Prabu Sintawaka SaKING serat pustaka raja purwa
(Lakon Sintawaka Bersih Desa)
Kisah
ini menceritakan perjalanan Dewi Basundari mencari Jaka Wudug yang kabur dari
rumah. Atas izin dewata, Dewi Basundari pun berubah menjadi laki-laki bernama
Raden Sintawaka. Selanjutnya, Raden Sintawaka diambil sebagai anak angkat oleh
Prabu Heryanarudra dan menjadi ahli waris Kerajaan Gilingaya dan melakukan
Bersih Desa untuk membersihkan segala wabah penyakit.
Kisah
ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustaka Raja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
\
Busur Bajra dan Panah Herawana
Sesampainya
di Medang Kamulan, Raden Raditya dihalang-halangi oleh Raden Wukir putra Prabu
Palindriya dari Dewi Landep, terjadilah perang tanding di antara mereka. Prabu
Palindriya datang melerai yang sedang berkelahi. Raden Raditya menyembah dengan
penuh hormat dan menyerahkan busur Bajra dan panah Herawana kepadanya. Prabu
Palindriya tidak lupa bahwa kedua pusaka tersebut adalah miliknya dan selama
ini tertinggal di Gunung Aswata. Melihat Raden Raditya yang tampan dan berilmu
tinggi, Prabu Palindriya merasa sangat senang dan berniat menjadikannya sebagai
menantu, yaitu akan dinikahkan dengan Dewi Sriyuwati (saudara kandung Raden
Wukir).
Tiba-tiba
saja datang Batara Narada turun dari kahyangan, dan meminta supaya perjodohan
itu dibatalkan. Batara Narada menjelaskan bahwa Raden Raditya ini adalah putra
Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi Basundari, sehingga masih
bersaudara tiri dengan Dewi Sriyuwati. Untuk itu, Raden Raditya tidak boleh
dijodohkan dengan Dewi Sriyuwati, tetapi sebaiknya diangkat menjadi patih saja.
Dengan gelar Patih Selacala.
Batara
Narada juga menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa kelak Dewi Sriyuwati akan
diangkat sebagai bidadari kahyangan dan menjadi istri Batara Guru sendiri.
Prabu Palindriya merasa bersyukur dan mematuhi segala perintah Batara Guru
tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun kembali ke kahyangan.
Setelah
mendapatkan kekuatan baru, Prabu Palindriya pun memerintahkan Patih Selacala
untuk memimpin pasukan Medang Kamulan menyerang Kerajaan Gilingaya. Prabu
Palindriya juga meminjamkan busur Bajra dan panah Herawana kepada Patih
Selacala sebagai senjata untuk mengalahkan Prabu Sintawaka.
Prabu
Sintawaka dan Patih Anindyamantri menyambut serangan tersebut dengan kekuatan
penuh. Terjadilah pertempuran besar, di mana pihak Gilingaya mengalami
kekalahan telak. Mula-mula Patih Anindyamantri tewas di tangan Patih Selacala.
Melihat menteri utamanya gugur, Prabu Sintawaka pun mengamuk mengerahkan
segenap kesaktiannya. Patih Selacala membalas dengan melepaskan panah Herawana.
Prabu Sintawaka terlempar tubuhnya ke angkasa dan jatuh di dalam Hutan Nastuti.
Meskipun
terkena panah pusaka, Prabu Sintawaka tidak mati, tetapi kembali ke wujud
wanita, yaitu Dewi Basundari seperti sedia kala. Ia lalu bersembunyi di dalam
hutan menghindari kejaran pihak Medang Kamulan. Rupanya ia lupa bahwa dulu
dewata telah mengubahnya menjadi laki-laki supaya lebih leluasa untuk mencari
Jaka Wudug, dan kelak ia akan kembali menjadi wanita lagi jika sudah bertemu
dengan putranya itu.
Tak
disangka, Jaka Wudug sekarang sudah menjadi Patih Selacala dan pertarungan tadi
telah mengembalikan wujud Prabu Sintawaka kembali menjadi Dewi Basundari. Akan
tetapi, hal ini sama sekali tidak disadari oleh Dewi Basundari. Setelah
kekalahan itu, ia pun membangun pondok di dalam Hutan Nastuti tersebut dan
melanjutkan bertapa untuk bisa bertemu putranya yang lama hilang. Dalam
pertapaannya tersebut dia kembali menggunakan nama Dewi Sinta untuk menyamarkan
jati dirinya sebagai bidadari.
PRABU SINTAWAKA BERPERANG DENGAN PRABU PALINDRIYA
Prabu
Sintawaka di Kerajaan Gilingaya dihadap Patih Anindyamantri dan para menteri
lainnya. Mereka membicarakan datangnya surat tantangan dari Kerajaan Medang
Kamulan, di mana Prabu Palindriya ingin membalas kematian ayahnya (Prabu
Kandihawa) yang dulu tewas dibunuh Prabu Heryanarudra. Karena Prabu
Heryanarudra juga telah meninggal karena wabah penyakit, maka pembalasan dendam
pun ditujukan kepada anak angkatnya, yaitu Prabu Sintawaka.
Prabu
Sintawaka yang tidak lain adalah penjelmaan Dewi Basundari menerima tantangan
tersebut. Ia sendiri masih menyimpan dendam di dalam hati terhadap Prabu
Palindriya yang telah mengkhianati perkawinan mereka dulu. Maka, ia pun
memerintahkan Patih Anindyamantri supaya mempersiapkan pasukan perang untuk
menghadapi serangan pihak lawan.
Beberapa
hari kemudian pasukan Medang Kamulan yang dipimpin langsung oleh Prabu
Palindriya datang menyerbu Kerajaan Gilingaya. Prabu Sintawaka menyambut
serangan tersebut di mana ia sendiri yang turun tangan menghadapi Prabu
Palindriya. Pertempuran terjadi cukup lama. Kedua pihak kalah dan menang silih
berganti. Merasa pertahanan pihak Gilingaya terlalu kuat, Prabu Palindriya
akhirnya menarik mundur pasukannya kembali ke Medang Kamulan.
RADEN RADITYA MENGAMBIL PUSAKA KE GUNUNG ASWATA
Sementara
itu, Raden Raditya (Jaka Wudug) telah menamatkan pendidikannya di Padepokan
Andongdadapan, dengan menyerap semua ilmu yang diajarkan Begawan Radi.
Mendengar berita adanya peperangan antara Kerajaan Medang Kamulan dan Kerajaan
Gilingaya, ia ingin sekali ikut membantu salah satu pihak. Menurutnya, yang
layak dibantu adalah Prabu Palindriya karena yang memulai masalah adalah
Kerajaan Gilingaya di zaman Prabu Heryanarudra dulu. Andai saja Prabu
Heryanarudra tidak membunuh Prabu Kandihawa, tentu Prabu Palindriya tidak akan
menyerang Prabu Sintawaka.
Begawan
Radi mempersilakan Raden Raditya jika ingin membantu pihak Medang Kamulan,
tetapi hendaknya jangan bersikap gegabah memamerkan kepandaian. Begawan Radi
lalu bercerita bahwa Prabu Palindriya semasa mudanya bernama Raden Respati yang
pernah bertapa di Gunung Aswata dan menerima pusaka pemberian Batara Indra,
berupa busur Bajra dan panah Herawana. Ketika Prabu Paindriya bertakhta di
Kerajaan Medang Kamulan, kedua pusaka itu masih tertinggal di Gunung Aswata.
Begawan Radi menyarankan agar Raden Raditya pergi ke Gunung Aswata untuk mengambil
kedua pusaka tersebut dan mempersembahkannya kepada Prabu Palindriya. Dengan
cara inilah Raden Raditya kelak akan mendapatkan kejayaan.
Raden
Raditya mohon restu kepada sang guru kemudian berangkat ke Gunung Aswata.
Sesampainya di sana ia bertemu Patih Anindyamantri yang juga dikirim Prabu
Sintawaka untuk mengambil kedua pusaka tersebut. Prabu Sintawaka yang tidak
lain adalah penjelmaan Dewi Basundari rupanya masih ingat kalau busur Bajra dan
panah Herawana milik Prabu Palindriya tertinggal di Gunung Aswata setelah
digunakan untuk membunuh Naga Sindula dulu. Maka, Prabu Sintawaka pun berniat
untuk menguasai kedua pusaka tersebut dan membawanya ke istana Gilingaya.
Setelah
mencari ke sana kemari, Patih Anindyamantri berhasil menemukannya, tetapi ia
tidak mampu mengangkat busur dan panah pusaka tersebut. Melihat kedatangan
seorang pemuda yang juga ingin mengambil kedua pusaka itu, Patih Anindyamantri
segera berusaha mengusirnya. Maka, terjadilah pertempuran antara Raden Raditya
melawan Patih Anindyamantri dan para prajuritnya.
Raden
Raditya berhasil mengatasi orang-orang Gilingaya tersebut, bahkan ia mampu
merebut busur Bajra dan panah Herawana. Patih Anindyamantri merasa gentar
melihat ada seorang pemuda remaja ternyata mampu mengangkat busur dan panah
pusaka itu. Maka, ia pun mengajak pasukannya mundur kembali ke Gilingaya.
RADEN RADITYA BERSELINGKUH DENGAN DEWI SOMA
Setelah
mendapatkan busur Bajra dan panah Herawana, Raden Raditya melanjutkan
perjalanan menuju Kerajaan Medang Kamulan. Ketika melewati Padepokan Pantireja,
ia berjumpa Dewi Soma, istri pertama Prabu Palindriya beserta ketiga anaknya,
yaitu Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra. Di tempat itu ia mendapatkan
perjamuan yang sangat baik, bahkan Dewi Soma sangat menyukainya dan
menganggapnya sebagai anak.
Melihat
ketampanan Raden Raditya yang mirip Prabu Palindriya semasa muda, Dewi Soma pun
terpesona kepadanya. Sejak sang suami berselingkuh dengan Dewi Basundari, ia
tidak pernah lagi bertemu Prabu Palindriya, padahal dalam hati sangat merindukannya.
Dewi Soma sama sekali tidak tahu kalau Raden Raditya yang kini tinggal di
rumahnya itu adalah anak hasil perselingkuhan Prabu Palindirya dengan Dewi
Basundari tersebut.
Setelah
dirayu terus-menerus, Raden Raditya akhirnya goyah pendiriannya dan bersedia
melayani nafsu birahi Dewi Soma. Tanpa sepengetahuan Raden Anggara, Raden Buda,
dan Raden Sukra, mereka berdua pun melakukan hubungan perzinahan. Sebaliknya,
ketiga putra Dewi Soma itu juga sama sekali tidak menaruh curiga karena sudah
menganggap Raden Raditya sebagai adik sendiri.
RADEN RADITYA MENJADI PATIH SELACALA
Setelah
beberapa hari tinggal di Padepokan Pantireja, Raden Raditya melanjutkan
perjalanan dan tiba di Kerajaan Medang Kamulan. Di sana ia dihadang para putra
Prabu Palindriya yang dipimpin Raden Wukir, karena dicurigai sebagai mata-mata
Kerajaan Gilingaya. Terjadilah pertarungan di mana Raden Raditya berhasil
mengalahkan para pangeran tersebut.
Prabu
Palindriya datang melerai yang sedang berkelahi. Raden Raditya menyembah dengan
penuh hormat dan menyerahkan busur Bajra dan panah Herawana kepadanya. Prabu
Palindriya tidak lupa bahwa kedua pusaka tersebut adalah miliknya dan selama
ini tertinggal di Gunung Aswata. Melihat Raden Raditya yang tampan dan berilmu
tinggi, Prabu Palindriya merasa sangat senang dan berniat menjadikannya sebagai
menantu, yaitu akan dinikahkan dengan Dewi Sriyuwati (saudari kandung Raden
Wukir).
Setelah
pengumuman itu disampaikan, tiba-tiba saja datang Batara Narada turun dari
kahyangan, dan meminta supaya perjodohan itu dibatalkan. Batara Narada
menjelaskan bahwa Raden Raditya ini adalah putra Prabu Palindriya sendiri yang
lahir dari Dewi Basundari, sehingga masih bersaudara tiri dengan Dewi
Sriyuwati. Untuk itu, Raden Raditya tidak boleh dijodohkan dengan Dewi
Sriyuwati, tetapi sebaiknya diangkat menjadi patih saja.
Batara
Narada juga menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa kelak Dewi Sriyuwati akan
diangkat sebagai bidadari kahyangan dan menjadi istri Batara Guru sendiri.
Prabu Palindriya merasa bersyukur dan mematuhi segala perintah Batara Guru
tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun kembali ke kahyangan.
Sesuai
perintah tadi, Prabu Palindriya lalu melantik Raden Raditya sebagai patih
Kerajaan Medang Kamulan, bergelar Patih Selacala, yang bermakna “batu gunung”.
Dewi Sriyuwati, Raden Wukir, dan para putra lainnya menerimanya sebagai saudara
tua dan memanggil kakak kepadanya.
PATIH SELACALA MENGALAHKAN PRABU SINTAWAKA
Setelah
mendapatkan kekuatan baru, Prabu Palindriya pun memerintahkan Patih Selacala
untuk memimpin pasukan Medang Kamulan menyerang Kerajaan Gilingaya. Prabu
Palindriya juga meminjamkan busur Bajra dan panah Herawana kepada Patih
Selacala sebagai senjata untuk mengalahkan Prabu Sintawaka.
Prabu
Sintawaka dan Patih Anindyamantri menyambut serangan tersebut dengan kekuatan
penuh. Terjadilah pertempuran besar, di mana pihak Gilingaya mengalami
kekalahan telak. Mula-mula Patih Anindyamantri tewas di tangan Patih Selacala.
Melihat menteri utamanya gugur, Prabu Sintawaka pun mengamuk mengerahkan
segenap kesaktiannya. Patih Selacala membalas dengan melepaskan panah Herawana.
Prabu Sintawaka terlempar tubuhnya ke angkasa dan jatuh di dalam Hutan Nastuti.
Meskipun
terkena panah pusaka, Prabu Sintawaka tidak mati, tetapi kembali ke wujud
wanita, yaitu Dewi Basundari seperti sedia kala. Ia lalu bersembunyi di dalam
hutan menghindari kejaran pihak Medang Kamulan. Rupanya ia lupa bahwa dulu
dewata telah mengubahnya menjadi laki-laki supaya lebih leluasa untuk mencari
Jaka Wudug, dan kelak ia akan kembali menjadi wanita lagi jika sudah bertemu
dengan putranya itu.
Tak
disangka, Jaka Wudug sekarang sudah menjadi Patih Selacala dan pertarungan tadi
telah mengembalikan wujud Prabu Sintawaka kembali menjadi Dewi Basundari. Akan
tetapi, hal ini sama sekali tidak disadari oleh Dewi Basundari. Setelah
kekalahan itu, ia pun membangun pondok di dalam Hutan Nastuti tersebut dan
melanjutkan bertapa untuk bisa bertemu putranya yang lama hilang.
PATIH SELACALA MENJADI PRABU WATUGUNUNG
Prabu
Palindriya bersuka cita mendengar berita kemenangan Patih Selacala atas
Kerajaan Gilingaya. Sejak saat itu, Kerajaan Gilingaya pun resmi menjadi negeri
bawahan Kerajaan Medang Kamulan, dan Patih Selacala diangkat sebagai pemimpin
di sana.
Sebagai
raja bawahan, Patih Selacala kemudian mengganti namanya menjadi Prabu
Watugunung. Tidak hanya itu, nama Kerajaan Gilingaya pun diganti pula menjadi
Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Watu gunung dan terciptanya pakuwon
di penanggalan jawa
PRABU WATUGUNUNG HENDAK MELAMAR TUJUH BIDADARI DEMI DEWI SINTA
Batara
Kala di Kahyangan Selamangumpeng dihadap para murid yang dipimpin Ditya
Pulasya. Tidak lama kemudian datang Prabu Watugunung dari Kerajaan Gilingwesi
bersama Patih Suwelacala dan Ditya Brekutu. Prabu Watugunung datang menghadap
untuk menyampaikan permasalahannya, yaitu sang permaisuri Dewi Sinta sudah
beberapa bulan ini tidak pernah lagi mau disentuh olehnya. Kadang sang istri
mengaku sedang datang bulan, kadang mengaku sedang tidak enak badan. Sampai
akhirnya, ketika Prabu Watugunung mengancam hendak menggunakan kekerasan, Dewi
Sinta pun mengajukan syarat bahwa dirinya bersedia kembali melayani sang suami
asalkan dimadu dengan tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari
Supraba, Batari Wilutama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang,
Batari Irimirim, dan Batari Tunjungbiru.
Batara
Kala heran mendengar kisah tersebut dan menasihati Prabu Watugunung supaya
tidak usah mengabulkan permintaan aneh Dewi Sinta itu. Namun, perasaan cinta
Prabu Watugunung terhadap Dewi Sinta sudah terlalu mendalam, dan ia rela
melakukan apa saja demi mendapatkan kembali cinta kasih sang permaisuri.
Bahkan, Patih Suwelacala juga ikut kena marah karena menyarankan supaya Prabu
Watugunung menahan diri dan tidak terlalu menuruti hawa nafsu.
Prabu
Watugunung lalu menjelaskan maksud dan tujuannya menghadap Batara Kala adalah
untuk meminta petunjuk bagaimana caranya mengabulkan permintaan aneh tersebut.
Batara Kala akhirnya bersedia membantu Prabu Watugunung. Ia menjelaskan bahwa
manusia biasa tidak mungkin menikah dengan bidadari, kecuali orang yang
memiliki jasa sangat besar terhadap kahyangan. Maka, sebaiknya Prabu Watugunung
mempersembahkan hadiah kepada Batara Indra sebagai pengganti jasa, dan hadiah
itu bisa berupa busur Bajra dan panah Herawana.
Meskipun
busur Bajra dan panah Herawana adalah benda pusaka warisan ayahnya (Prabu
Palindriya), tapi Prabu Watugunung rela kehilangan keduanya demi mewujudkan
permintaan Dewi Sinta. Batara Kala lalu mengutus Ditya Pulasya dan Ditya
Brekutu untuk menyerahkan kedua pusaka itu kepada Batara Indra di Kahyangan
Suralaya. Setelah kedua raksasa berangkat, Prabu Watugunung lalu mohon pamit
pulang ke Kerajaan Gilingwesi.
BATARA INDRA MENOLAK LAMARAN PRABU WATUGUNUNG
Ditya
Pulasya dan Ditya Brekutu telah sampai di Kahyangan Suralaya dan langsung
menghadap Batara Indra. Kedua raksasa ayah dan anak itu lalu mempersembahkan
busur Bajra dan panah Herawana supaya ditukar dengan tujuh bidadari unggulan.
Batara Indra menerima kedua pusaka itu dan menjelaskan bahwa busur Bajra dan
panah Herawana dulunya memang milik Kahyangan Suralaya sebelum dihadiahkan
kepada mendiang Prabu Palindriya saat masih bernama Raden Respati. Jika Prabu
Watugunung mengembalikan kedua pusaka itu kepada Kahyangan Suralaya, maka
Batara Indra tetap menganggapnya sebagai sebuah jasa. Batara Indra pun berjanji
kelak jika Prabu Watugunung meninggal, maka jiwanya akan diangkat sebagai dewa dan
mendapatkan istri bidadari.
Ditya
Pulasya dan Ditya Brekutu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk
melapor kepada Prabu Watugunung. Namun, di tengah jalan Ditya Pulasya merasa
ada yang aneh pada keputusan Batara Indra tadi. Padahal, Batara Indra telah
menerima busur Bajra dan panah Herawana, tetapi mengapa ia menunda untuk
mengabulkan permohonan Prabu Watugunung? Ditya Pulasya lalu mengajak Ditya
Brekutu dan segenap pasukan raksasa yang mengawal untuk kembali ke Kahyangan
Suralaya.
Para
raksasa itu menghadap Batara Indra dan meminta supaya ketujuh bidadari
diserahkan saat ini juga. Batara Indra marah dan mengerahkan pasukan Dorandara.
Terjadilah pertempuran di mana pasukan raksasa berhasil dipukul mundur keluar
dari Kahyangan Suralaya. Ditya Pulasya lalu mendirikan perkemahan di kaki
Gunung Jamurdipa, sedangkan Ditya Brekutu diperintah untuk pulang dan melapor
kepada Prabu Watugunung.
PRABU WATUGUNUNG MENGIRIM BALA BANTUAN
Ditya
Brekutu telah sampai di Kerajaan Gilingwesi dan langsung menghadap Prabu
Watugunung. Saat itu Prabu Watugunung sedang menerima kedatangan sekutunya,
yaitu Prabu Santakya, raja raksasa Kerajaan Malawa. Mendengar laporan Ditya
Brekutu, bahwa Batara Indra tidak bersedia menyerahkan ketujuh bidadari, Prabu
Watugunung menjadi sangat marah. Ia lalu memerintahkan Prabu Santakya untuk
memimpin pasukan menyerang Kahyangan Suralaya.
Sebelum
berangkat, Prabu Santakya meminta dibantu para arya yang memiliki sifat seperti
harimau, gajah, kambing, kera, ular, dan banteng. Prabu Watugunung lalu memilih
enam orang adiknya, yaitu Arya Kurantil yang bersifat seperti harimau, Arya
Julungwangi yang bersifat seperti gajah, Arya Mandasiya yang bersifat seperti
kambing, Arya Tambir yang bersifat seperti kera, Arya Prangbakat yang bersifat
seperti ular, dan Arya Dukut yang bersifat seperti banteng. Prabu Santakya
sendiri juga menunjuk empat orang raksasa anak buahnya sebagai para pemimpin
pasukan, yaitu Ditya Pragalba, Ditya Prabata, Ditya Keswari, dan Ditya Arimoha.
Setelah pasukan siap, mereka pun berangkat menyerang Kahyangan Suralaya untuk
membantu Ditya Pulasya.
RESI SATMATA MENERIMA TUGAS MENGAMANKAN KAHYANGAN
Batara
Indra di Kahyangan Suralaya menerima kunjungan Batara Guru dan Batara Narada
dari Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru menjelaskan bahwa Batara Indra
tidak mungkin bisa mengalahkan Prabu Watugunung yang dilindungi Batara Kala.
Satu-satunya yang bisa mengalahkan raja Gilingwesi itu hanyalah Batara Wisnu
yang saat ini sedang menjelma sebagai Resi Satmata. Batara Indra mematuhi nasihat
tersebut. Batara Guru lalu meminta Batara Narada untuk mencari dan menjemput
Resi Satmata. Batara Narada pun mohon pamit dan berangkat melaksanakan tugas
tersebut.
Resi
Satmata sendiri sedang menjalani tapa rame, dengan menjadi dukun pengobatan
yang hidup berpindah-pindah. Kali ini ia bertempat tinggal di Gunung Candrageni
(sekarang Gunung Merapi), dan sedang menerima kedatangan tiga orang adik
iparnya, yaitu Batara Laksmanasadu, Batara Penyarikan, dan Batara Satyawaka.
Mereka bertiga ikut prihatin atas hukuman pengasingan yang dijalani Resi
Satmata akibat kemarahan Batara Guru. Padahal, kejadian itu sudah belasan tahun
berlalu, tapi mengapa sampai sekarang Batara Guru belum juga memberikan
pengampunan padanya?
Tidak
lama kemudian, Batara Narada datang di Gunung Candrageni. Resi Satmata dan
ketiga adik iparnya menyembah dengan hormat. Batara Narada menjelaskan bahwa
kedatangannya adalah untuk menjemput Resi Satmata sebagai jago Kahyangan
Suralaya menghadapi serangan bala tentara Prabu Watugunung. Resi Satmata sangat
gembira karena hal ini bisa menjadi sarana baginya untuk memperoleh pengampunan
Batara Guru.
Setelah
Batara Narada kembali ke kahyangan, Resi Satmata segera memanggil kendaraannya
yang berwujud kuda sembrani berwarna putih bersih. Ia pun mengendarai kuda itu
dengan berboncengan sekaligus bersama ketiga adik iparnya meninggalkan Gunung
Candrageni.
RESI SATMATA BERTEMU DEWI SRIYUWATI DAN RADEN SRIGATI
Dalam
perjalanan terbang mengendarai kuda sembrani, rombongan Resi Satmata melewati
sebuah desa bernama Waringinsapta. Di desa itu Resi Satmata melihat istrinya,
yaitu Dewi Sriyuwati sedang duduk bersama seorang pemuda remaja di halaman
rumah. Resi Satmata sangat marah dan langsung turun ke darat untuk menanyai
istrinya itu. Namun, Dewi Sriyuwati dengan tenang menjelaskan bahwa pemuda
remaja itu adalah anak mereka sendiri.
Ternyata
dulu sewaktu Resi Satmata pergi meninggalkan padepokan di Hutan Kuyana, saat
itu Dewi Sriyuwati sedang hamil muda. Kini anak yang dikandung itu telah tumbuh
menjadi remaja tampan dan diberi nama Raden Srigati. Resi Satmata pun meminta
maaf atas kesalahannya dulu yang pergi tanpa pamit karena tidak ingin
melibatkan Dewi Sriyuwati dalam menjalani hukuman pengasingan. Ia sengaja
berbuat demikian supaya sang istri kembali ke istana Medang Kamulan, atau
mungkin bergabung dengan saudaranya, yaitu Patih Suwelacala di Kerajaan
Gilingwesi.
Tak
disangka, Dewi Sriyuwati ternyata memilih untuk pergi mencari ke mana Resi
Satmata pergi. Dalam keadaan hamil ia terlunta-lunta sampai akhirnya memasuki
Desa Waringinsapta. Di desa inilah ia melahirkan Raden Srigati dan hidup
membaur bersama rakyat jalata.
Resi
Satmata sangat terharu mendengar cerita Dewi Sriyuwati. Ia berjanji tidak akan
meninggalkan anak dan istrinya lagi. Namun, saat ini ia harus menjalankan tugas
dari Batara Guru terlebih dulu, yaitu menumpas Prabu Watugunung yang telah
menjadi musuh kahyangan. Kelak setelah memenangkan pertempuran dan mendapat
pengampunan, maka ia berjanji akan datang lagi untuk menjemput Dewi Sriyuwati
dan Raden Srigati. Ia juga memperkenalkan ketiga dewa yang menyertainya kali
ini adalah tiga orang adik iparnya saat menjadi Batara Wisnu di Kahyangan
Utarasegara. Mereka adalah Batara Laksmanasadu adik Batari Srilaksmi, Batara
Penyarikan adik Batari Sriyati, dan Batara Setyawaka adik Batari Srisatyawarna.
Dewi
Sriyuwati mendoakan supaya sang suami memenangkan pertempuran. Namun, ia juga
memiliki permintaan supaya Resi Satmata jangan membunuh saudara kandungnya,
yaitu Patih Suwelacala. Resi Satmata menyanggupi permintaan tersebut. Ia lalu
berangkat bersama ketiga adik iparnya menuju Gunung Mahameru, tempat Kahyangan
Suralaya berada.
RADEN SRIGATI MENUMPAS PARA RAKSASA
Resi
Satmata, Batara Laksmanasadu, Batara Penyarikan, dan Batara Setyawaka telah
sampai di Kahyangan Suralaya dan menghadap Batara Guru. Tampak para dewa
lainnya sudah berkumpul di sana, antara lain Batara Narada, Batara Indra,
Batara Surya, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Yamadipati, dan Batara
Wrehaspati.
Batara
Guru terkesan melihat perbuatan mulia Resi Satmata dengan menjadi dukun
pengobatan yang menolong masyarakat tanpa pilih kasih. Batara Guru pun
memberikan pengampunan atas segala kesalahan Resi Satmata, serta merestui
perkawinan putranya itu dengan Dewi Sriyuwati yang dulu sempat membuatnya
sangat murka. Resi Satmata bersyukur, dan ia pun mohon restu hendak keluar
menghadapi bala tentara Kerajaan Gilingwesi.
Tiba-tiba
di luar sudah terdengar adanya pertempuran. Ternyata Raden Srigati diam-diam
menyusul ayahnya naik ke Kahyangan Suralaya dan langsung bertarung melawan para
raksasa Kerajaan Malawa. Meskipun selama ini tinggal di desa, namun pada
dasarnya ia adalah putra Batara Wisnu sehingga memiliki kesaktian alami sejak
lahir. Prabu Santakya dan keempat punggawanya akhirnya tewas satu persatu di
tangan Raden Srigati.
Arya
Kurantil dan kelima adiknya segera maju menyerang Raden Srigati. Kali ini Raden
Srigati merasa kewalahan dan terdesak menghadapi keenam punggawa yang masih
terhitung pamannya itu. Melihat putranya terdesak, Resi Satmata segera terjun
ke pertempuran dan berhasil menewaskan keenam arya tersebut.
PRABU WATUGUNUNG TERJUN KE PERTEMPURAN
Prabu
Watugunung, Batara Kala, Patih Suwelacala, beserta para arya lainnya datang
menyusul ke Kahyangan Suralaya. Saat itu yang tertinggal menjaga istana
hanyalah Danghyang Suktina. Melihat bala tentara Gilingwesi dan Malawa telah
dihancurkan oleh Resi Satmata dan Raden Srigati, mereka sangat marah dan
langsung terjun ke medan pertempuran. Para arya pun maju mengeroyok Resi
Satmata, namun mereka satu persatu jatuh berguguran menemui ajal terkena
senjata Cakra Sudarsana.
Prabu
Watugunung sangat marah melihat semua adiknya tewas, kecuali Patih Suwelacala.
Batara Kala dapat melihat bahwa Resi Satmata tidak lain adalah penjelmaan
Batara Wisnu. Maka, ia segera merasuki tubuh Prabu Watugunung untuk
menjadikannya lebih kuat. Prabu Watugunung kemudian maju menghadapi lawan. Resi
Satmata pun melepaskan senjata Cakra Sudarsana namun ternyata tidak mampu
melukai kulit raja Gilingwesi itu.
Maka,
terjadilah pertarungan sengit antara Resi Satmata melawan Prabu Watugunung.
Keduanya terlihat sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Watugunung yang
sudah dirasuki Batara Kala dapat mengubah wujudnya menjadi raksasa sebesar
gunung dan mengamuk merusak bangunan Kahyangan Suralaya. Resi Satmata pun
mengimbanginya dengan bertriwikrama menjadi raksasa yang lebih besar lagi.
Dalam pertempuran tersebut, raksasa penjelmaan Resi Satmata berhasil
mengeluarkan Batara Kala dan mengusirnya pergi, sehingga membuat Prabu
Watugunung kembali ke wujud semula.
PRABU WATUGUNUNG DIHUKUM MATI
Meskipun
telah ditinggal Batara Kala, namun Prabu Watugunung tetap tangguh dan tidak
dapat dibunuh. Resi Satmata yang telah kembali ke wujud manusia segera
menghentikan pertempuran. Ia lalu menantang Prabu Watugunung adu kepandaian
daripada bertarung tanpa akhir. Prabu Watugunung diminta mengajukan sebuah
teka-teki, dan Resi Satmata siap menjawabnya. Jika teka-teki itu bisa ditebak,
maka Prabu Watugunung harus dihukum mati. Tapi jika teka-teki itu tidak dapat
ditebak, maka Prabu Watugunung boleh pulang dengan membawa tujuh bidadari
unggulan.
Prabu
Watugunung menerima tantangan Resi Satmata. Ia lalu mengajukan sebuah teka-teki
untuk diterjemahkan Resi Satmata dan ditafsirkan apa maknyanya. Teka-teki itu
berbunyi:
“Supila
silapa, supila kupala, kupila supala."
Resi
Satmata menjawab bahwa arti dari teka-teki itu adalah:
“Wit
dhakah woh dhakah (pohon besar, buah besar); wit dhakah who dhikih (pohon
besar, buah kecil); dan wit dhikih who dhakah (pohon kecil, buah besar).”
Adapun
tafsir dari teka-teki tersebut adalah:
Pohon
besar buahnya besar adalah kelapa. Maknanya ialah jika Prabu Watugunung tewas,
maka anak keturunannya tidak boleh dibunuh dan harus dimuliakan.
Pohon
besar buahnya kecil adalah beringin. Maknanya ialah jika Prabu Watugunung
tewas, maka istrinya jangan sampai diganggu.
Pohon
kecil buahnya besar adalah semangka. Maknanya ialah kedudukan para arya yang
gugur supaya diwariskan kepada anak-anak mereka.
Prabu
Watugunung terkesan pada jawaban Resi Satmata dan ia pun merelakan dirinya
untuk dihukum mati. Namun, Resi Satmata mengaku tidak tahu bagaimana caranya
bisa membunuh raja Gilingwesi itu. Prabu Watugunung pun menjelaskan bahwa
segala kesaktiannya berasal dari ajaran Begawan Radi, dan hanya Begawan Radi
yang mengetahui apa kelemahannya.
Resi
Satmata lalu menemui Batara Surya yang dulu pernah turun ke dunia sebagai
Begawan Radi. Batara Surya diminta untuk menjelaskan apa kelemahan Prabu
Watugunung. Batara Surya tak kuasa menolak dan ia terpaksa mengatakan bahwa
muridnya itu hanya bisa dibunuh dengan Kereta Jatisurya miliknya.
Resi
Satmata lalu meminjam Kereta Jatisurya milik Batara Surya itu dan segera
mengendarainya untuk melindas tubuh Prabu Watugunung. Raja Gilingwesi itu pun
tewas dengan tubuh lumat dan kemudian berubah menjadi bukit.
ASAL MULA TERCIPTANYA PAWUKON
Patih
Suwelacala yang dibiarkan hidup oleh Resi Satmata segera pulang ke Kerajaan
Gilingwesi untuk melapor kepada Dewi Sinta perihal kematian Prabu Watugunung.
Mendengar laporan itu, Dewi Sinta pun menangis keras-keras hingga suara
jeritannya terdengar sampai ke Kahyangan Suralaya.
Batara
Narada datang dari kahyangan untuk menenangkan wanita itu. Dewi Sinta memohon
kepada Batara Narada supaya para dewa mengampuni kesalahan Prabu Watugunung,
yaitu suami sekaligus putranya tersebut. Batara Narada mengatakan bahwa Batara
Guru telah mengampuni dosa-dosa Prabu Watugunung dan berniat mengangkat rohnya
naik ke kahyangan. Tidak hanya itu, satu persatu roh anggota keluarga Prabu
Watugunung juga akan diangkat ke kahyangan setiap tujuh hari sekali pada hari
Radite.
Dewi
Sinta sangat bersyukur. Maka, pada hari Radite pekan ini ia dijemput Batara
Yamadipati untuk diangkat ke kahyangan. Tujuh hari kemudian giliran Dewi Landep
(adik Dewi Sinta, atau ibu kandung Dewi Sriyuwati dan Patih Suwelacala) yang
dijemput naik ke kahyangan. Pada hari Radite berikutnya, Patih Suwelacala
dikembalikan namanya menjadi Arya Wukir dan dijemput naik ke kahyangan. Tujuh
hari kemudian giliran roh Arya Kurantil yang dijemput, disusul dengan roh para
arya lainnya setiap hari Radite, sampai akhirnya giliran roh Prabu Watugunung
yang dijemput sebagai penutup. Dengan demikian lengkap sudah tiga puluh roh
telah dijemput naik ke kahyangan setiap tujuh hari sekali.
Untuk
mengenang peristiwa tersebut, Batara Surya lalu menciptakan sebuah penanda
waktu baru untuk memperkaya tata cara penanggalan di Pulau Jawa. Penanda waktu
ini disebut pawukon yang berjumlah tiga puluh wuku, di mana setiap wuku terdiri
atas tujuh hari, mulai hari Radite sampai hari Saniscara. Ketiga puluh wuku
tersebut adalah :
1.
Wuku Sinta
2.
Wuku Landep
3.
Wuku Wukir
4.
Wuku Kurantil
5.
Wuku Tolu
6.
Wuku Gumbreg
7.
Wuku Warigalit
8.
Wuku Warigagung
9.
Wuku Julungwangi
10. Wuku
Julungsungsang
11. Wuku Galungan
12. Wuku Kuningan
13. Wuku Langkir
14. Wuku Mandasiya
15. Wuku Julungpujud
16. Wuku Pahang
17. Wuku Kuruwelut
18. Wuku Marakeh
19. Wuku Tambir
20. Wuku Medangkungan
21. Wuku Maktal
22. Wuku Wuye
23. Wuku Manahil
24. Wuku Prangbakat
25. Wuku Bala
26. Wuku Wugu
27. Wuku Wayang
28. Wuku Kulawu
29. Wuku Dukut
30. Wuku Watugunung
BATARA BRAHMA DITUNJUK MENJADI RAJA GILINGWESI
Batara
Guru sangat senang atas keberhasilan Resi Satmata alias Batara Wisnu dalam
usahanya mengamankan Pulau Jawa dari kejahatan Batara Kala. Sebagai hadiah,
Kerajaan Gilingwesi pun diserahkan kepada Batara Wisnu. Akan tetapi, Batara
Wisnu mengusulkan supaya Kerajaan Gilingwesi diserahkan kepada Batara Brahma
saja, karena negeri itu dulunya bernama Medang Gili yang didirikan oleh
kakaknya tersebut. Batara Wisnu mengaku sudah sangat bahagia bisa mendapatkan
restu dan pengampunan dari Batara Guru, dan jika ia diizinkan kembali menjadi
raja Medang Kamulan, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Maka,
Batara Guru pun menyerahkan Kerajaan Gilingwesi kepada Batara Brahma supaya
menjadi raja di sana. Untuk itu, Batara Brahma lalu menggunakan gelar Prabu
Brahmaraja, sedangkan Batara Wisnu (Resi Satmata) kembali menjadi raja Medang
Kamulan dengan bergelar Prabu Wisnupati.
KELAHIRAN ANAK-ANAK PRABU PALINDRIYA
Prabu
Palindriya di Kerajaan Medang Kamulan sedang menunggu kelahiran anak-anaknya.
Sungguh suatu kebetulan, sang permaisuri Dewi Landep dan para selir yang
berjumlah dua puluh enam itu semuanya sedang mengandung bersamaan.
Ketika
waktunya tiba, Dewi Landep pun melahirkan sepasang bayi perempuan dan
laki-laki. Yang perempuan diberi nama Dewi Sriyuwati, sedangkan yang laki-laki
diberi nama Raden Wukir.
Selang
tujuh hari kemudian seorang selir melahirkan bayi laki-laki, disusul kemudian
selir yang lain melahirkan bayi laki-laki pula pada tujuh hari berikutnya.
Demikianlah, setiap tujuh hari sekali seorang selir Prabu Palindriya melahirkan
seorang anak, sehingga tuntas kedua puluh enam putra pun lahir ke dunia dalam
waktu dua puluh enam pekan setelah Dewi Landep melahirkan.
Kedua
puluh enam putra Prabu Palindriya yang lahir daris selir itu masing-masing
diberi nama Raden Kurantil, Raden Tolu, Raden Gumbreg, Raden Warigalit, Raden
Warigagung, Raden Julungwangi, Raden Julungsungsang, Raden Galungan, Raden
Kuningan, Raden Langkir, Raden Mandasiya, Raden Julungpujud, Raden Pahang,
Raden Kuruwelut, Raden Marakeh, Raden Tambir, Raden Medangkungan, Raden Maktal,
Raden Wuye, Raden Manahil, Raden Prangbakat, Raden Bala, Raden Wugu, Raden
Wayang, Raden Kulawu, dan Raden Dukut.
Prabu
Palindriya mendadak teringat pada permaisuri pertama, yaitu Dewi Sinta yang
telah kabur entah ke mana. Saat meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan dulu, Dewi
Sinta sedang dalam keadaan hamil tua dan tentunya saat ini ia sudah melahirkan.
DEWI BASUNDARI MENGUSIR JAKA WUDUG
Di
Desa Cangkring, Dewi Sinta yang telah memakai nama Dewi Basundari hidup sebagai
rakyat jelata. Putranya yang bernama Jaka Wudug sudah berusia dua tahun dan
diasuhnya seorang diri. Pada suatu hari Jaka Wudug menangis keras-keras minta
makan. Saat itu Dewi Basundari masih sibuk menanak nasi. Karena kehilangan
kesabarannya, Dewi Basundari pun memukul kepala Jaka Wudug menggunakan centong.
Jaka Wudug ketakutan dan lari meninggalkan ibunya dengan kepala terluka di
bagian belakang.
Dewi
Basundari meneruskan memasak makanan. Ketika semuanya telah matang, ternyata
Jaka Wudug sudah hilang entah ke mana. Dewi Basundari mencari putranya itu ke
mana-mana namun tidak juga bertemu. Ia merasa sangat menyesal mengapa tadi
kehilangan kesabaran dan memukul putra satu-satunya itu. Rupanya sifatnya yang
suka kabur kini telah menurun kepada Jaka Wudug. Barulah sekarang ia dapat
membayangkan betapa sedih perasaan ayahnya dulu ketika ia kabur dari Kahyangan
Saptapratala.
DEWI BASUNDARI DIUBAH MENJADI LAKI-LAKI
Karena
tidak berhasil menemukan anaknya, Dewi Basundari lalu bertapa memohon bantuan
dewata. Ia merasa kesulitan jika harus berkelana dalam wujud wanita dan ingin
berganti kelamin menjadi laki-laki supaya lebih leluasa dalam mencari Jaka
Wudug.
Setelah
beberapa hari bertapa tekun tanpa makan, tanpa tidur, akhirnya permohonan Dewi
Basundari dikabulkan dewata. Ia didatangi Batara Narada yang membawa anugerah
Batara Guru untuk mengubah wujudnya menjadi laki-laki. Secara ajaib, Dewi
Basundari pun seketika berubah menjadi seorang laki-laki dan diberi nama baru,
yaitu Raden Sintawaka.
Batara
Narada lalu memberikan pelajaran ilmu kesaktian kepada Raden Sintawaka sebagai
bekal menempuh perjalanan. Setelah itu, Batara Narada pun berpesan supaya Raden
Sintawaka pergi ke Kerajaan Gilingaya dan mengabdi kepada Prabu Heryanarudra.
Kelak, Raden Sintawaka akan kembali menjadi wanita jika sudah bertemu dengan
Jaka Wudug di negeri tersebut.
Raden
Sintawaka berterima kasih atas anugerah dewata, dan ia pun mohon restu
berangkat menuju Kerajaan Gilingaya yang terletak di arah barat.
JAKA WUDUG MENJADI ANAK ANGKAT RESI BAGASPATI
Sementara
itu, Jaka Wudug yang kabur meninggalkan rumah ternyata berlari ke arah Sungai
Serayu. Karena kurang berhati-hati, kakinya pun terpeleset sehingga tubuhnya
tercebur dan hanyut dibawa arus sungai tersebut. Itulah sebabnya mengapa sang
ibu sama sekali tidak dapat menemukan keberadaannya.
Setelah
beberapa hari hanyut terapung-apung dibawa aliran sungai, Jaka Wudug akhirnya
ditemukan oleh seorang pendeta bernama Resi Bagaspati yang bertapa di tepi
Sungai Serayu. Resi Bagaspati sangat heran melihat ada anak kecil berusia dua
tahun hanyut di sungai tapi masih tetap hidup. Ketika Jaka Wudug siuman dari
pingsan, Resi Bagaspati pun menanyai asal-usulnya. Namun, Jaka Wudug hanya bisa
menyebutkan namanya tapi tidak dapat menceritakan dari mana ia berasal.
Resi
Bagaspati sangat prihatin melihat keadaan anak kecil tersebut, sekaligus kagum
dan heran pula melihat kemampuannya bertahan hidup. Karena tidak tahu harus
diantar pulang ke mana, Resi Bagaspati pun memutuskan untuk merawat Jaka Wudug
dan menjadikannya sebagai anak angkat.
RADEN SINTAWAKA BERTEMU PRABU HERYANARUDRA
Prabu
Heryanarudra di Kerajaan Gilingaya suka bertani dan gemar memelihara binatang,
yaitu sifat yang mirip dengan mendiang Sri Maharaja Kanwa. Pada suatu hari ia
pergi ke hutan untuk memikat burung. Dilihatnya banyak burung bertengger pada
dahan pohon aren. Prabu Heryanarudra lalu memerintahkan para prajurit untuk
menebang dahan tersebut. Ketika ditebang, ternyata dari pohon aren itu memancar
air nira yang manis rasanya.
Prabu
Heryanarudra merasa senang ketika mencicipi air nira tersebut. Ia lalu
memerintahkan para prajurit untuk mengumpulkan air nira sebanyak-banyaknya
untuk dibawa pulang dan dimasak menjadi gula. Itulah awal mula masyarakat Jawa
mengenal pembuatan gula aren.
Dalam
perjalanan pulang ke istana Gilingaya, rombongan Prabu Heryanarudra diserang
sekelompok harimau. Para prajurit banyak yang terluka karena diterkam dan
dicakar binatang buas tersebut. Tiba-tiba muncul Raden Sintawaka membantu
mengalahkan dan mengusir kawanan harimau tersebut, sehingga kembali masuk ke
dalam hutan.
Prabu
Heryanarudra sangat senang menerima bantuan pemuda berwajah tampan itu yang
bisa mengusir kawanan harimau tanpa melukai mereka sedikit pun. Ketika Raden
Sintawaka menyampaikan niatnya ingin mengabdi pada Kerajaan Gilingaya, Prabu
Heryanarudra langsung menerimanya.
PRABU HERYANARUDRA MENINGGAL KARENA WABAH
Sudah
bertahun-tahun lamanya Raden Sintawaka mengabdi kepada Prabu Heryanarudra namun
belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Jaka Wudug, putranya. Justru yang
terjadi adalah hubungannya dengan Prabu Heryanarudra yang semakin akrab
bagaikan anak dan ayah. Prabu Heryanarudra memang tidak memiliki putra dan ia
telah menunjuk Raden Sintawaka menjadi ahli warisnya jika meninggal kelak.
Pada
suatu ketika, Kerajaan Gilingaya terserang wabah penyakit. Banyak penduduk yang
mati menjadi korban. Prabu Heryanarudra turun tangan secara langsung untuk
memberikan bantuan kepada para penduduk yang menderita. Akibatnya, ia pun ikut
tertular wabah penyakit tersebut dan meninggal pula beberapa hari kemudian.
Sesuai
wasiat Prabu Heryanarudra sebelum meninggal, takhta Kerajaan Gilingaya pun
diwariskan kepada Raden Sintawaka sebagai raja selanjutnya. Patih Anindyamantri
dan para menteri semua tunduk dan menyatakan dukungan mereka.
PRABU SINTAWAKA MENGADAKAN BERSIH DESA
Prabu
Sintawaka lalu mengajak Patih Anindyamantri dan para menteri berunding mencari
cara untuk menghentikan wabah penyakit tersebut. Patih Anindyamantri bercerita
bahwa semasa muda Prabu Heryanarudra bernama Raden Jakapuring pernah berguru
bersama kakaknya yang bernama Raden Pakukuhan kepada seorang brahmana di Gunung
Tasik. Brahmana itu bernama Begawan Radi yang saat ini tinggal di Padepokan
Andongdadapan. Mungkin Begawan Radi bisa dimintai bantuan untuk menanggulangi
wabah penyakit yang saat ini melanda Kerajaan Gilingaya.
Padepokan
Andongdadapan berada di luar kekuasaan Kerajaan Gilingaya ataupun Kerajaan
Medang Kamulan, karena dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Purwacarita
yang saat ini sudah runtuh. Maka, Prabu Sintawaka pun bisa dengan leluasa pergi
ke padepokan tersebut untuk menghadap Begawan Radi dan meminta petunjuk
kepadanya. Begawan Radi yang tidak lain adalah penjelmaan Batara Surya segera
menyanggupi permohonan tersebut. Ia lalu berangkat menuju Kerajaan Gilingaya
menyertai Prabu Sintawaka.
Sesampainya
di Gilingaya, Begawan Radi segera menyebarkan perintah supaya para penduduk
baik di kota maupun di desa mengadakan selamatan yang disebut Sesaji Gramaweda.
Perintah tersebut dalam waktu singkat segera tersebar luas ke segenap penjuru
negeri untuk dilaksanakan.
Perintah
Begawan Radi ternyata membuahkan hasil. Setelah diadakan selamatan secara
merata, Kerajaan Gilingaya pun terbebas dari wabah penyakit. Begawan Radi
menyarankan supaya selamatan seperti ini dilaksanakan secara rutin setiap
tahun. Para penduduk pun mematuhinya. Inilah awal mula terciptanya perkumpulan
selamatan di Tanah Jawa. Karena masyarakat desa kesulitan menyebut istilah
Sesaji Gramaweda, mereka pun lebih suka menyebutnya dengan istilah Bersih Desa.
RADEN RADITYA BERGURU KEPADA BEGAWAN RADI
Setelah
tugasnya di Kerajaan Glingaya selesai, Begawan Radi kembali ke Padepokan
Andongdadapan. Tidak lama kemudian datang seorang remaja bernama Jaka Wudug
yang mengaku sebagai anak angkat Resi Bagaspati yang tinggal di tepi Sungai
Serayu. Jaka Wudug menceritakan bahwa ayah angkatnya itu telah meninggal dan
sempat menyampaikan wasiat supaya ia pergi berguru kepada Begawan Radi di
Padepokan Andongdadapan.
Begawan
Radi yang sudah lama mengenal Begawan Bagaspati merasa prihatin mendengar kabar
kematian tersebut. Maka, ia pun menerima Jaka Wudug sebagai muridnya. Melihat
wajah pemuda itu sangat tampan dan bercahaya seperti matahari, Begawan Radi pun
mengganti nama Jaka Wudug menjadi Raden Raditya. Ia yakin kalau remaja ini bukanlah
pemuda desa biasa, tetapi keturunan seorang raja besar.
Maka,
sejak itu Jaka Wudug yang telah berganti nama menjadi Raden Raditya pun berguru
kepada Begawan Radi alias Batara Surya dan tinggal di Padepokan Andongdadapan
untuk mendapatkan berbagai pelajaran ilmu kesaktian.
Koleksi Artikel Imajiner Nuswantoro