PITUTUR JAWA OJO DUMEH
Setiap masyarakat niscaya memiliki nilai-nilai luhur yang
dijadikan pegangan tatanan hidup. Tatanan itu berlangsung turun temurun dan
menjadi warisan sangat berharga bagi warganya. Jika dilanggar, masyarakat
memberikan hukuman sosial kepada orang yang melanggar, setidaknya menjadi
guneman orang banyak. Di masyarakat yang sudah modern seperti sekarang ini
nilai-nilai luhur itu masih tetap ada, dan walau berubah biasanya tidak begitu
banyak. Perubahan nilai berlangsung lambat, berbeda dengan perubahan fisik yang
biasanya berlangsung cepat.
Seperti masyarakat lainnya, masyarakat Jawa juga memiliki nilai-nilai luhur yang sampai hari ini masih dipegang, yakni “ojo dumeh”. Artinya, sikap untuk tidak mentang-mentang. Sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial. Ia merupakan ajaran Jawa di mana orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. Ketika di atas, misalnya ketika berkuasa dan memiliki akses banyak, jangan mentang-mentang dan berperilaku semena-mena terhadap orang lain atau bawahannya. Kekuasaan bisa dijadikan momen untuk beramal sholeh dengan menjadi tempat bertanya, tempat menyelesaikan persoalan dan tempat berlindung banyak orang, sehingga orang merasa nyaman karena kehadirannya.
Seperti masyarakat lainnya, masyarakat Jawa juga memiliki nilai-nilai luhur yang sampai hari ini masih dipegang, yakni “ojo dumeh”. Artinya, sikap untuk tidak mentang-mentang. Sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial. Ia merupakan ajaran Jawa di mana orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. Ketika di atas, misalnya ketika berkuasa dan memiliki akses banyak, jangan mentang-mentang dan berperilaku semena-mena terhadap orang lain atau bawahannya. Kekuasaan bisa dijadikan momen untuk beramal sholeh dengan menjadi tempat bertanya, tempat menyelesaikan persoalan dan tempat berlindung banyak orang, sehingga orang merasa nyaman karena kehadirannya.
Ketika menjadi orang kaya juga jangan sombong terhadap orang
lain, yang mungkin di bawahnya. Kekayaan yang dimiliki bisa bermakna bagi orang
lain. Misalnya, bisa membantu orang lain yang memerlukan dan sedang kesulitan.
Ketika memiliki ilmu yang banyak pun tidak congkak dan keminter.
Kelebihan ilmu yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk ikut memintarkan orang
lain. Kita bisa menggunakan filsafat padi “semakin berisi semakin merunduk”.
Mungkin ini sulit sebab naluri manusia selalu ingin lebih dari yang lain dalam
banyak hal. Maka itu perlu agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan meredam
nafsu manusia untuk tidak serakah, sombong, menyepelekan orang lain dan
seterusnya.
Jika ditelaah mendalam, sebagai sebuah nilai, ojo dumeh bisa menyelamatkan manusia di mana pun berada. Tatkala di atas dia bisa menghargai orang lain, sehingga jika suatu saat di bawah masih banyak orang menghargainya. Karena orang akan teringat jasa baiknya, maka dia masih tetap menghormati orang yang pernah berjasa. Sebaliknya, jika saat berkuasa atau punya kedudukan tinggi berlaku semena-mena terhadap orang lain, maka tatkala tidak lagi berkuasa orang akan enggan menghormatinya. .
Karena kedelaman nilai yang dikandung, ojo dumeh menarik untuk dikaji secara akademik. Tak ketinggalan seorang antropolog bernama Nico Schulte Nordholt pernah melakukan penelitian tentang nilai Jawa ini yang disponsori oleh pemerintah Belanda dan membukukannya dengan judul Ojo Dumeh, terbit pada 1987 oleh Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Konon ini menjadi salah satu buku terlaris di bidang sosiologi dan antropologi. Penelitian dilakukan selama dua tahun (1977 – 1979) dengan mengambil lokasi di tiga kecamatan di Jawa Tengah dengan mewancarai 200 keluarga di tiap kecamatan. Subjek penelitiannya adalah para lurah, camat, dan pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam kegiatan pembangunan desa dengan titik berat pada hubungan para camat dan lurah.
Nordholt menemukan bahwa sikap ojo dumeh menjadi pegangan hubungan antara camat dan lurah yang terlibat langsung dalam pembangunan. Keharmonisan hubungan antara camat dan lurah berjalan efektif karena dijaga melalui nilai ojo dumeh. Ojo dumeh menjadi camat, ojo dumeh menjadi lurah. Lebih lanjut ditemukan bahwa orang Jawa memegang tata krama dalam bertindak, yakni sikap atau perilaku tepat atau etiket. Yang dimaksud adalah keseluruhan peraturan hidup yang diterima secara umum di antara berbagai lapisan sosial, yang masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban satu sama lain dan terhadap lingkungannya.
Kewajiban-kewajiban itu harus dilaksanakan, jika seseorang tidak mau kehilangan kehormatan dan bantuan. Tata artinya aturan hidup masyarakat desa, dan krama artinya aturan hidup priayi di lingkungan keraton. Siapapun harus patuh pada tata dan krama yang selama bertahun-tahun dan turun temurun disepakati oleh seluruh warga. Tata dan krama tidak saja dalam beperilaku dan berhubungan dengan sesama warga, melainkan juga tata aturan membangun rumah. Bentuknya seperti apa, ukurannya berapa,--- disesuaikan dengan kedudukan sosialnya ---,siapa yang mengerjakannya, menghadap ke mana, bahan bangunan diperoleh dari mana, dan kapan membangunnya dan lain sebagainya harus sesuai dengan tatakrama yang ada.
Jika seseorang melanggar aturan itu, misalnya, rumahnya bergaya modern, yang mengerjakan bukan warga desa itu, bahan bangunan diperoleh dari luar daerah, menghadapnya berbeda dengan rumah-rumah yang lain, maka dia tidak akan memperoleh penghormatan warga sebagaimana mestinya. Orang hanya akan menghormatinya secara lahiriah saja. Bagi warga, orang yang telah melanggar tata aturan tersebut disebut sebagai “orang kaya baru”. Orang akan berkata “ojo semugih” atau “dumeh sugih”. Kendati dia asli warga itu, orang demikian, dalam sosiologi, disebut sebagai “a stranger in the crowd”, orang asing di tengah keramaian.
Coba bayangkan betapa susahnya jika kita terasing dari lingkungan di mana kita tinggal. Di tengah keramaian yang mestinya kita menikmati suasana ramai, kita justru merasa kesepian karena tidak ada orang yang menyapa. Oleh karena itu, agar kita tidak menjadi orang asing di tengah keramaian, kita pegang sikap “ojo dumeh” dalam semua hal. Insya Allah selamat !
Jika ditelaah mendalam, sebagai sebuah nilai, ojo dumeh bisa menyelamatkan manusia di mana pun berada. Tatkala di atas dia bisa menghargai orang lain, sehingga jika suatu saat di bawah masih banyak orang menghargainya. Karena orang akan teringat jasa baiknya, maka dia masih tetap menghormati orang yang pernah berjasa. Sebaliknya, jika saat berkuasa atau punya kedudukan tinggi berlaku semena-mena terhadap orang lain, maka tatkala tidak lagi berkuasa orang akan enggan menghormatinya. .
Karena kedelaman nilai yang dikandung, ojo dumeh menarik untuk dikaji secara akademik. Tak ketinggalan seorang antropolog bernama Nico Schulte Nordholt pernah melakukan penelitian tentang nilai Jawa ini yang disponsori oleh pemerintah Belanda dan membukukannya dengan judul Ojo Dumeh, terbit pada 1987 oleh Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Konon ini menjadi salah satu buku terlaris di bidang sosiologi dan antropologi. Penelitian dilakukan selama dua tahun (1977 – 1979) dengan mengambil lokasi di tiga kecamatan di Jawa Tengah dengan mewancarai 200 keluarga di tiap kecamatan. Subjek penelitiannya adalah para lurah, camat, dan pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam kegiatan pembangunan desa dengan titik berat pada hubungan para camat dan lurah.
Nordholt menemukan bahwa sikap ojo dumeh menjadi pegangan hubungan antara camat dan lurah yang terlibat langsung dalam pembangunan. Keharmonisan hubungan antara camat dan lurah berjalan efektif karena dijaga melalui nilai ojo dumeh. Ojo dumeh menjadi camat, ojo dumeh menjadi lurah. Lebih lanjut ditemukan bahwa orang Jawa memegang tata krama dalam bertindak, yakni sikap atau perilaku tepat atau etiket. Yang dimaksud adalah keseluruhan peraturan hidup yang diterima secara umum di antara berbagai lapisan sosial, yang masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban satu sama lain dan terhadap lingkungannya.
Kewajiban-kewajiban itu harus dilaksanakan, jika seseorang tidak mau kehilangan kehormatan dan bantuan. Tata artinya aturan hidup masyarakat desa, dan krama artinya aturan hidup priayi di lingkungan keraton. Siapapun harus patuh pada tata dan krama yang selama bertahun-tahun dan turun temurun disepakati oleh seluruh warga. Tata dan krama tidak saja dalam beperilaku dan berhubungan dengan sesama warga, melainkan juga tata aturan membangun rumah. Bentuknya seperti apa, ukurannya berapa,--- disesuaikan dengan kedudukan sosialnya ---,siapa yang mengerjakannya, menghadap ke mana, bahan bangunan diperoleh dari mana, dan kapan membangunnya dan lain sebagainya harus sesuai dengan tatakrama yang ada.
Jika seseorang melanggar aturan itu, misalnya, rumahnya bergaya modern, yang mengerjakan bukan warga desa itu, bahan bangunan diperoleh dari luar daerah, menghadapnya berbeda dengan rumah-rumah yang lain, maka dia tidak akan memperoleh penghormatan warga sebagaimana mestinya. Orang hanya akan menghormatinya secara lahiriah saja. Bagi warga, orang yang telah melanggar tata aturan tersebut disebut sebagai “orang kaya baru”. Orang akan berkata “ojo semugih” atau “dumeh sugih”. Kendati dia asli warga itu, orang demikian, dalam sosiologi, disebut sebagai “a stranger in the crowd”, orang asing di tengah keramaian.
Coba bayangkan betapa susahnya jika kita terasing dari lingkungan di mana kita tinggal. Di tengah keramaian yang mestinya kita menikmati suasana ramai, kita justru merasa kesepian karena tidak ada orang yang menyapa. Oleh karena itu, agar kita tidak menjadi orang asing di tengah keramaian, kita pegang sikap “ojo dumeh” dalam semua hal. Insya Allah selamat !
OJO DUMEH
Jangan sok atau jangan mentang-mentang selalu dikonotasikan dengan sifat sombong, sewenang-wenang, mementingkan diri sendiri, lupa diri, mabuk kekuasaan atau kondisi kejiwaan lainnya yang kurang baik. Dalam budaya jawa banyak nasihat agar kita menghindari dari ucapan atau cap ojo dumeh di lingkungan kita.
Ojo dumeh yang umum dikenal dan diucapkan orang-orang jawa dalam kegiatan sehari-hari atau mengomentari suatu kejadian ada beberapa, seperti :
Ojo dumeh kuwasa, tumindake daksura lan daksia marang sapada-pada; Arti bebasnya dalam bahasa Indonesia yaitu jangan mentang-mentang kuasa, untuk tindak tanduk yang pongah, congkak dan sewenang-wenang terhadap sesama.
Ojo dumeh pinter, tumindake keblinger; Arti bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah jangan mentang-mentang pandai, maka tindak tanduknya menyimpang dari aturan yang seharusnya.
Ojo dumeh sugih, tumindake lali karo wong ringkih.
Arti bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah jangan mentang-mentang kaya maka tindak tanduknya melupakan kepada mereka yang lemah secara ekonomi.
Ojo dumeh menang, tumindake sewenang-wenang.
Artinya jangan mentang-mentang menang maka tindak tanduknya sewenang-wenang terhadap yang dikalahkan.
Ungkapan tersebut, mengisyaratkan bahwa orang-orang jawa diajarkan untuk menghindari kesombongan yang merupakan salah satu sifat utama syetan. Bukankah kerena sombong maka syetan tidak mau diajak sujud/ hormat kepada Adam a.s yang diciptakan dari tanah.
Syetan merasa lebih baik/ lebih mulya karena diciptakan dari api.
Sifat sombong juga merupakan pintu masuk bagi ketidak-adilan/ kesewenang-wenangan, memandang rendah orang lain/ makhluk lain dan lupa bahwa kehidupan laksana roda berputar. Ada kalanya diatas, kadang di samping, sekali waktu ada di bawah. Perputaran kehidupan seharusnya mengajarkan manusia untuk bisa menghargai sesamanya. Pada dasarnya tidak ada seorangpun yang bisa hidup sendiri.
Orang disebut pandai karena ada yang bodoh, orang dikatakan kaya karena ada yang miskin, orang dipanggil pejabat karena ada rakyat, orang dapat memenangkan sesuatu karena ada yang dikalahkan.
Maka sifat Dumeh yang terkadang menempel, baik secara sengaja atau tidak sengaja, sudah seharusnya dikikis habis dari hati manusia. Sesungguhnya yang berhak mempunyai sifat sombong hanya Allah SWT, karena Dia pemilik seluruh jagad raya dan isinya, baik yang tampak atau tersembunyi, tidak luput dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Sebagaimana tercantum dalam dalam Ayat Kursi (Al-Baqarah : 255) yang artinya Allah, tiada Tuhan melainkan Dia yang hidup kekal, terus menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan bumi. Siapakah yang memberi syafaat disisi Allah tanpa ijin-Nya? Allah mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, Allah merasa tidak berat memelihara keduanya dan Allah maha tinggi lagi maha besar.
FALSAFAH OJOH DUMEH.
Ojo Dumeh adalah Falsafah lama yang berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti :
Ojo = jangan dan
Dumeh = mentang-mentang. Apabila nilai-nilai falsafah yang sederhana ini dimanfaatkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka akan mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa karena nilai-nilai ini adalah ini nilai-nilai lama bangsa Indonesia, khususnya masyarakat jawa yang tidak pernah pudar.
Di samping ojo dumeh, ada dua pilar utama lain yang terkandung dalam falsafah ini. Ketiga pilar tersebut adalah :
1. Ojo Dumeh.
2. Ojo Gumunan.
3. Ojo Kagetan.
Uang masing-masing mempunyai daya implementatif. Pada masyarakat Jawa, pesan ini biasanya disampaikan oleh orangtua kepada anaknya sejak kecil hingga dewasa, dengan maksud agar anaknya tidak menjadi orang yang suka mentang-mentang dan harus selalu menghargai yang lainnya. Ajaran ojo dumeh menyarankan kepada kita agar jangan sampai berlebihan dalam berperilaku. Berlebihan dalam hal ini bisa dalam bentuk kekayaan, keahlian, jabatan, ketampanan atau kecantikan, kepopuleran, ataupun keturunan.
Ojo dumeh adalah salah satu ajaran yang introspektif. Ingin ditanamkan di sini nilai kepedulian diri terhadap sesama manusia, lingkungan sekitar, dan kepada Sang Pencipta.
Ojo Dumeh adalah pembatas bagi seseorang ketika ia sudah dihinggapi dumeh dengan segala predikat yang disandangnya. Keseimbangan dalam ojo dumeh yang sering kita dengar adalah kalimat koyo ngono yo koyo ngono ning ojo koyo ngono yang diartikan secara bebas adalah begitu ya begitu tapi jangan begitu.
Kandungan makna dari kata tersebut adalah kita boleh saja menjadi apa yang kita inginkan tapi kita harus selalu ingat bahwa harus ada keseimbangan antara apa yang kita telah sandang (sebagai penghormatan diri) dengan penghormatan kita terhadap orang lain. Keseimbangan tersebut akan menghasilkan :
Komunikasi yang baik, sikap menghargai dan menghormati orang lain, tidak menaruh prasangka, meningkatkan rasa kepedulian terhadap sesama.
Dalam konteks hukum, ojo dumeh memiliki sebagai nilai etis, maka yang memunculkan dan dan mengedepankan nilai baik dan buruk jan juga benar dan salah. Sebagai contoh : mentang-mentang menjadi polisi kemudian berlaku seenaknya terhadap yang lain.
Posisi dia yang secara individu adalah baik, sebagai polisi adalah baik, namun yang tidak baik adalah perlakuan seenaknya (mentang-mentang sebagai pejabat / wong gedhe) terhadap yang lain.
Sifat mentang-mentang dengan melanggar nilai-nilai etis itu yang tidak baik.
Ojo Dumeh adalah bagian dari upaya untuk mengenyampingkan segenap keinginan pribadi. Orang yang menerapkan falsafah ojo dumeh akan senantiasa menganggap orang lain pada posisi yang sangat manusiawi, melaksanakan aturan, menghormati hak orang lain dan menaati hukum yang ada dalam lingkungan sosialnya. Orang yang menerapkan falsafah ojo dumeh tidak akan mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri atau demi mempertahankan kepemimpinannya dirinya sendiri.
Banyak ceritera rakyat yang menggambarkan bahwa kesombongan pada akhirnya akan mendatangkan bencana dan petaka bagi dirinya.
Begitu juga banyak dongeng untuk anak - anak yang menceritakan bahwa keburukan hendaknya ditinggalkan karena akan mendatangkan kesengsaraan. Sementara kebaikan akan membawanya kepada kebahagiaan. Sebut saja ceritera 1. Bawang merah bawang putih.
2. Cinderela, dan masih banyak lagi.
Boleh jadi itu hanyalah ceritera rakyat atau dongeng, tetapi sarat makna karena tujuannya adalah mengedukasi anak sejak dini agar senantiasa berperilaku baik terhadap sesama, bukan mengedepankan keburukan. Tak ada agama yang mengajarkan keburukan. Semuanya mengajak kita berlomba berbuat kebaikan, di antaranya menjauhkan diri dari sifat sombong, congkak dan takabur.
Kisah Raja Fir'aun menggambarkan kesombongan membawa kebinasaan. Orang yang takabur akan hancur dan terkubur. Dikisahkan di dalam Al-Quran, bagaimana Allah SWT menghukum Fir'aun bersama bala tentaranya dengan menenggelamkan mereka di Laut Merah.
Ketika itu Nabi Musa AS pergi meninggalkan kota Memphis menuju ke Laut Merah.
Fir'aun dan bala tentaranya menyusul dari belakang. Setibanya di tepi Laut Merah, Allah perintahkan kepada Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut, secepat kilat laut pun terbelah, bukan surut. Nabi Musa dan pengikutnya menyeberang lautan yang terus terbelah sampai mereka semua selamat tiba di seberang. Setelah itu laut menutup menenggelamkan Fir'aun beserta pengikutnya.
Secara etimologi sombong berarti menghargai diri sendiri secara berlebihan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memadankan dengan congkak, pongah. Kesombongan adalah keangkuhan, kecongkakan, takabur.
Dalam filosofi Jawa juga diajarkan agar kita tidak pongah dikenal dengan istilah ojo dumeh.
Ojo = jangan.
Dumeh= mentang -mentang. Ajakan untuk selalu introspeksi diri ketika seseorang sudah dihinggapi sifat "dumeh" karena telah menyandang sejumlah predikat baik harta benda, pangkat, jabatan dan kedudukan.
Yang ingin ditanamkan adalah nilai kepedulian diri terhadap sesama manusia, lingkungan sekitar dan tanggung jawabnya kepada Sang Pencipta yang telah memberikan beragam predikat tadi.
Ojo dumeh adalah filter agar tidak berperilaku berlebihan.
Agar bisa mengesampingkan semua keinginan pribadi dengan mempedulikan orang lain, meski mampu secara materi, pangkat, jabatan dan kedudukan.
Kita boleh saja menjadi apa yang diinginkan dan dikehendaki karena segala fasilitas dimiliki.
Tetapi bukan lantas tidak menghargai dan menghormati keberadaan orang lain. Istilahnya ngono yo ngono, ning ojo ngono. begitu ya begitu, tapi jangan sampai begitu karena di sekitar masih ada orang lain yang bisa saja merasa tersakiti.
Menerapkan filosofi ojo dumeh berarti kita senantiasa menempatkan orang lain untuk dihargai dan dihormati apa pun status sosial ekonominya. Menganggap orang lain pada posisi yang sangat manusiawi. Bukan sebaliknya mengorbankan orang lain karena posisinya. Melengkapi filter diri, ada pepatah yang menyebutkan ojo dumeh mundak keweleh, jangan sombong, jangan merendahkan orang lain, nanti bisa membuat malu diri sendiri.
Ini ajakan kepada kita semua agar selalu introspeksi diri mengingat tak ada yang langgeng di dunia ini. Kehidupan itu ibarat roda berputar, ada kalanya di atas penuh dengan segala fasilitas, kalanya di pinggir karena kedudukan mulai tersingkir, suatu saat bisa di bawah, lebih rendah dari orang yang dulu berada di bawahnya.
Nilai - nilai falsafah sederhana ini sejatinya sudah lama menjadi pitutur luhur bagi bangsa Indonesia.