KISAH RIWAYAT SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO I (VERSI PRO & KONTRA SUMBER PENULISAN)
(Tujuan penulisan ini sebagai pembanding pembelokan sejarah kelak, anak turun kita mengetahui sejarah yang benar dan penerangan, ingat salah satu cara menghancurkan suatu bangsa dengan memutus para leluhur dan nenek moyangnya serta memutus sejarahnya)
(Jika ada pembelokan sejarah dalam penulisan artikel ini, mari kita kaji dari sumber yang utuh dan benar, pembelokan sejarah salah cara mengadu domba sistem penjajahan dan kita Bangsa Indonesia tahu ada muncul bangsa keturunan Yaman Ba'alawi dengan kelompoknya ingin merusak bangsa ini dengan cara pembelokan sejarah semoga kita sadar dan jangan tinggal diam, lawan pengkianat itu dan asingkan)
Dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono. Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Kelak, sebagai peletak dasar budaya Mataram, beliau akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat Yogyakarta.
Sedari kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat beribadah sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.
Berkat kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal pada tanggal 27 November 1730, beliau lalu diangkat menjadi Pangeran Lurah. Yaitu pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Kelak, ketika sudah dewasa, beliau juga menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian lebih dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi.
Mengenai ketaatan beribadah Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan dalam Serat Cebolek. Disitu digambarkan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis, sholat lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam serat ini pula dikisahkan bahwa beliau gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan pertolongan kepada yang lemah.
Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya.
Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit. Pada tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana diantaranya terdapat 2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti beliau ini kemudian meluas hingga ke masyarakat umum pada tahun 1750.
Sejarah Sri Sultan Hamengkubuwono I
Sri Sultan Hamengkubuwono I adalah pendiri Kesulltanan Yogyakarta yang lahir di Kartasura, pada tanggal 6 Agustus 1717. Beliau memiliki nama asli setelah dilahirkan yakni Raden Mas Sujana. Akan tetapi saat menginjak usia dewasa, beliau mulai memiliki gelar Putra Mangkubumi. Hamengkubuwono I adalah pelopor berdirinya Kesultanan Yogyakarta sekaligus menjabat sebagai raja pertama yang memerintah dari tahun 1755 sampai dengan 1792.
Dalam masanya, pemerintahannya pernah terjadi peperangan hebat antara Mangkubumi dengan Pakubuwono II yang di bantu oleh VOC. Para sejarahwan menyebut perang itu sebagai Perang Suksesi Jawa III. Raden Mas Sujana adalah putra dari Raja Kasunan Kartasura, yang bernama Amangkurat IV. Dirinya merupakan raja yang paling adidaya di masanya dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung.
Di Yogyakarta, dirinya adalah seorang raja terbesar yang mampu mengalahkan Surakarta, walaupun Yogyakarta masih termasuk negeri yang baru. Bahkan jumlah armada perang beserta pasukan lebih besar daripada jumlah armada perang milik VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur ) di Jawa saat itu. VOC merupakan sebuah perusahaan Belanda yang didirikan pada 20 Maret 1602 yang memiliki wewenang dalam memonopoli segala aktivitas perdagangan di kawasan Asia. Dirinya idak hanya sebagai seorang pemimpin yang memiliki keahlian dalam strategi berperang saja, teryata dia juga mencintai keindahan alam. Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah karya arsitektur yang monumental di masa kepemimpinannya saat itu. Taman itu di rancang oleh seorang ahli bangunan Kasultanan berkebangsaan Portugis yang nama Jawa Demang Tegis.
Hamengkubuwono I meninggal dunia pada 24 Maret 1792. Tahta yang dia miliki kemudian diwariskan kepada putranya Raden Mas Sundoro, yang memiliki gelar Sri Sultan Hamengkubuwono II. Karena kegigihannya dalam melawan penjajah asing di saat itu, Belanda, Sri Sultan Hamengkubuwono I ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2006. Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan yakni orang- orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh kepulauan Jawa. Awalnya, Pakubuwono II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. tetapi, ketika menyaksikan pihak VOC yang lebih unggul, Pakubuwono II pun berubah pikirannya.
Pada 1742 istana Kertasura di serbu kaum pemberontak. Sehingga Pakubuwono II terpaksa membangun istana baru di Surakarta. Akhirnya pemberontakan dapat di tumpas oleh VOC dan Cokroningrat dari Madura.
Sisa-sisa dari pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (yakni keponakan Pakubuwono II dan Mangkubumi) telah berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwono II pun mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang dapat merebut kembali Sukowati. Pada 1746 Mangkubumi berhasil mengusir Mas Said, tetapi dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya perjanjian sayembara dibatalkan.
Baron Van Imhoff gubernur jenderal VOC datang dan memperkeruh suasana saat itu. Ia pun mendesak Pakubuwono II untuk menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real guna melunasi hutang keraton terhadap Belanda saat itu. Hal tersebut di tentang oleh Mangkubumi yang berakibat pertengkaran di mana Baron Van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum saat itu.
Mangkubumi pun merasa sakit hati, sehingga ia meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746. Selepas itu ia menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak. Ikatan yang di jalin yakni, Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yang bernama Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV serta dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit dalam mengungkapkannya.
Mengenal dan Sejarah Sri Sultan Hamengkubuwono I
Sri Sultan Hamengkubuwono I
(lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792
Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kertasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwono II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, PakubuwonoII pun berubah pikiran.
Pada tahun 1742 istana Kertasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwono II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cokroningrat dari Madura.
Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwono II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan perjanjian sayembara.
Datang pula Baron Van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwono II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron Van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan beliau berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.
Sejarah Perang
Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwono II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Perang ini dikenal dengan “Perang Tahta Jawa Ketiga”
Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwono II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai raja bergelar Pakubuwono III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwono II sebagai Pakubuwono III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.
Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi. Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan. Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata. Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said. Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Pakubuwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwono III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwono III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwono I mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said.
Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Pakubuwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwono III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I menjadi raja di Yogyakarta. Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya. Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwono I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogoro. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarto Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwono I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwono III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwono I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwono IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwono IV sebagai penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengkubuwono I. Pakubuwono IV juga ingin mengembalikan keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwono I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Pakubuwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.
Pakubuwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama “Mangkubumi” untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.
Sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwono IV di Surakarta karena Pakubuwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwono IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwono IV yang merupakan waris dari Pakubuwono III lahir untuk menggantikan ayahnya.
Hamengkubuwono I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwono II.
Hamengkubuwono I adalah peletak dasar-dasar kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.
Hamengkubuwono I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta. Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di jawa (sejak 1619 – 1799).
Rasa benci Hamengkubuwono I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubowono II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Repuplik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwono I sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.
Sumber referensi :
Dikutip dari beberapa sumber referensi berbagai macam versi tentang Hamengkubuwono I
Ditulis oleh : Imajier Nuswantoro