Tentang Kapitayan
&
Tentang Tan Keno Kinoyo Ngopo
Kapitayan (Aksara Jawa : ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀) adalah salah satu agama kuno di pulau Jawa, khususnya bagi Suku Jawa. Kapitayan merupakan salah satu bentuk monoteisme asli Jawa yang dianut dan dijalankan oleh sebagaian masyarakat Jawa secara turun-temurun. Agama ini juga kerap mengidentifikasikannya sebagai agama kuno Jawa, agama monoteis Jawa, agama monoteis leluhur, agama asli Jawa, yang mana berbeda dari Kejawen (agama Jawanik lainnya yang bersifat non-monoteistik).
Istilah Kapitayan (ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀).
Kapitayan merupakan sebuah kepercayaan yang jauh ada sebelum Hindu dan Budha di Indonesia. Kepercayaan Kapitayan ini dikenal dengan kepercayaan leluhur, atau nenek moyang yang mengimani bahwa tuhan itu hanya ada satu (Esa).
Kapitayan dan Kejawen
Agama, kepercayaan, keyakinan apapun menyebutannya yang disebut Kapitayan ini memuja, percaya, yakin kepada Tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra.
Sanghyang Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda (bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang pohon) serta yang lain.
Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.
Tata cara pemujaan agama Kapitayan
Cara pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini berbeda antara masyarakat awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat keramat. Sedang para ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama sanggar yang berupa bangunan beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).
Tata cara bersembahyang yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg (berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat di hati yang disebut swa-dikep.
Usai melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul (membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti janin dalam perut).
Proses beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).
Demikian sedikit penjelasan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan beserta tata cara beribadah yang oleh banyak orang dikenal dengan sebutan animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya, pemeluk Kapitayan bukan menyembah nenek moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Taya.
Kejawen
Kepercayaan akan Sang Pencipta banyak di tafsirkan banyak cara dan arti oleh masyarakat. Selain aliran kepercayaan yang di sebut Agama, juga terdapat aliran kepercayaan lain.
Salah satunya yakni Kejawen. Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada.
Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku.
Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (“Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan”). Membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (“Bersatunya Hamba dan Tuhan”).
Berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya. Dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya, namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi.
Hal tersebut karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
Kata Kejawen berasal dari kata Jawa, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan kejawen bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.
Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia). Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen. Tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep keseimbangan. Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol laku berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri). Hal tersebut yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen. Ajaran tersebut tentunya yang tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat).
Sebagaimana yang sering diberitakan, ada 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang diutus di empat wilayah, yakni Jazirah Arabia, Irak, Mesir serta Syam dan Palestina. Nabi dan Rasul yang terbanyak adalah diutus di wilayah Syam dan Palestina jumlahnya mencapai 12 orang.
Sami bin Abdullah al-Mathrud dalam kitabnya Athlas Tarikh al’Anbiya Wa ar-Rusul, menyebutkan semua nabi dan rasul yang diperintahkan oleh Allah bertugas untuk menyeru umat manusia agar senantiasa beriman kepada Allah dan berbuat kebajikan, serta menjauhi segala keburukan mereka semua membawa bukti-bukti yang nyata.
Kapitayan Sebagai Agama Pertama di Jawa (veri Kejawen)
Sebelum awal perhitungan Masehi, telah ada satu keyakinan Keesaan Tuhan di Jawa. Para leluhur orang Jawa sudah menyadari bahwa keyakinan untuk dipercaya dan dijalankan ajarannya, bukan menjadi bahan perdebatan atau sebagai sumber pertikaian dan perang. Karenanya mereka sudah membekali diri dengan pengetahuan tentang Dzat Tertinggi dan bagaimana menemukan-Nya.
Orang Jawa telah percaya keberadaan suatu entitas tidak kasat mata namun memiliki kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia. Mereka tidak pernah menyembah selain Tuhan. Karenanya mereka tidak menyembah Dewa atau Bhatara yang diyaikini sebagai makhluk Tuhan. Mereka hanya menyembah Tuhan yang disebut Sang Hyang Taya.
Pada masa itu orang Jawa belum memiliki kitab suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang disimbolkan (disiratkan) dalam semua sendi kehidupan dan memercayai ajaran yang tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan karena memiliki aturan baku. Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu tata krama (aturan hidup yang luhur) serta menjadikan orang Jawa sebagai sosok anjawani (berkepribadian orang jawa).
Orang Jawa yang memahami etika senantiasa menerima ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani, dan lainnya) selama memiliki sama dengan ujung monoteisme. Karenanya banyak agama yang dibawa kaum migran memilih basis dakwahnya dari Jawa.
Leluhur orang Jawa selalu melihat bahwa agama sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang disertai dengan sejumlah laku. Ajaran mereka tidak terpaku pada aturan ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol laku berupa perangkat adat asli Jawa, seperti: keris, wayang, pembacaan mantra, atau penggunaan bunga-bunga tertentu ber makna simbolik mengekspresikan wibawa magis, dan bukan inti ajarannya.
Memang tidak bisa dipungkiri telah banyak penghayat Kejawen dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur melalui praktik klenik dan perdukunan, padahal tindakan itu tidak ada dalam ajaran para leluhur.
Dasar Pemahaman Ajaran Kapitayan
Sebelum masuknya agama Islam, sudah ada agama kuna di tanah Jawa yakni Kapitayan yang menurut sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama tersebut merupakan perkembangan dari ajaran dan keyakinan kepada Sang Hyang Taya.
Sang Hyang Taya yang menjadi pujaan para penganut Kapitayan tersebut memiliki makna "hampa" atau "kosong". Orang Jawa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat, "Tan kena kinaya ngapa" (Tidak bisa diapa-apakan keberadaannya).
Karenanya agar bisa disembah, Sang Hyang Taya memribadi dalam nama dan sifat "Tu" atau "To", yang bermakna daya gaib dan bersifat adikodrati.
Dalam bahasa Jawa kuna, kata "taya" diartikan dengan kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Istilah "taya" digunakan untuk mendefinisikan kalimat “tan kena kinaya ngapa”, sesuatu yang tidak bisa dilihat atau diangan-angan. Sesuatu yang ada namun tidak ada.
Perlu diketahui bahwa konsep Hyang dalam Sang Hyang Taya merupakan asli dari sistem kepercayaan orang Jawa. Dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, atau Bali; kata Hyang dimaknai sebagai keberadaan kekuatan adikodrati yang bersifat supranatural. Keberadaan spiritual tersebut bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan memengaruhi segala sesuatu di jagat raya. Sesuatu "Yang Mutlak" yang tidak bisa dipikir dan dibayangkan (niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera.
Dipahami bahwa Tu adalah tunggal dalam dzat. Tu lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yakni kebaikan dan kejahatan.
Tu bersifat kebaikan disebut Tu-han atau Sang Hyang Wenang. Tu bersifat kejahatan disebut Sang Hyang Manikmaya. Dengan demikian, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya merupakan sifat dari Sang Hyang Tunggal. Karenanya baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, maupun Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Mereka hanya diketahui sifatnnya.
Karena Sang Hyang Tunggal yang memiliki dua sifat paradoks merupakan dzat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai kekuatan gaib dari pribadi tunggal Sang Hyang Taya yang tersembunyi di dalam segala sesuatu bernama Tu atau To.
Karenanya para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, pin-tu, to-peng, to-san, to-pong, to-wok, to-ya.
Dalam melakukan bakti puja pada Sang Hyang Taya, orang Jawa menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan tu-kung melalui sesuatu yang diyakini berkekuatan gaib.
Dalam Islam, terdapat tingkatan-tingkatan ibadah seperti syari'ah, thariqah, hakikat, dan ma'rifat. Sementara dalam Kapitayan, praktik di atas merupakan proses ibadah tingkatan syari'at yang dilakukan masyarakat awam pada Sang Hyang Tunggal.
Untuk para kaum sufi Kapitayan menyembah langsung pada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, yakni :
1. Melakukan tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutuk (lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati).
2. Menurunkan tangan dan disedekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang keakuan diri).
3. Melakukan tu-ngkul (membungkuk ke bawah).
4. Melakukan tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki).
5. Melakukan to-ndhem (bersujud).
Di dalam melakukan ibadah, para penganut Kapitayan juga seperti orang-orang Islam yang menggunakan masjid, orang-odang Hindu menggunakan pura, orang-orang Buddha menggunakan vihara, atau orang-orang Nasrani menggunakan gereja. Adapun tempat ibadah para penganut Kapitayan menggunakan sanggar. Suatu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan.
Seorang penganut Kapitayan sang pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib bersifat positif (tu-ah) dan bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah tersebut dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu (cikal bakal gelar ratu dan datu bagi para pemimpin kerajaan).
Mereka yang telah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh "pi", yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Karena itulah, ra-tu atau dha-tu menyebut dirinya dengan kata ganti diri: pi-nakahulun.
Gerak-gerik kehidupan ratu atau datu senantiasa ditandai dengan "pi", misal: berbicara disebut pi-dato, jika mendengar disebut pi-harsa, jika mengajar pengetahuan disebut pi-wulang, jika memberi petuah disebut pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut pi-tuduh, jika menghukum disebut pi-dana, jika memberi keteguhan disebut pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut pi-tapuja, jika memancarkan kekuatan disebut pi-deksa, jika meninggal dunia disebut pi-tara.
Dengan prasyarat-prasyarat di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu atau dha-tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki tu-ah dan tu-lah dan tidak bisa diwariskan secara otomatis pada keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuang keras untuk menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah. Di mana, ia mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya disebut raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka lain akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang telah teruji kemampuannya baik dalam memimpin, mengatur strategi, maupun mengelola tu-ah dan tu-lah yang dimilikinya.
Konsep kekuasaan ra-tu dan da-tu mirip dengan konsep: "King Philosopoher"-nya Plato dari Yunani (abad 3 SM) atau mungkin Plato dengan bukunya Republic justru terinspirasi oleh ajaran Kapitayan. Konsep ini juga yang merupakan ruh dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yakni sila ke-4: "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-Perwakilan." Serta Sila 1: "Ketuhanan Yang Maha Esa." Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-tu dan dha-tu mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut para pemuja Vishnu masuk ke tanah Jawa.
Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta kekuasaan raja yang bersifat kewangsaan telah memberi motivasi bagi raja-raja Jawa pra Hindu sebagai penganut Vaishnava. Sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh para penguasa di Jawa, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang. Keberadaan seorang raja atau maharaja misalnya selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-tu atau dha-tu. Sehingga seorang raja dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut keraton atau kedhaton di samping bangsal dan puri.
Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-tu, tu-nggul, tu-mbak, tu-lang, to-san, to-pong, to-parem, to-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Jawa mensyaratkan keberadaan ra-tu atau dha-tu dengan benda-benda ber-tu-ah.
Prinsip Ajaran Kapitayan
Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha. Pada era Walisanga, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah laisa kamitslih syai'un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadis yang artinya sama dengan tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.
Walisanga juga menggunakan istilah 'sembahyang' dan tidak memakai istilah salat. Sembahyang adalah menyembah 'Hyang'. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan diubah menjadi seperti langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, inipun merupakan adopsi Kapitayan.
Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan 'shaum' karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah 'upawasa' kemudian menjadi puasa.
Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan dengan menggunakan tumpeng. Dengan demikian, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhan-nya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Jawa akan menolak.
Hindu pun ketika masuk ke Jawa juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.
Pokok Ajaran Kapitayan
Sebagai agama, Kapitayan memiliki pokok ajaran yang diamalkan oleh para penganutnya. Perihal pokok ajaran Kapitayan adalah "Hamemayu hayuning bawana". Menjaga atau menata keindahan jagat baik jagat cilik (mikrokosmos) dan jagat gedhe (makrokosmos).
Dalam pemahaman orang Jawa, jagat cilik bersifat fisikal (materi), sedangkan jagat gedhe bersifat metafisikal (imateri). Bila diumpamakan manusia, jagat cilik adalah raga manusia. Sedangkan jagat gedhe adalah metafisika atau spiritual manusia. Melalui spiritualnya, manusia dapat mengenal Tuhan. Karenanya orang Jawa berpendapat bahwa di dalam hati, Tuhan bersemayam.
Agar hubungan antara manusia dengan Tuhan tetap dinamis, maka keduanya harus manunggal. Maka dalam ajaran Kapitayan, manusia yang dapat manunggal dengan Tuhan harus menyelaraskan cipta, rasa, karsa-nya dengan Sang Hyang Taya. Sehingga hubungan mereka seperti lampu dengan cahaya, keris dengan warangka, alu dengan lumpang, atau lingga dengan yoni.
Bila hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Taya telah terbentuk, maka jagat akan tampak indah. Jagat akan terkelola dengan baik, dinamis, dan selaras. Tidak ada gejolak alam yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Untuk merealisasikan kedamaian di dunia ini, manusia diwajibkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan binatang, tumbuhan, benda mati, dan alam. Mengingat mereka merupakan citra atau ciptaan dari Sang Hyang Taya.
Catatan :
Seirama gerak zaman, keadaan dunia turut berubah. Ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah tertekan hebat oleh para tamunya. Sebagai misal ketika zaman Kadiri, para penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa berhasil menekan golongan Kapitayan sehingga harus naik Gunung Klotok dan Wilis. Pendapat ini berdasarkan artefak peninggalan Kapitayan yang tersebar di kedua gunung itu.
Pada era Kerajaan Tumapel (Singhasari), para penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok Kapitayan hingga mengungsi ke pesisir selatan Jawa. Selanjutnya pada era Kesultanan Demak, para penganut agama Islam melakukan penetrasi dengan kelompok Kapitayan. Hal ini yang memunculkan asumsi bahwa seandainya para kelompok Kapitayan bersikukuh pada keyakinannya dimungkinkan tidak ada ajaran agama impor begitu mudah masuh di Jawa.
Ketika Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dijadikan tempat pendidikan kelas dunia pada masanya. Hal sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Bahkan agama Islam dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisanga sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan timbullah Islam Nusantara.
Ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus sesuai aslinya di mana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan. Ketika ada seseorang yang menganggap sempurna bila agama dijalankan sesuai adat di mana ia diturunkan. Maka jawabnya salah besar. Mengingat tata nilai agama tersebut bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan berharap untuk bisa hidup sempurna bila memaksakan sesuatu -- terutama keyakinan -- tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.
Bila pemaksaan keyakinan terhadap seseorang tersebut dilakukan, maka getaran semesta akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Sementara, Tuhan merupakan Sang Maha Kuasa, Sang Maha Mengetahui, atau Sang Maha Bijaksana. Lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengerdilkan keperkasaan-Nya dengan mengatakan, "Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja?"
Akan tiba waktunya kebangkitan ajaran kuna yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di Jawa, tetapi juga di nusantara atau dunia. Hal ini dikarenakan ajaran kuna tersebut sangat indah karena terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu. Sebagaimana dikabarkan dalam kitab suci dari semua agama besar di dunia.
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS Al-Hadid [57]:25).
Al-Hadid · Ayat 25 :
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ وَاَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗ وَرُسُلَهٗ بِالْغَيْبِۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌࣖ ٢٥
laqad arsalnâ rusulanâ bil-bayyinâti wa anzalnâ ma‘ahumul-kitâba wal-mîzâna liyaqûman-nâsu bil-qisth, wa anzalnal-ḫadîda fîhi ba'sun syadîduw wa manâfi‘u lin-nâsi wa liya‘lamallâhu may yanshuruhû wa rusulahû bil-ghaîb, innallâha qawiyyun ‘azîz
Artinya :
Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami menurunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Kami menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi manusia agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.
Tafsir Wajiz/Tafsir Tahlili
Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat manusia dengan bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka kitab sebagai pedoman hidup, dan Kami turunkan pula neraca sebagai ukuran keadilan agar manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi sebagai kelengkapan hidup yang mempunyai kekuatan, hebat, dan banyak manfaat bagi manusia, dan Kami ciptakan semua itu agar Allah mengetahui siapa yang menolong agama-Nya dan rasul-rasul-Nya dalam berdakwah, walaupun Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat terhadap segala sesuatu, Mahaperkasa menghadapi semua yang mengingkari-Nya.
Tentu ada pertanyaan besar Mengapa Nabi dan Rasul banyak diutus Allah di Syam dan Palestina, apakah sudah begitu sesatnya umat manusia sehingga Allah mengutus banyak nabi dan rasul pada kedua daerah tersebut? Masalah sesat atau tidak sesat semua itu tergantung keyakinan. Lalu, apakah Nusantara dulunya tidak pernah sesat ?
Mari kita kupas (versi & pendapat) Agama atau kepercayaan masyarakat nusantara sebelum datangnya orang Arab.
TAN KENO KINOYO NGOPO (versi artikel 1)
Teologi Islam secara holistic yang mengatasnamakan doktrin panteisme, bernama Al-Hallaj, pada tahun 922 M terkena vonis kematian, mereka menilai ajaran Al-Hallaj dengan terminology “Anaa AL-Haqq”. Atau” Akulah kebenaran tertinggi.
Kemudian ajaran pantheisme atau manunggaling kawulo gusti.
Yang berakar dari ajaran mistik islam kejawen yang dianut oleh pujangga besar Raden Ngabehi Ronggo warsito, dalam serat wirit Hidayat Jati.
Didalam faham trinitas wirid hidayat jati dinyatakan bahwa : Allah itu badan-Ku Rasul itu Rahsa-ku dan Muhammad itu Cahya-ku. Diri manusia dibagi menjadi tujuh lapis, dari halus sampai kasar yang menjadi wahananya Dzat yaitu :
Khayu, artinya Hidup disebut Atma
Nur artinya Cahaya, disebut pranawa
Sir artinya Rahsa disebut pramana
Roh artinya nyawa, disebut suksma
Nafsu artinya Angkara
Akal, artinya budi
Jasad artinya badan
Alam juga dibagi menjadi 7 tingkatan yaitu :
1. Alam Rohiyah artinya alam nyawa
2. Alam siriyah artinya alamnya Rahsa
3. Alam Nuriyah artinya alamnya cahya
4. Alam nuriyah luhur
5. Alam Uluhiyah artinya lamanya Tuhan
6. Alam Uluhiyah luhur
7. Alam Uluhiyah yang paling luhur
Disamping itu terdapat Tahta Mahgligai yang menjadi wahanyanya kanugrahan (karunia Tuhan) sebab Nugraha itu Dzatnya Tuhan dan kanugrahan itu sifatnya kawula yang tinggal didalam tubuh manusia, yaitu :
1. Bait-Al- Makmur, terletak didalam kepala Adam
2. Bait-Al Muharam terletak didalam dadanya Adam
3. Bait-Al-Muqoddas terletak didalam kemaluanya Adam
Disamping itu ia mengemukakan cara Manekung (Meditasi) Warisan Panembahan Senopati dan cara meluluhkan badan (mensyucikan diri lahir dan bathin. Warisan dari Sunan Pakubuwono 1.
Secara suprematif dalam surat Thaha, 20:14,’’’
اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ ١٤
innanî anallâhu lâ ilâha illâ ana fa‘budnî wa aqimish-shalâta lidzikrî
Artinya : Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku dan dirikan sholat untuk mengingatku.
Kemudian Al-ghazali dalam statement nya “Ektasis bukanlah terleburnya makhluq dalam Allah sebagai kesatuan dlam identitas “ittihad”. Juga bukan manunggalnya atau penyatuan antara dua pihak yang berbeda pada tingkat “Ada”.
Yang sama seolah-olah dalam ucapan–ucapan para mistisi yang mengalami kedasyatan Allah sehingga menimbulkan kesan hiperaktif, akibat mabuk cinta kasih.
Secara juridis dalam firman-firman Allah sebagai berikut :
“sesungguhnya Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu”.
(QS. Fushshilat, 41; 54)
اَلَآ اِنَّهُمْ فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْ لِّقَاۤءِ رَبِّهِمْۗ اَلَآ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطٌࣖ ٥٤
alâ innahum fî miryatim mil liqâ'i rabbihim, alâ innahû bikulli syai'im muḫîth
Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ketahuilah, sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.
Tafsir Wajiz/Tafsir Tahlili
Allah lalu mengingatkan Nabi Muhammad dengan menyatakan, “Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan, yakni tidak meyakini tentang pertemuan dengan Tuhan mereka kelak di hari Kiamat. Ingatlah pula, sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan kekuasaan-Nya.
“dan tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya”
( QS. Qashash, 28;88 )
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۘ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗۗ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَࣖ ٨٨
wa lâ tad‘u ma‘allâhi ilâhan âkhar, lâ ilâha illâ huw, kullu syai'in hâlikun illâ waj-hah, lahul-ḫukmu wa ilaihi turja‘ûn
Artinya : Jangan (pula) engkau sembah Tuhan yang lain (selain Allah). Tidak ada tuhan selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali zat-Nya. Segala putusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.
Tafsir Wajiz / Tafsir Tahlili
Dan jangan pula engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan pengendali dan penguasa seluruh alam yang berhak disembah selain Dia Yang Maha Esa lagi Mahakekal itu. Segala sesuatu pasti binasa dan fana, kecuali Allah. Segala keputusan di dunia dan akhirat menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dan seluruh makhluk dikembalikan.
“ dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat nadi “.
( QS. Qaaf, 50; 16 )
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗۖ وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ ١٦
wa laqad khalaqnal-insâna wa na‘lamu mâ tuwaswisu bihî nafsuh, wa naḫnu aqrabu ilaihi min ḫablil-warîd
Artinya : Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
Tafsir Wajiz/Tafsir Tahlili
Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah mengetahui apa yang dibisikkan oleh manusia dan tidak ada sesuatu pun yang samar atau tersembunyi bagi-Nya. Dan sungguh, Kami, yakni Allah dengan kuasa-Nya bersama ibu bapak yang dijadikannya sebagai perantara telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, baik kebaikan maupun kejahatan, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Yakni Allah Maha Mengetahui keadaan manusia walau yang paling tersembunyi sekali pun.
Berikut ini para mufasirrin Ali Ash Shabuni menafsirkan bahwa “ innahu bikulli syai’in Muhit”. Dalam hal ini secara implist adalah ilmunya baik secara global maupun terperinci, lebih tegasnya Allah merupakan Subjek yang meliputi segala sesuatu, dia sebagai subjek yang mengetahui segala maklumat tak terbatas kemudian segala sesuau adalah dhomir Huwa, yang menunjukkan orang ketiga tunggal yang melakukan suatu perbuatan, tetapi dengan alas an apa mereka menggantikan arti huwa (dia) menjadi sifat segala sesuatu, sedangkan kita tahu itu ada karena ia ada “Wujud”.
(tempat bergantungnya segala sifat memiliki kesempurnaan meliputi zat, sifat, af’al dan asma. Dhomir huwa merupakan wujud sedangkan sifat, af’al dan asma, merupakan diluar dirinya (wujud-Nya) tetapi bergantung pada dirinya, karena adanya disebut oleh zat (sosok)
Sedangkan “ dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat nadi”.seolah-olah zat itu sendiri yang lebih dekat dari urat leher, Allah lebih dekat terhadap manusia daripada keringatnya yang bercampur baginya,
Kemudian Syech nawawi, maupun Ali Shabuni menafsirkan “segala sesuatu pada hakikatnya adalah fana’ (binasa) kecuali Zatnya yang kekal dan Qudus
Didalam penghayatan mistisnya para sufi menafikan segala sesuatu termaksud dirinya sendiri, sehingga muncul kesadaran”yang wajib ada adalah yang mutlak”.
Laa maujudaa illallah, sebenarnya konsepsi monotheisme, yang dibawa oleh rosullullah SAW, pada hakikatnya segala sesuatu akan binasa kecuali wajahnya yang abadi (Baqa).
Seorang nabi Musa meyelami arti diri sampai batas tertinggi berkendak menemui tuhan yang pada akhirnya dikabarkan dalam Al-qur’an ia pingsan, sebuah rahasia terungkap namum pembodohan bagi mufasirrin, secara logis nabi musa pingsan.
Apakah arti pingsan menurut mufasirrin, ia menjawab karena tarberdaya melihat kuasa tuhan yang disebut Cahaya tertinggi, permasalahanya berdasarkan
Apa ia menafsiri, berdasarkan ilmu bersifat matrilais, ataukah medis, peninjauan segara implicit, bahwa, ketika berdasarkan matrialis ilmu berarti ia adalah kebohongan, alasanya, karena ia belum menjalani, berdasarkan fisik yang lebur karena energi cahaya itu rasional, sebuah bentuk apapun didunia dinilai dari radius berapa, sebuah benda pasti hancur atau tidak itu dinilai dari hokum jarak kecepatan dibagi waktu, tetapi secara teoritis belum mendekati kebenaran, sedangkan kebenaran itu diakui secara empiris bahwa setiap teori bermula dari eksperimen dan eksperimen demikian diartikan sebagai Case of Reseach,cukup bisa dianggap Valid karena de jure atau de facto.
Sedangkan kebenaran penulis bahwa makna pingsan menurut penulis ia tak tahu apa-apa dan tidak berarti apa-apa, yang dalam istilah Jawa TAN KENO KINOYO NGOPO.
Berikut landasan fundamen penulis berdasarkan De Jure maupun De Facto
Sedangkan menurut penulis, ia ada adalah keniscayaan, bermula dan mengakhiri, semua berasal dari ketiadaan, wujud dan berkehendak dimana ia belum menemukan sumber diri, ketika ia berusaha menjadi insane kamil, ia berputar dengan egosentris tatkala itu adalah wujud tetapi fana; dan didalam wujud itu ego berperan ingin menguasai arti dari hidup yang dalam kekuatan itu ada nilai yang berpangkal dari ilmu yang menganggap dirinya berjalan karena ilmu segala yang terbatas dan tak terbatas pada hakikatnya adalah terbatas, karena ketidakterbatsan itu pada hakikatnya adalah terbatas semua itu fana baik ilmu sejati ataupun ilmu materi, seseorang berjalan melalui hakiki dan kembali menuju hakiki, dan hakiki pada hakikatnya lenyap tanpa kata, tanpa aksara tanpa ilmu tanpa amal, semua kosong karena wujud pada hakiki adalah kosong tuhan esa melainkan kosong karena Esa ketika ia masih berbeda dengan diri ketika menyatu semua hanylah kosong dan esa, esa dan kosong itu tidak ada karena kemenjadian adalah terjadi dan ada bukan ada dan berada bukan berada ada dan berada pada hakikatnya sama terpisah karena ruang menyatu bukan karena ruang semua fana dan mati jism, wujud, akal ruh, nafas, nufus, tanaffas, anfus air,angin, tanah, api, anasir, arah mata angin, bumi, matahari, bulan bintang rosul, dulur sejati, ilmu sejati khalifah itu kosong, karena setiap elemen pada hikakatnya adalah wujud tapi fana, hakiki adalah fana, maya dan nyata itu tidak ada yang ada berarti tidak ada, setiap definisi adalah ilmu ketika ilmu berarti semu adalah kosong,
Dulu di Nusantara ada sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama disebut Sang Hyang Taya yang bermakna hampa atau kosong. Orang Jawa dan Sunda Wiwitan mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat Tan Keno Kinoyo Ngopo yang artinya tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Untuk itu supaya bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To yang bermakna daya Ghaib dan bersifat Adikodrati. Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno kata Taya artinya kosong atau hampa namun, bukan berarti tidak ada. Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. Tan Keno Kinoyo Ngopo, sesuatu yang tidak bisa dilihat juga tidak bisa diangan-angan seperti apa pun, ia ada tetapi tidak ada.
Dalam sistem ajaran kapitayan yang begitu sederhana waktu itu, Sang Hyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk kekuatan Ghaib yang disebut Tu, Tu adalah bahasa kuno yang artinya benang atau tali yang menjulur. Tu inilah yang dianggap sebagai kemungkinan pribadi Sang Hyang Taya. Tu kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat positif dan sifat negatif. Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap namun dalam satu kesatuan. Tu yang baik disebut Tuhan dan Tu yang tidak baik disebut Hantu.
Tu bisa didekati ketika dia muncul di dunia dalam sesuatu yang terdapat kata Tu seperti; wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban dan sebagainya yang menyiratkan adanya kekuatan Ghaib dari Tu yang bersemayam biasanya orang-orang akan memberikan sesajen kepada benda yang memiliki nama Tu.
Kapitayan ini diadopsi oleh Walisongo untuk menyebarkan Islam karena selama 850 tahun Islam tidak bisa masuk pada kalangan pribumi yang mayoritas penganut kapitayan, karena apa ?
Karena para saudagar muslim Arab yang belum paham ilmu Tafsir dan Takwil Al-Qur’an secara lengkap menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas Singgasana bernama Arsy, ?
Itu kan seperti manusia ?
Orang-orang pribumi yang memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu bagaimana Tuhan duduk ?
Itu kan sama seperti manusia.
Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Buddha. Nah, pada zaman Walisongo prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah. Dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah :
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (Asy-Syura:11).
Berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadis yang artinya sama dengan Tan Keno Kinoyo Ngopo, sesuatu yang tidak bisa dilihat juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.
Walisongo juga menggunakan istilah Sembahyang dan tidak memakai istilah Salat. Sembahyang adalah menyembah Sang Hyang, dimana? Di Sanggar, tapi bentuk Sanggar Kapitayan kemudian diubah menjadi seperti Langgar-langgar di desa yang ada Mihrabnya dan dilengkapi Bedug, yang juga diadopsi dari kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan Shaum karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah upawasa kemudian menjadi puasa.
Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan pakai tumpeng. Jadi, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada Agama yang Tuhannya berwujud seperti manusia karena alam bawah sadar mayoritas masyarakat nusantara akan menolak.
Apakah Tuhan seperti manusia ?
Agama Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa atau pemuja Wisnu. Namun, karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia, akhirnya ajaran itu habis tergusur digantikan ajaran Shiva yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.
Bukannya Agama dulu itu Kejawen ?
Mari kita bahas dulu apa itu Kejawen.
Kata Kejawen secara gramatikal kebahasaan saja sudah salah. Dalam bahasa Jawa tidak ada kata Kejawen. Sebetulnya Kejawen diberikan kepada kelompok hasil reformasi yang dilakukan oleh Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar di daerah pedalaman. Reformasi dari masyarakat Kawulo yang artinya budak menjadi masyarakat merdeka sehingga menimbulkan konflik dengan elit Kesultanan Demak. Syekh Lemah Abang membentuk banyak sekali Desa Lemah Abang, dari daerah Banten sampai daerah ujung Timur Jawa.
Para pengikut Syekh Lemah Abang umumnya menentang tradisi ritual dan Fiqih Kesultanan Demak. Dalam buku Negara Kerta Bumi, disebutkan bahwa Syekh Lemah Abang pernah tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Oleh karena itu, pemahamannya terhadap sistem kekuasaan, banyak terpengaruh oleh sistem kekuasaan di Baghdad. Syekh Lemah Abang sebetulnya kelahiran Persia atau Iran dan merupakan ulama Sufi keturunan Nabi. (Itrah Nubuwah).
Ketika balik ke nusantara dia melihat realita Kesultanan Demak yang masih meneruskan pola kekuasaan Majapahit, jika ada masyarakat yang akan menghadap Sultan atau Raja diharuskan menyembah dulu yang oleh Syekh Lemah Abang, dianggap tidak benar sebab ketika Syekh Lemah Abang menghadap Sultan maupun Raja dia tetap dengan posisi berdiri tidak menyembah dan sejak itu beliau melarang masyarakat menyembah jika menghadap Sultan.
Kita kembali ke ajaran Kapitayan. Ajaran pokok Kapitayan yaitu Memayu Hayuning Bawono atau menata keindahan dunia. Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada keesaan Tuhan (Monoteisme). Para leluhur kita, dulu sudah sadar diri jauh sebelum ajaran Agama baru yang diimpor dari Timur Tengah, India dan Cina hadir di nusantara. Para leluhur kita merasa bahwa keyakinan itu adalah untuk dipercaya dan dilakukan ajarannya, bukannya menjadi bahan perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya, lalu menjadi sumber pertikaian dan peperangan. Oleh sebab itu nenek moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat atau kenyataan tertinggi serta tentang bagaimana bisa menemukannya.
Orang Jawa dan Sunda serta pada umumnya suku lain di Nusantara, seperti Batak Parmalim, Kaharingan Dayak Borneo, To Manurung-I La Galigo di Sulawesi dan lain-lain di masa lalu, telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata, namun memiliki kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia. Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Batara sekalipun semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa.
Karena yang mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.
Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang termasuk penghayat Kejawen sendiri yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktek klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu. Seorang hamba pemujaan Sang Hyang Taya yang dianggap sholeh akan dikaruniai kekuatan Ghaib yang bersifat positif atau Tu-ah dan yang bersifat negatif atau Tu-lah. Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat.
Mereka itulah yang disebut Ra-Tu atau Dha-Tu yaitu cikal bakal gelar Ratu dan Dhatu bagi para pemimpin Kerajaan Nusantara.
Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh Pi, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya Ratu atau Dhatu menyebut diri dengan kata ganti diri Pi-nakahulun, jika berbicara disebut Pi-dato, jika mendengar disebut Pi-harsa jika mengejar pengetahuan disebut Pi-wulang, jika memberi petuah disebut Pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh, jika menghukum disebut Pi-dana, jika memberi keteguhan disebut Pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut Pi-tapuja yang lazimnya berupa Pi-nda atau kue dari bahan tepung, Pi-nang, Pi-tik, Pi-ndodakriya atau nasi dan air serta Pi-sang, jika memancarkan kekuatan disebut Pi-deksa, jika mereka meninggal dunia disebut Pi-tara. Sehingga seorang Ratu atau Dhatu adalah pengejawantahan kekuatan Ghaib Sang Hyang Taya.
Seorang Ratu atau Dhatu adalah citra pribadi Sang Hyang Tunggal. Namun zaman pun berganti dan keadaan dunia juga berubah sangat drastis. Ironisnya Agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah ditekan hebat oleh para tamunya, contohnya ketika zaman Kerajaan Kadhiri, penganut Agama Hindu yang mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan Kapitayan sehingga mereka harus naik ke Gunung Klothok dan Gunung Wilis, dimana artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar di sana yang sebagian dibawa oleh kaum penjajah ke Leiden, Belanda dan berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru bermarkas di Leiden Belanda sana. Lalu di zaman Kerajaan Tumapel atau Singosari kejadiannya pun sama, penganut Agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini hingga mengungsi ke Pesisir Selatan Tanah Jawa. Selanjutnya di zaman Kerajaan Demak, penganut Agama Islam yang melakukan penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir adalah di zaman Kolonial, penganut Agama Nasrani mendapat tempat elit di sosial kemasyarakatan dan lainnya.
Salah satu situs yang bisa kita kunjungi adalah Situs Semar di Cipaku Darmaraja Sumedang. Dalam naskah Medang Kamulyan dari Darmaraja Sumedang, arti Cipaku merupakan kepercayaan Sunda Buhun disebutkan :
“…Bagenda Syah Jeneng Ratu di Karajaan Medang Larangan, anu karatonna, dicipta ku Sayyidina Sis alahis salam. Di Cai Paku satutasna surutna cai sagara ngeueum alam medang kamulyan. Ari disebut Cai Paku ieu tempat mangrupa pangeling-ngeling ieu tempat anu geus orot tina cai Sagara, loba tangkal paku ku ayana prahara alam medang kamulyan ka keueum ku Cai Sagara”.
(„…Baginda Syah Jadi Raja di Kerajaan Medang larangan, yang singgasananya, dibuat oleh Nabi Syith alahis salam. Di Cipaku setelah air laut surut mengenai dunia. Yang disebut Cipaku ini merupakan peringatan tempat yang sudah surut dari air laut, banyak pohon paku karena prahara alam dunia yang tergenang Air Laut“.)
Naskah Medang Kamulyan
Hampir semua di Pulau Jawa ada petilasan Situs Semar baik sejak peradaban Sunda dahulu, maupun dalam Babad Jawa. Menurut sesepuh PLB Drs. Wisahya, “Situs purbakala ini, lebih tua dari situs aji putih maupun situs resi putih (Arya Bimaraksa). Awal mulanya ada CIPAKU dari Buyut Semar ini, entah siapa yang menanamkan Batu Situs Semar tersebut, tidak ada yang mengetahuinya”.
Dalam keyakinan penganut Kapitayan, leluhur yang pertama kali sebagai penyebar Kapitayan adalah Dang Hyang Semar, Putra Sanghyang Wungkuhan keturunan Sang Hyang Ismaya. Mereka mengungsi ke Nusantara bersama saudaranya, Sang Hantaga atau Togog akibat banjir besar di negara asalnya dan akhirnya Semar tinggal di Jawa sedangkan Togog di luar Jawa. Sedangkan saudaranya yang lain yaitu Sang Hyang Manikmaya menjadi penguasa alam Ghaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-Hyang-an (Kahyangan)
TAN KENO KINOYO NGOPO (versi artikel 2)
Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para penghitung, yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat mencapai-Nya; la yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. la mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu.
Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.
Barangsiapa mengatakan "dalam apa la berada", (berarti) ia berpendapat bahwa la bertempat, dan barangsiapa mengatakan "di atas apa la berada" maka ia beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu lainnya.
la Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. la ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. la bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. la berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. la melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. la hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya la mungkin bersekutu atau yang mungkin la akan kehilangan karena ketiadaannya.
(Imam 'Ali bin Abi Thalib as. Nahj Balaghah)
Jawa Kuno Sudah Islam Sebelum Islam Masuk
Sanghyang Taya, merupakan sebutan tuhan bagi mereka. Tuhan bagi mereka tidak terlihat dan tidak bisa digapai oleh mata duniawi manusia. Dalam kepercayaan Kapitayan, tuhan itu tidak bisa dilihat, jika bisa dilihat maka bukan tuhan.
Maka kepercayaan ini selaras dengan surah al-An’am ayat 103, yang berarti: “Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu”. Bagi Islam, umat manusia jika selama di dunia, tidak akan bisa melihat wujud tuhan.
Al-An'am · Ayat 103
لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ ١٠٣
lâ tudrikuhul-abshâru wa huwa yudrikul-abshâr, wa huwal-lathîful-khabîr
Artinya : Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu. Dialah Yang Mahahalus lagi Mahateliti.
Tafsir Wajiz/Tafsir Tahlili
Untuk lebih menguatkan uraian sifat-sifat Allah seperti yang disebut sebelumnya, Allah lalu menyatakan bahwa Dia tidak dapat dicapai dalam bentuk apa pun oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menjangkau dan melihat dengan sejelas-jelasnya segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus sehingga tidak dapat dilihat oleh makhluk, lagi Mahateliti sehingga dapat melihat segala sesuatu.
Tuhan hanya bisa dilihat oleh penghuni surga, karena surga adalah tempat kenikmatan, yang mana kenikmatan yang sesungguhnya adalah bisa berjumpa dan melihat Allah SWT. Maka esensi inilah yang menjadi salah satu unsur kesamaan dengan Agama Islam.
Kemudian, tentang media beribadah. Dalam Islam kita mengenal beberapa tempat dan meyakini tempat tersebut menjadi tempat yang sakral dan suci bagi umat Islam. Seperti Ka’bah, Mekah, atau bahkan masjid. Nah artinya, Islam juga mempercayai bahwa ada tempat atau wilayah yang dianggap suci oleh umat Islam.
Untuk media berdoa, dalam Islam juga mengenal seperti tasbih, kitab suci, dan atribut keagamaan lainnya. Dan atribut itulah yang dianggap umat Islam sebagai media berdoa meminta kebaikan kepada ALlah SWT. Itulah yang menjadi salah satu kesamaan Kapitayan dengan agama Islam.
Apa bisa disebut dengan Islam ?
Mungkin sejak awal saya menjelaskan persamaan dari keduanya yang mungkin akan menggiring opini bahwa kepercayaan Kapitayan sama seperti agama Islam. Namun, ternyata tetap ada sebuah perbedaan yang menonjol. Seperti adat kebiasaan kepercayaan Kapitayan yang sedikit menyimpang dari norma agama Islam.
Kebiasaan yang menyimpang contohnya adalah penggunaan arak dalam beribadah, budaya-budaya yang masih menganut kebebasan dalam bergaul, dan budaya yang tidak memberi batasan yang jelas terhadap laki-laki dan perempuan bagaimana seharusnya mereka bersikap.
Nah, dalam agama Islam semua hal tersebut dilarang karena memang jika dikaji lebih lanjut, kegiatan dan budaya seperti itu akan mendatangkan keburukan di kemudian harinya. Artinya, Islam telah mengatur umatnya, atau penganutnya jauh lebih ketat dibanding kepercayaan Kapitayan.
Kemudian, mungkin Kapitayan dengan Islam memiliki cara pandang yang sama terhadap tuhan yang Esa. Namun hal tersebut tidak serta merta bisa dikatakan bahwa Kapitayan mempercayai tuhan yang sama dengan yang diimani oleh penganut agama Islam.
Refleksi budaya
Adanya Kapitayan sebagai kepercayaan di Jawa, membuktikan bahwa para nenek moyang telah mencoba berterima kasih kepada sang penciptanya. Namun, mereka yang terdahulu wajar jika memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan rasa syukurnya.
Justru dengan perbedaan cara ekspresi rasa syukur inilah yang menjadikan budaya kita semakin berwarna dan beragam. Seperti Hindu, Budha dan agama-agama lainnya sebelum datangnya Islam, merupakan kepercayaan leluhur yang sudah semestinya kita hormati keberadaannya.
Selain menghormati keberadaannya, kita juga perlu mengakui kontribusi budaya terdahulu yang bisa menciptakan Islam khas Indonesia. Tanpa menghilangkan norma budaya, juga tanpa melanggar norma agama. Bukankah ini perpaduan yang unik?
Kesimpulan
Kesimpulannya, Kapitayan maupun agama Islam sama-sama memiliki kepercayaan bahwa tuhan itu hanya satu. Keduanya hanya membuat tempat yang suci dan layak untuk ibadah guna berdoa dan meminta kebaikan kepada sang pencipta.
Namun, dari persamaan tersebut keduanya tidak bisa dikatakan sebagai agama yang sama atau satu agama. Kapitayan dan Islam memiliki perbedaan yang mendasar tentang aturan yang diberikan kepada penganut masing-masing kepercayaan.
Tetapi dari keduanya juga memiliki tujuan yang sama, yaitu rasa syukur kepada sang pencipta yang telah memberikan kehidupan yang baik kepada umat manusia. Dari keduanya kita belajar bahwa perbedaan bukan berarti ajang menciptakan permusuhan.
Perbedaan akan menjadi harmoni yang cantik jika membaur dengan baik tanpa harus menghilangkan sepenuhnya dari salah satu kepercayaan. Mungkin pandangan ini akan menjadi kontradiktif untuk sebagian golongan, tetapi saya pribadi sangat menghargai sebagai umat Islam yang masih melestarikan budaya leluhur terdahulu.
Tuhan
Itu Esa
Menurut
ahli tafsir Al-Biqa'i, Surat Al-Ikhlas mengandung penjelasan terkait Dzat Allah
SWT yang Maha Suci dan kewajaran bagi-Nya dalam menyandang semua sifat
sempurna, yang sehingga menghindarkan-Nya dari segala sifat kekurangan.
Dalam
buku Kedahsyatan Membaca Al-Qur'an susunan Amirulloh Syarbini & Sumantri
Jamhari, surat ini menjelaskan perihal tauhid syari'lah (mengesakan Allah SWT),
yang mengharuskan kaum muslim menggantungkan hidup serta mengharap apa pun
hanya kepada-Nya, bukan yang lain.
Makna
yang terkandung dalam surat ini tercermin dalam lafaz-lafat ayatnya yang
berjumlah empat.
Surat
Al-Ikhlas Ayat 1-4: Arab, Latin, dan Arti
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ - 1
Latin:
Qul huwallāhu aḥad(un)
Artinya:
Katakanlah (Nabi Muhammad), "Dialah Allah Yang Maha Esa.
اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ - 2
Latin:
Allāhuṣ-ṣamad(u)
Artinya: Allah tempat meminta segala sesuatu.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ - 3
Latin:
Lam yalid wa lam yūlad
Artinya:
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan
وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
- 4
Latin:
Wa lam yakul lahū kufuwan aḥad(un)
Artinya:
serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya."
Asbabun
Nuzul Surat Al-Ikhlas
Masih
dari Tafsir Al-Mishbah Jilid 15, jumhur ulama menyebut Surat Al-Ikhlas
tergolong Makkiyah karena turun sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrik
yang penasaran akan tuhan yang disembah Nabi SAW.
Mereka
mengira tuhan yang dipuja oleh Rasul SAW serupa dengan berhala mereka, padahal
tidak sama sekali. Ubay bin Ka'ab meriwayatkan, bahwa orang-orang musyrik
bertanya kepada Rasulullah SAW, "Hai Muhammad, apakah Tuhanmu ada hubungan
nasab dengan kami?" maka turunlah surat ini. (HR Ahmad)
Sebagian
ulama lagi berpandangan surat ini termasuk Madaniyah, sebab diwahyukan
berkenaan dengan pertanyaan orang Yahudi di Madinah, atau perihal datangnya
Amir bin Tufail & Arbad ibn Rabi'ah kepada Nabi SAW.
Menukil
Tafsir Tahlili Kementerian Agama (Kemenag) Jilid 10. Ad-Dahhak meriwayatkan
bahwa diutuslah Amir bin at-Thufail kepada Nabi SAW untuk menyampaikan pesan
mereka kepada beliau.
Amir
berkata, "Engkau telah memecah-belah keutuhan kami, memaki-maki
"tuhan" kami, dan mengubah agama nenek moyangmu. Jika engkau miskin
dan mau kaya, kami berikan engkau harta. Jika engkau gila, kami obati. Jika
engkau ingin wanita cantik, akan kami
kawinkan
engkau dengannya."
Rasulullah
SAW menjawab, "Aku tidak miskin, tidak gila, dan tidak ingin wanita. Aku
adalah rasul Allah yang mengajak kamu meninggalkan penyembahan berhala dan
mulai menyembah Allah Yang Maha Esa."
Kemudian
mereka mengutus utusan yang kedua dan bertanya kepada Nabi SAW,
"Terangkanlah kepada kami, seperti Tuhan yang engkau sembah itu. Apakah
Dia dari emas atau perak atau kayu?" Lalu Allah SWT menurunkan surat ini.
Keutamaan
Surat Al-Ikhlas
Dalam Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8 disebutkan sejumlah keutamaan yang dimiliki surat ini, di antaranya:
1. Setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Abu
Sa'id meriwayatkan bahwasanya ada seseorang mendengar orang lain membaca:
"Qul huwallaahu ahad" yang dia ulang berkali-kali. Setelah pagi hari
tiba, dia mendatangi Nabi SAW dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau. Dan
orang itu merasa masih terlalu sedikit membacanya, maka beliau bersabda:
"Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat itu
menyamai sepertiga al-Qur-an." (HR Bukhari, Abu Dawud & Nasa'i)
2. Allah SWT Senang terhadap Orang
yang Membacanya. Dari Aisyah diketahui Nabi SAW pernah mengutus seseorang dalam
suatu peperangan dan orang itu membacakan Al-Qur'an untuk para sahabatnya dalam
sholat berjamaah mereka. Lalu dia menutupnya dengan Surat Al-Ikhlas. Ketika
mereka kembali, mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau
berkata: "Tanyakan kepadanya, untuk apa dia melakukan hal tersebut."
Kemudian mereka pun bertanya kepadanya, lalu dia menjawab, "Karena ia
(Surat Al-Ikhlas) merupakan sifat ar-Rahmaan, sedang aku lebih suka
membacanya." Maka Nabi SAW bersabda: "Beritahukan kepadanya bahwa
Allah SWT menyukainya." (HR Bukhari, Muslim & Nasa'i)
3. Mengharuskan pembacanya agar masuk
surga. Ubaidillah bin Abdurrahman meriwayatkan dari Ubaid bin Hanin, ia
berkata: "Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata: 'Aku pernah pergi
bersama Nabi SAW, lalu beliau mendengar seseorang membaca: "Qul huwallaahu
ahad" maka Rasulullah SAW bersabda: 'Wajib baginya,' Kemudian kutanyakan,
'Apa yang wajib?' Beliau menjawab: 'Surga." (HR Malik, Tirmidzi &
Nasa'i)
4. Rutinitas Nabi SAW untuk membacanya
sebelum tidur. Aisyah meriwayatkan bahwa "Nabi SAW jika berbaring di
tempat tidur setiap malam, maka beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu
meniupnya seraya membaca pada keduanya: 'Qul Huwallaahu Ahad, Qul A'uudzu bi
Rabbil Falaq, dan Qul A'uudzu bi Rabbin Naas' dan kemudian beliau mengusapkan
kedua telapak tangan beliau itu ke bagian-bagian tubuh yang bisa beliau
jangkau. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan anggota tubuh bagian depan.
Rasulullah SAW melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. (HR Bukhari)
QS.
Al-Baqarah [2] : 163
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
Kementrian
Agama
Dan
Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
QS.
An-Nisa' [4] : 171
يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟
فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ ۚ إِنَّمَا ٱلْمَسِيحُ
عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلْقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرْيَمَ
وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ فَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ ۖ وَلَا تَقُولُوا۟ ثَلَٰثَةٌ
ۚ ٱنتَهُوا۟ خَيْرًا لَّكُمْ ۚ إِنَّمَا ٱللَّهُ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ سُبْحَٰنَهُۥٓ أَن
يَكُونَ لَهُۥ وَلَدٌ ۘ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ
بِٱللَّهِ وَكِيلًا
Kementrian
Agama
Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera
Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan:
"(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah
menjadi Pemelihara.
QS.
Al-Ma'idah [5] : 73
لَّقَدْ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّ
ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ
يَنتَهُوا۟ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Kementrian
Agama
Sesungguhnya
kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari
yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang
Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
QS.
Al-'An`am [6] : 19
قُلْ أَىُّ شَىْءٍ أَكْبَرُ شَهَٰدَةً
ۖ قُلِ ٱللَّهُ ۖ شَهِيدٌۢ بَيْنِى وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِىَ إِلَىَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانُ
لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَ ۚ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ ٱللَّهِ
ءَالِهَةً أُخْرَىٰ ۚ قُل لَّآ أَشْهَدُ ۚ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ وَإِنَّنِى
بَرِىٓءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
Kementrian
Agama
Katakanlah:
"Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini
diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu
mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah:
"Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah)".
QS.
Yusuf [12] : 39
يَٰصَىٰحِبَىِ ٱلسِّجْنِ ءَأَرْبَابٌ
مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ ٱللَّهُ ٱلْوَٰحِدُ ٱلْقَهَّارُ
Kementrian
Agama
Hai
kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
QS.
'Ibrahim [14] : 52
هَٰذَا بَلَٰغٌ لِّلنَّاسِ وَلِيُنذَرُوا۟
بِهِۦ وَلِيَعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
Kementrian
Agama
(Al
Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka
diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia
adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil
pelajaran.
QS.
An-Nahl [16] : 22
إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۚ فَٱلَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ بِٱلْءَاخِرَةِ قُلُوبُهُم مُّنكِرَةٌ وَهُم مُّسْتَكْبِرُونَ
Kementrian
Agama
Tuhan
kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada
akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri
adalah orang-orang yang sombong.
QS.
An-Nahl [16] : 51
۞ وَقَالَ ٱللَّهُ لَا تَتَّخِذُوٓا۟
إِلَٰهَيْنِ ٱثْنَيْنِ ۖ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَإِيَّٰىَ فَٱرْهَبُونِ
Kementrian
Agama
Allah
berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan
Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut".
QS.
Al-Kahf [18] : 110
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ
يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ
رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Kementrian
Agama
Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya".
QS.
Al-'Anbya' [21] : 108
قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ
إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ
Kementrian
Agama
Katakanlah:
"Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: "Bahwasanya Tuhanmu
adalah Tuhan Yang Esa. maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)".
QS.
Sad [38] : 65
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ مُنذِرٌ ۖ وَمَا
مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا ٱللَّهُ ٱلْوَٰحِدُ ٱلْقَهَّارُ
Kementrian
Agama
Katakanlah
(ya Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan, dan
sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.
QS.
Az-Zumar [39] : 4
لَّوْ أَرَادَ ٱللَّهُ أَن يَتَّخِذَ
وَلَدًا لَّٱصْطَفَىٰ مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ ۖ هُوَ ٱللَّهُ
ٱلْوَٰحِدُ ٱلْقَهَّارُ
Kementrian
Agama
Kalau
sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang
dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci
Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.
QS.
Fussilat [41] : 6
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ
يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ فَٱسْتَقِيمُوٓا۟ إِلَيْهِ
وَٱسْتَغْفِرُوهُ ۗ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ
Kementrian
Agama
Katakanlah:
"Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku
bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang
lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya,
Imajiner Nuswantoro