Rsi / Ki Kendil Wesi (Ki Bimotjili / Pangeran Ujung Pangkah) & Pangeran Lanang Dangiran alias Ki Ageng Brondong
Rsi / Ki Kendil Wesi berasal dari keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi.
Hubungan Ki Bimotjili dan Panembahan Cirebon
Ki Bimotjili dan Panembahan di Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut :
Pangeran Kebumen Bupati Semarang, berisitrikan putri dan Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja / Sultan Hadiwijaya (Djoko Tingkir).
Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen tersebut diatas, seorang putri Ki Bimotjili bersuamikan Pangeran Lanang Dangiran alias Ki Ageng Brondong (dimakamkan di Boto Putih).
Panembahan Cirebon merujuk pada beberapa tokoh penting dalam sejarah Kesultanan Cirebon, yang paling terkenal adalah Panembahan Ratu (Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II) dan Panembahan Wangsakerta. Panembahan adalah gelar untuk penguasa yang berada di bawah Sultan.
Panembahan Girilaya (Panembahan Ratu II) :
- Nama aslinya adalah Pangeran Putra, cucu dari Panembahan Ratu I.
- Memerintah Cirebon dari tahun 1649 hingga 1662 dengan gelar Panembahan Ratu II.
- Menantu dari Sultan Mataram, Amangkurat I.
- Wafat di Mataram dan dimakamkan di Girilaya, sehingga mendapat julukan Panembahan Girilaya.
Panembahan Wangsakerta :
- Salah satu putra Panembahan Girilaya.
- Diangkat sebagai Panembahan setelah pembagian Kesultanan Cirebon, tidak menjabat sebagai sultan melainkan lebih fokus pada pendidikan dan ilmu pengetahuan.
- Menjalankan tugas sebagai guru bagi para intelektual keraton dan membantu Sultan Sepuh dalam pemerintahan.
Panembahan (Gelar):
- Berasal dari kata "manembah" yang artinya menyembah, dan merupakan gelar bagi penguasa yang posisinya berada di bawah Sultan.
- Setelah pembagian Kesultanan Cirebon, ada beberapa tokoh yang menggunakan gelar ini, seperti Panembahan Nasiruddin (Panembahan Wangsakerta).
Kisah Pangeran Lanang Dangiran Mempersunting Putri Ki Bimotjili.
Pangeran Lanang Dangiran merupakan tokoh yang pertama kali dimakamkan di Pesarean Agung Sentono Botoputih di Jalan Pegirian, Surabaya. Dalam buku Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, diceritakan riwayat hidup Sunan Botoputih yang memiliki nama lain Kyai Ageng Brondong.
Konon dituturkan, ada seorang raja di Blambangan bernama Tawangalun. la mempunyai lima orang anak, salah satunya adalah Pangeran Lanang Dangiran.
Pada usia 18 tahun, Pangeran Lanang Dangiran dikisahkan melakukan pertapaan di laut. Ia bertapa dengan cara menghanyutkan diri menggunakan sebuah papan kayu dan sebuah bronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan dan minum.
Arus laut kemudian membawa Pangeran Lanang Dangiran hingga ke Laut Jawa. Hingga suatu ketika, angin topan dan gelombang besar mengempaskan sang pangeran di pantai dekat Sedayu (Lamongan/Gresik) wilayah Pangeran Ujung Pangkah.
Dalam keterasingannya di pantai dekat Sedayu, tanpa terasa badannya telah dilekati oleh kerang, keong, serta karang-karang dan remis. Sehingga badannya seolah-olah ditempeli bakaran jagung yang sering kita sebut brondong.
Pangeran Lanang Dangiran kemudian ditemukan oleh Kiai Kendil Wesi dan dibawa ke rumahnya. Di sana, ia dirawat oleh Kiai Kendil Wesi dan istrinya dengan penuh kasih sayang hingga kembali sadar dan sehat.
Saat sudah siuman, Pangeran Lanang Dangiran kemudian menceritakan siapa dirinya kepada Kiai Kendil Wesi. Sang Kiai, yang juga merupakan keturunan raja-raja di Blambangan yaitu Menak Soemandi, terkejut saat mengetahui mereka rupanya masih satu keturunan.
Pangeran Lanang Dangiran kemudian menetap di rumah Kiai Kendil Wesi. Bahkan, ia sudah dianggap anak sendiri oleh ulama tersebut.
Pada akhirnya, Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama İslam. Dengan ketulusan dan dan kesucian hati, ia kemudian memperdalam agama Islam.
Tak lama kemudian Pangeran Lanang Dangiran mempersunting putri Ki Bimotjili dari panembahan di Cirebon. Lalu, ia dikenal sebagai Kiai Ageng Brondong, karena saat ditemukan oleh Kiai Kendil Wesi, badannya dalam keadaan dilekati dengan "brondong".
Setelah menikah, sekitar tahun 1595, Pangeran Lanang Dangiran memutuskan pergi ke Ampel Denta Soerabaia bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Mereka kemudian menetap dan menyebarkan ajaran Islam di sana.
Ki Ageng Lanang Dangiran Berguru di Sunan Ampel di Ampel Denta.
Ki Ageng Lanang Dangiran (yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Brondong) pernah berguru pada Sunan Ampel di Ampel Denta, Surabaya. Setelah pulih dari terdampar di laut, ia diarahkan oleh Kyai Kendil Wesi untuk berguru kepada Sunan Ampel dan kemudian menetap di Surabaya untuk menyebarkan agama Islam.
- Awal berguru: Setelah diselamatkan oleh Kyai Kendil Wesi dan memulihkan diri, ia dianjurkan untuk pergi ke Ampel Denta untuk berguru pada Sunan Ampel.
- Penyebaran Islam: Setelah berguru, Ki Ageng Lanang Dangiran (saat itu bernama Ki Ageng Brondong) bersama keluarganya menetap di Dukuh Botoputih di seberang timur Kali Pegirian, dekat Ampel.
- Mendirikan pesantren: Di tempat itulah ia mendirikan pesantren dan menyebarkan ajaran Islam, sehingga mendapatkan gelar Sunan Boto Putih karena keluhuran budinya.
Mereka menetap di seberang timur Kali Pegirian, dekat Ampel. Tempat itu bernama Dukuh Botoputih. Di tempat yang baru inilah, Kiai Brondong mendapat martabat yang tinggi dari masyarakat sekitar karena keluhuran budinya.
Kiai Brondong wafat pada tahun 1638 dalam usia 70 tahun dengan meninggalkan tujuh orang anak. Ia kemudian dikebumikan di kediamannya di Botoputih, atau yang sekarang dikenal sebagai Pesarean Agung Sentono Botoputih.
![]() |
| Ilustrasi Foto Sunan Botoputih |
![]() |
| Silsilah Ki Bimotjili / Rsi Ki Kendil Wesi / Pangeran Ujung Pangkah |
Imajiner Nuswantoro









