan memberi pertolongan tepat pada waktunya.
Selain itu, Kalimat Gusti Allah tak pernah tidur ini juga menjadi simbol menerima tanpa dendam jika ada orang menyakiti kita. Dan selalu bersyukur atas apapun yang diterima. Karena pada saatnya Tuhan akan memberikan hikmah yang lain dari setiap keadaan.
KATA BIJAK / FILOSOFI JAWA
Kata bijak atau filosifi jawa hingga kini masih dipakai dalam kehidupan.
Ada banyak filosofi jawa yang dilestarikan hingga kini baik untuk kehidupan maupun urusan cinta.
Masyararakat Jawa memang dikenal memiliki tutur bahasa yang halus.
Sehingga banyak kata-kata yang dipakai untuk pegangan hidup.
Berikut ini adalah beberapa filosofi jawa :
Gusti Allah mboten sare: Tuhan tidak tidurMemayu hayuning bawana: Menghiasi alam semestaMeneng widara uleran: Terlihat baik namun sebenarnya burukNek wes ono sukurono, nek durung teko entenono, nek we lungo lalekno, nek ilang iklasno
(Kalau sudah punya itu disyukuri, kalau belum datang ya dinanti, kalau sudah ditinggal pergi ya lupakan, kalau hilang ya ikhlaskan)
Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa
(Jangan jadi orang yang merasa bisa dan merasa pintar, tteapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa).
Begitu juga dalam urusan cinta, falsafah jawa juga biasa dipakai untuk menggambarkan persoalan asmara.
Witing tresna jalaran saka kulina, witing mulya jalaran wani rekasa
(Cinta itu tumbuh karena ada kebiasaan, kemakmuran timbul karena berani bersusah dahulu).
Akeh manungsa ngrasakake tresna, tapi lali lan ora kenal opo iku hakikate tresna
(Banyak orang merasakan cinta, tapi lupa dan tidak kenal apa itu hakikat cinta).
Tresno iku ora patokan karo ganteng, ayune rupamu, akehe bondomu, lan opo penggaweanmu
(Cinta itu tidak berpatokan pada ketampanan, kecantikan, banyaknya hartamu, dan apa pekerjaanmu).
Mbangun kromo ingkang satuhu, boten cepak bilih ngagem sepisan roso katresnan. Hananging butuh pirang pirang katresnan lumeber ning pasangan uripmu siji kui.
(Pernikahan yang sukses tidak membutuhkan sekali jatuh cinta, tetapi berkali-kali jatuh cinta pada orang yang sama).
Aja mabedakake marang sapadha-pada (hargai perbedaan, jangan membeda-bedakan sesama manusia).
KETIKA TERUCAP GUSTI MBOTEN SARE
Ada yang melengkapi pitutur di atas dengan kalimat Gusti Allah mboten sare. Ada juga yang mengucapkannya dengan bahasa Jawa ngoko, Gusti Allah ora sare. Tuhan memang tidak mungkin tidur. Tuhan menciptakan dan menciptakan, menentukan kadar yang tepat untuk ciptaan-Nya itu. Seperti kadar pedas yang ada lombok (cabai) yang kita tanam, bahkan perbedaan pada masing-masing jenis lombok, termasuk warnanya, juga pada mangga, pada padi sejak dari benih sehingga menjadi pohon yang berbuah.
Pada terik matahari yang kita perlukan untuk mengeringkan baju, bahkan menjadi energi tenaga surya. Pada mobil yang kita kendarai, pada rumah yang kita bangun, pada siklus kehidupan manusia dan pada semua ciptaan-Nya.
Termasuk kapan dimulai dan kapan diakhiri, serta dimulai bagaimana dan diakhiri dengan kondisi bagaimana. Tentu Tuhan tidak pernah sare. Masyaallah betapa luas dan hebatnya kepercayaan itu mampu diungkapkan dengan kalimat yang pendek, Gusti mboten sare. Pitutur ini menggambarkan bahwa para sesepuh kita itu sudah menyadari keterbatasan mereka serta memiliki keyakinan akan adanya kekuatan dan kekuasaan jauh di atas kekuatan dan kekuasaan mereka.
Bukan hanya pengakuan akan keterbatasan diri dan kepercayaan akan kemahakuasaan Tuhan, pitutur itu juga dipakai untuk menanamkan kesabaran, optimisme, dan meredam emosi serta keputusasaan. Kalau seseorang mengaduh karena sakit, mungkin sudah berusaha dengan mengajaknya bersabar dengan ucapan Gusti mboten sare. Artinya insyaallah pada saatnya Tuhan akan memberikan kesembuhan, atau mungkin dengan sakit yang masih dideritanya itu, Tuhan memberikan hikmah yang lain. Ketika orang berbagai pengobatan belum juga sembuh maka orang akan dizalimi, dan ini yang terbanyak, orang akan memberikan optimisme dengan pitutur itu.
Artinya kezaliman itu tidak dikendaki oleh Tuhan, karena itu Tuhan pasti akan mengakhiri kezaliman itu. Kita kadang juga mendengar orang mengumbar keangkaramurkaannya dan hampir tak ada yang berani meluruskannya, maka kita akan mengucapkan Gusti mboten sare, artinya ada permohonan dalam ucapan kita itu agar Tuhan menghentikannya. Ada juga seseorang berdoa mengadukan penderitaannya dan hampir-hampir berputus asa karena nasibnya itu, sering juga mengucapkan Gusti panjenengan mboten sare. Dan masih banyak lagi ungkapan yang diakhiri dengan pitutur di atas.
KEISTIMEWAAN AL QURAN
Keistimewaan al Qur’an antara lain adalah bahwa membacanya dinilai sebagai ibadah meski tidak faham artinya, berbeda dengan doa yang harus difahami msksudnya anjuran untuk bertadarus banyak sekali dijumpai dalam ajaran Islam.
Al Qur’an sendiri menyebut dirinya sebagai :
1. Hudan (petunjuk).
2. Syifa (obat).
3. Rahmah (wujud kasih sayang).
4. Zikr (peringatan).
5. Tibyanan (penjelasan).
Disamping itu hadis Nabi banyak menyebut keutamaan dan khasiat membaca surat atau ayat tertentu.
Oleh karena itu tidak aneh jika muncul persepsi orang Islam yang menempatkan ayat al Qur’an bagaikan mantra. Hadis tentang khasiat ayat Kursi misalnya menyebutkan, : Jika ayat Kursi dibaca di rumah, maka syaitan terhalang tiga hari dan tukang sihir terhalang 40 hari tidak bisa masuk ke dalamnya. Hadis lain menyebut bahwa barang siapa membaca ayat Kursi setiap habis salat fardu maka ia layak masuk sorga, dan hanya orang jujur dan ahli ibadah yang bisa melakukannya, barang siapa yang membacanya setiap akan tidur maka Allah memberikan rasa aman kepada dirinya dan kepada tetangga di sekelilingnya. Nabi sendiri pada waktu perang Badar selalu membaca ayat ini, terutama pada bagian ya Hayyu ya Qoyyum.
KANDUNGAN & MAKNA AYAT KURSI
Terjemahan ayat Kursi adalah sebagai berikut :
Allah, tiada Tuhan selain Dia, yang Hidup dan terus menerus mengurus (makhluk Nya), tidak mengenal ngantuk, apalagi tidur, bagi Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi, tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin Nya, Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan apa-apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali apa yang dikehendaki Nya, Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah tidak repot mengurusi keduanya, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Dari ayat itu sekurangnya ada empat hal bisa didalami maknanya.
Bahwa Allah itu hayyun dan qayyum, yakni hidup dan aktip mengurusi alam semesta Allah memiliki dan menguasai langit dan bumi dengan segala isinya, Allah mengetahui se detail-detailnya tentang apa dan siapa, dan Manusia tidak dapat menggapai ilmu Allah kecuali sekedar yang dikehendaki oleh Nya. Diantara yang penting untuk difahami dari kandungan ayat Kursiy adalah batasan ilmu manusia dan kehendak Allah.
Tentang Ilmu Manusia
Manusia adalah makhluk yang berfikir, merasa dan berkehendak. Pengetahuan yang dimiliki manusia datang dari berbagai jalan, instink, indera, fikiran (logika) dan intuisi (ilham). Tingkat pengetahuan manusia sangat beragam, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Tingkatan pengetahuan manusia yang tertinggi juga ada
yang bersifat rational dan falsafi, dan ada yang bersifat intuitip, “gaib” atau suprarational. Meski demikian sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang terbatas, yang tidak sempurna, ilmu manusia juga terbatas, karena manusia tidak bisa menghindar dari distorsi-distorsi; instink, indera, pemikiran, maupun distorsi intuisi. Disamping problem distorsi, ilmu manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Apa yang telah lalu banyak yang luput dari pengamatan manusia, apa yang akan terjadi di masa depan, meski manusia bisa memprediksi dengan menggunakan hukum sunnatullah, atau dengan ramalan “gaib” tetapi ruang lingkupnya sangat terbatas. Apa yang akan terjadi di muka lebih banyak merupakan area kegelapan bagi ilmu manusia. Semakin banyak hal yang diketahui manusia, maka semakin tahu ia bahwa hal yang belum diketahui justeru lebih banyak lagi.
Adapun ilmu Tuhan tak terbatasi oleh ruang dan waktu, oleh karena itu tidak ada satupun fenomena yang luput dari akses Tuhan, yang dulu, yang sedang terjadi ataupun yang akan datang, semuanya berada dalam ilmu Tuhan. Al Qur’an mengibaratkan, selembar daun yang jatuhpun (yang dulu jatuh, yang sedang jatuh, dan yang akan jatuh nanti) kesemuanya berada dalam akses Tuhan. Dalam Al Qur’an, disebutkan bahwa Tuhan mengetahui yang nampak dan yang tidak nampak (`alim al ghoibi wa as syahadah) dan senantiasa mengetahuinya (`allam al ghuyub). Tuhan menurunkan ilmu Nya kepada manusia melalui dua jalan, pertama melalui taqdir atau qadar dalam sunnatullah yang bisa dipelajari hukumnya oleh akal, kedua melalui ilham dan wahyu.
KEHENDAK ALLAH SWT
Kalimat al hayyu al qayyum mengandung arti bahwa Allah itu hidup dan selalu aktip mengurusi makhluknya, artinya Tuhan mempunyai kehendak dan tidak ada satupun persoalan yang terlewat atau terlupakan. Semua ciptaan Tuhan, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat makna didesain dengan tujuan dan maksud. Al Qur’an mengajarkan doa, Robbana ma kholaqta haza batila, ya Tuhan, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia tanpa makna. Hal-hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan manusia, kesemuanya dimaksud positip, yakni menguji manusia keputusan apa yang akan diambil ketika mengalaminya, langkah positip atau negatip (liyabluwakum ayyukum ahsanu `amala). Secara teologis, krisis multi dimensi yang sedang kita alami juga tak lepas dari kehendak Allah mewujudkan taqdir sunnatullah Nya, dan menguji bangsa ini respond apa yang akan diambil.
Dari Ilmu Kalam, lahir dua pandangan mensikapi kehendak Allah, yaitu faham Jabbariah (predestination) dan Qadariyah (free will). Yang pertama memandang bahwa kehendak Allah akan berjalan secara mutlak sehingga manusia tidak memiliki kekuasaan atas kehendaknya, manusia bagaikan wayang yang didalangi Tuhan. Faham kedua (qadariyah) memandang bahwa manusia memiliki kekuasaan untuk menentukan perbuatannya, meski harus mengikuti taqdir sunnatullah Nya. Yang pertama menekankan doa Kepada Tuhan, karena amal tidak menentukan, yang menentukan adalah keputusan Tuhan, orang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena rahmat Tuhan.. Yang kedua menekankan bekerja, karena keputusan Tuhan akan didasarkan pada sifat adil Nya, Tuhan tidak mungkin menyia-nyiakan orang yang beramal. Dua faham ini melahirkan faham kompromi, yakni faham sunny, yang menekankan bahwa manusia wajib berikhtiar, tetapi taqdir sepenuhnya milik Allah.
SIFAT-SIFAT ALLAH
Pertama, Sifat Allah sebagaimana yang dijelaskan pada ayat ini adalah bahwa hanya Dia-lah yang berhak untuk disembah. Dan konsideran dari hal tersebut adalah pertama, karena hanya Allah SWT saja yang hidup (al-hay) dalam arti yang sebenarnya. Makhluk selain Allah dikatakan hidup, akan tetapi kehidupannya hanyalah merupakan ma’na pinjaman (majazi) dari kehidupan Allah.
Kedua, Sifat Allah yang kedua adalah Al-Qoyyum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘Yang mengatur urusan makhluknya’, dengan sebenar-benarnya mengatur (lil mubalaghoh). Oleh karena itu jangan sampai kita terjebak dengan filsafatnya kaum sekuler yang mengatakan maa lillahi lillah, wa maa lil qoishor lil qoishor (apa saja yang untuk Allah berikanlah kepada Allah, dan apa saja yang untuk kaisar atau pemimpin maka berikanlah kepada kaisar atau pemimpin). Dari filsafat yang dipahami orang-orang sekuler ini berarti bahwa seorang pemimpin atau seorang presiden bisa semaunya saja dalam membuat aturan di negaranya, dan ia sama sekali tidak terikat dengan norma yang diberikan oleh Allah. Namun tidak demikian dalam pandangan Islam. Dalam Islam, seluruh aktivitas ummat manusia tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah, karena Allah mempunyai sifat Al-Qoyyum.
Oleh karena itu jangan sampai manusia berbuat curang, dimana mereka melokalisir keimanannya kepada Allah SWT. Misalnya dalam masalah yang berkaitan dengan masalah rizki, mereka ia percaya bahwa semua itu ada di bawah kekuasaan Allah. Namun yang berkaitan dengan pribadi, rumah tangga, dan negara, mereka tidak percaya kepada kekuasaan Allah, dan menganggap dirinya lebih mengetahui. Ini adalah sebuah kecurangan dalam ‘aqidah, dan sekaligus merupakan penyimpangan atas keyakinan yang dalam diri seorang hamba.
Pemikiran sekuler yang memisahkan antara hak Allah dengan hak pemimpin semacam ini diawali oleh pemikiran seorang filosof bernama Aristoteles. Ia mempunyai sebuah pendapat, dan pendapatnya ini akhirnya menstruktur dalam pemikiran para cendekiawan sekuler tersebut. Aristoteles mengatakan bahwa Allah itu laa yufakkiru fii ghoiri dzaatihi (Allah tidak akan memikirkan kepada selain dzatNya). Atau dengan kata lain dikatakan bahwa Allah laa yufakkiru fii makhluqotihi (Allah tidak memikirkan dan tidak mengatur makhluknya). Jadi menurut pemikiran Aristoteles, makhluk yang ada di jagad raya ini berjalan sendiri tanpa diatur oleh Allah SWT dalam menjalankan kehidupannya.
Dan pemikiran seperti ini kalau dikembangkan, akan menghasilkan pemahaman bahwa untuk mengetahui yang benar dan yang salah, yang haq dan yang bathil, manusia tidak memerlukan wahyu Allah, tetapi cukup dengan mengandalkan akalnya saja. Menurut pemikiran ini, dengan akalnya manusia bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Dan pemikiran inilah yang menjadi salah satu pokok pemahaman ajaran mu’tazilah. Kesalahan pemahaman masalah ‘aqidah seperti ini disebabkan mereka tidak mengikuti jalan (manhaj) yang telah digariskan Allah SWT dan RasulNya dalam memahaminya.
Ketiga, sifat Allah selanjutnya yang menjadi argumentasi mengapa tidak ada yang berhak disembah selain Allah adalah (tidak mengantuk dan tidak tidur). Bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, menunjukkan bahwa ilmu Allah sangat lengkap, universal dan absolut. Kenapa ? Karena kalau seseorang mengantuk atau tidur maka ilmunya tidak berfungsi. Bahkan orang yang bangun tidur seperti orang yang baru bangun dari kematian karena ruhnya baru saja dikembalikan oleh Allah SWT. Ketika orang sedang tidur, ia tidak bisa mengetahui apa pun yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu ketika kita bangun dari tidur, Rasulullah SAW memberi contoh agar kita mengucapkan do’a yang berbunyi “Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da maa amatana wa ilaihin nusyuur (segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah kematian kami)”.
Karena hanya Allah-lah Dzat yang tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur, maka sudah sewajarnya kalau hanya Allah saja yang wajib kita sembah. Sungguh suatu perbuatan yang ‘ajib (mengherankan dan aneh) ketika orang-orang kufar quraisy menyembah asnam (berhala), yang sama sekali tidak hidup dan tidak memberi sedikitpun manfaat maupun mudlorot. Berhala-berhala yang mereka buat sendiri, dan kemudian mereka sembah sendiri. Dan berkenaan dengan masalah asnam ini, di jaman kufar quraisy memang sangat sederhana dan terbuat dari kayu, batu atau pun bahan makanan, akan tetapi asnam pada jaman kita sekarang ini tidak seperti itu, karena kalau tetap seperti itu, maka tidak akan populer.
Asnam sekarang bisa berwujud adalah tokoh-tokoh masyarakat yang dikultuskan sehingga kesalahan apa pun yang dilakukannya akan tetap dicarikan pembenaran, undang-undang yang disucikan dan dikeramatkan sehingga tidak berani menggantinya sekali pun telah terbukti dengan nyata bahwa undang-undang itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Jadi walaupun wujudnya berbeda, namun asnam pada masa lalu dengan masa sekarang esensinya sama saja. Persamaannya adalah bahwa keduanya sama-sama makhluk, sama-sama dibuat sendiri oleh manusia, sama-sama dikeramatkan dan ditakuti sendiri. Manusia sekarang untuk menghukum, untuk memberi penghargaan, dan sebagainya diukur dengan peraturan yang mereka buat sendiri. Kalau sebuah bangsa atau masyarakat sudah terjebak dengan pemahaman semacam ini, yang terjadi adalah kesesatan dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Allah berfirman :Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 14:36).
Sifat Allah yang tidak mengantuk dan tidak tidur ini menunjukkan bahwa Allah SWT mempunyai ilmu yang sangat lengkap. Ketika sesuatu masih merasakan ngantuk atau tidur, ia tidak mungkin mempunyai kesempurnaan, sehingga tidak mungkin bisa mengatur sesuatu dengan sempurna. Karena hanya Allah-lah yang tidak pernah ngantuk dan tidak pernah tidur, maka hanya Allahlah yang berhak disembah.
Keempat, sifat Allah selanjutnya yang menjadi argumentasi bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah adalah (Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi). Dalam penggalan ini ada kekhususan tata bahasa yang dipergunakan, yaitu adanya at-taqdim wat-ta’khir (ada bagian kalimat yang didahulukan dari yang seharusnya diakhirkan, dan ada yang diakhirnya dari yang seharusnya didahulukan), yaitu didahulukannya kata lahu daripada penggalan yang berbunyi maa fis samaawaati wamaa fil ardl, padahal dalam tata bahasa yang biasa, umumnya kata lahu diakhirkan. Dan kalau ada ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai uslub (cara penyampaian) seperti ini, menunjukkan adanya lil hasr yang artinya ‘hanya’.
Dari penggalan ini bisa kita pahami bahwa hanya bagi Allah-lah apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan kita juga mengetahui bahwa maa adalah asymalu mausulat (isim mausul yang paling integral). Yang termasuk isim mausul ada beberapa macam seperti maa, alladzi, allati dan semua turunannya. Dan kalau semua isim mausul itu dikumpulkan, maka yang paling integral adalah maa. Karena kekuasaan Allah meliputi apapun yang ada di langit dan yang ada di bumi, maka selalu dita’birkan (diekpresikan) dengan isim mausul yang berbunyi maa (apa saja).
Sifat Allah ini jangan sampai hanya dipahami sebagai suatu ‘aqidah secara salbiyah (secara pasif) saja, akan tetapi aqidah ini harus mengkristal dalam diri setiap muslim dan harus bersifat aplikatif. Artinya, kalau ‘aqidah kita mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui (Al-’Alim) apapun yang ada di bumi dan apapun yang ada di langit, maka seluruh aktivitas yang kita lakukan harus kita kembalikan pada ‘ilmullah, karena hanya dengan demikianlah apapun yang kita kerjakan mempunyai nilai yang benar. Dan sistem nilai yang dikeluarkan Allah ini akan tetap eksis dan tidak akan berubah selama-lamanya. Jangan sampai kita memahami bahwa Allah Maha ‘Alim (Maha Mengetahui), akan tetapi perbuatan kita tidak mau mengikuti ajaran Allah. Kalau demikian, sama saja kita membohongi pemahaman kita sendiri. Jadi ketika kita memahami bahwa Allah Maha ‘Alim (Maha Mengetahui), berarti seluruh aktivitas dalam kehidupan kita harus benar-benar kembali kepada ajaran Allah Yang Maha ‘Alim.
Manusia adalah bagian kecil dari kosmos jagad raya ciptaan Allah yang besar. Jadi kita merupakan bagian kecil dari sekian banyak ciptaan Allah. Kalau makhluk-makhluk Allah yang lainnya yang besar seperti langit, bumi dan sebagainya, semuanya tunduk kepada aturan Allah SWT, sementara kita yang merupakan bagian darinya tidak mau taat kepada aturan Allah, berarti kita telah menyimpang dari nidhomun namus (menyimpang dari ketentuan Allah yang berlaku di jagad raya ini). Dan ketika kita bersimpangan dengan aturan Allah yang ada di jagad raya ini, maka akan terjadi tasaddum (akan terjadi tabrakan-tabrakan) dalam diri kita sendiri. Kalau masyarakat tidak mau menegakkan aturan Allah dalam kehidupannya, maka akan terjadi tabrakan antara masyarakat dengan realita kehidupannya sendiri.
AYAT KURSI
Ayat kursi merupakan salah satu ayat yang punya kedudukan paling agung dalam Al Quran. Ayat ini bisa dibaca setiap saat saat mulai hingga selesai beraktivitas.
Dikutip dari buku Manfaat Dahsyat Dzikir Asmaul Husna dari Syaifurrahman El-Fati, ayat kursi diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Ribuan malaikat turut mengiringi turunnya ayat kursi.
Bacaan ayat kursi
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ
Arab-latin: allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm, lā ta`khużuhụ sinatuw wa lā na`ụm, lahụ mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, man żallażī yasyfa'u 'indahū illā bi`iżnih, ya'lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuḥīṭụna bisyai`im min 'ilmihī illā bimā syā`, wasi'a kursiyyuhus-samāwāti wal-arḍ, wa lā ya`ụduhụ ḥifẓuhumā, wa huwal-'aliyyul-'aẓīm
Artinya :
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Ayat kursi adalah QS Al Baqarah ayat 255. Dalam haditsnya, Nabi Muhammad SAW menyarankan umatnya untuk membaca ayat kursi sebelum tidur. Atas izin Allah SWT, perlindungan akan diperoleh hingga pagi hari.
فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya :
Bila engkau akan beranjak ke tempat tidurmu maka bacalah Ayat Kursi karena sesungguhnya ia (dapat menjadikanmu) senantiasa mendapatkan penjagaan dari Allah SWT dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari. (HR Bukhari).
Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya juga menjelaskan keutamaan ayat kursi dalam Al Quran. Hadits diceritakan Ubay ibnu Ka'b, salah satu sahabat Nabi SAW yang juga penghapal Al Quran.
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Sa'id Al-Jariri dari Abus Salil dari Abdullah Ibnu Rabah dari Ubay ibnu Ka'b bahwa Nabi SAW pernah bertanya kepadanya, Ayat Kitabullah manakah yang paling agung ? Ubay menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi SAW mengulang-ulang pertanyaannya, maka Ubay menjawab, Ayat Kursi.
Lalu Nabi SAW bersabdab : Selamatlah dengan ilmu yang kamu miliki, hai Abdul Munzir. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekusaan-Nya, sesungguhnya Ayat Kursi itu mempunyai lisan dan sepanjang bibir yang selalu menyucikan Tuhan Yang Mahakuasa di dekat pilar Arasy. (HR Muslim).
DIA YANG TIDAK MENGANTUK DAN TIDAK TIDUR
Salah satu ayat yang sangat mashyur adalah ayat ke 255 dalam surat Al Baqarah, yang sering kita kenal dengan ayat kursi. Ayat ini berbicara mengenai keadaan Dzat Allah ta’ala beserta dengan keperkasaan-Nya dan keagungan-Nya. Mendalami makna ayat ini, memiliki dampak yang luar biasa dalam kehidupan kita.
Pembaca yang budiman untuk membahas salah satu sifat yang Allah ta’ala sematkan kepada Diri-Nya, agar kita dapat mewarnai hidup kita dengan sedikit pemahaman akan kebesaran-Nya. Hal ini penting sekali agar hati kita senantiasa tertunduk di hadapan Allah ta’ala dan tertanam didalamnya sikap tawadhu.
Penggalan kalimat pertama dalam ayat ini adalah, Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. Al Baqarah [2]:255).
Penggalan ayat yang menjelas keperkasaan Allah ta’ala di atas segala sesuatu, di atas segala mahluk ciptaan-Nya, yang menjadi alasan peribadahan, penghambaan dan penyerahan diri dari mahluk-Nya semata kepada-Nya.
Adalah Dia, Yang Hidup Kekal dan secara terus menerus mengurusi mahluk-Nya. Betapa minim kesadaran kita akan pemeliharaan Allah terhadap diri kita. Bahwa Allah senantiasa mengawasi diri kita dalam setiap jam, setiap menit dan setiap detik dalam hidup kita. Pengawasan Allah yang senantiasa berada atas diri kita tidak pernah luput, terlalaikan atau meleset sedikitpun. Dan dalam pengawasan tersebut, Allah menjaga setiap hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Pengurusan Allah terhadap diri kita juga meliputi rezeki kita. Bagaimana diri kita tidak direzekikan oleh Allah ta’ala, padahal sejak dari kita tidak mampu menafkahi diri kita sendiri, Allah sudah mengirimkan pasokan makanan dalam perut ibu kita, memberikan asupan gizi melalui ASI, dan menanamkan kecintaan dalam hati setiap orang tua terhadap anaknya ?
Pengurusan Allah terhadap diri kita dimulai sejak dari kita memiliki kebutuhan dalam kehidupan, yaitu sejak dari kita masih berupa janin, dan kelak sampai kita dikembalikan kepada tanah.
Satu hal yang ayat ini tekankan, yaitu Allah tidak mengantuk dan tidak tidur. Artinya tidak ada peluang kelalaian dalam pengurusan Allah terhadap mahluk-Nya. Tidak mungkin Allah dapat mengurusi mahluk-Nya yang berjuta-juta ini jika Dia memiliki kelemahan yang mengharuskan Dia istirahat dan tertidur. Ini adalah bukti keperkasaan Allah Al Hayy Al Qoyyum.
Mengantuk adalah bukti kelemahan yang hanya dimiliki oleh mahluk ciptaan. Demikianlah keadaan kita dibandingkan dengan Allah ta’ala yang Maha Perkasa, dimana kita memiliki kelemahan dan kealpaan sedangkan Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Maha Sempurna tanpa ada kelemahan sedikitpun dalam Diri-Nya. Dia tidaklah mengantuk dan lalai.
Adapun dibalik kelemahan mahluk tersebut, telah Allah jadikan sebagai nikmat atas diri kita. Dengan mengantuk, dimana ada keterbatasan energi yang membuat kita membutuhkan istirahat dan tidur, Allah menjadikannya sebagai sebuah kenikmatan yang berupa rezeki atas diri kita. Jadi Allah tidak menjadikan kantuk dan tidur sebagai kelemahan semata, namun juga menjadikannya sebagai sebuah nikmat atas hamba-Nya.
Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. (Al Furqon [24]:47)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS. Ar Rum [30]:23).
Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. (QS. An Naba’ [78]:9)
(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya, ..” (QS. Al Anfal [8]:11).
Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, .. (QS. Ali Imron [3]:154)
Betapa pengurusan Allah terhadap diri kita tidak luput dari pembentukan sistem hidup dalam diri kita sendiri. Demikian telitinya Allah ta’ala, dan demikian besar rahmat-Nya kepada diri kita, sehingga ketika sesuatu yang menjadi kelemahan diberikan kepada hamba-Nya maka Allah berikan hikmah berupa nikmat didalamnya. Namun sedikitlah dari kita yang bersyukur atas nikmat ini, karena ketiadaan ilmu sehingga menjadikan kita lalai untuk mensyukuri waktu kantuk dan tidur kita sebagai rahmat dari Allah ta’ala.
Karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan kita dalam berbagai hadits perihal doa ketika bangun dari tidur, yaitu doa yang memuji nama Allah dan bersyukur kepada-Nya. Antara lain yang mashyur adalah “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya tempat kembali.” (HR. Bukhari).
Lalu dalam berbagai hadits juga diajarkan kepada kita mengenai doa menjelang tidur yang menggambarkan rasa takut dan harap seakan kita hendak beribadah. Kenyataannya adalah tidur adalah nikmat dan juga ibadah kepada Allah ta’ala sehinga adabnya pun diatur dan dijaga agar tidur kita bernilai pahala, dan bangunnya menuai syukur kepada-Nya.
ALLAH TIDAK TIDUR DAN TIDAK NGANTUK
Dalam ayat kursi seperti kita tahu terdapat penggalan ayat berikut,
لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
Allah tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. Al-Baqarah: 255).
Seperti yang kita tahu makna al-hayyu al-qayyum adalah Allah itu memiliki sifat hidup yang sempurna dan Allah tidak bergantung pada makhluk-Nya. Kata Syaikh As-Sa’di, di antara bentuk kesempurnaan dari sifat Allah al-hayyu al-qayyum, Allah itu tidak mengantuk dan tidak tidur. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 102).
Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi berkata bahwa kantuk dan tidur adalah sifat kekurangan. Sedangkan Allah Ta’ala memiliki sifat yang sempurna secara mutlak. Kalimat yang menyatakan Allah tidak ngantuk dan tidak tidur ada kaitan dengan kalimat sebelumnya dalam ayat. Yaitu siapa yang mengantuk dan tidur tentu tidak memiliki sifat qayumiyyah terhadap makhluknya. Artinya, kalau Allah itu mengantuk dan tertidur tentu sulit untuk menjaga, memberi rezeki dan mengatur berbagai makhluk yang ada. (Lihat Aysar At-Tafasir, hlm. 117-118).
Sifat tidur tadi tentu lebih parah daripada kantuk.
Semoga Allah memberi taufik untuk bisa terus merenungkan nama dan sifat Allah.