ASTROLOGI & ASTRONOMI JAWA
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya berbagai ragam kebudayaan dari peninggalan nenek moyang diantara tinggalan (artefak) itu ialah naskah, isinya bisa berupa sistem pengetahuan manusia yang digunakan sebagai pedoman tindakan oleh masyarakat yang bersangkutan dan diselimuti serta menyelimuti perasaan- perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber untuk menilai, yaitu penilaian yang baik dan buruk, berharga atau tidak, bersih atau kotor. Hal itu terjadi karena kebudayaan mengandung nilai-nilai moral yang bersumber pada pandangan hidup dan kode etik yang dimiliki oleh setiap manusia.
Kebudayaan luhur itu ada tiga tahap :
1. Mitis
Yang dimaksud dengan mitis, ialah suatu tahap yang ditandai oleh sikap manusia yang merasa terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya.
2. Ontologis
Tahap ontologis adalah tahap yang sudah melalui tahap mitis, sehingga sikap manusianya sudah secara bebas ingin meneliti segala hal di luar dirinya.
3. Fungsional.
Untuk tahap fungsional ialah tahap yang berada di atas tahap ontologis, yaitu tahap yang dimana sikap dan alam pikiran manusianya sudah tampak semakin modern.
Informasi hasil budaya masa lampau yang terungkap dalam sastra lama dapat kita telusuri lewat peninggalan tulisan berupa naskah . Naskah merupakan salah satu wujud dokumen sejarah yang menggambarkan budaya pada masa lampau. Naskah dikaji dalam bidang ilmu filologi. Naskah yang dimaksud adalah semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita yang ditulis pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Naskah sebagai warisan budaya masa lampau mengandung isi yang sangat kaya dan beraneka ragam, seperti :
1. Masalah keagamaan
2. Kebahasaan
3. Filsafat dan Foklor
4. Mistik Rahasia
5. Ajaran dan Pendidikan Moral
6. Mengenai Peraturan dan Pelanggar Hukum
7. Keturunan Raja-Raja
8. Bangunan dan Arsitektur
9. Obat-obatan
10. Perbintangan
11. Ramalan
12. Kesastraan
13. Kisah Epic (Kakawin)
14. Sejarah (Babad)
Astrologi adalah ilmu perbintangan yang dapat dibedakan dengan astronomi. Astrologi mengakar pada kebudayaan yang beragam dengan penamaan yang beragam. Astrologi menggunakan isyarat pergerakan benda langit sebagai penanda situasi alam atau manusia di bumi. Astrolog percaya bahwa pergerakan bintang dan benda langit lainnya memiliki hubungan dengan situasi manusia dan alam di bumi. Hal ini menggambarkan keterhubungan antar penggambaran ilustrasi anasir dan penafsiran yang terdapat di alam semesta.
Masyarakat Yunani Kuno dan China (kini Tiongkok) memiliki pemahaman dan sistem penandaan tersendiri tentang astrologi. Yunani mungkin adalah salah satu model astrologi yang cukup dikenal. Nama-nama, seperti Sagitarius, Cancer, Libra dan Aquarius adalah nama-nama yang cukup populer. Shio adalah astrologi China yang juga cukup populer di Indonesia. Seperti Astrologi Yunani, Shio adalah penanda berupa hewan-hewan yang melambangkan waktu, tahun dan bulan dengan karakteristik masing-masing. Hewan melambangkan keterhubungan antara 12 cabang bumi, waktu dan lima unsur utama kehidupan. Periode shio berputar selama 60 tahun.
Masyarakat sekarang lebih mengenal Ilmu Astrologi Barat atau Yunani kuno yang sering disebut Zodiak. Masyarakat Jawa juga memiliki sistem astrologi yang unik. Astrologi Jawa berkembang dari kearifan budaya Jawa Kuno. Pranata mangsa adalah istilah penting yang digunakan. Pranata mangsa berarti sifat umum yang melekat pada suatu zaman atau masa. Pranata tersebut juga memiliki sistem perputaran atau rotasi seperti horoskop Yunani (zodiak) dan Shio pada kebudayaan China.
Pranata mangsa pada kebudayaan Jawa mencakup :
1. Kaso
2. Karo
3. Katelu
4. Kapat
5. Kalima
6. Kanem
7. Kapitu
8. Kawolu
9. Kasangka
10. Kasadasa
11. Desta
12. Saddha
Selain perhitungan masa dengan mengacu pada perputaran matahari dengan ciri khas 12 bulan, astrologi Jawa juga mengenal istilah weton. Weton memperkirakan kepribadian, sifat dan nasib seseorang. Meski tidak bersifat mutlak, weton digunakan sebagai pengingat bagi orang Jawa untuk berhati-hati dalam menjalani hidup. Filosofi hidup eling lan waspada (ingat dan selalu waspada) menjadi unsur penting dalam pemahaman tentang weton dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa.
Astrologi Jawa melalui penanda weton juga menggambarkan ciri-ciri umum kepribadian, bahkan ciri fisik pada waktu anak-anak, remaja dan dewasa. Astrologi Jawa beroperasi dengan menggunakan filosofi titen (teliti, cermat, rinci) terhadap fenomena alam dan keterkaitannya dengan manusia dan peristiwa lingkungan.
Ilmu titen sangat operasional pada konteks pranata mangsa. Melalui ketelitian untuk mengamati dan menghubungkan gejala alam, pranata mangsa memungkinkan orang Jawa memerkirakan waktu tanam, jenis tanaman yang cocok dan kemungkinan penyakit tanaman pada periode (mangsa) tertentu. Pranata mangsa bahkan menggambarkan musim dan iklim pada periode waktu tertentu. Perubahan ekosistem global kini banyak dipercaya membuat sistem penandaan pranata mangsa tidak sesuai lagi dengan kondisi alam. Hal ini membutuhkan kekuatan filosofi titen untuk kembali menghidupkan sistem penandaan alam yang dapat menginspirasi manusia secara luas.
Terdapat beberapa kata kunci penting yang menjadi intisari astrologi Jawa, yaitu filosofi Eling lan Waspada dan Ilmu Titen. Eling lan waspada merupakan instrumen yang mengingatkan orang Jawa untuk selalu ingat (pada Tuhan dan kebaikan), serta waspada agar tidak terjerumus pada kejahatan. Ilmu atau filosofi titen mengajarkan manusia Jawa untuk selalu berusaha rinci dan cermat memahami gejala alam dan manusia. Weton dan pranata mangsa adalah sistem penandaan yang bersumber dari kearifan eling lan waspada serta ilmu titen.
Astrologi adalah ilmu perbintangan yang dipakai untuk meramal dan mengetahui nasib orang. Ilmu Astrologi bukan hanya dimiliki oleh orang-orang Yunani kuno. Tetapi orang Jawa juga punya ilmu Astrologi jawa yang telah ada secara turun temurun dari nenek moyang kita. Sejak jaman dahulu nenek moyang kita telah mempunyai patokan perbintangan untuk mengamati Alam Semesta dan Kehidupan. Tapi modernisasi telah mengikis kepercayaan masyarakat pada ilmu Astrologi Jawa. Padahal Astrologi jawa adalah hasil kajian dari nenek moyang kita sendiri, yang tentunya lebih sesuai bagi Alam Semesta Nusantara.
Nasib seseorang yang dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa adalah seperti Keberuntungan, Kesehatan, Sifat khusus, Pekerjaan/Karier, Rejeki, Jodoh, hobi, Batu permata, serta Warna dan Bunga yang digemari. Bahkan keadaan fisik, masa kanak-kanak, masa remaja, ciri khas yang mencolok, hobi, dan hal yang lainnya juga dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa. Karena itulah ada istilah weton atau hari lahir yang dimiliki oleh setiap orang. Berdasarkan weton ini lah orang jawa akan meramal atau mengetahui bagaimana nasib atau sifat dari seseorang atau anak-anak mereka.
Sekarang ini kebanyakan orang menggunakan perhitungan weton hanya ketika akan menentukan jodoh atau juga hari baik untuk melaksanakan hajatan. Padahal dari weton itu sendiri kita dapat meramal atau mengetahui banyak hal lain yang berhubungan dengan diri seseorang. Atau juga mengetahui tentang hal baik dan buruk dari suatu mangsa. Sebagai contoh untuk menentukan waktu baik saat memulai masa tanam, menentukan jenis tanaman, dan hal lain yang berhubungan dengan pertanian. Dan juga untuk menentukan hari baik saat akan membuat atau memindah rumah. Dengan menggunakan Ilmu Astrologi Jawa tentunya.
Banyak orang yang beranggapan bahwa sekarang sudah bukan jamannya lagi menggunakan ilmu Astrologi Jawa. Bahkan sebagian orang sudah tidak mempercayai adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita ini. Mereka lebih memilih tren yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh banyaknya orang yang memilih tanggal 12 desember 2012 untuk melaksanakan pernikahan mereka. Karena mereka anggap tanggal, bulan dan tahun itu spesial yaitu angka 12-12-12. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah ketika para ibu hamil memilih anak mereka dilahirkan pada tanggal spesial itu dengan cara operasi cesar. Padahal anak tersebut belum waktunya untuk dilahirkan pada hari itu. Masyarakat sekarang lebih memilih sesuatu yang dianggap spesial dan bisa dibanggakan. Dan mereka tak lagi peduli dengan istilah perhitungan hari baik atau pun hari kelahiran. Padahal Ilmu Astrologi Jawa adalah hasil dari kajian nenek moyang kita yang tentunya tidak dihasilkan dengan cara asal-asalan.
Mungkin berbicara tentang Astrologi Jawa di jaman modern sekarang ini,yang semua hal dapat dilakukan dengan teknologi. Akan dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, bahkan dianggap sesat ketika dihubungkan dengan Tuhan atau pun agama tertentu. Tapi biar bagaimana pun juga Astrologi Jawa adalah sebuah warisan adat yang merupakan has
Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang Ahli perbintangan Jawa Kuno membaca langit untuk berbagai keperluan seperti membangun Candi Borobudur. Pengetahuan astronomi hampir dimiliki semua etnis di Nusantara, baik masyarakat maritim maupun agraris. Kendati dibalut mitologi, nenek moyang Nusantara telah merekam dan menjelaskan dengan baik fenomena alam yang diamatinya termasuk astronomi.
Sebagai contohnya, di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga. Tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit. Di Bali, wariga adalah istilah untuk menyebut primbonnya. Naskah lontar kemudian juga ada yang disebut wariga, karena memuat pengetahuan astronomi dan penanggalan rumit juga.
Beberapa prasasti menyebut profesi wariga.
Misalnya :
1. Prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883).
2. Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa.
Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan. Namun, hanya sepuluh nama yang sering disebut antara lain :
1) Wariga
2) Gusti
3) Kalang (tuha kalang)
4) Winkas
5) Tuha banua
6) Parujar
7) Huluair
8) Tuhlas
9) Tuhah
10) Hulu wras
Seorang wariga Jawa Kuno biasanya mengamati konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet ketika perintah raja dituangkan dalam sebuah prasasti. Misalnya dalam Prasasti Tuhannaru. Selain berisi penetapan desa perdikan, prasasti ini dibuka dengan informasi pertanggalan lengkap ketika prasasti itu diturunkan. Termasuk konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet di langit Mojokerto ketika itu, yaitu 1245 Saka, Masa (bulan dalam tarikh Saka) Margasira yang merujuk pada November hingga Desember. Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-unsur Penanggalan Prasasti yang terbit di Pentas Ilmu di Ranah Kebudayaan, jika dikonversikan ke tarikh Masehi, prasasti tembaga itu dikeluarkan pada sekira pukul 06.56 pagi, hari Selasa Legi, tanggal 13 Desember 1323, lengkap dengan konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet. Posisi benda langit juga penting ketika orang kuno akan membangun bangunan suci. Hal pertama yang mereka lakukan ketika akan mendirikan candi adalah menanam tiang gnomon untuk melihat bayangan matahari. Mereka mencari titik pusat yang sakral atau brahmasthana sebagai pusat candi. Di sinilah kekuatan yang melindungi bangunan suci itu dianggap ada.
Ilmu astronomi juga banyak dianggap menjadi dasar pembangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Sejumlah penelitian memberikan beberapa kemungkinan tentang fungsi astronomisnya. Ada penelitian yang menduga kalau stupa induk di Borobudur adalah sebuah gnomonnya dan stupa di sekelilingnya adalah penanda waktu. Cara kerjanya mirip seperti jam matahari. Ada juga yang menyebutnya sebagai kalender tahunan. Pun ada pula yang menghubungkan pada arah bintang-bintang tertentu.
Ada yang mengaitkan dengan gerakan matahari karena Buddha disimbolkan dengan matahari juga, jadi ada yang mengkaitkannya dengan itu.
Dalam mitologi Yunani, Pleiades adalah 7 bersaudara, putri-putri Atlas, raksasa (Titan) yang memanggul bola Bumi di atas bahunya. Nama-nama mereka digunakan untuk menamai 7 bintang utama Pleiades. Mengenai asal nama Pleiades sendiri, terdapat beberapa versi. Versi pertama menyebutkan bahwa Pleiades berarti putri-putri Pleione, yang mana Pleione adalah ibu para Pleiades. Versi kedua, yang lebih disukai, menyatakan bahwa kata Pleiades berasal dari akar kata plein yang berarti berlayar. Versi ini sangat terkait dengan fungsi Pleiades dalam dunia pelayaran, dimana heliacal rise Pleiades menandakan dimulainya musim pelayaran di Laut Tengah/Laut Mediterania.
Di Indonesia, Pleiades dikenal dengan berbagai nama. Di pulau Jawa, namanya adalah Lintang Kartika, dua kata yang maknanya sama yaitu bintang. Beberapa orang berpendapat bahwa nama ganda tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pleiades bagi masyarakat Jawa. Nama lainnya adalah Bintang Tujuh, meski kadang istilah ini sedikit rancu dengan Rasi Ursa Major/Beruang Besar yang juga memiliki asterism 7 bintang.
Banyak orang yang beranggapan bahwa sekarang sudah bukan jamannya lagi menggunakan ilmu Astrologi Jawa. Bahkan sebagian orang sudah tidak mempercayai adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita ini. Mereka lebih memilih tren yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh banyaknya orang yang memilih tanggal 12 desember 2012 untuk melaksanakan pernikahan mereka. Karena mereka anggap tanggal, bulan dan tahun itu spesial yaitu angka 12-12-12. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah ketika para ibu hamil memilih anak mereka dilahirkan pada tanggal spesial itu dengan cara operasi cesar. Padahal anak tersebut belum waktunya untuk dilahirkan pada hari itu. Masyarakat sekarang lebih memilih sesuatu yang dianggap spesial dan bisa dibanggakan. Dan mereka tak lagi peduli dengan istilah perhitungan hari baik atau pun hari kelahiran. Padahal Ilmu Astrologi Jawa adalah hasil dari kajian nenek moyang kita yang tentunya tidak dihasilkan dengan cara asal-asalan.
Mungkin berbicara tentang Astrologi Jawa di jaman modern sekarang ini,yang semua hal dapat dilakukan dengan teknologi. Akan dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, bahkan dianggap sesat ketika dihubungkan dengan Tuhan atau pun agama tertentu. Tapi biar bagaimana pun juga Astrologi Jawa adalah sebuah warisan adat yang merupakan hasil kajian nenek moyang kita. Yang tentunya harus tetap kita jaga keberadaannya. Adat dan Budaya adalah merupakan salah satu ciri khas dari orang desa. Yang telah ada dan diwariskan oleh para nenek moyang kita,yang telah dihasilkan dari kajian Alam Semesta Nusantara. Di sisi lain, oritentasi Candi Borobudur juga mengarah ke Gunung Merapi. Ini bisa dikaitkan dengan upaya memadukan unsur agama Buddha dan sebagai landmark untuk tetenger. Pasalnya, keduanya sering dikaitkan dengan matahari dan gunung.
Mengenal Pleiades
Dalam peradapan kehidpan masyarakat, pernah mendengar istilah Bintang Tujuh, baik dalam sudut pandang perbintangan maupun sebagai nama perusahaan farmasi terkenal.
Mengenal Pleiades Dalam Astronomi, Pleiades adalah gugusan bintang terbuka (Open Star Cluster). Gugusan bintang ini terdiri dari lebih dari seribu bintang yang sudah diketahui, namun karena jaraknya yang cukup jauh dengan Bumi, Pleiades terlihat hanya terdiri dari tujuh bintang utamanya, yaitu :
1. Alcyone
2. Celaeno
3. Electra
4. Maia
5. Merope
6. Taygeta
7. Sterope
Kadang disebutkan ada 9 bintang utama, yaitu tujuh putri tersebut ditambahkan dua bintang lagi, yaitu :
1. Atlas
2. Pleione (orang tua Pleiades dalam mitologi Yunani).
Meskipun seringkali disebut sebagai rasi bintang, Pleiades sebenarnya bukanlah salah satu dari 88 rasi bintang yang diakui oleh International Astronomical Union (IAU). Lebih tepatnya Pleiades adalah salah satu asterism, yaitu kumpulan bintang yang membuat suatu bentuk tertentu (sebagaimana rasi) namun merupakan bagian dari satu atau lebih rasi yang diakui oleh IAU. Dalam hal ini, Pleiades adalah asterism dari rasi Taurus.
Dalam mitologi Yunani, Pleiades adalah 7 bersaudara, putri-putri Atlas, raksasa (Titan) yang memanggul bola Bumi di atas bahunya. Nama-nama mereka digunakan untuk menamai 7 bintang utama Pleiades.
Mengenai asal nama Pleiades sendiri, terdapat beberapa versi :
1. Versi pertama menyebutkan bahwa Pleiades berarti putri-putri Pleione, yang mana Pleione adalah ibu para Pleiades.
2. Versi kedua, yang lebih disukai, menyatakan bahwa kata Pleiades berasal dari akar kata plein yang berarti berlayar. Versi ini sangat terkait dengan fungsi Pleiades dalam dunia pelayaran, dimana heliacal rise Pleiades menandakan dimulainya musim pelayaran di Laut Tengah/Laut Mediterania.
Di pulau Jawa, namanya adalah Lintang Kartika, dua kata yang maknanya sama yaitu bintang. Beberapa orang berpendapat bahwa nama ganda tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pleiades bagi masyarakat Jawa. Nama lainnya adalah Bintang Tujuh, meski kadang istilah ini sedikit rancu dengan Rasi Ursa Major/Beruang Besar yang juga memiliki asterism 7 bintang.
Alkisah ada seorang pemuda di pulau Jawa yang bernama Jaka Tarub. Suatu hari Jaka Tarub pergi berburu ke hutan. Dalam perjalanan itu, dia tiba di sebuah danau dan tak sengaja menemukan bahwa di danau tersebut terdapat tujuh orang bidadari dari langit yang sedang mandi. Karena terpikat oleh kecantikan bidadari-bidadari tersebut, Jaka Tarub mencuri selendang salah satu dari tujuh bidadari tersebut dan kembali ke tempat persembunyiannya, menunggu.
Ketika tiba waktunya para bidadari itu untuk kembali ke Kahyangan, salah satu dari mereka tidak dapat menemukan selendangnya. Nawangwulan, demikian nama bidadari itu, tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan tanpa selendangnya. Akhirnya saudara-saudaranya terpaksa meninggalkan Nawangwulan di bumi. Nawangwulan hanya bisa menangis.
Melihat kesempatan emas ini, Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan menyatakan niatnya untuk membantu. Singkat cerita, Jaka Tarub dan Nawangwulan akhirnya menikah. Sebelum menikah, Nawangwulan mengajukan syarat: Jaka Tarub tidak boleh mengintipnya ketika dia melakukan pekerjaan rumah tangga, dan tidak boleh bertanya sedikitpun mengenai hal tersebut. Karena cintanya pada Nawangwulan, Jaka Tarub menyanggupi. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak perempuan bernama Nawangsih.
Meskipun telah berjanji, Jaka Tarub penasaran akan bagaimana Nawangwulan melakukan pekerjaan rumah tangga, terutama menanak nasi. Pasalnya, beras di lumbung tidak pernah berkurang, bahkan selalu bertambah setiap kali habis panen. Ketika ia tak mampu lagi membendung rasa ingin tahunya, ia membuka penanak nasi ketika Nawangwulan baru saja menanak nasi. Dari situ diketahuinya bahwa Nawangwulan hanya membutuhkan satu butir beras untuk memasak nasi kebutuhan hari itu. Karena ketahuan, hilanglah kekuatan gaib Nawangwulan sebagai bidadari.
Sejak saat itu, Nawangwulan harus menanak nasi sebagaimana manusia lainnya. Beras di lumbung pun semakin berkurang karena digunakan. Suatu hari, ketika timbunan beras di lumbung cukup rendah, Nawangwulan menemukan kembali selendangnya. Ia menyadari bahwa selama ini Jaka Tarub telah dengan sengaja menyembunyikan selendangnya agar ia tidak bisa kembali ke Kahyangan dan Jaka Tarub dapat menikahinya! Murka, Nawangwulan meninggalkan Jaka Tarub dan putri mereka untuk kembali ke Kahyangan. Segala air mata, penyesalan dan permohonan Jaka Tarub tidak dipedulikannya. Meskipun demikian, Nawangwulan berjanji untuk kembali dan menyusui putri mereka, dan akan kembali lagi pada malam sebelum pernikahan putri mereka tersebut. Akhirnya kembalilah Nawangwulan ke Kahyangan.
Tentunya sekarang kita bisa melihat mengapa kisah ini selalu dikaitkan dengan Pleiades. Tujuh bintang dalam asterism Pleiades dianggap sebagai representasi dari tujuh bidadari dalam kisah ini. Salah satu sumber menyebutkan bahwa apabila salah satu bintang di asterism Pleiades tidak terlihat di langit, itu berarti Nawangwulan sedang turun ke Bumi untuk menyusui putrinya. Lalu apa kaitannya dengan budaya Jawa? Sekali lagi, meskipun saya belum menemukan literatur yang menyebutkan hubungan langsung Pleiades dan Kisah Jaka Tarub, beberapa tradisi dalam budaya Jawa didasarkan pada kisah ini.
Dalam ritual perkawinan Jawa, malam sebelum upacara pernikahan disebut sebagai Malam Midodareni bagi calon pengantin putri. Pada malam ini, para calon pengantin putri diminta untuk tidak keluar kamar dan tidak tidur semalam suntuk. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan bahwa pada malam itulah Nawangwulan dan saudara-saudaranya akan turun dari Kahyangan untuk mendandani calon pengantin putri sebagaimana Nawangwulan datang dan mendandani putrinya sendiri pada malam sebelum pernikahannya. Dipercaya, bila calon pengantin putri melakukan ini maka keesokan harinya saat upacara pernikahan ia akan tampil sangat cantik sehingga membuat orang pangling (bahasa Jawa manglingi).
Orang sering berkata bahwa kalau kita melihat pelangi, itu tandanya para bidadari sedang turun dari Kahyangan untuk mandi di danau terdekat. Pelangi adalah jejak cahaya ketika mereka turun. Tidak mengherankan tentunya kalau lukisan-lukisan tentang kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari seringkali menggambarkan setiap bidadari mengenakan warna pakaian yang berbeda, yaitu ketujuh warna utama pelangi.
Pleiades dan Tari Bedhaya Ketawang
Bedhaya Ketawang adalah salah satu tarian dari Jawa Tengah yang dianggap sangat sakral. Saking sakralnya, tarian ini hanya dapat ditampilkan pada acara-acara khusus seperti penobatan Raja/Sultan dan acara penting lainnya. Para penarinya pun harus memenuhi beberapa persyaratan ketat, antara lain: mereka harus masih perawan, tidak sedang datang bulan ketika mementaskan tarian (untuk itu mereka selalu menyediakan penari cadangan), dan harus mengikuti beberapa ritual seperti puasa dan pingitan di dalam Kraton sebelum menampilkan.
Berdasarkan asal katanya, Bedhaya Ketawang berarti Tarian Langit atau Tarian dari Langit. Menurut sejarah, tarian ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, raja pertama Kesultanan Mataram. Namun ada pula versi yang menyatakan bahwa tarian ini diciptakan oleh Batara Guru, sang Dewa Utama, dan pada saat pertunjukan perdananya ditarikan oleh tujuh bidadari yang tercipta dari tujuh permata berkilauan. Masih dari sudut pandang spiritual, dipercaya bahwa tarian ini merupakan ungkapan cinta antara Kajeng Ratu Kidul, sang Ratu Laut Selatan, kepada suaminya, yaitu Raja-raja Mataram dimulai dari raja pertamanya, yaitu Panembahan Senopati. Seperti diketahui, masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah, meyakini bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah istri spiritual raja-raja Mataram, Yogyakarta dan Surakarta.
Secara umum tarian ini ditarikan oleh 7-9 orang penari, yang tentu saja kesemuanya harus memenuhi persyaratan yang ketat seperti yang telah saya sebutkan di atas. Karena tarian ini adalah ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, tentu saja beliau ingin agar para penari menarikannya sesempurna mungkin. Masyarakat meyakini bahwa ketika latihan berlangsung, Kanjeng Ratu Kidul turut hadir untuk mengawasi latihan dan membetulkan gerakan penari yang kurang sempurna. Bahkan dipercaya bahwa dalam pementasan, salah satu penarinya adalah Kanjeng Ratu Kidul sendiri, baik menjelmakan diri maupun merasuki salah satu penari.
Dipercaya bahwa salah satu konfigurasi (posisi penari ketika menarikan tarian) penari dalam tarian ini mengikuti konfigurasi bintang-bintang yang membentuk asterism Pleiades. Dengan penari sejumlah 7-9 orang, tentunya tidak sulit untuk melihat hubungan tersebut, karena bintang terterang asterism Pleiades juga berjumlah 7-9 (tujuh putri Atlas, sembilan bila menyertakan bintang Atlas dan Pleione), tergantung kondisi langit ketika kita melihatnya.
Pleiades dan Pertanian
Telah disebutkan sebelumya bahwa asal kata Pleiades adalah dari kata plein yang berarti berlayar. Pleiades memang merupakan asterism yang digunakan dalam pelayaran tidak hanya di Eropa, namun juga di Nusantara, khususnya daerah Mentawai. Terbit dan tenggelamnya Pleiades menjadi panduan bagi masyarakat dalam pelayaran.
Bagi masyarakat Jawa, Pleiades memegang peranan cukup penting dalam pertanian. Apabila posisi Pleiades di langit mencapai 50 derajat diatas cakrawala, itu berarti musim ketujuh atau Mangsa Kapitu dalam kalender pertanian Pranata Mangsa telah dimulai. Pada masa itu para petani mulai memindahkan bibit padi dari lahan pembibitan ke lahan utama. Meskipun Pranata Mangsa menggunakan rasi bintang Orion sebagai panduan utama, namun setiap musim memiliki rasi/gugusan bintang lainnya sebagai penanda.
Untuk memahami makna-makna di balik apa yang tersaji dalam kandungan-kandungan teks pada naskah terkait, dibutuhkan ilmu-ilmu lain seperti hermenitik, semiotik, linguistik, sastra, sosiologi, antropologi.
Pawukon Jawa
Perkataan Pawukon berasal dari pangkal kata: wuku yang berarti : rahsa, yang menurut pengetahuan orang Jawa dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. rasa luar (rasa jaba)
2. rasa dalam (rasa jero)
3. rasa sejati (rasa sejati)
Adapun rasa yang terkandung dalam makna wuku terebut ialah rasa dalam, yaitu yang merupakan manifestasi (pengejawantahan) hidup manusia.
Karena rasa dalam itu bekerjasama dengan cipta untuk menggerakan semua pekerti manusia (kang makartekake seolah bawaning manungsa), yang bagi tiap-tiap manusia/orang telah mempunyai jatah ukuran sendiri-sendiri menurut dasar pembawaan yang sudah dimiliki sejak dari waktu kelahirannya.
Pengetahuan Pawukon adalah pengetahuan lelakon atau perjalanan hidup manusia menurut ukuran koderat nasibnya masing-masing yang menurut coraknya menyerupai pengetahuan Horoscoop dalam ilmu perbintangan Arkeologi.
Pawukon dalam Bahasa Jawa dinamakan Bebudening Kapribaden Manungsa yakni buku yang membicarakan tentang pribadi manusia yang dibawa sejak lahir.
Adapun Wuku/Pawukon itu sendiri menurut perhitungan Jawa menjelaskan lamanya edaran waktu dalam satu Minggu. Dengan demikian, konsep Wuku merupakan permulaan hari dihitung mulai dari munculnya matahari sampai menuju siang hingga malam hari. Adapun perhitungan tanggal terhitung dari awal rembulan nampak tanggal pertama. Jadi lebih jelasnya terhitung sejak mulai malam sampai siang harinya.
Permulaan waktu terhitung mulai hari Minggu sampai berakhir hari Sabtu, (lamanya satu Minggu atau tujuh hari).
Menurut kepercayaan umumnya masyarakat Jawa, jumlah Wuku itu sendiri ada 30 buah, dimana setiap Wuku lamanya 7 hari. Jadi, 30 Wuku = 7 hari x 30 = 210 hari.
Primbon
Primbon merupakan kitab yang memuat ramalan terkaan dan ramalan. Kata primbon berasal dari kata pari-imbau-an yang berarti kata imbu adalah simpan, peram. Kata Jawa Kuno artinya simpan. Sehingga kata primbon dapat diberi makna sesuatu tempat simpan menyimpan. Tempat itu berupa buku, yang disimpan di dalmnya memuat segala macam catatan yang penting dan tidak mudah dihafal orang lain. Dalam kenyataannya primbon merupakan buku tempat menyimpan segala sesuatu yang menyangkut peri kehidupan orang. Primbon Jawa merupakan catatan macam-macam masalah yang berhubungan dengan kehidupan orang Jawa.
Primbon yang menjadi dasar :
1. Perhitungan (Ramalan) Nama hari Pancawara dan Nama hari Saptawara.
2. Nama bulan, Nama tahun.
3. Nama windu, Nama musim.
4. Nama Wuku, Padangon, Paringkelan, Padewan.
Pragmatik Naskah Palintangan
Berikut penjelasan mengenai empat masalah pokok berdasarkan isi ramalan nasib dalam naskah Palintangan :
1. Primbon Kelahiran
Dalam kutipan ramalan dalam naskah Palintangan, dijelaskan bahwa orang yang mempunyai hari pasaran Minggu Paing, banyak memiliki anak, berarti dalam hal ini diartikan seorang perempuan yang telah bersuami tidak mandul.
2. Primbon Perkawinan
Dilihat dari kutipan teks naskah Palintangan, dijelaskan bahwa perempuan yang memiliki hari kelahiran Jumat Pon memiliki sifat cenderung berpisah, hal ini dalam hubungannya primbon perkawinan, memiliki nasib yang buruk.
3. Primbon Kematian.
Setalah membaca dari kutipan ramalan naskah Palintangan, dijelaskan bahwa orang yang berkelahiran hari Jumat Legi, memiliki penyakit yang terletak pada bagian kepala, kaki, kulit kaku, serta badannya berganti kulit , sehingga menyebabkan si penderita mengalami kematian.
4. Primbon tentang manusia dengan alam sekitar/kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya ramalan-ramalan seperti ramalan tentang kelahiran, ramalan tentang perkawinan, serta ramalan penyakit hingga kematian seperti penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1) Mereka yang masih percaya akan kebenaran ramalan naskah primbon akan memiliki satu kepastian, untuk melangkah atau melaksanakan suatu pekerjaan serta keputusan yang telah di tetapkan, berdasarkan hasil ramalab bahwa ia akan berhasil dengan baik. hal-hal seperti ini akan memberikan motivasi kerja yang tinggi.
2) Bagi orang yang masih menggunakan naskah primbon sebagai ramalan yang masih dipercayai kebenarannya, memberikan keterangan yang mendalam untuk mengetahui pernasiban mulai dari manusia lahir, perkawinan, kematian, serta manusia terdapat hubungannya dengan alam sekitar melalui perhitungan Jawa.
Fungsi Naskah Palintangan sebagai Mitos dan Fakta
Dalam penilitian ini, penulis membedakan naskah Palintangan menjadi dua segi isi menurut fungsinya yaitu :
1. Segi unsur karya sastra adanya mitos dan takhayul dalam naskah Palintangan.
Segi Unsur Karya Sastra (Mitos dan Takhayul). Dilihat dari isi naskah Palintangan tersebut, dijelaskan adanya karakteristik dalam masing-masingnwuku dimulai dari dewa, bintang, tumbuhan, binatang, sifat, penyakit serta obatnya, hingga penangkal malapetaka. Menurut buku Pusataka Raja Purwa jilid II, diceritakan tentang kisah Watugunung yang sekiranya bersesuaian dengan karakteristik setiap wuku yang dimiliki. Jika diperhatikan, nama-nama yang tercantum dalam cerita tersebut, ternyata membentuk susunan sebuah Planet, yaitu:
1) Brahmana RADI dan RADITE adalah sebutan MATAHARI.
2) RESPATI dan WRAHASPATI adalah sebuah sebutan planet YUPITER.
3) BUDA adalah sebutan planet MERCURIUS.
4) SUKRA adalah sebutan planet MARES.
5) SOMA adalah sebutan REMBULAN.
6) SINTA yang keluar dari dalam bumi (Sapta-Pratala) adalah menjadi lambang DUNIA.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa cerita Watugunung tersebut sebenarnya merupakan ilmu perbintangan Jawa yang didramatisir menjadi dongeng menarik dan indah, yang juga dapat disebut cerita sandi tentang ilmu pengetahuan leluhur orang Jawa pada jaman purba. Lain daripada itu dalam cerita tadi juga memuat semua nama Wuku, oleh karena itu cerita Watugunung adalah cerita untuk sarana membabarkan ilmu perbintangan dan pengetahuan pawukon, agar dapat diwariskan kepada generasi keturunan leluhur kedepannya.
2. Segi fakta-fakta dalam naskah Palintangan, berikut analisisnya : Segi Fakta dalam Naskah Palintangan Setidaknya sejak abad ke-8 orang Jawa sudah mempunyai kebiasaan catat mencatat dengan mencantumkan waktu, musim, hari (pancawara, sadwara, saptawara), bula, tanggal, perbintangan, yoga, rasi, perdewaan, dan lain-lain. Berikut prasasti-prasasti yang mengandung tulisan tentang ramalan-ramalan :
1) Dalam prasasti Tulangair di Candi Perot, berangka tahun 772.
2) Dalam Prasasti Haliwangbang (tersimpan di Museum Sanabudaya).
3) Dalam prasasti Kudadu termuat catatan yang berbunyi :
- Prasasti Geyer Hanjuang dari daerah Kabupaten Tasikmalaya
- Prasasti Batutulis berangka tahun 11455 Saka.
Dalam catatan-catatan itu terkandung hal-hal yang bisa dijadikan patokan dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat sekarang, walaupun hanya dalam lingkugan terbatas, dan masih terekam dalam naskah Primbon.
Kepercayaan terhadap Ramalan
Perhitungan Pada Masyarakat Jawa Wong Pinter di kalangan masyarakat desa, mencakup tiga profesi, yaitu pertama pengujub, kedua kiai, dan ketiga dukun. Pengujub adalah penuju, yaitu orang yang memiliki tugas menyampaikan maksud tujuan seseorang. Pengujub mempunyai dan berperan sebagai pemimpin dan ritual, dia juga dinilai menguasai petangan dan primbon yang berkaitan dengan nasib baik-buruk khususnya dalam tindakan ekonomi.
Benda-Benda Mistik dalam Naskah Palintangan :
1. Sesaji Ayam Hitam (ayam Cemani).
Berdasarkan kutipan naskah Palintangan dijelaskan bahwa seseorang yang berkelahiran hari Senin Kliwon untuk menjaga keselamatannya menggunakan sesaji yang berupa ayam cemani yang dimasak dengan cara dipanggang untuk upacara selamatan atau persembahan ketika lahir di dunia.
2. Sesaji Ayam Putih.
Berdasarkan kutipan naskah Palintangan dijelaskan dalam penggunaan sesaji yang harus disajikan berupa ayam putih kuning. Maksud warna putih kuning ini bisa dikatan karena daging yang terlalu putih sehingga terlihat agak kekuningan atau ayam putih yang dimasak dengan bumbu kuning/kunir. Bukan ayam yang memiliki warna putih dan kuning. Sesaji yang disajikan berupa ayam putih yang dipotong- potong kemudian digoreng ditempatkan di tempat pemujaan. Hidangan sesaji ayam putih ini bisa dikatakan hanya sekedar untuk benteng diri atau demi keselamatan diri.