RAHWANA
(Cerita mitologi yang menggambarkan angkara murka)
Dalam mitologi Hindu Rahwana /Prabhu Dasa / Prabhu Dasamuka (Devanagari, Rāvaṇa, kadangkala dialihaksarakan sebagai Raavana dan Ravan atau Revana) adalah tokoh utama yang bertentangan terhadap Rama dalam Sastra Hindu, Ramayana. Dalam kisah, ia merupakan Raja Alengka, sekaligus Rakshasa atau iblis, ribuan tahun yang lalu.
Dalam kesenian Rawana dilukiskan dengan sepuluh kepala, yang menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam Weda dan sastra. Karena punya sepuluh kepala ia diberi nama Dasamukha (bermuka sepuluh) / Dasagriva (berleher sepuluh) / Dasakanta (berkerongkongan sepuluh).
Juga memiliki dua puluh tangan, menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas. Ia juga dikatakan sebagai ksatria besar.
Ibu Rahwana bernama Kaikesi, seorang puteri Raja Detya bernama Sumali.
Sumali memperoleh anugerah dari Brahma sehingga ia mampu menaklukkan para raja dunia. Sumali berpesan kepada Kekasi agar ia menikah dengan orang yang istimewa di dunia. Di antara para resi, Kekasi memilih Wisrawa sebagai pasangannya.
Wisrawa memperingati Kekasi bahwa bercinta di waktu yang tak tepat akan membuat anak mereka menjadi jahat, tetapi Kekasi menerimanya meskipun diperingatkan demikian.
Akhirnya, Rahwana lahir dengan kepribadian setengah brahmana, setengah rakshasa.
Saat lahir, Rahwana diberi nama Dasanana atau Dasagriwa, dan konon ia memiliki sepuluh kepala. Beberapa alasan menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah pantulan dari permata pada kalung yang diberikan ayahnya sewaktu lahir, atau ada yang menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah simbol bahwa Rahwana memiliki kekuatan sepuluh tokoh tertentu.
LAHIRNYA RAHWANA / DASAMUKA ILUSTRASI ANAK NAFSU ANGKARA MURKA
Nafsu yang lepas kendali, telah berhasil mengalahkan pikiran jernih. Padahal Dewi Sukesi dan Wisrawa adalah manusia-manusia yang sudah punya kesadaran spiritual tinggi, masih juga bisa terkikis sifatnya yang bijak.Itulah kenapa para pinisepuh didalam setiap kesempatan selalu mengingatkan kepada kita semua supaya tetap eling lan waspada – ingat dan sadarlah selalu! Jangan takabur, bersikap sok suci. Selama masih sebagai manusia yang berbadan fisik dan halus, selama itu pula masih bisa terjerat oleh goda yang kelihatannya manis dan enak, tetapi mengakibatkan keterpurukan.
Kisah cinta Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesih adalah untuk mengingatkan agar manusia jangan terjebak kedalam berbagai nafsu yang negatif. Akibatnya bisa membuat kesusahan, bahkan keterpurukan dalam kehidupan.Kalau kita sudah bisa mengendalikan berbagai macam nafsu termasuk menentramkan pikiran dan mengarahkannya kepada hal-hal yang positif, barulah rasa hati bisa meneb – diajak tentram, raga tenang, santai-heneng, kemudian rasa menjadi hening- tentram sekali.
Kembali ke kisah Ramayana; Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih ke kerajaan Lokapala menemui isteri dan anaknya. Mereka kembali ke Alengka karena di Alengka-lah (Prabu Sumali), yang dapat menerima kedua orang ini. Dan di suatu malam yang kelam, mencekam, dimana seolah-olah udara diam tidak bergerak.
”Wahai Kakanda, betapa perut ini sepertinya mau meletus. Oh Kakanda, betapa sakit perut ini”, kata Sang Dewi. ”Wahai Dindaku, anak-anak, bayi-bayi yang ada dalam rahim sudah siap, ingin keluar. Dan mengapa engkau penjarakan anak kita yang akan lahir? mengapa engkau penjarakan dalam perutmu? mereka punya hak hidup untuk lahir ke dunia. Biarkanlah mereka masuk ke alam kebebasan dunia ini, dan mereka jenuh dan lelah bergaul dengan alam kesempitan perutmu”, kata Begawan Wisrawa.
”Wahai Kakandaku, aku malu. Aku malu pada pepohonan, pada daun-daun dan gunung-gunung. Bukankah semua air, semua tanah, semua pepohonan akan menertawakan kita. Bukankah bayi ini hasil nafsu kita yang diukir bersama? Wahai Kakandaku, bukankah bayi ini hasil cinta kita? Cinta yang tidak mendapat restu sang Dewa!”, demikian Sang Dewi.
”Terimalah noda yang ada dalam bayi kita”, kata Begawan Wisrawa, ”Dan kejahatan apapun yang akan dilakukan oleh anak kita, bukan kesadaran dari anak-anak kita. Tapi itu adalah perpanjangan kesalahan kita, wahai isteriku. Seandainya anak-anak kita nanti berpesta ria dalam syahwat, itu bukanlah anak-anak kita. Tetapi adalah perpanjangan kerinduan syahwat yang terpendam dari kita bersama.
Terimalah semua itu sebagai ’nikmat’ dari Dewa. Kesakitan jiwa ini, jiwaku, jiwamu, obatnya adalah penghinaan dari alam ini, dari mereka, dari semuanya. Tanpa penghinaan, kita akan tetap terkurung oleh ketersiksaan rasa bersalah. Penghinaan wahai Dindaku, membebaskan kesalahan kita, membebaskan keterkurungan dari rasa noda. Kita malu mohon ampun kepada Tuhan, kita malu mohon ampun pada para Dewa. Namun kita pun harus terbebas dari rasa bersalah.
Satu-satunya adalah menerima penghinaan. Hinaan adalah membebaskan kita dari penjara noda, penjara rasa hina, penjara rasa bersalah, wahai Dindaku. Bernafaslah engkau, terimalah hinaan itu. Berarti bayi itu akan lahir ke dunia ini dengan selamat.” Maka diujung kepasrahan yang paling dalam, karena bagaimanapun juga Dewi Sukesih telah sampai ke puncak Sastra Jendra. Sudah dipersiapkan arti makna kesabaran yang paling sempurna, makna kepasrahan yang paling suci. Dan diujung kepasrahan yang total, bayi pun lahir.
Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.
Namun bukan sebagai jabang bayi yang sempurna, yang keluar adalah darah-darah yang menggumpal, Kemudian disusul oleh kuku-kuku, kuku kecil, kuku besar, kuku hewan, kuku manusia. Kemudian lahir lagi telinga, untaian telinga yang panjang. Tak lama kemudian, disaksikan kedua orang tuanya. Darah itupun berproses jadi jantung, jadi paru-paru, setiap organ tubuh membentuk diri, hingga sempurna menjadi bayi. Dan yang lainpun, telinga dan kuping, berproses hingga sempurna menjadi tiga bayi.
Yang dari gumpalan darah menjadi Rahwana (darah segunung), atau disebut juga dengan nama Dasamuka, raksasa besar yang mengerikan, mukanya sepuluh, berwarna merah bagai api, wataknya jahat sekali, hanya mengedapankan nafsu.
Yang dari Kuku, seorang wanita, menjadi Sarpakenaka, Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Wataknya juga jahat, suka iri. Mukanya jelek berwarna kuning dan suka bersolek berlebihan. Melambangkan nafsu kepada harta duniawi.
Yang dari Kuping berproses menjadi Kumbakarna, berwujud raksasa besar, kulitnya hitam, melambangkan nafsu makan dan doyan tidur yang berlebihan.
Namun setelah menjadi manusia Sang Dewi enggan memeluknya. Karena proses yang begitu cepat, dari gumpalan darah, kuku dan telinga, menjadi janin bayi. Menimbulkan perasaan aneh, kagum, sekaligus takut!
”Wahai isteriku, kini engkau telah menjadi seorang Ibu, aku menjadi Ayah. Peluklah anakmu, jangan engkau biarkan diam. Cepatlah susui mereka sebelum menangis. Seandainya bayi ini, anak ini, menangis, menjerit sebelum engkau susui. Maka keagungan cintamu sebagai wanita takkan bisa mengalahkan dunia ini. Cepat kalahkan dunia dengan air susumu. Karena dunia dengan segala kegagahannya akan kalah, akan takut oleh air susumu. Karena air susumu membuat energi cinta yang sempurna dari seorang Ibu.”
Maka dengan cepat, satu persatu ketiganya disusui oleh Sang Dewi. Begitu anak pertama, Rahwana, disusui maka dengan segera menangislah ia dengan keras, pun demikian dengan yang lainnya. Namun yang unik, Rahwana, begitu menangis, keluarlah sepuluh kepala, Dasamuka!
Sarpa Kenaka, begitu menangis tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba membesar! Dan seketika, semuanya membesar! Sehingga Ibunya sendiri, lebih kecil dari ketiga anaknya. Jadi raksasa. ”Wahai isteriku”, berkata Sang Begawan, ”Cintailah mereka. Mereka adalah ’diyu-diyu’, raksasa-raksasa dari diri kita yang belum sempat diruwat. Mereka adalah jelmaan dari diyu-diyu yang ada dalam jiwa kita, yang belum sempat di sucikan oleh Sang Hyang Widhi. Terimalah mereka, raksasa-raksasa, sebagai anak kita, yang kita cintai, yang kita kasihi.” ”Wahai Kakanda, bagaimakah sifat nereka?”, tanya Dewi Sukesih. (perasaan/bathin, dan kadar keimanan, saat berhubungan intim, sangat menentukan karakter anak yang akan terlahir)
”Rahwana adalah dari gumpalan darah yang kita tampung, dengan kebanggaan ilmu Sastra Jendra, dengan kebanggaan kesaktian yang kita rasakan. Dan dengan kebanggaan kita sudah pasti masuk Nirwana. Kitapun terjatuh! Maka semua dosa, darah-darah seluruh umat kita tampung bersama. Maka Rahwana adalah anak kita, dosa kita yang sempurna, syahwat kita yang sempurna. Maka Rahwana anak kita, adalah jelmaan kesempurnaan syahwat yang Tuhan ciptakan untuk umat manusia. Rahwana adalah sumber syahwat, sumber kejahatan, sekaligus sumber kemalangan. Rahwana adalah anak dari kejahatan dan kemalangan, yang diikat oleh syahwat yang sangat sempurna. Cintailah dia, wahai
Dindaku. Hak anakku, hak anakmu untuk menjadi apapun. Yang penting kita hantar mereka dengan cinta dan kasih sayang. Kita didik mereka dengan tanggung-jawab. Hasil tidaknya itu kita serahkan pada Tuhan Yang Esa. Yang penting cinta kita dalam mendidik, cinta kita menghantar hingga dewasa. Itupun, penghinaan telah berkurang dari dosa-dosa kita. Rasa kebersalahan kita akan berkurang, manakala cinta-kasih kita, kasih-sayang, kepada anak-anak kita tidak pernah berkurang dan utuh. Sekalipun mereka sangat mengecewakan kita. Kini mereka milik Dewa, meskipun kita yang melahirkan.”
Ada pun anak kita yang wanita, Sarpa Kenaka”, lanjut sang Begawan, ”Adalah kuku-kuku kita, wahai Dindaku. Engkau telah terangsang oleh seksual. Kukumu mengusap-usap tubuhmu sendiri di Telaga Nirmala, kukumu mengait-ngait, mencakar-cakar tubuhmu sendiri. Karena deru birahi betapa kuat, menguasai jiwamu dan fikiranmu, wahai Dewi Sukesih. Dan puteri kita adalah simbol dari semua kuku yang ada di muka bumi ini. Kelak puteri kita, tidak ada yang dicari, selain lelaki! Tidak ada yang dicari kecuali kebanggaan menguasai lelaki. Cinta, tidak ada bagi anak kita yang wanita ini, yang ada adalah birahi. Dia tidak pernah puas menyerahkan tubuhnya untuk disenggamai oleh setiap lelaki, dan dia tidak pernah puas hanya dengan disetubuhi, bahkan dia harus memperkosa setiap lelaki. Kejantanan setiap lelaki dari anak manusia itu bisa dikalahkan oleh birahi putri kita.
Dan tidak itu saja, kuku birahi lelaki tidak boleh memiliki wanita, tetapi lelaki harus dibeli oleh syahwat Walaupun puteri kita berupa wajah buruk, bau, kotor, raksasa. Tapi manakala timbul birahi pada laki-laki, dia akan secantik bahkan melampaui kecantikan bidadari dari Kahyangan. Betapa akan terpesona semua mereka yang merasa menjadi pria, yang merasa menjadi lelaki. Kecantikan yang sempurna, kecantikan engkau wahai Dewi Sukesih, telah terwariskan pada puteri kita.
”Dan anak kita Kumbakarna dari kuping/telinga”, sang Begawan meneruskan, ”Manakala kita di perbatasan Sela Menangkep, pintu Surgawi. Kita sadar, kita merindukan Yang Menciptakan Nirwana, walau kita tidak merindukan nikmat Nirwana. Namun kitapun sadar, manakala datang cobaan-cobaan. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seks dari aku kepadamu, kitapun sadar sedang dicoba oleh sang Dewa. Maka bukankah Kakang sudah mencoba mengajak engkau ke bumi ini? Telinga kita saat itu, mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih, dari puncak Nirwana. Karena saat itu kita merasa kotor, belum siap masuk ke Nirwana. Jangan sampai mendengar kesucian yang luar biasa dari panggilan Illahi, manakala jiwa kita masih kotor, ternoda. Maka telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putera Kumbakarna.
Itu adalah perpaduan kerinduan pada kesucian, kerinduan pada kebenaran namun tanpa daya dalam dunia kekotoran. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan ’dharma’ yang sempurna dan merindukan ingin sempurna dalam amal ibadah. Tapi manusia pun tidak mau melepaskan jerat birahi, jerat harap, jerat nafsu yang kuat. Maka kerinduan ini, dari suatu Dharma dan kesucian hanya ada dalam pendengaran Nurani manusia, tidak dalam pendengaran kuping manusia. Maka Kumbakarna, wahai istriku, setelah besar nanti. Dia melihat angkara murka di sekelilingnya tapi dia tidak kuasa untuk memperbaiki. Lebih senang tidur! Meninggalkan angkara murka. Tidur dalam ketenangan, karena tidak mau terbawa oleh angkara murka, namun gagal untuk merubah angkara murka. Maka anak kita seperti gunung yang diam, dia tidur dalam kediamannya. Tahu semua yang ada di dunia ini, tapi tak mampu untuk mengubahnya.
Dia berhasil untuk tidak terserang angkara syahwat, tapi dia tak melawan, menghabiskan angkara syahwat. Syahwatnya memang tidak disenggamakan dengan sesama manusia, tidak diungkapkan dalam hubungan suami isteri, dalam hubungan lelaki dengan wanita. Tetapi, syahwatnya di bawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat, dalam tidurnya dia bersenggama. Dalam tidurnya dia merasa ketenangan. Walau tidur, nafsu tetap sempurna dalam jiwanya. ltulah manusia yang akan lahir, seperti anak kita, Kumbakarna”, demikian Begawan Wisrawa.
”Kakandaku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan mereka hidupnya. Aku sebagai Ibu yang melahirkan, terlalu berat untuk menerima kenyataan ini.” Sang Begawan mengangkat kedua tangannya ke langit, ”Wahai Maha Dewa, aku mensyukuri bahwa isteriku muncul kekuatan cintanya, disela cinta muncul tanggung-jawabnya. Wahai Maha Dewa, bukankah cinta tiada arti tanpa tanggung-jawab? Bukankah cinta tiada makna tanpa tanggung-jawab? Dan, bukankah cinta tidak harus ada tanpa tanggung-jawab?
Tanggung-jawab adalah buah dari cinta, tapi cinta itu sendiri lahir dari tanggung-jawab. Betapa Engkau telah menganugerahkan perasaan pada isteriku, untuk membuahkan cinta. Wahai Sang Dewa, isteriku telah ’meruwat’ dirinya dengan tanggung-jawab.”
”Wahai isteriku, engkau telah suci kembali, sebagaimana engkau telah sampai ke puncak Sastra Jendra Hayuningrat. Bawalah kesucian dirimu yang sudah pasti masuk ke Nirwana, atas jaminan Dewa. Bawalah cinta, bawalah kesucian dan bawalah tanggung-jawab dalam menyaksikan bagaimana anak- anak kita merusak dunia ini”, kata sang Begawan.
”Bagaimana Kakanda, seandainya para Dewa mengubah, apa yang telah Kakanda lihat tentang anak-anak kita. Bisakah itu?”, Sang Dewi bertanya.
”ltu, ’titis tulis’, Hing Dumadi”, jawab Sang Begawan, ”Kita membuat tulisannya, kita mempersiapkan daun lontarnya. Kita telah menulis dengan cinta, dengan syahwat, dengan ilmu dan dengan kesucian, pada daun lontar. Maka para Dewa meniupkan daun lontar itu jatuh di muka bumi ini.Memang hukum dunia dari kejahatan dan kemalangan, itu dibawa di permukaan daun lontar yang telah kita tulis bersama, telah tertulis pula di Nirwana.
Permata-permata indah yang menghiasi Nirwana, yang memberikan cahaya ke negeri Nirwana, yang memberikan cahaya ke alam para Dewa, mulai redup. Karena telah kita nodai dengan air kehidupan dunia di permata cahaya dinding-dinding perhiasan Nirwana. Maka Permata kehidupan berkurang pancaran cahayanya oleh percikan air yang kita siramkan ke Nirwana.”
”Oh! Kakanda. Kapankah itu? Bukankah kita tidak pernah masuk ke Nirwana ? Dijegal oleh para Dewa!?”.
”Lupakah wahai Dindaku? Ternyata perbuatan kita melakukan hubungan suami istri dan pesta syahwat, itu adalah kehendak Dewa? Dan manakala selesai Batara guru mempengaruhi kita untuk bersenggama, sang Dewa keluar dari jagad jiwa kita, kembali ke Nirwana membawa air kehidupan dunia dari tubuh kita, dari darah kita, dari daging kita.
Batara Guru tak kuasa untuk menggenggam air kehidupan dunia, maka memerciklah ke permata cahaya di dinding Nirwana. Dan Batara Guru hanya melaksanakan tugas, titah, dari kebenaran Nirwana. Dan air itu kita yang membawa ke Puncak Sastra Jendra.
Air dunia yang ternoda, kita bawa ke puncak Hayuningrat yang belum saatnya tiba. Wahai Dindaku. Anak-anak kita sudah masuk ke alam Takdir. Sudah masuk ke jagad Paria yang terendah, yang terhina, yang terhitam dari kehidupan. Anak-anak kita sudah terlanjur kita penjarakan di Alam Samsara. Walaupun mereka jahat, merekapun harus menerima penderitaan. Samsara!”
”Anak kita Rahwana, berkuasa jadi raja, apapun yang diinginkannya mampu didatangkan. Tapi apa yang didapat tidak membahagiakan anak kita. Justru itu alam Samsara, alam penderitaan yang lebih menderita dari kita sendiri, wahai isteriku.” ”Sarpa Kenaka, kecantikannya mampu membeli seribu laki-laki, menikmati seks, pesta pora dalam birahi. Seribu lelaki yang molek mudah didapatkan. Erang kuda kejantanan lelaki mudah dikecap, tapi puteri kita tidak pernah, tidak bisa menikmati, karena puteri kita ada di alam jagad Samsara, lebih mederita dari kita.”
”Anak kita Kumbakarna, dalam tidurnya dia menikmati kehidupan illusi, dalam tidurnya dia menikmati seks, pesta seks. Dalam tidumya dia ada dalam Istana dengan berbagai kemewahan dan keindahan. Tapi Kumbakarna anak kita, tidak menikmati di alam nyata. Tetapi alam illusi. Dalam tidurnya ada di jagad Samsara, di jagad penderitaan yang sangat, melampaui penderitaan kita, wahai isteriku.”
”Karena itu mereka sudah terlanjur masuk ke jagad Takdir, Kehendak Hyang Widhi. Karena kita memercikkan air noda dunia ke dinding Permata Cahaya di Nirwana.”
”Bagaimanakah wahai Kakanda, dalam menghadapi cinta anak-anak kita, seandainya pada waktunya, saya ibunya harus menderita melihat penderitaan mereka, anak-anak kita. Masihkah tetap diam?”, tanya Dewi Sukesih pada suaminya.
”Wahai isteriku, apapun usaha perjuangan dengan segala upaya untuk memperbaiki anak-anak kita, itu tidak mungkin menjadikan anak-anak kita lebih baik. Kita harus menerima penderitaan mereka, karena penderitaan itu kita pula yang mengukir.” ”Bisakah kita menyelamatkan mereka, wahai Kakanda?”
Rupanya hati seorang Ibu (Dewi Sukesih) masih selalu berharap yang terbaik bagi anak-anaknya.
”Oh Dindaku, bukankah sewaktu kita sama-sama memedar Sastra Jendra Hayuningrat, kitapun tak mampu menyelamatkan diri kita dari serangan syahwat? Bagaimana kita akan mampu menyelamatkan anak-anak kita? Kita sendiri tidak mampu menyelamakan diri kita sendiri!
Terimalah azab mereka sebagai ’cermin’ bahwa kita telah membuat tulisan dan lukisan di cermin kehidupan ini. Dan semua anak manusia ikut serta, ma’mum, kepada anak-anak kita, hingga keputusan Hyang Widhi, keputusan Allah bersama Batara Guru, bersama Batara Narada, turun ke bumi ini membebaskan Kumbakarna-Kumbakarna yang lahir.
Beribu-ribu Kumbakarna akan lahir, berjuta Sarpa Kenaka akan lahir dan berjuta Rahwana akan lahir. Hanya Hyang Maha Asih yang mampu melepaskan dari jerat noda mereka.”
”Satu-satunya wahai Dindaku, semua sisa kehidupan ini, kita peruntukkan bagi Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta Nirwana, Maha Pencipta kita. Kita serahkan semua teruntuk Hing Maha Murbeng,.” ”Dunia jagad jiwa kita, kita bagi dua. Jagad mencintai anak-anak kita dan jagad yang kita persembahkan kepada Hing Murbeng Agung,”
Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran, mereka sadar kembali dan melakukan hubungan kasih yang dilandasi kepada norma-norma Asmaragama yang mulia dengan memohon berkah kepada Gusti Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria yang berwajah bagus, putih pucat. Ini perlambang senang kepada laku tirakat, hidup sederhana dan menjalani kehidupan spiritual.
Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka.
Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran.
Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati. Kerajaan Alengka yang hancur karena perbuatan jahat Dasamuka, akan dibangun dan ditata kembali dibawah kepempiminan yang adil dan bijak dari Gunawan Wibisana.
BERTAPA KEPADA BRAHMA.
Saat masih muda, Rahwana mengadakan tapa memuja Dewa selama bertahun-tahun. Karena berkenan dengan pemujaannya, brahma muncul dan mempersilakan Rahwana mengajukan permohonan. Mendapat kesempatan tersebut, Rahwana memohon agar ia hidup abadi, tetapi permohonan tersebut ditolak oleh Brahma.
Sebagai gantinya, Rahwana memohon agar ia kebal terhadap segala serangan dan selalu unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, rakshasa, detya, danawa, segala naga dan makhluk buas. Karena menganggap remeh manusia, ia tidak memohon agar unggul terhadap mereka. Mendengar permohonan tersebut, Brahma mengabulkannya, dan menambahkan kepandaian menggunakan senjata dewa dan ilmu sihir.
RAJA ALENGKA.
Setelah memperoleh anugerah Brahma, Rahwana (Patung Totsakanth /Ravana sebagai penjaga di Wat Phra Kaew, di Thailand menggambarkan tokoh Rahwana), mencari kakeknya, Sumali, dan memintanya kuasa untuk memimpin tentaranya. Kemudian ia melancarkan serangannya menuju Alengka.
Alengka merupakan kota yang permai, diciptakan oleh seorang arsitek para dewa bernama Wiswakarma untuk Kubera, Dewa kekayaan.
Kubera juga merupakan putera Wisrawa, dan bermurah hati untuk membagi segala miliknya kepada anak-anak Kekasi.
Namun Rahwana menuntut agar seluruh Alengka menjadi miliknya, dan mengancam akan merebutnya dengan kekerasan. Wisrawa menasihati Kubera agar memberikannya, sebab sekarang Rahwana tak tertandingi.
Ketika Rahwana merampas Alengka untuk memulai pemerintahannya, ia dipandang sebagai pemimpin yang sukses dan murah hati.
Alengka berkembang di bawah pemerintahannya.
Konon rumah yang paling miskin sekalipun memiliki kendaraan dari emas dan tidak ada kelaparan di kerajaan tersebut.
BERBAKTI KEPADA SYIWA/SIWA.
Rahwana mengangkat gunung Kailasha. Relief dari Gua Ellora, Maharashtra.
Setelah keberhasilannya di Alengka, Rahwana mendatangi Dewa Siwa di kediamannya di gunung Kailash. Tanpa disadari, Rahwana mencoba mencabut gunung tersebut dan memindahkannya.
Siwa yang merasa kesal dengan kesombongan Rahwana, menekan Kailasha dengan jari kakinya, sehingga Rahwana tertindih pada waktu itu juga. Kemudian Gana datang untuk memberitahu Rahwana, pada siapa ia harus bertobat.
Kemudian Rahwana menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Siwa, dan konon ia melakukannya selama bertahun-tahun, sampai Siwa membebaskannya dari hukuman. Terkesan dengan keberanian dan kesetiaannya, Siwa memberinya kekuatan tambahan, khususnya pemberian hadiah berupa Chandrahasa (pedang-bulan), pedang yang tak terkira kuatnya. Selanjutnya Rahwana menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rahwana terkenal dengan tarian pemujaannya kepada Siwa yang bernama Shiva Tandava Stotra.
Semenjak peristiwa tersebut ia memperoleh nama Rahwana, berarti Rahwana yang raungannya dahsyat, diberikan kepadanya oleh Siwa, konon bumi sempat berguncang saat Rahwana menangis kesakitan karena ditindih gunung.
RAJA DI TIGA DUNIA.
Dengan kekuatan yang diperolehnya, Rahwana melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura rakshasa detya danawa), dan makhluk surgawi.
Setelah menaklukkan Patala (dunia bawah tanah), ia mengangkat Ahirawan sebagai raja. Rahwana sendiri menguasai ras asura di tiga dunia.
Karena tidak mampu mengalahkan Wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia menjalin persahabatan dengan mereka.
Setelah menaklukkan para raja dunia, ia mengadakan upacara yang layak dan dirinya diangkat sebagai Maharaja.
Oleh karena Kubera telah menghina tindakan Rahwana yang kejam dan tamak, Rahwana mengerahkan pasukannya menyerbu kediaman para dewa, dan menaklukkan banyak dewa. Lalu ia mencari Kubera dan menyiksanya secara khusus. Dengan kekuatannya, ia menaklukkan banyak dewa, makhluk surgawi, dan bangsa naga.
PETUALANG CINTA
Rahwana menculik Sita dan membunuh Jatayu. Lukisan karya Raja Ravi Varma.
Selain terkenal sebagai penakluk tiga dunia, Rahwana juga terkenal akan petualangannya menaklukkan para wanita. Rahwana memiliki banyak istri, yang paling terkenal adalah Mandodari, putera Mayasura dengan seorang bidadari bernama Hema. Ramayana mendeskripsikan bahwa istana Rahwana dipenuhi oleh para wanita cantik yang berasal dari berbagai penjuru dunia.
Dalam Ramayana juga dideskripsikan bahwa di Alengka, semua wanita merasa beruntung apabila Rahwana menikahinya. Dua legenda terkenal menceritakan kisah pertemuan Rahwana dengan wanita istimewa.
Wanita istimewa pertama adalah Wedawati, seorang pertapa wanita. Wedawati mengadakan pemujaan ke hadapan Wisnu agar ia diterima menjadi istrinya.
Ketika Rahwana melihat kecantikan Wedawati, hatinya terpikat dan ingin menikahinya. Ia meminta Wedawati untuk menghentikan pemujaannya dan ia merayu Wedawati agar bersedia untuk menikahinya.
Karena Wedawati menolak, Rahwana mencoba untuk melarikannya.
Kemudian Wedawati bersumpah bahwa ia akan lahir kembali sebagai penyebab kematian Rahwana.
Setelah berkata demikian, Wedawati membuat api unggun dan menceburkan diri ke dalamnya.
Bertahun-tahun kemudian ia bereinkarnasi sebagai Sita, yang diculik oleh Rahwana sehingga Rama turun tangan dan membunuh Rahwana.
CERITA DEWI SITA.
Setelah pos jaga para raksasa di Yanasthana dihancurkan oleh Rama dan Laksmana, berita tersebut disampaikan kepada Rahwana.
Menteri Rahwana yang bernama Akampana menyarankan agar Rahwana mau menculik Sita, tetapi niat tersebut ditolak oleh Marica.
Setelah adik perempuan Rahwana yang bernama Surpanaka mengadu bahwa dua orang kesatria telah melukainya, Rahwana marah besar.
Ia segera menuju ke kediaman Marica untuk meminta bantuan, tanpa memedulikan nasihat baik dari Marica.
Setelah rencana disusun, Marica menyamar menjadi kijang kencana untuk mengalihkan perhatian Rama, sedangkan Rahwana menyamar menjadi seorang brahmana tua yang lemah.
Ketika Rama dan Laksmana berada jauh, Rahwana segera menjangkau Sita, dan setelah itu Sita dibawa kabur. Sita disekap di taman Asoka, letaknya di dalam lingkungan istana Rahwana di kerajaan Alengka.
Di sana, Rahwana berkali-kali mencoba merayu Sita namun tidak pernah berhasil.
Pertempuran dan kematian.
Adegan Rahwana bertarung dengan Rama. Lukisan dari Tamil Nadu, dibuat sekitar abad ke-19.
Tindakan Rahwana mengundang kemarahan Rama. Dengan bantuan dari raja wanara bernama Sugriwa, Rama menggempur Alengka. Untuk mengantisipasi serangan Rama, Rahwana mengirimkan pasukan terbaiknya yang dipimpin oleh raksasa-raksasa kuat. Serangan pertama dilakukan oleh Hanoman pada saat ia datang ke Alengka sebagai mata-mata untuk menemui Sita. Dalam pertempuran tersebut, putera Rahwana yang bernama Aksayakumara gugur. Dalam pertempuran selanjutnya, para menteri dan kerabat Rahwana gugur satu persatu, termasuk
Indrajit putera Rahwana dan Kumbakarna adik Rahwana.
Pada hari pertempuran terakhir, Rahwana maju ke medan perang sendirian dengan menaiki kereta kencana yang ditarik delapan ekor kuda terpilih.
Ketika ia keluar dari Alengka, langit menjadi gelap oleh gerhana matahari yang tak terduga. Beberapa orang berkata bahwa itu merupakan pertanda buruk bagi Rahwana yang tidak menghiraukannya sama sekali. Pertempuran terakhir antara Rama dengan Rahwana berlangsung dengan sengit.
Pada pertempuran itu, Rama menaiki kereta Indra dari sorga, yang dikemudikan oleh Matali. Setiap Rama mengirimkan senjatanya untuk menghancurkan Rahwana, raksasa tersebut selalu dapat bangkit kembali sehingga membuat Rama kewalahan. Untuk mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata Brahmastra yang tidak biasa. Senjata tersebut menembus dada Rahwana dan merenggut nyawanya seketika.
Salah satu versi Ramayana menceritakan bahwa Rahwana tidak mampu dibunuh meski badannya dihancurkan sekalipun, sebab ia menguasai ajian Rawarontek serta Pancasona.
Untuk mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata sakti yang dapat berbicara bernama Kyai Dangu.
Senjata tersebut mengikuti ke mana pun Rahwana pergi untuk menyayat kulitnya.
Setelah Rahwana tersiksa oleh serangan Kyai Dangu, ia memutuskan untuk bersembunyi di antara dua gunung kembar.
Saat ia bersembunyi, perlahan-lahan kedua gunung itu menghimpit badan Rahwana sehingga raja raksasa itu tidak berkutik.
Menurut cerita, kedua gunung tersebut adalah kepala dari Sondara dan Sondari, yaitu putera kembar Rahwana yang dibunuh untuk mengelabui Sita.
Versi ini ditampilkan oleh R. A. Kosasih dalam komik Ramayana karyanya.
Rahwana memiliki banyak kerabat dan saudara yang disebutkan dalam Ramayana.
Karena sulit menemukan data-data mengenai mereka selain Ramayana, tidak banyak yang diketahui tentang mereka. Menurut Ramayana, ibu Rahwana adalah puteri seorang Detya bernama Sukesi, menikahi seorang pertapa bernama Wisrawa. Rahwana memiliki kakek bernama Pulastya, putera Brahma. Dari pihak ibunya, Rahwana memiliki kakek bernama Sumali, dan ia memiliki paman bernama Marica, putera Tataka, saudara Malyawan.
Rahwana memiliki tiga istri, dan tujuh putera.
Tujuh putera Rahwana yaitu :
1. Indrajit alias Megananda.
2. Prahasta.
3. Atikaya
4. Aksa alias Aksayakumara.
5. Dewantaka.
6.Narantaka.
7. Trisirah
Selain itu, Rahwana memiliki enam saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Saudara-saudaranya tersebut terdiri dari tiga saudara kandung dan lima saudara tiri. Saudara-saudara Rahwana yaitu :
1. Kubera, kakak tiri Rahwana, lain ibu namun satu ayah. Raja Alengka sebelum Rahwana. Ia merupakan dewa penjaga arah utara, sekaligus dewa kekayaan.
2. Kumbakarna, adik kandung Rahwana. Rakshasa yang tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan karena anugerah Brahma.
3. Wibisana, adik kandung Rahwana. Penasihat di Kerajaan Alengka.
4. Kara, adik tiri Rahwana. Raja dan pelindung perbatasan Alengka yang bernama
5. Janasthan atau Yanasthana di
Chitrakuta.
6. Dusana, adik tiri Rahwana. Patih di Yanasthana.
7. Ahirawana, adik tiri Rahwana. Raja di Patala.
8. Kumbini, adik tiri Rahwana. Istri rakshasa Madhu, ibu dari Lawanasura.
9. Surpanaka, adik kandung Rahwana.
10. Rakshasi yang tinggal di Yanasthana, dilukai oleh Laksmana. Ia mengadu kepada Kara dan Rahwana, dan merupakan biang keladi yang menyebabkan permusuhan antara Rama dan Rahwana.
ANGKARA MURKA
Artine angkara murka terdapat beberapa arti dari angkara murka, diantaranya adalah :
1. Angkara murka itu artinya kebengisan atau ketamakan. Seseorang yang memiliki angkara murka dalam hatinya selalu memiliki kehendak serba sangat. Misalnya sangat ingin disegani, sangat ingin senang, sangat ingin menang sendiri. Nafsu angkara murka membuat manusia merasa kurang dan dirundung kesusahan. Obat dari nafsu tersebut adalah nrimo ing pandum.
2. Angkara murka adalah diilustrasikan dalam sebuah film indonesia tahun 1972 yang disutradarai oleh Misbach Jsa Biran dan dibintangi oleh Rachmat Kartolo dan W.D. Mochtar
SIKAP AMBEG ANGKARA MURKA BUDI CANDALA.
Sikap ambeg angkara murka budi candala adalah gambaran orang yang jahat sejahat-jahatnya manusia. Ia berwatak angkara murka. Dengan segala sikapnya yang kasar dan keras, ia menjadi sumber kekacauan dan keributan dalam kehidupan bersama. Bahkan, dengan muda, orang yang ambeg angkara murka budi candala terpancing untuk melakukan penumpahan darah terhadap orang yang berbeda dari dirinya.
Contoh referensi sikap ambeg angkara murka budi candala :
1. Dalam dunia pewayangan, sikap ambeg angkara murka sering digambarkan dalam diri para Kurawa atau juga dalam diri Rahwana. Baik para Kurawa dari versi Mahabarata maupun Rahwana dalam versi Ramayana adalah sosok pribadi yang ambeg angkara murka budi candala. Mereka mudah sekali menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan dan kepentingan mereka pribadi. Bahkan, kerap kali mereka bersikap kasar terhadap kaum lemah.
2. Sebenarnya, kearifan lokal falsafah Jawa ini bisa menjadi semacam kaca benggala untuk melihat diri sendiri dan sesama. Dengan kearifan ini, kita diajak untuk bertanya diri, apakah aku masih dikuasai oleh watak ambeg angkara murka budi candala? Atau, kita bisa melihat orang-orang lain, apakah mereka itu masuk dalam kelompok yang berwatak ambeg angkara murka budi candala? Ataukah yang sebaliknya, yang baik dan positif, yakni watak ambeg paramarta atau ambeg parama arta, yakni orang yang baik, sabar, murah hati dan derwaman?
3. Dalam konstelasi sosial-politik-kemasyarakatan, kacan benggala ini juga bisa dipakai untuk kriteria mengambil keputusan dalam hal memberikan pilihan atau dukungan pada calon pemimpin tertentu. Janganlah memilih mereka yang masih menampilkan watak ambeg angkara murka, sebab mereka tak akan membawa bangsa ini maju dan sejahtera, melainkan justru akan menyengsarakan rakyat demi kepentingan dan kekuasaan mereka sendiri.
Demikianlah, refleksi tentang sikap ambeg angkara murka budi candala ternyata tak bisa dipisahkan dari lawannya yakni ambeg paramarta. Yang kedua selalu menjadi pilihan yang terbaik daripada yang pertama dalam konteks refleksi ini. Yang kedua adalah ambeg paramarta, yang pertama adalah ambeg angkara murka budi candala.
4. Bersikap ambeg angkara murka budi candala, saya mengusulkan, lebih baik bersikap lemah lembut atau bahkan diam. Diam dalam arti tidak melawan angkara murka dengan kekerasan, tetapi tetap melawan dengan suara dan karya demi kebaikan. Lawan dengan karya nyata yang baik, meskipun dipandang sebelah mata, bahkan dipersalahkan.