PRABU SILIWANGI
(Sri Baduga Maharaja / Ratu Jayadewata / Prabu Siliwangi III),
Uga Wangsit Siliwangi & Tulisan Kuno Yang Nenyebutkan Bahwa Prabu Siliwangi Seorang Muslim
Kelahiran : 1401, Kawali
Meninggal : 31 Desember 1521, Pakwan Pajajaran
Anak :
- Prabu Kian Santang,
- Nyimas Rara Santang ,
- Pangeran Walangsungsang.
Cucu : Pangeran Cerbon, Nyai Pakungwati, Nyai Rasamalasih, Nyai Lara Sajati, Nyai Laraskonda, lainnya
Kakek-Nenek : Niskala Wastu Kancana
Kakek Buyut : Linggabuana
Orang tua : Dewa Niskala, Umadewi.
Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi III (bahasa Sunda : ᮞᮢᮤᮘᮓᮥᮌᮙᮠᮛᮏ, translit. Sri Baduga Maharaja atau (bahasa Sunda : ᮕᮨᮻᮘᮥᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ, translit. Perebu Siliwangi) juga dikenal sebagai Ratu Jayadewata (1401–1521) putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482–1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran yang sekarang terletak di Kota Bogor mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja) :
Waktu mudanya Sri Baduga atau Prabu Jayadewata terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, Nyai Ambetkasih putri pamannya, Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka ibu kotanya Desa Kedaton sekarang di Kecamatan Kapetakan Cirebon, penguasa di Pelabuhan Muarajati Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Sing Apura. Saat Wafat digantikan menantunya, Prabu Jayadewata. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama Keukeumbingan Rajasunu yang pernah mengalahkan Ratu Kerajaan Japura Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana waktu bersaing memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa/ Giridewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa Kerajaan Sing Apura putra Ki Gedeng Kasmaya, Penguasa Cirebon Girang putra Prabu Bunisora (Adik Mahaprabu Niskala Wastu Kancana), (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam) dari Kerajaan Sing Apura berbatasan dengan Kerajaan Surantaka. Dari pernikahannya dengan Permaisuri Subanglarang, prabu Siliwangi diangkat oleh kigedeng tapa jadi Raden pamanah rasa. Dan saat menjadi pasutri lahir lah anak pangeran walangsungsang, nyimas Rara Santang dan prabu kian Santang (Raden kian santang)
Setelah terbuka jati diri Sang Prabu pamanah rasa masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah Prabu Amuk Murugul, yaitu Prabu Susuktunggal kakak lain Ibu Prabu Dewa Niskala ayahnya Prabu pamanah rasa, di Kerajaan Sunda Bogor sekarang dan dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang nanti melahirkan Prabu Sanghyang Surawisesa kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan Sang Surasowan jadi Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang. Sang Surasowan berputra Adipati Arya Surajaya dan putri Nyai Kawung Anten. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan melahirkan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan Banten tahun 1552 M.
Prabu pamanah rasa juga menikahi Ratu Istri Rajamantri putri Prabu Gajah Agung putra Prabu Tajimalela atau Prabu Agung Resi Cakrabuana putra Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata putra untuk mendirikan Kerajaan Sumedang larang tahun 900 M. Nama kerajaannya berubah-ubah, Kerajaan Tembong Agung saat Prabu Aji Putih, zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Ratu Pucuk Umun Sumedang keturunan Prabu Gajah Agung menikah dengan Pangeran Pangeran Kusumahdinata atau Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran Santri Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun 1579 M, menerima mahkota emas,namun itu ditolak oleh prabu Siliwangi, tetapi kerajaan Sumedang larang masih boleh menjadi penerus kerajaan Pajajaran.
Kebijakan dalam kehidupan sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan.
Isinya sebagai berikut (artinya saja) :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibu kota di Jayagiri dan ibu kota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibu kota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekadar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Ketika memerintah Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. Egalitarianisme sendiri memiliki arti sebagai paham yang memegang teguh azas kesetaraan dalam kehidupan sosial. hal tersebut sering digambarkan dalam berbagai literasi menenai Prabu Siliwangi.
Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah :
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang santri Syekh Quro).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa.
menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven).
Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
Sunda Wiwitan
Dalam kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan, tokoh Prabu Siliwangi dihormati sebagai gambaran pemimpin ideal masyarakat Sunda. Ia dihormati dan diakui sebagai karuhun atau leluhur para menak atau bangsawan Sunda.
Uga Wangsit Siliwangi
Bahasa Sunda :
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang, “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih pikeun hirup ka hareupna supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! Ngaing moal ngahalang-halang sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi raja anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho. Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti Gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana, saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing dating, moal kadeuleu. Mun ngaing nyarita, moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati, jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing dating, teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang, ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon. Imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo, lain embé, lain méong, lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk. Laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup dibuburak ku nu ngaranteur pamuka jalan, tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur. Laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta. Mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba. Nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh. Laju kakara arengeuh. Kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. Sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan. Geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui, tapi engké lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat. Urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa jaya, jaya deui sabab ngadeg ratu adil. Ratu adil nu sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
Bahasa Indonesia :
Prabu Siliwangi berkata kepada warga Pajajaran yang ikut mundur sebelum menghilang, “Perjalanan kita hanya sampai hari ini meskipun kalian semua setia kepadaku! Aku tidak boleh membawa-bawa kalian pada masalah ini, ikut-ikutan hidup sengsara, ikut kumal sambil kelaparan. Kalian harus memilih untuk hidup selanjutnya supaya nanti bisa hidup makmur dan kaya raya, bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti yang sekarang ini, melainkan Pajajaran yang berdirinya dibangkitkan oleh perkembangan zaman! Pilih! Aku tidak akan menghalang-halangi sebab bagiku, tidak pantas menjadi raja yang seluruh rakyatnya selalu lapar dan sengsara.”
Dengarkan! Kalian yang masih ingin mengikutiku, cepat pergi pisahkan diri ke sebelah Selatan! Kalian yang ingin kembali ke kota yang ditinggalkan, cepat pisahkan diri ke sebelah Utara! Kalian yang ingin mengabdi kepada penguasa yang sedang jaya, segera pisahkan diri ke sebelah Timur! Kalian yang tidak ingin mengikuti siapa pun, segera pisahkan diri ke sebelah Barat!
Dengarkan! Kalian yang di sebelah Timur, harus tahu. Kejayaan mengikuti kalian. Iya benar sekali, keturunan kalian yang nantinya bakal memerintah saudara-saudara kita dan orang lain. Akan tetapi, harus tahu. Mereka akan memerintah dengan cara yang keterlaluan. Nanti akan tiba pembalasan atas segala perbuatan mereka. Cepat pergi!
Kalian yang berada di sebelah Barat! Telusuri oleh kalian jejak Ki Santang! Hal itu disebabkan nantinya keturunan kalian yang mengingatkan saudara-saudara kita dan orang lain. Keturunan kalian itu yang akan berupaya memberikan peringatan dan penyadaran kepada teman-teman sekampung, saudara-saudara kita yang berupaya untuk hidup rukun melangkah bersama sependirian, dan kepada semua orang yang baik hatinya. Nanti, suatu saat, kalau di tengah malam dari Gunung Halimun terdengar teriakan meminta tolong, nah itulah tandanya, seluruh keturunan kalian dipanggil oleh dia yang akan menikah di Lebak Cawene. Jangan telat serta jangan bersikap dan berperilaku berlebihan sebab telaga akan meluap menimbulkan banjir. Cepat pergi! Jangan menengok ke belakang!
Kalian yang berpisah ke sebelah Utara, dengarkan semuanya! Kota tidak akan pernah kalian temukan. Yang ditemukan hanya tegalan yang harus diolah. Keturunan kalian kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Kalaupun ada yang memiliki pangkat, tetap tidak memiliki kekuasaan. Mereka nanti, suatu waktu, akan tergeser oleh orang lain. Banyak orang datang dari tempat-tempat yang jauh, tetapi orang-orang yang menyusahkan kalian. Waspadalah!
Seluruh keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan datang lagi menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan, tetapi hanya kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak akan terlihat. Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan datang. Akan tetapi, hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang memahami terhadap satu tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati, mereka yang memiliki empati tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik tingkah lakunya. Kalau aku datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara, tetapi memberi ciri dengan wewangian. Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya. Hal itu disebabkan bukti yang ada akan diingkari banyak pihak! Akan tetapi, nanti, suatu saat, akan ada yang mencoba-coba supaya yang hilang dapat ditemukan kembali. Memang bisa, hanya menelusurinya harus menggunakan dasar-dasar yang jelas. Namun, mereka yang menelusurinya banyak yang petantang-petenteng merasa diri paling pintar dan paling benar. Kalau berbicara, suka berlebihan. Mereka memang harus menjadi orang-orang brengsek dulu.
Nanti akan banyak yang ditemukan, tetapi hanya sebagian-sebagian. Hal itu disebabkan segera dilarang oleh orang yang disebut Pemimpin Pengganti yang berkuasa hanya pada masa jeda. Namun, ada yang berani mencari terus-menerus, tidak mempedulikan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Sang Anak Gembala. Rumahnya di ujung sungai yang ujungnya bertemu dengan sungai lain, pintunya batu setinggi manusia, terlingkupi lebatnya pohon handeuleum, terimbuni pohon hanjuang. Apa yang digembalakannya? Bukan kerbau, bukan domba, bukan harimau, bukan banteng, melainkan ranting-ranting dan batang-batang pohon kering. Dia asyik mencari, mengumpulkan yang bisa ditemukan. Sebagian disembunyikan karena belum waktunya dikemukakan dan dilaksanakan. Nanti kalau sudah tepat waktu dan masanya, akan banyak yang terbuka dan orang-orang ramai memintanya untuk diungkapkan dan dilaksanakan. Akan tetapi, harus mengalami banyak kejadian dan menemukan berbagai peristiwa bersejarah. Selesai zaman yang satu, berganti zaman yang lain. Setiap zaman membuat sejarah. Lamanya setiap zaman sama dengan melakukan penyukmaan, pengusumahan, dan penitisan. Setelah penitisan, kembali lagi ke penyukmaan. Itu artinya, zaman dan sejarah selalu berputar ke itu-itu lagi.
Dengarkan! Mereka yang sekarang memusuhi kita akan menjadi raja hanya dalam waktu yang sebentar. Waktunya hanya sampai pada masa tanah kering. Padahal, tanah itu terletak di pinggir Sungai Cibantaeun. Tanah itu kemudian dijadikan kandang kerbau kosong. Nah, sejak saat itu seluruh negara akan terpecah-pecah. Dipecahkan dan dijajah kerbau-kerbau bule yang dipimpin oleh orang tinggi yang memerintah di alun-alun. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule mengendalikan generasi muda dan pewaris kekuasaan, keturunan kita menjadi kuli, orang suruhan, namun tidak terasa karena semuanya serba ada, murah, banyak pilihan, dan bisa makan sampai kenyang.
Selepas itu, seluruh bidang kehidupan dikuasai monyet. Kemudian, keturunan kita ada yang sadar, tetapi sadarnya mirip orang yang baru bangun dari mimpi. Hal-hal yang sejak dulu hilang tenggelam dalam sejarah, banyak yang menemukannya. Akan tetapi, banyak yang tertukar sejarahnya. Ada penemuan yang digunakan, tetapi sebetulnya tidak perlu digunakan. Bahkan, ada yang dicuri dan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti kisah! Kemudian, geger senegara. Pintu yang tertutup didobrak oleh para pembuka jalan, tetapi jalan yang kurang tepat.
Yang memerintah bersembunyi jauh sekali, alun-alun jadi kosong, kerbau bule pada kabur. Lalu, negara yang terpecah-pecah itu dikuasai dan dirusakkan monyet! Keturunan kita enak-enak tertawa, tetapi tertawa yang tertahan, tidak tuntas, karena ternyata warung habis dirusak monyet, sawah habis dikuasai monyet, lumbung padi habis dimakan monyet, kebun dilalap monyet, perempuan-perempuan hamil oleh monyet. Segala-gala dikuasai monyet. Keturunan kita takut oleh mereka yang bergaya seperti monyet. Undang-undang dan hukum dipegang monyet sambil mengendalikan para pemuda. Keturunan kita tetap menjadi orang-orang suruhan dan kuli. Banyak yang mati kelaparan. Mulai saat itu keturunan kita mengharapkan panen jagung sambil mencoba-coba bertani tanpa ilmu pengetahuan dalam mengolah lahan. Tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti lagi kisah.
Kemudian, sayup-sayup, namun jelas beritanya, dari ujung laut Utara terdengar guruh yang bergemuruh, burung garuda menetaskan telur. Geger seluruh dunia! Lalu, apa yang terjadi di negeri kita? Ramai oleh yang sedang berperang. Perang seluruhnya sampai ke pelosok-pelosok. Monyet mengumpul berjatuhan. Keturunan kita mengamuk sejadi-jadinya, mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tak berdosa. Sudah jelas musuh, malah dijadikan teman. Jelas-jelas teman disebut musuh. Mendadak banyak yang menjadi pemimpin yang memerintah dengan cara-cara edan. Mereka yang kebingunan tambah bingung, anak-anak yang belum dewasa sudah menjadi bapak. Mereka yang mengamuk semakin kalap, mengamuk tanpa pilih bulu. Mereka yang putih dikejar dan dihancurkan, yang hitam diusir. Daratan kita benar-benar panas dan kacau disebabkan mereka yang sedang mengamuk, tidak beda dengan tawon yang dilempari tepat mengenai sarangnya. Seluruh daratan dibuat tempat penjagalan. Akan tetapi, segera ada yang menghentikan. Mereka yang menghentikannya adalah orang seberang.
Lalu, berdirilah seorang raja, asalnya orang biasa. Akan tetapi, memang titisan raja zaman dulu dan ibunya seorang puteri Pulau Dewata. Karena jelas titisan raja, raja baru itu susah untuk dianiaya! Selepas itu, ganti lagi zaman. Ganti zaman, ganti kisah! Kapan? Tidak lama setelah tampak bulan di siang hari yang disusul melintasnya bintang terang bercahaya. Di bekas negara kita, berdiri lagi kerajaan. Kerajaan di dalam kerajaan dan rajanya bukan trah Pajajaran.
Terus, berdiri lagi raja, tetapi raja buta yang membangun gerbang yang tidak boleh dibuka, membangun pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran di tengah jalan, memelihara elang di pohon beringin karena memang raja buta! Bukan buta pemaksa jahat yang sewenang-wenang, tetapi buta tidak dapat melihat, buta matanya. Buaya dan serigala, kucing garong dan monyet mencakar-cakar dan menggeorogoti rakyat yang sedang dalam keadaan susah. Sekalinya ada yang mengingatkan, yang diburu bukan binatangnya, melainkan orang yang mengingatkan tersebut. Makin lama makin lama, banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.
Dalam keadaan itu, datang Pemuda Berjanggut. Datang dengan menggunakan pakaian serba hitam sambil menyandang sarung tua, menyadarkan orang-orang yang sedang tersesat, mengingatkan orang-orang yang sedang terlupa. Akan tetapi, tidak diperhatikan! Mereka tidak memperhatikannya karena pinter keblinger, inginnya menang sendiri. Mereka tidak paham dan tidak sadar bahwa langit sudah memerah, menunjukkan wajah marah, dari Bumi asap sudah mengepul dari perapian. Alih-alih diperhatikan, Pemuda Berjanggut oleh mereka ditangkap, lalu dimasukkan dalam penjara. Kemudian, mereka mengacak-acak rumah orang, mengobrak-abrik urusan orang, merusakkan nama baik organisasi orang dengan alasan mencari musuh yang jahat, padahal mereka sendiri sesungguhnya yang mencari-cari permusuhan.
Waspadalah! Mereka nanti akan melarang keadaan Pajajaran dikisahkan. Hal itu disebabkan mereka takut ketahuan bahwa sebenarnya merekalah yang menjadi gara-gara selama ini yang menyebabkan terjadinya berbagai kesemrawutan. Raksasa-raksasa yang beringas semakin hari semakin bandel, sombong, pongah, brutal, dan sewenang-wenang melebihi kerbau bule. Mereka tidak sadar bahwa zaman manusia sudah dikuasai binatang!
Kekuasaan raksasa-raksasa buta itu tidak terlalu lama, tetapi selama berkuasa itu keterlaluan sekali menindas rakyat susah yang sedang berharap datangnya mukjizat. Raksasa-raksasa itu akan menjadi tumbal, tumbal kejahatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti kalau sudah tampak Anak Gembala! Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.
Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara. Lalu, mereka mencari Anak Gembala yang rumahnya di ujung sungai berpintu batu setinggi manusia beratapkan pohon handeuleum bertiangkan pohon hanjuang. Mereka mencari Anak Tumbal. Mereka menginginkan tumbal untuk dikambinghitamkan. Akan tetapi, Anak Gembala sudah tidak ada, sudah bergerak bersama dengan Pemuda Berjanggut. Keduanya sudah pindah membuka lembaran baru, pindah ke Lebak Cawene!
Mereka yang mencari Anak Gembala hanya menemukan burung gagak yang berkoak-koak di dahan mati. Dengarkan semuanya! Zaman bakalan ganti lagi, tetapi nanti setelah Gunung Gede meletus yang disusul meletusnya tujuh gunung. Gempar lagi seluruh dunia. Orang Sunda dipanggil-panggil. Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Senegara bersatu lagi. Nusa jaya, jaya lagi sebab berdiri Ratu Adil. Ratu Adil yang sejati.
Ratu siapa? Dari mana asalnya itu ratu? Nanti juga kalian bakal tahu. Sekarang yang penting, cari dan temukan oleh kalian Si Anak Gembala!
Segera berangkat! Jangan menengok ke belakang!
Tulisan kuno yang menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi seorang muslim
Tulisan kuno yang menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi seorang muslim |
”SASAKALA PRABU SILIWANGI”
Kaula Prabu Siliwangi nyakenkeun ka sadaya jamaah Diya sakayan kaula nu InsyAllah ngabalai Diya nyusuk nudihapurankeun kaagama Islam Nyian anaka arang-arang nuku kaula di wastupun Nyakeun hate diyaya sakala dikailkeun di kaitkeun Dipahetkeun nyakeun lelembut diyaya sakala arang-arang marifat Puran kayan kageugeuh diyayakeun ka gusti Allah Diya dihapurankeun ka agama Islamna Haturan dajar nyakeun hapur kaula kasabab Neuteup diyaya teu nyakeun diaya sakala bisa musrik Sakatu nu kaula bisa dibantoskeun diya kecapna Susuhun dihapuran diya kecap parit ieu upami aya kalepat Kaula Prabu Siliwangi Pangeran Pamanah Rasa.
Pengertian Dalam Bahasa Sunda :
Sing kuring Prabu Siliwangi anu ngayakinkeun kasadaya jamaah Tina kaayaan singkuring anu isnyaAllah ngabantos Tina perkawis ngajuangkeun agama Islam Nganggo metode/cara ritual anu kusingkuring ditempatkeun Kana hate aranjeun sadayana ditalikeun, dikaitken Dipagehkeun kana ruh-ruh anjenna elmu-elmu marifat Kanggo aya kateguhan tina kayakinan ka Gusti Allah Tina ngajuangkeun agama Islam Hayu urang diajar kayakinan sareng singkuring kusabab Lamun urang teu yakin urang sadaya bisa musrik Sakitu anu kusingkuring tiasa dibuktoskeun tina cariosanana Cariosanna nyuhunkeun di hapunten tina ucapan serat ieu upami aya kalepatan Kaula Prabu Siliwangi Pangeran Pamanah Rasa.
Pengertian Dalam Bahasa Indonesia :
”Saya Prabu siliwangi yang menyakinkan kesemua anggota jama’ah mengenai keadaan saya yang insya Alloh membantu dalam masalah memperjuangkan agama Islam menggunakan metode/cara Ritual yang saya tempatkan kedalam Kolbu/hati kalian semua ditalikan, dikaitkan Dikuatkan kedalam ruh-ruh kalian ilmu-ilmu ma’rifat agar ada keteguhan dalam keyakinan terhadap Alloh Subhanahu Wataala dalam memperjuangkan agama Islam. Mari kita belajar keyakianan bersama Saya karena Jika kita tidak yakin kita semua bisa musrik. Sekian yang dapat saya buktikan dalam ucapan saya. Ucapan saya mohon dapat dimaapkan dari kata-kata dalam surat ini kalau ada kesalahan. Saya Prabu Siliwangi Pangeran Pamanah Ki Adji Rasa.
Imajiner Nuswantoro