AL KISAH Sureq Galigo
Sureq
Galigo, I La Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah
epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian
dari Republik Indonesia) yang ditulis oleh Colliq Pujie pada abad ke-19 dalam
bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam aksara Lontara Bugis kuno. Puisi
ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul
manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.
Epik
ini berkembang dalam masyarakat Bugis sebagai tradisi lisan dan masih
dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi
tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana
versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau
perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun
bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris
teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.
Latar belakang dan usaha pelestarian
Epik
ini berisi cerita yang berlatar belakang kerajaan Luwu pada abad ke-15.[4]:32
Namun isinya sendiri mencerminkan ciri-ciri penulisan pada abad kemudian,
misalnya dengan adanya penyebutan istilah Peringgi (Frank atau orang Eropa),
yang merupakan penyebutan orang Portugis dalam bahasa Bugis.[4]:26 Isinya
sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis. Epik ini
mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga
perantau.
La
Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan
peristiwa-peristiwa luar biasa. Dari perbandingan hasil ekskavasi arkeologis,
laporan-laporan historis, perbandingan perlengkapan berhias dan barang-barang
lain, naskah La Galigo mencerminkan kebudayaan Bugis abad ke-19.[4]:33
Versi
bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.
Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya
sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian
manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa,
terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan
di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi
pemilik lain.[butuh rujukan]
Hikayat
La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah
diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara
asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak
tahun 2004.
Isi hikayat La Galigo
Epik
ini dimulai dengan kisah penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk
kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu
musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari
alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La
Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La
Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru
ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja
di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang
wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara
Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara
Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La
Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan
bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama.
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih
mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun
meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalanannya
ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk tokoh
pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah
dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga
Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah),
Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan
Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut
Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya
selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian,
orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir
dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal
dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi
raja.
Anak
lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu
yang dinobatkan di Luwu'.
Isi
epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai di mana kapal-kapal besar
boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat
pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan
dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah
membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah
selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti
golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah
melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau
sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading
digambarkan sebagai model mereka.[butuh rujukan]
La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama
Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan
bahwa kawasan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu
Luwu'.
Sawerigading
dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau
mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang
digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat
mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi.
Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau
iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan
dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila,
seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam
Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila
kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara
Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading
adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua.
Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh
anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu
menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi
daratan.
Kisah
lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam
adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau
Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka
Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo
meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja
Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di
Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus
tamadun dan inovasi.[butuh rujukan]
La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu
Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, di mana mengikut
lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang
menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi
kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba
dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di
Lasalimu.
Di
Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan
Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu
Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading.
Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari
Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini
mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang
menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada
kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah
anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola
Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara
nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan
nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya
Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah
Wolio (La Galigo: Setia Bonga).[butuh rujukan]
La Galigo di Gorontalo
Legenda
Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan
beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade,
putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup
berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan
melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade
mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi.
Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang
beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu.
Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang
menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari
seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah
berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat
juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe.
Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu,
pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya
menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu'. Rawe
kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.[butuh rujukan]
La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah
Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di
Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke
Malaysia. Terdapat juga unsur Melayu dan Arab diserap sama.[butuh rujukan]
Pada
abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh
'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini kemungkinan
adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', di mana nama
sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan ia berniat untuk menyerang Melaka, Banda
dan Manggarai.[butuh rujukan]
Perhubungan
yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Gowa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya.
Dalam perjuangan ini,Gowa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo. Pada tahun
berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta'
Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar
bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor
di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis
menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki,
sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La
Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin
bajak laut oleh Belanda.[butuh rujukan]
Keturunan
Opu Tenriburong memainkan peranan penting di mana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor
dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan
yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Marewah menjadi Yang Dipertuan
Muda Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor
dan juga ayanhanda dari Opu Daeng Kemboja (Yang Dipertuan Muda Riau ke-3), Opu
Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah
dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).[butuh rujukan]
Pada
abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita
seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan
dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Balqis/Ratu
Syeba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang
terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu
Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'.
Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge'
kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.[butuh
rujukan]
La Galigo dalam seni pentas
La
Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson
setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan
sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam
bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara
tetapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita
dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan
sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel
panggung. Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun
sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah
setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Untuk
menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya
ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen
lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang
dimainkan oleh 12 musisi. Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53
pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan
sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional
bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis,
Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
(Sumber : Wikipedai)
SEJARAH LA GALIGO (Versi laporan wartawan TEMPO Yusi A)
La
Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang zaman. Epos yang
panjangnya melebihi Mahabharata ini berisi kisah di abad lalu, yang sempat
menjadi kepercayaan di antara masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sayangnya,
gerakan pemurnian ajaran agama, prasangka dan pula modernisasi telah bersekutu
menggempur “kesaktian” warisan budaya ini. Akibatnya, karya sastra ini kini
hanya dikenal di kalangan akademisi. Padahal, La Galigo memiliki kekuatan yang
mengejutkan. Sebuah hajat besar bulan Maret lalu digelar di Kabupaten Barru
untuk menghidupkan kembali roh Sureq Galigo. Ikuti laporan wartawan TEMPO Yusi
A. Pareanom langsung dari Bumi Celebes untuk menjejaki keajaiban Sawerigading.
Potoh Colliq Pujie penyalin 12 Naskah Lagaligo
Dalam
Kisah La Galigo penulis ungkapan, pada abad ke-15, dunia telah mengenal La
Galigo. Bahkan 300 ribu larik epik itu konon sudah lahir ketika abad Masehi
baru mencium bumi. Sungguh tua, sungguh panjang usia kisah yang pernah menjadi
bagian dalam kehidupan suku Bugis ini. Inilah epos yang konon terpanjang di
seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk ketimbang
epos
agung Mahabharata, yang terdiri dari 150 ribu-200 ribu baris, atau Iliad dan
Odyssey yang “hanya” terdiri dari 16 ribu baris. Karena itulah, bulan Maret
silam, puluhan peneliti dan pakar internasional bertemu di Barru, Sulawesi
Selatan, untuk mendiskusikan karya sastra mahapanjang yang istimewa ini.
Di
Barru, tempat waktu berjalan merayap, Sureq Galigo diperkenalkan kembali pada
publik. Istilah pengenalan kembali memang ironis. Sureq Galigo yang usianya
sudah berabad-abad itu di masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan rakyat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Namun, fakta di
lapangan, karya sastra ini sudah mulai dilupakan.
Maka,
selama Festival La Galigo itu, Desa Pancana sejenak berubah wajah. Desa yang
terletak di pinggir pantai Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, yang biasa
disiram aroma amis ikan laut, pada Maret silam dikunjungi ribuan orang dari
berbagai kawasan yang memenuhi lorong-lorong kampung. Jalan masuk yang membelah
tambak di desa itu malah macet gara-gara banyaknya mobil yang parkir. Hiburan
macam ini memang jarang ditemui.
Tapi
tidak semuanya senang dengan hiruk-pikuk ini. Hajjah Siti Ara, 42 tahun,
pedagang obat di Pasar Sentral Barru, terang-terangan mengaku kecewa. Ia datang
ke festival dengan harapan bisa menyimak Masureq, pembacaan La Galigo atau
Sureq Galigo (penamaan ini untuk membedakan dengan nama tokoh I La Galigo) yang
khidmat da menghanyutkan. Harapannya meleset karena situasi festival mirip
pasar malam yang sesak dengan pedagang. Siti, yang semasa sekolah menengah
pernah main drama dengan tema La Galigo, juga menyesalkan banyaknya atraksi
kesenian yang tak ada hubungan dengan tema festival.
Jadi,
apa sesungguhnya yang membuat La Galigo begitu istimewa ? Dan, bagaimana karya
itu bisa sedemikian Panjang ? Ia membentangkan dongeng tentang tujuh generasi.
Ini berbeda dengan cerita rakyat dari daerah lain di Indonesia, yang umumnya
berbentuk banjaran (kisah satu tokoh dari lahir sampai meninggal). Cerita
kolosal ini juga terlihat dengan 1.000 tokoh penting yang menghuni
episode-episodenya. Christian Pelras, ilmuwan asal Prancis, sempat membuat 672
kartu nama tokoh-tokoh Sureq Galigo.
Tentu,
bukan ini saja yang menjadikan Galigo unik. Campbell Macknight, guru besar
emeritus antropologi di Universitas Nasional Australia di Canberra, menyebut
Galigo adalah pencapaian kultural yang signifikan. Faktanya, materi teks Galigo
paling banyak dielaborasi dalam pelbagai versi dalam bahasa Bugis.
La
Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama
dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan
Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh masyarakat
Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo
yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno), sastra, metrum (guru
lagu dan guru wilangan), dan alur. Misalnya, satu bait pasti terdiri dari lima
baris dan nama tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata: Sawerigading, I La
Galigo, I We Cudaiq, dan seterusnya.
Galigo
diperkirakan lahir pada abad-abad awal Masehi. Sampai abad ke-15, penyebarannya
masih lisan, dengan bahasa yang masuk rumpun Austronesia (yang digunakan hingga
Kepulauan Fiji). Bukti yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial
yang digunakan etnik-etnik Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga
baru dimulai pada abad ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah
mengembara ke negara-negara jauh, terutama Belanda. Yang masuk sampai ke
perpustakaan negara Amerika Serikat di Washington, DC, pada abad ke-19 adalah
buah tangan Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal
di Singapura.
Struktur
Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat
kosmologiyang menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Bagian kedua
yang menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam
kehidupan sosial Bugis. Menurut Fachruddin Ambo Enre, guru besar sastra di Universitas
Negeri Makassar, bagian yang menceritakan manusia pertama alias nenek moyang
raja-raja Bugis, terutama orang Luwu, dianggap sakral. Naskah ini tidak boleh
dibaca sembarangan. Bahkan judul sureq ini sengaja menggunakan nama Galigo,
bukannya Sawerigading. Padahal Sawerigading adalah peran utama. Namun, alasan
tak menggunakan nama Sawerigading sebagai judul karena nama itu tak boleh
diucapkan sembarangan.
Bagian
penciptaan alam semesta malah didudukkan lebih wingit lagi sehingga betul-betul
dirahasiakan untuk kalangan terbatas. Tak semua bangsawan Bugis yang masih
menyimpan naskah periode ini sudi membagi pengetahuannya pada orang lain.
Colliq Pujié Arung Pancana Toa, perempuan bangsawan Bugis yang menghimpun kisah
Galigo untuk peneliti Belanda Dr. B.F. Mathhes pada 1852, misalnya, memulai
penulisan lontaraq dengan adegan musyawarah para dewa untuk menurunkan Batara
Guru sebagai cikal bakal manusia di bumi.
Alhasil,
siklus kisah Galigo sebelum manusia lahir–yang dianggap sebagai periode
“keramat”–masih diketahui sekelumit belaka. Salah satunya adalah naskah Mula
rilingé Sangiang Serrà (Mulai Diciptakannya Sangiang SerrÃ). Naskah ini
diperoleh Christian Pelras, peneliti dari Prancis, dari seorang bangsawan
Bugis. Naskah ini bercerita tentang Wé Oddang Nriwú, anak bungsu pasangan Dewa
Langit Datu Patotoe dan Datu Palinge. Wé Oddang, adik Batara Guru, dikisahkan
memiliki kecantikan yang sanggup membuat para lelaki yang melihatnya gila
(kecantikan perempuan macam ini sepertinya mirip Remedios The Beauty, tokoh dalam
novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez). Agar
tidak menimbulkan malapetaka di mana-mana, Wé Oddang akhirnya diubah bentuknya
menjadi tanaman padi dengan nama baru Sangiang SerrÃ. Dengan begini, ia tetap
dicintai banyak orang dan sekaligus tak mengundang marabahaya. Cerita Sangiang
Serrà inilah yang melahirkan tradisi upacara persembahan para petani sebelum
memulai musim tanam.
Bagian
utama dari La Galigo tak lain adalah kehidupan Sawerigading. Cerita cucu Batara
Guru ini sedemikian memikat, sehingga rakyat Sulawesi Selatan menganggap sosok
ini nyata. Artinya, Galigo diperlakukan sebagai sumber sejarah untuk periode
zaman tembaga-besi akhir (prasejarah). Bisakah? Ian Caldwell, dosen sejarah di
Universitas Hull, Inggris, yang melakukan penelitian arkeologis sealama tiga
tahun di Luwu dan sekitarnya, menampiknya. Alasannya, anakronisme (penempatan
kejadian pada waktu yang salah) yang bertaburan di dalam naskah La Galigo.
Misalnya, gambaran Kerajaan Luwu dan Cina raja adalah cerminan keadaan politik
dan demografis pada abad ke-15 sampai 17. Padahal, dari pemakaian bahasa Galigo
yang arkaik (tidak lazim dipakai), terlihat bahwa Galigo lahir pada masa yang
jauh lebih kuno.
Kisah
pengembaraan Sawerigading dengan kapal La Welérénngé ke pelbagai negeri jauh,
bila dilihat dengan kacamata ilmu pelayaran yang sebenarnya, terlihat ganjil.
Waktu tempuh untuk daerah yang secara geografis sangat dekat bisa memakan waktu
berbulan-bulan, sedangkan untuk daerah yang lebih jauh malah ditempuh dengan
waktu singkat saja. Karena itu, Horst H. Liebner, ilmuwan asal Jerman yang
bertahun-tahun mempelajari seluk-beluk perahu tradisional Sulawesi Selatan,
menilai bahwa perjalanan Sawerigading adalah perjalanan mimpi. Alhasil,
toponomi sebagian Nusantara menurut Galigo—dengan Luwu sebagai “pusat
dunia”–menurut Liebner tak lebih dari upaya mengagung-agungkan kejayaan Bugis
tanpa melihat kenyataan dunia riil. “Kaum ningrat Bugis masa itu ingin
dielu-elukan sebagai penguasa jagat raya,” kata Liebner.
Menilik
bertaburnya “kesembronoan” data tersebut, diduga perawi Galigo adalah para
perempuan bangsawan Bugis yang tak akrab dengan dunia pelayaran ataupun
geografi. Indikasi yang menunjukkan identitas pengarang adalah penggambaran
pernik upacara serta aktivitas bissu yang demikian detail. Hal ini lebih banyak
diketahui golongan wanita ningrat.
Genangan
fantasi dalam Galigo memang jadi mencemaskan bila naskah tersebut dipakai
sebagai rujukan sejarah. Di sisi lain, hal ini dinilai Nirwan Ahmad Arsuka,
kurator Bentara Budaya, justru menunjukkan kekuatan sastra Galigo. Ia memuji
daya imajinasi para pengarangnya. Namun yang paling memikat hati Nirwan dari
Galigo adalah petingkah tokoh-tokoh utamanya. Ia menilai Galigo berlari jauh
melampau zamannya. “Penggambaran yang begitu transparan sangat dekat dengan
kecenderungan sastra mutakhir dunia yang sudah melampaui romantisme dan siap
berdamai dengan sosok-sosok anti-hero,” kata Nirwan yang berdarah Bugis ini.
Uraian
kecerdasan para perawi Galigo bisa lebih panjang lagi dituliskan. Namun hal ini
tak akan bisa menutupi fakta bahwa sureq ini kini kian pudar pesonanya. Banyak
faktor yang membuat Galigo surut. Gempuran awal pada Galigo dimulai ketika
Islam masuk ke Sulawesi pada abad ke-14. Awalnya, masih terjadi sinkretisme yang
memberi ruang hidup ajaran Galigo. Misalnya, para dewata dalam epos ini
digolongkan kelompok jin yang baik, sementara Sangiang Serrà tidak lagi disebut
dewi padi tapi jiwa padi. Namun, sejak akhir abad ke-18, di Sulawesi Selatan
mulai berkembang ajaran yang menginginkan ajaran agama Islam dilaksanakan
secara murni. Puncaknya adalah periode 1950-1965, masa ketika Darul Islam
memberontak. Bissu, sebagai salah satu pewaris utama ajaran Galigo, menjadi
korban yang paling mengenaskan. Bissu yang tersisa juga tak bisa berkiprah
lebih banyak karena pamor bangsawan Bugis yang jadi pengayom mereka juga ikut
redup. Faktor lain yang menenggelamkan kesaktian Galigo adalah modernisasi.
Epos yang dulu memiliki fungsi menghibur jadi tak laku bila dibandingkan dengan
acara televisi. Para petani pun lebih percaya pada pupuk dan benih unggul
ketimbang memberi sesajian pada Sangiang SerrÃ.
Namun
Fachruddin melihat nasib buruk ini tidak dialami Galigo saja, tetapi juga karya
sastra tradisional lainnya di Sulawesi Selatan. Ia melihat generasi yang lebih
muda tak tertarik karena orang tua mereka sudah tak menaruh perhatian.
Perkecualian tentu ada. Maqbul Halim, 29 tahun, penggiat sebuah lembaga swadaya
masyarakat di bidang media massa yang tinggal di Makassar, mengaku masih membaca
La Galigo. “Sewaktu kecil, di kampung saya di Wajo, dari orang tua dan
kakek-nenek saya, saya sering mendengar penggalan cerita tentang kehidupan
jawara atau jagoan bangsawan Bugis yang ternyata adalah bagian dari Galigo.”
Pemuda ini terlihat fasih berbicara tentang naskah ini. Tapi orang seperti
Maqbul sangat sedikit.
Upaya
untuk mengembalikan Galigo pada publiknya sebetulnya sudah dimulai cukup lama
oleh kalangan akademisi. Namun jalannya sampai saat ini masih tersaruk.
Fachruddin mencontohkan beratnya langkah penerbitan 12 jilid naskah Galigo
(yang pekerjaan transliterasi dan penerjemahannya dalam bahasa Indonesia sudah
dirampungkan Muhammad Salim dalam kurun waktu 5 tahun 3 bulan). “Yang siap
memberikan suntikan dana justru pemerintah Belanda, ironis, padahal untuk dua
jilid hanya butuh sekitar Rp 100 juta,” kata Fachruddin.
Dalam
seminar di Barru, banyak usul untuk menghidupkan kembali La Galigo secara
populer: pembuatan sinetron, komik, ataupun penulisan ulang dalam bentuk novel.
Yang sudah dimulai–sekalipun baru tahap praproduksi–adalah pembuatan film La
Galigo. Penggagasnya adalah koreografer dan penari Restu Iman Sari dan
sutradara pemenang Emmy Award asal Amerika Serikat, Rhoda Grauer. Awalnya, duet
ini berniat membuat film dokumenter tentang perahu tradisional Bugis. Ternyata
mereka malah “tersesat’ membikin film tentang bissu. Dari produksi ini, mereka
mengenal epos Galigo dan tak punya pilihan lain kecuali terpikat. “Sulit
dipercaya ada hal sepenting Galigo di bumi ini yang tidak dikenal secara global,”
kata Grauer.
Pertanda
baik dari kerja Restu dan Grauer–yang kini senang dipanggil dengan nama
Makkarodda (seperti salah satu tokoh dalam Galigo)– adalah kesediaan Robert
Wilson menjadi sutradara pementasan La Galigo. Wilson adalah sutradara panggung
yang sangat terkemuka di Amerika. Salah satu kerjanya yang paling kondang
adalah Einstein on the Beach (1976), yang disebut-sebut sebagai pendekatan yang
sepenuhnya baru untuk teater musikal. Film yang dijadwalkan kelar tahun 2004
kelak diharapkan bisa membuka mata banyak pihak. Sesungguhnya, keindahan La
Galigo memang bukan cuma warisan untuk suku Bugis.
Sumber Referensi : Yusi Avianto Pareanom dan Syarief Amir
(Barru), Sumber: Tempo No. 06/XXXI/8 – 14 April 2002
La
Bolong Kuruq sumangeq anriq ponratuLe muaseng gi belo jajareng maroeqePalaguna
le goarieTekkuturusi rajung-rajummuPesewalimmu mutia simpeng masagalaeAla rini
le upatudang mulu jajareng ri laimmuTenna io mi anriq ponratuMulu jajareng ri
sao denra manurungngeSining anukku, anummu maneng anriMugiling paleppangiaq
rupa mabboja
Arti
dalam IndonesiaKur semangat adindaTahukah engkau duhai hiasan balairungku yang
ramaiBulan purnama penghias bilikkuKupenuhi seluruh keinginannmuTak ada lain
yang duduk di balairungku selain engkauEngkaulah satu-satunya
andindaPermaisuriku di istana agung manurungSegala milikki milikmu jua
adindaBerpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
Andhini
Prabawati Pertama kali kami mendengar epos La Galigo karena ada seseorang yang
menyarankan untuk menampilkan epos tersebut pada pementasan budaya nusantara di
Politeknik Telkom untuk pertama kalinya. Jujur saja, pada awalnya kami sendiri
pun tidak tahu menahu tentang epos tersebut. Setelah mencari tahu, kami pun
menemukan kenyataan bahwa memang epos tersebut tidak terlalu dikenal di
negaranya sendiri, Indonesia. Epos tersebut justru lebih terkenal di luar
negeri! Ironis, ya! Namun, kami rasa belum terlambat. Daripada tidak sama
sekali, maka kami pun memutuskan untuk menuliskan sedikit mengenai sejarah epos
La Galigo melalui sumber-sumber yang kami dapatkan. Dengar-dengar epos La
Galigo pun sedang diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai Memory of
The World (MOW) atau ingatan kolektif manusia berupa warisan dokumenter yang
secara sah dapat menjadi bukti sejarah manusia. Semoga saja terlaksana. Dan
semoga saja melalui ini bisa membuat para pembaca semua mengetahui (walaupun
sedikit) mengenai epos La Galigo.
(Sebagian kecil naskah La Galigo)
Sejarah
La Galigo Epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La Galigo merupakan
karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia. La Galigo adalah hasil karya
sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian
berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini menceritakan
tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit bernama
La Patiganna. Disebutkan pula bahwa epos ini bercerita tentang Sawerigading,
seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani. La Galigo sebenarnya tidak
tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos-mitos.
Namun, epos La Galigo tetap dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai
kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. La Galigo telah dipentaskan di beberapa negara
Eropa. Pada tahun 2004, La Galigo dipentaskan di Belanda, Perancis, dan
Amerika. Pementasan tersebut mendapatkan respon yang sangat positif dari
berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, koran The New York Times yang biasanya
sangat kritis memberikan komentar yang positif. Pementasan La Galigo tersebut
terlaksana di bawah bimbingan Robert Wilson, yang sayangnya seorang seniman
teater dari Amerika Serikat dan bukan dari negeri sendiri. Sehingga pada
akhirnya cerita diadaptasi dan merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan
dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makassar. Informasi mengenai salinan
naskah-naskah La Galigo sebagian besar terdapat di perpustakaan Leiden,
Belanda. Naskah lainnya juga terdapat di Jakarta, yakni di perpustakaan
Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang
memiliki 15 buah naskah Bugis. Kandungan La Galigo Epos bermula dengan
penciptaan dunia. Ketika dunia masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan),
raja langit, La Patiganna, mengadakan musyawarah keluarga dari beberapa
kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib. Musyawarah tersebut
menghasilkan keputusan berupa pelantikan anak lelaki raja langit yang tertua,
La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (bumi) dan memakai gelar Batara Guru.
Sebelum turun ke bumi, ia harus melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam.
Tidak lama sesudah ujian tersebut, Batara Guru kemudian turun ke bumi, di
Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini menjadi Luwu Timur dan terletak di Teluk
Bone. Di kemudian hari, La Toge’ langi’ menikahi sepupunya We Nyili’timo’, anak
dari Guru ri Selleng, raja alam gaib. Batara Guru kemudian digantikan oleh
anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. La Tiuleng sendiri lalu
mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe atau Sawerigading dan seorang
anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar tersebut tidak
dibesarkan bersama-sama sehingga pada suatu saat Sawerigading ingin menikahi We
Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa mereka masih bersaudara. Ketika ia
mengetahui hal tersebut, ia lantas meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan
kembali lagi. Sawerigading lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan
Tiongkok. Selama perjalanan ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk
pemerintah Jawa Wolio yakni Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas
menikahi putri Tiongkok bernama We Cudai. Sawerigading sendiri digambarkan
sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. Ia pernah mengunjungi berbagai macam
tempat, seperti Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa),
Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra
Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga Sunda Timur dan Sunda Barat) serta Melaka. Ia
pun dikisahkan pernah mengunjungi surga dan alam gaib. Sawerigading sendiri
dikisahkan merupakan ayah dari La Galigo yang kemudian bergelar Datunna
Kelling. La Galigo juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, perantau,
dan pahlawan yang hebat. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari
berbagai negara. Namun, seperti ayahnya pula, La Galigo dikisahkan tidak pernah
menjadi raja. Anak lelaki La Galigo yang bernama La Tenritatta’ lah yang
dikisahkan terakhir dinobatkan menjadi raja di Luwu’.
Isi
epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai,
tempat kapal-kapal besar boleh berlabuh. Pusat pemerintahan pun yang terdiri
dari istana dan rumah-rumah bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai.
Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai
tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang asing disambut baik di kerajaan Bugis. Para pedagang tersebut baru
boleh berniaga setelah membayar cukai kepada pemerintah. Perniagaan ketika itu
menggunakan sistem barter. Ketika itu, laut menjadi media yang sangat penting
untuk saling berhubungan antar kerajaan. Golongan muda bangsawan di Bugis
ketika itu pun dianjurkan untuk merantau sejauh mungkin sebelum mereka diberi
tanggung jawab yang besar.
Latar belakang dan usaha pelestarian
Ada
dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik
Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis
dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang
pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La
Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan
peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan
gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Versi
bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.
[3] Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya.
Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia.
[1] Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di
Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en
Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang
tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan
pribadi pemilik lain.
Hikayat
La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah
diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo olehRobert Wilson, sutradara
asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak
tahun 2004.
Isi hikayat La Galigo
Epik
ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada
Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah
keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib
dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’
langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’
langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri
Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di
bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang
wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara
Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara
Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La
Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan
bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama.
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih
mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun
meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke
Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa
Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri
Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga
Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah),
Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan
Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut
Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya
selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian,
orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir
dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal
dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi
raja.
Anak
lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu
yang dinobatkan di Luwu’.
Isi
epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar
boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat
pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan
dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah
membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah
selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti
golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah
melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau
sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading
digambarkan sebagai model mereka.
La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama
Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan
bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu
Luwu’.
Sawerigading
dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah
merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri,
yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil
membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang
Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah
danau iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri).
Berdekatan
dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila,
seorang ratu Makubakulu mengajakSawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam
Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga
Manilakemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya
tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwaBunga Manila dan
Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka
berdua. Betapapun juga, Bunga Manilamasih menaruh dendam dan karena itu ia
menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing
itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi
menjadi daratan.
Kisah
lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam
adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau
Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka
Cimpolo. Ayam I La Galigokalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo
meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja
Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di
Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus
tamadun dan inova
La Galigo di Sulawesi Tenggara
(Sebagian kecil naskah La Galigo)
Ratu
Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari
buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu
Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu
Sawerigading sering ke Woliomelawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang
digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di
Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah
keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna
yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan
Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama
berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe.
Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo,
yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada
kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah
anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola
Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara
nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan
nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya
Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah
Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
La Galigo di Gorontalo
Legenda
Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan
beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade,
putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup
berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan
melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade
mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu
Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk
menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan
kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkerissementara Hulontalangi
memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke
Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara
kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat
juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe.
Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu,
pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya
menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe
kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
La
Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah
Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di
Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugisyang bermigrasi ke
Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada
abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh
‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan
adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama
sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka,
Banda dan Manggarai.
Perhubungan
yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya.
Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun
berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’
Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan
Makassarbermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di
Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang
Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’ dari
Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716,
adiknya, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar
sebagai pemimpin bajak laut olehBelanda.
Keturunan
Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor
dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan
yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan
Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah danSelangor dan
juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng
Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (menikah dengan
Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada
abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita
seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan
dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri
Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari
langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti
Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan
menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun
demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama
dengan tokoh di dalam La Galigo.
La Galigo dalam seni pentas
(Sebagian kecil naskah La Galigo)
La
Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson
setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan
sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam
bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara
tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita
dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan
sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel
panggung. Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun
sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah
setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Untuk
menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya
ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesitradisional aslinya, dan instrumen
lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang
dimainkan oleh 12 musisi. Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53
pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan
sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional
bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis,
Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
(Sumber: sanggarsenicolliqpujie)
Berikut penulis lampirkan tentang LA GALIGO Menurut naskah NBG 188 Jilid 1 dalam bentuk PDF :
Ditulis ulang oleh Imajiner Nuswantoro