SERAT SIKSA KANDANG KARESIAN
SERAT SIKSA KANDA KARESIAN
Serat
Siksa Kanda Karesian, isinya tentang ajaran etika pada pemerintahan Prabu
Siliwangi. Nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah ini adalah nilai Pitutur
(nasehat) yang harus dipahami baik ayah, ibu, anak maupun anggota keluarga
lainnya yang dapat menunjang pem- bangunan, baik fisik maupun spiritual.
Sanghyang Siksa Kandang Karesian
Sanghyang
Siksa Kandang Karesian biasa disingkat SSKK) merupakan naskah didaktik
berbahasa Sunda Kuno berbentuk prosa, yang memberikan aturan, tuntunan serta
ajaran agama dan moralitas kepada masyarakat umum yang ditulis oleh kalangan
agamawan (karesian). Teksnya terdapat dalam dua naskah yang disimpan di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta yaitu pada nomor koleksi L
630 dan L 624. Pada tahun 2022, naskah ini telah teregistrasi sebagai Ingatan
Kolektif Nasional (IKON) oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Naskah
Naskah
Sanghyang Siksa Kandang Karesian L 630 Koleksi Perpusnas, Jakarta
Naskah
L 630 disimpan dalam peti (laci kabinet) nomor 16, terdiri dari 30 lembar daun
gebang, ditulis dengan tinta hitam menggunakan aksara Buda model Jawa Barat.
Naskah ini bertanggal nora catur sagara wulan (0-4-4-1), yaitu tahun 1440 Saka
atau 1518 Masehi. Sejauh ini, naskah L 630 merupakan naskah Sunda Kuno tertua
yang mencantumkan tahun penulisannya. Naskah 630 merupakan bagian dari koleksi
yang diberikan oleh Raden Saleh untuk BGKW, sekarang disimpan di Perpustakaan
Nasional RI. Tidak ada keterangan pasti darimana Raden Saleh mendapatkan naskah
ini, namun K.F. Holle menduga naskah ini mungkin berasal dari Galuh di Priangan
Timur. Naskah ini pertama kali diungkapkan oleh K.F. Holle dalam sebuah artikel
berujudul "Lontar Handschriften afkomstig uit Soenda-landen" yang
terbit dalam jurnal Tijdschrift voor Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) edisi
XVI. Ia mengdentifikasinya sebagai MSB (Manuschript Soenda B) dengan kesimpulan
bahwa penulis MSB berbeda dengan MSA (belakangan diketahui sebagai naskah
Amanat Galunggung[6]); memiliki nilai yang sangat tinggi, karena di dalamnya
termuat ajaran mengenai kehidupan rumah-tangga yang harus ditaati oleh segenap
golongan masyarakat Sunda jaman dahulu; dalam abad ke-16, di daerah Sunda masih
berlangsung penulisan naskah-naskah HinduÃstis. Sejak publikasi tulisan itu
naskah ini telah menarik minat para peneliti lainnya. Edisi lengkapnya yang
disertai terjemahan, pengantar, komentar dan glosari ditulis dalam kertas
stensil pertama kali diumumkan oleh Atja dan Danasasmita (1981). Kemduian,
diterbitkan kembali dalam bentuk buku oleh Danasasmita dkk. tahun 1985 dan
1987.
Naskah
lainnya, yaitu L 624 dalam peti kabinet nomor 69 didapatkan dari pemberian
Bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1874) kepada BGKW sekitar paruh kedua
abad ke-19. Berbeda dengan L 630, naskah L 624 ditulis pada daun lontar
berukuran 36,2 x 3,2 cm. Jumlah lempirnya 20 (40 halaman) yang ditulis
rekto-verso (depan-belakang) dan mengandung empat baris tulisan pada setiap
halamannya. Sebagian lempiran lontar dari naskah ini tampaknya tercecer di
kropak lain, yaitu dalam kode 1** dalam peti 88 bersama naskah lontar beraksara
Bali dan aksara Buda model Merapi-Merbabu. Naskah ini menggunakan bahasa dan
aksara Sunda kuno, tanpa tahun penulisan, tetapi ada keterangan bahwa naskah
ini ditulis di Nusakrata.
Judul
Penyebutan judul teks ini dikemukakan pertama kali oleh Atja & Danasasmita tahun 1981 dalam penelitiannya terhadap naskah L 630. Mereka memberikan judul Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Kemudian dalam edisi tahun 1985dan 1987 judulnya disebutkan sebagai Sanghyang Siksakandang Karesian. Dalam pengantar suntingan naskah 630 tahun 1987 (hlm. 5) dijelaskan mengenai perubahan judul "siksakandang" yang sebelumnya disebut "siksakanda ng" (ng dipisahkan) oleh Atja & Danasasmita (1981) tidak mengakibatkan pergeseran atau perubahan arti. Penggabungan tersebut selain untuk kepraktisan penulisan dan pembacaan, juga mengambil analogi dengan kata-kata lain seperti; rahyangtang, ikang, tegang, dan tang yang ng-nya digabungkan kepada kata induknya. Penyebutan kedua judul demikian tampaknya tetap digunakan dalam penelitian-penelitian berikutnya yang merujuk pada naskah ini.
Pertimbangan
pemilihan bentuk lain terhadap judul ini adalah kata "siksa" dan
"kandang" yang dipisahkan, seperti yang dikemukakan oleh Aditia
Gunawan berdasarkan keterangan dalam naskah Sanghyang Sasana Maha Guru. Hal
demikian mengacu pada adanya tiga konsep siksa (ajaran) dalam teks Sunda Kuno,
yaitu siksa kandang, siksa kurung, dan siksa dapur. Siksa kandang, secara
harfiah berarti ajaran kandang, adalah ajaran yang menyangkut etika dan moral
bagi masyarakat umum. Siksa kurung (kurung lebih kecil dari kandang), merupakan
aturan etika bagi kalangan agamawan. Terakhir, siksa dapur, secara harfiah
berarti ajaran akar, merupakan ajaran pokok bagi agamawan yang telah mencapai
level tertinggi. Isinya berupa ajaran-ajaran metafisika dan eskatologis.
Berdasarkan itulah Ilham Nurwansah yang mengkaji naskah lontar L 624 menyebut
naskah ini dengan judul Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Judul ini pula yang
digunakan oleh Aditia Gunawan & Arlo Grifiths dalam artikelnya.
Isi Teks
Naskah
ini ditulis dalam bentuk prosa didaktis, yang mengandung kutipan berbahasa
Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian kita masih melihat hubungan
Sunda dengan Jawa di satu sisi, juga dengan India di sisi lain yang masih
terjaga pada awal abad ke-16. Kutipan berbahasa Sansekerta tersebut ditulis
dalam bentuk puisi yang bermakna mendalam :
tataka
carita haṅsa, gajendra carita banəm |
matsyanəm
carita sagarəm, puspanəm carita baṅbarəm ||
‘Telaga
dikisahkan angsa, hutan dikisahkan gajah; laut dikisahkan ikan, bunga
dikisahkan lebah.’
Kutipan
puisi ini menjadi pengantar bagi pengarang untuk menjelaskan aspek ensiklopedis
dari kitab ini. Hewan-hewan yang disebut merupakan alegori terhadap manusia
dalam berbagai profesi, sementara alam tempat ia tinggal diibaratkan dengan
bidang profesi yang dikuasai oleh para professional tersebut. Sifat dan gaya
Bahasa ini dengan demikian menunjukkan ciri yang khas dalam karya ini. Karya
ini juga diproduksi oleh kalangan rəsi atau agamawan, Meski demikian,
aturan-aturannya ditujukan bukan kepada kalangan agamawan tetapi kepada
masyarakat umum. Dengan begitu kita bisa melihat peran agamawan di dalam
kehidupan sekuler. Karya ini juga mencerminkan praktek sosial masyarakat yang
sangat luas, bukan hanya kelompok elit dan bangsawan saja.
Teks
terbagi kedalam 24 Bab, masing-masing Bab mencerminkan diskusi tematik.
Bab
1: Sepuluh Keberhasilan.
Bab
2: Sepuluh Pengabdian.
Bab
3: Lima Seri
Bab
4: Perilaku Rakyat (karmaniá¹… hulun)
Bab
5: Aturan Hubungan Lelaki dan Perempuan
Bab
6: Menikmati Pekerjaan
Bab
7: Aturan Perjalanan
Bab
8: Teladan
Bab
9: Pujian dan Hinaan
Bab
10: Pelengkap Prilaku
Bab
11: Perintah Darma Pitutur (Ensiklopedia)
Bab
12: Ketentuan Tuhan
Bab
13: Empat Raksasa
Bab
14: Tiga Kesadaran
Bab
15: Dharma yang Utama & Moksa
Bab16:
Analogi Air
Bab
17: Tiga Benang Merah Keberlangsungan
Bab18:
Jenis-Jenis Makhluk Hidup
Bab19:
Enam Kegunaan Manusia
Bab
20: Keinginan Manusia
Bab
21: Kepemilikan dan Warisan
Bab
22: Mengambil Perempuan sebagai Pelayan
Bab
23: Perjodohan
Bab
24: Penutup
Sumber
Referensi :
·
Nurwansah, Ilham. Siksa Kandang Karesian: Teks dan
Terjemahan_Ilham Nurwansah (dalam bahasa Inggris).
·
Atep Kurnia, Aditia Gunawan (2019). Tata Pustaka:
Sebuah Pengantar terhadap Tradisi Tulis Sunda Kuna. Jakarta: Perpustakaan
Nasional RI & Manassa.
·
"Perpustakaan Nasional Republik Indonesia".
www.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2020-06-14.
·
Gunawan, Aditia; Griffiths, Arlo (2019-07-18).
"The Oldest Dated Sundanese Manuscript: An Encyclopedia from West Java,
Indonesia".
·
Aca; Danasasmita, Saleh, ed. (1981). Sanghyang
Siksakanda ng Karesian: naskah Sunda kuno tahun 1518 Masehi. Bandung
[Indonesia]: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
·
Danasasmita, Saleh; Museum Nasional (Indonesia);
Indonesia; Bagian Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanology)
(1987). Sewaka darma (Kropak 408) ; Sanghyang siksakandang karesian (Kropak
630) ; Amanat Galunggung (Kropak 632): transkripsi dan terjemahan (dalam bahasa
Indonesian). Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda
(Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. OCLC 19224859.
·
Danasasmita, Saleh (1985). Kropak (Sewaka Darma) dan
Kropak 630 ( Sanghyang siksakandang karesian): Transkripsi dan terjemahan.
Indonesia, Departemen Pendidikan dan kebudayaan; Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Berikut
naskah serat Kandang Karesian berbagai versi (pdf) :