Kisah Yudistira / Puntadewa
(Puntadewa Niku Ratu adil palakrama, asih tresna marang kawula dasih, lila ing sirna lega ing ndunya)
Nama lain Puntadewa :
1. Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".
2. Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
3. Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
4. Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
5. Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
6. Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
7. Pandawa, "putera Pandu".
8. Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya :
1. Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
2. Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
3. Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
4. Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
Raden Puntadewa adalah putra sulung dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata. Sesungguhnya Puntadewa merupakan putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat Ajian Adityaredhaya ajaran Resi Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum terjadinya sayembara pilih. Lalu putranya yang di keluarkan dari telingga yang dinamai Karna dibuang dan kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama Adirata.
Secara resmi memang Puntadewa adalah putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun sesungguhnya ia adalah putra Dewi Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal tersebut diakibatkan oleh kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh Pandu saat bercinta dalam wujud kijang. Tapi akibat dari ajian Adityaredhaya, Dewi Kunti dan Prabu Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk menghasilkan penerus takhta kerajaan. Puntadewa bersaudarakan empat orang, dua saudara seibu dan 2 saudara berlainan ibu. Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan Sadewa atau Tangsen.
Puntadewa memiliki dasanama (nama-nama lain) yaitu Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat menjadi buangan selama 13 tahung di kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena merupakan putra dari Batara Darma, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan dari Prabu Kresna.
Raden Puntadewa memiliki watak sadu (suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.
Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.
Kelak kebiasaan buruk dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut, para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para tetua Astinapura turun tangan dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura. Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak saat itu pulalah Puntadewa bernama Yudistira.
Sebelumnya, setelah Pandawa berhasil lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka dijebak disuatu purocana (semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan menyerahkan setengah dari Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu muslihat kurawa yang membuat para Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada malamnya mereka dapat leluasa membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang menyadari hal itu dengan cepat membawa saudara-saudara dan ibunya lari menuju terowngan yang diiringi oleh garangan putih sampai pada Kayangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke Pancala, dimana sedang diadakan sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi. Barang siapa berhasil mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan yang berhasil dalam sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi Drupadi untuk diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah mengalahkan Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah pohon beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama Pancawala.
Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Akibat kalah bermain dadu, Pandawa harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan, Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki jimat peninggalan dari Prabu Pandu berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak Kyai Karawelang, Keris Kyai Kopek, dari Prabu Yudistira berupa Sumping prabangayun, dan Sangsangan robyong yang berupa kalung. Jika puntadewa marah dan tangannya menyentuh kalung ini makan seketika itu pulalah, ia dapat berubah menjadi raksasa bernama Brahala atau Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan yang dapat meredakannya hanyalah titisan Batara Wisnu yang juga dapat merubah diri menjadi Dewa Amral. Selain itu Puntadewa juga memiliki pusaka bernama Serat Jamus Kalimasada.
Kemudian atas bantuan dari Werkudara, adiknya, akhirnya Puntadewa menjadi raja besar setelah mengadakan Sesaji Raja Suya yang dihadiri oleh 100 raja dari mancanegara. Dengan demikian Puntadewa menjadi seorang raja besar yang akan menjadi anutan bagi raja-raja di dunia.
Pada Perang besar Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya behasil membunuh Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar “….tama mati!” menjadi bigung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai, Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar Astina tersebut.
Setelah selesai Baratayuda, Puntadewa menjadi raja di Astina sebentar dengan gelar Prabu Kalimataya. Lalu di gantikan oleh cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit dengan gelar Prabu Kresnadwipayana. Setelah tua, Puntadewa lalu memimpin adik-adiknya untuk naik ke Puncak Himalaya untuk mencapai nirwana. Disana satu persatu istri dan adik-adiknya meninggal, lalu hanya ia dan anjingnya lah yang sampai di pintu nirwana, di sana Batara Indra menolak membawa masuk anjing tersebut, namun puntadewa bersikeras membawanya masuk. Lalu setelah perdebatan panjang anjing tersebut berubah menjadi Batara Darma dan ikut ke nirwana bersama Puntadewa.
YUDHISTIRA / RADEN PUNTADEWA (2)
Raden Puntadewa adalah nama Prabu Yudistira pada masa mudanya. Setelah menjadi raja dengan gelar Prabu, ia tidak berpakaian yang serba keemasan hanya sederhana saja.
BENTUK WAYANG
Puntadewa bermata jaitan, hidung mancung, roman muka tenang. Bersanggul keling dengan sunting waderan. Berkalung putera, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bentuk bokongan puteran. Puntadewa berwanda: Malatsih dan Penganten.
PUNTADEWA adalah putra sulung Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura.
Puntadewa mempunyai dua orang adik kandung masing-masing bernama ; Bima/Werkudara dan Arjuna, dan dua orang adik kembar lain ibu, bernama Nakula/Pinten dan Sahadewa/Tansen, putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dari negara Mandaraka. Puntadewa adalah titisan Bathara Darma.
Puntadewa mempunyai watak; sabar, ikhlas, percaya atas kekuasaan Tuhan, tekun dalam agamanya, tahu membalas guna dan selalu bertindak adil dan jujur.
Puntadewa juga terkenal pandai bermain catur.
Setelah Pandawa berhasil membangun negara Amarta di hutan Mertani, Puntadewa dinobatkan sebagai raja negara Amarta bergelar Prabu Darmakusuma.
Puntadewa juga bergelar Prabu Yudhistira karena dalam tubuhnya menunggal arwah Prabu Yudhistira, raja jin negara Mertani.
Prabu Puntadewa menikah dengan Dewi Drupadi, putri Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Pancala, dan mempunyai seorang putra bernama Pancawala.
Prabu Puntadewa mempunyai pusaka kerajaan berwujud payung bernama Kyai Tunggulnaga dan sebuah tombak bernama Kyai Karawelang.
Dalam perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa tampil sebagai senapati perang Pandawa, dan berhasil menewaskan Prabu Salya, raja negara Mandaraka.
Sesudah berakhirnya perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa menjadi raja negara Astina bergelar Prabu Karimataya / Kalimataya.
Setelah menobatkan Parikesit, putra Abimanyu dengan Dewi Utari sebagai raja negara Astina, Prabu Puntadewa memimpin perjalanan moksa para Pandawa yang diikuti Dewi Drupadi menuju ke Nirwana.
KISAH PRABU PUNTADEWA / YUDHISTIRA
Yudhistira alias Puntadewa, resminya adalah putra sulung Prabu Pandu Dewanata dengan Dewi Kunti. Namun sesungguhnya, Yudhistira adalah putera Batara Darma, dewa kebenaran dan keadilan.
Dikisahkan, karena kutukan dari Begawan Kimindama, Prabu Pandu tidak dapat menggauli istri-istrinya, yaitu Dewi kunti dan Dewi Madrim. Akibatnya, Pandu tidak mungkin akan mendapatkan keturunan yang akan melanjutkan takhta Kerajaan Astina.
Namun untunglah Dewi Kunti menguasai ilmu yang dapat mendatangkan dewa siapa saja yang dikehendakinya untuk mendapatkan keturunan. Ilmu itu bernama Aji Adityarhedaya yang dipelajarinya dari Resi Druwasa, ketika Kunti masih gadis.
Dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan, Pandu mengizinkan Dewi Kunti menggunakan ilmunya. Mereka sepakat mendatangkan Batara Darma, karena Pandu menginginkan seorang anak yang memiliki sifat adil dan selalu bertindak dalam garis kebenaran. Sifat semacam itulah yang harus dimiliki oleh seorang raja.
Kedatangan Batara Darma pada Dewi Kunti membuahkan anak, dan setelah lahir diberi nama Puntadewa. Karena pada hakekatnya Puntadewa adalah putra Batara Darma, maka ia pun disebut Darmaputra .
Puntadewa mempunyai sifat serupa dengan Batara Darma, adil dan jujur. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah memusuhi dan dimusuhi orang. Itulah sebabnya, ia dijuluki Ajatasatru, orang yang tidak mempunyai musuh.
Dalam pewayangan diceritakan, sebagai penghargaan para dewa atas kejujuran dan keadilannya, Puntadewa “tidak pantas” menapak ke tanah. Demikian pula kalau ia berkendaraan, roda keretanya pun mengambang, tidak menjejak permukaan tanah.
Meskipun Yudhistira dikenal sebagai manusia yang tidak pernah suka marah, bukan berarti ia tidak bisa marah. Dalam lakon Dewa Amral dan Pancawala Rabi, Puntadewa marah besar dan melakukan tiwikrama, sehingga menjelma menjadi raksasa Brahala yang luar biasa besar.
Seperti saudaranya yang lain, ketika kecil Yudistira dididik oleh Resi Drona dan Resi Krepa. Namun ia tidak begitu berminat dalam ilmu keprajuritan. Ia lebih suka mempelajari ilmu ketatanegaraan, sejarah dan ilmu hokum.
Jika berhadapan dengan Kurawa, Puntadewa sebenarnya selalu mengalah. Ia tidak pernah melawan dan selalu menghindari perselisihan, tetapi adik-adiknya lah yang selalu membelanya, terutama Bima dan Arjuna.
Saat Prabu Pandu wafat, Yudistira masih belum dewasa, sehingga ia belum dapat dinobatkan sebagai raja Astina. Para tetua kerajaan itu kemudian mengangkat Drestarastra, kakak Pandu yang tunanetra, sebagai wali. Drestarastra memegang tampuk pemerintahan di Astina, sementara Puntadewa belum dewasa.
Namun karena termakan bujukan istrinya, Dewi Gendari dan iparnya, Patih Sengkuni, Drestarastra justru mengangkat Duryudana, putera sulungnya sebagai putera mahkota. Peristiwa itu terjadi setelah Pandawa mengalami percobaan pembunuhan di Bale Sigala-gala, sehingga terpaksa berkelana dari hutan ke hutan.
Sementara itu, setelah peristiwa Bale Sigala-gala, para Pandawa dan Dewi Kunti pergi berkelana dan singgah ke Kahyangan Saptapretala, tempat kediaman Sang Hyang Antaboga. Di tempat inilah Bima bertemu dengan Dewi Nagagini dan akhirnya menikah.
Setelah dari kahyangan Saptapretala, Pandawa dan Dewi Kunti melanjutkan perjalanan mereka dengan menyamar menjadi brahmana. Mereka untuk sementara waktu tinggal di suatu desa yang terbilang masih wilayah Kerajaan Cempala. Di tempat inilah, Puntadewa mendapatkan istri yang bernama Dewi Drupadi.
Untuk mencarikan suami untuk puterinya,Prabu Drupada, raja Cempalaradya mengadakan sayembara. Barang siapa yang berhasil mengalahkan Patih Gandamana, ia berhak memboyong Dewi Drupadi. Banyak peserta yang ikut dalam sayembara itu, termasuk Bima. Dari semua perserta, hanya Bima lah yang berhasil mengalahkan Patih Kerajaan Cempala itu. Bima berhak membawa pulang Dewi Drupadi dan memberikannya kepada Puntadewa. Dari perkawinannya dengan Drupadi, Puntadewa dikaruniai seorang putera yang bernama Pancawala.
Namun, menurut kitab Mahabarata, Dewi Drupadi dimenangkan oleh Arjuna sebagai . Untuk mencarikan jodoh untuk puterinya, raja Pancala mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa mengangkat Gandewa, ia berhak mendapatkan puterinya. Saat itu Arjuna mengikuti sayembara itu dan berhasil memenangkannya. Dalam Mahabarata, Drupadi bukan hanya istri Yudhistira, melainkan istri kelima Pandawa.
Berita pernikahan Puntadewa dengan dewi Drupadi akhirnya terdengar ke Istana Astina. Para pinisepuh astina, terutama Resi Bisma, Yamawidura, Rei Krepa an Resi Drona menyarankan agar Pandawa dan ibunya segera diundang pulang ke Astina. Yamawidura pun ditugasi menjemput mereka.
Resi Bisma kemudian mengusulkan agar Pandawa diberi sebagian dari wilayah Astina yang memang menjadi hak mereka. Demi menghindari perselisihan antara Kurawa dan Pandawa, Prabu Drestarastra pun menyetujui usul itu. Para Pandawa diberi Hutan Wanamarta.
Puntadewa dan adik-adiknya kemudian membabar Hutan Wanamarta dan mendirikan Kerajaan Amarta. Semula, hutan lebar itu merupakan kerajaan jin dan makhluk halus. Penghuni asli hutan itu dikalahkan para Pandawa. Puntadewa berhasil mengalahkan raja jin bernama Yudistira. Makhluk halus yang dikalahkan itu kemudian menyatu dalam dirinya, sehingga nama Yudistira pun dipakai Puntadewa sebagai namanya sendiri.
Kerajaan Amarta atau Indraprasta tumbuh dengan cepat menjadi kerajaan yang makmur, aman dan sentosa. Satu demi satu, kerajaan kecil di sekitarnya berhasil ditakhlukkan. Wibawa dan pengaruh Kerajaan Amarta dari hari ke hari semakin bertambah.
Sebagai pernyataan syukur terhadap Sang Pencipta, Yudistira mengadakan Sesaji Rajasuya. Banyak raja yang diundang, termasuk Prabu Anom Duryudana dan beberapa adiknya.
Kebencian Korawa semakin menjadi, bahkan mereka menjebak para Pandawa dan ibunya Kunti yang dikenal dengan Bale Segalagala. Namun mereka selamat, kemudian mereka tinggal sementara di kerajaan Panchala.
Kebetulan di kerajaan Panchala diadakan sayembara, dan siapa yang memenangkannya akan memperoleh seorang puteri yaitu Dropadi. Dan akhirnya Arjuna yang memenangkan sayembara itu. Akhirnya, Dropadi menjadi istri kelima Pandawa atas perintah ibunya, Kunti.
Dari pernikahannya dengan Dropadi, Yudistira mendapatkan putera Pratiwinda. Dan menurut versi pewayangan Jawa, Dropadi hanya menikah dengan Yudhistira dan mendapatkan seorang putera bernama Pancawala.
Setelah menikah dengan Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura. Mereka mendapat sambutan yang luar biasa kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan atas takhta Hastinapura antara Pandawa dan Korawa kembali terjadi. Akhirnya para sesepuh memberikan Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut, yaitu hutan Kandawaprastha yang dikenal sebagai hutan yang gersang dan angker. Sedangkan para Korawa mendapatkan istana Hastinapura.
Pandawa menerima wilayah tersebut, dan dengan bantuan sepupu mereka, Kresna dan Baladewa, akhirnya Kandawaprastha berhasil dibuka dan menjadi pemukiman baru. Pandawa juga mendapatkan bantuan dari Wiswakarma, ahli bangunan dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa. Maka terciptalah istana yang megah dan indah bernama Indraprastha, yang berarti “Kota Dewa Indra”.
Namun dalam pewayangan Jawa, Indraprastha lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Amarta. Dan hutan yang dibuka bernama Wanamarta. Awal dari pembukaan hutan Wanamarta ini masih terkait dengan sayembara Dropadi.Dalam pewayangan jawa, setelah menikah dengan Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, untuk bertemu Prabu Matsyapati. Matsyapati yang simpati dengan cerita Pandawa, lalu menyarankan untuk membuka hutan Wanamarta yang dihuni oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, yang bernama Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu.
Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Dan Yudistira menjadi raja Amarta. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.
Setelah berhasil mendirikan kerjaan baru yaitu Amarta (Indraprastha), Puntadewa yang menjadi raja berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Dikisahkan, saat itu terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Karena mendapatkan izin dari istrinya Dropadi, Puntadewa pergi ke kerajaan Slagahima. Dalam istana Slagahima sudah berkumpul sekian banyak raja yang ingin melamar Dewi Kuntulwinanten, namun tidak ada satupun yang diterima. Dewi Kuntulwinanten hanya bersedia menikah dengan seorang yang berhati suci, dan dia akhirnya menemukannya dalam diri Puntadewa. Namun tiba-tiba sang Dewi musnah dan menyatu dalam diri Puntadewa. Karena sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli, dia adalah penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja yang adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja raja Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.
Dalam kitab Mahabharta bagian kedua yaitu Sabhaparwa dikisahkan tentang niat Yudhistira mengadakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka.
Namun pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga sedang mengadakan upacara mengorbankan seratus raja. Raja tersebut adalah raja Jasaranda dari kerajaan Magadha. Kemudian Yudhistira mengirimkan Bima dan Arjuna yang didampingi Kresna untuk menumpas Jasaranda. Bima berhasil membunuh Jasaranda setelah melalui pertarungan yang seru.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak raja dan pendeta. Yudistira kemudian ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Saat itu datanglah sekutu Jasaranda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Sisupala akhirnya tewas setelah kepalanya dipenggal oleh Kresna.
Duryodana juga hadir dalam acara Rajasuya tersebut. Dia kagum dan iri melihat kemegahan dan keindahan istana Indraprastha. Timbullah niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi dalam acara tersebut dia dipermalukan oleh ucapan Dropadi. Saat memasuki ruangan istana, Duryodana tercebur ke dalam kolam, yang ia kira itu lantai biasa.
Sepulangnya dari menghadiri acara Rajasuya di istana Indraprastha, Doryudana menjadi murung dan memikirkan bagaimana cara untuk mengambil kerajaan itu dari Yudhistira dan Pandawa. Sangkuni yang melihat kemurungan keponakannya, menanyakan apa yang sedang dipikirkan keponakannya tersebut. Doryudana kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya saat menghadiri upacara Rajasuya di Indraprastha. Muncullah ide Sangkuni bagaimana cara untuk mengambil Indrapastha dari tangan para Pandawa.
Sangkuni meminta agar Duryudana mengundang Yudhistira untuk bermain dadu sesuai dengan kegemaran Yudhistira. Undangan Duryudana diterima Yudhistira dengan baik, dan permainan dadu diadakan di istana Hastinapura. Pada awalnya hanya bertaruh kecil-kecilan, dan Yudhistira menang, namun semakin lama berkat kelicikan dan kecerdikan Sangkuni, permainan selalu dimenangkan pihak Korawa.
Taruhan pun juga semakin besar, dan dengan kelicikan Sangkuni pula, Yudhistira mau mempertaruhkan semua hartanya, indraprastha bahkan saudara dan istrinya. Akhirnya Indraprastha jatuh ke tangan Korawa . Namun permainan tidak berhenti di situ saja, setelah harta dan kerajaan jatuh ke tangan lawan, Yudhistira mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Semuanya jatuh ke tangan, namun Duryudana tetap memaksa Yudhistira untuk melanjutkan permainan dan mempertaruhkan Dropadi. Dropadi pun bernasib sama, ia dipermalukan di depan umum.
Saat itu Gandari mendengar ratapan Dropadi yang dipermalukan di depan umum. Ia kemudian memerintahkan puteranya gar menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Meski dengan berat hati, Duryudana mematuhi perintah ibunya. Namun, Duryudana kembali menantang Yudhistira beberapa waktu kemudian. Sekarang peraturannya diganti, barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani masa pengasingan di hutan selama 12 tahun serta penyamaran selama satu tahun. Jika dalam masa penyamaran mereka diketahui/penyamarannya terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar selama satu tahun lagi. Dengan kelicikan dan kecerdikan Sangkuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan dan kerajaan beserta isinya diserahkan kepada Korawa. Sedangkan Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama satu tahun.
Suatu saat para Korawa datang ke dalam hutan untuk menghina para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin oleh Citrasena. Duryodana tertangkap oleh Cirasena. Yudhistira yang tidak pernah mempunyai rasa dendam meski kepada orang yang telah mengambil harta,kerajaan dan harga dirinya, mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana.
Bima dan Arjuna menjalankan perintah kakaknya meskipun dengan berat hati. Akhirnya Duryudana berhasil dibebaskan. Niat Duryodana untuk menghina dan menghancurkan perasaan Pandawa pun berubah menjadi perasaan malu yang ia rasakan.
Saat Dropadi diculik oleh jayadrata, adik ipar Duryodana, Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir membunuhnya. Tetapi Yudhistira muncul dan memaafkan Jayadrata, raja kerajaan Sindu.
Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudhistira dan keempat adiknya berniat membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Para Pandawa bersama-sama mengejar rusa itu. Namun di tengah pengejaran mereka, kelima Pandawa merasa haus. Yudhistira kemudian menyuruh Sadewa untuk mencari air minu, karena lama tidak kembali, Nakula disuruhnya untuk menyusul Sadewa. Namun keduanya juga tidak kunjung kembali, Arjuna kemudian menyusul kedua putera Dewi Madrim tersebut dan akhirnya Bima menyusul. Namun keempat adiknya justru tidak ada yang kembali, Yudhistira pun kemudian menyusul keempat Pandawa tersebut.
Yudhistira sampai di sebuah telaga dan menjumpai keempat adiknya telah tewas. Ada seekor bangau (Baka) yang kemudian mengaku menjadi pemilik telaga tersebut, ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas karena keracunan air telaga karena mereka menolak menjawab pertanyaan darinya. Yudhistira kemudian mempersilakan sang bangau untuk mengajukan pertanyaan yang ditolak oleh keempat adiknya.
Sang bangau kemudian berubah wujud menjadi Yaksa. Satu persatu pertanyaan dia ajukan kepada Yudhistira dan satu-persatu pertanyaa itu pun dijawab Yudhistira dengan benar. Sebagian pertanyaan yang diajukan oleh yaksa kepada Yudhistira adalah sebagai berikut:
Yaksa: Apa yang lebih berat daripada Bumi, lebih luhur daripada langit, lebih cepat daripada angin dan lebih berjumlah banyak daripada gundukan jerami?
Yudhisthira: Sang Ibu lebih berat daripada Bumi, Sang Ayah lebih luhur daripada langit, Pikiran lebih cepat daripada angin dan kekhawatiran kita lebih berjumlah banyak daripada gundukan jerami.
Yaksa : Siapakah kawan dari seorang musafir ?
Siapakah kawan dari seorang pesakitan dan seorang sekarat ?
Yudhistira : Kawan dari seorang musafir adalah pendampingnya. Tabib adalah kawan seorang yang sakit dan kawan seorang sekarat adalah amal.
Yaksa: Hal apakah yang jika ditinggalkan membuat seseorang dicintai, bahagia dan kaya?
Yudhistira : Keangkuhan, bila ditinggalkan membuat seseorang dicintai. Hasrat, bila ditinggalkan membuat seseorang kaya dan keserakahan, bila ditinggalkan membuat seseorang bahagia.
Yaksa: Musuh apakah yang tidak terlihat? Penyakit apa yang tidak bisa disembuhkan? Manusia macam apa yang mulia dan hina?
Yudhistira: Kemarahan adalah musuh yang tidak terlihat. Ketidakpuasan adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Manusia mulia adalah yang mengharapkan kebaikan untuk semua makhluk dan Manusia hina adalah yang tidak mengenal pengampunan.
Yaksa: Siapakah yang benar-benar berbahagia ?
Apakah keajaiban terbesar ?
Apa jalannya ?
Dan apa beritanya ?
Yudhistira: Seorang yang tidak punya hutang adalah benar-benar berbahagia. Hari demi hari tak terhitung orang meninggal. Namun yang masih hidup berharap untuk hidup selamanya. Ya Tuhan, keajaiban apa yang lebih besar? Perbedaan pendapat membawa pada kesimpulan yang tidak pasti, Antara Śruti saling berbeda satu sama lain, bahkan tidak ada seorang Resi yang pemikirannya bisa diterima oleh semua. Kebenaran Dharma dan tugas, tersembunyi dalam gua-gua hati kita. Karena itu kesendirian adalah jalan dimana terdapat yang besar dan kecil. Dunia yang dipenuhi kebodohan ini layaknya sebuah wajan. Matahari adalah apinya, hari dan malam adalah bahan bakarnya. Bulan-bulan dan musim-musim merupakan sendok kayunya. Waktu adalah Koki yang memasak semua makhluk dalam wajan itu (dengan berbagai bantuan seperti itu). Inilah beritanya.
Akhirnya, Yaksa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dan untuk hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Yaksa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Yaksa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun menunjukkan wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan yaksa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Setelah selesai menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan, saatnya Pandawa dan Dopadi menjalani masa penyamaran selama satu tahun. Mereka memilih kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata sebagai tempat persembunyian mereka.
Yudhistira menyamar menjadi kusir kereta dengan nama Kanka. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna sebagai banci guru tari dengan nama Wrihanala, Nakula menjadi tukang kuda dengan nama Damagranti, sedangkan Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi. Sementara Dropadi menjadi dayang istana dengan nama Sailandri.
Pada akhir penyamaran mereka, Wirata mendapat serangan dari kerajaan Kuru. Seluruh kekuasaan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigarth, sekutu Duryodana. Istana Matsya menjadi kosong dan dalam ancaman serangan pasukan Hastinapura. Utara, putera Wirata yang mendapat tugas untuk menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Wrihanala membuka samara dan tampil mnghadapi Duryodana doi medan perang. Arjuna berhasil memukul mundur pasukan Duryodana. Sementara pasukan Wirata juga berhasil memetik kemenangan dari pasukan Trigartha.
Dalam pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang, sedangkan nama rajanya adalah Matsyapati. Yudhistira menyamar menjadi pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka di kerajaan tersebut.
Setelah genap satu tahun masa penyamaran kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran mereka. Wirata merasa menyesal setelah mengetahui bahwa mereka adalah putera Pandu dan telah memperlakukan mereka dengan buruk. Wirata kemudian berjanji akan menjadi sekutu Pandadwa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.
Setelah mas apembuangan dan penyamaran mereka selesai, para Pandawa dan Dropadi kembali ke Hastinapura untuk menuntut hak mereka. Namun Duryodana justru menolak dan tidak mau menyerahkan kembali Indraprastha kepada para Pandawa. Yudhistira kemudian hanya meminta lima desa saja untuknya dan keempat adiknya. Namun Duryodana tetap menolak, hingga akhirnya pihak Pandawa mengirim Kresna sebagai duta perdamaian, namun Duryodana tetap menolak penawaran damai yang diajukan Pandawa. Bharatayudha pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Sebelum perang hari pertama dimulai, Yudhistira turun dari keretanya dan berjalan menuju pasukan Korawa. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang ia kira, Yudhistira akan menyerah begitu saja begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudhistira bukan untuk menyerah, melainkan untuk meminta doa restu kepada empat sesepuh Hastinapura, yaitu Bisma, Krepa, Drona dan Salya. Keempat sesepuh Hastinapura mendoakan semoga pihak Pandawa menang.
Drona menggantikan resi Bisma setelah tumbang oleh Arjuna dengan bantuan Srikandi. Drona mendapat amanat untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup sebagai sandera. Namun, berbagai cara telah dilakukan untuk menangkap Yudhistira, sudah tidak terhitung lagi pasukan Pandawa yang tewas di tangan Drona, termasuk Drupada dan Wirata.
Pada hari ke-15, Kresna menemukan cara bagaimana untuk melumpuhkan Drona. Kresna memerintahkan Bima untuk membunuh gajah yang bernama Aswatama. Aswatama adalah nama putera tunggal Drona. Bima membunuh gajah tersebut dan berteriak mengumumkan bahwa Aswatama telah tewas.
Berita itu sampai ke telinga Drona, ia menjadi cemas dan segera mendatangi Yudhistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk menanyakan kebenaran berita tersebut. Yudhistira menjawab, benar bahwa Aswatama telah tewas, namun ia tidak bisa memastikan apakah yang mati gajah atau manusia. Saat Yudhistira mengucapkan kalimat yang kedua, bahwa ia tidak bisa memastikan bahwa yang mati adalah gajah atau putera Drona, pihak Pandawa sengaja membuat keramaian, sehingga Drona tidak mendengar kalimat kedua yang Yudhistira ucapkan.
Mendengar jawaban Yudhistira, Drona menjadi kehilangan semangat hidup dan membuang semua senjatanya dan duduk bermeditasi. Datanglah Drestadyumna, putera Dropada mendatangi Drona dan memenggal kepalanya. Drona pun tewas seketika.
Pada hari ke-18, Salya diangkat menjadi panglima perang Korawa. Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa memihak Korawa karena jebakan mereka.
Hari itu Salya maju dengan menggunakan senjata Rudrarohastra. Senjata itu hanya bisa ditahklukan oleh jiwa yang suci. Oleh karena itu, Yudhistia diminta oleh Kresna untuk maju menghadapi Salya. Awalnya Yudhistira menolak, namun akhirnya ia bersedia maju ke medan perang menghadapi Salya.
Yudhistira memakai senjata Kalimahosaddha, pusaka yang berupa kitab tersebut dileparkannya dan berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.
Namun dalam versi lain disebutkan bahwa Salya mengerahkan ilmu Candrabirawa berupa raksasa kerdil yang mengerikan dan apabila dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Yudhistira kemudian mengheningkan cipta dan Candrabirawa lumpuh seketika karena Yudhistira sudah dirasuki arwah Resi Bagasoati, pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang menghantam dada Salya.
Setelah Korawa kehabisan pasukan, Duryodana hanya tinggal sendiri. Ia menantang untuk menghadapi kelima Pandawa secara bersamaan. Namun, Yudhistira menolak tantangan Duryodana karena mereka tidak mau berbuat pengecut seperti yang para Korawa lakukan saat membunuh Abimanyu. Duryodana diminta untuk memilih salah satu dari kelima Pandawa sebagai lawannya. Yudhistira mengatakan, jika Duryodana kalah maka kerajaan jarus dikembalikan kepada Pandawa, dan sebaliknya, jika Duryodana menang, Yudhistira bersedia kembali hidup di hutan dan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana.
Duryodana memilih Bima sebagai lawannya, karena mereka mempunyai kemampuan yang sama dalam memainkan senjata gada. Keduanya memiliki kekuatan yang sama, hingga akhirnya Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya saat Dropadi dipermalukan oleh Duryodana dan Para Korawa. Bima kemudian memukulkan gadanya ke paha Duryodana yang merupakan titik lemahnya karena saat ia mendapat kekuatan dari Gendari, bagian itu ia tutupi sehingga tidak kebal terhadap senjata. Duryodana pun akhirnya tewas secara perlahan karena luka yang dideritanya.
Setelah perang berakhir, Yudhistira kemudian melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat menjadi raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha.
Imajiner Nuswantoro