Kapitayan
Kapitayan
adalah sebuah keyakinan yang dianut oleh masyarakat kuno di bumi Nusantara.
Nusantara
adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra sampai Papua, yang
sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini tercatat
pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga
ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah
sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki
Hajar Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka
pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud. Ketika penggunaan nama Indonesia
(berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata
Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Penggunaan
istilah ini di zaman kuno dipakai untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi
kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk
Semenanjung Malaya. Namun pada penggunaan modern, istilah Nusantara hanya
digunakan untuk merujuk wilayah kepulauan Indonesia secara khusus, yakni mereka
yang termasuk ras kulit hitam (Proto Melanesia) semenjak :
1. era paleolitikum.
Adalah zaman yang memiliki ciri khas
berupa perkembangan alat-alat batu. Zaman ini mencakup sekitar 95% masa prasejarah
teknologi manusia.
Zaman ini dimulai dari penggunaan alat
batu pertama oleh hominin sekitar 3,3 juta tahun yang lalu hingga akhir Pleistosen
sekitar 11.650 tahun yang lalu.
Zaman Paleolitikum digantikan oleh
Mesolitikum, walaupun masa transisinya berbeda-beda di setiap wilayah.
Beberapa perkembangan kebudayaan
ditemukan di sekitar Pacitan (ditemukan oleh Von Koenigswald) dan Ngandong.
Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden atau berpindah-randah dalam
kumpulan kecil untuk mencari makanan. Pekerjaan kaum perempuan adalah
mengumpulkan dedaunan, ubi, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sedangkan, tugas
kaum laki-laki adalah memburu binatang.
Peninggalan yang ditemukan antara lain
berupa peralatan batu seperti flakes (alat penyerpih berfungsi misalnya untuk
mengupas, menguliti), chopper (kapak genggam/alat penetak), selain itu terdapat
pula peralatan dari tulang.
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah
Pacitan, biasa disebut Chopper (alat penetak/pemotong). Dinamakan kapak genggam
karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara
menggunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatannya dengan cara memangkas salah
satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai
tempat menggenggam.
Spesies manusia purba yang telah ada :
a.
Meganthropus
Paleojavanicus.
b.
Pithecanthropus
Erectus (Pithecanthropus Mojokertensis.
c.
Pithecanthropus
Robustus).
Proses pembuatan kapak batu :
a.
Memilih
batu yang cocok dan mudah dibentuk.
b.
Batu
tersebut dipukulkan dengan menggunakan batu yang lebih keras.
c.
Pembentukan dengan cara dihaluskan menggunakan
kapak tulang, tangan juga dilindungi dengan kulit.
2. Mesolitikum.
Adalah suatu periode dalam perkembangan
teknologi manusia, antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua dan Neolitik atau
Zaman Batu Muda.
Istilah ini diperkenalkan oleh John
Lubbock dalam makalahnya Zaman Prasejarah (Pre-historic Times) yang diterbitkan
pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu sering digunakan sampai V.
Gordon Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of Europe (1947).
a.
Zaman
mesolitikum di Indonesi.
Pada zaman mesolitikum di Indonesia,
manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan
berburu dan menangkap ikan, tetapi manusia pada masa itu juga mulai mempunyai
tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana. Tempat tinggal
yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan
goa-goa (abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan
berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu.
b.
Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur
dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatra.
Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 dan
menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu
bergantung dari hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua
hewan tersebut setinggi 7 meter. Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan
telah mengalami proses pembentukan cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan
ribuan tahun. Di antara tumpukan sampah tersebut juga ditemukan batu penggiling
beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk menghaluskan cat merah. Cat
tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau ilmu sihir. Di
tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak genggam
yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatra (Sumeteralith) sesuai dengan
tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan
teksturnya masih kasar. Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache
courte (kapak pendek) yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam
atau chopper. Berdasaran pecahan tengkorak dan gigi yang ditemukan pada
Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang hidup pada zaman mesolitikum
adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan Melanesoid).
c.
Abris
Sous Roche.
Salah satu peninggalan zaman mesolitik
berupa Abris sous roche.
Abris sous roche adalah goa menyerupai
ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal. Penelitian
mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van Stein
Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun). Alat-alat
yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai
Sampung Bone Culture. Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga
menemukan kapak Sumatra dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada
daerah Timor dan Rote oleh Alfred Buhler yang menemukan flakes culture dari
kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa Papua
Melanesoide. Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di Lamancong
(Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala
ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang Pattae dan inti dari kebudayaan
ini adalah flakes dan pebble. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan
Bacson-Hoabinh dan Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan
pusat budaya prasejarah Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu
kebudayaan pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan
flakes (datang melalui jalan timur). Sementara itu, penelitian kebudayaan
Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang, Bandung Utara,
Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang
ditemukan berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar,
dan benda-benda perunggu.
3. Neolithikum.
Megalit adalah batu besar, neologi/megas
berarti besar, dan lithos berarti batu yang digunakan untuk membangun struktur
atau monumen. Megalit menjadi tanda utama keberadaan tradisi megalitik, tradisi
yang muncul di beberapa tempat di bumi. Batu yang digunakan dapat berupa satu
batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar maupun kecil, atau susunan batu
yang diatur dalam bentuk tertentu. Megalit sering kali dipotong atau dipahat
terlebih dahulu dan dibuat terkait dengan ritual religius atau upacara-upacara
tertentu, seperti kematian atau masa tanam.
a.
Struktur
Megalit.
Bentuk-bentuk megalit yang umum
ditemukan di berbagai tempat adalah menhir (tugu batu, dapat ditatah atau
diukir membentuk figur tertentu), dolmen (meja batu), kubur batu, dan
sarkofagus (peti mati dari batu). Dalam tradisi megalit Indonesia, berkembang
bentuk-bentuk khas, seperti waruga, arca mayat, dan batu kenong. Di Eropa dibuat
pula monumen megalit struktural seperti henge. Perlu disampaikan bahwa tradisi
megalit tidak hanya terkait dengan benda-benda batu besar, tetapi juga struktur
ruang semacam batu lingkar (batu kandang), punden berundak, kubur lorong,
marae, dan bukitan (seperti Hügelgraber). Selain itu, ritual/upacara dan
kepercayaan terhadap suatu kekuatan tertentu menjadi bagian tak wujud dari
tradisi megalit, sehingga bersama temuan megalit sering pula terdapat
benda-benda logam, kayu, maupun gerabah (misalnya tempayan) terkait upacara.
b.
Megalit
di Indonesia.
Menhir arca di Pematang Panggang, Ogan
Komering Ilir (foto diambil pada masa Hindia Belanda). Tradisi pendirian
megalitik di Indonesia sangat erat kaitannya dengan pemujaan nenek moyang.
Bangunan atau monumen yang didirikan menjadi bentuk penghormatan seorang yang
telah mati. Bangunan tersebut menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan
sekaligus lambang si mati. Terdapat banyak temuan megalit di Indonesia. Jenis-jenisnya
adalah sebagai berikut :
1)
Menhir
(termasuk yang berukir dan berupa arca).
2)
Dolmen.
3)
Kubur
Batu.
4)
Sarkofagus.
5)
Waruga.
6)
Lumpang
Batu.
7)
Batu
Dakon.
8)
Batu
Kenong.
9)
Batu
lingkar (stone circle).
10) Punden Berundak
Menurut R. von Heine Geldern masuknya
tradisi megalitik ke Indonesia terjadi dalam dua gelombang besar :
1)
Megalitik
Tua, berusia ±2500-1500 SM.
2)
Megalitik
Muda yang berusia 1000 SM.
Lokasi penemuan megalit di Indonesia
tersebar di pulau-pulau Sumatra (termasuk Nias), Jawa, Kalimantan, Nusa
Tenggara (termasuk Bali), dan Sulawesi (Termasuk Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah).
Sumatra
Tempat-tempat yang memiliki banyak
megalit di Sumatra terutama berada di kawasan pegunungan. Beberapa di antaranya
yang cukup dikenal adalah sebagai berikut.
Dataran tinggi Lima Puluh Kota, Sumatra
Barat (menhir Mahat)
Dataran Pasemah, Provinsi Lampung
Dataran tinggi Pagaralam dan Kabupaten
Lahat, Provinsi Sumatra Selatan
Tapanuli, Provinsi Sumatra Utara
Pulau Nias, Provinsi Sumatra Utara
Jawa
Peninggalan berupa megalit di Jawa
tersebar di beberapa tempat dan kebanyakan di kawasan pegunungan dan dekat dengan
aliran sungai.
Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat
Situs Batu Naga, Gunung Pojoktiga,
perbatasan Kabupaten Kuningan, Brebes dan Cilacap
Situs Cipari, Kabupaten Kuningan, Jawa
Barat
Situs Kabuyutan Galuh, Kabupaten Ciamis
Situs Matesih (Watukandang), Matesih,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
Situs Plawangan, Kecamatan Kragan,
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
Gunungkidul (kebudayaan Sungai Oya):
Situs Sokoliman, Situs Bleberan, Goa Braholo, Daerah Istimewa Yogyakarta
Sulawesi
Banyak tempat di Sulawesi yang memiliki
benda-benda megalit, bahkan sebagian masih terpelihara.
Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah (Merupakan salah satu megalitikum terbaik di Indonesia)
Bori Kalimbuang, Kabupaten Toraja Utara,
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara
Kampung Bena, Tiwuriwu, Aimere,
Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Desa Tarung, Kabupaten Sumba Barat, Nusa
Tenggara Timur
Kampung Pasunga, Waibakul, Kabupaten
Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
4. megalitikum.
Megalit adalah batu besar (neologi/megas)
berarti besar dan lithos berarti batu yang digunakan untuk membangun struktur
atau monumen. Megalit menjadi tanda utama keberadaan tradisi megalitik, tradisi
yang muncul di beberapa tempat di bumi. Batu yang digunakan dapat berupa satu
batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar maupun kecil, atau susunan batu
yang diatur dalam bentuk tertentu. Megalit sering kali dipotong atau dipahat
terlebih dahulu dan dibuat terkait dengan ritual religius atau upacara-upacara
tertentu, seperti kematian atau masa tanam.
a.
Struktur
Megalit.
Bentuk-bentuk megalit yang umum
ditemukan di berbagai tempat adalah menhir (tugu batu, dapat ditatah atau
diukir membentuk figur tertentu), dolmen (meja batu), kubur batu, dan
sarkofagus (peti mati dari batu). Dalam tradisi megalit Indonesia, berkembang
bentuk-bentuk khas, seperti waruga, arca mayat, dan batu kenong. Di Eropa
dibuat pula monumen megalit struktural seperti henge.
Perlu disampaikan bahwa tradisi megalit
tidak hanya terkait dengan benda-benda batu besar, tetapi juga struktur ruang
semacam batu lingkar (batu kandang), punden berundak, kubur lorong, marae, dan
bukitan (seperti Hügelgraber). Selain itu, ritual/upacara dan kepercayaan
terhadap suatu kekuatan tertentu menjadi bagian tak wujud dari tradisi megalit,
sehingga bersama temuan megalit sering pula terdapat benda-benda logam, kayu,
maupun gerabah (misalnya tempayan) terkait upacara.
b.
Megalit
di Indonesia.
Menhir arca di Pematang Panggang, Ogan
Komering Ilir (foto diambil pada masa Hindia Belanda).
Tradisi pendirian megalitik di Indonesia
sangat erat kaitannya dengan pemujaan nenek moyang. Bangunan atau monumen yang
didirikan menjadi bentuk penghormatan seorang yang telah mati. Bangunan
tersebut menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan sekaligus lambang si
mati.
Terdapat banyak temuan megalit di
Indonesia. Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut :
1)
Menhir
(termasuk yang berukir dan berupa arca).
2)
Dolmen.
3)
kubur
batu
4)
sarkofagus.
5)
Waruga.
6)
lumpang
batu.
7)
batu
dakon.
8)
batu
kenong.
9)
Batu
lingkar (stone circle).
10) Punden Berundak.
Menurut R. von Heine Geldern masuknya
tradisi megalitik ke Indonesia terjadi dalam dua gelombang besar :
1)
Megalitik
Tua, berusia ±2500-1500 SM.
2)
Megalitik
Muda yang berusia 1000 SM.
Lokasi penemuan megalit di Indonesia
tersebar di pulau-pulau Sumatra (termasuk Nias), Jawa, Kalimantan, Nusa
Tenggara (termasuk Bali), dan Sulawesi (Termasuk Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah).
Sumatra
Tempat-tempat yang memiliki banyak
megalit di Sumatra terutama berada di kawasan pegunungan. Beberapa di antaranya
yang cukup dikenal adalah sebagai berikut.
Dataran tinggi Lima Puluh Kota, Sumatra
Barat (menhir Mahat)
Dataran Pasemah, Provinsi Lampung
Dataran tinggi Pagaralam dan Kabupaten
Lahat, Provinsi Sumatra Selatan
Tapanuli, Provinsi Sumatra Utara
Pulau Nias, Provinsi Sumatra Utara
Jawa
Peninggalan berupa megalit di Jawa
tersebar di beberapa tempat dan kebanyakan di kawasan pegunungan dan dekat
dengan aliran sungai.
Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat
Situs Batu Naga, Gunung Pojoktiga,
perbatasan Kabupaten Kuningan, Brebes dan Cilacap
Situs Cipari, Kabupaten Kuningan, Jawa
Barat
Situs Kabuyutan Galuh, Kabupaten Ciamis
Situs Matesih (Watukandang), Matesih,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
Situs Plawangan, Kecamatan Kragan,
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
Gunungkidul (kebudayaan Sungai Oya):
Situs Sokoliman, Situs Bleberan, Goa Braholo, Daerah Istimewa Yogyakarta
Sulawesi
Banyak tempat di Sulawesi yang memiliki
benda-benda megalit, bahkan sebagian masih terpelihara.
Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah (Merupakan salah satu megalitikum terbaik di Indonesia)
Bori Kalimbuang, Kabupaten Toraja Utara,
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara
Kampung Bena, Tiwuriwu, Aimere,
Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Desa Tarung, Kabupaten Sumba Barat, Nusa
Tenggara Timur
Kampung Pasunga, Waibakul, Kabupaten
Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
Dengan datangnya orang Austronesia.
Rumpun
bahasa Austronesia (atau kadang disebut bahasa kepulauan) adalah sebuah rumpun
bahasa yang sangat luas penyebarannya di dunia. Dari Taiwan dan Hawaii di ujung
utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di
ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur.
Kebanyakan
bahasa-bahasa Austronesia tidak mempunyai sejarah panjang dalam bentuk
tertulis, sehingga upaya untuk merekonstruksi bentuk-bentuk yang lebih awal,
yaitu sampai pada Proto-Austronesia, menjadi lebih sulit. Prasasti tertua dalam
bahasa Cham, yaitu Prasasti Dong Yen Chau yang diperkirakan dibuat pada abad
ke-4 Masehi, sekaligus merupakan contoh bukti tertulis tertua pula bagi rumpun
bahasa Austronesia.
Istilah Austronesia.
Austronesia
mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa
Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara
(termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar.
Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal
dari bahasa Latin austrālis yang berarti selatan dan bahasa Yunani nêsos
(jamak: nesia) yang berarti pulau.
Jika
bahasa Jawa di Suriname dimasukkan, maka cakupan geografi juga mencakup daerah
tersebut. Studi juga menunjukkan adanya masyarakat penutur bahasa Melayu di
pesisir Sri Lanka.
Asal usul bangsa Austronesia.
Untuk
mendapat ide akan tanah air dari bangsa Austronesia, cendekiawan menyelidiki
bukti dari arkeologi dan ilmu genetika. Penelaahan dari ilmu genetika
memberikan hasil yang bertentangan. Beberapa peneliti menemukan bukti bahwa
tanah air bangsa Austronesia purba berada pada benua Asia. (seperti Melton
dkk., 1998), sedangkan yang lainnya mengikuti penelitian linguistik yang
menyatakan bangsa Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan. Dari sudut
pandang ilmu sejarah bahasa, bangsa Austronesia berasal dari Taiwan karena pada
pulau ini dapat ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari
rumpun bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari
sepuluh cabang pada rumpun bahasa Austronesia. Comrie (2001:28) menemukan hal
ini ketika ia menulis :
Bahasa-bahasa
Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya dibandingkan seluruh
bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam rumpun bahasa Austronesia di antara
bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya. Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah
beragam sehingga mungkin saja bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang
utama dari rumpun bahasa Austronesia secara kesuluruhan.
Pembagian
wilayah penyebaran utama rumpun bahasa Austronesia menurut Blust (1999)
Setidaknya
sejak Sapir (1968), ahli bahasa telah menerima bahwa kronologi dari penyebaran
sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area dengan keberagaman bahasa
yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang kecil. Walau beberapa
cendekiawan menduga bahwa jumlah dari cabang-cabang di antara bahasa-bahasa
Taiwan mungkin lebih sedikit dari perkiraan Blust sebesar 9 (seperti Li 2006),
hanya ada sedikit perdebatan di antara para ahli bahasa dengan analisis dari
keberagaman dan kesimpulan yang ditarik tentang asal dan arah dari migrasi
rumpun bahasa Austronesia.
Bukti
dari ilmu arkeologi menyarankan bahwa bangsa Austronesia bermukim di Taiwan
sekitar delapan ribu tahun yang lalu. Dari pulau ini para pelaut bermigrasi ke
Filipina, Indonesia, kemudian ke Madagaskar dekat benua Afrika dan ke seluruh
Samudra Pasifik, mungkin dalam beberapa tahap, ke seluruh bagian yang sekarang
diliputi oleh bahasa-bahasa Austronesia. Bukti dari ilmu sejarah bahasa
menyarankan bahwa migrasi ini bermula sekitar enam ribu tahun yang lalu. Perpindahan
itu, melalui Selat Formosa hingga ke daerah sub rumpun berbahasa
Melayu-Polinesia atau di sekitar Filipina. Kemudian setelah mencapai daerah
Campa hingga Sulawesi, pengguna bahasa Austronesia ini berlayar jauh hingga
Kepulauan Madagaskar menumbuhkan bahasa Melayu-Polinesia barat dan ada yang
berlayar dari Ternate hingga penjuru Pasifik di Tonga, Samoa, dan Hawaii
hinggalah muncul sub rumpun bahasa Melayu-Polinesia timur. Kesamaan antar
bahasa dalam rumpun itu mencengangkan orang Cina sebagaimana penuturan Gerrit
van Wusthoff, seorang pengelana Belanda abad ke-17, penduduk asli Campa mirip
pribumi Taiwan. Diego do Couto, penulis kronik dari Portugis juga menduga pasti
ada hubungan antara orang-orang Madagaskar dengan orang-orang Pulau Jawa.
Interaksi maritim antar Kepulauan Sunda juga dipandang begitu intens hingga
raut wajah, warna kulit, bahasa, hingga adat istiadat "sama sekali tidak
berbeda", menurut François Pyrard de Laval. Rasa memiliki identitas yang
sama ini, adalah hasil pertautan mereka dengan masa keterlibatan mereka dengan
perdagangan maritim. Sampai Dinasti Song, kaitan erat antara Asia Tenggara dan
Cina juga prakarsa dari Austronesia.
Pandangan
bahwa bukti dari ilmu bahasa menghubungkan bahasa Austronesia purba dengan
bahasa-bahasa Tiongkok-Tibet seperti yang diajukan oleh Sagart (2002), adalah
pandangan minoritas seperti yang dinyatakan oleh Fox (2004:8) :
Disiratkan
dalam diskusi tentang pengelompokan bahasa-bahasa Austronesia adalah
permufakatan bahwa tanah air bangsa Austronesia berada di Taiwan. Daerah asal
ini mungkin juga meliputi kepulauan Penghu di antara Taiwan dan Cina dan bahkan
mungkin juga daerah-daerah pesisir di Cina daratan, terutama apabila leluhur
bangsa Austronesia dipandang sebagai populasi dari komunitas dialek yang
tinggal pada permukiman pesisir yang terpencar.
Analisis
kebahasaan dari bahasa Austronesia purba berhenti pada pesisir barat Taiwan.
Bahasa-bahasa Austronesia yang pernah dituturkan di daratan Cina tidak
bertahan. Satu-satunya pengecualian, bahasa Chamic, adalah migrasi yang baru
terjadi setelah penyebaran bangsa Austronesia.
Penggolongan
Agak
sulit untuk mendefinisikan struktur kekeluargaan dari bahasa-bahasa Austronesia
karena rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa-bahasa yang sangat mirip
dan berhubungan erat dengan kesinambungan dialek yang besar sehingga sukar
untuk mengenali batasan di antara cabang. Bahkan pada pembagian terbaik yang
ada sekarang banyak grup di Filipina dan Indonesia dikelompokan dari letak
geografisnya alih-alih dari keterkaitannya antara satu dengan yang lainnya.
Namun adalah jelas bahwa keberagaman genealogis terbesar ditemukan pada
bahasa-bahasa Taiwan dan keberagaman terkecil ditemukan pada kepulauan Pasifik
sehingga mendukung teori penyebaran dari Taiwan atau Tiongkok.
Penggolongan
bahasa-bahasa Austronesia berikut diajukan oleh Blust. Penggolongan yang
diajukannya bukanlah yang pertama dan bahkan ia juga mencantumkan paling
sedikit tujuh belas penggolongan lainnya dan mendiskusikan fitur-fitur dan
rincian dari pengelompokan tersebut. Beberapa ahli bahasa Formosa
mempertentangkan rincian dari penggolongan itu namun penggolongan ini dalam
garis besar tetap menjadi titik referensi untuk analisis ilmu bahasa saat ini.
Dapat
dilihat bahwa sembilan cabang utama dari bahasa Austronesia kesemuanya adalah
bahasa-bahasa Formosa. Keluarga bahasa-bahasa Formosa sebelum kolonisasi
Tiongkok, menurut Blust (1999)
a.
Austronesia.
1)
Atayalik
(Atayal, Seedik) (nama lain: Seediq:Truku, Taroko, Sediq)
2)
Formosa
Timur
a)
Utara
(Basai-Trobiawan, Kavalan).
b)
Tengah
(Amis, Nataoran, Sakizaya).
c)
Barat
Daya (Siraya).
3)
Puyuma.
4)
Paiwan.
5)
Rukai.
6)
Tsouik
(Tsou, Saaroa, Kanakanabu).
7)
Bunun.
8)
Dataran
Rendah Barat.
a)
Dataran
Tengah-Barat (Taokas-Babuza, Papora-Hoanya).
b)
Thao.
9)
Formosa
Barat Laut (Saisiyat, Kulon-Pazeh).
10) Malayo-Polinesia
(Lihat di bawah)
Penggolongan bahasa cabang Melayu-Polinesia
Kekerabatan
dengan rumpun bahasa yang lain
Hubungan-hubungan
genealogis antara rumpun bahasa Austronesia dan keluarga bahasa yang lainnya di
Asia Tenggara telah diajukan dan umumnya disebut Filum Bahasa Austrik. Pada
hipotesis filum Austrik dinyatakan bahwa semua bahasa di Tiongkok bagian
selatan sebenarnya berkerabat yaitu rumpun bahasa Austronesia, bahasa
Austro-Asia, bahasa Tai-Kadai dan bahasa Hmong-Mien (juga disebut Miao-Yao).
Secara
skematis rumpun bahasa Austrik secara hipotetis adalah sebagai berikut :
1.
Austrik
a.
Austronesia.
b.
Tai-Kadai.
c.
Hmong-Mien.
d.
Austro-Asiatik.
Para
penutur keempat rumpun bahasa yang diduga berkerabat ini bermukim di daerah
yang sekarang termasuk Tiongkok bagian selatan sampai kurang lebih pada antara
tahun 2000 SM – 1000 SM. Kala itu suku bangsa Han, yang merupakan penutur
bahasa Sino-Tibet, dari Tiongkok utara menyerbu ke selatan dan para penutur
bahasa Austrik tercerai-berai. Hal ini yang diduga sebagai alasan mengapa kaum
Austronesia lalu bermigrasi ke Taiwan dan ke kepulauan Asia Tenggara dan
Samudra Pasifik lainnya.
Beberapa
hipotesis filum Austrik juga mengajukan akan perubahan dari akar kata dwisuku
kata di mana bahasa Austronesia menyimpan kedua suku kata sedangkan bahasa
Austro-Asiatik menyimpan suku kata pertama dan bahasa Tai-Kadai menyimpan suku
kata kedua. Sebagai contoh :
Rumpun bahasa Contoh kata.
a.
Austronesia
purba mata ‘mata
b.
Austro-Asiatik
purba măt ‘mata
c.
Tai-Kadai
purba taa ‘mata
Namun,
satu-satunya proposal dari yang mematuhi metode perbandingan adalah hipotesis
Austro-Tai yang menghubungkan rumpun bahasa Austronesia dengan rumpun bahasa
Tai-Kadai. Roger Blench (2004:12) mengetakan tentang Austro-Tai bahwa :
Ostapirat
mengasumsikan sebuah model sederhana dari sebuah perpecahan dengan para Daik
[Tai-Kadai] sebagai orang-orang Austronesia yang menetap di daerah asalnya.
Namun hal ini tampaknya tidak mungkin karena Daik tampak seperti percabangan
dari bahasa Filipina Purba dan tidak mempunyai kerumitan seperti yang dimiliki
oleh bahasa-bahasa Formosa. Mungkin dapat lebih baik dipandang bahwa penutur
Daik Purba bermigrasi kembali dari Filipina utara ke daerah di pulau Hainan.
Hal ini dapat menjelaskan perbedaan dari Hlai, Be, dan Daik sebagai hasil dari
penstrukturan ulang secara radikal karena kontak dengan penutur bahasa-bahasa
Miao-Yao dan Sinitik.
Atau
dengan kata lain, pengelompokan dibawah Tai-Kadai akan menjadi cabang dari
bahasa Kalimantan-Filipina. Namun, tidak ada dari proposal tersebut yang
mendapat sambutan luas dari komunitas ilmu bahasa.
Contoh
perbandingan kosakata dalam rumpun bahasa pada masing-masing wilayah :
a.
Jawa mati pati
b.
Malayu mati
c.
Bugis mate
d.
Malagasi mattē
e.
Tagalog matay patay
f.
Tonga mate
g.
Selandia
Baru mate
h.
Tahiti māte
i.
Batak
Toba mate
Klasifikasi bahasa Jepang
Telah
diajukan juga hipotesis bahwa bahasa Jepang mungkin adalah saudara jauh dari
rumpun bahasa Austronesia. [Ada yang mengelompokkan bahasa ini dalam rumpun
bahasa Austronesia berdasarkan beberapa kata-kata dan fonologi bahasa Jepang.
Namun yang lain berpendapat bahwa bahasa Jepang termasuk rumpun bahasa Altai
dan terutama lebih mirip dengan cabang bahasa Mongol. Bahasa Korea kemungkinan
besar termasuk rumpun bahasa yang sama pula. Bahasa Korea mirip dengan bahasa
Jepang namun sejauh ini belum ada yang menghubungkannya dengan rumpun bahasa
Austronesia. Namun perlu diberi catatan pula bahwa rumpun bahasa Altai juga
masih dipertentangkan.
Sebagai
contoh adalah beberapa kata dari bahasa Jepang yang diduga berasal dari rumpun
bahasa Austronesia :
hi
yang berarti api dan berasal dari *PAN (Proto-Austronesia): *Xapuy
ke
yang berarti kayu
Beberapa
kata dari bahasa Sikka-Maumere (Flores) yang diduga berasal dari rumpun bahasa
Austronesia :
a.
ai
yang berarti kayu
b.
api
yang berarti api
Hipotesis
akan hubungn bahasa Jepang sebagai saudara dari bahasa-bahasa Austronesia
ditolak oleh hampir seluruh pakar ilmu bahasa karena hanya ada sedikit bukti
akan hubungan antara bahasa Jepang dan rumpun bahasa Austronesia dan kebanyakan
ahli bahasa berpikir bahwa kesamaan yang sedikit ini adalah hasil dari pengaruh
bahasa-bahasa Austronesia pada bahasa Jepang, mungkin melalui substratum.
Mereka yang mengajukan skenario ini menyarankan bahwa rumpun bahasa Austronesia
dulunya pernah meliputi pulau-pulau di utara dan selatan dari Taiwan. Lebih
lanjut, tidak ada bukti genetis untuk hubungan yang dekat antara penutur
bahasa-bahasa Austronesia dan bahasa-bahasa Japonik, sehingga apabila ada
interaksi pra-sejarah antara penutur bahasa Austronesia purba dengan bahasa
Japonik purba lebih mungkin interaksi itu adalah sebuah pertukaran budaya yang
sederhana alih-alih percampuran etnis yang signifikan. Analisis genetis
menunjukan secara konsisten bahwa orang-orang Ryukyu di antara Taiwan dan pulau-pulau
utama Jepang lebih mirip dengan orang Jepang daripada orang asli Taiwan. Hal
ini menyarankan bahwa apabila ada interaksi antara bangsa Austronesia purba dan
bangsa Japonik purba, interaksi ini kemungkinan terjadi di benua Asia timur
sebelum pengenalan bahasa-bahasa Austronesia ke Taiwan (atau setidaknya sebelum
kepunahan hipotetis bahasa-bahasa Austronesia dari daratan Tiongkok), dan
bahasa-bahasa Japonik ke Jepang.
Perbendaharaan kosakata
Rumpun
bahasa Austronesia didefinisikan menggunakan metode perbandingan bahasa untuk
menemukan kata-kata yang seasal, yaitu kata-kata yang mirip dalam bunyi dan
makna dan dapat ditunjukan berasal dari kata yang sama dari bahasa Austronesia
purba menurut sebuah aturan yang regular. Beberapa kata seasal sangatlah
stabil, sebagai contoh kata untuk mata pada banyak bahasa-bahasa
Austronesia(Malajo) adalah "mata" juga mulai dari bahasa paling utara
di Taiwan sampai bahasa paling selatan di Aotearoa.
Kosakata-kosakata
dalam semua bahasa Austronesia cenderung didominasi oleh huruf vokal a,i,u,e,
dan o. Beberapa juga memiliki vokal tambahan seperti â,ě,å, serta diftong ai
dan au. Banyak bahasa austronesia yang dalam kosakatanya, setiap suku kata yang
memiliki konsonan selalu diikuti vokal dan tidak memiliki suku kata dengan
konsonan lebih dari satu bunyi/huruf sama sekali. Bahasa-bahasa Austronesia
dengan kosakata asli terbanyak diantaranya adalah bahasa Melayu murni dan
bahasa Jawa Kuno (dan Jawa modern).
Di
bawah disajikan sebagai contoh untuk menunjukkan kekerabatan, kata-kata
bilangan dari satu sampai sepuluh dalam beberapa bahasa Austronesia.
Catatan:
/e/ harus dibaca sebagai pepet (misalkan dalam kata keras) dan /é/ sebagai
taling (misalkan dalam kata lémpar). Jika ada kesalahan, para pembaca
dipersilakan memperbaikinya.
Agama
kapitayan dianut dan dijalankan turun temurun oleh ras :
1.
Proto
Melayu.
Proto-Melayu atau Melayu Tua adalah
istilah usang untuk menyebut ras Melayu gelombang pertama dari dua
"gelombang" migrasi yang dulu diperkirakan terjadi dalam pendudukan
Nusantara oleh penutur bahasa Austronesia.
Menurut teori dua gelombang ini,
termasuk Melayu Tua di Indonesia adalah :
a.
Gayo
(Aceh)
b.
Batak
(Sumatra Utara)
c.
Nias
(pantai barat Sumatra Utara),
d.
Minangkabau
(Sumatra Barat)
e.
Kerinci
(Jambi)
f.
Besemah
(Sumatra Selatan
g.
Rejang
(Bengkulu)
h.
Lampung
(Lampung)
i.
Toraja
(Sulawesi Selatan)
j.
Sasak
(Lombok)
k.
Dayak
(Kalimantan)
Teori ini secara resmi tidak lagi diakui
penggunaannya, karena para arkeolog menyimpulkan bahwa tidak ada dasar
arkeologi yang berarti yang menunjukkan adanya perbedaan antara Proto-Melayu
dan Deutero-Melayu.
Di Malaysia, istilah Proto-Melayu masih
digunakan untuk sebuah suku yang bernama Orang Asli.
2.
Deutro
Melayu.
Melayu Deutero atau Melayu Muda adalah
istilah usang yang pernah digunakan untuk populasi yang diperkirakan datang pada
"gelombang kedua" setelah gelombang pertama dari Melayu Proto.
Populasi ini dikatakan datang pada Zaman Logam (kurang lebih 500 SM). Suku
bangsa di Indonesia yang termasuk dalam Melayu Muda adalah Bugis, Aceh, Jawa,
Sunda, Melayu, Betawi, Manado, Bali
Para arkeolog menyimpulkan bahwa tidak
ada dasar arkeologis yang berarti yang menunjukkan adanya perbedaan antara
Melayu Proto dan Melayu Deutero, sehingga teori ini secara resmi tidak lagi
diakui penggunaannya.
Agama
ini umumnya ditemui di Jawa dan disebut agama Jawa kuno, agama leluhur, atau
agama Jawi. Agama kapitayan bersifat monoteistik.
Monoteisme
Monoteisme
(berasal dari kata Yunani μόνος (monos) yang berarti tunggal dan θεός (theos)
yang berarti Tuhan) adalah kepercayaan bahwa Tuhan hanya satu dan berkuasa
penuh atas segala sesuatu.
Terdapat
berbagai bentuk kepercayaan monoteis, termasuk :
a)
Teisme,
istilah yang mengacu kepada keyakinan akan tuhan yang pribadi, artinya satu
tuhan dengan kepribadian yang khas, dan bukan sekadar suatu kekuatan ilahi
saja.
b)
Deisme
adalah bentuk monoteisme yang meyakini bahwa tuhan itu ada. Namun, seorang deis
menolak gagasan bahwa tuhan ini ikut campur di dalam dunia. Jadi, deisme
menolak wahyu yang khusus. Sifat tuhan ini hanya dapat dikenal melalui nalar
dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis menolak hal-hal yang
ajaib dan klaim bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki pengenalan akan
tuhan.
Teisme
monistik adalah suatu bentuk monoteisme yang ada dalam Hindu. Teisme seperti
ini berbeda dengan agama-agama Semit karena ia mencakup panenteisme, monisme,
dan pada saat yang sama juga mencakup konsep tentang Tuhan yang pribadi sebagai
Yang Tertinggi, Mahakuasa, dan universal. Tipe-tipe monoteisme yang lainnya
adalah monisme bersyarat, aliran Ramanuja atau Vishishtadvaita, yang mengakui
bahwa alam adalah bagian dari Tuhan, atau Narayana, suatu bentuk panenteisme,
tetapi di dalam Yang Mahatinggi ini ada pluralitas jiwa dan Dvaita, yang
berbeda dalam arti bahwa ia bersifat dualistik, karena tuhan itu terpisah dan
tidak bersifat panenteistik.
Panteisme
berpendapat bahwa alam sendiri itulah Tuhan. Pemikiran ini menyangkal kehadiran
Yang Mahatinggi yang transenden dan yang bukan merupakan bagian dari alam.
Tergantung akan pemahamannya, pandangan ini dapat dibandingkan sepadan dengan
ateisme, deisme atau teisme.
Panenteisme
adalah suatu bentuk teisme yang berkeyakinan bahwa alam adalah bagian dari
tuhan, tetapi tuhan tidaklah identik dengan alam. Pandangan ini diikuti oleh
teologi proses dan juga Hindu. Menurut Hindu, alam adalah bagian dari Tuhan,
tetapi Tuhan tidak sama dengan alam melainkan mentransendensikannya. Akan
tetapi, berbeda dengan teologi proses, Tuhan dalam Hinduisme itu Mahakuasa.
Panenteisme dipahami sebagai "Tuhan ada di dalam alam sebagaimana jiwa
berada di dalam tubuh. Dengan penjelasan yang sama, panenteisme juga disebut
teisme monistik di dalam Hinduisme. Namun karena teologi proses juga tercakup
di dalam definisi yang luas dari panenteisme dan tidak menerima kehadiran Yang
Mahatinggi dan Yang Mahakuasa, pandangan Hindu dapat disebut sebagai teisme
yang monistik.
Perbandingan dengan politeisme
Sebagai
perbandingan, lihat Politeisme, yang berpendapat bahwa ada banyak tuhan.
Dualisme mengajarkan bahwa ada dua kekuatan ilahi atau prinsip-prinsip kekal
yang independen, yang satu adalah Kebaikan, dan yang lainnya adalah kuasa
jahat, seperti yang diajarkan oleh Zoroastrianisme kuno (Zoroastrianisme modern
sepenuhnya bersifat monoteistik). Pandangan ini lebih lengkap diajarkan dalam
aliran-aliran yang muncul belakangan dari sistem Gonistik, seperti misalnya
Manikheisme.
Kebanyakan
kaum monoteis akan mengatakan bahwa berdasarkan definisinya, monoteisme pasti
berlawanan dengan politeisme. Namun, para pemeluk di lingkungan tradisi
politeistik sering kali berperilaku seperti kaum monoteis. Ini disebabkan
karena keyakinan akan tuhan yang banyak itu tidak berarti bahwa mereka
menyembah banyak tuhan. Secara historis, banyak pemeluk politeis percaya akan
keberadaan banyak tuhan, tetapi mereka hanya menyembah satu saja, yang dianggap
oleh si pemeluk itu sebagai Tuhan yang Mahatinggi. Praktik ini disebut henoteisme.
Ada
pula teologi-teologi monoteistik di dalam Hinduisme yang mengajarkan bahwa
rupa-rupa Tuhan yang banyak itu, yaitu :
a)
Wisnu.
b)
Syiwa,
atau Dewi, semata-mata mewakili aspek-aspek dari kekuatan Ilahi yang ada di
belakangnya atau Brahman (lih. artikel tentang Nirguna Brahman, Saguna
Brahman). Sebagian orang mengklaim bahwa Hinduisme tidak pernah mengajarkan
politeisme.
Diarsipkan
2009-01-08 di Wayback Machine., dan klaim seperti itu bisa dianggap benar
sebagai salah satu pandangan Hinduisme, yaitu pandangan Smarta yang adalah
sebuah pandangan monoteistik yang inklusif dari monoteisme, seperti yang akan
dibahas kelak. Pandangan Smarta ini mendominasi pandangan Hinduisme di Barat
dan telah membingungkan semua orang Hindu karena mereka dianggap politeistik.
Aliran Smarta ini adalah satu-satunya cabang dalam Hinduisme yang sepenuhnya
mengikuti pandangan ini. Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, serta
banyak tokoh lainnya yang memperkenalkan agama Hindu ke Barat, semuanya adalah
penganut aliran Smarta. Hanya seorang pemeluk Smarta yang tidak mempunyai
masalah untuk menyembah Syiwa atau Wisnu bersama-sama karena ia memahaminya
sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Tuhan yang semuanya membawa kepada Tuhan
yang sama. Jadi, menurut teologi Smarta, Tuhan dapat memiliki banyak sekali
aspek, dan dengan demikian, begitu keyakinan ini, mereka percaya bahwa Wisnu
dan Syiwa sesungguhnya adalah Tuhan yang satu dan sama. Para teolog Smarta
telah banyak mengutip referensi untuk mendukung pandangan ini. Misalnya, mereka
menafsirkan ayat-ayat dalam Sri Rudram, mantra yang paling suci dalam
Syiwaisme, dan Wisnu sahasranama, salah astu doa yang paling suci dalam
Wisnuisme, untuk membuktikan keyakinan ini. Sebaliknya, seorang pemeluk
Wisnuisme menganggap Wisnu sebagai Tuhan satu-satunya yang sejati, yang layak
disembah dan menganggap penyembahan terhadap bentuk-bentuk yang lainnya lebih
rendah atau sama sekali keliru.
Monoteisme
dapat dibagi menjadi berbagai bentuk berdasarkan sikapnya terhadap politeisme:
monoteisme inklusif menganggap bahwa semua tuhan atau dewa dalam politeisme
semata-mata hanyalah nama-nama yang lain dari Tuhan monoteistik yang sama;
Smartaisme, sebuah denominasi Hindu, mengikuti keyakinan ini dan percaya bahwa
Tuhan itu hanya satu namun mempunyai berbagai aspek dan dapat disapa dengan
nama yang berbeda-beda. Keyakinan ini mendominasi pandangan Hinduisme di barat.
Sebaliknya, monoteisme eksklusif mengklaim bahwa semua tuhan ini adalah salah
dan berbeda dari Tuhan yang monoteistik. Mereka itu hanyalah rekaan kuasa
jahat, atau semata-mata suatu kekeliruan, sebagaimana yang dipahami oleh
Wisnuisme, suatu aliran dalam Hinduisme, terhadap penyembahan apapun selain
kepada Wisnu. Monoteisme eksklusif adalah ajaran yang terkenal dalam ajaran
agama-agama Abrahamik.
Kaitan di agama Abrahamik
Ketiga
agama Abrahamik, baik Yudaisme, Kristen, maupun Islam, tergolong ke dalam agama
monoteis. Monoteisme diduga berasal dari ibadah kepada tuhan yang tunggal di
dalam suatu panteon dan penghapusan tuhan-tuhan yang lain, seperti dalam kasus
penyembahan Aten dalam pemerintahan firaun Mesir Akhenaten, di bawah pengaruh
istrinya yang berasal dari Timur, Nefertiti. Ikonoklasme pada masa pemerintahan
firaun ini dianggap sebagai asal-usul utama penghancuran berhala-berhala dalam
tradisi Abrahamik, yang didasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan lain di
luar tuhan yang mereka akui. Dengan demikian, sebetulnya di sini tergantung
pengakuan dualistik dan diam-diam tentang keberadaan tuhan-tuhan yang lain,
tetapi hanya sebagai lawan yang harus dihancurkan karena mereka mengalihkan
perhatian dari tuhan utama mereka.
Monoteisme
sebagaimana yang diwarisi oleh bangsa Israel dalam pengalaman Exodus di bawah
pimpinan Musa dianggap, oleh mereka yang berpendapat bahwa bangsa Israel ini
adalah orang-orang Hiksos, sebagai pewaris kebijakan-kebijakan keagamaan
Akhenaten, karena sebelumnya orang-orang Yahudi ini adalah politeis seperti
halnya orang-orang Mesir. Masalah-masalah lain seperti Hak ilahi Raja juga
muncul dari hukum-hukum firaun tentang penguasa sebagai demigod atau
wakil-wakil dari Pencipta di muka bumi. Kuburan-kuburan yang besar di piramida
Mesir yang mengikuti observasi astronomis, menggambarkan hubungan antara firaun
dengan langit atau sorga dan karena itu kemudian diambil oleh para penguasa
Krisen yang mengklaim bahwa mereka diberikan kekuasaan langsung oleh Allah.
Zoroastrianisme
dianggap oleh sebagian pakar sebagai bentuk kepercayaan monoteistik yang paling
awal yang berevolusi dalam kehidupan manusia, meskipun sebagian turunannya
tidak sepenuhnya demikian, karena Tuhan yang utama dalam turunan-turunan
seperti Zurvanisme bukanlah pencipta satu-satunya. Ada teori yang menyatakan
bahwa Yudaisme dipengaruhi oleh Zoroastrianisme, terutama pada masa pembuangan
di Babel, dan setelah itu banyak bagian dari Perjanjian Lama yang ditulis dan
disunting. Yudaisme yang lebih awal diasumsikan hanya mengakui bahwa YHVH
adalah allah suku mereka (kemungkinan terkait dengan Yaw) yang merupakan dewa
pelindung para keturunan Abraham, atau bahwa ada banyak allah tetapi bahwa
hanya allah mereka sajalah yang paling kuat. Pandangan ini tidak sesuai dengan
pemahaman diri agama-agama Abrahamik - Yudaisme, Kristen, Islam – yang secara
tradisional menegaskan bahwa monoteisme eksklusif adalah agama asli dari
seluruh umat manusia, sementara allah-allah lainnya dipandang sebagai berhala
dan makhluk-makhluk yang keliru disembah sebagai tuhan.
Beberapa
profesor arkeologi membuat klaim yang controversial bahwa banyak cerita di
dalam Kitab Suci Ibrani, termasuk catatan-catatan penting mengenai Musa,
Salomo, dan lain-lainnya, sesungguhnya mula-mula dikembangkan oleh para penulis
yang dipekerjakan oleh Raja Yosia (abad ke-7 SM) untuk merasionalisasikan
keyakinan monoteistik terhadap YHVH. Teori ini mencatat bahwa negara-negara
tetangga seperti Mesir dan Persia, meskipun menyimpan catatan-catatan tertulis,
tidak mempunyai tulisan-tulisan mengenai cerita-cerita Alkitab atau tokoh-tokoh
utamanya sebelum 650 SM. Klaim-klaim seperti itu diuraikan secara terinci dalam
buku Who Were the Early Israelites? oleh William G. Dever, William B. Eerdmans
Publishing Co., Grand Rapids, MI (2003). Buku lainnya yang serupa adalah The
Bible Unearthed oleh Neil A. Silberman dan rekan-rekannya, Simon dan Schuster,
New York (2001).
Dunia
menggolongkan Kristen ke dalam agama monoteis. Kristen percaya akan satu Allah.
Mereka mengakui bahwa Allah ini satu, walaupun dalam pemahaman manusia Allah
itu termanifestasi ke dalam tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh
Kudus (bersama-sama disebut Tritunggal). Dalam teologi Kristen, ketiga pribadi
ini tidaklah independen melainkan selaras, artinya bersama-sama mereka
mempunyai karakter dan hakikat / substansi ilahi yang sama dan tidak
bertentangan satu sama lain. Meskipun demikian, ada sebagian sekte minoritas
dari agama Kristen, seperti misalnya Saksi Yehuwa, menyangkal gagasan tentang
Tritunggal, sementara yang lainnya, seperti sekte Mormonisme, menyembah hanya
satu Allah, tetapi terbuka terhadap keberadaan yang lain-lainnya. Rastafarian,
seperti banyak orang Kristen lainnya, percaya bahwa Allah adalah esa dan juga
Tritunggal, dalam kasus mereka, Allah adalah Haile Selassie. Kaum Rasta
memandang diri mereka sendiri, dan kemungkinan juga semua orang, sebagai unsure
Roh Kudus dari Tritunggal, dengan Haile Selassie sebagai penjelmaan dari Allah
Bapa dan Allah Anak. Haile Selassie juga dipandang sebagai kepala, dan kaum
Rastafarian sebagai tubuh, dari Allah.
Monoteisme dalam Islam
Artikel
utama :
Tauhid
“ ...dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat,
maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah 2:115).”
Dari
pernyataan di atas, kita dapat melihat bahwa seperti Yudaisme dan Kekristenan penafsiran
Al Qur'an tentang Allah adalah Tuhan yang kehadiran rohaninya dialami di dalam
seluruh jagad raya. Islam menjelaskan monoteisme dalam cara yang sederhana.
Terjemahan monoteisme dalam bahasa Arab adalah (Tauhid). Tauhīd berarti satu
(berasal dari kata wahid/ahad). Kata ini menyiratkan penyatuan, kesatuan atau
mempertahankan sesuatu agar tetap satu.
Kebenaran
seseorang dalam Islam diukur dari "penyerahan dirinya secara total kepada
ajaran Allah". Penyerahan diri yang dimaksud adalah menempatkan diri
sebagai hamba Tuhan maksudnya hidup karena mencari keridhaan Allah dan tidak
lagi hidup untuk kepentingannya sendiri, karena hanya dengan demikian pemeluk
Islam dianggap kaffah dalam beragama. Mereka yang mengaku diri Islam namun
dalam kehidupan mereka tidak melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam Islam,
dapat disebut sebagai orang munafik. Orang munafik adalah orang yang tidak
jelas keyakinannya, orang yang di satu sisi mengakui Islam namun di sisi lain
ia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan dalam Islam. Orang-orang yang
seperti inilah yang disebut dengan orang-orang yang kafir dengan
sebenar-benarnya.
Namun
islam itu paling menekankan kasih sayang kepada seluruh alam. Kasih sayang
kepada mereka di dunia dengan berbuat baik kepada manusia dan kasih sayang
diakhirat dengan mengajak mereka mempercayai allah yang maha esa, tunggal
(monotoisme).
Monoteisme dalam agama Bahá'í
Seperti
dalam agama Islam, agama Bahá'í memahami monoteisme dalam pengertian yang
sederhana. Doa wajib dalam agama Bahá'í, misalnya, mengandung pernyataan
kesaksian monoteistik yang jelas. Kedua agama ini menyatakan "Keesaan
Allah" (Tauhīd) sebagai ajaran utama mereka. Seperti juga halnya Islam,
Bahá'í menganggap ajaran Tritunggal dalam agama Kristen sebagai penyimpangan
terhadap ajaran asli Yesus yang ada dalam Bahá'í. Bahá'í memandang
ajaran-ajaran non-monoteisme yang muncul sebelumnya sebagai versi kebenaran
yang kurang dewasa.
Agama
Bahá'í juga menerima keotentikan para pendiri agama yang mengajarkan
monoteisme, seperti misalnya Wisnuisme Gaudiya, yang memusatkan ibadahnya
kepada Krisna sebagai Tuhan atau bahkan apa yang kadang-kadang dipahami sebagai
ajaran-ajaran ateistik seperti misalnya Buddhisme.
Hinduisme
Dalam
Hinduisme, ada beberapa pandangan yang terdiri dari monisme, dualisme,
panteisme, panenteisme, yang disebut oleh sebagian pakar sebagai teisme
monistik, serta monoteisme yang ketat. Namun mereka bukan politeistik, seperti
yang dipandang kebanyakan orang luar. Hinduisme sering kali keliru ditafsirkan
banyak orang sebagai agama politeistik. Contohnya adalah pemeluk Hindu sendiri,
contohnya kaum Smarta, yang mengikuti filsafat Advaita, adalah monis, dan
memahami berbagai manifestasi dari Tuhan yang esa atau sumber keberadaan. Kaum
monis Hindu memahami satu keesaan, dengan berbagai pribadi Tuhan, sebagai
aspek-aspek yang berbeda dari Yang Maha Tinggi dan Esa, seeprti halnya satu
pancaran cahaya yang dipisah-pisahkan menjadi berbagai macam warna oleh sebuah
prisma, dan semuanya sah untuk disembah. Sebagian dari aspek-aspek Tuhan di
dalam agama Hindu mencakup Dewi, Wisnu, Ganesya, dan Syiwa. Pandangan Smarta
inilah yang mendominasi pandangan tentang Hinduisme di Barat. hal ini
disebabkan karena Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, di antara
banyak orang lainnya, yang memperkenalkan keyakinan Hindu ke dunia Barat,
semuanya adalah penganut Smarta. Aliran-aliran Hinduisme lainnya, seperti yang
digambarkan kelak, tidak menganut keyakinan ini secara ketat dan lebih erat
berpegang pada persepsi Barat tentang arti keyakinan yang monoteistik. Selain
itu, seperti agama-agama Yudeo-Kristen yang percaya akan malaikat, orang Hindu
juga percaya akan keberadaan yang tidak begitu kuat, seperti halnya para dewa.
Hinduisme
kontemporer saat ini dibagi menjadi empat pembagian utama yaitu, Wisnuisme,
Syiwaisme, Saktiisme, dan Smartaisme. Seperti halnya Yahudi, Kristen, dan
Muslim yang mempercayai satu Tuhan namun berbeda dalam konsep Ketuhanan, semua
pengikut agama Hindu percaya pada satu Tuhan namun berbeda dalam konsepnya. Dua
bentuk utama dari perbedaan ini adalah antara dua kepercayaan monoteistik dari
Wisnuisme yang menganggap Tuhan adalah Wisnu dan Syiwaisme, yang memahami Tuhan
sebagai Syiwa. Aspek-aspek Tuhan yang lainnya pada kenyataannya adalah
aspek-aspek dari Wisnu atau Syiwa; lihat Smartaisme untuk informasi lebih
lanjut.
Hanya
seorang pemeluk Smartaisme tidak akan mengalami masalah untuk menyembah Syiwa
atau Wisnu bersama-sama karena ia memandang berbagai aspek dari Tuhan menuntun
kepada satu Tuhan yang sama. Pandangan Smartalah yang mendominasi pandangan
Hinduisme di Barat. Sebaliknya, seorang pemeluk Wisnuisme menganggap Wisnu
sebagau Tuhan satu-satunya yang sejati, yang layak disembah, sementara
bentuk-bentuk lainnya adalah penampakan yang lebih rendah. Lihat misalnya,
ilustrasi tentang pandangan pemeluk Wisnuisme tentang Wisnu sebagai Tuhan
sejati yang esa di sini Diarsipkan 2010-07-22 di Wayback Machine..
Dengan
demikian, banyak pemeluk Wisnuisme, misalnya, percaya bahwa hanya Wisnu lah
yang dapat menganugerahkan tujuan terakhir manusia, moksa. Lihat misalnya, di
sini Diarsipkan 2010-07-22 di Wayback Machine.. Demikian pula, banyak pemeluk
Syiwaisme juga menganut keyakinan yang sama, seperti yang diilustrasikan pada
di sini Diarsipkan 2006-01-11 di Wayback Machine. dan di sini Diarsipkan
2006-01-11 di Wayback Machine..
Namu,
bahkan pemeluk Wisnuisme, seperti orang-orang Hindu lainnya, mempunyai
toleransi terhadap keyakinan-keyakinan yang lain karena Dewa Krisna, avatar
Wisnu, mengatakannya demikian di dalam Gita. Beberapa pandangan melukiskan
pandangan toleran ini:
Krisna
berkata: "Dewa atau bentuk apapun yang disembah seorang percaya, aku akan
menguatkan imannya. Namun, hanya Akulah yang mengaruniakan keinginan
mereka." (Gita: 7:21-22)
Kutipan
lain di dalam Gita mengatakan :
"O
Arjuna, bahkan pemeluk-pemeluk yang menyembah tuhan-tuhan lain yang lebih
rendah, (mis. dewa-dewa) dengan iman, mereka pun menyembah Aku, tetapi dalam
cara yang tidak tepat, karena Akulah yang Maha Tinggi. Hanya akulah yang
menikmati semua ibadah kurban (Seva, Yajna) dan Tuhan sarwa sekalian
alam." (Gita: 9:23)
Bahkan
sebuah ayat Weda melukiskan tema toleransi ini. Kitab-kitab Weda dihormati di
dalam Hinduisme, apapun juga alirannya. Misalnya, sebuah nyanyian Rig Weda yang
terkenal menyatakan bahwa :
Kebenaran
hanya Satu, meskipun para bijak mengenalnya dalam berbagai bentuk. Hal ini
berlawanan dengan keyakinan-keyakinan di dalam tradisi-tradisi agama lain, yang
mewajibkan pemeluknya mempercayai Allah hanya dalam satu aspek dan menolak sama
sekali atau meremehkan keyakinan-keyakinan lainnya.
Monoteisme dalam Taoisme
Tao
adalah Yang Tertinggi yang tidak dapat didefinisikan dengan bahasa manusia,
sifatnya adalah ketiadaan (nothingness) dan mengandung tuhan-tuhan yang
lainnya. Berbeda dengan monoteisme Timur Tengah, Tao tidak mempunyai
sifat-sifat pribadi seperti kesucian, cinta kasih, dan kebenaran. Hal ini
membuat Taoisme terbebas dari masalah-masalah teodisi.
GAMBARAN
KAPITAYAN
Secara
sederhana, Kapitayan dapat digambarkan
sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut
Sanghyang Taya, yang bermakna hampa, kosong, suwung, atau awang-uwung. Kata
awang-uwung bermakna ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada, untuk itu, supaya
bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam
nama dan sifat Ilahiah yang disebut Tu atau To yang bermakna daya gaib bersifat
adikodrati. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan
dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra.
Tuhan
Tuhan
dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya.
Taya
berarti suwung (kosong).
Tuhan
Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan.
Sang
Hyang Taya diartikan sebagai tan keno kinaya ngapa, tidak dapat dilihat,
dipikirkan, atau dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya.
Untuk
itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang
disebut Tu atau To, yang bermakna daya gaib yang bersifat adikodrati. Tu atau
To adalah tunggal dalam Dzat Satu Pribadi.
Tu
lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal.
Dia
memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan.
Tu
yang bersifat Kebaikan disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang.
Tu
yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya.
Demikianlah,
Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari
Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang
Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal
pikiran.
Hanya
diketahui sifat-Nya saja.
Kekuatan
Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu,
monumen, pohon, dan di banyak tempat lain. Oleh karena itu, mereka memberikan
persembahan atas tempat itu, bukan karena mereka menyembah batu, pohon,
monumen, atau apa pun, tetapi mereka melakukannya sebagai pengabdian mereka
kepada Sang Hyang Taya yang kekuatannya diwakili di semua tempat itu. Agama
kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti dalam agama Hindu dan Budha.
AGAMA
KAPITAYAN
Agama
kapitayan ini, adalah agama kuno yang dipelajari dalam kajian arkeologi, yang
tinggalan dan peninggalan arkeologisnya dalam terminologi Barat dikenal dengan
dolmen, menhir, sarkofagus, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya agama
kuno disekitar tempat itu. Dan oleh sejarawan Belanda, agama ini secara salah
disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon, batu, dan makhluk
halus. Menurut sudut pandang Ma Huan, praktek penyembahan benda-benda seperti
itu disebut orang yang tidak beriman. Kapitayan ini lebih menyerupai ketauhidan
daripada animisme-dinamisme seperti yang kebanyakan peneliti anggap. Penyebutan
sebagai animisme-dinamisme sendiri muncul oleh karena, secara tampilan fisik,
ritual yang dilakukan oleh para penganutnya tampak sebagai penyembahan terhadap
benda-benda. Secara sederhana, penyembahan benda-benda itu dipahami sebagai
pemujaan terhadap kekuatan benda itu sendiri (animisme-dinamisme). Sebenarnya,
pada awalnya ajaran Kapitayan justru tidak menyembah benda itu sebagai kekuatan
mutlak, namun lebih pada penyembahan Sang Hyang, kekuatan tertinggi.
Benda-benda yang terdapat dalam ritual keagamaan, seperti pohon, batu, dan mata
air adalah beberapa perwujudan saja dari kekuatan yang maha tinggi Sang Hyang
tersebut.
Oleh
karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk
memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam
pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang
menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut
Tu atau To itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau
To. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu,
tu-gu, tu-tuk, tu-nda, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-ban, tu-mbak,
tunggak, tu-lup,tu-ngkub, tu-rumbukan, un-tu, pin-tu, tu-tud, to-peng, to-san,
to-pong, to-parem, to-wok, to-ya. Sisa-sisa sarana pemujaan inilah yang dalam
arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara, Sarkofagus,
dan lain lain. Dalam melakukan bhakti memuja Sanghyang Taya melalui
sarana-sarana inilah, orang menyediakan sesaji berupa tumpeng, tu-mbal, tu-mbu,
tu-kung, tu-d kepada Sanghyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki
kekuatan gaib.
Seorang
hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib
yang bersifat positif (tu-ah) dan yang bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang
sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi
pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu. Mereka yang
sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh
PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya,
ra-tu atau dha-tu, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara
disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan
disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk
disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan
disebut PIandel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PItapuja
lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PIndodakakriya (nasi dan
air), PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka
meninggal dunia disebut PI-tara. Seorang ratu atau dha-tu, adalah
pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ratu adalah citra Pribadi
Sanghyang Tunggal.
Dengan
prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu
tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu yang dituntut keharusan
fundamental memiliki tu-ah dan tu-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis
pada anak keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuangkeras menunjukkan
keunggulan tu-ah dan tu-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil
yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang
mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan
ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang benar-benar telah teruji
kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan
tu-ah dan tulah yang dimilikinya.
Nilai-nilai
keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam
menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan
pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “Tan keno kinaya
ngapa” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak
dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama
dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam (Tidak ada yang seperti
Dia, Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).
Walisongo
juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan)
dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan
atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan,
yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya
sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca atau arca seperti dalam
agama Hindu atau agama Buddha. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di
Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar"
mewakili istilah Masjid dalam Islam.
Ada
juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut dengan
Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu disebut
juga dengan Upawasa atau Upavasa. Alih-alih menggunakan istilah puasa atau
Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari
Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam
Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa
tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam.
Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo
dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai "Sedekah". Inilah makna
istilah yang disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai mempribumikan
Islam.
Praktik ibadah
Dalam
rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan
menyediakan sajen berupa tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tumbu (keranjang
persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis
ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi
pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti tu-ngkub,
tu-nda, wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-k, tu-ban, tu-rumbukan, tu-tuk. Para
penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan tu-ju (tenung) atau keperluan
lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang tu-nggal dengan persembahan khusus yang
disebut tu-mbal.
Berbeda
dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam
dengan persembahan sajen-sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah
menyembah Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para ruhaniwan
Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi
empat beratap tumpang dengan tutu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang
kehampaan Sanghyang Taya.
Dalam
bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para ruhaniwan Kapitayan
mengikuti aturan tertentu: mula-mula, sang ruhaniwan yang sembahyang melakukan
tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan
diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam tutu-d (hati). Setelah
merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan
didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang
ke-aku-an diri pribadi). Proses tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo relatif
lama. Setelah tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul
(membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo relatif lama.
Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki).
Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut
ibunya). Selama melakukan tu-lajeg, tu-ngkul, tu-lumpak, dan To-ndhem dalam
waktu satu jam lebih itu, ruhaniwan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha
menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yang sudah
disemayamkan di dalam tutu-d (hati).
Sejarah
Dalam
konteks agama angin muson, agama kuno yang disebut Kapitayan merupakan agama yang dianut
penghuni Nusantara, yang menurut cerita kuno adalah agama purbakala yang dianut
oleh penghuni lama Pulau Jawa berkulit hitam. Dalam keyakinan penganut
Kapitayan di Jawa, leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur Kapitayan
adalah tokoh mitologis Danghyang Semar putera Sanghyang Wungkuham keturunan
Sanghyang Ismaya. Menurut cerita, negeri asal Danghyang Semar adalah
Swetadwipa, benua yang tenggelam akibat banjir besar yang menyebabkan Danghyang
Semar dan kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Sanghyang Semar memiliki saudara
bernama Sang Hantaga (Togog) yang tinggal di negeri seberang (luar Jawa), yang
juga mengajarkan Kapitayan tapi sedikit berbeda dengan yang diajarkan Danghyang
Semar. Saudara Danghyang Semar yang lain lagi bernama Sang Manikmaya, menjadi
penguasa di alam gaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-hyang-an.
Tokoh-tokoh
idola dalam ajaran Kapitayan seperti :
1.
Danghyang
Semar.
2.
Kyai
Petruk.
3.
Nala
Gareng.
4.
Bagong
Dimunculkan
sebagai punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan
dewa-dewa Hindu.
Mengenal agama Kapitayan
Agama
yang disebut Kapitayan telah dianut dan dijalankan turun temurun semenjak Asia
Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara dihuni ras Proto Melanesia hingga
kedatangan ras Austronesia.
Pembawa
dan penyebar agama Kapitayan ini menurut keyakinan para penganutnya adalah
Danghyang Semar, keturunan Sanghyang Ismaya yang berasal dari Lemuria yakni
sebuah benua yang tenggelam karena diterjang banjir besar yang membuat Semar
bersama kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Kisah ini selanjutnya banyak
dihubungkan dengan banjir besar yang terjadi pada masa Nabi Nuh.
Selain
Semar ada juga saudaranya yang bernama Togog (Sang Hantaga) yang tinggal di
luar Jawa dan juga mengajarkan agama Kapitayan namun dengan tata cara yang
sedikit berbeda. Satu lagi saudara Semar yaitu Sang Manikmaya yang tinggal di
alam gaib atau ka-hyang-an.
Agama
yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Makna
dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan
serta dideteksi dengan pancaindra.
Sanghyang
Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni
kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang
mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda
(bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang
pohon) serta yang lain.
Dalam
pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti
tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam),
tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.
Cara
pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini berbeda antara masyarakat
awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam
biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat keramat. Sedang para
ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama sanggar yang berupa
bangunan beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).
Tata
cara bersembahyang yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg
(berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk
memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang
Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat
di hati yang disebut swa-dikep.
Usai
melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul
(membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu
relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan
menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti
janin dalam perut).
Proses
beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan
dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar
tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).
Demikian
sedikit penjelasan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan
beserta tata cara beribadah yang oleh banyak orang dikenal dengan sebutan
animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya, pemeluk Kapitayan bukan menyembah
nenek moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Taya.
Membuka Tabir Kapitayan, Agama Kuna di Tanah Jawa
Sebelum
awal perhitungan Masehi, telah ada satu keyakinan Keesaan Tuhan di Jawa. Para
leluhur orang Jawa sudah menyadari bahwa keyakinan untuk dipercaya dan
dijalankan ajarannya, bukan menjadi bahan perdebatan atau sebagai sumber
pertikaian dan perang. Karenanya mereka sudah membekali diri dengan pengetahuan
tentang Dzat Tertinggi dan bagaimana menemukan-Nya.
Orang
Jawa telah percaya keberadaan suatu entitas tidak kasat mata namun memiliki
kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan
manusia. Mereka tidak pernah menyembah selain Tuhan. Karenanya mereka tidak
menyembah Dewa atau Bhatara yang diyaikini sebagai makhluk Tuhan. Mereka hanya
menyembah Tuhan yang disebut Sang Hyang Taya.
Pada
masa itu orang Jawa belum memiliki kitab suci, tetapi mereka telah memiliki
bahasa sandi yang disimbolkan (disiratkan) dalam semua sendi kehidupan dan
memercayai ajaran yang tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan karena
memiliki aturan baku. Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk
laku utama yaitu tata krama (aturan hidup yang luhur) serta menjadikan orang
Jawa sebagai sosok anjawani (berkepribadian orang jawa).
Orang
Jawa yang memahami etika senantiasa menerima ajaran agama yang dibawa oleh kaum
migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani, dan lainnya) selama memiliki sama dengan
ujung monoteisme. Karenanya banyak agama yang dibawa kaum migran memilih basis
dakwahnya dari Jawa.
Leluhur
orang Jawa selalu melihat bahwa agama sebagai seperangkat cara pandang dan
nilai-nilai yang disertai dengan sejumlah laku. Ajaran mereka tidak terpaku
pada aturan ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Mereka
hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan
pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol
laku berupa perangkat adat asli Jawa, seperti: keris, wayang, pembacaan mantra,
atau penggunaan bunga-bunga tertentu ber makna simbolik mengekspresikan wibawa
magis, dan bukan inti ajarannya. Memang tidak bisa dipungkiri telah banyak
penghayat Kejawen dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur melalui praktik
klenik dan perdukunan, padahal tindakan itu tidak ada dalam ajaran para
leluhur.
Dasar Pemahaman Ajaran Kapitayan
Sebelum
masuknya agama Islam, sudah ada agama kuna di tanah Jawa yakni Kapitayan --
yang menurut sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama tersebut
merupakan perkembangan dari ajaran dan keyakinan kepada Sang Hyang Taya.
Sang
Hyang Taya yang menjadi pujaan para penganut Kapitayan tersebut memiliki makna
"hampa" atau "kosong". Orang Jawa mendefinisikan Sang Hyang
Taya dalam satu kalimat, "Tan kena kinaya ngapa" (Tidak bisa
diapa-apakan keberadaannya). Karenanya agar bisa disembah, Sang Hyang Taya
memribadi dalam nama dan sifat "Tu" atau "To", yang
bermakna daya gaib dan bersifat adikodrati.
Dalam
bahasa Jawa kuna, kata "taya" diartikan dengan kosong atau hampa
namun bukan berarti tidak ada. Istilah "taya" digunakan untuk
mendefinisikan kalimat tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat
atau diangan-angan. Sesuatu yang ada namun tidak ada.
Perlu
diketahui bahwa konsep Hyang dalam Sang Hyang Taya merupakan asli dari sistem
kepercayaan orang Jawa. Dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, atau Bali; kata
Hyang dimaknai sebagai keberadaan kekuatan adikodrati yang bersifat
supranatural. Keberadaan spiritual tersebut bersifat Ilahiah yang mencipta,
mengatur dan memengaruhi segala sesuatu di jagat raya. Sesuatu "Yang
Mutlak" yang tidak bisa dipikir dan dibayangkan (niskala). Tidak bisa
didekati dengan panca indera.
Dipahami
bahwa Tu adalah tunggal dalam dzat. Tu lazim disebut dengan nama Sang Hyang
Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yakni kebaikan dan kejahatan. Tu bersifat
kebaikan disebut Tu-han atau Sang Hyang Wenang. Tu bersifat kejahatan disebut
Sang Hyang Manikmaya. Dengan demikian, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang
Manikmaya merupakan sifat dari Sang Hyang Tunggal. Karenanya baik Sang Hyang
Tunggal, Sang Hyang Wenang, maupun Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak
dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Mereka hanya diketahui
sifatnnya.
Karena
Sang Hyang Tunggal yang memiliki dua sifat paradoks merupakan dzat gaib, maka
untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan
alam pikiran manusia. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai
kekuatan gaib dari pribadi tunggal Sang Hyang Taya yang tersembunyi di dalam
segala sesuatu bernama Tu atau To.
Karenanya
para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu,
tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, pin-tu, to-peng,
to-san, to-pong, to-wok, to-ya. Dalam melakukan bakti puja pada Sang Hyang
Taya, orang Jawa menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan
tu-kung melalui sesuatu yang diyakini berkekuatan gaib.
Dalam
Islam, terdapat tingkatan-tingkatan ibadah seperti syari'ah, thariqah, hakikat,
dan ma'rifat. Sementara dalam Kapitayan, praktik di atas merupakan proses
ibadah tingkatan syari'at yang dilakukan masyarakat awam pada Sang Hyang
Tunggal. Untuk para kaum sufi Kapitayan menyembah langsung pada Sang Hyang Taya
dengan gerakan-gerakan tertentu, yakni :
Melakukan
tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutuk (lubang) sambil mengangkat kedua
tangan dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati).
Menurunkan
tangan dan disedekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang keakuan
diri).
Melakukan
tu-ngkul (membungkuk ke bawah).
Melakukan
tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki).
Melakukan
to-ndhem (bersujud).
Di
dalam melakukan ibadah, para penganut Kapitayan juga seperti orang-orang Islam
yang menggunakan masjid, orang-odang Hindu menggunakan pura, orang-orang Buddha
menggunakan vihara, atau orang-orang Nasrani menggunakan gereja. Adapun tempat
ibadah para penganut Kapitayan menggunakan sanggar. Suatu bangunan persegi
empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan.
Seorang
penganut Kapitayan sang pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan
dikaruniai kekuatan gaib bersifat positif (tu-ah) dan bersifat negatif
(tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah tersebut dianggap
berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau
dha-tu (cikal bakal gelar ratu dan datu bagi para pemimpin kerajaan). Mereka
yang telah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai
oleh "pi", yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang
tersembunyi. Karena itulah, ra-tu atau dha-tu menyebut dirinya dengan kata
ganti diri: pi-nakahulun.
Gerak-gerik
kehidupan ratu atau datu senantiasa ditandai dengan "pi", misal:
berbicara disebut pi-dato, jika mendengar disebut pi-harsa, jika mengajar
pengetahuan disebut pi-wulang, jika memberi petuah disebut pi-tutur, jika
memberi petunjuk disebut pi-tuduh, jika menghukum disebut pi-dana, jika memberi
keteguhan disebut pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut
pi-tapuja, jika memancarkan kekuatan disebut pi-deksa, jika meninggal dunia
disebut pi-tara.
Dengan
prasyarat-prasyarat di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat
kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu atau dha-tu dituntut keharusan secara
fundamental untuk memiliki tu-ah dan tu-lah dan tidak bisa diwariskan secara
otomatis pada keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuang keras untuk
menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah.
Di
mana, ia mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa
wisaya disebut raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka
lain akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang
telah teruji kemampuannya baik dalam memimpin, mengatur strategi, maupun
mengelola tu-ah dan tu-lah yang dimilikinya.
Konsep
kekuasaan ra-tu dan da-tu mirip dengan konsep: "King
Philosopoher"-nya Plato dari Yunani (abad 3 SM) atau mungkin Plato dengan
bukunya Republic justru terinspirasi oleh ajaran Kapitayan. Konsep ini juga
yang merupakan ruh dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yakni
sila ke-4: "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan-Perwakilan." Serta Sila 1: "Ketuhanan Yang Maha
Esa." Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan
konsep ra-tu dan dha-tu mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama
ajaran Bhagavatisme yang dianut para pemuja Vishnu masuk ke tanah Jawa.
Ajaran
Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan
tahta kekuasaan raja yang bersifat kewangsaan telah memberi motivasi bagi
raja-raja Jawa pra Hindu sebagai penganut Vaishnava. Sekalipun pengaruh sistem
kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh para penguasa di Jawa, namun
sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang.
Keberadaan
seorang raja atau maharaja misalnya selalu ditandai oleh kedudukan ganda
sebagai ra-tu atau dha-tu. Sehingga seorang raja dipastikan memiliki tempat
khusus yang disebut keraton atau kedhaton di samping bangsal dan puri. Selain
itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang
memiliki kekuatan gaib seperti wa-tu, tu-nggul, tu-mbak, tu-lang, to-san,
to-pong, to-parem, to-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Jawa
mensyaratkan keberadaan ra-tu atau dha-tu dengan benda-benda ber-tu-ah.
Prinsip Ajaran Kapitayan
Dalam
ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha. Pada era
Walisanga, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan
menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah laisa kamitslih
syai'un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadis yang artinya sama dengan tan kena
kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan
seperti apapun.
Walisanga
juga menggunakan istilah 'sembahyang' dan tidak memakai istilah salat.
Sembahyang adalah menyembah 'Hyang'. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar
Kapitayan diubah menjadi seperti langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi
bedhug, inipun merupakan adopsi Kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan
tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan 'shaum' karena
masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah 'upawasa' kemudian menjadi
puasa.
Orang-orang
dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan
dengan menggunakan tumpeng. Dengan demikian, Kapitayan selalu menyeleksi atas
semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang
Tuhan-nya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas
masyarakat Jawa akan menolak.
Hindu
pun ketika masuk ke Jawa juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak
pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat
ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya
ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan
tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.
Pokok Ajaran Kapitayan
Sebagai
agama, Kapitayan memiliki pokok ajaran yang diamalkan oleh para penganutnya.
Perihal pokok ajaran Kapitayan adalah "Hamemayu hayuning bawana".
Menjaga atau menata keindahan jagat baik jagat cilik (mikrokosmos) dan jagat
gedhe (makrokosmos).
Dalam
pemahaman orang Jawa, jagat cilik bersifat fisikal (materi), sedangkan jagat
gedhe bersifat metafisikal (imateri). Bila diumpamakan manusia, jagat cilik
adalah raga manusia. Sedangkan jagat gedhe adalah metafisika atau spiritual
manusia. Melalui spiritualnya, manusia dapat mengenal Tuhan. Karenanya orang
Jawa berpendapat bahwa di dalam hati, Tuhan bersemayam.
Agar
hubungan antara manusia dengan Tuhan tetap dinamis, maka keduanya harus
manunggal. Maka dalam ajaran Kapitayan, manusia yang dapat manunggal dengan
Tuhan harus menyelaraskan cipta, rasa, karsa-nya dengan Sang Hyang Taya.
Sehingga hubungan mereka seperti lampu dengan cahaya, keris dengan warangka,
alu dengan lumpang, atau lingga dengan yoni.
Bila
hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Taya telah terbentuk, maka jagat akan
tampak indah. Jagat akan terkelola dengan baik, dinamis, dan selaras. Tidak ada
gejolak alam yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Untuk merealisasikan
kedamaian di dunia ini, manusia diwajibkan untuk menjaga hubungan yang baik
dengan binatang, tumbuhan, benda mati, dan alam. Mengingat mereka merupakan
citra atau ciptaan dari Sang Hyang Taya.
TAMBAHAN
CATATAN
Seirama
gerak zaman, keadaan dunia turut berubah. Ironisnya agama Kapitayan sebagai
tuan rumah pernah tertekan hebat oleh para tamunya. Sebagai misal ketika zaman
Kadiri, para penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa berhasil
menekan golongan Kapitayan sehingga harus naik Gunung Klotok dan Wilis.
Pendapat ini berdasarkan artefak peninggalan Kapitayan yang tersebar di kedua gunung
itu.
Pada
era Kerajaan Tumapel (Singhasari), para penganut agama Hindu-Buddha menekan
hebat kelompok Kapitayan hingga mengungsi ke pesisir selatan Jawa. Selanjutnya
pada era Kesultanan Demak, para penganut agama Islam melakukan penetrasi dengan
kelompok Kapitayan. Hal ini yang memunculkan asumsi bahwa seandainya para
kelompok Kapitayan bersikukuh pada keyakinannya dimungkinkan tidak ada ajaran
agama impor begitu mudah masuh di Jawa.
Ketika
Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dijadikan
tempat pendidikan kelas dunia pada masanya. Hal sama juga terjadi pada agama
Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Bahkan agama Islam dengan
pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisanga sebagai ulama kelas wahid
di Asia Tenggara dan timbullah Islam Nusantara.
Ketika
semua dijalankan dengan kaku dan harus sesuai aslinya di mana agama itu
diturunkan, maka terjadilah benturan. Ketika ada seseorang yang menganggap
sempurna bila agama dijalankan sesuai adat di mana ia diturunkan. Maka jawabnya
salah besar. Mengingat tata nilai agama tersebut bersifat universal, sedangkan
adat dianugerahkan pada komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan
berharap untuk bisa hidup sempurna bila memaksakan sesuatu terutama keyakinan
tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.
Bila
pemaksaan keyakinan terhadap seseorang tersebut dilakukan, maka getaran semesta
akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang bersikap tidak
adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Sementara, Tuhan merupakan Sang Maha
Kuasa, Sang Maha Mengetahui, atau Sang Maha Bijaksana. Lantas mengapa masih
saja ada orang yang berani mengerdilkan keperkasaan-Nya dengan mengatakan, Tuhan
hanya paham bahasa atau cara kami saja ?
Akan
tiba waktunya kebangkitan ajaran kuna yang pernah berjaya di masa silam. Bukan
hanya di Jawa, tetapi juga di nusantara atau dunia. Hal ini dikarenakan ajaran
kuna tersebut sangat indah karena terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan
Yang Satu. Sebagaimana dikabarkan dalam kitab suci dari semua agama besar di
dunia.
Versi sejarah tumpeng dari Sunda Wiwitan
Sejarah nasi tumpeng yang kedua, dilihat dari
kepercayaan Sunda Wiwitan.
Tumpeng
dikenal sebagai makanan masyarakat Jawa yang penyajian nasinya dibentuk kerucut
dan ditata bersama dengan lauk-pauknya.
Olahan
nasi yang dipakai ada beberapa macam yakni berupa nasi kuning, nasi putih
biasa, atau nasi uduk.
Kapitayan
ini merupakan kepercayaan asli penduduk Jawa kuno, yang memuja Tuhan yang
mereka sebut Sanghyang Taya. Arti Sanhyang Taya sendiri adalah hampa atau kosong.
Penganut
Kapitayan percaya bahwa kekuatan-kekuatan itu muncul dari titik titik tertentu.
Pada titik tertentu seperti pintu inilah yang kemudian diletakkan sesajen oleh
masyarakat kapitayan.
Sunda
Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur
dan bersatu dengan alam. Kepercayaan ini dianut oleh masyarakat tradisional
Sunda.
Ilustrasi
nasi tumpengShutterstock/triocean Ilustrasi nasi tumpeng
Wira
berujar, sejauh kita mengenal konsep gunung, masyarakat sunda punya dongeng
yaitu gunung itu lahir berdasarkan sinergi antara tata surya.
Orang
zaman dulu menyebut matahari sebagai Sang Batara Guru atau Agung, dan bumi
disebut Dewi Bumi.
Akibat
matahari dan bumi itu terus bersinergi maka muncul lah gunung. Maka bagi orang
Sunda, gunung dianggap sakral.
Jadi
orang Sunda Wiwitan mensakralkan yang namanya gunung, karena bagi mereka gunung
itu ialah Parahyang atau Gunung Agung Batara Guru.
Bentuk
tumpeng bagi orang sunda itu hampir mirip dengan matahari. Bila kuning dari
tumpeng dianggap berasal dari agama Hindu, ia menyebytkan sebenarnya tidak.
Sebetulnya
kuning tersebut jauh sebelum Hindu, disimbolkan sebagai warna matahari.
Orang
Sunda Wiwitan menaruh nasi tumpeng dengan ayam. Ayamnya tidak mati, karena bagi
mereka itu pengorbanan. Tapi ayamnya hidup, jadi nasi dan ayam.
Kapitayan Agama Bangsa Nusantara, Ajaran Tauhid yang
di bawa ketururan Adam
Leluhur
Nusantara di masa purba, telah memiliki keyakinan monotheisme, yang disebut
Ajaran Kapitayan. Adalah satu kekeliruan, jika kita beranggapan Leluhur
masyarakat Nusantara, adalah penganut animisme, penyembah benda-benda alam.
Berbagai
kajian telah dilakukan untuk mencari data tentang Etnis penghuni Nusantara,
Seperti yang pernah dibahas sebelumnya bahwa sejak jaman Perburuaan manusia
sudah mengenal keyakinan dan harapan yang menjadi cikal bakal Agama Purba.
Sejak
jaman Pleistosen akhir para penghuni Nusantara sudah mengenal peradaban yang
berkaitan dengan Agama,
Dari
berbagai hasil budaya batu purba seperti Menhir, Dolmen, Yupa, Sarkofagus, dan
punden berundak membuktikan bahwa penghuni bumi nusantara sudah mengenal Agama
dengan berbagai ritual pemujaanya berlanjut ke jaman perunggu sampai ke jaman
logam banyak ditemukan hasil galian yang berhubungan dengan penguburan mayat
dan kegiatan sosial yang mengindikasikan bahwa ada hubungan antara prilaku
sosial dan Agama pada kehidupan penghuni Nusantara.
L.Inde
vue de I’est . Cultes Indiens Etindigenes au Champa menjelaskan bahwa pada
zaman purbakala pernah terdapat kesatuan kebudayaan pada wilayah yang luas
meliputi India, Indochina, dan Nusantara termasuk kepulauan di wilayah Pasifik,
mereka percaya kepada sesuatu yang ghaib dibalik benda-benda.
Dalam
keyakinan penganut kapitayan di Jawa, leluhur yang pertama kali dikenal sebagai
penganjur Kapitayan adalah Danghyang Semar keturunan tegas dari Manusia Modern
pertama yang di turunkan ke dunia yaitu Adam.
Dalam
kitab kuno Pramayoga dan Pustakaraja Purwa Silsilah Nabi Adam sampai Danghyang
semar dijelaskan sebagai berikut :
1.
Nabi
Adam
2.
Nabi
Syis
3.
Anwas
dan Anwar
4.
Hyang
Nur Rasa
5.
Hyang
Wenang
6.
Hyang
Tunggal
7.
Hyang
Ismaya
8.
Wungkuhan
9.
Smarasanta
(Semar)
Menurut cerita, negeri asal Danghyang semar
adalah Lemuria ataw Swetadwipa, Bangsa kulit hitam dari Benua yang tenggelam
akibat banjir besar yang mengakibatkan Danghyang semar dan kaumnya mengungsi ke
Nusantara.
Danghyang
semar memiliki saudar bernama Sang Hantaga (Togog) yang hidup di wilayah lain
juga mengajarkan Kapitayan, Saudara semar yang lain bernama Manikmaya, menjadi
penguasa di Alam Ghaib yang disebut Ka-Hyang-an (Kayangan).
Secara
sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang
memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya. yang bermakna hampa, kosong,
suwung, awang uwung.
Taya
bermakna yang Absolute, yang tidak bisa dipikirkan dan dibayang bayangkan,
tidak bisa didekat dengan panca indera.
Orang
jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena Kinaya
Ngapa” yang artinya tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya.
Kata
Taya bermakna tidak ada tapi ada, tidak ada tetapi ada. Untuk itu agar bisa
dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama
dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna seutas benang, daya ghaib yang
bersifat Adikodrati.
Tu
atau To adalah tunggal dalam dzat, Satu pribadi. Tu Lazim disebut Sanghyang
Tu-nggal, Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ke-tidak baikan. Tu yang
bersifat baik disebut Tu–han dengan nama Sanghyang Wenang, Tu yang bersifat
tidak baik disebut han–Tu dengan nama Sang Manikmaya.
Demikianlah
baik Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya adalah sifat saja dari sanghyang
Tunggal yang Ghaib.
yang
besar dan luas yang telah memberi keberuntungan atau kesialan dalam kehidupan
mereka, juga percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki kedaulatan
untuk memanggil, mendamaikan atau mengusir kekuatan ghaib tersebut. luas
kepercayaan tersebut yang disalah artikan oleh Ilmuan Orientalis dengan istilah
Animisme dan Dinamisme.
Kepercayaan
yang disebut sebagai monotheisme tersebut pada hakikatnya adalah Agama Kuno
penduduk Nusantara yang dalam istilah jawa dikenal dengan nama Kapitayan.
Agama
yang sudah dianut sekian lama sejak Masa Paleolitikum hingga zaman Modern
dengan nama yang berbeda-beda di setiap wilayahnya seiring dengan perkembangan
ras manusia dan membentuk suku-suku di Nusantara,
Seperti
berbeda-bedanya bahasa di setiap suku, Nama agama ini pun menjadi berbeda-beda
di setiap wilayahnya seperti Isilah Sunda Wiwitan pada suku Sunda,
Kejawen
pada suku Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku Dayak, Ugamo Malim pada suku
Batak dan nama yang lain pada setiap suku yang berbeda sebelum datangnya
pengaruh Indus dan China pada awal abad Masehi dan membentuk kerajaan kerajaan baru
dengan agama baru.
AGAMA
KAPITAYAN
Oleh
karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat utamanya itu bersifat ghaib, untuk
memujanya dibutuhkan sarana yang bisa didekati oleh panca indera dan alam
pikiran manusia.
Demikianlah,
dalam ajaran kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan sang
taya yang mempribadi dalam Tu atau To itu mempribadi dalam segala sesuatu yang
memiliki nama Tu atau To seperti : wa-Tu (Batu), Tu-rumbuk (pohon beringin)
Tu-gu, Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak), Tu-tud (hati,limpa), To-san
(pusaka), To-peng, To-ya (air).
Dalam
melakukan puja bakti sesembahan kepada Sanghyang Taya maka disediakan sesaji
Tu-mpeng dalam Tu-mpi (keranjang anyaman bambu), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis
ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yang sifat gaibnya
tersembunyi dibalik sesuatu yang memiliki daya ghaib seperti wa-Tu, Tu-gu,
Tu-rumbuk, Tu-lang, Tu-ndak, To-san, To-ya.
Namun
untuk melakukan permohonan yang tidak baik, persembahan ini akan ditujukan
kepada han-Tu yang bernama sang Manikmaya dengan persembahan yang buruk bernama
Tu-mbal.
Berbeda
dengan persembahan sesaji kepada Sanghyang Tu-nggal yang merupakan puja bakti
melalui pelantara, para Rohaniawan kapitayan melakukan sembah–Hyang langsung
kepada Sanghyang Tu-nggal di suautu ruangan khusus bernama Sanggar, bangunan
persegi empat beratap Tu-mpang, dengan Tu-tuk (lubang) di dinding sebelah timur
sebagai lambang kehampaan Sanghyang, mengikuti aturan tertentu :
1.
Mula
mula sang Rohaniawan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tu-tuk
(lubang) dengan kedua tangan diangkat keatas menghadirkan Sanghyang taya
kedalam Tu-tud (hati), setelah merasa Sanghyang taya hadir didalam hati, kedua
tangan diturunkan di dada tepat pada Tu-tud (hati),
2.
Posisi
ini disebut Swadikep (sidakep/memegang ke-akuan diri), proses Tulajeg ini
dilakukan dalam tempo lama.
3.
Setelah
tulajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk
memandang kebawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama.
4.
Lalu
dilanjut kan dengan posisi Tu -lumpuk ( bersimpuh dengan kedua tumit diduduki )
dilakukan dalam relatif lama.
5.
Yang
terakhir, dilakukan dengan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut
ibunya) juga dilakukan dalam tempo yang lama.
6.
Setelah
melakukan sembahyang yang begitu lama itu, Rohaniawan Kapitayan dengan segenap
perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Sanghyang taya yang sudah
disemayamkan didalam Tu-tud (hati).
7.
Seorang
pemuja Sanghyang taya yang dianggap saleh akan akan dikaruniai Tu-ah (kekuatan
gaib yang bersifat positif) dan Tu-lah (kekuatan gaib penangkal negatif).
8.
Mereka
yang memiliki Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin
masyarakat dengan gelar ra-Tu atau dha-Tu.
9.
Dalam
ajaran kapitayan, para ra-Tu atau dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah
setiap gerak geriknya akan ditandai oleh Pi, Yaitu kekuatan dari sanghyang taya
yang tersembunyi itu sebabnya ra-Tu atau dha-Tu menyebut diri dengan kata ganti
Pi-nakahulun :
a)
jika berbicara disebut Pi-dha-Tu (Pi-dato)
b)
jika memberi pengajaran disebut Pi-wulang
c)
Jika
memberi petunjuk disebut Pi-tuduh
d)
jika memberi nasihat disebut Pi-tutur
e)
jika memberi hukuman disebut Pi-dana
f)
jika memancarkan wibawa disebut Pi-deksa
g)
jika meninggal dunia disebut Pi-tara
Seorang
ra-Tu atau dha-Tu adalah pengejawantahan kekuatan ghaib Sanghyang Taya,Citra
pribadi sanghyang Tunggal.
Demikianlah
ajaran yang dianut oleh bangsa Nusantara sejak zaman purba dan masih bertahan
sampai hari ini dengan nama dan cara yang berbeda seiring dengan perkembangan
ras manusia beserta kebudayaanya.
Pada
masa Modern, ajaran tersebut masih secara utuh dianut oleh sebagian masyarakat
suku pedalaman dengan istilahnya masing-masing seperti Sunda Wiwitan pada suku
Sunda,
Kejawen
pada suku Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku Dayak, Ugamo Malim pada suku
Batak.
Adapun
agama-agama yang sekarang ada adalah pengaruh dari luar yang baru datang sejak
awal Abad Masehi, seperti Agama Hindu dan Budha dari India dan China, Agama
Kristen dari Eropa, dan Agama Islam yang merupakan pengaruh dari berbagai
negeri seperti Persia, Arab, Rum, Gujarat, Tiongkok dan Champa.