Kakawin Arjunawiwāha
(Kisah dalam Relief Candi Rahasia Menjadi Dewa)
Kakawin Arjunawiwāha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di kerajaan Medang-Kahuripan, Jawa Timur dari 1019 – 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan selesai digubah sekitar 1030 dan disebut menggambarkan kehidupan Prabu Airlangga. Diambil dari epos Mahabarata bagian ketiga yakni Wanaparwa.
Namun bagian ini hanya menceritakan perebutan babi antara Arjuna dengan Batara Siwa, selebihnya adalah karya dari Mpu Kanwa, yakni perkawinan Arjuna dengan tujuh bidadari makanya dinamakan Arjuna Wiwaha, artinya perkawinan Arjuna. Dengan demikian kisah kepahlawanan ini merupakan kisah lokal Nusantara, yang banyak dipahatkan di relief candi-candi antara lain Candi Surawana Kediri, Candi Jago Malang, Candi Gua Pasir Tulunggang, Candi Merak, Candi Gajah Mungkur, Candi Kerajaan Penanggungan.
Dipahatkan disana karena menuturkan perjalanan Arjuna dalam upaya meleburkan nafsunya misalnya dengan membunuh nafsu angkara yang digambarkan raksasa Niwatakawaca, hingga mencapai kebahagiaan di surga. Bahkan di Candi Jago kisah ini dipahatkan di relief teras ketiga yang merupakan area sakral. Relief-relief ini bertemakan proses ruwat atau penyucian diri dari nafsu duniawi, dan imbalannya adalah kebahagiaan sejati.
Salinan teks latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 82 (1926) halaman 181-305.
Kisahnya
Niwātakawaca seorang raksasa mempersiapkan diri untuk menyerang dan menghancurkan kahyangan Batara Indra. Karena raksasa itu tak dapat dikalahkan, oleh para Dewa maka Batara Indra memutuskan untuk meminta bantuan dari manusia. Pilihan jatuh pada Sang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakīla. Namun sebelum itu, terlebih dahulu harus diuji ketabahannya dalam melakukan tapa, karena ini juga merupakan jaminan agar bantuannya benar-benar membawa hasil seperti yang diharapkan.
Maka mengutus tujuh orang bidadari yang kecantikannya menakjubkan. Mereka bernama Supraba, Tilottama, Warsiki, Surendra, Gagarmayang, Tunjungbiru, dan Lenglengmulat. Mereka semua di utus untuk mengunjungi Arjuna untuk merayunya.
Maka pergilah mereka ke gunung Indrakīla menuju tempat bertapanya sang Arjuna. Mereka sampai pada gua tempat Arjuna duduk, terserap oleh samadi, lalu memperlihatkan segala kecantikan mereka dan mempergunakan segala cara untuk menggodanya, tetapi sia-sia belaka. Dengan rasa kecewa mereka pulang ke kahyangan dan melapor kepada Batara Indra. Namun bagi para Dewa kegagalan mereka membuktikan kesaktian Arjuna.
Tinggal satu pertanyaan lagi: apakah tujuan Arjuna dengan mengadakan tapa semata-mata untuk memperoleh kebahagiaan dan kekuasaan bagi dirinya sendiri, sehingga ia tidak menghiraukan keselamatan orang lain? Maka supaya dalam hal yang demikian penting itu dapat diperoleh kepastian, Indra sendiri yang menjenguk Arjuna dengan menyamar sebagai seorang resi tua yang telah pikun dan bungkuk.
Sang resi tua ini berpura-pura batuk dan Arjuna menyambut dengan penuh hormat yang sebentar menghentikan tapanya dan dalam diskusi falsafi yang menyusul terpaparlah suatu uraian mengenai kekuasaan dan kenikmatan dalam makna yang sejati. Dalam segala wujudnya, termasuk kebahagiaan di Surga, kekuasaan dan nikmat termasuk dunia semu dan ilusi; karena hanya bersifat sementara dan tidak mutlak, maka tetap jauh dari yang mutlak. Barangsiapa ingin mencapai kesempurnaan dan moksa, harus menerobos dunia wujud dan bayang-bayang yang menyesatkan, jangan sampai terbelenggu olehnya. Hal seperti ini dimengerti oleh Arjuna. Ia menegaskan, bahwa satu-satunya tujuannya dalam melakukan tapa brata ialah memenuhi kewajibannya selaku seorang ksatria serta membantu kakaknya Yudistira untuk merebut kembali kerajaannya demi kesejahteraan seluruh dunia. Indra merasa puas, mengungkapkan siapakah dia sebenarnya lalu balik ke kahyangan. Arjuna meneruskan tapa bratanya.
Dalam pada itu raja para raksasa telah mendengar berita apa yang terjadi di Gunung Indrakila. Ia mengutus seorang raksasa lain yang bernama Mūka untuk membunuh Arjuna. Dalam wujud seekor babi hutan ia mengacaukan hutan-hutan di sekitarnya. Arjuna, terkejut oleh segala hiruk-pikuk, mengangkat senjatanya dan keluar dari guanya. Pada saat yang sama Dewa Siwa, yang telah mendengar bagaimana Arjuna melakukan tapa dengan baik, menemuinya dalam wujud seorang pemburu dari salah satu suku terasing, yaitu Suku Kirāta. Pada saat yang sama masing-masing melepaskan panah dan babi hutan tewas. Kedua anak panah ternyata menjadi satu. Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan orang Kirāta itu, siapa yang telah membunuh binatang itu. perselisihan memuncak menjadi perdebatan sengit. Mereka lalu mulai berkela- hi. Arjuna yang hampir kalah, memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu wujud si pemburu lenyap dan Batara Siwa menampakkan diri.
Batara Siwa bersemayam selaku Ardhanarīśwara ‘setengah pria, setengah wanita’ di atas bunga padma. Siwa menghadiahkan kepada Arjuna sepucuk panah yang kesaktiannya tak dapat dipatahkan; namanya pasopati. Sekaligus diberikan kepadanya pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan panah itu. Sesudah itu Siwa menghilang.
Tak lama datanglah dua bidadari Su praba dan Tilottama, membawa sepucuk surat dari Indra; ia minta agar Arjuna bersedia menghadap, membantu para Dewa dalam rencana mereka untuk membunuh Niwatakawaca. Arjuna setuju. Ia mengenakan sebuah rompi ajaib bersama sepasang sandal yang dibawa oleh Supraba dan Tilottama, kemudian mereka bertiga terbang ke istana Batara Indra di kahyang an. Indra menjelaskan tentang niat jahat Niwatakawaca yang akan memporak porandakan kahyangan dan bumi. Raksasa itu hanya dapat ditewaskan oleh seorang manusia, tetapi terlebih dahulu mereka harus menemukan titik lemahnya. Sang bidadari bernama Supraba yang sudah lama diincar oleh Niwatakaca, akan mengunjunginya dan akan berusaha untuk mengetahui rahasianya dengan ditemani oleh Arjuna. Arjuna menerima tugas itu dan mereka turun ke bumi. Mereka sampai ke tempat kediaman si raja raksasa itu; di sana tengah diadakan persiapan-persiapan perang melawan para Dewata.
Supraba menuju sebuah sanggar mestika (balai kristal murni), di tengah-tengah halaman istana. Sementara itu Arjuna menyusul dari dekat. Namun Arjuna memiliki ajian supaya ia tidak dapat dilihat orang. Itulah sebabnya mengapa para dayang-dayang yang sedang bercengkerama di bawah sinar bulan purnama, hanya melihat Supraba. Dua orang dayang-dayang menghadap raja dan membawa berita yang sudah sekian lama dirindukannya.
Niwatakawaca menemui Supraba. Supraba memuji-muji kekuatan raja Niwatakaca yang tak terkalahkan itu, lalu bertanya tapa macam apa yang mengakibatkan ia dianugerahi kesaktian yang luar biasa oleh Batara Rudra. Niwatakawaca terjebak oleh bujukan Supraba dan membeberkan rahasianya bahwa sumber kekuatannya terletak di ujung lidahnya.
Ketika Arjuna mendengar itu ia meninggalkan tempat persembunyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca terkejut oleh kegaduhan yang dahsyat itu; Supraba langsung melarikan diri bersama Arjuna.
Meluaplah angkara murka sang raja yang menyadari bahwa ia telah ditipu; ia memerintahkan pasukan-pasukannya agar seketika berangkat ke kahyangan melawan para Dewa-Dewa. Bala tentara para Dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan pertempuran di lereng selatan pegunungan Himalaya.
Menyusullah pertempuran sengit yang tidak menentu, sampai Niwatakawaca terjun ke medan laga dan mencerai-beraikan barisan para Dewa yang terpaksa mundur. Arjuna yang bertempur di belakang barisan tentara yang sedang mundur, berpura-pura lari terbirit-birit, tetapi busur telah disiapkannya.
Ketika Niwatakawaca para raksasa mulai me ngejarnya dan berteriak-teriak dengan amarahnya, Arjuna menarik busurnya, anak panah melesat masuk ke mulut sang raja dan menembus ujung lidahnya, ia tersungkur dan mati. Para raksasa melarikan diri, para Dewa yang akhirnya sebagai pemenang. Mereka yang tewas dihidupkan dengan air Tirta Amerta dan pulang ke kahyangan.
Kini Arjuna menerima penghargaan atas bantuannya. Selama tujuh hari (menurut perhitungan di Surga, dan ini sama lamanya dengan tujuh bulan di bumi manusia) ia akan menikmati buah hasil dari kelakuannya yang penuh kejantanan itu: ia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas singgasana Indra. Setelah ia dinobatkan, menyusullah upacara pernikahan sampai tujuh kali dengan ketujuh bidadari. Satu per satu, dengan diantar oleh Menaka (ketua para bidadari), mereka memasuki ruang mempelai. Yang pertama datang ialah Supraba, kemudian Tilottama lalu ke lima yang lain, satu per satu; Warsiki, Surendra, Tunjungbiru, Gagarmayang, dan Lenglengmulat. Hari berganti hari dan Arjuna mulai menjadi gelisah. Ia rindu akan sanak saudaranya yang ditinggalkannya. Ia mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan perasaannya lewat sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian menaka, Supraba, dan Tilottama. Yang terakhir ini berdiri di balik seba- tang pohon dan mendengar, bagaimana Arjuna menemui kesukaran dalam meng ubah baris penutup bait kedua. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris yang lucu dan jenaka. Maka setelah tujuh bulan itu sudah terlewatkan, Arjuna berpamit kepada Indra; ia diantar kembali ke bumi oleh Matali dengan sebuah kereta Surgawi.
Kakawin Arjunawiwaha memiliki sebuah manggala, yakni :
Ambek sang paramārthapandita huwus limpad sakêng śūnyatā,
(Batin Sang Tahu hakikat tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati kehampaan),
tan sangkêng wisaya prayojñananira lwir sanggrahêng lokika,
(bukanlah terdorong nafsu indria tujuannya, seolah-olah saja menyambut yang duniawi),
santosâheletan kelir sira sakêng sang hyang jagatkārana.
(Hiasan kepalaku merupakan debu pada alas kaki dia Sang Hyang penjadi dunia)
Usnisangkwi lebūni pādukanirā sang hyang jagatkārana,
(damai bahagia, selagi tersekat layar pewayangan dia dari sang penjadi dunia), manggeh manggalaning miket kawijayân sang pārtha ring kahyangan
(terdapatkan pada manggala dalam menggubahkan kemenangan Sang Arjuna di kahyangan).
Kakawin Arjunawiwaha
(Dalam Kisah Wayang)
Kahyangan Bathara Indra sedang berada dalam ancaman seorang raksasa yang bernama Niwatakawaca. Ia sudah siap untuk menyerang dan menghancurkan kahyangan Bathara Indra. Niwatakawaca tidak bisa dikalahkan oleh siapapun baik Dewa maupun raksasa yang lain. Oleh karenanya, Bathara Indra memutuskan untuk meminta bantuan manusia untuk menghadapi raksasa itu. Pilihan jatuh kepada Arjuna putra tengah Pandawa yang saat itu sedang bertapa di gunung Indrakila.
Namun, terlebih dulu Bethara Indra menguji ketabahan Arjuna dalam melakukan pertapanya. Tujuh orang bidadari yang kecantikannya sudah tidak bisa diragukan lagi dipanggil untuk menjalankan tugas itu. Bidadari yang terpenting dari ketujuh bidadari tersebut adalah Suprabha dan Tilottama. Ketujuh bidadari tersebut diutus untuk menggunakan segala kemampuan dan kecantikannya untuk merayu Arjuna.
Suprabha dan enam bidadari yang lain pergi ke tempat Arjuna bertapa yaitu Gunung Indrakala untuk menunaikan tugasnya. Sampailah para bidadari yang kecantikannya sungguh menabjukan itu di gua tempat Arjuna bertapa. Mereka berusaha menggoda Arjuna dengan memperlihatkan segala kecantikannya dan dengan segala akal agar Arjuna bisa tergoda. Namun, usaha mereka tak sedikitpun memberikan hasil. Tentunya mereka sangat kecewa, dan akhirnya mereka kembali ke kahyangan dan melaporkan kepada Bathara Indra.
Mendengar laporan dari pada bidadari utusannya, Bathara Indra gembira, karena itu membuktikan bahwa Arjuna memang orang yang tepat dan pantas untuk dia pilih sebagai lawan Niwatakawaca. Tetapi Indra masih memiliki sedikit keraguan, dia masih bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan Arjuna bertapa, apakah untuk memperoleh kebahagiaan dan kekuasaan untuk dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli degan keselamatan orang lain?
Bathara Indra kemudian turun tangan sendiri untuk hal ini, ia kemudian turun menghampiri Arjuna dan menyamar sebagai seroang resi tua yang telah pikun dan bungkuk. Resi tua jelmaan Bathara Indra memperolok-olok dan mengunggah kesatriaan Arjuna , Arjuna kemudian menghentikan tapanya sebentar dan menyambut resi tua itu dengan penuh rasa hormat. Dalam pertemuan itu terjadi diskusi falsafi yang di dalamnya terpapar suatu uraian mengenai kekuasaan dan kenikmatan dalam makna yang sejati. Arjuna cukup memahami segala hal yang di paparkan oleh Bathara Indra, ia lalu menegaskan bahwa satu-satunya tujuan ia melakukan tapa brata adalah untuk memenuhi kewajibannya selaku seorang ksatria serta membantu kakaknya Yudhistira untuk merebut kembali kerajaannya demi kesejahteraan dunia. Mendengar jawaban dari Arjuna, Bathara merasa puas dan yakin, maka ia mengungkapkan siapa dia sebenarnya. Bathara Indra kemudian kembali ke kahyangan, sementara Arjuna melanjutkan tapa bratanya.
Raja Raksasa mendengar apa yang terjadi di Gunung Indrakila. Ia kemudian mengutus seorang raksasa yang bernama Muka untuk membunuh Arjuna. Muka merubah wujudnya menjadi seekor babi hutan, dan mengacaukan hutan di sekitar Arjuna bertapa. Arjuna yang mendengar kegaduhan itu segera keluar dari guanya dengan membawa senjatanya. Pada saat yang sama, Bathara Siwa juga sudah mendengar bagaimana Arjuna bertapa, ia kemudian juga turun dalam wujud seorang pemburu dari suku Kirata.
Arjuna melepaskan panahnya untuk membunuh babi hutan yang membuat kerusuhan itu, dan pada waktu yang bersamaan pemburu Kirata jelmaan Siwa pun melakukan hal yang sama. Kedua anak panah mereka ternyata menjadi satu dan menewaskan babi hutan jelmaan Muka itu. Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan pemburu dari Kirata itu, siapa yang membunuh Babi hutan itu. Terjadilah perdebatan yang sengit diantara keduanya dan akhirya mereka berkelahi. Arjuna hampir saja kalah, kemudian ia memegang kaki lawannya , namun pada saat itu wujud si pemburu lenyap dan Siwa menampakkan diri.
Bathara Siwa bersemayam selaku ardhanariswara “Setengah Pria, setengah Wanita”, di atas bunga Padma. Dengan penuh rasa hormat dan tulus Arjuna memujanya dengan suatu madah pujian dan yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Siwa yang hadir dalam segala sesuatu. Siwa kemudian memberikan hadiah kepada Arjuna panah sepucuk panah yang bernama Pasupati. Arjuna juga diberikan pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan panah itu.
Sementara Arjuna sedang berpikir apakah ia sebaiknya kembai ke sanak saudaranya, datanglah dua aspara (makhluk setengah dewa, setengah manusia) utusan dari kahyangan yang membawa sepucuk surat dari bathara Indra. Isi dari surat itu, meminta kesediaan Arjuna menghadap untuk membantu para Dewa untuk membunuh Niwatakawaca. Arjuna menjadi ragu-ragu karena berarti ia akan lebih lama terpisah dari keluarganya. Namun, akhirnya ia menyetujui, kemudian mereka bertiga pergi ke kahyangan Bathara Indra.
Sesampainya di Kahyangan, tentu saja Arjuna disambut oleh para bidadari yang tergila-gila melihat ketampanannya. Bathara Indra kemudian menceritakan keadaan di Kahyangan akibat ulah Niwatakawaca. Raksasa itu hanya bisa dikalahkan oleh seorang manusia tetapi harus mengetahui titik lemahnya terlebih dahulu.
Bidadari yang akan mendapat tugas untuk peri ke istana dan mengetahui rahasia raksasa itu adalah Suprabha. Dia sudah lama menjadi incaran raksasa itu. Arjuna mendapat tugas untuk menemani Suprabha dalam melakukan misi tersebut. Arjuna menyanggupinya dan kemudian turun ke bumi.
Akhirnya mereka sampai di istana raja raksasa tersebut, disana sedang diadakan persiapan untuk perang melawan para Dewata. Suprabha awalnya merasa ragu apakah bisa menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya, namun Arjuna memberi semangat kepadanya bhawa ia akan berhasil asal ia mempergunakan segala rayuan seperti yang ia lakukan ketika menggoda Arjuna saat bertapa.
Suprabha kemudian menuju sebuah sanggar mestika (balai Kristal murni), di tengah-tengah halaman istana. Sementara Arjuna mengikutinya, namun ia menggunakan aji supaya ia tidak terlihat oleh orang. Beberapa dayang yang sedang bercengkarama melihat kedatangan Suprabha dan menyambutnya dengan gembira sambil menanyakan keadaan kahyangan. Beberapa dayang tersebut dulunya juga berada di istana Indra. Suprabha menceritakan bahwa ia meninggalkan kahyangan atas kemauannya sendiri, karena ia tahu bahwa itu akan dihancurkan; sebelum ia bersama degan segala barang rampasan ditawan, ia menyebarang ke Niwatakawaca.
Dua orang dayang menghadap raja dan membawa berita yang memang sudah dinantikannya sekian lama. Sang raja langsung menuju taman sari dan menimang dengan memangku Suprabha. Suprabha menolak segala desakan Niwatakawaca yang penuh nafsu birahi dan memohon agar sang raja menunggu sampai fajar menyingsing.
Suprabha mencoba merayu dengan memuji kesaktian raja yang tak terkalahkan itu, lalu ia bertanya, tapa seperti apa yang bisa menjadikan ia dianugerahi kesaktian yang luar biasa. Niwatakaca terbujuk oleh rayuan Suprabha, dan membeberkan rahasianya. Ia mengatakanbahwa ujung lidahnya merupakan tempat kesaktiannya.
Ketika Arjuna telah mendengar pengakuan Niwatakawaca, ia kemudian meninggalkan persembuyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca terkejut mendengar kegaduhan dahsyat itu, Suprabha menggunakan saat itu untuk melarikan diri bersama Arjuna.
Menyadari bahwa ia tertipu, meluaplah angkara murka sang raja, ia kemudian memerintahkan pasukannya agar segera berangkat untuk melawan para Dewa. Kahyangan diliputi rasa gembira karena Arjuna dan Suprabha bisa kembali dengan selamat terlebih Indra sudah berhasil mengetahui apa kelemahan dari Raksasa yang membuat onar di kahyangan. Para Dewa kemudian membicarakan taktik bagaimana untuk memukul mundur musuh, namun hanya Indra dan Arjuna yang tahu senjata apa yang telah mereka miliki untuk menghancurkan lawan . Bala tentara para dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan pertempuran di lereng selatan pegunungan Himalaya.
Terjadilah pertempuran sengit, Niwatakawaca terjun ke medan perang dan mengobrak-abrik barisan para dewa yang dengan rasa malu terpaksa mundur. Arjuna yang berada di belakang barisan tentara yang mundur, berusaha menarik perhatian Niwatakaca. Arjuna pura-pura hanyut oleh tentara yang lari terbirit-birit, tetapi busur telah disiapkannya.
Saat raja raksasa itu mulai mengejarnya dan berteriak-teriak dengan penuh amarah, Arjuna menarik busurnya. Arjuna yang memang dikenal sebagai ahli dalam ilmu memanah, sasarannya tidak meleset sedikitpun. Anak panah yang dilepaskannya melesat masuk ke mulut raja raksasa itu dan menembus ujung lidahnya. Ia jatuh tersungkur dan mati.
Pasukan raksasa melarikan diri atau terbunuh, sementar para dewa yang tadinya mundur, kini kembali menjadi pemenang. Para tentara kahyangan yang tadinya mati dihidupkan lagi dengan air amrta.
Atas jasanya, Arjuna mendapatkan penghargaan dari kahyangan. Selama tujuh hari (menurut perhitungan kahyangan, sama dengan tujuh bulan di bumi manusiaia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas singgasana Indra. Selain itu, setelah ia dinobatkan, disusullah pernikahannya dengan tujuh bidadari. Yang pertama ialah Suprabha, ia mendapat hak pertama, karena ia sudah menempuh perjalanan yang penuh bahaya. Kemudian yang kedua, adalah Tilottama, dan kelima bidadari yang lain. Nama bidadari yang lain yang disebutkan adalah Palupy dan Menaka,sementara tiga lainnya tidak disebutkan. Dalam Serat Mintaraga karya Sunan Paku Buwana III, bidadari yang disebut adalah Gagarmayang, Supraba, Tilottama, Warsiki dan Warsini. Sedangkan dalam dua ceita yang berjudul Mintaraga (Mayer,1924:124), disebutkan hanya lima bidadari, yaitu Supraba, Wilotama, Warsiki, Surendra dan Gagarmayang.
Hari demi hari berlalu, Arjuna mulai gelisah, ia rindu dengan saudara-saudaranya. Ia mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan perasaannya lewat sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian Menaka dan Tilottama. Dan yang terakhir, ia berdiri di balik pohon dan mendengar kesulitan Arjuna menggubah baris penutup bait kedua sayairnya. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris yang lucu.
Setelah genap tujuh hari (tujuh bulan di bumi), Arjuna akhirnya pamit kepada Indra, ia kemudian diantar kembali ke bumi oleh Matali dengan kereta Sorgawi.
Imajiner Nuswantoro

