PRABU GILINGWESI,
GILING WESI,
KISAH GILING WESI
Prabu
Gilingwesi atau Rakeyan Hujung Kulon adalah raja Kerajaan Sunda keenam yang
berkuasa pada tahun 783-795 M. Dia berasal dari Kerajaan Galuh, anak dari Raja
Galuh, Mansiri dan sekaligus juga cucu dari Manarah (Ciung Wanara). Prabu
Giliwengsi menikah putri dari Rakeyan Medang yang bernama Dewi Samatha.
Setelah
Rakeyan Medang meninggal pada tahun 783 M, Prabu Gilingwesi naik takhta sebagai
raja di Kerajaan Sunda. Hal ini disebabkan Rakeyan Medang hanya memiliki
seorang anak perempuan. Prabu Gilingwesi sebenarnya adalah anak pertama dari
Raja Sunda, Mansiri dan semestinya Prabu Gilingwesi yang berhak atas takhta
Kerajaan Galuh. Namun dia telah dijadikan menantu oleh Rakeyan Medang dan
menjadi raja di Kerajaan Sunda, maka takhta Kerajaan Galuh jatuh ke tangan
adiknya, Tariwulan atau Prabu Kretayasa Dewakusaleswara.
Prabu
Gilingwesi memerintah di Kerajaan Sunda selama dua belas tahun (783-795 M).
Seperti Rakeyan Medang, Prabu Gilingwesi tidak memiliki anak laki-laki, Prabu
Gilingwesi hanya memiliki seorang anak pertama yang bernama Dewi Arista. Sampai
saat dia menikah dengan Rakeyan Diwus (Prabu Pucuk Bumi). Pada tahun 795 M,
Prabu Gilingwesi mangkat. Sehingga takhta Kerajaan Sunda selanjutnya diberikan
kepada menantunya, Rakeyan Diwus atau yang dikenal dengan Prabu Pucuk Bumi.
GILING WESI
Giling
Wesi merupakan mata air yang dikelilingi pohon besar dan rindang. Hal tersebut
menjadi salah satu daya tarik masyarakat untuk berkunjung karena suasananya
yang sejuk dan nyaman. Terdapat bangunan bersejarah berupa tembok putih
melingkari sumber air ini yang sampai saat ini masih terawat dengan baik.
Selain itu, airnya yang berwarna biru kehijauan digunakan sebagai sumber
pengairan oleh masyarakat sekitar. Air tersebut dialirkan menggunakan pompa
khusus dan dialirkan ke kebun atau sawah yang membutuhkan air. Keindahan alam
di sekitarnya yang berupa hamparan sawah hijau juga menarik karena menghadirkan
nuansa khas pedesaan.
Disamping
keindahan alamnya, Giling Wesi menyimpan cerita menarik terkait dengan legenda
terbentuknya tempat ini. Pada masa kadewatan terdapat sebuah kerajaan besar
bernama Giling Wesi yang dipimpin oleh Raja Bramaraja. Bramaraja memiliki istri
yang cantik bernama Dewi Sinta dan seorang anak bernama Bambang Bunawan.
Bambang bunawan terkenal sebagai anak yang tidak mentaati kedua orangtuanya,
hingga suatu hari ia diusir dari kerajaan karena melakukan kesalahan fatal.
Bambang Bunawan kemudian menyusuri hutan dan sampai di Gua Ngibar. Ia kemudian
bertama di gua tersebut. Setelah bertapa, ia menjadi orang yang sakti dan kebal
terhadap segala jenis senjata. Berkat kekuataannya, Ia mendirikan kerajaan
Seloargo. Suatu hari, ia mendengar kabar bahwa Kerajaan Giling Wesi memiliki
permaisuri yang sangat cantik. Oleh karena itu, ia ingin menikahi permaisuri
itu. Ia kemudian mengutus anak buahnya untuk mendatangi Kerajaan Giling Wesi
dan mengutarakan maksudnya untuk memperistri Dewi Sinta. Kerajaan Giling Wesi
secara tegas menolaknya hingga akhirnya terjadi peperangan antara Seloargo dan
Giling Wesi. Karena situasi yang memanas, Dewi sinta ingin menyelesaikan
persoalan dengan meminta pertolongan Dewa Wisnu. Seteah mengahdap Dewa
Wisnu, Dewi Sinta diberi perintah untuk
mencari kelemahan Bambang Buwana. Saat Dewi Sinta menemui Bambang Buwana, ia
menemukan luka di bagian kepalanya yang membuat Dewi Sinta sadar bahwa Bambang
Buwana adalah anak kandungnya. Mengetahui hal tersebut, Dewi Sinta yang tidak
ingin menikahi anaknya sendiri segera merayu Bambang Buwana untuk mengetahui
letak kelemahannya. Bambang Buwana kemudian mengatakan bahwa ia hanya akan
kalah dan mati apabila tubuhnya terbelah menjadi dua secara vertikal. Tak lama
kemudian, Bambang buwana dibunuh untuk menghindari perang yang lebih besar. Dan
Kerajaan Giling Wesi pun menang.
Kisah Giling Wesi
Prabu
Watugunung yang berkuasa di Kerajaan Giling Wesi punya kekuasaan dan kesaktian
luar biasa. Ia mendapatkan itu dengan tekad besar menuntut ilmu jaya kawijayan,
bertapa tanpa henti. Sanghyang Jagatnata mengabulkan tujuan dia bertapa,
menganugerahkan kesaktian yang tak terkalahkan. Prabu Watugunung menjadi
takabur dan lupa diri. Menjadi sombong dan melawan siapa saja yang berani
menentang keinginannya. Prabu Watugunung tanpa sadar menikahi Dewi Sinta yang
tak lain adalah ibunya sendiri. Dewi Sinta melahirkan 27 anak laki-laki. Dosa besar
itu membuat para dewa menjatuhkan malapetaka pada Kerajaan Gilingwesi: wabah
dan bencana alam.
Pada
sebuah kesempatan Dewi Sinta menanyakan apa penyebab kepala Prabu Watugunung
cacat. Dari penjelasan itu Dewi Sinta mengetahui Prabu Watugunung sebenarnya
adalah anaknya. Dewi Sinta menjadi sangat malu dan menangis meratapi nasibnya.
Akhirnya dia menemukan cara mengakhiri aib tersebut. Ia meminta Prabu
Watugunung menikahi bidadari dari kayangan. Dia menyadari bahwa sesakti apa pun
manusia tidak akan mampu melawan para dewa.
Prabu
Watugunung menuruti keinginan Dewi Sinta, naik ke Suralaya beserta bala
tentaranya untuk meminang bidadari menjadi madu Dewi Sinta. Prabu Watugunung
kalah karena tipu muslihat para dewa yang mengetahui titik kelemahannya.
Tubuhnya
tercabik-cabik tak berbentuk. Itulah mengapa pujangga zaman dahulu memakai nama
Giling Wesi untuk kerajaan yang dikuasai Prabu Watugunung. Itu sebagai
peringatan kepada manusia bahwa sesakti atau sepandai apa pun janganlah
sombong, apalagi melawan para dewa.
Manusia
hanyalah titah sewantah, janganlah melampui batas. Jika berani melawan dewa,
sudah pasti dewa tak akan memberi ampun dan menjatuhkan hukuman dengan Giling
wesi, melindas tubuhnya dengan besi sehingga hancur seperti nasib Prabu
Watugunung
Kisah
Prabu Watugunung adalah wujud akulturasi manusia Jawa yang berbakat membuat
atau menciptakan sesuatu yang baru dengan mengabungkan dua atau tiga unsur
menjadi sesuatu yang baru sehingga selalu muncul karya-karya baru dari masa ke
masa.
Di
Jawa, karya itu antara lain diekspresikan dalam bentuk wayang. Sejarah wayang
Jawa dikenal merujuk tradisi India, terutama epos Mahabharata dan Ramayana,
namun sebenarnya cerita wayang juga berakulturasi dalam kebudayaan Jawa.
Salah
satu bentuk pembauran itu adalah cerita Prabu Watugunung dalam Kitab Pawukon
Jawa.
Kisah Kerajaan Giling Wesi dan Prabu Watugunung memang tak sepopuler
Mahabharata dan Ramayana. Walakin, kisah Prabu Watugunung juga menggambarkan
cerita kehidupan dengan segenap kompleksitasnya.
Ada
karakter yang mirip perilaku manusia, tentang kekuasaan yang yang lazim dikenal
memabukkan, atau tentang cinta yang buta, dan tentang kehendak berkuasa tanpa
batas. Semua diungkapkan dalam narasi yang asyik. Terlebih, Kitab Pawukon Jawa
terkait dengan perhitungan penanggalan Jawa berdasarkan hari kelahiran
seseorang.
Kini
ketika Indonesia memasuki tahun politik menjelang Pemilihan Umum 2024, kisah
Prabu Watugunung menemukan relevansi sebagai bahan berefleksi. Perilaku
menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan
sebenarnya mirip perilaku Prabu Watugunung. Ujung akhirnya adalah kehancuran
dan kehinaan.
Kisah
akulturasi Jawa itu digali dan dikembangkan oleh pelukis Subandi Giyanto
menjadi karya seni rupa. Seniman ini sejak muda menggeluti dunia perwayangan
kemudian mendalami seni modern di Jurusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, kini menjadi Universitas Negeri Yogyakarta.
Subandi
mengangkat cerita wayang yang berpusat di Kerajaan Giling Wesi itu dengan
pendekatan klasik sekaligus modern. Ia menggambarkan cerita itu dengan
pendekatan wayang beber, cerita wayang dalam lembaran kertas atau kain, dengan
pakem-pakem yang lazim dikenal di dunia pewayangan.
Subandi
juga menggunakan pendekatan model wayang purwa. Bentuk lukisan modern di kanvas
menjadikan ekspresi Subandi lebih bebas. Keragaman pendekatan visual atas
cerita wayang bertokoh Prabu Watugunung itu ditampilkan dalam pameran seni rupa
bertema Giling Wesi di Bentara Budaya Yogyakarta pada 3-9 November 2023.
Subandi
Giyanto lahir di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 22 Juni 1958. Sejak
berumur tujuh tahun belajar menatah dan menyungging wayang kulit gaya
Yogyakarta. Ia lulus dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta kemudian
berlanjut di Pendidikan Seni Rupa IKIP Yogyakarta.
Setelah
lulus sarjana Subandi menjadi guru kesenian di berbagai sekolah di Yogyakarta.
la berstatus pegawai negeri sipil tanpa berhenti melukis wayang kulit dan
mural. Ia menerima sejumlah penghargaan bidang seni budaya. Beberapa pameran
pernah dia ikuti.
Kurator
Bentara Budaya Yogyakarta, Hermanu, menjelaskan dalam dunia pewayangan ada nama
beberapa tokoh dan tempat yang terdengar asing di telinga para pencinta wayang
epos Mahabharata dan Ramayana versi India.
Watugunung,
Landhep, Gumbreg, Langkir, Tolu, Warigalit, Pahang, dan banyak nama lain lagi
adalah nama para tokoh dalam cerita wayang versi Jawa kuno tertera dalam Kitab
Pawukon Jawa.
Semua
cerita yang menyangkut nama-nama tersebut sangat erat hubungannya dengan
Kerajaan Giling Wesi, tempat cerita tersebut terjadi. Menurut Philip Van
Akkeren, seorang peneliti dari Belanda, pada abad ke-10 di Jawa ditemukan
prasasti dengan huruf Jawa kuno yang menerangkan penggunaan pranata mangsa Jawa
yang berdampingan dengan kalender India. Ini bukti akulturasi.
Subandi
adalah pelukis yang berangkat dari seni tradisi kemudian bertranformasi menjadi
pelukis modern. Ia menerapkan cara-cara yang mirip akulturasi budaya dalam
berkarya. Subandi membuat lukisan pawukon menurut gayanya sendiri dengan
menggabungkan gambar pawukon gaya Yogyakarta dengan gambar Paringkelan atau
Taliwangke sehingga menjadi lukisan pawukon gaya Subandi.
Tak Mengkhianati Wayang
Dalam
pameran di Bentara Budaya Yogyakarta pada 3-9 November 2023, Subandi juga
memamerkan lukisan pawukon dengan gaya wayang beber. Subandi mengubah figur
wuku dan para dewa menjadi figure wayang beber.
Dalam
wayang-wayang lukisan Subandi itu tampak jelas sepasang mata setiap figur
berbeda dengan figur wayang purwa. Tokoh-tokoh wayang purwa jamak hanya
memiliki satu mata. Dia melukis tentang pawukon dengan memadukan figure sapi,
kuda dan binatang lain sehingga menjadi lukisan pawukon yang unik.
Sastrawan
sekaligus curator Bentara Budaya Yogyakarta, Sindhunata, dalam booklet pameran
Giling Wesi menjelaskan pawukon adalah perhitungan penanggalan Jawa berdasarkan
hari kelahiran seseorang. Dengan perhitungan itu diketahui watak orang yang
bersangkutan.
Pawukon
juga untuk mengetahui mana hari yang baik atau yang sial agar orang mempunyai
pegangan untuk menjauhi marabahaya yang mungkin akan datang dalam mengancam
dirinya. Waktu sering terasa tidak netral. Dalam waktu terasa ada kekuatan,
entah baik entah jahat.
Pawukon
membantu manusia mempelajari kekuatan-kekuatan itu dan membeda-bedakannya.
Karena itulah, pawukon selalu melekat dalam terbitan almanac Jawa. Pawukon
selalui disertai gambar-gambar yang bermotif wayang.
Apanila
pawukon itu dijadikan karya seni rupa, perupa yang bisa melukiskannya dengan
tepat adalah perupa yang mempunyai latar belakang wayang. Subandi adalah perupa
yang tepat untuk itu. Ia terus mengembangkan kreasi berhadapan dengan warisan
pawukon yang bermotif wayang itu.
Ia
kelihatan tertantang mengembangkan dan menafsirkan rupa pawukon sesuai dengan
kreasinya. Di kanvas SUbandi menampakkan pawukon menjadi lebih hidup. Ada
sentuhan-sentuhan baru dalam karya-karya seni rupa berbasis pawukon. Wayang
telah menjadi kehidupan Subandi.
“Tak
mungkin saya meninggalkan wayang. Semua hal dalam hidup saya datang dari
wayang. Sekolah dari wayang, pakaian dari wayang, makan dari wayang. Saya tak
akan menghianati wayang.” Kata Subandi. Pameran seni rupa bertema Giling Wesi
adalah gambaran proses kehidupan Subandi bersama wayang
Koleksi
Artikel Imajiner Nuswantoro