Semar Maneges
Semar maneges merujuk pada sebuah lakon dalam pertunjukan wayang kulit yang menampilkan karakter Semar dengan sisi spiritual dan filosofis yang lebih mendalam, menunjukkan dirinya sebagai titisan dewa yang memberikan wejangan. Lakon ini berfungsi sebagai media edukasi moral dan kepemimpinan, menekankan kebijaksanaan, kerendahan hati, dan pentingnya nilai-nilai luhur.
Makna dan isi lakon
- Perjalanan spiritual: Semar digambarkan sebagai tokoh yang melakukan laku tapa dan perenungan batin untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam.
- Posisi unik Semar: Lakon ini menyoroti posisi Semar sebagai simbol rakyat sekaligus titisan dewa, menjembatani antara manusia dan Tuhan, serta antara rakyat dan penguasa.
- Ajaran moral dan kepemimpinan: Melalui lakon ini, Semar memberikan nasihat kepada raja dan dewa, menekankan bahwa kekuasaan dan jabatan tidak berarti tanpa nilai-nilai kebajikan.
- Edukasi generasi muda: Lakon "Semar Maneges" kerap disajikan sebagai bentuk nasehat terselubung untuk generasi muda, terutama mengenai moralitas dan kepemimpinan yang baik, seperti berpikir luas dan tidak mengagungkan keturunan.
Kisahnya ?
Cerita diawali dengan jejer Astina, dimana berkumpul Pandawa dan Kurawa sedang menghadap seorang pandita baru bernama Begawan Sukma Lawung. Mereka sedang membahas masalah perdamaian antara Pandawa-Kurawa dan menggagalkan perang Baratayudha Jayabinangun.
Belum begitu lama mereka berbincang-bincang, datanglah Ki Lurah Semar. Kedatangan Ki Lurah Semar sebagai wakil rakyat dalam pasamuan agung tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari Prabu Duryudana dan Prabu Puntadewa tentang kehidupan rakyat yang tidak tenteram.
Karena menurut Kyai Semar, keadaan bangsa yang tidak tenteram tersebut merupakan tanggung jawab dari Prabu Puntadewa dan Prabu Duryudana sebagai pemegang tampuk pemerintahan. Belum sampai kedua prayagung tersebut memberikan jawaban, sang guru yaitu Begawan Sukma Lawung memperkenalkan diri sekaligus mengutarakan maksudnya untuk menyatukan Pandawa-Kurawa dan menggagalkan Baratayudha serta meminta pendapat Kyai Semar.
Mendengar itu semua, Kyai Semar tidak setuju, karena Baratayudha itu adalah perang suci dimana yang nandur bakal ngunduh, utang bakal nyaur, nyilih mbalekake, nggawe bakale nganggo, utang wirang nyaur wirang, utang pati nyaur pati.
Di saat itulah, ada seorang murid sang begawan yang tidak terima dan tiba-tiba masuk ke pasewakan dan menyeret Kyai Semar keluar.
Di luar, Kyai Semar bertemu dengan Anoman, Setyaki, Antareja dan Gatutkaca. Mendengar pengakuan Kyai Semar yang diseret keluar secara paksa, mereka berempat tidak terima dan terjadilah pertempuran dengan siswa Begawan Sukma Lawung.
Melihat murid-muridnya kalah, Begawan Sukma Lawung memerintahkan Patih Sangkuni diikuti beberapa Kurawa mengejar Kyai Semar ke Karang Kadempel untuk menjadi saksi bersatunya Pandawa-Kurawa.
Raden Arjuna diperintah untuk mengikuti Patih Sangkuni, kalau-kalau gagal membawa Kyai Semar, sedangkan Raden Werkudara diminta mencari Prabu Kresna.
Di Karang Tumaritis, Patih Sangkuni, Prabu Karna dan Aswatama berhadapan dengan anak-anak Kyai Semar dan dibantu oleh Raden Abimanyu.
Begitu para Kurawa terdesak, Raden Arjuna maju ke pertempuran. Melihat orang tuanya yang maju, Raden Angkawijaya langsung lari menghindar, dan mau tidak mau Ki Lurah Semar harus menghadapinya. Untuk menghadapi Raden Arjuna, Kyai Semar memanggil Bathara Ismaya yang kemudian berubah menjadi Raden Arjuna, sehingga terjadilah pertarungan antara dua Arjuna.
Dalam pertarungan tersebut, Begawan Sukma Lawung turut campur dan mengeluarkan ajian Gelap Sayuta untuk menyingkirkan KyaiSemar.
Di lain tempat, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa bertemu dengan Gareng, Petruk dan Bagong yang melarikan diri. Mereka bertiga kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpa orang tuanya. Tidak begitu lama, datanglah Raden Werkudara yang ditugaskan mencari Prabu Kresna.
Mendengar pernyataan Raden Werkudara tersebut, Prabu Kresna mengatakan, bukankah Raden Werkudara pernah menjadi seorang pandita dengan gelar Begawan Bima Suci, lantas dimana kawaskitan Begawan Bima Suci tersebut ?
Pertanyaan tersebut membuat Raden Werkudara pergi tanpa pamit dan langsung menggendong Prabu Puntadewa dan Raden Arjuna untuk segera pulang ke Amarta.
Dalam pengejarannya, Begawan Sukma Lawung bertemu dengan seorang pandita.
Terjadilah pertarungan diantara kedua pandita tersebut dan berubahlah masing-masing ke wujud aslinya, yaitu Sang Hyang Manikmaya dan Kyai Nayantaka. Bathara Guru mengungkapkan maksudnya, dimana dia hanya ingin menguji kewaspadaan Prabu Duryudana dan Prabu Puntadewa dalam menyikapi keadaan masyarakat yang tidak tenteram.
Prabu Duryudana yang tidak terima dan hendak mengamuk bertemu dengan Kyai Semar. Ki Lurah Semar mengingatkan bahwa apa yang didapat dari peperangan?
Disamping itu, Baratayudha tidak perlu diharapkan ataupun dihindari, karena manusia sebagai makhluk Tuhan hanya bertugas menjalani saja.
Amarta kedatangan tamu Resi Bhisma dari Pertapaan Talkandha
Ini peristiwa njanur gunung atau tidak biasa. Raja Amarta Prabu Puntadewa dan keluarga Pandawa lainnya menyambutnya dengan senang hati di tengah kedukaan karena sedang dilanda pandemi.
Bhisma mengatakan kehadirannya untuk menyampaikan keprihatinannya yang mendalam kepada Pandawa.Ini juga terdorong karena hanya Amarta saja yang belum bisa lepas dari pandemi. Negaranegara lain, dengan persoalan yang sama, sudah mulai bangkit.
Puntadewa berterima kasih atas simpati Bhisma. Ia pun meminta saran dan nasihat sang resi bagaimana caranya agar Amarta bisa segera mentas dari persoalan. Berlarutnya pandemi semakin membuat rakyat kian menderita.
Menurut Bhisma, satu-satunya cara agar Amarta segera pulih ialah dengan menyingkirkan Semar dari bumi Amarta. Sang Badranaya mesti disirnakan karena ia dianggap sebagai biang kerok suburnya pageblug di Amarta.
Tanpa berpikir wening (mendalam), Puntadewa memerintahkan Arjuna, yang paling dekat dengan Panakawan, untuk mengeksekusi Semar. Werkudara pun diminta membantunya. Keduanya kemudian pamit dan bergegas menuju ke Dusun Klampisireng, tempat tinggal Semar.
Semar kaget dengan kehadiran mendadak kedua momongannya dengan gelagat amarah. Apalagi, setelah Arjuna dan Werkudara menyatakan bahwa kedatangan mereka untuk mengusirnya dari bumi Amarta.
Belum tahu duduk permasalahannya, Semar didesak segera meninggalkan Amarta. Bila tidak bersedia, ia akan dipaksa dengan kekerasan. Semar menolak pergi dan mempersilakan keduanya bila ingin melakukan apa pun.
Namun, Arjuna dan Werkudara ternyata tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Semar. Sejurus kemudian datanglah Bhisma dengan maksud sama. Semar juga bertanya kepada tamunya itu kenapa dirinya harus pergi dari Amarta. Bhisma menuduh Semar menjadi biang keladi pandemi karena menggelorakan budaya ke manamana, apalagi itu tidak ada dalam ajaran agama. Semar mengatakan budaya merupakan jati diri bangsa dan itu juga tidak dilarang dalam agama.
Budaya dan agama jangan dibenturkan. Lalu, ia menjelaskan pakaian dan semua aksesori yang dikenakan Bhisma itu juga merupakan budaya. Singkat cerita, karena tersudut, Bhisma bersikeras jika Semar tidak segera meninggalkan Amarta, dirinya akan memaksanya.
Semar tetap menolak. Kemudian Bhisma mengerahkan ajian gelapsayuta sehingga Semar seperti tersapu angin dan hilang bak ditelan bumi.
Ismaya-Dewabrata
Di Kahyangan Alang-Alang Kumitir, Sanghyang Wenang menerima sowannya Ismaya dan Dewabrata. Keduanya maneges (bertanya) apakah peran masingmasing di marcapada masih dibutuhkan.
Sanghyang Wenang bersabda Dewabrata dan Ismaya masih harus mengabdikan diri, membimbing para titah ke jalan utama dan kebenaran.
Oleh karena itu, keduanya diminta segera mengejawantah lagi. Ismaya dan Dewabrata kemudian pamit dan kembali ke marcapada. Keduanya langsung bertemu dengan Bhisma dan terjadilah peperangan sengit.
Akhirnya, Bhisma badhar (berubah wujud aslinya) menjadi sukma Wahmuka dan Arimuka. Sementara itu, Dewabrata malih (berubah wujud) menjadi Bhisma asli dan Ismaya menjadi Semar.
Sukma Wahmuka dan Arimuka terus mengamuk. Akan tetapi, Semar meladeni dengan mewejang keduanya untuk segera bertobat agar hidup mereka tidak kelambrangan (bergentayangan). Dengan izin Yang Mahakuasa, Semar lalu menyempurnakan kedua sukma itu masuk ke alam keabadian.
Setelah suasana kondusif, Semar mengundang Pandawa datang ke Klampisireng. Di depan sang pamong, Puntadewa, Werkudara, dan Arjuna meminta maaf karena kelancangan mereka. Mereka mengaku khilaf menerima saran dan nasihat Bhisma palsu atau jadi-jadian.
Semar meminta Pandawa untuk senantiasa eling dan waspada karena cobaan seperti itu bukan yang pertama kali dan itu juga bukan yang terakhir. Ia mewantiwanti bahwa kodratnya Pandawa tidak akan terpisahkan dengan Semar yang merepresentasikan rakyat.
Sekali lagi Puntadewa meminta ampun. Ia lalu memohon nasihat Semar, apa yang mesti dilakukan agar pandemi secepatnya lenyap dari Amarta. Semar mengatakan secara fisik, bangsa Amarta mesti menjaga jarak, tetapi batin dan hati tidak boleh berjarak. Antara pemimpin dan rakyat justru harus semakin raket-supeket (solid) untuk bersama-sama melawan pandemi.
Bahu-membahu.
Hanya dengan persatuan dan kesatuan, serta gotong royong, kata Semar, bangsa Amarta akan selalu bisa mengatasi setiap masalah. Jangan sampai ada anasir-anasir yang berusaha memisahkan antara Pandawa dan rakyatnya.
Puntadewa menghaturkan terima kasih kepada Semar yang diakuinya sering ditinggalkan. Padahal, sejak nenek moyangnya, Semar-lah yang membimbingnya. Ia berjanji tidak akan melupakan Semar yang sejatinya merupakan Bathara Ismaya mengejawantah.
Intinya bahwa kekompakan antara pemimpin dan rakyat menjadi kunci mengatasi persoalan bangsa. Jangan saling menyalahkan, tetapi harus bersatu dan bahu membahu mengatasi pandemi yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir.
Imajiner Nuswantoro

