KISAH PRABU PAKUKUHAN
Kisah ini menceritakan tentang riwayat Prabu Pakukuhan putra Sri Maharaja Dewahesa, yang menjadi titisan pertama Batara Wisnu, mulai dari awal kelahirannya sampai dengan pengangkatannya sebagai maharaja Pulau Jawa, bergelar Sri Maharaja Kanwa.
Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 14 September 2014
Heri Purwanto
Ditulis ulang oleh : Imajiner Nuswantoro
SRI MAHARAJA DEWAHESA MENATA PENDUDUK JAWA
Sri Maharaja Dewahesa (Batara Rudra) di Kerajaan Gilingaya dihadap kelima putranya yang datang dari Kahyangan Keling, yaitu Prabu Isru, Prabu Iramba, Prabu Harnida, Prabu Agina, dan Prabu Rugista. Mereka berlima datang ke Tanah Jawa untuk membantu sang ayah memimpin negara. Sri Maharaja Dewahesa lalu berbagi tugas dengan kelima putranya itu untuk menata para penduduk Pulau Jawa ke dalam enam kelompok, yaitu:
Penduduk beragama Kala dipimpin oleh Prabu Isru,
Penduduk beragama Wisnu dipimpin oleh Prabu Harnida,
Penduduk beragama Indra dipimpin oleh Prabu Agina,
Penduduk beragama Sambu dipimpin oleh Prabu Rugista,
Penduduk beragama Bayu dipimpin oleh Prabu Iramba,
Penduduk beragama Brahma dipimpin oleh Sri Maharaja Dewahesa sendiri.
Sri Maharaja Dewahesa juga menerima kedatangan Batara Nihoya dalam wujud seorang resi bernama Resi Wiloda, yang kemudian dilantik sebagai patih sekaligus pandita di Kerajaan Gilingaya.
RESI RADI MENATA HARI PASARAN DAN PRANATAMANGSA
Pada suatu hari datang pula seorang pertapa ahli penanggalan bernama Resi Radi yang menghadap Sri Maharaja Dewahesa untuk meminta sebidang tanah sebagai tempatnya membangun padepokan. Sri Maharaja Dewahesa mengetahui jati diri Resi Radi yang tidak lain adalah penjelmaan Batara Surya, keponakannya sendiri. Maka, ia pun memberikan tanah di Gunung Tasik sebagai tempat tinggal Resi Radi tersebut.
Sesampainya di Gunung Tasik, Resi Radi segera menyusun penanggalan Jawa dan memperbarui apa yang sudah ada. Pada zaman dahulu Empu Sengkala telah menciptakan penyebutan hari lima dalam satu pekan, yaitu Sri, Kala, Brahma, Wisnu, dan Guru, namun masyarakat Jawa merasa segan menggunakannya. Mereka takut terkena balak karena dianggap kurang sopan jika menyebut secara langsung nama para dewa, sehingga mereka lebih suka menggantinya dengan istilah warna, yatu hari Putih, Kuning, Merah, Hitam, dan Mancawarna. Maka, mulai saat ini Resi Radi pun memperkenalkan penyebutan hari lima dengan istilah baru, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kelima hari tersebut untuk selanjutnya dikenal dengan istilah Pasaran.
Empu Sengkala dahulu juga menetapkan nama-nama masa dalam satu tahun dengan meniru penanggalan di Tanah Hindustan, yaitu Caitra, Waisaka, Jyesta, Asada, Srawana, Badrapada, Aswina, Kartika, Margasirsa, Pusa, Manggakala, dan Palguna. Maka, Resi Radi pun mengubah nama-nama masa tersebut dengan menggunakan istilah Jawa supaya lebih mudah dimengerti para penduduk, yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Pasta, dan Sada. Kedua belas masa itu untuk selanjutnya dikenal dengan istilah Pranatamangsa.
Resi Radi lalu mempersembahkan penggantian nama-nama pasaran hari lima dan pranatamangsa dua belas itu kepada Sri Maharaja Dewahesa, untuk disebarluaskan dan diterapkan di Tanah Jawa.
KEDATANGAN PARA BRAHMANA DAN KELAHIRAN RADEN PAKUKUHAN
Beberapa waktu kemudian, Sri Maharaja Dewahesa menerima kedatangan Batara Penyarikan yang menjelma sebagai seorang brahmana bergelar Brahmana Srita. Batara Penyarikan adalah juru tulis Kahyangan Jonggringsalaka yang datang ke Pulau Jawa untuk mengajarkan ilmu menulis dan seni sastra kepada masyarakat, yaitu yang dinamakan Aksara Kawi dan Sastradewata. Ia datang dengan disertai delapan orang brahmana lainnya, yaitu Brahmana Satya, Brahmana Walmikya, Brahmana Loda, Brahmana Agdisti, Brahmana Kirata, Brahmana Istira, Brahmana Situda, dan Brahmana Waswa.
Brahmana Srita juga mengabarkan bahwa Batara Wisnu akan datang untuk mengukuhkan tata cara agama, pertanian, dan kehidupan bermasyarakat di Tanah Jawa. Dalam hal ini Batara Wisnu akan melaksanakan tugasnya dengan cara menitis atau bersatu jiwa raga ke dalam diri putra Sri Maharaja Dewahesa.
Kebetulan saat itu istri Sri Maharaja Dewahesa yang bernama Dewi Sundari sedang mengandung. Ketika waktunya tiba, lahirlah seorang bayi laki-laki berwajah tampan. Batara Wisnu datang dari Kahyangan Utarasegara dan bersatu jiwa raga dengan bayi tersebut. Sri Maharaja Dewahesa lalu memberi nama putranya itu Raden Pakukuhan.
Dua tahun kemudian, Dewi Sundari melahirkan lagi seorang putra yang oleh Sri Maharaja Dewahesa diberi nama Raden Jakapuring.
RADEN PAKUKUHAN DAN RADEN JAKAPURING BERGURU KEPADA RESI RADI
Tahun demi tahun berlalu, Raden Pakukuhan dan Raden Jakapuring telah tumbuh menjadi dua orang pemuda yang tampan dan cerdas, tetapi juga sangat nakal dan susah diatur. Sri Maharaja Dewahesa berkali-kali mendapatkan laporan pengaduan dari para penduduk tentang kenakalan mereka. Ia pun kehilangan kesabaran dan mengusir pergi kedua putranya itu meninggalkan Kerajaan Gilingaya.
Raden Pakukuhan dan Raden Jakapuring pun berkelana sampai ke Gunung Tasik dan berguru kepada Resi Radi (Batara Surya). Di bawah bimbingan Sang Guru, sedikit demi sedikit kenakalan mereka mulai berkurang. Akhirnya, setelah menamatkan segala pelajaran, Raden Pakukuhan dan Raden Jakapuring pun mendapat tugas dari gurunya itu untuk membangun sebuah permukiman di kaki Gunung Tasik, yang diberi nama Kota Tasikmadu.
Secara berangsur-angsur, Kota Tasikmadu bertambah ramai dan memiliki banyak penduduk. Raden Pakukuhan pun diangkat sebagai raja bergelar Prabu Pakukuhan, sedangkan Raden Jakapuring menjadi menteri utama bergelar Patih Jakapuring. Prabu Pakukuhan juga menikahi putri Resi Radi yang bernama Dewi Manis sebagai permaisurinya.
PRABU PAKUKUHAN MENJADI PRABU SRI MAHAPUNGGUNG
Pada suatu hari Prabu Pakukuhan mengunjungi bekas Kerajaan Purwacarita yang telah lama ditinggalkan oleh Sri Maharaja Budakresna. Bagaimanapun juga, Prabu Pakukuhan adalah titisan Batara Wisnu, sedangkan Sri Maharaja Budakresna adalah penjelmaan Batara Wisnu. Maka, begitu melihat kota tua yang bertanah subur tersebut, perasaan Prabu Pakukuhan langsung tertarik dan ingin menempatinya.
Setelah mengambil keputusan, Prabu Pakukuhan pun memindahkan ibu kota kerajaan dari Tasikmadu ke Purwacarita. Setelah istana yang baru berdiri, Resi Radi pun dibawa serta untuk tinggal di sana dan dijadikan sebagai pendeta kerajaan, bergelar Begawan Radi.
Setelah membangun kembali Kerajaan Purwacarita, Prabu Pakukuhan pun mengganti namanya menjadi Prabu Sri Mahapunggung.
PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MENIKAH LAGI
Pada suatu hari Dewi Manis meninggal dunia. Setelah habis masa berkabung dan lewat satu tahun, Prabu Sri Mahapunggung menikah lagi dengan dua orang putri, yaitu Dewi Wagemi putri Batara Denda, dan Dewi Nastiti putri Batara Wrehaspati.
Beberapa waktu kemudian, Prabu Sri Mahapunggung memergoki Dewi Wagemi dan Dewi Nastiti melakukan hubungan sejenis (lesbian). Sang Prabu sangat marah dan mengutuk kedua istrinya itu tersambar petir sehingga mati seketika.
Setelah kehilangan kedua istrinya, Prabu Sri Mahapunggung menikah lagi dengan Dewi Subur, yaitu adik kandung Dewi Wagemi, putri Batara Denda.
LIMA RAJA MENYERANG PURWACARITA
Sri Maharaja Dewahesa di Kerajaan Gilingaya mendengar kabar bahwa Kerajaan Purwacarita telah berdiri kembali dan dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sri Mahapunggung. Kelima putranya pun dikirim untuk menyelidiki raja baru tersebut, dan membawanya menghadap ke istana Gilingaya.
Prabu Isru, Prabu Harnida, Prabu Agina, Prabu Rugista, dan Prabu Iramba datang ke Purwacarita dan menemui Prabu Sri Mahapunggung. Mereka menyampaikan perintah supaya Prabu Sri Mahapunggung menghadap ke Kerajaan Gilingaya dan mengakui kekuasaan Sri Maharaja Dewahesa atas seluruh Pulau Jawa.
Karena lima raja itu datang dengan sikap kurang sopan, Prabu Sri Mahapunggung menolak mereka sehingga terjadilah pertempuran. Perang besar itu berakhir dengan kematian Prabu Isru dan Prabu Harnida, sedangkan Prabu Agina dan Prabu Rugista menyerah kalah kepada Prabu Sri Mahapunggung. Adapun Prabu Iramba melarikan diri kembali ke Kerajaan Gilingaya.
Prabu Sri Mahapunggung memperkenalkan dirinya kepada Prabu Agina dan Prabu Rugista, bahwa ia tidak lain adalah Raden Pakukuhan yang dulu diusir oleh sang ayah. Prabu Agina dan Prabu Rugista sangat gembira bertemu adik mereka itu, dan keduanya pun diminta untuk tetap tinggal di Kerajaan Purwacarita.
SRI MAHARAJA DEWAHESA KEMBALI MENJADI BATARA RUDRA
Prabu Iramba kembali ke Kerajaan Gilingaya dan menyampaikan laporan kepada sang ayah. Sri Maharaja Dewahesa sangat marah dan berangkat sendiri ke Purwacarita untuk membunuh Prabu Sri Mahapunggung.
Sesampainya di Kerajaan Purwacarita, Sri Maharaja Dewahesa disambut dengan penuh hormat dan sembah bakti oleh Prabu Sri Mahapunggung dan Patih Jakapuring. Sri Maharaja Dewahesa sangat malu begitu mengetahui kalau orang yang dianggapnya musuh itu ternyata adalah putra-putranya sendiri yang telah lama hilang.
Seketika Sri Maharaja Dewahesa teringat kejadian puluhan tahun silam, saat ia menasihati Sri Maharaja Budakresna (Batara Wisnu) yang terburu nafsu membunuh Prabu Brahmakadali. Tak disangka, kejadian memalukan seperti itu kini justru menimpa dirinya sendiri. Karena tak kuasa menahan malu, Sri Maharaja Dewahesa pun kembali ke wujud Batara Rudra dan pulang ke Kahyangan Keling.
PRABU IRAMBA MENGAMUK DI PURWACARITA
Prabu Iramba di Kerajaan Gilingaya mendengar berita yang salah, bahwa sang ayah telah kalah berperang dan mati dibunuh Prabu Sri Mahapunggung. Dengan dibakar amarah, ia pun pergi menyerang Kerajaan Purwacarita. Akan tetapi, Prabu Sri Mahapunggung ternyata menyambutnya dengan ramah dan sudah mempersiapkan perjamuan untuknya.
Prabu Agina dan Prabu Rugista berusaha meredakan kemarahan Prabu Iramba dengan memperkenalkan bahwa Prabu Sri Mahapunggung dan Patih Jakapuring tidak lain adalah adik mereka sendiri yang sudah lama hilang. Akan tetapi, Prabu Iramba justru semakin marah dan menyebut mereka semua sebagai anak-anak durhaka. Ia pun mengamuk membunuh banyak prajurit Purwacarita yang ada di depannya. Atas kejadian itu, Prabu Sri Mahapunggung murka dan mengutuk Prabu Iramba sehingga sekujur tubuhnya berubah menjadi gajah hutan.
Gajah penjelmaan Prabu Iramba itu semakin mengamuk dan membuat kekacauan. Prabu Sri Mahapunggung maju menghadapi gajah tersebut dan berhasil mematahkan sebelah gadingnya. Si gajah merasa ketakutan lalu pergi melarikan diri ke Pulau Jawa sebelah barat laut (pada zaman sekarang disebut Pulau Sumatra).
PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MENJADI SRI MAHARAJA KANWA
Setelah Sri Maharaja Dewahesa kembali ke kahyangan, Prabu Sri Mahapunggung menjadi satu-satunya raja di Pulau Jawa. Maka, sebagai penguasa penuh, ia pun mengganti nama menjadi Sri Maharaja Kanwa.
Sementara itu, kedua kakaknya yang telah bergabung dengannya pun diberi kedudukan sebagai pendeta Kerajaan Purwacarita mendampingi Begawan Radi, yaitu Prabu Agina memakai gelar Begawan Anda, sedangkan Prabu Rugista memakai gelar Begawan Radya.
Sri Maharaja Kanwa kemudian memberikan tempat kedudukan untuk guru dan kedua kakaknya tersebut. Begawan Radi mendapatkan tempat tinggal di Padepokan Medangagung, Begawan Anda mendapatkan tempat tinggal di Padepokan Andongdadapan, sedangkan Begawan Radya mendapatkan tempat tinggal di Padepokan Gadingmawukir.
Sri Maharaja Kanwa juga menerima pengabdian Brahmana Srita (Batara Penyarikan) beserta rombongan delapan brahmana lainnya. Para brahmana itu pun diangkat sebagai pujangga dan guru sastra di Kerajaan Purwacarita.
Imajiner Nuswantoro