MAHADEWA BUDHA (KISAH PARA DEWA)
Kisah
ini menceritakan tentang Batara Guru yang menjelma sebagai seorang pertapa
bernama Resi Mahadewa Buda untuk mengajarkan agama dan tata cara kehidupan
kepada para penduduk Pulau Jawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Medang Kamulan
dan menjadi raja bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
BATARA GURU MENDAPAT TUGAS KE PULAU JAWA
Di
Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para putra,
yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu.
Mereka membicarakan tentang orang-orang Keling, Benggala, dan Siam yang telah
berkembang biak di Pulau Jawa selama seratus tahun. Pada mulanya mereka yang
datang bersama Empu Sengkala masih tekun beribadah sesuai ajaran Agama Dewa.
Namun kini, anak keturunan mereka banyak yang tidak beriman dan hanya sibuk
mencari makan atau berkembang biak saja.
Tidak
lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dari Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
Batara Guru menghaturkan sembah dan menceritakan keadaan Pulau Jawa yang
penduduknya saat ini sudah jauh dari agama dan hidup seperti hewan saja.
Sanghyang Padawenang merasa sangat prihatin mendengarnya. Maka, ia pun
memerintahkan Batara Guru supaya pergi ke Pulau jawa untuk mengajarkan ilmu
agama kepada para penduduk di sana. Batara Guru mematuhi perintah tersebut dan
menyerahkan kepemimpinan Kahyangan Jonggringsalaka untuk sementara waktu kepada
Batara Sambu dengan didampingi Batara Narada.
BATARA GURU MENJELMA MENJADI RESI MAHADEWA BUDA
Sebelum
berangkat ke Pulau Jawa, Batara Guru lebih dulu berpamitan kepada sang istri,
yaitu Batari Umaranti. Ia juga meninggalkan Lembu Andini di Kahyangan
Jonggringsalaka untuk menemani Batari Umaranti. Setelah dirasa cukup, Batara
Guru lalu menjelma menjadi seorang resi dengan menyembunyikan segala bentuk
cacat tubuhnya, seperti berlengan empat, bertaring, berkaki pincang, dan
berleher belang. Nama gelar yang ia pakai adalah Resi Mahadewa Buda.
Resi
Mahadewa Buda pun berangkat ke Pulau Jawa dan mulai mengajarkan Agama Dewa.
Para penduduk yang berusia tua menyambut gembira kedatangan Sang Resi, karena
mereka samar-samar masih teringat tentang agama yang pernah dianut para leluhur
yang dulu datang ke Pulau Jawa bersama Empu Sengkala. Sementara itu, para
penduduk yang berusia muda pun belajar agama mulai dari awal.
Tidak
hanya itu, selain bangsa manusia juga banyak pula jenis makhluk lain yang ikut
belajar Agama Dewa kepada Resi Mahadewa Buda. Mereka adalah kaum raksasa,
siluman, bahkan segala jenis binatang pun banyak pula yang berguru kepadanya.
Setelah
berkelana menjelajahi Pulau Jawa untuk mengajarkan agama, Resi Mahadewa Buda
lalu membangun sebuah padepokan di Gunung Kamula sebagai tempat tinggalnya. Di
padepokan tersebut ia menerima murid dan pengikut yang semakin banyak jumlahnya
dan juga beraneka ragam jenisnya.
RESI MAHADEWA BUDA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KAMULAN
Setelah
mengajarkan ilmu agama selama empat puluh tahun, Resi Mahadewa Buda menerima
kedatangan Batara Narada dari Tanah Hindustan, yang menyampaikan perintah
Sanghyang Padawenang supaya mengajarkan pula tata cara pemerintahan kepada
masyarakat Jawa yang sudah semakin berkembang kehidupannya itu.
Maka,
Batara Guru pun mengubah padepokan di Gunung Kamula menjadi sebuah pusat
pemerintahan, yang diberi nama Kerajaan Medang Kamulan. Ia menjadi raja di sana
dengan bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda, sedangkan Batara Narada menjadi
menteri utama bergelar Patih Narada.
KISAH SENA SI TUNANETRA MEMOHON KEADILAN
Pada
suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima kedatangan seorang penduduk
bernama Sena yang menghadap memohon keadilan. Ia mengeluh mengapa Tuhan Yang
Mahakuasa menciptakan dirinya tidak sempurna, yaitu menderita tunanetra sejak
lahir.
Sri
Padukaraja Mahadewa Buda menasihati agar Sena tidak mencela ciptaan Tuhan.
Namun, Sena terus-menerus memohon supaya diberi mata yang lebar agar bisa
melihat pemandangan dunia. Sri Padukaraja Mahadewa Buda pun mengabulkannya.
Sena berterima kasih dan meninggalkan pertemuan.
Tidak
lama kemudian, Sena kembali lagi datang menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda
dan mengeluh ternyata memiliki mata lebar tidaklah enak, karena mudah kemasukan
debu. Ia memohon agar diberi mata yang sempit saja. Sri Padukaraja Mahadewa
Buda mengabulkannya. Sena pun berterima kasih dan mohon pamit keluar ruangan.
Namun,
baru saja berada di luar istana, Sena terjatuh karena matanya silau melihat
halilintar menyambar di angkasa. Ia pun kembali menghadap dan memohon kepada
Sri Padukaraja Mahadewa Buda supaya matanya dikembalikan buta saja. Sri
Padukaraja Mahadewa Buda mengabulkannya dan memberikan nasihat bahwa Tuhan Yang
Mahakuasa telah menciptakan setiap makhluk hidup dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Apa yang sangat diinginkan oleh seseorang belum tentu
menjadi sumber kebahagiaannya, dan apa yang tidak disukai seseorang belum tentu
menjadi sumber penderitannya. Jika ada bagian tubuh yang memiliki kekurangan,
tentu ada bagian tubuh lain yang memiliki kelebihan.
Sena
merenungkan nasihat tersebut dan ia pun mendapatkan pencerahan. Setelah
meninggalkan istana Medang Kamulan, ia banyak belajar ilmu pengobatan dan
akhirnya menjadi seorang dukun yang memberikan pengobatan kepada masyarakat
luas.
SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMINDAHKAN MEDANG KAMULAN
Setelah
lima tahun bertakhta di Gunung Kamula, Sri Padukaraja Mahadewa Buda teringat
dulu ia pernah dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa sehingga
pindah ke Pulau Jawa dan membangun sebuah kahyangan baru di Gunung Mahendra.
Kahyangan tersebut diberi nama Kahyangan Argadumilah, dan kini menjadi tempat
kosong setelah lama ditinggalkan. Teringat pada kenangan tersebut, Sri
Padukaraja Mahadewa Buda ingin sekali memindahkan pusat kerajaan Medang Kamulan
dari Gunung Kamula ke Gunung Mahendra tersebut.
Demikianlah,
Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan dibantu Patih Narada dan para menteri pun
membangun kembali bekas Kahyangan Argadumilah di puncak Gunung Mahendra menjadi
sebuah istana, yaitu pusat Kerajaan Medang Kamulan yang baru. Istana yang baru
ini tentu saja jauh lebih indah dan lebih megah daripada istana lama di Gunung
Kamula.
MEDANG KAMULAN DISERANG KERAJAAN GUA GOBAJRA
Pada
suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat cahaya kemilau dari arah Laut
Selatan. Patih Narada pun dikirim untuk pergi menyelidiki. Ternyata cahaya itu
berasal dari seorang pertapa raksasa bernama Begawan Danu. Ketika ditanya apa
tujuannya bertapa, ia menjawab ingin dijadikan maharesi pujangga Kerajaan
Medang Kamulan. Patih Narada lalu membawanya pergi menemui Sri Padukaraja
Mahadewa Buda.
Sri
Padukaraja Mahadewa Buda menerima Patih Narada yang datang membawa Begawan
Danu. Setelah memberikan beberapa ujian kecerdasan, Sri Padukaraja tertarik dan
menyukai ilmu pengetahuan yang dimiliki Begawan Danu. Maka, pertapa raksasa itu
pun dikabulkan keinginannya, yaitu diangkat menjadi maharesi pujangga Kerajaan
Medang Kamulan.
Tidak
lama kemudian tiba-tiba datang serangan dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin
raja raksasa bernama Prabu Danuka, anak Begawan Danu. Rupanya telah terjadi
salah paham, di mana Prabu Danuka mengira ayahnya ditangkap Patih Narada untuk
dimasukkan penjara.
Ketika
pertempuran ramai tersebut berlangsung, Begawan Danu muncul dan langsung
melerai. Setelah segala kesalahpahaman dijelaskan, Prabu Danuka sangat malu dan
memohon ampun kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda.
SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENDAPATKAN SEPASANG RAKSASA KEMBAR
Di
antara pasukan Prabu Danuka ada dua orang raksasa kembar bernama Ditya
Cingkarabala dan Ditya Balaupata yang menarik perhatian Sri Padukaraja Mahadewa
Buda. Kedua raksasa kembar itu adalah putra Patih Gopatana, menteri utama
pengikut Prabu Danuka. Rupanya Sri Padukaraja Mahadewa Buda sangat terkesan
melihat kekuatan dan kesaktian sepasang raksasa kembar tersebut saat bertempur
melawan pasukannya tadi. Ia pun meminta mereka supaya tetap tinggal di Gunung
Mahendra sebagai penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan.
Patih
Gopatana sangat senang dan mengizinkan jika kedua putranya diterima menjadi
abdi Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa kembar itu pun menurut dan
patuh terhadap perintah tersebut. Maka, sejak saat itu mereka pun menjadi
sepasang abdi penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan.
Kisah Sri Maharaja Dewa Buda
Seratus
tahun telah berlalu sejak tanah Jawa diisi oleh Mpu Sangkala. Pada mulanya
masyarakat Jawa menjalani hidup dengan baik dan tertib. Namun lama kelamaan
mereka larut dalam kesibukan pekerjaan saja, melupakan persembahan kepada Tuhan
yang telah memberikan semuanya kepada mereka. Kehidupan mereka tak beda seperti
binatang yang hanya berburu untuk mencari makan. Tidak ada tata aturan yang
mengatur kehidupan mereka.
Batara
Guru di Kahyangan Jonggring Salaka menjadi prihatin melihat hal ini. Maka ia
memutuskan untuk pergi ke tanah Jawa mengajarkan kembali tata cara menyembah
Tuhan. Ia menyamar sebagai pandita yang bergelar Resi Mahadewa Buda sedangkan
masyarakat Jawa menyebutnya sebagai Sang Jawata yang artinya guru orang Jawa.
Resi
Mahadewa Buda kemudian mendirikan candi sebagai tempat pamujan di sebelah barat
Gunung Candramuka dan Gunung Candrageni. Bangunan batu ini sangat besar dan
diberi nama Candi Marabuda. Hal ini
ditiru oleh rakyatnya. Sejak itulah banyak yang mendirikan sanggar sebagai
tempat ibadah. Inilah pertama kalinya masyarakat di Pulau Jawa mengenal tempat
ibadah.
Empat
puluh tahun kemudian Resi Mahadewa Buda mengangkat dirinya sebagai raja yang
menguasai seluruh tanah Jawa. Ia bergelar Sri Maharaja Dewa Buda, dan patihnya
bergelar Resi Narada. Ibukota kerajaannya berada di kaki Gunung Kamula (Gunung
Pangrango) dan diberi nama Kerajaan Medang Kamulan. Ini adalah kerajaan pertama
yang ada di Pulau Jawa.
Sri
Maharaja Dewa Buda memerintah sebagai seorang raja sekaligus hakim. Ia juga
menggunakan kesaktiannya untuk mengabulkan permintaan rakyatnya. Misalnya
seorang yang tunanetra bernama Sena yang meminta agar diberi mata yang lebar,
karena saat lahir ia tidak mempunyai bola mata. Ketika permintaan itu
dikabulkan ternyata Sena menderita karena matanya mudah terkena debu. Lalu Sena
meminta agar diberi mata yang sempit. Setelah dikabulkan ternyata mata yang
sempit mudah silau. Akhirnya ia meminta agar matanya dibutakan kembali.
Sri
Maharaja Dewa Buda mengabulkannya dan menasehati Sena agar ia menjadi seseorang
yang bersyukur. Karena segala sesuatu itu telah dibuat sesuai dengan
perbuatannya di masa lampau. Sena pun menyadari kesalahannya. Setelah kembali
ke rumahnya, ia menjadi orang yang waskita dan bijaksana sehingga banyak orang
yang meminta nasihatnya.
Enam
tahun lamanya Sri Maharaja Dewa Buda bertahta di kaki Gunung Kamula. Ia
kemudian memindahkan istananya ke Gunung Mahendra (Gunung Lawu). Gunung ini
tidak lain adalah bekas kahyangannya sewaktu mengungsi dulu, yaitu Kahyangan
Arga Dumilah.
Sri
Maharaja Dewa Buda bertahta di Medang Kamulan yang telah dipindah ke Gunung
Mahendra. Kekuasaannya tidak hanya meliputi bangsa manusia saja, melainkan juga
menguasai bangsa hewan, gandarwa dan raksasa.
Siwa Mahadewa Dewa Yang Agung
Siwa
adalah Dewa yang agung, Mahadewa. Dia adalah Cahaya Tuhan yang abadi yang
meresap ke dalam mahluk hidup. Mahadewa dikenal sebagai Penakluk Kematian,
Mrtyunjaya. Dewa yang Agung adalah sumber hidup abadi. Mahadewa berinkarnasi
dalam perwujudan dan ada di lintasan perjalanan hidup setiap mahluk. Mahadewa
tidak termanifestasikan dalam perwujudan universalnya melainkan dalam setiap
tubuh perseorangan baik pada manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Di
setiap tingkatan manifestasi sifat ketuhanan dan keabadian dari Dewa Yang Agung
itu terbukti. Mahadewa hadir sebagai sebab utama dari eksistensi/keberadaan dan
kekuatan rahasia yang disebut Hidup atau prana.
Mahadewa
disebut Rudra dan Siva di dalam tradisi India. Mahadewa digambarkan dengan Agni
ataupun sebaliknya. Agni disebut memiliki dua aspek yakni Rudra didalam
wujudnya yang mengerikan dan Siva dalam wujudnya yang memberikan ketenangan.
Agni disebut Dewa Abadi (Amritadeva). Para pemikir Veda mengungkapkan konsep
mereka tentang Dewa Yang Agung dalam tiga rumusan: pertama, Agni adalah Rudra
kedua, Agni adalah sumber keabadian dari semua mahluk fana, ketiga, Agni adalah
sumber hidup yang disebut Prana yang ada di dalam tubuh fana Sebagai contoh,
disebut di dalam Rig veda : "Oh Agni, Engkaulah Rudra" didalam
Satapatha Brahmana disebut " Rudra adalah sama dengan Agni", dai di
dalam Taittiriya brahmana "bahwa Agni adalah Rudra".
Identifikasi
Rudra-Siva dengan Agni adalah dasar prinsip keberadaan alam semesta menurut
Veda. Agni terbentuk sebagai dewa utama yang pada dirinya semua dewa melekat
menjadi satu pribadi. Agni dipahami sebagai pranagni, sumber hidup atau
kesadaran yang meliputi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Agni adalah juga
api kasat mata yang dihasilkan dari minyak ataupun getah kayu pada altar
persembahan, namun itu hanyalah sebagai sebuah simbol. Sebagaimana api yang
tersembunyi dalam minyak dan kayu dapur demikianlah misteri api dalam hidup
yang bersthana di dalam tubuh. Api itulah yang benar-benar baik untuk
persembahan kepada Tuhan, Yajnasya Dedam; dia terwujud bagi kesempurnaan
persembahan yang tertuju kepada Tuhan.
Dimanapun
keberadaan Agni, dewa-dewa yang lain datang bersekutu. Ini adalah fenomena
bahwa kita menyaksikan dalam hidup sehubungan dengan persoalan dasar-dasar
kehidupan. Dimana kekuatan misteri ilahi dari Hidup ini, semua kekuatan hidup
lainnya yang dikenal sebagai dewa-dewa haruslah ada. Para pendeta kuno
menjadikan Agni sebagai simbol dan dasar dari rumusan metafisika mereka. Agni
yang abadi telah meresap ke dalam mahluk fana, dan demikianlah kekuatan penakluk
kematian Rudra-Siva sebagai Mrityunjaya berimplementasi dalam seluruh tradisi
Indir.
Arti
Istimewa Mahadewa. Konsep Siwa seharusnya tetap ditelusuri detngan tujuan agar
dapat memahami mitologi yang berkembang dari kumpulan nama dan bentuknva. Agni
dalam berbagai versi menjadi kekuatan utama, kekuatan pertama yang menginisiasi
kesadaran dan generasi. Oleh karena itulah ia disebut Agri, yang terutama, yang
menurut etimologi esoteris menjadi Agni. Bagaimanpun para ahli pastilah
menjabarkan kata ini, secara khusus kata Agni dirumuskan menjadi cukup berarti
sebagai hal yang menunjukkan dan menuntun kita kepada sifat asal Agni sebagai
penyebab pertama dari segala mahluk.
Pencipta
Utama yang dikenal sebagai Prajapati adalah dirinya sendri yang terbentuk
sebagai Agni yang padanya dibangun altar perapian. Alam semesta merupakan altar
perapian dan tubuh manusia juga berhubungan dengan alam semesta sebagai altar
di mana api kehidupan menyala dan tetap teus menyala sepanjang waktu
keberadan-nya tersebutkan.
Agni
adalah dua sisi, yakni panas dingin, yang terdahulu adalah yang meleburkan dan
yang kemudian adalah yang mengalirkan kebaikan; jadi Dewa Siwa yang berwujud
menakutkan atau Bhairava, penuh kengerian dan meleburkan setiap kesatuan; namun
dalam wujud ini Siva memberikan ketenangan dan keberkelanjutan proses
kehidupan. Dalam aspeknya yang terdahulu Agni menjadi penghancur dalam korban
dan berkelana dengan sebuah mangkuk pengemis pada tangannya, meminta-minta
makanan.
Arti
Wujud Bhairava dalam Rudra-Agni. Penguasa Hidup yang selalu menginginkan
makanan. Apabila makanan diberikan Agni menjadi tenang; tanpa makanan Agni
menjadi monster yang menakutkan yang siap melahap setiap tubuh yang sudah tidak
menjadi sthana. Ini adalah kebenaran yang jelas yang terbukti dalam stiap tubuh
atau wujud kediaman fisik Agni.
Agni
tanpa makanan atau minyak akhirnya menjadi padam dan abu hitam (bhasma), tetapi
apabial Agni diberikan makanan sedap hari atu persembahan yang setara menjadi
nyala api hidup yang bercahaya. Makanan itu disebut Soma dan Soma merupakan
wanita atau kekuatan ibu dimana Agni merupakan laki-laki atau kekuatan Ayah.
Ketika Agni terpuaskan oleh Soma demikianlah sebenarnya runutan Yajna. Di dalam
mitologi Rudra-Siva, konsep ini tergambar Ardhanarisvara, unsur setengah
laki-laki dan setengah wanita pada Siva, atau bentuk Siva-Parvati dalam
ikonografi.
Siva
disebut sebagai Dewa di Kailasa. Para Ahli Antropologi mengatakan bahwa Siva
adalah Dewa Gunung. Mengingat asalnya, pengertian ini mungkin sebagian benar,
namun di dalam Rig Veda, Rudra disebut ayah para Marut; bala tentara marut
dikatakan sebagai putra-putra Rudra (Rudriyah). mereka juga dihubungkan dengan
Indra yang menunjukkan sebuah kesatuan dari Rudra dan Indra, keduanya adalah
perwujudan api yang dipahami identik. Di dalam Rig Veda Indra adalah Penari
Agung sebagaimana Siva yang adalah Nataraja di dalam Purana.
Siva
adalah dewa yang mengawali pikiran. Di dalam tradisi Yoga, Siva adalah Dewa
dari teratai yang berkelopak seribu yang berada di dalam pikiran. Indra juga di
satu sisi disebut manasvan, yaitu dewa pikiran.
Indra
tetap bertentangan dengan naga Vritra-Ahi dan Siva dikaitkan dengan lilitan
ular pada tubuhnya. Indra disebut Kerbau Agung, Vrishabha, pemanah yang
menyebarkan benih ke seluruh bagian alam semesta unuk membuahi keberadaan
keibuan; kerbau yang sama tergambar pada Kama-deva yang ditaklukkan oleh Siva
dan dijadikan panglima pasukan (bala tentara gana). kerbau nandi yang mempakan
Kama-deva mencerminkan prinsip ananda atau kebahagiaan yang adalah sumber
segala ciptaan.
Racun
pada kerongkongan Siva mewakili kekuatan kematian yang termasuk dalam tingkatan
bentuk fisik. Energi prana menyatu dalam bentuk fisik menjadi berwarna hitam
oleh kematian dan menjadi mangsa pengurai. Kerongkongan adalah simbol akasa
atau ruang yang tak terbatas dimana racun diperkenankan berdiam di sana tanpa
mempengaruhi tubuh fana.
Adalah
dewa bulan pada dahi Siwa dan juga Gangga, sungai pada rambutya yang tergulung.
Bulan melambangkan kekuatan intelegensi dan kesadaran yang lebih tinggi,
sejenis cahaya murni yang menjadikan yang tertinggi satu dewa yang terutama turun
kepada tingkatan manifestasi materialnya.
Gangga
adalah Sungai Kehidupan, banjir hebat yang turun dari Nirwana yang kekal kepada
kefanaan Bumi. Rambut Siva yag terggelung mewakili dunia atau ciptaan dalam
berbagai kualitas dan bentuknya yang tak terhingga. Rambut-rambut yan tergelung
begitu lebat dan rum: sebagaimana aneka persoalan dunia Sungai kehidupan
mengaliri setiap pojok dan ciptaan duniawi. Ada banjir energi prana yang tetap
terselebung sampai dilepaskan oleh kemurahan Siwa dan sebagai hasil kekuatan
tapa yang dijalankan oleh umat manusia. Sungai itu bernama Gangga yang berasal
dari kekuatan gerakannya, atau aliran yang tiada henti dari awal hingga akhir
masa bagikan arus hebat yang memuaskan segenap tubuh ataupur bentuk materi yang
ada oleh airnya.
Senjata
Siwa, trisula, adalah simbol pola tiga bentuk ciptaan. Trisula diidentikkan
dengan senjata Indra, wajra, yang memurnikan setiap obyek atau ciptaan yang
keberadaanya bertentangan. Tiga pucuk tajam pada senjata yang sangat ampuh ini
terkait dengan tiga guna atau tiga kekuatan yang memberikan alam semesta pada
eksistensinya dan'juga menghentikan ketika terjadi kekacauan.
Ciptaan
dikatakan berhubungan dengan sakti yang agung atau energi yang luar biasa dari
Siwa. Sekalian alam semesta diciptakan oleh sakti Siwa. Energi ini bagaikan
samudra yang memenuhi segenap ruang. Sakti adalah dewi penguasa mandala atau
lingkaran dimana Siwa menari adalah penarinya Siwa sebagai penari menampilki.
kehebatan tandawanya. Gerak-gerik tari menghadirkan ayunan sakti atau energi.
Pada dua sisi dalam Brahmasutra atau garis tengah dari atas kebawah,
gerak-gerak ritmis adalah langkah dalam tarian tersebut. Gerak memutar yang
dalam ini dapat dilihat di jagat raya sebagai kekuatan hebat yang terlihat pada
getaran matahari dan putaran yang maha kuat pada rasi bintang serta komet.
Imajiner
Nuswantoro