Pitutur Jawa Adiluhung Tentang Sabdo Pandito Ratu Tan Keno Wola Wali
Karena dewasa ini telah banyak orang jawa tapi hanya sekedar lahir dan tinggal ditanah jawa. Tak pernah mengakui, memahami apalagi menjunjung tinggi kejawen. Sebelumnya mungkin perlu saya luruskan, yang saya maksut "kejawen" bukanlah sebuah aliran yang sering dianggap sudah tak berlaku ataupun malah dianggap sesat, Kejawen bagi saya adalah pandangan hidup yang dimiliki oleh orang2 jawa terdahulu, yang lebih mengedepankan nilai2 luhur kepribadian yang sejatinya memandang jauh kedepan dan cenderung berhati_hati dalam bertindak, bisa menempatkan obyek, subyek , tempat serta waktu yang tepat (papan nggo papan). selalu lembah manah, andap asor atau dalam agama Tawadhu' . Ya walau harus diakui sbagian orang sering membenturkan antara ajaran agama dengan falsafah jawa, tapi bagi saya sbenarnya perbedaan hanya pada istilah tapi pada intinya sama. Sabdo Pandito Ratu bisa diartikan dalam dua versi yaitu ungkapan itu untuk diri sendiri atau secara umum. UNtuk diri sendiri ini bisa berarti SABDO PANDITO RATU TAN KENO WOLA-WALI, itu artinya, tidak boleh MENCLA-MENCLE / konsisten, kalau mau di hormati seperti PANDITO RATU, orang itu akan dihormati karena perilaku yang tercermin dari kata2nya, karna dari tutur kata kita bisa menilai seseorang. secara umum 1. SANDO : perkataan,
2. PANDITO : orang suci (dimana kata-kata orang suci itu pasti terjadi)
3. RATU : penguasa ( perkataan penguasa itu menjadi dasar hukum rakyatnya yang harus dipatuhi. Peradigmanya jaman sekarang yang dianggap pandito dan ratu adalah orang orang yang sebenarnya tak mempunyai kapasitas sebagai pandito dan ratu, karna yang dianggap pandito tak lain hanya media masa yang tak lagi menjadi suara kebenaran, melainkan penyampai pesan para pencari kekuasaan yang melahirkan ratu-ratu / pemimpin angkaramurka. Kekisruhan dan keadaan negeri yang kacau sekarang ini karna kita telah kehilangan Sabdo dari Pandito dan Ratu yang memang benar-benar mempunyai kapasitas sbagaimana mestinya.
Seperti yang kita lihat dewasa ini masyarakat bawah telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah yang disebabkan karna adanya sabdo dari orang2 yang dianggap ratu oleh orang2 yang tak mengerti karna telah dicekoki oleh kata2 pandito yang hanya mencari materi.
2. PANDITO : orang suci (dimana kata-kata orang suci itu pasti terjadi)
3. RATU : penguasa ( perkataan penguasa itu menjadi dasar hukum rakyatnya yang harus dipatuhi. Peradigmanya jaman sekarang yang dianggap pandito dan ratu adalah orang orang yang sebenarnya tak mempunyai kapasitas sebagai pandito dan ratu, karna yang dianggap pandito tak lain hanya media masa yang tak lagi menjadi suara kebenaran, melainkan penyampai pesan para pencari kekuasaan yang melahirkan ratu-ratu / pemimpin angkaramurka. Kekisruhan dan keadaan negeri yang kacau sekarang ini karna kita telah kehilangan Sabdo dari Pandito dan Ratu yang memang benar-benar mempunyai kapasitas sbagaimana mestinya.
Seperti yang kita lihat dewasa ini masyarakat bawah telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah yang disebabkan karna adanya sabdo dari orang2 yang dianggap ratu oleh orang2 yang tak mengerti karna telah dicekoki oleh kata2 pandito yang hanya mencari materi.
Konsep kepemimpinan yang mengacu pada khasanah budaya Jawa bahwa personality sosok pemimpin haruslah mencerminkan pribadi sabdo pandito ratu tak kena wola-wali, dan juga berbudi bawalaksana.
Di mana kata sabdo pandito ratu itu diartikan bahwa ucapan pendeta, raja atau pemimpin omongannya tidak boleh mencla-mencle alias tidak bisa dipegang.
Sedang kata berbudi bawalaksana itu diartikan bahwa pandito, raja atau pemimpin harus setia janji satunya kata dengan perbuatan.
Termasuk seorang pemimpin tidak boleh berkilah lempar batu sembunyi tangan, melempar kesalahan kepada pembantunya atau anak buahnya atau juga kepada orang lain sebagai tumbal kambing hitam.
Sebagai orang Jawa pasti mengenal ungkapan ini. Filosofi ungkapan ini tidak hanya berlaku bagi orang Jawa, juga non Jawa, tidak terkecuali juga berlaku bagi seluruh pemimpin di belahan bumi.
Makanya siapapun dia bahwa sejatinya seorang pemimpin haruslah berjiwa sabdo pandito ratu tan kena wola-wali, dan berbudi bawalaksana. Karena dari sini kita akan mengetahui sejauhmana kualitas pemimpin tersebut.
Dari filosofi ungkapan ini akhirnya kita diajak belajar memilah dan memilih sejatinya seorang pemimpin dan pemimpim sejati. Sudahkah sang pemimpin tersebut personalitasnya mencerminakan sabdo pandito ratu tak kena wola-wali, dan juga berbudi bawalaksana.
Dari ungkapan ini pula kita diajak belajar untuk memilah dan memilih agar tidak terperosok lagi pada jurang yang sama yang pernah dialami. Karena kita bukan keledai yang mau dibenturkan pada tembok yang sama.
Dari ungkapan ini mengajarkan kepada kita pula pada sebuah ungkapan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dari pengalaman ini pula kita akan banyak menimbah pelajaran berharga tentang kepemimpinan pemimpin di hari kemarin, hari ini, dan hari esok yang akan datang.
Di mana kata sabdo pandito ratu itu diartikan bahwa ucapan pendeta, raja atau pemimpin omongannya tidak boleh mencla-mencle alias tidak bisa dipegang.
Sedang kata berbudi bawalaksana itu diartikan bahwa pandito, raja atau pemimpin harus setia janji satunya kata dengan perbuatan.
Termasuk seorang pemimpin tidak boleh berkilah lempar batu sembunyi tangan, melempar kesalahan kepada pembantunya atau anak buahnya atau juga kepada orang lain sebagai tumbal kambing hitam.
Sebagai orang Jawa pasti mengenal ungkapan ini. Filosofi ungkapan ini tidak hanya berlaku bagi orang Jawa, juga non Jawa, tidak terkecuali juga berlaku bagi seluruh pemimpin di belahan bumi.
Makanya siapapun dia bahwa sejatinya seorang pemimpin haruslah berjiwa sabdo pandito ratu tan kena wola-wali, dan berbudi bawalaksana. Karena dari sini kita akan mengetahui sejauhmana kualitas pemimpin tersebut.
Dari filosofi ungkapan ini akhirnya kita diajak belajar memilah dan memilih sejatinya seorang pemimpin dan pemimpim sejati. Sudahkah sang pemimpin tersebut personalitasnya mencerminakan sabdo pandito ratu tak kena wola-wali, dan juga berbudi bawalaksana.
Dari ungkapan ini pula kita diajak belajar untuk memilah dan memilih agar tidak terperosok lagi pada jurang yang sama yang pernah dialami. Karena kita bukan keledai yang mau dibenturkan pada tembok yang sama.
Dari ungkapan ini mengajarkan kepada kita pula pada sebuah ungkapan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dari pengalaman ini pula kita akan banyak menimbah pelajaran berharga tentang kepemimpinan pemimpin di hari kemarin, hari ini, dan hari esok yang akan datang.