Trahing kusumo REMBESING madu
Bahwa salah satu sifat yang mesti
dimiliki oleh seorang raja dari pemerintahan tradisional zaman dulu itu
diantaranya adalah harus berdasarkan kepada hubungan garis pertalian darah yang
disebut di atas yakni :
Trahing Kesumah, Rembesing Madu,
Wijining Tapa, dan Tedhaking Andanawarih; yang artinya bahwa seorang raja yang
diangkat mesti dari keturunan ningrat (kesumah / bunga) atau bangsawan, tapa /pertapa
/alim ulama, berwawasan agama, dan berasal dari keturunan pilihan utama.
Trahing kusumo rembesing madu yen diterangake
ing leterleg yaiku keturunan madu bunga lan uga interpretasi ing ukara kasebut,
nanging ing paling ora artine sing paling umum yaiku keturunan wong sing mulya.
Nguripake kusumo ngresiki madu kaya-kaya
wis njamin yen saben baris kasebut mesthine wong apik lan apik lan adabnya apik
agama, kabeh.
Trahing kusumo rembesing madu jika di
artikan secara harfiah adalah keturunan bunga tirisan madu. dan bayak pula tasiran
di balik kata-kata tersebut, namun paling tidak makna yang paling umum adalh
keturunan orang yang mulia.
Trahing kusumo rembesing madu seakan
sudah menjadi jaminan bahwa setiap yang lahir dari garis keturunan tersebut
pastilah orang yang baik yaitu baik etika, tikah laku, perbuatan, berbudi
pekerti, ucapan, moral, akhlak dan adabnya, baik agamanya, baik segalanya.
dalam Islam Trahing kusumo rembesing madu tak menjadi patokan atau ukuran
tinggi derajat seseorang, tetapi patokan seseorang dalam islam adalah ketakwaan
pada Allah Swt tak berlaku semulia apapun nasabnya di mata orang, jika dia tidak
bertakwa, tidak berakhak mulia, tidak berbudi pekerti, tidak baik perbuatannya
serta perkataannya maka tiada artinya.
Jadi dasar berlakunya aturan itu adalah trahing
kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih dan bobot,
bibit, bebet.
1. Bibit
dari rahim siapa ia mbrojol.
2. Bebet
bagaimana kualitas keluarganya.
3. Bobot
seberapa besar kekuatan finansial keluarganya.
Kehidupan masyarakat Jawa Kuno secara
sosiologis dibagi menjadi tiga golongan,yaitu :
1.
Begawan.
2.
Bangsawan.
3. Kawula Dasih.
Golongan begawan tinggal di pertapaan,
meninggalkan duniawi dan mengarungi laku batin. Adapun golongan bangsawan Jawa
kuno merupakan trahing kusuma rembesing madu yang memiliki tekad dan pengabdian
yang kokoh. Demi kedamaian negara dan dunia, mereka rela rawe-rawe rantas malang-malang
putung, meski harus mengorbankan jiwa dan raga. Sedangkan golongan kawula dasih
terdiri atas beraneka ragam bidang profesi seperti pertanian, pertukangan, dan
perdagangan. Pertanian Jawa memang terkenal loh jinawi. Bidang pertukangan
dikerjakan oleh kaum teknokrat dan teknolog sehingga mencapai sehingga mencapai
hasil maksimal nan bernilai abadi. Sebagai contoh adalah mahakarya Candi
Borobudur dan Prambanan. Di wilayah pesisir, masyarakat memutar roda bisnis dan
perdagangan. Semua profesi yang dilakukan oara kawula dasih ini berjalan secara
berkesinambungan sehingga terwujudlah negara yang aman nan tenteram.
Hubungan tripartit antara, untuk
dikeramatkan merupakan 3 hal yang integral dalam wacana kekuasaan :
1.
Derajat.
Derajat,
kedudukan, atau status merupakan wujud kekuasaan.
2.
Harta.
Harta adalah
sarana untuk menegakkan dan memperluas kekuasaan, sedangkan kehendak untuk
dikeramatkan adalah suatu cara untuk melanggengkan kekuasaan dengan
menempatkannya di tempat yang tidak mudah dijangkau dan diselubungi oleh tabir
misted . Meskipun demikian, kekuasaan tidak lantas dianggap abstrak.
3.
Kehendak.
Kekuasaan itu
ada, terlepas dari orang yang mungkin mempergunakannya. Kekuasaan bukan suatu anggapan teoretis
melainkan suatu realitas yang benar-benar ada .
Menurut Anderson,
1986 : 51 kekuasaan adalah daya bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam
semesta.
TRAH
Trah memiliki makna garis keturunan,
yakni garis yang menghubungkan seseorang dengan orang lain yang memiliki
pertalian darah, baik ke atas maupun ke bawah. Pertalian darah ke atas dalam
pengertian hubungan seseorang dengan ayah-ibu, nenek-kakek, nenek buyut-kakek
buyut, dan seterusnya. Adapun pertalian darah ke atas dalam pengertian hubungan
sesorang dengan anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Pada mulanya dalam tradisi
Jawa, trah menduduki posisi penting, bahkan dalam beberapa hal sangat penting.
Praksis trah tumbuh, hidup, dan menunjukkan eksistensinya di antara para
keturunan raja (sultan) dan priyayi. Trah pun kemudian dipandang sebagai rujukan
tatkala hendak menentukan strata sosial, bahkan kualitas personal. Seiring
dengan berjalannya waktu dan berkembangnya sebuah keluarga atau yang dalam
lingkungan kekuasaan kerajaan lazim disebut dinasti, trah mengalami
perkembangan dan pelebaran cakupan. Ia tidak hanya hadir dalam sebuah garis
keturunan yang jika digambarkan dalam sebuah diagram menampakkan garis tegak
lurus, melainkan berkembang secara diagonal, bahkan horizontal.
Trah menjadi faktor yang paling
menentukan dalam tradisi kerajaan Jawa. Raja adalah keturunan ratu-ratu
(trahing kusuma), yang di dalam dirinya mengalir kualitas prima (rembesing
madu), keturunan pertapa/orang hebat (tedhaking amaratapa). Legitimasi untuk
menjadi seorang raja dibuktikan dengan ikatan genealogi leluhur raja. Lawan
dari trahing kusuma, rembesing madu, tedhaking amara tapa adalah tedhaking
aceplik atau tedhaking wong pidak pedarakan yang berarti keturunan rakyat
jelata. Berbeda dari trahing kusuma, mereka dianggap tidak memiliki
kelayakberhakan untuk berkuasa, lebih-lebih memerintah kalangan yang disebut
trahing kusuma atau priyayi. Mereka dianggap hanya sebagai pengabdi bagian sang
tuan yang tiada lain para priyayi atau trahing kusuma tadi. Mobilitas vertikal
bisa dikatakan hampir-hampir tidak pernah terjadi karena setiap pergerakan dan
perubahan itu akan dipandang sebagai ancaman yang bisa menggeser atau menggusur
kedudukan mereka. Karya sastra klasik Jawa seperti babad dan serat ditulis oleh
raja sebagai upaya menasbihkan dinasti trah ke-raja-annya. Jika bukan ditulis
oleh seorang raja, sudah tentu karya tersebut merupakan pesanan keluarga
kerajaan yang ditulis orang lain (di luar trah raja). Kondisi itu kemudian
merasuk dalam berbagai keluarga besar dan dicatat Mulder (1996:99) sebagai
sarana untuk mewujudkan cita-cita Jawa yang tercermin dalam ungkapan
ngumpulaken balung pisah (menguatkan kembali ikatan persaudaraan), yakni
mempertemukan atau menyatukan mereka masih memiliki pertalian darah. Ngumpulake
balung pisah berarti pula menguatkan ikatan di antara mereka. Ikatan itu tidak
lain adalah apa yang disebut dengan istilah trah. Seiring dengan berjalannya
waktu, trah mulai merambat ke semua lapisan masyarakat, tidak hanya di keluarga
kerajaan, masyarakat lapis tengah dan bawah pun merajut ikatan garis keturunannya.
Salah satu upaya yang sering dijumpai yaitu dengan melakukan pertemuan
keluarga. Pertemuan keluarga besar dengan label pertemuan trah menjadi
peristiwa yang lazim sampai sekarang sebagai salah perwujudan dari keinginan
untuk ngumpulake balung pisah. Pertemuan itu biasanya diiisi dengan perkenalan
untuk menunjukkan bahwa mereka yang tidak jarang tak saling mengenal
sesungguhnya memiliki pertalian darah sekaligus pula disisipkan cerita tentang
kehebatan orang-orang yang berada di lingkaran trah tersebut. Dengan begitu
diharapkan tumbuh kebanggaan di antara mereka berada dalam sebuah ikatan yang
disebut trah. Hingga saat ini, pertemuan atau reuni trah di sejumlah tempat
atau keluarga besar masih terpelihara. Pertemuan tersebut lazim dilaksanakan
dalam momentum hari besar seperti lebaran (Syawalan) atau hari tertentu yang di
antara mereka tersepakati. Kendatipun di sana-sini telah terjadi perubahan dan
pergeseran, tradisi tersebut masih bertahan dengan fungsi sebagai gerakan untuk
menjaga eksistensi leluhur sekaligus sebagai upaya untuk menghadai
berkembangnya paham individualisme yang menjadikan mereka yang sesungguhnya
masih memiliki pertalian darah tidak saling mengenal satu sama lain.
Manifestasi keturunan dalam tradisi Jawa
diringkas dalam istilah :
1. Bibit. Bibit berkaitan dengan asal-usul, keturunan, atau benih.
2. Bebet. Bebet dipahami sebagai status sosial, meliputi kedudukan, keahlian, kepandaian, kepangkatan/jabatan, atau kewibawaan.
3. Bobot. Adapun bobot mengandung arti kekayaan harta benda.
Ketiga aspek tersebut menjadi tolok ukur
penilaian terhadap baik dan buruknya seorang keturunan dalam tradisi Jawa.
Seseorang dipandang memiliki bibit yang baik apabila orang tuanya atau
nenek-kakek moyangnya tergolong orang baik. Sebaliknya, seseorang yang
dilahirkan dari keluarga yang berperilaku tidak baik akan dipandang memiliki
bibit yang tidak baik pula. Adapun bebet secara status sosial di tengah-tengah
masyarakat lantaran kemampuan, keahlian, ataupun jabatan/profesi yang ia
sandang. Semakin tinggi jabatan atau keahliannnya, ia akan dipandang memiliki
bebet yang tinggi. Adapun bobot, semakin kaya secara material seseorang, ia
dianggap memiliki bobot yang sangat tinggi. Demikian pula sebaliknya, semakin
miskin, semakin rendahlah nilainya dari sisi bobot. Trah menjadi pusaka
keluarga dalam keluarga dengan trah tinggi. Mereka yang menjunjung tinggi trah
akan mempertahankan trah dengan mengeksklusifkan diri hingga memasang pagar
pemisah dengan keluarga ber-trah lebih rendah darinya. Sebuah pernikahan,
misalnya, senantiasa memperhitungkan persoalan trah. Hanya mereka yang memiliki
trah dalam strata sepadan yang bisa bersatu dalam ikatan pernikahan yang sah.
Pernikahan terhadap kawula alit atau wong pidak pedarakan akan dianggap sebagai
tindakan yang menjatuhkan trah mereka. Sebaliknya, pernikahan dengan trah yang
strata sosial dianggap lebih tinggi dianggap sebagai sebuah berkah atau upaya
untuk membuka kemungkinan naik derajat. Karena itu, upaya untuk merawat trah,
salah satunya ditempuh dengan melangsungkan pernikahan sesama trah yang
dilegitimasi oleh ungkapan ngumpulake balung pisah atau donya ora keliya (harta
tidak akan berpindah ke pihak lain).
Kebesaran Simbolik
Pada masa kejayaan keraton sosok seorang
raja merupakan menifestasi dan representasi kerajaan.
Seisi raja harus tunduk dan patuh pada
sabda pandita ratu sang trahing kesuma, rembesing madu, wijining atapa,
tedaking andana warih, sebagai turunan bunga, titisan madu, benih pertapa dan
turunan mulia.
Raja adalah seorang terpilih karena
kesucian, kesaktian dan ini yang terpenting masih keturunan raja.
Sebagai manifestasi dan representasi
kerajaan seorang raja menyandang gelar yang dalam tradisi Jawa bersifat fungsional
seperti Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati
Ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama. Selain seorang yang paling dimuliakan,
seorang raja juga menjadi pemimpin perang dan pemimpin keagamaan. Tidak setiap
orang berhak atas gelar kehormatan. Seperti Raden Mas Said yang harus pingsan
dan singgasananya hancur disambar petir karena telah sombong mengangkat dirinya
menjadi Raja Jawa bergelar Sunan Adiprakosa Senopati Ngayuda Lelana Jayamisesa
Prawira Adiningrat. Belakangan Raden Mas Said harus puas dengan gelar Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I sebagai Pangeran Miji (pangeran
terpilih) dengan pangkat raja muda.
Mitologi
Selain gelar kebesaran, keraton juga
mengkonstruksi kesadaran-patuh kawulanya dalam mitologi. Paling terkenal
hubungan antara Susuhunan dengan Ratu Kidul; ratu lelembut dari Pantai Laut
Selatan. Panggung Sanggabuwana, menara yang terletak di lingkungan keraton
disebut-sebut sebagai tempat pertemuan Susuhunan dan Ratu Kidul. Walau saat ini
muncul pendapat bahwa Panggung Sanggabuwana dibangun bagi kepentingan
pertahanan keraton untuk mengawasi Benteng Vastenburg yang hanya berjarak satu
tembakan meriam.
Perlahan otoritas kepemerintahan keraton
memudar. Celakanya, pada periode terakhir otoritas tradisi dan pusat kebudayaan
yang melekat pada keraton turut memudar. Selain soal dualisme pemerintahan;
pemerintahan republik oleh Pemerintah Kota Surakarta dan
pemerintahan-kebudayaan oleh Keraton Kasunanan, manajemen keraton terhadap
tradisi kebudayaan tidak lagi mampu secara efektif melakukan penetrasi-otoritas
kepada kawulanya.
Belakangan muncul analisis sebagian
kalangan yang dalam tradisi mistik Jawa dikenal sebagai otak atik gathuk bahwa
kemunduran keraton tidak dapat dilepaskan dari mitologi siklus 200 tahun.
Disebutkan suratan kemunduran Keraton
Kasunanan dimulai sejak kesalahan menentukan hari bagi kepindahan keraton dari
Kartasura ke Desa Sala oleh Pakubuwono II.
Pakubuwono II dianggap salah memilih
hari ketika boyong ke Surakarta pada Rabu pahing 17 Februari 1745 yang
terhitung wuku landep tali wangke dalam horoskop Jawa. Ia berarti waktu buruk
yang harus dihindari.
Meski terdapat perbedaan pendapat
mengenai tahun kepindahan, apakah 1745 atau 1746, tepat 200 tahun setelahnya
Keraton Solo tidak memiliki otoritas kepemerintahan di wilayahnya yang mulai
menyusut akibat banyaknya perang saudara. Pada 1945, 200 tahun dari 1745
dikenal sebagai tahun kemerdekaan Indonesia yang berdaulat atas bekas Hindia
Belanda, termasuk Keraton Solo. Sedang pada 1946, 200 tahun sejak 1746 muncul
gerakan anti swa praja di Sumatera Timur dan Soloyang menolak feodalisme
keraton oleh orang-orang yang diidentifikasi sebagai pembangkangan.
Menjadikan kesalahan menentukan hari
bagi boyongan Keraton Surakarta dari Kartasura sebagai suratan kemunduran
keraton jelas belum dapat diterima dalam alam argumentasi rasional saat ini.
Analisis-analisis post factum setelah kejadian, seringkali menjadi permakluman
dan alasan pembenar dari sebuah kekhilafan sejarah. Alih-alih menjadikannya
sebagai evaluasi, tidak jarang ia menjadi legitimasi baru.
MASA ISLAM DI JAWA
Ketika budaya Islam hadir pada masa
akhir Kerajaan Majapahit, ada seperangkat nilai baru yang turut hadir.
Kebudayaan Jawa datang dengan nilainilai kemasyarakatan yang cenderung
egalitarian sehingga tidak mengenal lagi kasta, sebagaimana pada kebudayaan
Hindhu-Buddha yang berkembang pada masa Majapahit. Dalam kebudayaan Hindhu
dikenal adanya kasta sebagai penggolongan tingkatan seseorang dalam
bermasyarakat, yakni kasta brahmana sebagai kasta tertinggi, yang disusul
kemudian oleh kasta ksatria, kasta waisya, baru kemudian sebagai kasta
terendah, yakni kasta sudra. Penggolongan dengan kasta itu dalam berbagai
kesempatan menjadi semacam garis demarkasi yang mesti diperhatikan agar setiap
orang tidak dengan begitu saja melakukan percampuran kasta.
Adapun kebudayaan Islam, hadir dengan
upaya untuk mencoba menggeser pola kasta seperti itu. Meskipun demikian,
statifikasi tidak serta merta hilang. Kaum ulama yang diwakili oleh kehadiran
para wali atau sunan dan penguasa yang sekaligus menjadi kalifatullah ing tanah
Jawa (pemimpin di tanah Jawa) tetap menjadi elite yang jelas berbeda dari kaum
kebanyakan. Posisi itu pun bukan semata-mata didasarkan oleh kepandaian,
kehlian, ataupun keterampilan tertentu, melainkan pertama-tama karena faktor
keturunan. Dalam konteks inilah dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya pesona
trah dalam tradisi masyarakat Jawa yang kental dengan kebudayaan Islam tetap
ada. Masih pada masa Majapahit akhir, dikisahkan bahwa Raja Brawijaya V yang
merupakan raja terakhir kerajaan yang dalam sejarah lazim disebut sebagai
Kerajaan Nusantara II ini memberikan titah kepada permaisurinya untuk menjaga
tali keturunan. Dalam berbagai cerita tutur yang berkembang di Jawa dan juga
ditulis dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa sekalipun Majapahit runtuh
yang ditandai oleh sengkalan Sirna ilang kertaning bumi yang dapat dibaca
sebagai tahun Jawa 1400 (abad XV Masehi), penguasa Demak sebagai pengganti
bukannya tidak memiliki pertalian darah dengan penguasa Majapahit. Raden Patah,
yang dalam kisah Jawa pada masa kecil dan mudanya bernama Raden Kasan,
merupakan nak Adipati Palembang Arya Damar. Sebagai salah satu senapati
Majapahit, Arya Damar dianggap besar jasanya. Karena jasanya itu, sang Adipati
mendapatkan anugerah berupa putri triman, yakni putri Cempa yang merupakan
salah satu istri Brawijaya. Ketika dijadikan sebagai putri triman, ia sedang
dalam keadaan mengandung. Kelak dari rahim putri tersebut lahirlah bayi
laki-laki yang diberi nama Raden Kasan. Ketika menginjak dewasa, dari Palembang
Raden Kasan ke Majapahit. Atas bantuan Sunan Bonang, Kasan berhasil menghadap
Prabu Brawijaya hingga kemudian oleh sang Raja dihadiahi hutan Glagahwangi agar
dibabat dan menjadi sebuah kadipaten. Glagahwangi pun berubah menjadi sebuah
kota kadipaten, yakni Kadipaten Bintoro Demak dan Kasan kemudian menggunakan
nama Raden Patah. Diceritakan bahwa pada episode berikutnya, tak puas dengan
hanya menjadi penguasa kadipaten dan menjadi bawahan Majapahit, atas bantuan
para wali, Patah kemudian memerangi Majapahit hingga kerajaan itu runtuh. Kisah
yang menempatkan Patah sebagai anak kandung Brawijaya merupakan sebentuk
legitimasi terhadap penguasa baru tersebut untuk memiliki kelayakberhakan
memegang tampuk pemerintahan, sebagai penerus Majapahit, karena ia trahing
kusuma rembesing madu dinasti Majapahit. Sementara Raden Patah membangun
dinasti baru di Demak yang telah menjelma sebagai sebuah kerajaan baru di tanah
Jawa, trah Majapahit masih melanjutkan diansti tersebut meski dengan cakupan
wilayah kekuasaan yang lebih kecil, bahkan di bawah Demak, yakni Pengging.
Handayaningrat, Kebo Kanigara, dan Kebo Kenanga merupakan trah Majapahit yang
bermukim dan bertakhta di wilayah itu. Namun terkisahkan bahwa tahap berikutnya
Kebo Kenanga dianggap mbalela terhadap kekuasaan Demak sehingga harus menerima
hukuman mati. Sunan Kalijaga sebagai tokoh yang disebut-sebut masih memiliki
garis keturunan dengan trah Majapahit, memberikan jaminan kepada Kebo Kenanga
bahwa pengorbanan yang diberikan oleh tokoh ini sebagai tumbal Demak akan
dipetik oleh anaknya. Masih dalam kisah ini, Sultan Trenggono sebagai penguasa
Demak yang menjatuhkan hukuman mati kepada Kebo Kenanga, justeru jatuh hati
pada Nyai Kebo Kenanga, istri Kebo Kenanga hingga keduanya melakukan hubungan
suami-istri. Dari rahim Nyai Kebo Kenanga itu, yang sesungguhnya telah
mengandung sebelum kematian suaminya, kelak lahir bayi laki-laki yang bernama
Mas Karebet. Karena diasuh oleh Nyai Tingkir, Karebet terkenal dengan julukan
Joko Tingkir. Kelak Jaka Tingkir tidak hanya isa menjadi punggawa Kesultanan
Demak Binoro dan memperistri putri raja, tetapi juga dianggap memiliki
kelayakberhakan menjadi penerus dinasti Demak dengan menjadi raja di Pajang
dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Kisah yang menempatkan Joko Tingkir sebagai
lembu peteng istilah untuk menyebut anak yang dilahirkan di luar pernikahan
resmi-- Sultan Trenggono justeru menjadi legitimasi secara ideologis, meski
sesungguhnya Joko Tinggkir memiliki modal lainnya, yakni sebagai trah Pengging
sebagai penerus trah Majapahit. Itu belum termasuk posisi Joko Tingkir sebagai
menantu Sultan Trenggono.
Pola serupa juga dapat ditemukan pada
kisah peralihan dari Kerajaan Pajang ke Kerajaan Mataram Islam. Atas
keberhasilannya membinasakan musuh bebuyutan Sultan Hadiwijaya, yakni Adipati
Aryo Penangsang, maka Ki Ageng Pemanahan yakni Danang Sutawijaya mendapatkan
hadiah berupa hutan Mentaok. Hadiah serupa juga diberikan kepada Ki Gede
Penjawi, yakni berupa Pati yang telah menjadi sebuah wilayh perdikan, karena
jasa serupa pula. Berhasil mengubah Mentaok menjadi sebuah permukiman, bahkan
kemudian menjelma sebagai sebuah kota, Sutawijaya kemudian berhasil mengubah
tempat itu menjadi sebuah kerajaan baru, yakni Mataram. Kemunculan Mataran
tidak lepas dari upaya Sutawijaya untuk memerangi dan mengalahkan Sultan
Hadiwijaya, sang ayah angkatnya. Kisah ini didahului oleh kisah hubungan gelap
antara Hadiwijaya dan Nyai Pemanahan, istri Ki Ageng Pemanahan yang tiada lain
ibu kandung Sutawijaya. Muncul kisah bahwa Hadiwijayalah sesungguhnya ayah
biologis Sutawijaya sehingga dengan begitu pendiri dinasti Mataram ini memiliki
kelayakberhakan menjadi raja. Sutawijaya dengan begitu bukan sekadar anak desa
atau anak ki Ageng, melainkankan trahing kusuma, keturunan cer seorang raja. Di
sisi lain, sekalipun hanya seorang nyi ageng, ibunda Sutawijaya merupakan trah
Majapahit lewat jalur Pengging Handayaningrat. Pelestarian trah yang dilakukan
pada masa Kerajaan Demak, kemudian berlanjut pada Kerajaan Pajang serta
Kerajaan Mataram tersebut kemudian memunculkan ungkapan mung tedhak turuning
ratu, trahing kusuma rembesing madu, kang wenang jumeneng nata yang artinya
kurang lebih: hanya keturunan rajalah yang berhak menjadi raja. Ketika Mataram
pada perkembangan selanjutnya, sebagaimana tercatat dalam sejarah, pecah
menjadi beberapa bagian serta melahirkan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta, di samping Mangkunegaran dan Pakualaman, trah tetap menjadi pedoman
pokok dalam penentuan penguasa pengganti. Bahkan dalam beberapa hal ia
mengalami perumitan. Kedua kerajaan dan dua kadipaten masa kini itu hingga
sekarang pun masih menempatkan angger-angger (peraturan) yang menyebutkan bahwa
anak rajalah yang berhak menjadi raja atau adipati. Di tengah-tengah masyarakat
Jawa, angger-angger tentang trah juga dijadikan pedoman hingga saat ini. Hal
tersebut agaknya terpengaruh oleh kehidupan keraton, terlebih keraton merupakan
patokan utama bagi masyarakat Jawa, terutama dari sisi kebudayaan. Salah satu
poin penting lainnya yang terwujud yakni dalam adat pemeliharaan makam-makam
leluhur. Oleh Sutan Agung yang memerintah Mataram dan disebut-sebut sebagai
raja termasyhur, dibangunlah makam raja-raja Mataram di Imogiri, di sebuah
perbukitan di sebelah selatan Kota Yogyakarta. Di makam itulah, para putra dan
sentana dinasti Mataram melakukan ziarah dan mengenang para leluhurnya.
Tindakan ini dapat dikatakan sebagai upaya konservasi terhadap trah, sesuai
dengan tradisi yang dilakukan oleh keturunan Keraton Yogyakarta. Meskipun
demikian, seiring dengan berjalannya waktu, pesona akan makna trah tampak
meredup. Masyarakat tidak lagi memberikan sebuah penilaian istimewa terhadap
makna keturunan, terlebih dalam konteks prinsip bibit, bebet, dan bobot.
Berbeda dengan pemuja trah yang senantiasa memelihara citra keluarganya,
beberapa keturunan Jawa tak lagi melihat dari aspek bibit, bebet, dan bobotnya
semata. Hal ini kemudian mengubah pandangan masyarakat terhadap trah tersebut.
Di dalam keraton sendiri, anugerah gelar kebangsawanan juga mengalami pencairan
dan pelonggaran, jika tidak boleh dikatakan mengalami komodifikasi. Mereka yang
memiliki kekuasaan, kepintaran, ataupun kekayaan akan dengan mudah untuk
mendapatkan gelar kebangsawanan tersebut yang menjadikannya sebagai kerabat
keraton. Munculnya Roro sebagai penari Angin Malam memberikan contoh nyata
mengenai pemberontakan trah. Ia tidak lagi sebagai perempuan yang dicitrakan
baik oleh keraton yang telah melanggar batas sebagai perempuan berdarah biru.
Meskipun ia tetap melanggengkan ritual sowan leluhur di Yogyakarta, namun nilai
kebiruannya disangsikan. Jauh sebelumnya, telah terjadi upaya pemberontakan
terhadap trah yang dilakukan oleh putra Pengging yang juga pemegang trah
Majapahit. Telah disinggung di atas bahwa Raden Kebokanigara dan Raden
Kebokenanga menolak mengabdi kepada Demak yang notabene adalah penerus kerajaan
Majapahit, keduanya memilih hidup sebagai santri tanpa gemerlap kerajaan. Hal
ini mengimplikasikan bahwa trah tidak selamanya langgeng dan dipertahankan.
Seperti yang dilakukan oleh kedua putra Pengging, penolakannya untuk tinggal
bersama keluarga besarnya di istana memunculkan dugaan bahwa trah tidak lagi
dipandang istimewa. Ironisnya, upaya penolakan terhadap legitimasi trah justeru
muncul dari pemangku trah itu sendiri.
Keraton dan
Perubahan Sejarah
Kemunduran Keraton Solo tidak dapat
dipisahkan dari sikap Susuhunan Pakubuwono XII menghadapi semangat revolusi
1945.
Bila Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri
Pakualam VIII menyatakan Yogyakarta sebagai daerah istimewa di belakang
republik, Susuhunan Paku Buwono XII mengambil sikap ragu-ragu. Meski usianya
yang relatif muda (20 tahun) dan belum genap 40 hari menerima tahta sebelum
proklamasi 17 Agustus 1945 dianggap sebagai permakluman sejarah, keraguan
Susuhunan direspon dengan curiga oleh Pemerintah republik meski pada 1
September 1945 Susuhunan juga menyatakan wilayah kasunanan berada di belakang
republik. Keraguan Susuhunan menyulitkan pemerintah untuk memastikan apakah
Susuhunan berdiri di belakang republik atau mendukung Belanda.
Apalagi beberapa bangsawan disebutkan
terbukti berupaya mempertahankan status quo. Puncaknya pemerintah mengeluarkan
Maklumat Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1946 disusul dengan
Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tanggal 15 Juli 1946 yang menjadikan Solo
sebagai wilayah Karesidenan Surakarta.
Tanpa bermaksud membandingkan,
nasionalisme Sultan Hamengkubuwono IX sebagai penguasa feodal yang merespon
perubahan sejarah misalnya ditunjukan dengan mendukung keuangan republik yang
masih belia di samping merelakan bangunan keraton sebagai ruang perkuliahan
bagi Universitas Gadjah Mada yang sebenarnya berdiri di Solo tetapi tidak
memperoleh ijin menempati bangunan keraton Solo oleh Susuhunan.
Sehingga tak heran kalau kemudian
gerakan anti swapraja justru lahir di Solo, bukan di Yogyakarta meski keduanya
sama-sama berstatus keraton feodal.
Namun, menyebut Keraton Solo tidak
nasionalis juga kurang tepat. Susuhunan Pakubuwono X misalnya, dikenal karena
sikap reformisnya terhadap pergerakan nasional yang dimotori bangsawan Keraton
Solo.
Kehadiran Sarekat Islam (SI) yang lahir
di Solo selain sebagai pergerakan melawan penjajah disebut-sebut akan melakukan
revolusi untuk mendudukkan Susuhunan Pakubuwono X sebagai Raja Jawa.
Begitu juga Susuhunan Pakubuwono VI yang
ditangkap Pemerintah Belanda karena dukungannya kepada Pangeran Diponegoro
dalam Perang Jawa (1925-1930). Atau GPH Djatikusumo, GPH Suryomidjojo, KRT
Radjiman Wedyodiningrat atau RMA Woerjaningrat untuk menyebut beberapa nama
yang turut meramaikan pergolakan kemerdekaan republik.
Meski keniscayaan sejarah secara
objektif tidak dapat dihindari, tetapi kebijaksanaan memperlakukannya akan
mengubah kemungkinan sejarah. Merosotnya pamor Keraton Solo tentu bukan untuk
diratapi. Usaha-usaha, konstruktif, membuka diri, dan menyadari tuntutan
perkembangan jaman tentu lebih bermakna ketimbang sibuk menentukan hari bagi
kepindahan keraton (?) atau pengangkatan Susuhunan Pakubuwono XIII.
BIBIT BEBET BOBOT
Di Indonesia, aspek asal-usul atau
genealogi acap menjadi pemicu perdebatan sengit, sekaligus modal ampuh dalam
jagad politik. Dari rahim siapa ia mbrojol (bibit), bagaimana kualitas
keluarganya (bebet), dan seberapa besar kekuatan finansial keluarganya (bobot).
Memperkarakan asal-usul di ranah politik seringkali mandeg dalam ruang
pertikaian. Justru tidak menginspirasi publik untuk peduli pada penelusuran
sejarah keluarga kita sendiri.
hubungan
genealogi
Pelajari sejarah keluargamu dulu,
sebelum menenggelamkan diri dalam belantara pengetahuan lainnya. Sebab, tanpa
kehadiran kakek-nenek dan orangtua, kita tak bakal terlahir di muka bumi.
Begitulah kalimat ringkas yang acap
keluar dari mulut sesepuh saat dilempari pertanyaan mengapa harus mengumpulkan
keluarga besar saban hari Lebaran atau liburan Natal.
Di sesela acara sungkeman dan halal bi
halal maupun reriungan keluarga besar saat perayaan Natal, kesadaran kita
mengenai pohon silsilah keluarga serempak digugah agar tidak lupa sanak saudara
alias kepaten obor.
Sepenggal pertanyaan yang belum terjawab
tuntas hingga kini, sejak kapan trah dipandang penting dalam tradisi
masyarakat, khususnya di Jawa ?
Upaya mengkonstruksi dan melacak
genealogi sejarah keluarga sebetulnya telah di-wiwiti oleh pembesar Mataram
Islam beberapa abad silam. Seorang raja butuh sarana legitimasi karena ingin
disegani dan diakui kekuasaannya oleh para kawula. Segelintir cara yang
ditempuh ialah lewat penelusuran hubungan genealogi.
Terbitnya ungkapan trahing kusuma,
rembesing madu, wijining tapa, tedaking andana warih (keturunan bunga, titisan
madu, benih pertapa, turunan madu) memperlihatkan raja berasal dari keturunan
leluhur yang suci dan agung.
Petinggi istana Mataram tanpa sungkan
mengaitkan asal-usulnya dengan barisan tokoh dalam agama Hindu dan Islam.
Pencarian mata rantai genealogi dari kedua agama ini merupakan bukti nyata
adanya hasrat penguasa Jawa untuk merengkuh seluruh rakyat yang memeluk kepercayaan
Hindu maupun Islam. Penggabungan dua sumber silsilah tersebut membuahkan
istilah sejarah panengen (kanan) dan pangiwa (kiri).
Sejarah panengen berisi daftar penguasa
Mataram dengan mencomot garis keturunan hingga Nabi Muhammad yang disebut
Kanjeng Nabi. Sedangkan, sejarah pangiwa memasang benang yang lebih panjang
dimulai dari Nabi Adam dan Nabi Sis. Lantas, disusul sekelompok dewa Hindu dan
Pandawa. Tokoh Watu Gunung sebagai cerminan nama asli Jawa ikut dicatut.
Kemudian, disambung beberapa nama yang hidup pada masa kerajaan Hindu-Jawa
seperti Jenggala, Kediri, Kahuripan, Galuh, Singasari, dan Majapahit.
Demi mencari keabsahan dinastinya,
rambu-rambu anakronisme sejarah diterabas raja bersama pujangga. Penyusunan
tokoh terkemuka era kerajaan Hindu campur aduk lantaran pembuatnya tak
menggubris dimensi waktu yang mestinya ditaati laiknya kerja ilmiah sejarawan.
Melalui Prabu Brawijaya V yang merupakan
keturunan raja Majapahit terakhir, lahirlah nama kondang Ki Ageng Tarub yang
meminang bidadari Nawangwulan. Dari pernikahan mereka, hadir nama Ki Ageng
Sela, Ki Ageng Henis, dan Ki Ageng Pamanahan. Kita ketahui, Ki Ageng Pemanahan
ialah bapak dari Panembahan Senapati yang dikenal sebagai pendiri dinasti
Mataram Baru. Demikianlah potret pembesar Mataram Islam bersusah payah
merekayasa silsilah dari tokoh ternama dan penghuni kahyangan yang suci.
Waktu melintas cepat diikuti beragam
peristiwa jatuh-bangunnya kekuasaan. Kendati raja yang bersangkutan telah
lengser keprabon atau tutup usia, silsilah keluarga tetap dipertahankan dan
memperoleh tempat di sanubari anak-cucunya. Tujuan pokoknya ialah mengikat
paseduluran sekaligus menunjukkan bahwa mereka merupakan keturunan aristokrat
kerajaan. Dalam bahasa Jawa, empat macam derajat bangsawan secara berturut-turut
disebut: putra, wayah, buyut, dan canggah ndalem.
Ternyata, genealogi sejarahnya tidak
mandeg sampai canggah. Pada masa Paku Buwana X (1893-1939) muncul istilah :
1.
Wareng.
2.
Udeg-udeg.
3.
Gantung
siwur.
4.
Goprak
senthe
Untuk memperpanjang alur sejarah keluarga
para ndara itu. Sanak keluarga yang berada dalam satu garis keturunan, tapi
terpisah akibat faktor geografis dan kesibukan kerja bisa dieratkan kembali
melalui payung trah. Di Soloraya dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang kental
dengan tradisi feodal misalnya, lumrah kalau memori tentang keluarga terawat
dalam batok kepala lantaran acap dituturulangkan. Di daerah bekas kerajaan Jawa
ini, paguyuban trah sangat kuat dan banyak jumlahnya.
Sampai sekarang, pertemuan trah untuk
menyegarkan ingatan sejarah keluarga dan merekatkan tali hubungan saudara ajeg
digelar di lingkungan bangsawan dan priayi. Walau mereka sudah memasuki alam
demokrasi dan paham feodalisme ditabrak nasionalisme, semangat melestarikan
genealogi kebangsawanan masih terasa betul. Dari anak, cucu, buyut, canggah,
hingga wareng meramaikan paguyuban yang masih satu garis keturunan pangeran
atau raja. Tak semuanya warisan dunia feodal itu buruk. Kendati kita bukan
termasuk keturunan darah biru, alangkah eloknya kita peduli terhadap riwayat
silsilah keluarga.
Spirit gotong-royong, tolong-menolong,
kerukunan, tepa slira atau peduli terhadap sesama, serta benih rasa kemanusiaan
dapat disuburkan lewat organisasi trah.
Karena ditempatkan dalam posisi seperti
itu, kekuasaan cenderung menjadi tak terbagi dan absolut . Terjadilah kemudian
Humaniora Volume X11. No . 2/2000 apa yang disebut pengagungan kekuasaan
disertai dengan legitimasi geanologis yang biasanya menyatakan bahwa sang
penguasa adalah sosok yang paling tepat sebagai pemegang kekuasaan karena is
trahing kusuma, rembesing madu, wijiling naratapa, tedaking andana warih
(keturunan bangsawan tinggi dan pertapa). Sehubungan dengan itu, is tidak dapat
dipertanyakan dan ucapannya mempunyai kekuatan mengikat dan menekan secara
moral dan etis karena sabda pandita pangandikaning ratu sepisan tan kena wola
wali (sabda pendeta, ucapan raja, tak akan ditarik lagi) sehingga barang siapa
mencoba menentangnya akan dihancurkan dan ditiadakan dengan kekerasan . Dalam
historiografi tradisional Indonesia, fenomena kekuasaan seperti itu telah lama
menjadi kanon penulisan sejarah suatu dinasti .
Hal ini dapat dilihat dalam :
1.
Nagara
Kertagama.
2.
Pararaton.
3.
Babad
Tanah Jawi.
4.
Hikayat
Raja-Raja Pasai.
5. Sejarah
Melayu, Hikayat Hang Tuah, dsb .
Nagara Krtagama (Robson, 1995)
melukiskan keagungan imperium Majapahit beserta daerah-daerah vasalnya dan
sanjungan terhadap Sri Rajasanagara beserta leluhurnya. Pararaton (Brandes,
1920) memberi legitimasi mitis kepada Ken Arok sebagai inkarnasi Siva yang
tidak dapat ditentang kehendaknya dan raja-raja besar Singasari.
Suksesi atau pergantian raja-raja di
Jawa sejak jaman Hindu-Budha sampai pada jaman Islam tidak mengalami perubahan
yang berarti. Yakni didasarkan atas kesinambungan kekerabatan. Apakah hubungan
darah langsung (Putra Mahkota) maupun pengalaman keagungan yang dipunyai oleh
seseroang serupa dengan keagungan yang dimiliki oleh waris pendahulunya,
biasanya ditandai oleh sinar aura yang memancar dari dalam perut ibunya jika
putra mahkota itu masih dalam kandungan, atau bersinar di wajahnya, seperti
Amangkurat II ketika akan merebut Kerajaan dari Trunajaya, sebagaimana
dituturkan oleh para pengikutnya : wajahnya lesu dan tak berseri, kini air
mukanya bercahya dan penuh keagungan yang mulia. Paku Buwana I menjadi Raja pertama Dinasti
Mataram Baru, karena telah berhasil menghisap wahyu yang bersinar dari
kemenakannya, Sunan Amangkurat Mas (III) tahun 1705. Demikian itu karena aura
telah berada pada putra mahkota.
Mata rantai kekerabatan ini tercermin
dalam ungkapan, Raja adalah keturunan ratu-ratu (trahing kusuma), yang di
dalam ririnya mengalir kualitas prima
(rembesing madu), yang mempunyai benih keilmuan yang tinggi (wijining tapa),
dari keluarga dekat yang mengerti leluhur dan sopan-santun keluarga Raja
(tedhaking andana warih). Dengan kata lain, legitimasi utama untuk menjadi Raja
baru atau mendirikan dinasti baru, dengan cara membuktikan dirinya mempunyai
kesinambungan hubungan darah dengan leluhur raja atau dinasti sebelumnya adalah
unsur yang sangat penting.
Legitimasi lain dalam suksesi raja atau
memebangun dinasti baru dapat pula dilakukan dengan cara mengidentifikasikan
dirinya dengan Ratu Adil, dengan tujuan mengakhiri jaman Kalabendu yang dipercaya
penuh dengan dosa peradaban untuk selanjutnya memasuki masa kesejahteraan dan
kemakmuran. Cara terakhir ini sering
ditempuh dengan kerusuhan dan
pemberontakan, justru berulang kali terjadi dalam sejarah suksesi Raja-Raja
Jawa.
Disamping itu, Raja-Raja Mataram,
percaya bahwa ada unsur kegaiban yang tidak dapat direkayasa dalam suksesi Raja
adalah turunnya andaru (tanda keagungan) yang merupakan ruh yang memilih
berasal dari kekuatan Illahi yang Maha Benar dan Berkuasa. Raja Jawa
menyebutnya sebagai wahyu Kedhaton,
rahmat atau karunia bagi kedudukan Raja atau disebut juga wahyu
Cakraningrat, wahyu Nurbuwah. Sebagai contoh adalah pergantian dinasti baru
dari Majapahit ke Demak ditandai oleh andaru dari Majapahit, berbentuk lintasan
kilat disertai halilintar yang menakutkan, membentuk bola kebiru-biruan,
terkadang berwarna putih atau hijau menyerupai bintang berjalan, oncat
(melesat) dari Majapahit dan jatuh pada tempat yang di percaya dikarunia Illahi,
yaitu di Bintara, Demak.
Suksesi di Karaton Surakarta sejak
Mataram Baru, menandai awal mula pemerintahan Raja Baru, didefinisikan sebagai
babak baru, dengan sistem pergantian yang lebih menekankan pada aspek
keturunan, rahmat Illahi dan kualitas dari suksesor itu sendiri.
Pertanda babak baru, biasanya
direpresentasikan dalam pagelaran wayang. Maksud pagelaran ini, selain sebagai
tanda dimulainya babak baru, secara spiritual adalah membabar makna yang terkandung dalam substnasi Gunungan.
Gunung, dianggap sebagai lambang jagad raya, yang dipercaya terbentuk oleh
adanya proses empat unsur alam: angin, air, api dan tanah. Unsur-unsur tersebut
menyatu dalam sistem jagad raya dan membentuk kehidupan alam raya, beserta
isinya seperti binatang, makluk halus dan kemudian kehadiran manusia.
Bagi masyarakat Jawa percaya bahwa alam
itu terbentuk atas dua unsur: bersifat lahir, wadhag (material, kasar) dan
bersifat batin (immaterial, halus). Sedangkan hubungan di antara kedua jagad
tersebut sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan oleh empat unsur di atas, air,
api, angin dan tanah. Manusia Jawa mempunyai sifat wadhag, melahirkan
pancadriya: pandulu, pangrungu, pangucap, pangambu dan pangrasa. Yang batin,
melahirkan nafsu empat perkara: luwamah, amarah, sofiah dan mutmainah. Hubungan
interaktif antara yang wadhag dan yang batin secara terus menerus akan
membentuk kehendak dan kawicaksanan manusia, yang mampu memancarkan cahaya
kekuatan pribadi atau kharisma.
Kawicaksanan adalah keunggulan pribadi,
seperti kecerdasan, kebijaksanaan, terampil, berpengatahuan luas, berpandangan
jernih serta mampu melihat hal-hal yang sangat rahasia sekalipun dengan tujuan
melindungi harmonisasi tatanan alam raya (makrokosmos) dan tatanan hubungan
antar manusia (mikrokosmos). Keduanya,
saling mengisi dan mempengaruhi dalam membentuk dan menjaga tata kehidupan
sosial yang harmonis. Jadi, Gunung adalah representasi dari jagad raya yang
membuka dan menutup kehidupan pada setiap babak, pada regenerasi atau pada awal
dinasti atau Raja baru.
Ramalan usia Karaton Surakarta hanya
berusia 200 tahun, diwiradati (diupayakan) agar wahyu kedhaton tidak oncat
(melesat) dari Karaton maka dibuatlah oleh Paku Buwana X sebuah miniatur Gunung
lengkap dengan hutan dan isinya di Dalem (komplek) Karaton Surakarta.
Maksudnya, agar supaya melesatnya wahyu kedhaton tersebut tidak ke luar
teritori Kerajaan dan masih dalam batas wilayah Karaton. Sehingga, keyakinan
atas 200 tahun Karaton berakhir, dimulai dengan babak baru, dengan hadirnya
miniatur Gunungan tersebut.
Babak baru pada milllenium ke Tiga yang dideklarasikan
lewat Maklumat Sinuhun Paku Buwana XII, dalam Jumenengan Dalem ke 55,
dilambangkan dengan diadakannya parade pagelaran Wayang Kulit selama satu
tahun, di mulai dari Karaton dan merambah ke luar Karaton, yang berakhir
pagelaran itu di Dalem Karaton, menandai digelarnya babak baru. Gunungan, yang
melambangkan awal kehidupan telah digelar secara luas, sebagai tanda babak
baru, Gunungan sebagai Meru melambangkan pengakuan terhadap rahmat Illahi. Di
masa depan Karaton Surakarta selalu siap menangkap rahmat dan karunia Yang Maha
Agung demi kelangsungan hidup dinasti Mataram.
Uraian di atas dapat dipahami bahwa perubahan dan pergantian (suksesi) Raja tidak akan pernah merubah tatanan kehidupan dan tradisi kerajaan. Karaton telah dijaga oleh kekuatan dan energi kebudayaan sedangkan Raja boleh berganti-ganti tetapi masyarakat akan selalu menempatkan Karaton sebagai lambang dunia (imago mundi) yang tidak pernah lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Dalam keadaan seperti ini, Raja adalah pribadi sentral yang memadukan perubahan dengan kesinambungan generasi dengan dunianya sendiri yang tak tergugatkan. Artinya, bahwa Karaton Surakarta di masa depan kiranya akan tetap eksis mengikuti arah perubahan dan kelanjutannya sangat ditentukan oleh para pendukung serta semangat jamannya.
Imajiner Nuswantoro