Kisah Asmara Pangeran Diponegoro Dengan 8 Permaisuri
Bendara Raden Mas (BRM) Antawirya atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro bukan nama asing bagi masyarakat Indonesia. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pahlawan nasional yang terbilang paling populer dikarenakan pengobar perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda.
Perang ini disebut sebagai perang besar sepanjang sejarah dengan korban paling besar juga. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Diponegoro dikenal karena keberanian, kegigihan, serta kecerdasannya dalam menghadapi berbagai pertempuran melawan Belanda. Sikap heroik serta karisma Diponegoro inilah yang membuat dirinya dikenang sampai saat ini.
Tapi, dalam berbagai kehebatannya tersebut, banyak yang tidak mengetahui mengenai kisah asmaranya bersama para perempuan yang menjadi istrinya.
Kisah asmara Diponegoro tercatat dalam Babad Dipanagara: an account of the outbreak of the Java War (1825-30): the Surakarta court version of the Babad Dipanagara.
Kuala Lumpur : Printed for the Council of the M.B.R.A.S. by Art Printing Works. Monograph (Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. Malaysian Branch); no.9 yang ditulis oleh Peter Carey. Buku tersebut bersumber dari buku catatan Diponegoro Babad Diponegoro.
Walau kisah asmara Diponegoro banyak versi secara jumlah istri yang dinikahinya, dari berbagai sumber buku serta silsilah yang ada di Tepas Darah Dalem Kraton Yogyakarta dan pengakuan keturunannya sampai saat ini, jumlah istri Diponegoro sebanyak 8 orang.
Banyak faktor yang menyebabkan kisah asmara Diponegoro memiliki bermacam versi.
Pertama, penjajah sengaja mengaburkan hubungan kekerabatan agar tidak terjadi persekutuan serta menimbulkan perlawanan terus-menerus kepada Belanda. Hal ini terlihat dengan berlanjutnya peperangan melawan penjajah yang dilanjutkan oleh para putra Diponegoro. Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis.
Empat putra Diponegoro dibuang ke Ambon. Sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan. Begitu juga Ki Sodewa.
Kedua, ketidakharmonisan dengan kalangan istana yang menyebabkan pemutusan hubungan administrasi yang berkaitan dengan kekeluargaan. Serta ketiga, pengaburan silsilah merupakan strategi Diponegoro untuk menyembunyikan identitas keluarganya agar tidak menjadi sasaran penjajah. Lantas terhadap siapa sajakah Diponegoro melabuhkan hatinya selama masa kehidupannya.
Diponegoro pertama menikah ketika masih di Puri Tegalrejo pada tahun 1803 dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, putri kedua Kiai Gedhe Dadapan di Tempel Sleman, dekat perbatasan Kedu dengan Jogjakarta. Kiai Gede Dadapan pernah menjadi pengasuh Diponegoro saat kecil serta bertugas mengurus berbagai kebutuhannya selama dirinya mondok sebagai santri.
Pangeran Diponegoro, Menikahi 8 Wanita Pimpin Perang Jawa
Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan nasional dari Jogja. Putra Raden Mas Surojo.dan Raden Ayu Mangkorowati ini lahir pada 11 November 1785 dengan nama Raden Mas (RM) Mustahar, kemudian berubah menjadi RM Ontowiryo. Berikut biografi Pangeran Diponegoro.
Setelah ayahnya naik takhta menjadi raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono III, RM Ontowiryo pun mendapat gelar Pangeran dan disebut Pangeran Diponegoro. Hingga kini, Pangeran Diponegoro dikenal karena memimpin Perang Jawa tahun 1825-1830, perang terbesar yang dialami Belanda selama menduduki Nusantara.
Kisah Menikahi Delapan Wanita.
Sejarah mencatat Pangeran Diponegoro menikahi delapan wanita semasa hidupnya.
- Istri pertamanya, Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyai Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel, dinikahi pada tahun 1803. Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid.
- Pada 1807, Pangeran Diponegoro menikahi istri keduanya yaitu Raden Ajeng Supadmi atau RA Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang.
- Setahun kemudian, 1808, ia menikah dengan istri ketiganya RA Retnodewati.
Setelah istri pertama dan ketiganya meninggal, dalam perjalanan ke wilayah timur Pangeran Diponegoro menikah dengan istri keempatnya :
- Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko.
Setelah melahirkan anaknya dalam kerusuhan di Madiun, Raden Ayu Citrowati meninggal. Anak Pangeran Diponegoro tersebut kemudian dibawa Ki Tembi, sahabat Pangeran Diponegoro. Anak itu diberi nama Singlon yang berarti nama samaran.
Pada 1814, Pangeran Diponegoro menikahi istri kelimanya RA Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dan Ratu Maduretno (putri HB II). Setelah dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, pada 1828 Pangeran Diponegoro menikahi RA Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Adapun istri-istri ikut memimpin perang adalah sebagai berikut :
1. Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko.
2. RA Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan.
3. Sedangkan istri terakhirnya, RA Retnakumala, adalah putri Kyai Guru Kasongan.
8 Istri-istri Pangeran Diponegoro :
1. Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko.
2. Raden Ajeng Ratu Ratna Ningsih,
3. Bendara Raden Ayu Retno Madubrongto,
4. Raden Ayu Citrawati,
5. R.A Maduretno, R.A Ratnakumala,
6. Raden Ajeng Supadmi,
7. Raden Ayu Ratnaningrum,
8. Raden Ajeng Ratnadewati
2. Tentang Perang Jawa 1825-1830
Perang besar ini berawal saat Belanda terlalu banyak campur tangan dalam urusan kerajaan. Penyalahgunaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman pada 1821 yang mengakibatkan petani lokal menderita itu juga disebut sebagai salah satu pemicunya.
Puncaknya, Pangeran Diponegoro tidak terima saat Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api yang melewati makam leluhurnya. Di Gua Selarong di wilayah perbukitan Guwosari Pajangan Bantul, Pangeran Diponegoro menyusun markasnya.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul sebagai markas sekaligus tempat perlindungannya. Perang yang berlarut selama lima tahun itu tentu memakan banyak biaya.
Meski demikian, rakyat Jawa dari kalangan petani hingga priyayi yang dipimpinnya rela menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya. Pangeran Diponegoro juga dibantu 15 pangeran lain dan Kyai Mojo yang menjadi pemimpin spiritual pertempuran.
Selain itu, Pangeran Diponegoro juga bekerja sama dengan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Meski demikian, perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro berangsur melemah setelah Belanda menyerang secara besar-besaran.
Pada tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap. Kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Pangeran Diponegoro terpaksa menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Usai perang Diponegoro, sejak 1832, seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III. Ia justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di kota-kota keresidenan Madiun dan Jawa Tengah seperti Wonogiri, Karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.
Imajier Nuswantoro