Kahyangan
Kahyangan adalah alam yang dihuni para dewa.
Kahyangan / kedewaan atau tempat dewa-dewa.
Kahyangan atau Hyang atau Pura merupakan salah satu bentuk “tempat suci” yang didirikan berdasarkan konsep teologi-filosofis tertentu untuk menjadi tempat sekaligus pusat orientasi pemujaan. Secara konsepsional tata ruang pura yang terdiri atas tiga mandala suci.
Dewa atau bathara dalam pewayangan memiliki istana atau kahyangannya masing-masing.
Dalam dunia pewayangan dikenal adanya dewa atau disebut dengan bathara.
Setiap dewa atau bathara ini memiliki istananya masing-masing.
Istilah "istana" dalam dunia pewayangan disebut dengan "kahyangan".
Kahyangan ini digunakan para dewa untuk mengendalikan alam semesta, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Berikut Dewa dan Kahyangane (Dewa dan Istananya) :
1. Batara Endra
Kahyangan: Endra Loka
(Batara Endra ing Kahyangan Endra Loka)
2. Batara Brama
Kahyangan: Arga Dahana
(Batara Brama ing Kahyangan Arga Dahana)
3. Batara Kamajaya
Kahyangan: Cakra Kembang
(Batara Kamajaya ing Kahyangan Cakra Kembang)
4. Batara Wisnu
Kahyangan: Ariloka
(Batara Wisnu ing Kahyangan Ariloka)
5. Batara Yama
Kahyangan: Yomani Loka
(Batara Yama ing Kahyangan Yomani Loka)
6. Batara Durga
Kahyangan: Setra Ganda Mayit
(Batara Durga ing Kahyangan Setra Ganda Mayit)
7. Sang Hyang Antaboga
Kahyangan: Sapta Pratala
(Sang Hyang Antaboga ing Kahyangan Sapta Pratala)
8. Sang Hyang Batara Guru
Kahyangan: Junggring Saloka
(Sang Hyang Batara Guru ing Kahyangan Junggring Saloka)
9. Sang Hyang Nagaraja
Kahyangan: Sumur Jalatundha
(Sang Hyang Nagaraja ing Kahyangan Sumur Jalatundha)
10. Sang Hyang Wenang
Kahyangan: Ngandar-andir Bawana
(Sang Hyang Wenang ing Kahyangan Ngandar-andir Bawana)
Kisah Kahyangan
1. Kahyangan Suralaya Kerajaan Para Dewa
Legenda adalah kisah tentang orang, kejadian, atau peristiwa yang dibuat berdasarkan fantasi dengan maksud untuk menimbulkan kekaguman, pemujaan dan penghormatan terhadap subyek yang dikisahkan. Legenda bukan sejarah, walaupun bisa jadi subyeknya adalah tokoh sejarah. Legenda biasanya bersifat mitologis, karena dalam kisahnya biasanya mengandung unsur-unsur gaib yang bersifat supernatural. Sebagai suatu karya sastra, legenda menarik, karena petualangan tokoh-tokohnya yang unik, kadang-kadang menegangkan, dan dapat memacu imajinasi, daya khayal, dan kreativitas pembacanya.
Adapun mengenai legenda para dewa orang Jawa dapat dijumpai dalam kitab Tantu Panggelaran yang konon berasal dari jaman Kediri, kitab Paramayoga dan Pustaka Rajapurwa. Dua yang terakhir adalah karya Pujangga Agung Keraton Surakarta, R.Ng. Ranggawarsita (1802 – 1873 M).
Seperti para sastrawan Romawi yang memindahkan dewa-dewa Yunani menjadi dewa-dewa Romawi, sastrawan Jawa juga memindahkan dewa-dewa dari tanah Hindustan ke Pulau Jawa. Bagi Orang Yunani, Mahadewa Zeus, adalah dewa tertinggi penguasa jagad raya. Tetapi oleh para sastrawan Romawi, Dewa Zeus diboyong ke Romawi dan diberi nama baru, Mahadewa Yupiter. Istri Zeus, Hera, diberi nama baru Yuno. Gadis cantik jelita tapi perkasa, Athena dan Selena, diganti jadi Minerva dan Diana. Dewa lainnya juga diperlakukan dengan cara yang sama, yaitu diromawikan. Demikian pula ritual untuk menyembah para dewa Romawi, sebagian besar merupakan adopsi yang dilakukan orang Rowawi dari ritual pemujaan orang Yunani terhadap dewa-dewa mereka. Para Pujangga Jawa juga melakukan hal yang sama seperti para Pujangga Romawi.
Dalam kitab Tantu Panggelaran dan Paramayoga, dewa tertinggi Orang Jawa adalah Batara Guru yang juga bergelar Sang Hyang Jagad Girinata. Padahal dalam agama Hindu, dewa tertinggi adalah Syiwa bagi pengkut Syiwaisme, Wisnu bagi pengikut Waisnawa, dan Brahma bagi pengikut Brahmaisme. Tetapi apakah Batara Guru dapat disamakan dengan Sang Hyang Syiwa? Ternyata tidak. Sebab dalam teologi Hindusime, Syiwa adalah Sang Hyang Widdhi, Tuhan Yang Maha Kuasa, setara dengan Sang Adi Budha dalam teologi Buddha, setara dengan Yahweh dalam Kitab Perjanjian Lama, dan setara dengan Tuhan Bapa dalam Kitab Perjajian Baru. Batara Guru dalam Kitab Paramayoga, hanya setara dengan Nabi Isa as atau Nabi Sulaeman. Jadi, Batara Guru bukan Tuhan, hanya setara dengan utusan Tuhan. Tetapi juga bukan manusia, sebab Batara Guru termasuk golongan dewa yang berbadan halus, hidup abadi, tidak terkena sakit, dan tida bisa mati.
Dari sudut ajaran Islam, Batara Guru itu termasuk golongan Jin. Memang leluhur Batara Guru, dari jalur ibunya, akan sampai pada raja jin sakti, Yakni Jin Ngajajil. Sedang dari jalur ayahnya, akan sampai kepada Nabi SIS, yang menurut Kitab Paramayoga, adalah turunan Nabi Adam dan Siti Kawa. Rantai nasab Batara Guru sampai kepada Nabi Adam dan Siti Kawa adalah sebagai berikut :
“Batara Guru putra Sang Hyang Tunggal, putra Sang Hyang Wenang, putra Sang Hyang Nurrasa, putra Sang Hyang Nurcahya, putra Nabi SIS, putra Nabi Adam".
Pujangga yang pertama kali menciptakan nama Batara Guru sebagai dewa tertinggi orang Jawa, sesungguhnya bukan pengarang kitab Paramayoga, juga bukan pengarang kitab Tantu Panggelaran. Tetapi pengarang lakon Kunjarakarna, sebuah lakon yang ditulis dalam metrum kakawin pada abad ke-14 M. (Ir.Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikime dalam Wayang).
Dalam lakon itu, tokoh Wairocana mengajari Kunjarakarna tentang mistik ketuhanan dengan mengatakan, ”Aku Wairocana, adalah Buddha dan Syiwa dalam bentuk yang nyata dan tampak. Karena itu, aku terkenal dimana-mana dengan nama Batara Guru. Akulah dewa yang tertinggi dan meliputi seluruh jagad.” Suatu pandangan mistik ketuhanan yang bersifat panteistik dan imanent. Dalam mistik Islam pandangan diatas termassuk aliran wujudiyah yang merupakan akar-akar dari pandangan Islam Kejawen.
Dari kutipan di atas jelaslah, bahwa Batara Guru dalam Kunjarakarna, adalah Syiwa yang menjelma menjadi wujud yang lain, sebagaimana dikatakan Mpu Tantular dalam Sutasoma, ”Bhineka tunggal ika, tan hana janma mangrawa”. Artinya berbeda-beda dalam wujudnya, tapi satu dalam hakekat.
Dalam Paramoyoga, yang ditulis pada jaman ketika para raja, punggawa, dan pujangga Keraton Surakarta sudah memeluk agama Islam, tokoh Batara Guru secara lahiriyah mengalami penurunan status. Batara Guru bukan lagi Tuhan Alam Semsesta. Tetapi sejalan dengan mistik Islam wujudiyah, Batara Guru adalah Gusti yang sedang manunggal dan berwujud Kawula. Itulah sebabnya Sang Pujangga, melukiskan rantai nasab Batara Guru dari jalur ayah sebagai masih keturuan Nabi Adam. Dan Nabi Adam adalah kawula atau hamba Allah yang mendapat karuniaNya sehingga diangkat jadi Utusan Allah. Demikian pula Batara Guru, dalam pandangan Sang Pujangga, adalah hamba Allah yang mendapat karuniaNya, sebagai mana dikatakan Wairocana, ”Dewa tertinggi yang meliputi seluruh jagad.” Gagasan Sang Pujangga yang telah memadukan persespi ketuhanan atas dasar pandangan Islam dengan pandangan Hindu dan Buddha, telah melahirkan suatau pandangan teologi Islam baru yang bersifat sinkretik.
Lepas dari pandangan teologi Sang Pujangga, Kisah Mitologi para dewa dalam kesustraan Jawa, tetap menarik untuk dinikmati, ada pesan etik yang dapat diambil sebagai bahan pembelanjaran, dan petualangan para dewa dalam mitologi sastra Jawa, sangat menggetarkan, tidak kalah dengan petualangan dewa-dewa Yunani dalam karya Hommer. Lagi pula kisah petualangan para dewa itu juga menggugah fantasi dan imajinasi yang dapat memicu kreativitas pembacanya. Sebagai karya sastra, tentu saja mitologi para dewa dalam sastra Jawa bisa menjadi pintu masuk untuk lebih memahami warna dan corak kebudayaan Jawa di masa lampau yang diwarisan dari para pujangga kesusastraan Jawa.
Bagi para penggemar wayang kulit, mengetahui kosmogoni para dewa dalam kesusastraan Jawa, akan membantu dan memudahkan memahami jalan ceriteranya. Sebab, dalam pertunjukan wayang kulit, pasti akan muncul salah satu atau beberapa tokoh dewa yang mengendalikan dunia wayang.
2.Kahyangan Suralaya, Tempat Istana Para Dewa.
Dimanakah letak kediaman para dewa sebagai tempat untuk mengendalikan pemerintahan alam semesta? Para dewa tinggal di suatu tempat di dunia atas atau dilangit, yang bernama Kahyangan Suralaya, atau Kahyangan Surapada, dan kadang-kadang disebut juga sebagai Kahyangan Suraloka.
Kahyangan Suralaya, tempat tinggal para dewa, dilukiskan sebagai suatu tempat di puncak Gunung Mahendra, yang disebut juga sebagai Gunung Mahameru. Kelak disebut juga sebagai Gunung Lawu.Tetapi Suralaya tidak benar-benar ada di puncak Mahameru. Sebab para dewa membagia dunia ini menjadi tiga, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas adalah tempat tinggal para dewa. Jadi Kahyangan Suralaya itu merupakan dunia atas atau dunia langit. Puncak Mahameru hanya merupakan jalan masuk pintu gerbang Suralaya. Dan Gunung Mahameru juga hanya merupakan tangga naik ke Suralaya.
Jika Kahyangan Suralaya adalah tempat tinggal para dewa, maka dunia tengah, atau permukaan bumi yang berupa daratan dan lautan merupakan tempat tinggal manusia. Sadangkan dunia bawah, adalah dunia di bawah daratan dan lautan, merupakan dunia tempat tinggal bangsa raksasa, jin, setan, demit, dan mahluk halus lainnya yang bukan dewa, dan pada umumnya mereka berperilaku jahat.
Suralaya sebagai dunia atas dilukiskan sebagai tempat tinggal yang luas sekali. Di sana terdapat istana tempat tinggal para dewa. Misalnya Istana Jonggringsalaka atau Istana Perak, merupakan tempat tinggal Batara Guru dengan istrinya yang kedua, Dewi Laksmi. Dari Istrinya yang pertama, Dewi Uma, Batara Guru punya lima putra, yakni Sambo, Brahma, , Indra, Bayu, Wisnu ,dan Kala. Dari Dewi Laksmi, Batara Guru punya tiga putra, yaitu Mahadewa, Asmara, dan Sakra.
Istana Suwelagringging merupakan tempat tingga Dewa Sambu dengan istrinya, Dewi Astuti. Jabatan Dewa Sambu adalah sekretaris Batara Guru. Sedangkan Istana Duksinageni, merupakan Istana Dewa Brahma. Dia tinggal dengan Istrinya Dewi Saraswati. Dewa Brama adalah dewa penguasa api. Di Suralaya Dewa Brahma menjabat sebagai Menteri Pertahanan yang bertanggung jawab atas keamanan Suralaya. Sebagai Menteri Pertahanan, Dewa Brama mengendalikan tentara dewa yang namanya Dorandana. Istana Tinjomaya, merupakan istana tempat tinggal Dewa Indra dengan istrinya Dewi Wiranci. Jabatan Dewa Indra adalah Panglima Perang Tentara Dewa, atau Senapati pada dewa. Dewa Indra adalah dewa penguasa awan, sungai, telaga, hujan dan air.
Sedangkan Istana Panglawung, merupakan istana tempat tinggal Dewa Bayu dan istrinya, Dewi Sumi. Dewa Bayu adalah dewa yang menguasai angin, badai, angin topan, angin putting beliung dan angin lainnya. Lalu, Istana Uttarasagara, merupakan tempat tinggal Dewa Wisnu dengan istrinya, Dewi Sri Sekar. Dewa Wisnu adalah dewa yang mengatur alam semesta, menegakkan hukum, dan membasmi semua kejahatan. Selain istana di atas, masih banyak istana para dewa lainnya, seperti Istana Cakrakembang-Dewa Kamajaya, Argadumilah-Dewa Yama, Jongmeru-Dewa Sakra, Selamangumpeng-Dewa Kala, Tejamaya-Dewa Ismaya, Sabaluri-Dewa Antaga, Argapura-Dewa Mahadewa, Mayaretna-Dewa Asmara, dan Glugutinular-Dewa Ganesha.
Sebagai kompleks istana para dewa, Suralaya memiliki pintu gerbang Selamatangkep, balai pertemuan Marcukundha, gelanggang latihan perang prajurit dewa Repatkepanasan, alun-alun Papajarwarna, sepasang beringin kembar di alun-alun Dewandaru dan Wijayandaru, gedung kesenian Mandhalasana, lengkap dengan gamelannya Lokananta, dan tamansari Nandana. Binatang di Suralaya, antara lain, kuda sembrani Ucchaihasrawa, sapi perempuan tunggangan Batara Guru, Nandini, dan gajah tunggangan Senapati Suralaya Dewa Indra, Airawata. Di Suralaya juga ada Gunung Jamurdipa, dengan kawahnya Candradimuka, dan lumpur panasnya Blegedaba.
Kahyangan Suralaya juga punya pabrik senjata untuk para dewa, yang dipimpin oleh dua dewa, yakni Dewa Ramadi dan Dewa Anggajali. Pada mulanya Dewa Ramadi dan Dewa Anggajali, adalah empu pembuat senjata pada dewa di Kahyangan Ondar-Andir Bawana, Kahyangan Ayah Batara Guru di Puncak Gunung Tengguru atau Gunung Himalaya, tanah Hindustan. Karena jasa-jasanya, Dewa Anggajali mendapat hadiah Kerajaan Surati, maka Dewa Anggajali turun ke dunia menjadi Raja Kerajaan Surati, dengan mengambil gelar Prabu Iwaksa Anggajali. Dia berputra Raden Aji Saka. Ketika tahu Batara Guru akan pindah ke tanah Jawa, dan akan membangun Kahyangan Suralaya di Pulau Jawa, Prabu Iwaksa Anggajali lengser keprabon dan menobatkan putranya Raden Aji Saka dengan nama nobat Prabu Isaka Sangkala.
Prabu Anggajali sendiri pergi bertapa, agar kesaktiannya membuat senjata para dewa yang telah lama ditinggalkannya, bisa pulih kembali. Tetapi putranya yang menduduki tahta Kerajaan Surati, tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja Kerajaan Surati berhasil diduduki musuh, sehingga Raden Aji Saka dan dua ponakawannya, Sembada dan Dora, melarikan diri untuk menemui ayahnya di pertapaanya. Oleh Ayahnya, yang telah kembali bergelar Empu Anggajali, Aji Saka diberitahu agar melupakan Kerajaan Surati dan tidak usah bersedih hati. Diberitahu bahwa Batara Guru sudah beberapa kali melakukan survai ke tanah Jawa, dan berniat pindah ke Pulau Jawa dan membangun Kahyangannnya sendiri di Puncak Mahameru .
Raden Aji Saka disarankan agar pindah saja ke Pulau Jawa, dan membangun kembali kerajaannya yang hilang. Ayahnya, berjanji kelak akan menyusul juga pindah ke Pulau Jawa, mengikuti Batara Guru dan keluarganya. Raden Aji Saka mengikuti petunjuk ayahnya dan pindah ke Pulau Jawa. Akhirnya Aji Saka berhasil menuduki tahta Kerajaan Medangkamulan, dengan mengambil nama nobat Prabu Sangkala Aji Saka. Ketika Batara Guru mulai membangun Kahyangan Suralaya dibantu putra-putranya, Empu Anggajali menemui Batara Guru. Batara Guru sangat gembira, ketika Empu Aggajali akan ikut pindah ke Pulau Jawa. Empu Anggajali pun kembali diangkat menjadi dewa, dan dipasangkan kembali dengan sahabat lamanya Dewa Ramadi yang juga ikut pindah ke Jawa. Dewa Anggajali dan Dewa Ramadi, dibuatkan istana Candramuka di Kahyangan Suralaya, tidak jauh dari puncak Gunung Merapi. Tugas Dewa Anggajali dan Dewa Rahmadi, ialah membuat senjata para dewa di pabrik senjata para dewa di puncak Gunung Merapi.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Batara Guru dibantu Patih Narada, dan dua punokawan setianya, Dewa Patuk dan Dewa Temboro. Semua dewa yang keluar masuk Suralaya harus melewati pintu gerbang Selamatangkep, pintu gerbang dari batu yang bisa membuka dan menutup sendiri, dijaga oleh dua raksasa kembar Cingkarabala dan Balaupata yang bersenjatakan gada. Mahluk biasa seperti manusia dan raksasa, tidak bisa masuk lewat pintu gerbang Selamatangkep tanpa ijin dewa. Dan dua rakasa kembar itu punya wewenang menolak manusia, raksasa, dan jin yang mencoba masuk Suralaya tanpa ijin.
Disamping dihuni para dewa, Suralaya juga dihuni para bidadari yang cantik jelita dan juga sakti. Dinatara bidadari itu ada yang menjadi istri para dewa, tetapi ada juga yang tidak punya suami atau pernah punya suami dewa atau manusia, tetapi tetap gadis, walaupun pernah melahirkan anak.
Tujuh bidadari Suralaya yang paling cantik adalah :
(1) Dewi Supraba,
(2) Dewi Tilottama atau Wilutama,
(3) Dewi Warsiki,
(4) Dewi Gagarmayang,
(5) Dewi Lengleng Mulat,
(6) Dewi Surendra,
(7) Dewi Tunjungbiru.
Tujuh bidadari cantik itu semuanya pandai menari dan menyanyi, dan memegang peran penting untuk menghibur para dewa dalam acara pentas seni dan pesta para dewa di Balai Kesenian Mandhalasana diiring gending Lokananta yang ditabuh para dewa.
Kahyangan Suralaya di puncak Mahameru dibangun sendiri oleh Batara Guru dibantu oleh putra-putrinya. Sebelumnya Batara Guru tinggal di Kahyangan Ondar-Andir Bawana di Puncak Gunung Tangguru atau Gunung Himlaya di tanah Hindustan milik ayahnya, Sang Hyang Tunggal.
Konon Sang Hayang Tunggal masih keturunan Nabi Adam. Adapun nasabnya sebagai berikut: Sang Hyang tunggal bin Sang Hyang Wenang, bin Sang Hyang Nurasa, bin Sang Hyang Nurcahya, bin Sang Hyang Sita. Sang Hyang Sita adalah putra keenam Kanjeng Nabi Adam dengan Dewi Siti Kawa. Bagaimana bisa Nabi Adam, jadi leluhur Batara Guru ?
Imajiner Nuswantoro