Babad Kanung
Prakata
Sejarah
Perjalanan Orang Jawa (230 SM-1292M), Alam Semesta Bukan Ciptaan Tuhan adalah
sebuah buku yang ditulis oleh Sigit Wibowo dan Eko Teguh Widodo. Buku ini
diterbitkan oleh Yayasan Jawa Kanung, Jakarta, 2016. Buku ini terdiri dari 17
BAB. Diawali dengan BAB 1: Awal-Mula Alam Semesta, BAB 2: Asal Usul-Usul Orang
Jawa, BAB 3: Kondisi Geografi Jawa, BAB IV: Kedatangan Leluhur Jawa, BAB 5:
Kelahiran El Masih (Yesus Kristus), BAB 6: Penyatuan Jawa Purwa Dan Jawa Pegon,
BAB 7: Kerajaan Pucangsula, BAB 8: Perang Keling Dan Baturetna, BAB 9:
Gunung-Gunung Jawa Purwa Meletus, BAB 10: Kedaton Kudus, BAB 11: Keraton
Medhang Matriam, BAB 12: Kerajaan Medhang di Jawa Pegon, BAB 13: Kerajaan
Panjalu dan Jenggala, BAB 14: Kedaton Kanjuruhan, BAB 15: Kerajaan Singasari,
BAB 16: Kedaton Lasem, dan terakhir BAB
17: Babad Kanung.
Secara
keseluruhan buku ini mendasarkan pada Babad Kanung. Babad Kanung adalah babad
yang merupakan tulisan berisi perjalanan sejarah wong Jawa (orang Jawa) yang
disimpan oleh Dinasti Badra sejak masa Sabadra pada abad ke-3 Masehi hingga
Kieban Sakyabadra abad 20 Masehi, (Sigit Wibowo dkk, 2016: 216). Menurut Sigit
Wibowo pula, Babad Kanung disimpan dan diwariskan dalam keluarga Badra selama
kurang lebih 17 abad. Babad Kanung juga berhasil diselamatkan dari penghancuran
setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada tahun Jawa 1708 (?) atau 1478 M dan
Kerajaan Pajajaran pada tahun Jawa 1809 (?) atau 1579 M, (Sigit Wibowo dkk,
2016: 216).
Babad
Kanung dicatat dalam rontal dan kropak bambu. Hingga awal 1990 rontal dan
kropak bambu ini masih ada. Namun mengingat rontal dan kropak bambu tersebut
kebanyakan brubukan atau rusak karena berusia ratusan tahun, peninggalan
leluhur ini dibuang karena dianggap tidak lagi berguna. Sebagian kropak lalu
digunakan untuk kayu bakar. Pada saat ini rontal dan kropak tersebut sudah
tidak ada lagi, namun isinya sudah disalin dan dihafalkan oleh keluarga Dinasti
Badra yang masih tersisa. Sebagian besar sejarah peninggalan Dinasti Badra ini
juga disalin dalam tulisan tangan pada masa Kieban Sakyabadra (1850-1960 M),
(Sigit Wibowo dkk, 2016: 218).
Sayangnya
dalam buku Sejarah Perjalanan Orang Jawa (230 SM-1292M), Alam Semesta Bukan
Ciptaan Tuhan, Sigit Wibowo tidak memuat teks asli Babad Kanung. Namun demikian
teks Babad Kanung dapat ditemukan dalam
alangalangkumitir Javanese Manuscripts dengan judul Sejarah Kawitane Wong Jawa
Lan Wong Kanung.
Menurut
Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung, teks buku sejarah ini menggunakan
bahasa Jawa Baru. Babad ini dibuka dengan kalimat: “Buku sejarah punika
nyatheti wiwit ing taun Masehi 1931, saking kepek cathetan tuwin
pangandikanipun Eyang Buyut canggah guru desa, tuwin Eyang Pandhita Kanung ing
Pareden Kendheng Ngargapura, Pomahan, Sukalila lan Prawata”. Sementara itu
dalam tambahan keterangan khususnya pada bagian babon sejarah, di dapat
keterangan sebagai berikut. Pertama. Saka Cathetan lan Critane swargi
Kakek-kakek Kanung Ngargapura. Kedua. Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow
Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs Kwo le Lasem, taun Masehi:
1930. Ketiga. Pustaka Sabda Badra-Santi.
Babad
Kanung Sebagai Teks Baru
Saat
Sigit Wibowo menyatakan jika Babad Kanung disimpan dan diwariskan dalam
keluarga Badra selama kurang lebih 17 abad dan Babad Kanung juga berhasil diselamatkan
dari penghancuran setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada tahun Jawa 1708
(?) atau 1478 M dan Kerajaan Pajajaran pada tahun Jawa 1809 (?) atau 1579 M,
saya sangat berharap agar ada sebuah data sejarah baru. Terlebih menurut Sigit
Wibowo kembali, Babad Kanung dicatat dalam rontal dan kropak bambu. Maka
minimal di dapat sebuah teks Jawa Kuna atau teks yang lebih kuna lagi.
Sayangnya harapan tersebut ternyata sangat berlebihan.
Sigit
Wibowo ternyata tidak mengetahui dengan baik teks yang diangkatnya sebagai
kajian. Ia juga tidak memberitakan secara jujur pengantar atau purwaka dan
babon sejarah teks yang mendasari teks ini tercipta, sehingga menganggap data
sejarah yang diangkatnya benar seratus persen. Padahal menurut purwaka, babad
ini disusun sekitar tahun 1996 (Katiti ing Padhepokan Argosoka, 28 Juni 1996).
Dengan menggunakan istilah babad yang mana dalam pengantar hanya ditulis
sebagai ‘buku sejarah’, Sigit Wibowo sepertinya juga ingin menuakan ‘buku
sejarah’ ini. Hal ini karena istilah babad, mengacu pada istilah ‘buku sejarah’
klasik khususnya era Mataram. Dan hal ini, tentu saja tidak tepat. Istilah
Babad sendiri sebagaimana yang digunakan di daerah Jawa, Madhura, Bali dapat
dipersamakan dengan cerita sejarah (di daerah Sunda) hikayat, sejarah, silsilah
(di Sumatera, Kalimantan, Malaysia) tambo (di daerah Sumatera Barat), dan
lontara (di Sulawesi Selatan), (Lihat, E.S. Ekajati, 1970: 1).
Mengingat
bahasa yang digunakan bahasa Jawa Baru, banyak tulisan yang tentunya sangat
tidak mungkin untuk ditulis dalam huruf Jawa. Misalnya saja Laow Tze Tao, Hud
Tze Buddha, Kong Tze Khonghucu, dan Yang Tze Kiang, atau Eyang Dewi Si Ba Ha
(Dewi Sibah) Dattsu Pucangsula. Hal ini karena huruf Jawa tidak ada huruf z
atau huruf mati rangkap 2 (tt dalam Dattsu). Dimungkinkan, jika ‘buku sejarah’
ini tidak pernah disimpan dan diwariskan dalam bentuk naskah sebagaimana
pernyataan Sigit Wibowo sebelumnya, yaitu Babad Kanung disimpan dan diwariskan
dalam keluarga Badra selama kurang lebih 17 abad. Terlebih lagi, karena dalam
teks dicatat adanya Kabupaten Jombang (Kabupaten Jombang, mbanjeng mujur
mengulon tutug Pegunungan Masaran, Kabupaten Sragen). Dan Kabupaten Jombang
sendiri, baru berdiri tahun 1910. Sangat anakronisme jika dikatakan Babad
Kanung disimpan dan diwariskan dalam keluarga Badra selama kurang lebih 17
abad, ternyata memuat informasi tahun 1910.
Lebih
tepat jika ‘buku sejarah’ ini sebagaimana pernyataan dalam babon sejarah,
merupakan kisah cerita yang dituliskan kembali (Critane swargi Kakek-kakek
Kanung Ngargapura dan Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, lan
Shinsey engkong Tya An guru Bhs Kwo le Lasem taun Masehi: 1930). Kisah cerita
yang didasarkan pada imajinasi. Imajinasi tanpa data yang jelas, sebab hanya
mengacu pada batasan kakek-kakek dan singkek-singkek yang dimaksud. Dan
imajinasi yang tidak memiliki landasan bukti sejarah, karena hanya didasarkan
dari sebuah cerita.
Sangat
menarik, dari ketiga sumber sejarah dari Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong
Kanung yang ada, salah satunya adalah singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia.
Pengertian Syuhu Gwamia atau Suhu Kwamia
kurang lebih adalah peramal ulung. Atau dalam bahasa Jawanya disebut dukun.
Dengan menjadikan pendapat peramal ulung atau dukun sebagai bagian dari
sejarah, membuat buku sejarah yang ada, menjadi sangat tidak layak disebut
sebagai buku sejarah. Keberadaan singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, juga
semakin memperjelas jika sumber buku sejarah yang digunakan, memang hanya
bersumber pada imajinasi.
Sumber
Imajinasi
Sebagai
sebuah imajinasi, Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung mencatat banyak
hal. Misalnya saja Asal Usul-Usul Orang Jawa. Wong Jawa turun-temurun tutug
Jaman apa wae tetep padha ngrungkepi Tatapercayaan-Suci Hwuning, naluri saka
leluhur Nusa Bruney bangsa Chaow (=inggatan=ngumbara) saka Nusa-Hainan; jaman
Jamajuja 3000 taun kepungkur (1000 taun sakdurunge Nabi Isa el Masih miyos).
Guru-guru Agung bawana Masriki uga durung miyos neng Alam-ndonya, yakuwi: 1.
Laow Tze Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu. Wondene asal-usule
bangsa Chaow sing kawitan kuwi wong saka negara China, tepise bengawan Yang Tze
Kiang udhik diapit Pegunungan Kwen Lun lan Pegunungan Tang La, Propinsi Ching
Wai. Wong-wong mau sumebar mengidul ning bumi Tiongkok-Kidul (Nalika 4000 taun
kepungkur=2000 taun sakdurunge taun Masehi), ngliwati sakidule Pegunungan Yun
Lin. Ngliwati Propinsi Yunan, Propinsi Kwang Sie, Propinsi Kwang Tung. Nuli
nyabrang segara munggah dharatan Nusa-Heinan, sabanjure nuli nyabrang mlebu
Nusa-Bruney; sumebar anjrah dadi bangsa-anyar suku Dhayak rupa-rupa jenenge
manut arane Bengawan-bengawan kono (Barito: Maanyan-siung. Kayan: Apokayan,
Kenya. Segah: Segal. Maham. Punan. Sampit). Sawise dadi wong Dhayak Sampit nuli
ngumbara maneh nyabrang samodra ngancik Nusa-Kendheng, malih ngganti aran:
Bangsa Jawa, (Lihat, II. Jaman Kuna-Makuna [Sadurunge Tahun Masehi, Nabi Isa el
masih durung miyos]).
Dari
cerita tersebut, di dapat cerita bahwa bangsa Jawa dari Cina yang kemudian
melewati Yunan sebelum tiba di Nusa-Kendheng. Basis kisah yang mirip dengan
pendapat Robern Barron von Heine Geldern. Menurutnya, nenek moyang bangsa
Indonesia berasal dari benua Asia (Yunnan, Cina Selatan). Kisah yang tentu saja
berbeda dengan kisah asal usul bangsa Jawa dari Jawa sendiri yaitu Tantu
Panggelaran. Sebuah naskah yang ditulis dengan bahasa Jawa Pertengahan.
Kesamaan
tersebut tentu tidak merupakan sebuah kebetulan. Sangat dimungkinkan penulis
‘buku sejarah’ Sejarah Kawitane Wong
Jawa Lan Wong Kanung memang mendasarkan pada pendapat Robern Barron von Heine
Geldern. Hal ini karena basic imajinasi umumnya memiliki sumber inspirasi.
Karena mendasarkan pada pendapat sejarah yang terus berkembang sesuai penemuan
baru, maka teori Yunan harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan baru dan
kini mulai ditinggalkan. Ditinggalkannya teori Yunan, karena teori ini sangat
lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara
fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum.
Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan
sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling
bertentangan dengan teori Yunan.
Muncul
kemudian teori baru yaitu Teori Out of Taiwan. Teori yang awalnya merupakan
teori linguistik. Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ ini, sekalipun juga
memiliki kelemahan namun lebih baik dari teori Yunan. Sebab teori ini disertai
bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada
ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina.
Temuan ini tentunya demikian mengejutkan karena mampu memutuskan dugaan
gelombang migrasi yang berasal dari Cina.
Dari
hal tersebut maka imajinasi bangsa Jawa dari Cina, sebagaimana yang dicatat
dalam Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung yang terinspirasi dari
pendapat Robern Barron von Heine Geldern, dapat dikatakan tidak tepat.
Rangkaian kisah yang dibuat untuk memberi gambaran lengkap cerita, juga menjadi
tidak benar.
Nilai
Kesejarahan ‘Babad Kanung’
‘Babad
Kanung’ dapat dikatakan sebagai satu-satunya ‘babad’ yang menyebut bangsa Jawa
dari Cina. Sebagai genre ‘babad’ maka ‘Babad Kanung’ dapat dikatakan memiliki
unsur kronologi yang sangat luar biasa.
Di dalam ‘babad’ ini, tahun-tahun kejadian dicatat demikian terperinci,
melebihi batasan yang dimiliki sebuah ‘babad’ pada umumnya. Misalnya saja. Ing
taun Jawa Hwuning 205; In taun Masehi: 50; Ing taun Masehi: 100; In taun
Masehi: 107; Ing taun Masehi: 110; In taun Masehi: 385, dan sebagainya.
Umumnya
dalam penulisan tradisi babad, terjadi tenggang waktu antara saat penulisan
dengan peristiwa sejarah yang berlangsung. Tenggang waktu itu dapat berlangsung
sebentar atau bahkan berselang beberapa generasi. Adanya interval waktu
tersebut, dimungkinkan terjadinya kekaburan dalam kronologis tahun yang mereka
dapati, sehingga mereka lebih memilih tidak mencantumkan kronologis tahun yang
ada. Berbeda dengan di ‘Babad Kanung’. Sekalipun memiliki interval waktu dengan
penulisan yang terjadi jauh lebih lama lagi, yaitu dari tahun Jawa Hwuning 205
hingga tahun 1996 misalnya, namun ‘Babad Kanung’ tetap mencatat tahun
kronologis tersebut dengan jelas.
Kenyataan
tersebut menunjukkan sekali lagi, jika penyebutan Sejarah Kawitane Wong Jawa
Lan Wong Kanung sebagai ‘babad’ oleh Sigit Wibowo, sangat tidak tepat. Hal ini
karena tradisi penulisan kronologis hanya ada di buku-buku sejarah modern, dan
bukan di tradisi penulisan babad. Tidak masuknya Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan
Wong Kanung sebagai babad, juga didukung oleh data bahwa pada umumnya, babad
atau lebih khusus lagi babad yang mengisahkan asal usul sebuah bangsa, ditulis
oleh para pujangga keraton. Sementara Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong
Kanung dicatat bukan ditulis oleh pujangga keraton.
Dari
hal tersebut, ‘Babad Kanung’ dalam sisi nilai kesejarahan sebagai babad rujukan
menjadi sulit untuk dapat diterima. Hal ini karena ia tidak termasuk dalam
kategori ‘babad’.
Menjadi
pertanyaan kemudian, bagaimana jika sebagai ‘buku sejarah’ sebagaimana
penjelasan dalam purwaka, khususnya untuk sisi nilai kesejarahannya? Jika
merujuk istilah buku sejarah, pada dasarnya mengacu pada pengertian modern saat
ini. Banyak data dan sumber sejarah harus dimasukkan dalam membahas sebuah
subyek sejarah. Penulis sejarah pada dasarnya juga menulis dari rangkaian hasil
penelitian sejarah.
Dalam
Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung, penulis ternyata tidak mencantumkan
data dan sumber sejarah dalam pembahasannya, sekalipun karyanya disebut sebagai
buku sejarah. Sangat menarik dalam ‘buku sejarah’ tersebut ternyata terdapat
kemiripan kisah dengan yang ada dalam Sejarah Dinasti Cina yaitu, Faxian.
Sebagai contohnya, catatan sebagai berikut. Ing taun: 412 Masehi ana Klana
Sramana Agama Buddha asama: Pha Hie Yen lelayar saka Nalandha India, nedya bali
mulih ning Tsang-An (Tiongkok); dumadakan lagi tutug Samodra Jawa-Dwipa ana
angin topan gedhe. Kisah ini memiliki kemiripan dengan data Sejarah Dinasti
Cina terkait Faxian, sebagaimana dicatat oleh W.P. Groeneveldt, (Lihat, W.P.
Groeneveldt 2009: 9-11). Kemiripan tersebut menunjukkan jika penulis Sejarah
Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung sebagai penulis ‘buku sejarah’ mengetahui
hal itu, namun tidak memasukkannya sebagai sumber pada penulisan buku
sejarahnya.
Keterangan
tersebut menunjukkan jika nilai kesejarahan Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong
Kanung sebagai buku sejarah, menjadi sangat lemah. Hal ini karena ia tidak
memenuhi syarat sebagai buku sejarah. Namun demikian niatan sebagai buku
sejarah kiranya sudah terlihat. Di mana dalam referensi (babon sejarah)
dicantumkan sumber sejarahnya. Seperti: Saka Cathetan lan Critane swargi
Kakek-kakek Kanung Ngargapura. Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow
Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs Kwo le Lasem, taun Masehi:
1930. Terakhir, Pustaka Sabda Badra-Santi. Hanya saja sebagai ‘buku sejarah
modern’ ketiga sumber sejarah tersebut tentu tidak memenuhi syarat. Tidak ada
sejarah modern di dunia ini yang disusun dari peramal atau dukun. Hal ini
karena sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang menggunakan metode ilmiah, dengan pengujian hipotesis
empiris yang diverifikasi, serta bukan selain dari itu.
Sejarah
Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung kiranya lebih tepat sebagai sebuah fantasi
yang bertumbuh secara lambat laun dan yang kemudian dibukukan dan
disempurnakan. Hal ini karena dalam tambahan keterangan disebutkan sebagai
berikut. Taun Sejarah diganti taun Masehi, kanggo nggampakake pamikire para
Sutresna Sejarah. Keterangan tersebut, menunjukkan jika ada upaya penyempurnaan
atas naskah yang ada. Di samping itu juga memasukkan beberapa serapan bahasa
Indonesia saat ini, untuk mempermudah pemahaman atas bahasa Jawa Baru yang digunakan.
Misalnya saja kata ‘panglima angkatan laut’ (Lihat, IV. Jaman Jawa Dwipa).
Nafas
Cerita
Sumber
utama Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung berdasar teks yang ada, adalah
R. Panji Karsono dan Tya An. R. Panji Karsono dalam Carita Sejarah Lasem adalah
Modine wong Jawa lan Cina sa Lasem. Sementara itu Tya An adalah shinsey dan
guru Bhs Kwo le Lasem. Dari sumber tersebut, kemudian disempurnakan dan
diterbitkan oleh Mbah Guru. Penerbitan,
dilaksanakan melalui Dewan Pengandhar Sabda Badra Santi.
Sebagai
penyusun atau penulis, Mbah Guru (nama samaran, pen.) mencatat jika
penyempurnaan kembali buku sejarah ini diselesaikan di Padhepokan Argosoka.
Tepatnya, pada 28 Juni 1996.
Sementara
itu jika dilihat secara lebih dalam, pengarang Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan
Wong Kanung, sebenarnya memiliki nafas Kristen. Misalnya saja sebagai berikut.
Wayah
esuke wong-wong padha umyeg nyatur wahanane Lintang-kemukus mau; ana wong sing
nyarawidekake ning Nujum sing waskitha, wedhar wasitane: “Neng Bawana negara
Maghribi rajane lagi nglumpukake Kawulane mlebu ning kutha, perlu diwilang
cacah-jiwane. Ana kang sejodho, sing lanang pagaweyane tukang-undhagi; sing
wadon lagi ngandheg tuwa, wong mau ora keduman pondhokan mung entuk panggonan
kandhang wedhus pinggir desa. Dumadakan ning kandhang kono wong wadon mau
mbabarake jabang-bayi lanang; wecane Sang Nujum: “Besuk jabang-bayi kuwi yen
wis diwasa bakal dadi Raja Binanthara-nyakrawati, nanging ora kagungan Keraton
ora tau pinarak dhampar-kencana, ora kagungan prajurit kang asikep gegaman
perang; nelukake musuh ora kanthi merangi lan milara, mung kanthi Perbawa
(Ambek asih pari-tesnane). Gesange ora kagungan Wibawa (Kamulyan sugih
rajabrana), mung nyandhang sapala kandhang langit kemul mega ngumbara ndlajah
desa milangkori, medhar Wasita “Begja Rahayu”. Wong-wong Pambelah mengeng
nggagas wahanane weca sing aneh banget ngono kuwi, (Lihat, III. Jaman
Kuna-Kobra [Ing taun Jawa-Hwuning: 230 Masehi: 1]).
Awu
layone dipetak (dikubur) dadi sakluwat karo Reliqe Eyang Dhanhyang Kie Seng
Dhang ning satengahe punggur Pudhen Tapa’an, (Lihat, IV. Jaman Jawa-Dwipa).
Ning
wektu sabanjure banyu sumur kuwi kanggo mbabtis wong kang arep dadi Pandhita
kanung, (Lihat, VI. Kawitane dumadine negara Kudus).
Pada
bagian pertama, dikisahkan tentang kelahiran Isa el Masih. Pada bagian kedua
dan ketiga terdapat istilah reliqe dan mbabtis saat menjelaskan sebuah
keterangan yang bagi penulis, seakan lebih pas atas pilihan katanya dalam
menerangkan dalam bahasa Jawa Baru. Semua ini menunjukkan jika penulis memiliki
pemahaman lebih atas agama Kristen yang dimilikinya. Di sini penulis mampu
memasukkan pemahaman Kristen atas pembahasan sejarah mengenai Asal-Usul Orang
Jawa. Sekalipun khusus kelahiran Isa el Masih, dapat dikatakan tidak sinkron
dengan jalinan cerita yang ada.
Nafas
lain adalah keberpihakan pengarang terhadap leluhur Cina. Pengarang menyebut
bangsa Jawa berasal dari bangsa Chaow. Bangsa ini awalnya dari Cina, (bangsa
Chaow sing kawitan kuwi wong saka negara China, tepise bengawan Yang Tze Kiang
udhik diapit Pegunungan Kwen Lun lan Pegunungan Tang La, Propinsi Ching Wai).
Sementara itu penduduk asli sebelumnya tidak berbudaya. Pernyataan ini
menunjukkan jika pengarang Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung
sebenarnya tidak pernah berpihak kepada Jawa secara umum namun hanya kepada
pendatang, dalam hal ini bangsa Chaow atau bangsa Cina.
Kesimpulan
Sejarah
Perjalanan Orang Jawa (230 SM-1292M) bukan babad dan bukan pula buku sejarah.
Hal ini karena kriteria sebagai babad dan buku sejarah tidak sesuai.
Sejarah
Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung merupakan sebuah fantasi yang bertumbuh
secara lambat laun dan yang kemudian dibukukan dan disempurnakan.
Pengarang
Sejarah Kawitane Wong Jawa Lan Wong Kanung memiliki keberpihakan kepada Kristen
dan leluhur Cina.
Imajiner
Nuswantoro