Tari Gambyong adalah salah satu seni tari tradisional yang sangat terkenal di Jawa Tengah. Jenis tarian ini tetap lestari dan menjadi bagian masyarakat Jawa yang sangat beragam. Umumnya tari ini dipentaskan pada acara adat, serta pagelaran kebudayaan yang dihadiri masyarakat luas.
Tarian ini dianggap mempunyai ciri khas serta keunikan dibanding tarian daerah lainnya. Tari gambyong adalah salah satu jenis tarian Jawa klasik yang berasal dari daerah Surakarta. menurut sejarahnya, tarian gambyong merupakan bentuk baru dari tari tayub yang sering digelar untuk menyambut tamu pada cara hajatan rakyat.
Gambyong merupakan salah satu bentuk tarian Jawa klasik yang berasal-mula dari wilayah Surakarta dan biasanya dibawakan untuk pertunjukan atau menyambut tamu. Gambyong bukanlah satu tarian saja melainkan terdiri dari bermacam-macam koreografi, yang paling dikenal adalah :
1. Tari Gambyong Pareanom (dengan beberapa variasi).
2. Tari Gambyong Pangkur (dengan beberapa variasi). Meskipun banyak macamnya, tarian ini memiliki dasar gerakan yang sama, yaitu gerakan tarian tayub / ledhek. Pada dasarnya, gambyong dicipta untuk penari tunggal, tetapi sekarang lebih sering dibawakan oleh beberapa penari dengan menambahkan unsur blocking panggung, sehingga melibatkan garis dan gerak yang serba besar.
Dalam goresan karya mahakarya adiluhung tulisan Serat Centhini, kitab yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820) dan Pakubuwana V (1820-1823), telah menyebut adanya gambyong sebagai tarian tlèdhèk. Selanjutnya, salah seorang penata tari pada masa pemerintahan Pakubuwana IX (1861-1893) bernama K.R.M.T. Wreksadiningrat menggarap tarian rakyat ini agar pantas dipertunjukkan di kalangan para bangsawan atau priyayi.
Tarian rakyat yang telah diperhalus ini menjadi populer dan menurut Nyi Bei Mardusari, seniwati yang juga selir Sri Mangkunegara VII (1916-1944), gambyong biasa ditampilkan pada masa itu di hadapan para tamu di lingkungan Istana Mangkunegaran.
Perubahan penting terjadi ketika pada tahun 1950, Nyi Bei Mintoraras, seorang pelatih tari dari Istana Mangkunegaran pada masa Mangkunegara VIII, membuat versi gambyong yang dibakukan, yang dikenal sebagai Gambyong Pareanom.
Koreografi ini dipertunjukkan pertama kali pada upacara pernikahan Gusti Nurul, saudara perempuan MN VIII, pada tahun 1951. Tarian ini disukai oleh masyarakat sehingga memunculkan versi-versi lain yang dikembangkan untuk konsumsi masyarakat luas.
Secara umum, Tari Gambyong terdiri atas tiga bagian, yaitu : awal, isi, dan akhir atau dalam istilah tari Jawa gaya Surakarta disebut dengan istilah maju beksan, beksan, dan mundur beksan.
Yang menjadi pusat dari keseluruhan tarian ini terletak pada gerak kaki, lengan, tubuh, dan juga kepala.
Gerakan kepala dan juga tangan yang terkonsep adalah ciri khas utama tari Gambyong.
Pandangan mata selalu mengiringi atau mengikuti setiap gerak tangan dengan cara memandang arah jari-jari tangan juga merupakan hal yang sangat dominan.
Selain itu gerakan kaki yang begitu harmonis seirama membuat tarian gambyong indah dilihat.
Pada awalnya, tari gambyong digunakan pada upacara ritual pertanian yang bertujuan untuk kesuburan padi dan perolehan panen yang melimpah.
Dewi Padi (Dewi Sri) digambarkan sebagai penari-penari yang sedang menari.
Sebelum pihak keraton Mangkunegara Surakarta menata ulang dan membakukan struktur gerakannya, tarian gambyong ini adalah milik rakyat sebagai bagian upacara.
Kini, tari gambyong dipergunakan untuk memeriahkan acara resepsi perkawinan dan menyambut tamu-tamu kehormatan atau kenegaraan.
Ciri khusus tari Gambyong :
1. Pakaian yang digunakan bernuansa warna kuning dan warna hijau sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan.
2. Sebelum tarian dimulai, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur.
3. Teknik gerak, irama iringan tari dan pola kendhangan mampu menampilkan karakter tari yang luwes, kenes, kewes, dan tregel.