KISAH KI AGENG SURYOMENTARAM MEMILIH MENJADI RAKYAT KAWULO ALIT & WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM
WEJANGAN POKOK ILMU BAHAGIA
Ki Ageng Suryomentaram adalah putra ke-55 Sri Sultan Hamengkubuwono VII dari Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ia merupakan salah satu filsuf Jawa yang populer pada masanya.
Banyak ajaran-ajaran kebatinan yang diciptakan berangkat dari pengalaman hidupnya. Salah satu yang populer hingga kini adalah ajaran moral “aja dumeh” yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan mengecilkan orang lain karena diri berpangkat tinggi, karena pada hakikatnya manusia itu sama.
Lantas seperti apa perjalanan hidup Ki Ageng Suryomentaram hingga ia menjadi filsuf Jawa yang populer ?
Bagaimana juga pemikirannya dalam memaknai hidup ?
Berikut selengkapnya :
Hidup Mengembara
Pada awalnya, Ki Ageng Suryomentaram bergelar Pangeran Surya Mataram. Ia menanggalkan gelar kepangeranannya dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram. Keputusan ini bermula saat ia melihat betapa beratnya hidup petani yang bekerja di sawah.
Sejak itu, ia sering keluar istana dan bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi leluhurnya seperti Gua Langse, Gua Semin, dan Parangtritis. Selain itu, ia juga pergi mengembara ke daerah Kroya, Purworejo, sembari melakukan pekerjaan serabutan sebagai pedagang batik, petani, dan kuli.
Pada saat itu, utusan kraton coba mencarinya dan menemukannya sedang bekerja menggali sumur di Kroya. Ia diajak kembali tinggal di kraton. Namun saat di kraton, hidupnya penuh kegelisahan.
Kegelisahannya bertambah saat kakeknya, Patih Danurejo VI dibebaskan dari tugasnya dan ibunya dikembalikan ke kakeknya. Tak berselang lama, ia kembali ditimpa cobaan saat istrinya meninggal dunia.
Jalani Hidup sebagai Rakyat Biasa
Setelah kematian istrinya, Suryomentaram memilih hidup sebagai seorang petani di daerah Bringin, Salatiga. Di sana ia menjadi guru aliran kebatinan bernama Kawruh Begja.
Sepanjang hidupnya, ia menyelidiki alam kejiwaan dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan. Hasil observasinya akan jiwa diri sendiri itu ia tulis dalam bentuk buku, karangan, ceramah, dan lain sebagainya.
Ia biasa menyampaikan ceramah pada kalangan terbatas. Cara hidupnya cukup menampakkan kesederhanaan dengan mengenakan celana pendek, sarung, dan memakai kaos.
Observasi Rasa
Dilansir dari Wikipedia, pemahaman Ki Ageng Suryomentaram tentang manusia berangkat dari pengamatannya terhadap diri sendiri. Dari analisisnya, dihasilkan suatu citra manusia yang lebih menunjukkan seperti apa dan siapa manusia itu dari dunia yang melingkupinya.
Dari pengamatannya itu, ia menyimpulkan bahwa rasa setiap orang di dunia itu sama, yaitu sama-sama membutuhkan kelestarian raga dan kelestarian jenis.
Selain itu, Suryomentaram merumuskan hidup sederhana ala dia dalam NEMSA (6-SA), yaitu sakepenake, sabutuhe, sacukupe, samesthine, dan sabenere. Sementara itu, ia beranggapan bahwa sumber ketidakbahagiaan adalah keinginan. Wujud keinginan itu ada semat, drajat, dan kramat.
Semat itu berupa kekayaan, kesenangan, kecantikan, ketampanan, dan hal-hal yang biasanya bersifat fisik. Sementara drajat adalah keluhuran, kemuliaan, keutamaan, dan status sosial. Sedangkan kramat adalah kekuasaan, kedudukan, dan pangkat.
WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM
WEJANGAN POKOK ILMU BAHAGIA
BAGIAN I
Senang-Susah
Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa “jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”.
Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi pendapat bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.
Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari pinjaman.Di dalam mencari pinjaman itu ia merasa: “Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah aku celaka dan merasa malu selamanya”. Andaikata ia gagal memperoleh pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar. Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega hatinya.”Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil. Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari uang untuk membayar hutang itu kembali.” Demikianlah, maka jelaslah bahwa tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka.
Demikian juga keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa bahagia. Misalnya orang berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: “Jika si Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah aku.” Dibayangkannya: “Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan.” Tetapi bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawinan bahwa sesudah seminggu saja sudah terjadi pertikaian.
Jadi teranglah bahwa jika keinginan itu tercapai maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan celaka. Kenyataannya ialah bahwa senang dan susah itu tidak berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau mengalami susah selama tiga hari tanpa senang. Pengalaman semacam itu tidak akan terjadi dan tidak mungkin dapat dialami.
Mulur
Yang menyebabkan senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega, puas, tenang, gembira. Padahal keinginan ini bila tercapai pasti mulur, memanjang, dalam arti meningkat. Ini berarti bahwa hal yang diinginkan itu meningkat entah jumlahnya entah mutunya sehingga tidak dapat tercapai dan hal ini akan menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat berlangsung terus-menerus.
Misalnya menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru. Kata hatinya: “Bila aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia, yakni tetap senang. Pada hari besar nanti, aku dapat melancong ke mana-mana.” Andaikata sarung baru itu dapat dibelinya ia pun tidak akan bahagia, melainkan bergembira sebentar kemudian susah lagi. Oleh karena keinginannya itu mulur, maka ia merasa: “Memang, meskipun sarungnya sudah baru, ikat kepalanya pun harus baru.” Maka ia ingin membeli ikat kepala, tetapi uangnya tidak cukup, maka gagallah keinginannya dan susahlah ia. Demikianlah senang tidak berlangsung terus menerus. Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat kepala baru, pasti keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata: “Sekarang sarung dan ikat kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya? Tidakkah harus baru pula?”
Kemudian bila pakaiannya baru sudah ada, tentu keinginannya mulur lagi. Sandalnya, arlojinya, kendaraannya, rumahnya harus baru pula. Bila semua itu sudah ada, pasti keinginannya akan mulur lagi: “Sekarang semua barang sudah baru, mengapa isterinya masih yang lama saja. Agar tidak dikatakan aneh maka ia mencari isteri baru.” Bila nanti memperoleh isteri baru, pasti mulur lagi: “Anaknya pun harus ada yang baru karena mengapa yang ada hanya anak dari isteri lama saja?” Demikianlah keinginan itu mulur sehingga apabila apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa senang itu tidak tetap adanya.
Keinginan itu terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat. Meneari semat ialah mencari kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari derajat ialah mencari keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Mencari kramat ialah mencari kekuasaan, kepercayaan, agar disegani, agar dipuja-puji.
Misalnya orang mencari semat/kekayaan agar ia berpenghasilan tetap. Rasa hatinya berkata: “Jika aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah saja, aku tentu bahagia. Tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang hanya tiga rupiah, bahkan kadang-kadang juga rugi.” Bila usahanya berhasil, maka dalam kenyataannya ia tidak bahagia, namun hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Ini disebabkan karena keinginannya mulur sebagai berikut: “Ternyata penghasilan sepuluh rupiah ini tidak membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan dua puluh ]ima rupiah, barulah aku akan benar-benar bahagia.” Nanti bila sudah memperoleh dua puluh lima rupiah keinginan pun mulur lagi. “Kalau aku hanya menerima dua puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku bahagia. Bahkan hal itu akan menambah banyak hutangnya, karena dipercaya untuk membeli dengan bon, hingga ke sana ke sini aku membuat bon. Hanya jika aku berpenghasilan seratus rupiah, baru aku benar-benar bahagia.” Nanti bila ia berhasil memperoleh seratus rupiah keinginannya pun mulur lagi dan ia ingin dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai berpenghasilan beribu-ribu rupiah, berjuta-juta rupiah, masih kurang terus. Demikianlah keinginan itu mulur sampai pada suatu ketika ia tidak mungkin dipenuhi dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap adanya.
Demikian pula dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang sudah menjadi asisten wedana, pasti keinginannya mulur dan ia ingin menjadi wedana. Kemudian setelah menjadi wedana, tentu keinginannya mulur lagi dan ia ingin menjadi bupati. Sekalipun sudah menjadi raja, ia kemudian ingin menjadi raja dari semua raja. Andaikata terlaksana menjadi raja dari semua raja, pasti hatinya berkata. “Ternyata menjadi raja dari semua raja itu tidak membuat aku bahagia, karena memerintah manusia itu ternyata bukan main banyak kesulitannya.” “Mungkin kalau menjadi raja jin, barulah aku benar-benar bahagia. Bila sudah menjadi raja jin, pasti mulur lagi, ingin menjadi raja binatang, kutu, serangga, yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek dan sebagainya. Demikian mulurnya keinginan sampai apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap.
Demikian pula dalam usaha memperoleh kramat atau kesaktian. Misalnya jika orang telah memiliki kesaktian dengan dapat menyembuhkan orang sakit lumpuh dengan meniupnya saja. Ia belum juga bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi, karena mulurnya keinginannya. Hatinya berkata: “Kalau hanya dapat menyembuhkan orang lumpuh dengan meniupnya saja, aku tidak berbahagia. Akan tetapi kalau dapat menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena siapapun akan percaya, segan, takut kepadaku dan akan memujaku.” la akan berusaha ke sana sini untuk dapat menghidupkan orang mati. PadahaI sekolahnya untuk mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat menghidupkan dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. “Celakalah aku nanti. Jika setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari mana-mana pasti akan dibawa kemari semua, dan aku disuruh menghidupkannya. Halaman rumahku pasti akan penuh dengan bangkai anjing, babi hutan dan lain-lain. Mungkin kalau aku dapat mengeluarkan sukma dari badan, aku baru benar-benar bahagia. Aku akan dapat melayang-layang mengelilingi dunia melihat negeri Belanda, negeri Cina, tanpa melakukan perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak kehilangan uang untuk bekalnya.” Ia akan ke sana ke sini berusaha keras supaya bisa melepaskan sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk mempelajarinya belum ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari raganya, ia pun tidak akan benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi. Hatinya berkata “Susahlah aku bila sukma yang acapkali dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Namun manakala aku bisa menghilang, pastilah aku betul-betul bahagia. Aku akan dapat menggaruk uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya, dan tiap kata ada orang sedang menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan tidak usah bekerja, aku dapat memiliki banyak uang, dan apa pun kuhendaki pastilah tercapai”.
Bila ia kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya mulur lagi, sehingga ia ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya. Demikianlah mulurnya keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak dapat ia peroleh, maka susahlah ia. Jadi jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha mencapai semat (kekayaan), derajat (kedudukan), kramat (kekuasaanl, apabila sudah terlaksana pasti akan mulur. Maka senang itu tidak tetap sifatnya.
Mungkret (menyusut)
Demikian pula rasa susah pun tidak tetap. Karena susah itu disebabkan tidak tercapainya keinginan yang berwujud rasa tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret (menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu berkurang baik dalarm jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang. Jadi rasa susah itu tidak tetap.
Bila keinginan yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti ia akan mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila dapat terpenuhi keinginan itu. Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu terpenuhi dan timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap adanya.
Misalnya orang lapar ingin makan, tentu dipiiihnya lauk-pauk yang serba lezat, seperti daging, telur dan sebagainya. Tetapi bila keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret, sehingga makan nasi dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam pun tidak diperolehnya pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga makan ketela bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh, pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja, cukup sejuklah lidahnya.
Contoh yang makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin mempunyai seorang isteri, maka dipilihnya tentu yang cantik, masih perawan, kaya, keturunan priyayi, cerdas, berbakti, cermat, cinta suami dan seterusnya. Bila keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun tidak benar-benar celaka, melainkan susah sebentar, kemudian senang kembali. Oleh karena keinginannya mungkret, maka rasanya, “Walaupun syarat pilihanku tidak terpenuhi semua, asal saja cantik wajahnya bolehlah” Jika yang cantik pun tidak diperolehnya, tentu keinginannya mungkret lagi: “Walaupun tidak cantik asal saja masih perawan” Bila ini pun tidak berhasil, mungkret lagi keinginannya “Walaupun seorang janda asal saja belum punya anak.” Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti keinginannya mungkret lagi: “Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia sehat” Bila keinginan ini pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi keinginannya: “Walaupun cacad, asalkan berwujud orang” Padahal mencari isteri dengan syarat asal berwujud orang saja, pastilah tidak sukar, maka ia lalu merasa senang lagi. Dari sebab itulah penderita-penderita cacad, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang bersuami/isteri. Sebab satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret keinginannya. Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diinginkan itu tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap.
Jadi jelaslah bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai ini mesti mulur sehingga yang diinginkan tidak mungkin tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai ini mesti mungkret sehingga apa yang diinginkan itu mungkin tercapai, maka akan tercapailah keinginan itu dan rasa senang timbul, jadi keinginan itu bila mungkret akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa yang diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret. Mungkret, tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tereapai, susah, mungkret lagi. Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda hingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM
WEJANGAN POKOK ILMU BAHAGIA
BAGIAN II
Rasa Sama
Manusia itu mempunyai keinginan, yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Sifat ini yang menyebabkan rasa hidup orang sejak kecil sampai tua, pasti bersifat sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Siapa saja dan di mana saja rasa hidup orang tentu bersifat sebentar senang, sebentar susah, karena semuanya mempunyai keinginan. Jika tidak mempunyai keinginan, maka ia bukanlah manusia, dan tiap keinginan pasti bersifat seperti di atas tadi.
Jadi rasa hidup manusia sedunia ini sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Sekalipun orang kaya, miskin, raja, kuli, wali (aulia), bajingan, rasa hidupnya sama saja, ialah sebentar senang, sebentar susah. Yang sama adalah rasanya senang-susah, lama-cepatnya, berat-ringannya. Sedang yang berbeda adalah halnya yang disenangi/disusahi.
Umpama orang kaya senang dapat mendirikan pabrik dan orang miskin senang dapat mendirikan kendil (periuk nasi). Kesenangan kedua orang tadi pada hakekatnya sama. Seorang raja merasa senang bahwa ia dapat menyerbu sebuah kota lawannya, dan memboyong (membawa pulang) puteri. Sedangkan seorang kuli kereta-api merasa senang bila dapat menjelajahi gerbong-gerbong dan memboyong (mengangkat-angkat) koper. Kedua orang itu sama di dalam merasa senang. Seorang wali (orang sakti) merasa senang bila dapat terbang di angkasa, sedangkan seorang bajingan merasa senang pula dapat mencopet barang, kedua-duanya sama di dalam merasa senang.
Tetapi seorang miskin sering beranggapan bahwa orang kaya itu tidak pernah susah. Anggapan demikian itu keliru, sebab diri orang kaya pun berisi keinginan yang bila tercapai pasti mulur. Misalnya seorang kaya raya, memiliki perusahaan kendaraan bis. Walaupun sudah mempunyai beratus-ratus bis, keinginannya tentu mulur. Ia tentu ingin mempunyai kereta api. Setelah mempunyai kereta api, pasti keinginannya mulur lagi, ia ingin mempunyai kapal laut. Sebelum keinginan mempunyai kapal laut tercapai, tiba-tiba ia menghadapi masalah berdirinya perusahaan bis baru sehingga ia merasa susah karena khawatir kalau disaingi. Maka orang kaya bagaimanapun, rasa hidupnya tentu sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
Demikian pula seorang wali (aulia) sering dikira tidak pernah susah. Perkiraan demikian itu keliru, karena wali pun berisikan keinginan. Misalnya seorang wali yang sakti, seperti dalam dongengnya Sinuhun Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Ia raja dan juga wali dan ketika ia hendak pergi ke Banten dengan jalan terbang, dan itu terlaksana, maka senanglah ia. Tetapi ketika hendak pulang ke Mataram, juru tamannya meninggalkannya, maka rontoklah bulu sayapnya, hingga susahlah ia. Jika wali yang bagaimana pun, rasa hidupnya pasti sebentar senang, sebentar susah. Apabila mengerti bahwa rasa orang di dunia sama saja, yakni sebentar senang, sebentar susah, bebaslah kita dari penderitaan neraka iri hati dan kesombongan.
Iri dan Sombong
Iri adalah merasa kalah terhadap orang lain, dan sombong adalah merasa menang terhadap orang lain. Iri dan sombong inilah yang menyebabkan orang berusaha keras, mati-matian, berjungkir balik, untuk memperoleh semat (kekayaan), derajat (kedudukan) dan kramat (kekuasaan). Hatinya berkata: “Sebaiknya kucari uang sebanyak-banyaknya agar menjadi kaya seperti orang itu, dan jangan sampai miskin seperti orang ini; agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek orang itu. Dan kuharus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti orang itu, dan jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti orang itu, dan tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari kramat (kekuasaan) yang besar, supaya berkuasa dan dapat menaklukkan orang itu. Jangan sampai lemah dan ditaklukkan orang ini.” Begitu hebat usahanya, hingga ia merasa “lebih baik mati jika tidak tercapai”
Perasaan “lebih baik mati jika tidak tercapai” itu bila sering terlintas dalam pikiran, dapat membangunkan tekad yang aneh-aneh dan bertapa yang aneh-aneh. Orang yang sedang dihinggapi iri-sombong ini cenderung mencari guru-guru atau dukun-dukun. Pada guru atau dukun itu dimintanya petunjuk: “Bagaimana kyai, hidupku ini mengapa senantiasa susah. Apakah memang nasibku harus dibenci orang? Bagaimana baiknya?” Jika guru atau dukun itu mengatakan: “Sanggupkah anda bertapa secara ditanam selama empat puluh hari? Itu memang berat tetapi bila dikurniakan, tentu nasibmu akan lebih baik.” Makin gelap pikirannya namun karena terbenam dalam rasa iri-sombong, ia akan menyanggupinya: “Baiklah saya bersedia ditanam, asal dapat kurnia. Andaikata aku gagal dan mati, itu pun justru lebih baik dari pada hidup sekali saja menjadi buah ejekan tetangga-tetangga, kesana diejek, kesini diejek.” Bilamana benar-benar digali lobang untuknya dan ia memeriksanya serta menengok ke kanan ke kiri, tiba-tiba ia merasa ngeri: “Kyai, jika penguburan diriku ditangguhkan saja sampai setelah tanggal dua saja, bagaimana?”
Bila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia itu sama, teranglah pandangannya. Kemudian ia tahu bahwa orang yang ditanam selama empat puluh hari, pasti akan mati karena tidak dapat bernapas. Mengingat bahwa jika dibungkam selama dua menit saja, orang sudah kehabisan napas, bagaimanakah bila ditanam empat puluh hari?
Idam-idaman orang yang iri hati atau sombong ialah asal dapat melebihi orang lain dalam segala hal. Dalam hal makanan, pakaian, perumahan, keluarga, anak-anak dan sebagainya, ia ingin melebihi orang lain. Sedangkan orang-orang lain pun ingin menyaingi atau melebihi orang lain lagi. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah satu sama lain bersaingan sehingga semuanya jatuh ke bawah.
Bila dalam usahanya untuk melampaui orang lain ia sering tergelincir bahkan ia justru dilampaui orang lain, maka kesallah hatinya, “Baik, sekalipun aku kalah asal saja tetanggaku itu hidupnya merana, maka senanglah hatiku.” Sedangkan tetangganya pun berusaha menyusahkan orang lain. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah saling menyusahkan.
Bila dalam usahanya menyusahkan orang lain, sering berbalik menyusahkan diri sendiri maka ia masih tinggal dapat mengumpat orang lain. Sedangkan orang lain pun mengumpat orang lain lagi. Maka beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dihinggapi iri-sombong, tindakannya hanya saling mengumpat. Bahkan tiap kali bercakap-cakap dengan suami/isterinya tidak lain hanya menjelekkan tetangganya, sampai pada soal yang kecil-kecil, misalnya: “Sesungguhnya si anu itu kan sudah payah betul. Lihat saja surat gadainya sudah daluwarsa; pohon-pohon kelapanya sudah digadaikan dan ia hanya kebagian yang hanya cukup untuk dimakannya sendiri.”
Padahal untuk melebihi seseorang saja sudah susah-payah, memaksakan diri bertirakat sampai luar-batas, Nglawet (nama tempat bertapa), Gua Langse (di pantai Parangtritis, Yogya) dan Gedancer (tempat bertapa). Bila ia telah dapat melebihi seseorang, ia akan melihat bahwa ada orang lain lagi yang melebihinya. Sedangkan jumlah orang yang melebihinya tidak terhitung banyaknya.
Apalagi untuk melebihi orang lain dalam hal perincian, pastilah tidak akan berhasil, sekalipun sudah bertirakat segala. Misalnya orang melebihi orang Iain dalam kekayaannya, tetapi kalah dalam kedudukannya, lalu berusaha keras untuk melebihi kedudukannya. Kalau sudah melebihi kedudukannya, tetapi kalah kekuasaannya, ia akan berusaha keras untuk melebihi kekuasaannya. Kalau sudah melebihi kekuasaannya, tetapi kalah tampan wajahnya, ia akan berusaha keras untuk melebihi ketampanannya. Misalkan ia sudah menang dalam hal ketampanan wajahnya, tetapi kalah muda dalam usia, ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih muda tampaknya. Karena dalam janggrungan, pesta dengan tarian dimana penari wanita menari bersama dengan tamu laki-laki, orang-orang muda dipersilakan masuk gelanggang untuk menari lebih dulu. Akan tetapi bila ia lebih muda ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih tua, karena orang-orang tua itu dalam pesta-pesta makan selalu dipilihkan makanan yang serba empuk.
Perasaan orang yang irihati-sombong ini, tiap kali menyumpahi orang, jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Bila melebihi, dalam hatinya mengejek, “Lihat si Anu itu akhirnya celaka, karena tidak mau percaya padaku, tidak mau meniru jejakku, tentu saja celaka.” Tetapi bila diungguli ia merasa penasaran: “Tidak heran si Anu itu kaya, karena bukan main kikirnya. Bila ia buang air kedapatan kacang kedele dalam kotorannya, maka kedele itu dikorekinya dari kotorannya.”
Padahal tiap kali orang ke luar rumah pasti ia bertemu orang yang jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Maka hidup orang sedari kecil sehingga tua, bila dihinggapi iri-sombong, hanya merasa mengejek dan diejek orang.
Jika orang hendak mengetahui rasa iri-sombong atau lebihnya sendiri, yang jelas dalam pergaulan, maka hal itu dapat ia jalankan bila sedang nonton pasar malam, menghadiri pesta perjamuan dan sebagainya. Bila di situ orang merasa kalah baik sarungnya ia akan meraba-raba ikat kepalanya dan berkata: “Ikat kepalaku lebih baru.” Bila ikat kepalanya dirasakannya masih kalah, diangkatlah dadanya dan diperlihatkan bajunya “Bajuku memang baik.” Bila ia merasa kalah, diangkatlah sarungnya dan diperlihatkan celana dalamnya, “Celanaku menang lebar.” Bila toh masih merasa kalah, jengkellah ia, maka dikeluarkan pipanya, “Tetapi pipaku menang panjang.”
Pandangan orang yang iri-sombong terhadap semua keadaan dan kejadian di dunia, terbalik-balik, tidak benar. Misalkan orang ingin memiliki sepeda, dari kerasnya keinginannya ia merasa “Benar-benar aku menderita bila tidak memiliki sepeda, kalau barang-barang lainnya tidak kuhiraukan.” Maka jika dijumpainya seorang mengendarai sepeda, apalagi jika pengendara itu tetangganya yang dibencinya dan hendak dilebihinya, dan justru dirinya kini jatuh dikalahkan maka begitu ia mendengar suara “kring” bel sepeda itu, terkejutlah ia serentak. Pulang rumah dengan gelisah tidak bisa tidur, hatinya penasaran dan dijelekkannya lawannya, “Tidak heran si Anu itu memiliki sepeda, karena hidupnya tidak lumrah (lazim), bermuka tebal. Lain dengan aku ini yang tidak tega hati menyikut orang.” Demikian pandangan orang terbalik-balik disebabkan rasa iri-sombong. Benarkah orang mengendarai sepeda itu sengaja membuatnya terkejut, gelisah? Tentu tidak!
Dari sangat hebatnya pandangan terbalik-balik itu sehingga membikin orang, sehabis memandang perempuan cantik atau laki-laki tampan, maka membenci suami/isterinya. Hatinya mengomel, “Bila kurasakan, suami/isteriku ini memang sungguh-sungguh jelek, ya rupanya, ya jelek hatinya. Kalau sampai menjadi jodohku ini pasti tidak melalui jalan sewajarnya. Dulunya pasti aku diguna-guna sehingga aku terpikat kepadanya.” Demikianlah terbalik-baliknya pandangan orang yang iri-sombong. Padahal wanita cantik atau laki-laki tampan pastilah tidak sengaja membikin ia benci pada suami/isterinya.
Tenteram
Apabila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia sama saja, bebaslah ia dari penderitaan neraka irihati-sombong, kemudian bisa masuk sorga ketenteraman. Artinya dalam segala hal bertindak seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya. Ia akan dapat merasakan rasa hidup yang sebenar-benarnya, yaitu mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
Sebab ketika dihinggapi iri-sombong, orang tidak dapat merasakan rasa hidup yang sebenarnya. Dalam hal makan misalnya, walaupun setiap hari makan, orang tidak merasakan makanannya, tetapi yang dirasakan hanyalah makanan tetangga-tetangganya. Kemudian mengeluhlah ia, “Kalau si Anu itu memang senang hidupnya, makannya terjamin tiga kali sehari, sepiring penuh, lauk-pauknya enak-enak; berganti-ganti telur daging. Lain dengan diriku ini serba celaka, makannya tidak menentu, lauk-pauknya tidak lain tidak hanya garam sambel, paling mujur tempe. Bila ingin daging ayam, hanya mendapat pekerjaan membubuti (mencabuti) bulunya dan membersihkan isi perutnya.”
Bilamana bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk ke dalam sorga ketenteraman, ia akan dapat menasihati dirinya sebagai berikut, “Lho, bagaimana ini, orang mau makan kok menggerutu. Makannya enak atau tidak, jika enak teruskanlah, jika tidak enak hentikanlah.” Teranglah pandangannya, maka mengerti mgksud tujuan orang makan yaitu enak (lezat) dan kenyang. Maksud tujuan ini sudah tercapai, karena tiap kali merasa Iapar, makanlah segala apa yang lazim dimakan orang, maka pasti enak, dan kalau banyak jumlahnya pasti kenyang. Maka tenaga kaki-tangan berkelebihan untuk mencari makanan yang enak serta mengenyangkan itu.
Jadi rasa hidup yang sebenarnya sebentar senang, sebentar susah, dalam hal makan pasti sebentar enak, sebentar tidak enak, sebentar kenyang, sebentar lapar. Tetapi bila dihinggapi iri-sombong, orang tidak memperdulikan enak atau kenyang, melainkan berusaha melebihi orang lain. Jika hendak mengetahui iri-sombong atau keinginannya sendiri untuk melebihi orang lain, yang jelas bila kebetulan sedang bersama orang banyak dalam kedai makanan. Baru saja datang orang segera berteriak “Godog!” (minta direbuskan suatu makanan). Kemudian baru saja masakan tadi disodorkan, ia sudah minta lagi “Goreng! Cabenya biar banyak!” Bila dilihatnya tamu lain memegang telur, ia pun mengambil ayam goreng, dipegangnya dengan kedua tangannya. Jika toh masih merasa kalah, hatinya penasaran diangkat kakinya keatas meja sembari bersiul, sekalipun tidak bersuara.
Oleh karena dihinggapi iri-sombong sehingga gelap pandangannya, maka walaupun sudah beranak-cucu, orang tidak dapat merasakan rasa bersuami/isteri. Setiap kali menjumpai suami/isterinya, yang dirasakan suami/isteri orang lain, “Si Anu itu hidupnya memang enak lantaran mempunyai suami/isteri yang menyenangkan, perhatiannya besar, lagi setia. Lain dengan diriku ini serba celaka, mempunyai suami/isteri rewel sekali, sedikit-dikit marah, sedikit-dikit marah.”
Bila sudah bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk sorga ketenteraman, orang lalu dapat menasihati dirinya: “O, bagaimana ini, orang bersuami/isteri kok mengomel. Sesungguhnya perkawinannya enak atau tidak, jika enak diteruskan, jika tidak enak ya diceraikan saja.” Maka tenanglah pandangannya dan mengerti bahwa rasa bersuami/isteri itu nikmat.
Bila ingin mengerti kenikmatan bersuami/isteri, ialah pada waktu malam hari udara dingin, lagi turun hujan, berdesak-desak dengan suami/isteri pun hangat. Bila pinggangnya kaku pun lantas lemas, tidurnya pulas, bangun pagi merasa segar, bekerja penuh semangat. Kebalikannya jika tidak bersuami/isteri tidak demikian nikmat. Pada malam yang dingin, apalagi turun hujan, badannya benar-benar dingin. berdesak-desak hanya dengan balai-balai, pinggangnya kaku tetap kaku, ingin tidur tidak dapat memejamkan mata, dari pukul sembilan hingga pukul tiga malam belum juga pulas karena memikirkan suami/isteri orang lain. Maka pada duda, janda, jejaka, gadis, bila dijangkiti iri-sombong, seringkali betah bergadang. Tetapi bila tidak, hanyalah sekali tempo saja.
Jadi rasa hidup yang sebenarnya ialah mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Dalam perkawinan tentu sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat, sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat. Bila keluar dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman, orang akan bebas dari kewajiban yang berat-berat. Kebiasaan orang itu mewajibkan dirinya sendiri: “Orang hidup itu harus begini, makannya harus begini, pakaiannya harus begini, rumahnya harus begini, tindak tanduk terhadap tetangga, suami/isteri serta anak-anaknya harus begini.” Semua keharusan-keharusan itu adalah hal-hal yang berat sehingga tidak dapat dilaksanakan, karena bertentangan antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain.
Sebagai contoh, misalnya orang menerima undangan dari tetangganya yang punya hajat pesta mengawinkan anaknya. Ia akan mewajibkan dirinya untuk datang hadir dengan pakaian baru, serta membawa uang cukup untuk menyumbang dan main kartu domino. Tetapi keadaannya tidak memungkinkannya untuk mempunyai pakaian baru dan uang, oleh karena itu ia merasa susah. Hendak datang hadir takut, dan hendak tidak hadir pun takut.
Bila lepas dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman ia akan dapat menasihati dirinya “Lho, bagaimana langkahku ini, mau datang takut, mau tidak datang pun takut. Apakah harus setengah datang dan setengah tidak datang? Lalu bagaimana wujud tindakan setengah datang dan setengah tidak datang itu? Apakah melongok-longok di depan pagar saja, ataukah terus menerobos masuk ke dapur, membantu cuci piring?” Dengan kesadaran di atas, pandangannya semakin terang: “Sudahlah, jika mau datang, ya datang saja, jika tidak mau datang, ya tidak usah datang. BiIa tidak punya pakaian baru, pakailah pakaian lama, hal itu sudah sebenarnya. Bila tidak punya uang, maka tidak dapat menyumbang dan main domino, pun sudah selayaknya.” Jadi rasa hidup yang benar adalah sebentar senang, sebentar susah, yang dalam hal menentukan kewajiban mesti suatu waktu begini, suatu waktu tidak begini.
Bila orang mengerti bahwa rasa hidup manusia sedunia sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, bebaslah ia dari neraka iri-sombong dan masuklah dalam surga ketenteraman. Kemudian dalam usahanya mencari kekayaan, kedudukan, kekuasaan, dengan cara seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya, sebenarnya, yaitu hidup tenteram.
Imajiner Nuswantoro