KISAH HAYAM WURUK
(MAHARAJA SRI RAJASANAGARA)
Hayam Wuruk (lahir 1334, meninggal 1389) adalah maharaja keempat Majapahit yang memerintah tahun 1350–1389. Ia bergelar Maharaja Sri Rājasanagara. Di bawah pemerintahannya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Pada tahun 1351, Hayam Wuruk naik tahta dalam usia relatif muda, 17 tahun, menggantikan ibundanya, Tribhuwana Tunggadewi. Tribhuwana sebenarnya memerintah Majapahit "mewakili" ibunya Gayatri (Rajapatni), yang memilih menjalani hidup sebagai bhiksuni (pendeta wanita). Ketika Gayatri meninggal, Tribhuwana menyatakan tidak lagi berkuasa dan menyerahkan kekuasaan kepada Hayam Wuruk.
Sejarah Hayam Wuruk (lahir 1334, meninggal 1389) adalah maharaja keempat Majapahit yang memerintah tahun 1350–1389. Ia bergelar Maharaja Sri Rājasanagara. Di bawah pemerintahannya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
SEJARAH MAJAPAHIT MENAKLUKKAN PULAU BORNEO
Pada tahun 1351, Hayam Wuruk naik tahta dalam usia relatif muda, 17 tahun, menggantikan ibundanya, Tribhuwana Tunggadewi. Tribhuwana sebenarnya memerintah Majapahit "mewakili" ibunya Gayatri (Rajapatni), yang memilih menjalani hidup sebagai bhiksuni (pendeta wanita). Ketika Gayatri meninggal, Tribhuwana menyatakan tidak lagi berkuasa dan menyerahkan kekuasaan kepada Hayam Wuruk.
Majapahit diketahui berasal dari nama buah maja yang banyak ditemukan di wilayah Trowulan dan memiliki rasa yang pahit.
Kemudian dari situlah Kerajaan Majapahit mulai sedikit demi sedikit mengalami perkembangan dari pemerintahan Raden Wijaya sampai pada generasi raja seterusnya.
Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan pada pemerintahan Hayam Wuruk yang merupakan cucu Raden Wijaya dengan patihnya Gajah Mada.
Era pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) dikenal sebagai masa keemasan Kerajaan Majapahit. Salah satu aspek yang menonjol dari pemerintahan Hayam Wuruk adalah ambisinya untuk memperluas wilayah kekuasaan Majapahit ke seluruh Nusantara. Salah satu wilayah yang menjadi sasaran ekspansi adalah Pulau Kalimantan, di mana terdapat Kerajaan Nansarunai yang didiami oleh suku Dayak Maanyan.
1. Ekspedisi ke Kalimantan
Majapahit mengirim pasukannya ke Kalimantan untuk menguasai wilayah ini dan menjadikannya bagian dari kekuasaan Majapahit. Misi ini tidak mudah mengingat luasnya Pulau Kalimantan dan perlawanan kuat dari penduduk lokal, khususnya suku Dayak Maanyan. Konflik antara Majapahit dan Kerajaan Nansarunai dikenal dalam sejarah sebagai Nansarunai Usak Jawa atau penghancuran Nansarunai oleh orang Jawa.
2. Perlawanan Kerajaan Nansarunai
Kerajaan Nansarunai berusaha mempertahankan wilayahnya dari serangan pasukan Majapahit. Meskipun memiliki kekuatan yang signifikan dan keberanian dalam perlawanan, mereka pada akhirnya tidak dapat menandingi kekuatan militer Majapahit yang lebih terorganisir dan berpengalaman dalam peperangan. Penaklukan ini menjadi bagian dari upaya Gajah Mada untuk memenuhi sumpahnya, Sumpah Palapa, yang bertujuan untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
3. Dampak Penaklukan
Penaklukan Kerajaan Nansarunai oleh Majapahit membawa beberapa dampak penting :
Penyebaran Pengaruh Majapahit: Wilayah Kalimantan, khususnya bagian selatan dan tengah, mulai berada di bawah pengaruh Majapahit. Ini memperkuat posisi Majapahit sebagai kekuatan maritim dan daratan yang dominan di Nusantara.
Asimilasi Budaya: Interaksi antara orang-orang Jawa dan suku Dayak Maanyan menghasilkan pertukaran budaya, meskipun sering kali disertai dengan penindasan dan dominasi oleh pihak Majapahit.
Eksploitasi Sumber Daya: Majapahit mengeksploitasi sumber daya alam yang kaya di Kalimantan, termasuk kayu, emas, dan bahan tambang lainnya, yang berkontribusi pada kemakmuran ekonomi kerajaan.
4. Tantangan Logistik dan Strategi
Menguasai Kalimantan tidaklah mudah bagi Majapahit. Tantangan utama adalah luasnya wilayah Kalimantan yang jauh lebih besar dibandingkan Pulau Jawa. Logistik untuk mengirim pasukan, mempertahankan kontrol, dan mengelola wilayah yang luas dan beragam sangatlah kompleks. Selain itu, medan yang sulit, hutan lebat, dan keberadaan suku-suku yang memiliki pengetahuan mendalam tentang wilayah mereka membuat operasi militer menjadi sangat menantang.
5. Catatan Sejarah
Informasi tentang penaklukan Majapahit di Kalimantan terutama berasal dari catatan Nagarakretagama dan beberapa prasasti serta sumber-sumber tradisional Dayak yang menyimpan cerita tentang perlawanan mereka. Meskipun detailnya mungkin tidak selalu lengkap atau akurat, catatan ini memberikan gambaran tentang ambisi dan upaya ekspansi Majapahit di luar Jawa.
Dalam keseluruhan konteks sejarahnya, ekspedisi ke Kalimantan merupakan bagian dari upaya Majapahit untuk memperluas dan memperkuat kekuasaannya di seluruh Nusantara, meskipun sering kali dengan biaya yang besar dan tantangan yang signifikan.
RAJA-RAJA MAJAPAHIT
Berikut ini beberapa raja yang menjadi tokoh penting dalam pemerintahan Kerajaan Majapahit, dikutip dari situs Sampoerna Academy.
1. Raden Wijaya
Raden Wijaya dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit dan menjadi raja selama kurun waktu tahun 1293 - 1309. Raden Wijaya memiliki gelar raja sebagai Kertarajasa Jayawardhana.
2. Jayanegara
Penerus raja kedua adalah Jayanegara yang merupakan putra dari Raden Wijaya. Raja Jayanegara memerintah dari tahun 1309 - 1328. Keberhasilannya adalah memperluas wilayah Majapahit sampai ke Sumatera.
3. Tribhuwana Tunggadewi
Tribhuwana adalah raja wanita pertama Kerajaan Majapahit. Ia ditunjuk sebagai raja setelah Jayanegara Wafat pada 1328. Ia memerintah tahun 1328 - 1350.
4. Hayam Wuruk
Hayam Wuruk memerintah tahun 1350 - 1389, dimana masa ini adalah masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Ia dikenal sebagai raja yang kuat dan hebat.
5. Wikramawardhana
Raja Wikramawardhana merupakan menantu dari Hayam Wuruk, suami dari Kusuma Wardhani. Ia memerintah tahun 1340 - 1428.
Peninggalan Kerajaan Majapahit
Beberapa benda atau situs peninggalan kerajaan Majapahit yang ditemukan, antara lain :
- Candi Bajang Ratu
- Candi Pari
- Candi Tikus
- Candi Brahu
- Candi Penataran
- Candi Sukuh
- Candi Wringin Lawang
- Prasasti Kudadu
- Kitab Sundayana
- Prasasti Sukamerta
Demikian penjelasan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit beserta letak, raja, dan peninggalannya.
KISAH HAYAM WURUK DAN PADUKA SORI
Kisah cinta antara Hayam Wuruk dan Paduka Sori memang menjadi salah satu cerita paling romantis dalam sejarah Majapahit. Hayam Wuruk, raja yang bijaksana dan cakap dalam berbagai bidang, jatuh cinta pada kecantikan dan kebijaksanaan Paduka Sori, putri dari salah satu bangsawan Majapahit.
Mereka pertama kali bertemu di sebuah acara kerajaan yang diadakan untuk merayakan kemenangan Majapahit dalam suatu pertempuran. Saat itu, kehadiran Paduka Sori menyita perhatian Hayam Wuruk. Kecantikannya yang memikat dan kecerdasannya yang luar biasa membuatnya terpesona.
Setelah pertemuan pertama mereka, Hayam Wuruk secara perlahan mulai mendekati Paduka Sori. Dia mengagumi kebijaksanaan dan kepandaian putri tersebut dalam berbagai hal, mulai dari seni sampai politik. Meskipun pada awalnya terdapat hambatan dan ujian, seperti adanya persaingan dari para bangsawan lain yang juga menginginkan hati Paduka Sori, namun cinta mereka terus berkembang.
Hayam Wuruk, dengan segala kebijaksanaannya, akhirnya berhasil menaklukkan hati Paduka Sori. Mereka menikah dalam sebuah upacara yang megah, dihadiri oleh seluruh rakyat Majapahit. Sebagai pasangan suami istri, mereka tidak hanya mengukir sejarah dengan kepemimpinan yang bijaksana, tetapi juga dengan cinta yang mereka bagi satu sama lain.
Kisah cinta mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang di Majapahit pada masa itu, serta tetap menjadi cerita romantis yang diingat dan diceritakan oleh generasi-generasi berikutnya. Meskipun terdapat legenda dan mitos di sekitar kisah mereka, inti dari kisah ini adalah tentang cinta yang tulus dan kebijaksanaan dalam memimpin.
SANG PUTRI DYAH PITALOKA CITRARESMI (KISAH TRAGIS SANG PUTRI MAHKOTA)
Dyah Pitaloka Citraresmi atau Citra Rashmi, putri Kerajaan Sunda Galuh yang lahir tahun 1340 dan wafat pada 1357, adalah seorang putri yang dikisahkan dalam Pararaton. Ia dijodohkan dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit yang ingin menjadikannya ratu. Namun, dalam peristiwa Perang Bubat, ia memilih mengakhiri hidupnya setelah ayah dan pengiringnya gugur. Dyah Pitaloka dikenang sebagai wanita yang elok rupanya.
Hayam Wuruk, sang raja Majapahit, berkeinginan kuat untuk mempersunting putri Citra Rashmi (Pitaloka) berdasarkan pertimbangan politik. Putri ini merupakan anak dari Prabu Maharaja Lingga Buana dari Kerajaan Sunda. Dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa Hayam Wuruk mengirim Patih Madhu ke Sunda untuk melamar sang putri demi pernikahan kerajaan.
Menurut sumber-sumber lain seperti Wim Van Zaten, seorang Antropologis dari Universitas Leiden, dan J Noorduyn, wilayah Jawa dianggap lebih maju dalam budaya dan pendidikan agama oleh masyarakat Sunda. Banyak orang Sunda yang belajar di Jawa dan mengambil beberapa aspek budaya Jawa. Hal ini tercermin dalam Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa banyak orang Sunda yang pergi ke Jawa karena putri-putri mereka tidak ingin menikah dengan pria Sunda.
Raja Sunda melihat perjodohan ini sebagai kesempatan untuk mempererat hubungan dengan Majapahit yang besar dan makmur. Dengan hati gembira, ia memberikan restu dan mengantarkan putrinya ke Majapahit untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk.
Pada tahun 1357, rombongan kerajaan Sunda tiba di Majapahit dan mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat di utara Trowulan, ibu kota Majapahit. Mereka menunggu sambutan dari Majapahit dan upacara pernikahan yang layak.
Namun, kedatangan calon permaisuri ini menimbulkan dilema bagi Majapahit. Berdasarkan catatan dari Pustaka Rajyarajya dari Cirebon, yang merupakan bagian dari Naskah Wangsakerta, Raden Wijaya, kakek Hayam Wuruk, adalah putra Rakyan Jayadarma yang menikah dengan Dyah Lembu Tal. Rakyan Jayadarma, yang gugur dalam perebutan kekuasaan, adalah putra mahkota Sunda dari Prabu Guru Darmasiksa. Karena itu, Hayam Wuruk dianggap masih memiliki hubungan kekerabatan dengan calon permaisuri. Gajah Mada kemudian menyampaikan kepada rombongan Sunda bahwa pernikahan tidak bisa dilangsungkan. Merasa terhina, rombongan Sunda memilih berperang dengan Majapahit untuk menjaga kehormatan.
Di sisi lain, Agus Aris Munandar, seorang Arkeolog Indonesia, menafsirkan dari kisah Panji Angreni bahwa Krtawarddhana, ayah Hayam Wuruk, berkeberatan dengan pernikahan tersebut karena Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi. Krtawarddhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan pernikahan.
Selain itu, ada informasi yang menyebutkan bahwa Gajah Mada melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menundukkan Sunda di bawah Majapahit. Raja Sunda sangat marah dan memilih melawan Majapahit untuk menjaga kehormatan.
Akibatnya, terjadi pertempuran antara rombongan Sunda dan tentara Majapahit. Rombongan Sunda bertekad untuk mati demi kehormatan di Lapangan Bubat. Meski berjuang dengan berani, mereka akhirnya gugur. Hampir semua rombongan Sunda tewas dalam tragedi tersebut. Kisah ini menggambarkan kesedihan yang mendalam, dan sang Putri memilih bunuh diri untuk menjaga kehormatan dan harga diri negaranya.
Tradisi mengenang kematian Dyah Pitaloka sebagai kehilangan besar bagi Kerajaan Sunda. Masyarakat Sunda menghormati sang Putri dan ayahnya, Prabu Maharaja Lingga Buana, yang diberi gelar “Prabu Wangi” karena keberaniannya. Tragedi ini merusak hubungan antara Sunda dan Majapahit, yang tidak pernah pulih sepenuhnya. Di Majapahit, Gajah Mada menghadapi permusuhan karena tindakannya yang berdampak pada perasaan Hayam Wuruk.
Imajiner Nuswantoro