MATI SAJRONING URIP
URIP SAJRONING PATI
(Kalatidha Bait Ke-12)
Bait ke-12, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita :
Sageda sabar santosa,
mati sajroning ngaurip.
Kalis ing reh aruraha,
murka angkara sumingkir.
Tarlen meleng malat sih,
Sanityaseng tyas mematuh.
Badharing sapudhendha,
antuk mayar sawetawis.
Borong angga sawarga mesi martaya.
Maknanya :
Semoga bisa sabar dan kuat,
dalam menjalani mati sajroning urip (mati dalam hidup).
Terhindar dari dari segala kerepotan,
sifat tamak dan amarah menyingkir.
Tak lain hanya memusatkan diri untuk mencari karunia (Ilahi),
senantiasa menjaga hati agar tetap patuh.
Hilangnya kutukan,
dan mendapat kemudahan seperlunya.
Serahkan diri sekeluarga untuk agar tercapai sejahtera.
Makna per kata :
Sageda = semoga bisa.
Sabar = sabar.
Santosa = kuat.
mati =pati.
Sajroning = dalam.
Ngaurip = hidup.
Semoga bisa sabar dan kuat, dalam menjalani mati sajroning urip (mati dalam hidup).
Mati sajroning urip adalah falsafat Jawa yang berarti natinya kehendak atau kepentingan diri, berganti menjadi kehendak Ilahi semata-mata. Ini adalah pencapaian yang sangat seulit bagi kebanyakan orang, mesti berlatih mengendalikan nafsu dn keinginan dengan cara bertapa dan menyepi.
Kalis (terhindar) ing (dari) reh (segala) aruraha (kerepotan), murka (tamak) angkara (amarah) sumingkir (menghindar).
Terhindar dari dari segala kerepotan, sifat tamak dan amarah menyingkir.
Karena sudah mati dalam hidup, maka segala ambisi dan keinginan, yang merupakan biaang dari segala kerepotan menjadi hilang. Terhindar dari nafsu tamak dan amarah. Dua yang terakhir ini menyingkir karena sudah tidak kita butuhkan lagi.
Tarlen (tak lain) meleng (konsentrasi, fokus) malat (mencari) sih (sayang, karunia), sanityaseng (senantiasa) tyas (hati) mematuh (patuh). Tak lain hanya memusatkan diri untuk mencari karunia (Ilahi), senantiasa menjaga hati agar tetap patuh.
Hidupnya sekarang hanya untuk mencari kasih sayang Ilahi, segala tindak-tanduk fokus menuju karuniaNya. Senantiasa menjaga hati agar tetap dalam keadaan patuh dan tunduk.
Badharing (hilangnya) sapudhendha (hukuman, kutukan), antuk (mendapat) mayar (kemudahan) sawetawis (seperlunya). Hilangnya kutukan, dan mendapat kemudahan seperlunya.
Jika kita sudah ikhlas dalam menjalani kehidupan sebagai hamba Allah, maka hilanglah kutukan dalam diri kita, hilanglah segala bala’ dan hukuman. Segala kesulitan menjadi ujian yang mendatangkan pahala, menjadi peringatan agar kita hati-hati dan tetap fokus.
Bahwa seseorang yang sudah membaktikan diri untuk mendekati Tuhan maka Dia akan memberi jalan kemudahan, tetapi tetaplah petunjuk yang diberikan dalam batas sewajarnya. Kedekatan dengan Tuhan tidak lantas membuat kita menjadi istimewa dalam tatanan hukum alam. Mentang-mentang dekat dengan Tuhan lantas kita dimanja, tidak demikian. Karena sesungguhnya dunia dan seisinya diciptakan agar menjadi alat belajar tentang-Nya. Maka setiap proses mesti dilalui dengan sewajarnya.
Borong (serahkan) angga (diri) sawarga (sekeluarga) mesin (memuat, berisi) martaya (sejahtera). Serahkan diri sekeluarga untuk agar tercapai sejahtera.
Pasrah atas semua yang akan terjadi, menyerahkan diri agar kehidupan menjadi sejahtera, terhindar kerepotan yang tak perlu, hati menjadi tenang karena kepatuhan kepada Sang Pencipta.
Gatra terakhir ini juga memuat sandi asma, yakni nama yang disembunyikan. Perhatikan suku kata yang berhuruf besar jika dikumpulkan akan membentuk nama Ronggowarsito.
Demikian makna kajian serat Kalatidha. Semoga memberi manfaat kepada para pembaca yang berkenan mampir ke blog ini. Saya doakan Anda semua panjang umur, murah rejeki dan berhati tenang di akhir kehidupan, sebagaimana yang telah dicapai oleh sang pujangga Ki Ranggawarsita.
FALSAFAH KEMATIAN SANG PUNTADEWA / YUDHISTIRA
(MATI SAJRONING URIP, URIP SAJRONING PATI)
Ungkapan bahasa Jawa, Mati sajroning urip, urip sajroning pati artinya mati dalam hidup, hidup dalam mati. Merupakan penggambaran santun, indah dan adiluhung tentang falsafah kematian ini ada dalam sosok Puntadewa. Puntadewa merupakan nama lain dari Yudhistira. Ia merupakan putra tertua pasangan Pandu dan Kunti, pewaris takhta Dinasti Kuru.
Asal-usul Yudhistira berawal dari Pandu yang berburu dan membunuh dua pasang rusa yang sedang bersenggama. Pandu tidak tahu bahwa rusa itu adalah jelmaan Rsi Kindamatanpa.
Menjelang ajalnya, Rsi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika bersetubuh dengan istrinya.
Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan takhta Hastinapura dan memulai hidup sebagai petapa di hutan untuk mengurangi hawa nafsu.
Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya. Setelah lama tidak dikaruniai keturunan, Pandu mengutarakan niatnya untuk memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredayassegera mewujudkan keinginan suaminya.
Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil Dewa untuk mendapatkan putra. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putra darinya tanpa melalui persetubuhan.
Putra pertama itu diberi nama Yudhistira. Dengan demikian, Yudhistira menjadi putra sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu Dewa Keadilan dan Kebijaksanaan.
Versi lain dalam pewayangan Jawa, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di Istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan Dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti.
Kedua versi menggambarkan sosok Puntadewa sebagai seorang berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran. Dewa Dharma adalah simbol Kedewataan yang mewakili kebenaran dan keadilan.
Kelahiran Puntadewa melalui ubun-ubun berhubungan dengan cakra paling atas yaitu cakra sahasrara atau mahkota. Segala hal yang berkaitan dengan kesucian diri berada di cakra tersebut.
MATI SAJRONING URIP URIP SAJRONING PATI
Bagian cerita yang paling tidak disukai banyak orang adalah ketika Puntadewa berjudi dengan Sengkuni yang mewakili pihak Kurawa. Yudhistira kalah berjudi dan telah mempertaruhkan segalanya, mulai dari kerajaan, adik-adiknya, bahkan istri tercintanya.
Cerita ini adalah simbol tentang pengorbanan ego. Untuk menyelami kebenaran sejati, maka kesenangan, kepentingan diri, segala kepemilikan, bahkan nama baik, itu semua mesti dikorbankan.
Dalam bahasa Jawa, hal itu diungkapkan dalam mati sajroning urip, urip sajroning pati. Kematian di sini adalah matinya ego. Secara praktis adalah seperti berkeinginan untuk hidup bahagia dan tenteram. Semakin seseorang menginginkan kebahagiaan dan ketenteraman, maka semakin seseorang itu jauh dari kebahagiaan dan ketenteraman.
Hal itu karena kualitas sejati mesti bebas dari ego. Selama berkutat pada pola kepentingan ego yang sama, maka seseorang tidak akan beranjak ke mana-mana juga. Merasa nyaman dengan tidak beranjak ke mana-mana, inilah kebodohan batin.
Swami Vivekananda pernah berujar, Kebodohan disebabkan oleh egoisme, keterpikatan, kebencian, dan ketamakan. Ego adalah asal mula dari ketidakbahagiaan dalam hidup.
Orang yang selalu mati dalam hidup adalah orang yang senantiasa menjaga diri dengan membuang egonya. Hidupnya akan selalu tenteram dalam setiap perjalanan hidupnya.
NGLAKONI MATI SAJRONING URIP
Dalam falsafah Jawa ungkapan nglakoni mati sakjroning urip rasanya tidak terlalu asing. Ungkapan itu sendiri bermakna bahwa seyogyanya manusia bisa mematikan segenap hawa nafsunya dalam menjalani kehidupan. Kehidupan yang penuh dengan dinamika berupa pahit getir dan susah senangnya.
Di sini manusia dituntut sabar dan tawakal terhadap takdir Tuhan. Bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah tercatat jauh-jauh hari sebelum dunia ini diciptakan. Manusia hanya wenang usaha atau ikhtiar. Sehingga apapun yang terjadi, terutama saat ditimpa cobaan tidak terlalu hanyut dan larut sehingga menyalahkan Tuhan. Susah senang dianggap adalah kembang kehidupan yang mesti dijalani. Semua adalah fana tak abadi, sekarang senang besok susah dan sebaliknya, sekarang kaya besok miskin.
Sebenarnya ungkapan nglakoni mati sajroning urip sejalan dengan sebuah hadist Rasulallah selepas perang Badar :
Bahwa perang fisabilillah (di jalan Allah) yang paling besar adalah melawan hawa nafsu yang ada di dalam dada manusia.
Perlu diketahuii, bahwa di dalam diri manusia terdapat empat nafsu, yakni: lauwamah, amarah, sufiyah dan mutmainah. Nafsu lauwamah kekuatannya meliputi nafsu makan sehingga melupakan segala pekerjaan. Nafsu amarah punya kecenderungan mendengki sembarang pekerjaan orang lain. Nafsu sufiyah berkekuatan mempengaruhi orang untuk memenuhi hasratnya. Sedangkan nafsu mutmainah adalah nafsu yang mulia bertempat di hati sanubari yang bersifat sabar, tawakal, beriman dan beritikat selamat. Dalam diri manusia senantiasa terjadi pertarungan antara nafsu mutmainah melawan ketiga nafsu lainnya. Jika manusia menuruti nafsu mutmainah dan mengalahkan nafsu lainnya maka selamatlah dunia akhirat. Dan sebaliknya, jika di dalam dadanya nafsu mutmainah terkalahkan oleh ketiga nafsu lainnya, sudah pasti terjeruslah manusia ke dalam kesengsaraan.
TIRAKAT EMPAT LAKU TAPA
Dalam serat Centhini Tambangraras Amongraga karya Ngabehi Ranggasutrasna dkk, disebutkan bagaimana caranya agar manusia mampu memenangkan perang melawan hawa nafsu.
Manusia mestinya menjalankan empat macam ulah tapa :
1. Ulah tapa yang pertama adalah menerima kasih sayang Allah. Apa yang diperintah Allah sudah semestinya dijalankan dan yang dilarang harus ditinggalkan.
2. Tapa yang kedua disebut Geniara. Maksudnya, bertahan terhadap api. Artinya, bila seseorang dibakar hatinya dengan kata-kata yang tidak mengenakkan maka selayaknya hati tetap tenang dan teguh, baik berupa gunjingan, fitnah maupun hinaan yang menyakitkan.
3. Tapa yang ketiga disebut Banyuara. Yakni bertapa dengan cara menghanyutkan diri terbawa arus. Artinya, manusia mestinya senantiasa menaati nasihat kebenaran dari sanak kerabat dan menutup-nutupi hal-hal yang membuat mereka malu. Di jawa ungkapan ini dikenal dengan istilah mikul duwur mendem jero.
4. Tapa keempat disebut Ngluwat. Yakni bertapa dengan cara memendamkan diri dalam tanah. Artinya tidak suka menonjolkan diri dengan memperlihatkan kebaikan dan lakunya sendiri. Hal itu semestinya ditutup rapat. Lagi pula, seyogyanya seseorang bersikap rendah hati dan sabar, serta mengalah dalam perselisihan.
Memang menjalankan semua itu tidaklah mudah. Tapi kita mesti sadar bahwa urip mung sepisan kanggo saklawase . Hidup sekali di dunia adalah wahana bercocok tanam yang akan jadi bekal selamanya di akhirat kelak. Akhirnya, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi.
MATI SAJRONING URIP
VERSI SINDHUTAMA
Paradoks
Hujan angin terus mengguyur bumi Sukowati.
Angin yang belakangan datang juga mengusik tiap rumah untuk waspada.
Bencana datang begitu saja menerpa manusia bagai semut kecil terkena riak banjir.
Tak jarang nyawa melayang begitu saja.
Seperti begitu fananya dunia.
Terkadang jika mau merenung lebih mendalam angin.
Dan air tidak berposisi sebagai ciptaan yang berkehendak.
Apapun yang dihempaskan karena ketaatan mutlak pada Sang Empunya dzat.
Lalu manusia yang punya kehendak menyalahkan ciptaan yang taat.
Sindhunata adalah Romo katolik yang pernah mengelaborasi ilmu ini dan dilahirkan kembali dalam Puisi Ngelmu Pring termuat dalam Air kata-kata.
Baitnya :
Golekana isine wuluh sungsang, dadio isi sajroning suwung”
Artinya :
Wong urip iku tujuane ming mati, sukur isa mati sajroning urip, iku luih mulya.
Artinya :
Orang hidup itu tujuan pastinya cuman satu meninggal, terlebih bersyukur lagi jika bisa meninggal sebelum hidup, itu lebih mulia hidupnya.
Tentu mulia yang dimaksud bukanlah soal material, lebih menekankan pada hakikat hidup yang lebih berdimensi spiritual dan rohaniah.
Hakikat pencapaian hidup orang Jawa adalah soal Kewajaran hidup, tidak terlalu ambisius, nggragas dalam mengejar-ngejar dunia, biasa-biasa saja tidak perlu berlebihan.
Proses untuk terus menerus mematikan nafsu inilah yang disebut mati dalam falsafah diatas. Kematian keinginan, yang ketika nyawa hendak meninggalkan tubuh sudah ikhlas tidak terhalangi apalagi kencintaan berlebihan pada dunia.
Ada 5 syarat untuk nggayuh , kelimanya tentu hanyalah simbol ada subtansi yang lebih mendalam dari sebuah syarat yang dijalankan. Manusia Jawa sekarang kebanyakan dianggap klenik, karena mereka hanya menjalankan ritual bukan memahami lalu menjelaskan esensi dari sebuah ritual. Dan makna dari simbologi Jawa kembali tergerus, manusia semakin mentah dalam memahami Jawa.
Syarat nggayuh mati sajroning urip :
1. Poso, upawasa, Puasa.
Ini adalah yang paling lazim karena tidak ada yang menolak aktivitas ini. Kalau puasa dianggap hanya menunda lapar pagi sampai sore bahkan kedokteran modern mengulas berbagai kebaikannya. Esensinya adalah menahan keinginan, ngerem, disini dilatih fisik kita minimal untuk tetap sehat dikala menahan lapar seharian. Substansinya banyak hal, bisa menahan nafsu seksual, nafsu berkuasa, nafsu membunuh dst.
2. Melek Wengi.
Mata terus terjaga minimal sampai tengah malam, lalu bangun sebelum matahari terbit. Ini laku supaya waspada, apalagi jika pikiran dipantik untuk berpikir mendalam, yang tidak kuat akan mis-fokus, bahkan sama sekali tidak mampu mengikuti obrolan. Jika didalam wayang jam1-2 waktu inilah intisari ilmu dalam sebuah lakon wayang diberikan, limbukan dan goro-goro hanyalah jamu supaya tidak ngantuk.
Kalo lelaku ini semua yang pernah maiyahan jangan ditanya, mereka sudah pasti kuat, bahkan bermalam-malam mbah Nun melakoni seperti ini.
3. Kungkum.
Saya kadang agak risih juga ketika ada orang kungkum disebuah sendang/sumber air dikira mistik, klenik dan macem-macem, sementara mereka yang berendam spa atau Yoga bermedia air dikota-kota besar diiyakan, bahkan dikomersilkan. Padahal esensinya sama relaksasi pikiran, setelah itu penyegaran tubuh. Dan memusatkan fokus pada Gusti.
Kungkum esensinya seperti itu. Ada aliran air baru yang membawa kesegaran, dan membiarkan aura negatif hilang bersama air. Supaya manusia terus menerus berinstropeksi, dan tidak menyimpan luka, dendam atau apapun, keikhlasan dalam menjalani hidup.
4. Pati Geni.
Ini agak ekstrim memang, mbah-mbah dahulu sampai membuat lobang dibawah tempat tidur supaya terhindar dari sinar matahari., tapi Pati Geni esensinya adalah meredam api amarah, supaya lebih sareh, lebih sabar tidak gampang emosional.
5. Lelaku Ngrame.
Ini yang berlaku seumur hidup supaya sepanjang hidup selalu bermanfaat untuk orang lain
Latihan laku ini kadang sebulan penuh berjalan kesuatu tempat, tidak boleh tidak menolong jika ditengah perjalanan menemukan mereka yang harus ditolong. Tidak mudah menjalani laku ini, apalagi menerapkannya seumur hidup.
Dan dari kelima laku tadilah menurut simbah saya, baru menuju Mati Sajroning Urip, menjadi manusia yang wajar, yang penuh welas asih, yang tidak tegaan, yang tidak pendendam namun biasanya malah malati kalo dijahati orang lain, yang pencapaian hidupnya bukan keduniawian namun Gusti, yang harta bendanya tidak untuk diri sendiri namun kelebihannya untuk memberi mereka yang kekurangan, membantu mereka yang membutuhkan. Lalu matinya hasrat duniawi benar-benar berarti bagi esensi hidup itu sendiri.
Hingga kelak jika memang menuju kematian yang diniscayakan, kita tinggal mendengar disela isak tangis, apakah ada rerasan yang baik yang kita tinggalkan diatas kubur makam kita.
MATI SAK JERONING URIP
(TASAWUF JAWA)
Mati sak jeroning urip atau mati dalam hidup, adalah suatu ungkapan yang sangat dalam maknanya. Ungkapan ini seringkali dirangkai dengan ungkapan berikutnya, urip sak jeroning mati, dan tahap pembelajarannya mengikuti ungkapan yang telah dibahas sebelumnya, yaitu tapa ngrame, bertapa di tengah keramaian.
Dari kecil saya sudah pernah mendengar ungkapan tersebut. Beranjak dewasa saya makin sering mendengar diucapkan oleh orang-orang tua yang menganut faham Kejawen, bahkan pernah beberapa kali mendengar diucapkan sebagai cangkriman, sebagai tebak-tebakan, yang terkesan menunjukkan kehebatan ilmu kebatinan yang bersangkutan.
Faham Jawa khususnya Islam Kejawen meyakini adanya 5 (lima) kekuatan elemen pengembaraan manusia.
Elemen Pertama, adalah Elemen Asal yang disebut Alam Ruh. Di Alam Ruh ini semua ruh berkumpul. Jika Gusti Allah berkehendak menugaskan satu ruh untuk turun ke bumi, maka diperintahkan dewa atau malaikat meniupkan ruh ke dalam janin seorang ibu yang merupakan Elemen Kedua. Sebelum ditiupkan, dibuatlah perjanjian antara ruh dengan Gusti Allah tentang keesaan Tuhan (Sang Hyang Tunggal), tentang kemahakuasaan Allah (Sang Hyang Wenang), tentang pengertian baik dan buruk, tentang tugas-tugas di dunia dan alam raya. Bagaikan sebuah pertunjukkan sandiwara, Sang Dalang Maha Sutradara memberikan penerangan yang gamblang mengenai peran yang akan dilakoni oleh sang ruh, dan semua itu dituliskan dalam sebuah kitab yang dalam cerita wayang dijaga oleh para dewa yang dipimpin Betara Indra, sedangkan yang kuat keislamannya meyakini dijaga malaikat.
Kelahiran Sang Jabang Bayi membawa ruh memasuki Elemen Ketiga yaitu kehidupan di dunia. Di Elemen Ketiga manusia diuji apakah taat dan teguh dalam perjanjian, serta menjalankan peran sesuai skenario yang telah digariskan. Untuk itu Gusti Allah memberikan mandat kepada setan jin peri perayangan buat menggoda. Menciptakan hawa nafsu serta pesona dunia guna menguji apakah manusia goyah imannya atau tidak. Apakah kita benar-benar memainkan peran dengan baik selaku khalifatullah fil ard, selaku wakil dan utusan Sang Pangeran Yang Maha Agung, ataukah lalai lantaran asyik sendiri bersama rayuan setan dan buaian hawa nafsu, tenggelam dalam gemerlap pesona dunia.
Asyik sendiri dalam godaan harta, tahta, kekuasaan dan sang rupawan.
Apakah tatkala singgah sejenak untuk mampir ngombe (singgah untuk minum), kita amemayu hayuning bawana melestarikan dan menegakkan rahmat bagi alam semesta dengan segenap isinya, ataukah justru menghancurkannya, menebang hutan, mengaduk bumi, menggempur gunung sesuka kita, membunuh sesama makhluk guna memuaskan dahaga angkara murka dan keserakahan.
Kematian membawa jiwa kita, yaitu hasil sinergi ruh dan tubuh memasuki Elemen Keempat di Alam Kubur. Di sini kita boleh beristirahat sejenak sambil menunggu pengadilan akhirat. Tentang Elemen Keempat ini, faham Jawa terbelah dalam dua aliran :
1. Pertama, aliran yang mempercayai bahwa ruh orang yang sudah meninggal dapat menyaksikan perilaku ahli warisnya di dunia, bahkan masih dapat berkomunikasi secara gaib. Ia juga membawa serta berbagai kesaktian dan kekuatan gaibnya yang dimiliki selama hidup di dunia, sehingga keturunannya di samping harus tetap berbakti, juga bisa meminta restu dan pertolongan darinya. Sedangkan meminta tolong kepada ruh maupun balatentara Allah yang gaib, menurut penganut faham ini adalah perkara tolong-menolong biasa di antara sesama hamba Allah dan tidak berarti menyekutukan Allah.
Aliran kedua berpendapat, orang yang sudah meninggal bisa melihat seni peran ahli warisnya di Elemen Ketiga, namun sudah tak berdaya memperbaiki dengan mengulang kembali seperti anak sekolah ikut ujian ulangan. Bahkan buat memoles wajah dunianya, yang dapat memperbaiki serta menambah nilai atas seni perannya sewaktu di Elemen Ketiga, hanyalah ilmunya yang bermanfaat bagi makhluk Allah yang lain, sedekah jariah dan doa anak-anaknya yang soleh.
2. Kedua aliran tersebut memiliki persamaan dalam berbakti kepada keluarga yang sudah meninggal, oleh karena itu mereka sama-sama senang melakukan ziarah kubur dan mengirim doa dengan tahlilan serta membacakan Surat Yaasiin.
Tatkala Sangkakala ditiup, maka peradilan Tuhan dimulai, sepak terjang kita selama di Elemen Ketiga dinilai. Vonis dijatuhkan dan kita harus melanjutkan perjalanan ke Elemen Kelima, yaitu Kampung Akhirat yang terdiri dari dua bagian, yaitu :
1. Surga.
2. Neraka.
Inilah perjalanan manungsa menerima vonis dengan kunci rumah akhirat kita, apakah Istana di surga dengan pesona abadinya, ataukah neraka jahanam.
Kembali pada ungkapan mati sak jeroning urip, ungkapan ini merupakan sesanti sekaligus pepeling, merupakan nasihat sekaligus peringatan bagaimana kita berperilaku di Stasiun Ketiga, agar kelak kita bisa membangun Istana Akhirat dalam keabadian kita, yakni urip sak jeroning mati (hidup dalam kematian). Orang yang mati, tidak berarti tamat sama sekali kehidupan ruhnya. Ia hanya pindah dimensi, yang keadaannya ditentukan oleh amal perbuatannya tatkala di dunia.
Kehidupan di dunia dibandingkan dengan kehidupan di alam keabadian, diibaratkan Kanjeng Nabi Muhammad bagaikan seorang musafir yang singgah sejenak untuk istirahat minum. Tetapi meskipun hanya sejenak, banyak hal bisa terjadi. Godaan setan, hawa nafsu dan pesona dunia bisa membuat kita mabok duniawi, melupakan Sang Khalik berikut misi dan peran yang diamanahkan untuk kita kerjakan sewaktu dalam persinggahan.
Selama di dunia, orang harus memilih seperangkat pakaian dengan segala perhiasannya, dari dua perangkat yang ada. Satu perangkat terlihat sangat gemerlap dan sering dikenakan oleh sebagian besar penguasa. Perangkat ini penuh dengan pernik-pernik antara lain :
1. Kemungkaran.
2. Takabur.
3. Ujub.
3. Riya.
4. Kemunafikan.
5. Berbagai sifat yang dalam tata kehidupan dikategorikan sebagai hal buruk.
Perangkat yang satunya lagi terlihat amat sederhana dengan pernik-pernik misalkan :
1. Kema’rufan.
2. Tawadhu.
3. Dzikrul minnah atau ingat jasa Allah.
4. Ikhlas.
5. Sabar.
6. Tawakal.
7. Taat serta berbagai sifat yang dikategorikan baik.
Dengan pakaian itu ia kemudian dihadapkan pada berbagai pesona dunia seperti harta, tahta dan daya tarik lawan jenisnya. Selanjutnya digoda oleh panas dan dingin, lapar dan haus, nikmat dan sengsara, sedih dan bahagia, kesulitan dan kemudahan, keraguan dan keyakinan.
Demi membentengi manusia agar tidak melalaikan amanah yang diembannya, dan agar ia senantiasa tegar menjejakkan langkahnya pada jalan menuju dekapan kasih sayang Allah, ia dibekali mantera hakekat :
Inna shalaati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi Rabbil ‘alamin .
Artinya :
Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku, semata-mata hanya bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Inilah bekal utama para musafair dalam menapaki jalan tasawuf, jalan sufisme. Dengan bekal ini, meskipun ia harus mengemban amanah menebarkan rahmat bagi alam semesta dan segenap isinya, tapi dunia dan akhirat sama saja baginya.
Pesona dunia dengan pakaiannya yang gemerlapan serta berbagai godaan, takkan menggangu langkah-langkahnya untuk senantiasa tekun dan menaati skenario perjalanannya. Karena dunia dan akhirat hanyalah makhluk Allah jua. Dengan keyakinan yang teguh seperti itu, ia memotong dan menghancurkan nafsunya dari segala ketergantungan dan sifat tercela, serta berpaling dari segala makhluk, sampai ia mati dari nafsunya dalam keadaan hidup. Ia menjadi suwung, jiwanya bagaikan berada di alam kekosongan, lantaran ia telah mati sak jeroning urip, mati dalam hidup. Semua apa yang dipikirkan dan dikerjakan, semua apa yang dimiliki sebagai titipan Allah, sungguh semata-mata karena dan bagi Allah. Hidup dan matinya, apa yang ada dalam pikirannya, apa yang dikerjakan semata-mata karena Allah. Sementara pikiran, perbuatan dan badan kasarnya bergerak, jiwanya kosong dari segala pesona dunia yang bisa membuatnya menjadi tawanan hawa nafsu dan setan.
Itulah makna hakiki dari ungkapan tadi. Semoga kita semua dianugerahi taufik dan hidayah untuk menghayati serta mengamalkannya, sehingga kita dapat senantiasa dengan mudah menghambur dalam pelukan Sang Maha Pengasih.
MATI SAK JERONING URIP
VERSI SUNAN KALIJAGA
Man arafa nafsahu faqod arafa rabbahu...
(Kenali dirimu maka kau akan mengenal Tuhanmu).
Sunan kalijaga merupakan wali yang paling populer ditanah jawa disamping Syeh Siti Jenar. Ayahnya adalah Arya Wilatikta adipati Tuban. Nama Kalijaga terkait dengan tradisi wali. Juga sering dikaitkan dengan nama sebuah desa Kalijaga di Cirebon. Kalangan Jawa mengkaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (berjaga,kungkum) di sungai (kali) atau jaga kali.
Sunan Kalijaga merupakan salah seorang perancang Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Agung Demak. Tiang tatal (pecahan kayu) yang menjadi salah satu tiang utama mesjid merupakan kreasinya.
dalam pola dakwahnya, punya pola yang hampir sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung bersifat sufiistik berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Dengan demikian, ia terkesan sinkretik dalam mengenalkan islam. Ia menggunakan seni ukur, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta :
1. Baju Taqwa.
2. Perayaan Sakatenan.
3. Grebeg Maulud.
4. Layang Kalimasada.
5. Lakon Wayang Petruk Dadi Ratu.
Sunan Kalijaga juga mencipta karya tulis :
1. Serat Dewa Ruci.
2. Suluk Linglung.
Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta mesjid merupakan gagasan sunan kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk islam melalui Sunan Kalijaga. Diantaranya adlah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Wejangan Beliau yang berupa lagu atau macapat :
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki
Artinya :
Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya, Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.
Artinya :
Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya
Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami
Artinya :
Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku
Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.
Artinya :
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi
Artinya :
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Artinya :
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup
Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya / Sunan Kalijaga den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.
Artinya :
mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian.
Syeh Malaya / Sunan Kalijaga, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal Gusti Allah dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut mati sajroning ngahurip dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Yang Berupa Lagu dolanan Adalah :
Ilir-ilir
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Artinya :
saat yg tepat untuk menyambut pengantin baru,
kita inilah mempelai baru itu, yg siap dan akan dikawinkan dengan kekasih kita tercinta,yakni Tuhan semesta alam. istilah perkawinan ini penggambaran yg paling tepat dari 'manunggaling kawula gusti', dan sangat lazim digunakan dlm bahasa2 muthasabiat di kitab2 agama samawi,.
Bocah angon, bocah angon
Penekna belimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna
Kanggo mbasuh dodod iro
permintaan tolong pada seorang gembala untuk memetik buah belimbing, walaupun susah permohonan itu terus dimintakan
Artinya :
gembala dlm pemahaman disini lebih kepada makna muthasabiat yakni menggambarkan sosok juru selamat, guru mursyid ataupun rasul,.
belimbing adalah sebuah simbol pengetahuan tentang ilmu ketuhanan.
sangat tepat kalo permintaan tolong itu dimintakan pada mereka, karena merekalah yg pegang kuncinya.
Dodod iro, dodod iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana, jlumatana
Kanggo seba mengko sore
Artinya :
ini lebih pada penggambaran tentang tubuh yg fana ini, istilahnya: 'wanita' atau sapi betina(al baqarah), muncul diskriminasi pada wanita karena kurangnya pemahaman pada makna2 tersebut, yg muthasabiat di baca letter lux, yg mukhamat dibaca muthasabiat, maknanya jadi kebalik2.
bait ini menggambarkan tentang pakaian yg sudah sobek2, dan dalam proses penjahitan lagi karena akan dipakai untuk pesta nanti.
ya, ini ttg gambaran diri kita, yg kotor,kumuh,kucel maka perlu pembersihan untuk sekedar pantas menyambut "hari Tuhan", pertemuan itu.
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak’a, surak “hiyoo”
Artinya :
mumpung waktu dan kesempatannya masih ada dan terbuka,
tunggu apa lagi, mari kita berpesta,..bersorak dan bergembira
Wawasan tentang wejangan ini :
1. Bait pertama lir ilir : Tumbuhnya Iman dan Makrifat yang dalam kitab Al Hikam karaya Ibnu Athoillah, diibaratkan sebagai datangnya hari raya / kehidupan baru, dimana manusia kembali dalam keadaan nol.
2. Bait kedua, "cah angon........dst": jadi pemimpin itu seyogyanya seperti penggembala, yaitu berada diposisi belakang dan mendahulukan gembalaannya,
"penekno blimbing kuwi.......dst": blimbing mempunyai lima larit, dalam artian, untuk sampai ke maqom HAQIQOT, tetap harus melalui maqom SYARI'AT. dan sak haqiqot-haqiqote manusia tetap tidak boleh meninggalkan syariat bukankah Nabi SAW. sebagai orang yang paling tinggi derjat ruhaninya tetap melaksanakan syari'at. karena syari'at ibarat lautan.
3. BAit ketiga "dodot iro....dst": dalam maqom fana' (sirno saking mahluq lebur marang Allah) biasanya seseorang dalam kondisi "majdzub", atau yang istilah fiqih tetap disebut dengan "junun", dalam maqom seperti inilah yang kemudian muncul istilah sufi yang kontroversial, yaitu "manunggaling kawulo iing Gusti", sebenaranya istilah ini hanya merupakan sebuah cetusan ilustras dariiseorang salik akan hilangnya kesadaran diri tentang "aku" (laa anaa illa huwa) atau lebih dekat lagi ( laa anaa illa anta) / (fana' fillah) maqom fana' ini bukan maqom puncak, karena masih ada lagi atasnya, untuk menyempurnakan maqom ini, yaitu maqom baqo, yang merupakan kembalinya kesadaran seorang salik akan kehambaannya.
(hamba adalah hamba, Tuhan adalah Tuhan). maqom baqo' ini Oleh Imam Ghozali juga disebut dengan (fanaa'ul fanaa'). Hilangnya sifat kedirian, sekaligus kembalinya kesadaran akan sifat hamba.
4. Bait ke empat "mumpung padhang rembulane...dst"; mumpung masih banyak Guru / Syaikh yang membimbing, maka jangan sia-siakan kesempatan ini.