Gunadharma atau Gunadarma Arsitek Borobudur
Gunadharma atau Gunadarma adalah nama yang dikenal dalam legenda Jawa sebagai arsitek perancang Candi Borobudur, Candi Buddha bersejarah dari abad ke-9 di Jawa Tengah, Indonesia.
Gunadharma adalah nama yang dikenal dalam legenda Jawa sebagai arsitek Candi Borobudur. Namun, tidak banyak yang diketahui tentang Gunadharma, dan namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa, bukan prasasti bersejarah.
Sekilas Gunadharma
Asal : Konon berasal dari Karnataka, India Selatan
Peran : Arsitek perancang Candi Borobudur
Legenda : Konon tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh
Candi Borobudur dibangun pada tahun 824 oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra. Pembangunannya baru selesai di paruh kedua abad ke-9 dan diresmikan oleh Pramodawardhani, permaisuri Rakai Pikatan. Candi Borobudur dibangun dengan gaya Mandala yang melambangkan alam semesta dalam ajaran Buddha
Arsitek Candi Borobudur adalah sosok yang masih diselimuti misteri
Hingga saat ini, tidak ada bukti sejarah yang secara pasti menyebutkan siapa arsitek di balik kemegahan Candi Borobudur.
Namun, dalam legenda Jawa, sosok arsitek Candi Borobudur dikenal dengan nama Gunadharma.
Dikisahkan bahwa Gunadharma adalah seorang arsitek legendaris yang berasal dari Afrika.
Meskipun kisahnya terkesan mistis, Gunadharma diyakini memiliki peran penting dalam merancang dan membangun Candi Borobudur.
Bukti arkeologi menunjukkan bahwa pembangunan Candi Borobudur dimulai pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra sekitar tahun 824 M.
Proses pembangunannya memakan waktu yang lama, yaitu sekitar 75 tahun, dan baru selesai pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani di paruh kedua abad ke-9.
Kemegahan Candi Borobudur menjadi bukti nyata kecanggihan arsitektur dan teknik pembangunan pada masa itu.
Meskipun identitas arsiteknya masih menjadi misteri, Candi Borobudur tetap menjadi warisan budaya yang tak ternilai bagi Indonesia dan dunia.
Beberapa sumber yang menyebutkan Gunadharma sebagai arsitek Candi Borobudur :
1. Legenda Jawa.
Kisah Gunadharma sebagai arsitek Candi Borobudur telah lama diceritakan secara turun-temurun dalam masyarakat Jawa.
2. Nagarakertagama.
Karya sastra kuno ini menyinggung tentang pembangunan Candi Borobudur dan menyebut nama Gunadharma sebagai arsiteknya.
3. Prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan.
Prasasti-prasasti ini menyebutkan tentang Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra sebagai pendiri Candi Borobudur, namun tidak secara eksplisit menyebut nama arsiteknya.
Meskipun masih banyak pertanyaan tentang Gunadharma, kisah dan legendanya tetap menjadi bagian penting dari sejarah Candi Borobudur.
Sosoknya melambangkan kehebatan arsitektur dan teknik pembangunan pada masa lampau, dan menjadi pengingat bahwa Candi Borobudur adalah hasil karya manusia yang luar biasa.
Arsitek Candi Borobudur dan Prambanan adalah "Wong Temanggung"
Tulisan ini menyajikan pandangan lain tentang sepak terjang Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku, Raja Mataram Kuno dari “Temanggung” yang kadang terlupakan, karena tenggelam dalam kemasyhuran nama Raja Samaratungga, yang selama ini diketahui sebagai tokoh dibalik pembangunan Candi Borobudur. Padahal bukan tidak mungkin, sebenarnya justru Rakai Pikatanlah yang membangun Candi Borobudur, dan juga Candi Prambanan.
Sejarah yang kita ketahui sekarang, biasanya dikenal melalui tulisan orang pada jaman dahulu yang berupa prasasti atau peninggalan lain yang terkadang tidak lengkap, atau bahkan juga sangat tergantung pada tendensi atau tujuan si pembuat prasasti tersebut, misalnya saja demi kemasyhuran namanya, atau demi pengakuan dari rakyatnya. Sehingga untuk melengkapinya, arkeolog kadang memasukkan dugaan-dugaan atau perkiraan mereka, agar kisah pada masa lalu tersebut bisa memiliki benang merah, tak terkecuali kisah tentang Rakai Pikatan. Seorang Maharaja Mataram kuno, bekas Penguasa Watek Pikatan, suatu wilayah yang kini merupakan salah satu nama desa di Kabupaten Temanggung.
Selain didasarkan pada bukti-bukti sejarah yang telah diketahui dari berbagai Prasasti, tulisan ini juga menuangkan pandangan penulis tentang kisah hidup Rakai Pikatan. Mungkin tulisan ini akan terasa aneh, bagi pemerhati sejarah yang telah hapal dengan Kisah Candi Borobudur yang telah diketahui selama ini. Namun seperti penjelasan diatas, sejarah adalah sekumpulan dugaan dari orang yang tidak mengalami masa tersebut. Maka sah-sah saja jika penulis juga menuangkan dugaan-dugaannya dalam tulisan ini. Karena bukan tidak mungkin, tulisan ini nantinya justru akan menjadi salah satu versi tersendiri dari rangkaian sejarah Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno.
Pada masa KERAJAAN MEDANG atau KERAJAAN MATARAM KUNO diperintah oleh SRI MAHARAJA RAKAI GARUNG, atau juga dikenal dengan nama RAJA SAMARATUNGGA. Yaitu antara tahun 828 M - 847 M (Prasasti Wanua Tengan III, 908 M).
Saat itu WATEK PIKATAN dipimpin oleh MPU MANUKU (Prasasti Argapura, 852 M). Sehingga Mpu Manuku bergelar RAKAI PIKATAN. WATEK adalah struktur kekuasaan wilayah yang membawahi wilayah WANUA atau desa. Artinya Watek adalah wilayah yang terdiri dari beberapa desa. Sedangkan RAKAI berarti PENGUASA DI. Jadi Rakai Pikatan berarti Penguasa di Pikatan.
Sedari muda, Rakai Pikatan telah ahli di bidang agama, sesuai agama yang dianutnya yaitu Hindu Syiwa, tak heran jika pada masa muda, dia telah dipanggil MPU MANUKU, MPU adalah panggilan kehormatan bagi orang yang ahli dalam bidang tertentu.
Rakai Pikatan selain berotak cerdas, juga memiliki ambisi yang sangat besar untuk bisa menguasai tanah Jawa. Sayangnya, ambisinya tersebut terhalangi oleh wangsa atau dinasti dan agama yang dianutnya, karena Raja Samaratungga dan sebagian besar rakyat Kerajaan Medang berasal dari Wangsa Syailendra yang menganut agama Budha aliran Mahayana. Sedangkan Rakai Pikatan berasal dari Wangsa Sanjaya dan menganut agama Hindu aliran Syiwa. Terlebih, Kerajaan Medang justru terpecah karena adanya perbedaan wangsa tersebut.
Cara yang paling mudah untuk meraih ambisinya adalah dengan cara menikahi Putri semata wayang Raja Samaratungga yaitu PUTRI MAHKOTA PRAMODHAWARDHANI (Prasasti Kayumwungan, 824 M). Rakai Pikatan mencoba mendekati Raja Samaratungga untuk mengambil hatinya. Agar bisa mendekati Raja Samaratungga, Rakai Pikatan menyamarkan identitas dan wangsanya. Maka Rakai Pikatan mengaku sebagai arsitek dari India bernama GUNADHARMA. Guna berarti manfaat dan Dharma berarti kebaikan, nama ini dipilih oleh Rakai Pikatan karena mau tak mau, dia harus bisa berbakti dan berjasa besar bagi wangsa dan agama rajanya, dengan harapan semoga dharma yang dilakukannya untuk wangsa dan agama lain, bisa membawa manfaat bagi kehidupannya. Gunadharma menawarkan kepada Raja Samaratungga untuk membangun sebuah tempat pemujaan bagi agama Budha, dan disepakati oleh Raja Samaratungga dan dibangun di BUMI SHAMBARA. Sehingga tempat pemujaan itu diberi nama SHAMBARA BUDDHURA yangatau sekarang lebih dikenal dengan nama CANDI BOROBUDUR.
Setelah Candi Borobudur selesai dibangun sekitar tahun 825 M. Raja Samaratungga menjadi sangat dikagumi rakyatnya. Namanya bahkan menjadi masyhur hingga ke seluruh dunia. Karenanya, Raja Samaratungga merasa berhutang budi dan sangat menyayangi Gunadharma, bahkan setelah mengetahui jatidiri asli Gunadharma yang sesungguhnya adalah Rakai Pikatan, yang bahkan berasal dari wangsa Sanjaya dan beragama Hindu. Hal tersebut karena Rakai Pikatan terlihat bersungguh-sungguh dalam mendharmakan hidupnya untuk membangun tempat pemujaan bagi wangsa Syailendra.
Sesuai rencana Rakai Pikatan, Raja Samaratungga akhirnya berkenan menikahkannya dengan PRAMODHAWARDHANI (Prasasti Wantil, 856 M). Konon, pernikahan ini sempat ditentang oleh BALAPUTRADEWA, yakni adik Raja Samaratungga dari istri selir ayahandanya yang bernama SRI MAHARAJA RAKAI WARAK atau SAMARAGRHAWIRA ( Prasasti Kelurak, 782 M ). Untuk meredam kemarahan Balaputradewa, Raja Samaratungga memberikan tahta KERAJAAN SRIWIJAWA di SWARNADWIPA, atau Pulau Sumatra. Kerajaan Sriwijaya memang telah ditaklukkan oleh kakek Raja Samaratungga dan juga kakek Balaputradewa yaitu RAJA INDRA atau DHARAINDRA atau RAKAI PANARABAN atau SRI MAHARAJA RAKAI PANUNGGALAN, ( Prasasti Nalanda, 860 M ).
Setelah menikahi Putri Pramodhawardani, pada tahun 847 M. Rakai Pikatan menggantikan jabatan mertuanya sebagai Raja Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno dan memiliki gelar SRI MAHARAJA RAKAI PIKATAN MPU MANUKU. Pada masa tersebut, jabatan terakhir sebelum menjadi raja memang sering dicantumkan sesudah jabatan Sri Maharaja dan sebelum nama aslinya.
Melihat kemegahan Candi Borobudur, rakyat yang berwangsa Sanjaya merasa dikesampingkan hingga timbul rasa tidak puas atas pemerintahan Rakai Pikatan, karena mereka yang sama-sama berwangsa Sanjaya dan beragama Hindu Syiwa seperti rajanya, justru tidak memiliki tempat peribadatan sendiri. Bahkan seorang Rakai dari watek Walaing yang bernama RAKAI WALAING MPU KUMBHAYONI berusaha memberontak untuk membuat kekuasaan sendiri. Dia membuat benteng pertahanan dari tumpukan batu di atas bukit Ratu Baka. Namun, dengan dibantu anak bungsunya yang bernama RAKAI KAYUWANGI DYAH LOKAPALA, Rakai Pikatan berhasil mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni (Prasasti Wantil, 856 M).
Tak ingin kejadian seperti itu terulang, Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku membangun Candi bagi Wangsanya sendiri yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa dan diberinama SYIWAGRAHA atau kini lebih dikenal dengan nama CANDI PRAMBANAN. Sehingga, rakyat yang berwangsa Sanjaya pun merasa senang dan makin mencintai rajanya. Setelah itu, kepemimpinan Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku makin dikagumi rakyat. Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya hidup rukun dan damai serta taat pada sang Raja. Sesuai dengan ambisinya pula, Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku makin memperluas daerah kekuasaanya hingga ke seluruh Jawa Tengah. Pada saat itu, wilayah Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno meliputi daerah yang dikelilingi oleh Gunung dan Pegunungan serta Sungai, yaitu Pegunungan Serayu, Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, Pegunungan Kendang, Gunung Lawu, Gunung Sewu dan Gunung Kidul.
Pada puncak kejayannya, Rakai Pikatan memindahkan ibukota kerajaan dari Mataram ke MAMWRATI dan Istana Kerajaannya dinamakan MAMWRATIPURA, sehingga kadang dia juga dikenal dengan nama SRI MAHARAJA RAKAI MAMWRATI MPU MANUKU.
Pada tahun 855 M. Rakai Pikatan mengundurkan diri sebagai raja untuk menjadi seorang brahmana. Tahta diserahkan kepada anak bungsunya yang telah berjasa dalam mengalahkan pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yakni Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Sedangkan Rakai Pikatan sendiri setelah menjadi brahmana berganti nama menjadi SANG JATININGRAT.
Sekitar satu tahun kemudian yaitu pada tahun 856 M., Sang Jatiningrat Rakai Pikatan meninggal dunia di semayamkan di DESA PASTIKA (Prasasti Wantil, 856 M).
Gunadarma Seorang Arsitek Candi Borobudur
Masih penasaran dengan sebuah candi besar yang berada dijogja ini, dengan kegagahannya yang mulai berdiri beberapa tahun lamanya. Saya sebagai seorang anak bangsa sangatlah kagum akan keindahannya yang sangat agung terpampang didalam sebuah kota dijogja itu. Maka itu saya perlu mencari tahu tentang sejarah dan segala macamnya tentang candi borobudur termasuk dengan misteri yang dikandung dalam bangunan besar tersebut.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Nama Borobudur
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Sriwijaya dinasti Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Struktur Borobudur
Foto : Candi Borobudur dilihat dari pelataran sudut Barat Laut |
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Relief
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut :
Bagan Relief
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief
Jumlah Pigura
Kaki candi asli = Karmawibhangga 160 pigura
Tingkat I
Dinding :
a. Lalitawistara 120 pigura.
b. Jataka/awadana 120 pigura. langkan :
a) Jataka/awadana 372 pigura.
b) Jataka/awadana 128 pigura.
Tingkat II
Dinding Gandawyuha 128 pigura = langkan jataka/awadana 100 pigura
Tingkat III
Dinding Gandawyuha 88 pigura = langkan Gandawyuha 88 pigura.
Tingkat IV
Dinding Gandawyuha 84 pigura = langkan Gandawyuha 72 pigura
Jumlah = 1460 pigura.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat.
Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras.
Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha.
Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Tahapan pembangunan Borobudur
1. Tahap pertama
Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850 M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.
2. Tahap kedua
Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar.
3. Tahap ketiga
Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya.
4. Tahap keempat
Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief perubahan tangga dan lengkung atas pintu.
Misteri Candi Borobudur
Di Indonesia juga ada bangunan raksasa yang masih banyak misteri tak terpecahkan. Yaitu Candi Borobudur.
Menurut sejarah Candi Borobudur dibangun oleh Raja Smaratungga salah satu raja kerajaan Mataram kuno dari dinasti Syailendra pada abad ke-8. Menurut legenda Candi Borobudur dibangun oleh seorang arsitek bernama Gunadharma, namun kebenaran berita tersebut secara hirtoris belum diketahui secara pasti.
Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun.
Borobudur Bangunan Unik dan Misterius
Sedangkan ketika dilihat dari udara, bentuk Candi Borobudur mirip dengan teratai. Teratai memang salah satu dari simbol-simbol yang dipakai dalam penghormatan (puja) agama Buddha, melambangkan kesucian, mengingatkan umat Buddha untuk senantiasa menjaga pikiran dan hati tetap bersih meski berada di lingkungan yang ‘tidak bersih’
Tahun 1930-an W.O.J. Nieuwenkamp pernah memberikan khayalan ilmiah terhadap Candi Borobudur. Didukung penelitian geologi, Nieuwenkamp mengatakan bahwa Candi Borobudur bukannya dimaksud sebagai bangunan stupa melainkan sebagai bunga teratai yang mengapung di atas danau. Danau yang sekarang sudah kering sama sekali, dulu meliputi sebagian dari daerah dataran Kedu yang terhampar di sekitar bukit Borobudur. Foto udara daerah Kedu memang memberi kesan adanya danau yang amat luas di sekeliling Candi Borobudur.
Menurut kitab-kitab kuno, sebuah candi didirikan di sekitar tempat bercengkeramanya para dewa. Puncak dan lereng bukit, daerah kegiatan gunung berapi, dataran tinggi, tepian sungai dan danau, dan pertemuan dua sungai dianggap menjadi lokasi yang baik untuk pendirian sebuah candi.
Yang menarik dari Candi Borobudur adalah nama arsiteknya, yang bernama Gunadharma. Tapi siapakah Gunadharma?
Tidak ada catatan sejarah mengenai tokoh bernama Gunadharma ini. Diperkirakan Gunadharma merupakan simbol dari nama seseorang yang punya intelektual luar biasa. Ada anggapan bahwa Candi Borobudur dibangun dengan bantuan ‘makhluk lain’.
Bahan dasar penyusun Candi Borobudur adalah batuan yang mencapai ribuan meter kubik jumlahnya. Sebuah batu beratnya ratusan kilogram. Hebatnya, untuk merekatkan batu tidak digunakan semen. Antarbatu hanya saling dikaitkan, yakni batu atas-bawah, kiri-kanan, dan belakang-depan. Bila dilihat dari udara, maka bentuk Candi Borobudur dan arca-arcanya relatif simetris. Kehebatan lain, di dekat Candi Borobudur terdapat Candi Mendut dan Candi Pawon. Ternyata Borobudur, Mendut, dan Pawon jika ditarik garis khayat, berada dalam satu garis lurus.
Maka tidak heran ada legenda yang mengatakan orang zaman dulu menguasai ilmu sihir sehingga bisa terbang melayang di angkasa. Termasuk si Gunadharma ini ?
Sumber referensi :
- Fakta Unik dan Wikipedia Indonesia-Candi Borobudur.
- Tulisan Gus Sroff dalam " Temanggung Berdiskusi " 23 Mei 2012
Imajier Nuswantoro