Al Kisah Dewi Sekartaji
Dewi Sekartaji adalah tokoh dalam cerita Panji yang merupakan putri Raja Kediri Prabu Lembu Amiluhur. Ia memiliki nama asli Putri Galuh Candra Kirana.
Ciri khas Dewi Sekartaji Sangat cantik, Memiliki budi pekerti luhur, Kecantikannya terkenal hingga seluruh pelosok negeri, Mengundang ketertarikan para kesatria.
Kisah Dewi Sekartaji
- Kisah Dewi Sekartaji dan Raden Inu Kertapati (Panji Asmara Bangun) merupakan cerita lokal yang ada sejak 1276 dari Kediri, Jawa Timur
- Kisah Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun diangkat dalam tari Kethek Ogleng
- Kisah Panji merupakan bagian dari sastra klasik Indonesia, khususnya dari cerita-cerita tradisional Jawa
- Kisah Panji terkenal dalam beberapa karya sastra, di antaranya: Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Panji, Serat Panji, dan Serat Panji Bangsawan
Jejak Dewi Sekartaji di Kediri
Terdapat jejak tokoh Dewi Sekartaji berupa petilasan, makam, sumber air, desa, dan terpatri sebagai nama-nama tempat, jalan, produk industri, sanggar seni, dan sebagainya
Cerita Panji
Cerita Panji ialah sebuah kumpulan cerita yang berasal dari Jawa periode klasik, tepatnya dari era Kerajaan Kadiri. Isinya adalah mengenai kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada dua orang tokoh utamanya, yaitu Raden Inu Kertapati (atau Panji Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candrakirana). Cerita ini mempunyai banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Filipina).
Beberapa cerita rakyat seperti Keong Mas, Ande-ande Lumut, dan Golek Kencana juga merupakan turunan dari cerita ini. Karena terdapat banyak cerita yang saling berbeda namun saling berhubungan, cerita-cerita dalam berbagai versi ini dimasukkan dalam satu kategori yang disebut "Lingkup Panji" (Panji cycle).
Lakon Panji
Cerita-cerita dalam Lingkup Panji banyak digunakan dalam berbagai pertunjukan tradisional. Di Jawa, Cerita Panji digunakan dalam pertunjukan Wayang Gedog. Di Bali, yang dikenal di sana sebagai "Malat", pertunjukan Arja juga memakai lakon ini. Kisah ini juga menjadi bagian tradisi dari Suku Banjar di Kalimantan Selatan meskipun kini mulai kurang dikenal oleh masyarakat. Di Thailand terdapat seni pertunjukan klasik yang disebut "Inao" (Bahasa Thai:อิเหนา) yang berasal dari nama "Inu"/"Ino". Begitu pula Kamboja yang mengenal lakon ini sebagai "Eynao".
Nama Pelakon (Tokoh) dalam Cerita Panji
- Raden Inu (atau Ino atau Hino) Kertapati / Panji Asmara Bangun / Kuda (atau Cekel) Wanengpati
- Dewi Sekar Taji / Galuh Candra Kirana
- Panji Semirang / Kuda Narawangsa (Dewi Sekartaji dalam penyamaran)
- Klana Sewandana / Klana Tunjung Seta
- Ragil Kuning / Dewi Onengan
- Gunung Sari
- Panji Sinom Pradapa
- Panji Brajanata
- Panji Kartala
- Panji Handaga
- Panji Kalang
- Klana Jayapuspita
- Lembu Amiluhur
- Lembu Amijaya
- Wirun
- Kilisuci
- Resi Gatayu
- Bremanakanda
- Srengginimpuna
- Jayalengkara
- Panji Kuda Laleyan
- Sri Makurung
- Kebo Kenanga
- Jaka Sumilir
- Jatipitutur
- Pituturjati
- Ujungkelang
- Tumenggung Pakencanan
- Kudanawarsa
- Jaksa Negara
- Jaya Kacemba
- Jaya Badra
- Jaya Singa
- Danureja
- Sindureja
- Klana Maesa Jlamprang
- Klana Setubanda
- Sarag
- Sinjanglaga
- Retna Cindaga
- Surya Wisesa
Cerita Panji dalam Relief Candi
Relief cerita Panji yang dapat diketahui secara pasti hanya terdapat di beberapa candi saja pada masa Majapahit. Seringkali orang menyatakan bahwa ciri utama tokoh Panji dalam penggambaran relief dan arca adalah jika ada figur pria yang digambarkan memakai topi tekes, topi mirip blangkon Jawa, tapi tanpa tonjolan di belakang kepala (lebih mirip dengan blangkon gaya Solo/Surakarta). Badan bagian atas tokoh tersebut digambarkan tidak mengenakan pakaian, sedangkan bagian bawahnya digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat hingga menutupi paha. Pada beberapa relief atau arca ada yang digambarkan membawa keris yang diselipkan di bagian belakang pinggang, atau ada juga yang digambarkan membawa senjata seperti tanduk kerbau (sebagaimana yang dipahatkan pada Kepurbakalaan (Kep.) XXII/C.Gajah Mungkur Penanggungan) (Bernet Kempers 1959:325-6).
Jika berpegangan pada tolok ukur bahwa tokoh Panji selalu digambarkan bertopi tekes, maka akan banyak tokoh Panji yang dijumpai dalam relief-relief candi jawa Timur. Karena tokoh Sidapaksa suami Sri Tanjung yang dipahatkan di Candi Surawarna, dan Jabung akan dianggap sebagai tokoh Panji. Demikian Pula tokoh Sang Satyawan yang dipahatkan pada pendopo teras II Panataran dan dua figur pria dalam relief cerita Kunjarakarna di Candi Jago akan dapat dianggap sebagai tokoh Panji.
Lalu bagaimana penggambaran relief tokoh Panji yang dikenal dalam cerita Panji? W.F.Stutterheim (1935) secara gemilang telah berhasil menjelaskan satu panel relief dari daerah Gambyok, Kediri yang nyata-nyata menggambarkan tokoh Panji beserta para pengiringnya. Pendapat Stutterheim tersebut didukung oleh para sarjana lainnya, seperti Poerbatjaraka (1968) dan Satyawati Suleiman (1978).
Penggambaran relif Panji Gambyok tersebut menurut Poerbatjaraka sesuai dengan salah satu episode kisah Panji Semirang, yaitu saat Panji bertemu dengan kekasihnya yang pertama, Martalangu, di dalam hutan (1968:408). Pada panil digambarkan adanya tokoh pria bertopi tekes yang sedang duduk di bagian depan kereta, tokoh itu tidak lain ialah Panji. Sementara tokoh yang duduk di hadapannya di atas tanah ialah Prasanta. Tokoh paling depan di antara empat orang yang berdiri ialah Pangeran Anom, di belakangnya ialah Brajanata, saudara Panji berlainan ibu. la digambarkan tinggi besar dengan rambutnya yang keriting tapi dibentuk seperti telces. Dua tokoh berikutnya adalah para kudeyan yaitu Punta dan Kertala. Dalam relief digambarkan bahwa keretanya belum dilengkapi kuda, karena sesuai dengan cerita bahwa mereka baru merencanakan akan membawa Martalangu ke kota malam itu. Sementara sikap kedinginan yang ditunjukkan oleh para tokoh adalah sesuai juga dengan cerita, yaitu mereka berada di luar saat malam yang dingin (Poerbatjaraka 1968:408).
Penyebaran Cerita Panji
Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Jawa Timur klasik, kisah Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari segi kesusasteraannya (Cohen Stuart 1853), dari segi kisah yang mandiri (Roorda 1869), atau diperbandingkan dengan berbagai macam cerita Panji yang telah dikenal (Poerbatjaraka 1968), serta dari berbagai segi yang lainnya lagi.
Menurut C.C.Berg (1928) masa penyebaran cerita Panji di Nusantara berkisar antara tahun 1277 M (Pamalayu) hingga ± 1400 M. Ditambahkannya bahwa tentunya telah ada cerita Panji dalam Bahasa Jawa Kuno dalam masa sebelumnya, kemudian cerita tersebut disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Berg (1930) selanjutnya berpendapat bahwa cerita Panji mungkin telah populer di kalangan istana raja-raja Jawa Timur, namun terdesak oleh derasnya pengaruh Hinduisme yang datang kemudian. Dalam masa selanjutnya cerita tersebut dapat berkembang dengan bebas dalam lingkungan istana-istana Bali.
R.M.Ng. Poerbatjaraka membantah pendapat Berg tersebut, berdasarkan alasan bahwa cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi lama (India). Berdasarkan relief tokoh Panji dan para pengiringnya yang diketemukan di daerah Gambyok, Kediri, Poerbatjaraka juga menyetujui pendapat W.F.Stutterheim yang menyatakan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1400 M. Akhirnya Poerbatjaraka menyimpulkan bahwa mula timbulnya cerita Panji terjadi dalam zaman keemasan Majapahit (atau dalam masa akhir kejayaan kerajaan tersebut) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Tengahan (1968:408–9). Penyebarannya ke luar Jawa terjadi dalam masa yang lebih kemudian lagi dengan cara penuturan lisan.
Hubungan dengan Sejarah
Cerita di dalam Lakon Panji berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa (terutama Jawa Timur). Tokoh Panji Asmarabangun dihubungkan dengan Sri Kamesywara, raja yang memerintah Kediri sekitar tahun 1180 hingga 1190-an. Permaisuri raja ini memiliki nama Sri Kirana adalah puteri dari Jenggala, dan dihubungkan dengan tokoh Candra Kirana. Selain itu ada pula tokoh seperti Dewi Kilisuci yang konon adalah orang yang sama dengan Sanggramawijaya Tunggadewi, puteri mahkota Airlangga yang menolak untuk naik tahta.
Sejarah Legenda Dewi Sekartaji, Putri Kediri
Dikala masa Kerajaan Jenggala - Kediri saat di perintah oleh pemerintahanPrabu Lembu Amiluhur tersebutlahRaden Panji Inu Kertapati. Ia adalah pangeran Yang cukup dikenal dengan baik oleh banyak masyarakat kala itu karena kebaikan luhur budi nya, tanpan dan sakti mandraguna. Beliau Prabu Lembu Amiluhur adalah putra mahkota dari kerajaan Jenggala - Kediri
Ramalan dan Kepercayaan Kuno
Raden Panji memiliki istri yang amat sangat dan teramat sangat cantik dan halus bahasanya beliau adalah Dewi Sekartaji atau Dewi Candra Kiranaatau Putri Kediri . Pujangga kerajaan pernah meramalkan tentang kerajaan kerajaan nusantara , bahwasanya kerajaan nusantara akan lahir raja raja besar dari pasangan Raden Panji dan Dewi Sekartaji .
Akan tetapi ini bukan hal mudah , pasalnya untuk dapat menjadikan kenyataan ramalan tersebut Raden Panji dan Dewi Sekartaji harus melewati hal hal sulit dengan mendekatkan lebih dekat kepada sang penciptanya dengan memperbanyak itikaf .
Kisah Mengharukan Raden Panji dan Dewi Sekartaji
Dewi Sekartaji bersama Raden Panji Putera dari Kerajaan Jenggala adalah pasangan serasi. Suatu ketika sang Dewi Sekartaji mengandung dan di tengah kandungannya itu sang Dewi mempunyai keinginan sebagaimana umumnya tanda tanda wanita mengandung.
Apa yang kamu inginkan saat ini wahai istriku ? tanya sang suami.
Aku menginginkan makan daging menjangan putih, " pinda Dewi Sekartaji". Permintaan itu terdorong selera yang sangat menggoda pada saat mengidam. Betapapun menjangan putih itu sangat sulit di temukan , namun Raden Panji tetap menyanggupinya.
Hutan Larangan dan Mistiknya
Pada suatu hari Raden Panji disertai isterinya berburu ke hutan. Mereka tiba di hutan Larangan. Hutan Larangan kala itu dikenal sebagai hutan terlarang karena angker dan mistiknya. Memasuki hutan sebagaimana mestinya sunyi senyap tanpa ada orang selain mereka " Dewi Sekartaji dan Raden Panji ".
Mereka " Dewi Sekartaji dan Raden Panji " berburu dari pagi hingga petang tidak mendapati menjangan putih yang di idam-idamkan. Malam mulai menyelimuti hutan Larangan. Sebaiknya kita beristirahat disini , " ujar Dewi Sekartaji kepada Raden Panji ". Mereka " Dewi Sekartaji dan Raden Panji " segera mendirikan kemah. Sebelum tidur pasangan ini bermesrahan layaknya pengantin yang sedang berbulan madu.
Nampaknya di tengah kemesrahannya itu mereka sedang di awasi oleh dedemit hutan Larangan. Tersebutlah Kalakunti , " Dia harus menjadi suamiku " ucap Kalakunti yang geram saat melihat sepasang sejoli itu bermesrahan. Kalakunti adalah kuntilanak ganas yang mendiami hutan Larangan itu. Kalakunti menginginkan Raden Panji untuk menjadi suaminya.
Untuk mewujudkan tujuan itu Kalakunti mencari cara untuk dapat menggoda dan menjerumuskan keduanya di dalam kebingungan yang nyata. Saat matahari telah terbit terdapat babi hutan yang menjelma menjadi menjangan putih sedang mengendap ngendap di sekeliling Kemah dari Raden Panji dan Dewi Sekartaji. Tidak ingin membangunkan Sang Istri yang sedang tertidur dengan lelap.
Dengan segera Raden Panji memburunya sampai akhirnya berpisah jauh dengan istrinya. Dalam hati Raden Panji , " Aku harus sesegera mungkin mendapatkan menjangan putih ini ". Tetapi Raden panji gelisah karena semakin jauh dengan sang istri sedang menjangan putih berlari menjauhi perkemahannya. Kalakunti tertawa kegirangan karena daya dan upayanya berhasil.
Tiba tiba Istrinya berada di belakang Raden Panji. Suami yang melihat istrinya datang dengan senang hati berkata , " syukurlah kamu dapat mengikutiku hingga kesini ". Padahal itu adalah kalakunti yang sedang menjelma menjadi Dewi Sekartaji Palsu. Ayo kejar terus menjangan putih itu kanda," pinta sang Dewi Sekartaji palsu,". Raden Panji akhirnya dapat memburu menjangan putih itu dan membidiknya dengan tepat. Dengan hati yang berbunga bunga Raden Panji memberikan daging menjangan putih itu kepada Dewi Sekartaji palsu.
Dengan lahap Dewi Sekartaji palsu melahapnya daging panggang menjangan putih itu. Setelah itu mereka kembali ke Istana bersama Dewi Sekartaji Palsu. Sedang Dewi Sekartaji Asli terperangkap di hutan bersama dedemit Hutan Larangan ," Kalawarok ". Hingga dalam waktu yang lama Kalakunti (Dewi Sekartaji Palsu) mengutarakan kepada suaminya bahwa kandungannya sudah semakin besar.
Dewi Sekartaji palsu sudah saatnya melahirkan. Betapa gembiranya Raden Panji menyambut kelahiran anaknya itu. Namun ketika bayi itu lahir, istana kerajaan gempar. Sebab bayi laki- laki yang dilahirkan berbentuk aneh. Badannya besar bagaikan bayi raksasa.
Kulitnya hitam legam. Giginya tumbuh bagai gergaji. Pada kedua sudut bibirnya menonjol taring yang runcing. “ Kuberi nama Pangeran Muda,” tutur Raden Panji menamai puteranya. Semakin bertambah umur, Pangeran Muda semakin mengerian. Tabiatnya pun sangat keras. Ia sering mengamuk.
Raden Panji sangat malu melihat puteranya bertabiat buruk. Ia bermaksud mengurung puteranya itu di salah satu ruang. “ Anak kita jangan dikekang apalagi dkurung. Berilah kebebasan sepuas-puasnya,” kata Sekartaji palsu menahan keinginan suaminya. Raden Panji tidak bisa membantah. Ia menuruti kemauan istrinya.
Pada suatu hari ia mendatangi sebuah pasar desa. “ Hem, daging mentah ini sangat lezat. Baik akan kusantap semua,”kata Pangeran Muda. Para pemilik daging itu berusaha menghalang-halangi Pangeran Muda mengambil daging mentah yang akan dimakan. Melihat keadaan itu Pangeran Muda mengamuk. Ia merusak apa saja yang ditemuinya. Orang- orang berlarian menghindari serangan Pangeran Muda. Pangeran Muda mengejar orang- orang itu sampai ke dusun- dusun, tertangkap langsung dipukul dan disiksa.
Banyak yang menemui ajal. Di tengah-tengah keberingasan Pangeran Muda itu, tiba- tiba tampak sekelebat bayangan seorang pemuda melompat tepat berada dihadapan Pangeran Muda. “ Raksasa biadab ! Sungguh kejam kau! Kedatanganku ingin menghabisi nyawamu !” tantang seorang pemuda.
“Berani benar kau! Awas kusantap hidup- hidup!” ancam Pangeran Muda berwajah garang. Seketika itu pula terjadilah pertarungan seru. Pangeran Muda berkali-kali kena pukulan dari pemuda itu. Dalam keadaan terdesak, Pangeran Muda melarikan diri dan melapor kepada ayahnya., Raden Panji dan istrinya mendapat laporan Pangeran Muda perihal kekalahan melawan seorang pemuda dusun.
Mereka segera berangkat menuju di mana seorang pemuda itu berada.
“Oh, rupanya raksasa jahat itu putera Tuan,” kata seorang,” kata pemuda itu sambil menyembah. “ Maafkan hamba, karena hamba telah menyakiti putera Tuan,” tambahnya. “Siapa namamu ? “tanya Raden Panji.
“Nama hamba Jaka Putera. Ibu hamba bernama Dewi Sekartaji,” jawab pemuda itu. Ibu hamba mengatakan bahwa ayah hamba bernama Raden Panji putera Raja Janggala,” lanjutnya. Betapa terkejutnya hati Raden Panji mendengar pengakuan Jaka Putera.
Dewi Sekartaji palsu tampak gelisah dan segera mendesak suaminya agar segera menangkap Jaka Putera untuk dijebloskan ke dalam penjara. Namun, Raden Panji tidak mengikuti kemauan Dewi Sekartaji palsu itu.
Dewi Sekartaji palsu langsung menyerang Jaka Putera. Jaka Putera langsung melemparkan pukulan maut tepat mengenai dada Dewi Sekartaji palsu. Seketika itu juga tubuh Dewi Sekartaji palsu terbakar, bentuk dan rupa dirinya berubah menjadi Kalakunti, lantas badannya kejang dan segera menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pangeran Muda melihat ibunya tewas, langsung melompat hendak mencengkram kepala Jaka Putera. Namun Pangeran Muda terkena tendangan maut Jaka Putera, seketika itu juga tubuh Pangeran Muda gosong, ia tewas mengenaskan. Setelah Jaka Putera berhasil mengalahkan kedua makhluk itu, ia langsung menyembah Raden Panji.
“ Maafkan, Ayah. Ayahanda telah menjadi korban iblis betina yang bernama Ni Kalakunti yang telah menjelma menjadi ibunda,” ungkap Jaka Putera. Raden Panji mengakui Jaka Putera sebagai anak kandungnya. Ia pun ingin bertemu dengan ibu kandung Jaka Putera.
Pertemuan Raden Panji dengan Dewi Sekartaji sangat mengharukan. Mereka melepas rindu sambil meneteskan air mata dengan tak henti- hentinya. Dewi Sekartaji menjelaskan apa yang telah dialami di hutan. Demikian pula Raden Panji mengungkapkan pengalamnnya selama berpisah dengan istri yang dicintainya. Mereka bangga karena telah mempunyai anak yang membela kebenaran.
“ Dinda, kita harus segera kembali ke istana,” ajak Raden Panji kepada istrinya. Mereka bertiga tiba di istana dan disambut penuh dengan sukacita oleh kedua orang tuanya. Akhirnya Raden Panji dan Dewi Sekartaji dapat membangun keluarga bahagia dan sejahtera.
Kisah Cinta Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun dalam Tari Kethek Ogleng
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera).Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera.
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera. Tari diawali dengan ketiga penari wanita masuk panggung terlebih dulu, kemudian 2 penari berlaku sebagai dayang-dayang dan seorang penari memerankan sebagai putri Dewi Sekartaji, Putri Kerjaan Jenggala, Sidoarjo. Sedangkan seorang penari laki-laki berperan sebagai Raden Panji Asmorobangun dari Kerajaan Dhaha Kediri.
Awalnya, tari ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Pacitan. Dengan menceritakan kisah Raden Asmorobangun dan Dewi Sekartaji yang keduanya saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan harmonis dalam sebuah keluarga.
- Awalnya, tari ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Pacitan
- Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera)
- Tari ini menceritakan kisah Raden Asmorobangun dan Dewi Sekartaji yang saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan sebuah keluarga yang harmonis
- Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera
- Tarian ini diakhiri dengan gerakan Endang Rara Tompe yang menaiki manusia kera dan berakhir dengan persatuan keduanya
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera)
Tari ini menceritakan kisah Raden Asmorobangun dan Dewi Sekartaji yang saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan sebuah keluarga yang harmonis
Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera
Tarian ini diakhiri dengan gerakan Endang Rara Tompe yang menaiki manusia kera dan berakhir dengan persatuan keduanya
Namun, Raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahnya, diam-diam Dewi Sekartaji meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayah dan seluruh orang di kerajaan.
Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat. Berita minggatnya Dewi Sekartaji itupun didengar oleh Raden Panji. Raden Panji pun bergegas mencari kekasihnya, di tengah perjalanan dia singgah di rumah seorang pendeta.
Sang Pendeta pun menyarankan untuk pergi ke barat, dengan menyamar sebagai seorang kera. Sedangkan Dewi Sekartaji telah menyamar sebagai Endang Rara Tompe berusaha naik gunung dan beristirahat di suatu daerah dan memutuskan menetap disana.
Tempat tersebut tidak jauh dari keberadaan Raden Panji. Keduanya bertemu dan saling bermain dan menjadi akrab. Awalnya keduanya saling tidak mengetahui penyamaran masing-masing. Dalam gerakan tari, kejadian ini diwakili dengan masuknya manusia Kera ke dalam panggung pentas, menemui Endang Rara Tompe dan kedua pengawalnya. Gerakan manusia Kera (kethek Jw.) melompat-lompat kesana kemari, gerakan berguling-guling menggambarkan persahabatan yang akrab.
Tarian ini diakhiri dengan gerakan Endang Rara Tompe yang menaiki manusia kera dan berakhir dengan persatuan keduanya, sambil kedua dayang memegangi sang Dewi Sekartaji. Dalam ceritanya, setelah pertemuan itu Endang Rara Tompe mengubah perwujudannya sebagai Dewi Sekartaji dan manusia kera berubah menjadi Raden Panji Asmorobangun. Keduanya kembali ke kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan.
Menurut Anang, Ketua Sanggar Tari Krido Rahayu Pacitan, bahwa konsep yang kami gambarkan lebih pada gerak artistik dari pada sekedar menggambarkan makna filosofi pada makna tarian tersebut. Kami kembangkan tarian ini sedemikian rupa agar enak dilihat, sedikit keluar dari tarian dasar aslinya. Dengan gerakan kreasi sehingga yang cukup menarik untuk ditonton dan tidak meninggalkan cerita aslinya.
Inti dari Tari Kethek Ogleng ini merupakan tari tradisional yang telah dikembangkan secara kekinian. Satu komposisi jika kita tata menjadi apik, maka kita ambil mengembangkan konsep tarian yang telah ada sebelumnya.
Sumber Referensi :
- http://www.kuwaluhan.com/2017/04/legenda-dewi-sekartaji-putri-kediri.html
Imajier Nuswantoro