KISAH Wayang Purwa atau Pakeliran Purwa
Wayang
Purwa adalah perlambang kehidupan manusia di dunia ini. Berdasarkan dari
sejarahnya, induk/sumber cerita wayang itu, baik Ramayana maupun Mahabharata,
kedua-duanya itu merupakan Weda (kitab suci) agama hindu yang kelima, yang
disebut panca weda. Kedua kitab tersebut memuat pelajaran weda yang disusun
berujud cerita. Serat Ramayana diciptakan oleh Resi Walmiki menceritakan
pelaksanaan karya Awatara Rama untuk mensejahterakan dunia. Serat Mahabharata
diciptakan oleh Resi Wyasa, menceritakan pelaksanaan karya Awatara Krisna juga
untuk mensejahterakan dunia.
Berkaitan
penciptaan pada dunia wayang pada intinya cerita wayang berasal dari dewa-dewa
bernama Hyang Manikmaya (Betara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Mereka adalah
putera dari Hyang Tunggal. Hyang Tunggal tidak diwujudkan dalam wayang. Kedua
putra itu muncul secara bersamaan dalam bentuk cahaya. Manikmaya bercahaya
bersinar-sinar. Ismaya bercahaya kehitam-hitaman. Kedua cahaya ini berebut
untuk mendapatkan status sebagai yang tertua diantara mereka.
Kemudian
Hyang Tunggal bersabda, bahwa yang tertua adalah cahaya yang kehitam-hitaman,
tetapi diramalkan bahwa dia tak dapat berjiwa sebagai Dewa Ia diberi nama
Ismaya. Karena ia memiliki sifat sebagai manusia maka dititahkan supaya tetap
tinggal di dunia dan mengasuh turunan Dewa yang berdarah Pendawa. Maka
diturunkanlah ia kedunia dan bernama Semar, yang berbentuk manusia yang sangat
jelek rupa. Cahaya yang bersinar terang diberi nama Manikmaya dan tetap tinggal
di Suralaja (kerajaan Dewa). Manikmaya merasa bangga, karena tidak mempunyai
cacat dan sangat berkuasa. Tetapi sikap yang demikian itu menyebabkan Hyang
Tunggal memberinya beberapa kelemahan.
Kedua
kejadian ini merupakan perlambang.
Ismaya adalah lambang badan manusia yang kasar dan Manikmaya lambang kehalusan
bathin manusia. Raga kasar (Semar) senantiasa menjaga kelima Pendawa yang
berujud Panca indera atau kelima perasaan tubuh manusia: indera penciuman
(Yudistira); indera pendengaran (Werkodara); indera penglihatan (Arjuna);
indera perasa (Nakula), dan indera peraba (Sadewa). Tugas dari Semar adalah
menjaga kesejahteraan Pendawa , supaya mereka menjauhi peperangan dengan Korawa
(rasa amarah). Tetapi Hyang Manikmaya lah yang senantiasa menggoda sehingga
Pendawa dan Kurawa tidak pernah berhenti berperang. Hingga akhirnya terjadilah
Baratayuda, di mana Pendawalah yang menjadi pemenangnya.
Pada
pagelaran wayang kulit nilai-nilai yang diajarkan terkait dengan cerita dan
tokoh-tokoh tertentu. Adapun nilai-nilai dalam pagelaran diantaranya adalah
nilai kepahlawanan contoh: tokoh Kumbakarna, Adipati Karna, nilai kesetiaan
contoh: tokoh Dewi Sinta, Raden Sumantri (Patih Suwanda) dan sebagainya; nilai
keangkara murkaan contoh: tokoh Rahwana, Duryudana dan sebagainya; nilai
kejujuran contoh: Tokoh Puntadewa dan
sebagainya. dan sebagainya. dan sebagainya; Di sini masih banyak nilai-nilai
yang lain yang patut ditimba manfaatnya bagi kita semua. Selain itu dalam
pegelaran wayang kulit juga terdapat lambang-lambang yang mengambarkan kisah
hidup manusia di dunia. Kalau kita mengamati lakon Dewa Ruci di dalamnya
mengandung lambang kehidupan manusia di dalam mencapai cita-cita hidup kita
harus dapat melewati beberapa tantangan, kalau kita berhasil mencapainya kita
akan mendapatkan buahnya.
Pergelaran
seni pedalangan, baik untuk waktu semalam suntuk maupun untuk 4 jam atau hanya
waktu 2 jam, namun lakon tersebut kedudukannya tetap, ialah merupakan pokok
dari pada pergelaran seni pedalangan. Lakon-lakon pewayangan menyangkut apa
yang disebut pakem yang dalam bahasa Jawa berarti: pathokan, paugeran atau
wewaton. Pakem meliputi 2 macam hal yang dalam pergelaran terpadu menjadi satu
kesatuan, yaitu : (1). Pakem tentang lakon; dan (2). Pakem yang mengenai tehnik
perkeliran. Pada waktu dipergelarkan dalam perkeliran dua pakem itu satu sama
lain saling isi-mengisi dan jalin-menjalin, sehingga dapat mendatangkan suatu
proses cerita yang mengandung keindahan serta pendidikan yang tinggi.
Lakon-lakon
pewayangan yang begitu banyak dipergelarkan dewasa ini, pada hakekatnya dapat
dibagi menjadi 4 bagian, ialah: 1. Lakon wayang yang disebut pakem; 2. Lakon
wayang yang disebut carangan; 3. Lakon wayang yang disebut gubahan; 4. Lakon
wayang yang disebut karangan. Penjelasan dari lakon pewayangan tersebut sebagai
berikut : 1. Lakon pakem : yang disebut lakon-lakon pakem itu sebagian besar
ceritanya mengambil dari sumber-sumber cerita dari perpustakaan wayang,
misalnya: lakon Bale Sigala-gala, pandawa dadu, baratayuda, rama gandrung,
subali lena, anoman duta, brubuh ngalengka dan lain sebagainya. 2. Lakon carangan : yang disebut carangan itu
hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang, diberi
tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang Jw = dahan), seperti lakon-lakon
: babad alas mertani, partakrama, aji narantaka, abimanyu lahir dll. 3. Lakon
gubahan : yang disebut gubahan itu ialah lakon yang tidak bersumber pada
buku-buku cerita wayang, tetapi hanya menggunakan nama dan negara-negara dari
tokoh-tokoh yang termuat dalam buku-buku cerita wayang, misalnya lakon-lakon:
irawan Bagna, gambiranom, dewa amral, dewa katong dsb. 4. Lakon karangan : yang
disebut lakon karangan itu ialah suatu lakon yang sama sekali lepas dari cerita
wayang yang terdapat dalam buku-buku sumber cerita wayang, misalnya lakon-lakon
: praja binangun, linggarjati, dan sebagainya. Dalam lakon praja binangun
tersebut diketengahkan nama tokoh-tokoh wayang seperti : ratadahana (Jendral
Spoor), Kala Miyara (Meiyer), Dewi Saptawulan (Juliana), Bumiandap (Nederland)
dan sebagainya.
Untuk
mengetahui sesuatu lakon wayang itu apakah pakem atau bukan, tidaklah mudah,
apabila orang tidak mengenal dan memahami sumber cerita wayang. Adapun sumber
cerita wayang itu ada 2 macam yaitu: 1. Sumber-sumber cerita wayang yang berupa
buku-buku, misalnya : Maha Bharata, Ramayana, Pustaka Raja Purwa, Purwakanda
dll; 2. Sumber-sumber cerita wayang yang semula berasal dari lakon carangan
atau gubahan yang telah lama disukai oleh masyarakat. Sumber-sumber cerita ini
disebut pakem purwa-carita yang kini sudah banyak juga yang dibukukan, misalnya
lakon-lakon: Abimanyu kerem, doraweca, Suryatmaja maling dan sebagainya.
Purwakanda adalah salah satu sumber cerita wayang di Yogyakarta yang memuat
kisah sejak bathara guru menerima kekuasaan dari sanghyang tunggal sampai
dengan bertahtanya R. Yudayana sebagai Raja di negeri Ngastina. Buku tersebut
berbentuk tembang dan yang ada mungkin hanya di Yogyakarta saja, baik dalam
karaton maupun diluarnya. Serat purwakanda tersebut dihimpun atas perintah
almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono V. Penghimpunan dan penyusunan Serat
Purwakanda ini kira-kira bersamaan waktunya dengan almarhum R.Ng.Ronggowarsita
di Solo, yang juga menghimpun dan menyusun Serat Pustaka Raja Purwasita yang
terkenal itu. Serat purwakanda tesebut oleh sebagian dalang-dalang di
Yogyakarta, terutama dalang-dalang dari keraton Yogyakarta dijadikan sumber
lakon-lakon wayang dalam perkelirannya,sedangkan di Solo adalah Serat Raja
Purwasito.
Pakem
tehnik perkeliran atau wewaton tehnik perkeliran itu setiap daerah atau setiap
gaya tentu ada dan sudah barang tentu tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal
itu erat sekali hubungannya dengan perasaan indah yang hidup di masing-masing
daerah. Misalnya perkeliran gaya sala berbeda dengan gaya yogya. Berbeda pula
dengan gaya banyumas, tegal, jawa timur, dll. Mungkin hal ini pula
sangkut-pautnya dengan falsafah hidup dalam masyarakat itu sendiri-sendiri.
Sumber Cerita Wayang Kulit Yogya
Sumber
cerita untuk wayang kulit purwa di Indonesia bersumbar pada serat Mahabarata
dan Ramayana yang berasal dari India, yang telah disalin atau disusun kedalam
bahasa jawa Kuna. Kitap Mahabarata ini dihimpun oleh Wyasa Kresna Dwipayana,
yang merupakan kumpulan cerita yang populer pada jaman Brahmana, antara tahun
400 sebelum dan 400 sesuadah masehi. Isi kitab itu terdiri dari 18 parwa
(Soekmana, 1973: 110), yaitu menceritakan peperangan Pandawa dan Kurawa selama
18 hari, kedealapan belas parwa itu adalah :
1. Adi parwa
Pada
bagian parwa ini berisi tentang asal-usul dan masa kanak-kanak pandawa dan
kurawa, yaitu dimulai dari cerita prabu Sentanu mencari orang yang mau menyusui
anaknya yang masih bayi bernama Dewabrata dan menemukan dewi Setyawati yang
kemudian diperistri serta memiliki dua putra. Sebelumnya Dewi Setyawati dengan
Begawan Parasara telah memiliki satu putra yang bernama Abiyasa (Wiyasa),
sampai dengan cerita tentang para putra Destarastra yang jumlahnya 100 oranr,
disebut para Sata kurawa dan keturunan Pandudewanata yang berjumlah lima
dinamakan dengan para pandawa.
2. Sabda parwa
Bagian
parwa ini berisikan tentang, berbagai usaha para Kurawa untuk membinasakan para
pandawa, karena keinginannya untuk menguasai negara Astina. Salah satu muslihat
yang diprakarsai oleh patih Sangkuni adalah bermain dadu dengan taruhan negara
dan dibuang ke hutan selama 13 tahun lamanya dengan tahun terakhir harus
menyamar sebagai masyarakat biasa dan tidak diketahui oleh para kurawa, jika
diketahui oleh kurawa harus melaksanakan hukuman tersebut mulai dari awal lagi.
3. Wana parwa
Parwa
ini mengkisahkan kehidupan para pandawa dalam menjalani hukuman buang selama 13
tahun setelah kalah main dadu. Oleh Wyasa mereka mendapat nasehat agar
Arjuna
bertapa di puncak gunung Himalaya, dengan maksud memohon kepada para dewa agar
diberikan senjata-senjata sakti kepada para pandawa yang akan digunakan untuk
senjata perang jika harus berperang melawan para kurawa.
4. Wirata parwa
Bagian
dari episude ini menceritakan tentang kehiduapan para paidawa dalam menjalani
hukuman buang pada tahun terakhir dan menyamar sebagai masyarakat Wirata,
mereka menyamar sebagai ahli membuat dadu, tukang ma>ak, juru rias, tukang
jagal hewan dan mereka diterima sebagai abdi di istana.
5. Udyaga parwa
Bagian
parwa ini menceritakan tentang kehidupan para pandawa pada tahun ke-14 dan
telah kembali ke negara Amarta (Indraprasta). Para pandawa meminta bantuan
Batara Kresna untuk berunding dengan para kurawa tentang negara Astina, namun
kurawa tidak mau mengembalikan separoh negara Astina, sehingga mereka akan
berperang untuk mempertahankan haknya masing-masing.
6. Bisma parwa
Bagian
dari parwa ini menceritakan tentang senapati Bisma sebagai panglima perang
Kurawa, melawan Raden Trustajumena sebagai Panglima di pihak Pandawa. Setelah
ditentukan aturan main dalam peperangan diantaranya jika malam hari perperangan
berhenti digunakan untuk beristirahat dan mengurus yang gugur. Peperangan tahap
awal ini berlangsung di Tegalkurusetra, setelah mamasuki hari kesepuluh
gugurlah Bisma, tetapi sebelum meninggal Bisma memberikan wejangan-wej angan
kepada para pandawa dan kurawa.
7. Drona parwa
Pada
bagian parwa ini menceritakan tentang Pandita Durna yang diangkat sebagai
Panglima perang para Kurawa, untuk menghadapi senapati Pandawa, pada hari ke 15
perang antara Kurawa dan pandawa itu Pandita Durna gugur ditangan Raden
Trutajumena.
8. Karna parwa
Dalam
parwa ini menceritakan perang tanding antara Adipati Karna yang menjadi
panglima perang Kurawa, melawan Arjuna senapati Pandawa, setelah gugurnya
Abimanyu
dan Gatutkaca. Di samgping itu diceritakan pula keberhasilan Werkudara (Bima)
dalam membunuh Dursasana. Pada hari ke 17 Aijuna berhasil membunuh Adipati
Karna.
9. Salya parwa
Parwa
ini menceritakan tentang senapati Kurawa Prabu Salya, tetapi pada hari itu juga
ia gugur di medan perang, sehingga pihak kurawa tinggal Duryudana, karena
selama peperangan yang telah berjalan 18 hari itu saudaranya gugui’ satu
persatu. Oleh karena itu raja Astina ini ingin mengundurkan diri dari
peperangan dan menyesali semua yang telah terjadi serta bersedia mengembalikan
negara Astina kepada para pandawa. Sikap Duryudana ini mendapat ejekan dari
para pandawa, sehingga akhirnya Duryudana tampil dalam medan perang melawan
Werkudara. Dalam perang tanding itu Duryudana gugur.
10. Sauptika parwa
Dalam
parwa ini menceritakan tentang Aswatama yang dendam terhadap prajurit Pancala
dan berhasil membunuh Trustajumena, setelah hari ke 18 perang antara kurawa dan
Pandawa. Aswatama melarikan diri dan berlindung paba Wyasa. Keesokan harinya
disusul oleh Aijuna berkat Wyasa pertikaian itu dapat di damaikan, akhirnya
Aswatama menyerahkan senjata dan kesaktiannya, serta mengundurkan diri menjadi
pertapa.
11. Stri parwa
Dalam
parwa ini menceritakan tentang Destarastra, Gendari, para pandawa dan istri
para pahlawan datang ke Kurusetra. Mereka menyesali semua yang telah terjadi
dan semua pahlawan yang telah gugur di perabukan.
12. Santi parwa
Parwa
ini menceritakan tentang para pandawa yang berada di hutan sebulan lamanya
untuk membersihkan diri. Yudistira segan menduduki kerajaan yang telah memakan
korban yang demikian banyak dan menawarkan kepada Arjuna untuk menjadi raja. Di
samping itu berisi juga tentang Wyasa dan Kresna memberikan wejangan-wejangan
tentang kewajiban satria dan nasib manusia. Akhirnya Pandawa kembali ke Istana,
Yudistira menuaikan kewajibannya sebgai raja.
13. Anusasana parwa
Parwa
ini berisikan berbagai macam cerita yang dirangkaikan dengan wejangan-wejangan
mengenai kebatinan dan kewajiban raja yang ditujukan kepada raja baru
Yudistira.
14. Aswametika parwa
Bagian
Parwa ini berisikan tentang Yudistira mengadakan selamatan aswamedha, yaitu
melepaskan seekor kuda yang diikuti oleh Aijuna beserta prajurit. Selama satu
tahun lamanya kuda itu mengembara, dan setiap jengkal tanah yang clilalui
menjadi kekuasaan Yudistira
15. Asramasika parwa
Parwa
ini menceritakan tentang Drestarastra dan istrinya serta dewi Kunti menarik
diri ke dalam hutan untuk menjadi pertapa. Tiga tahun kemudian mereka mati
karena hutan tempat tinggal mereka terbakar oleh api sesajinya sendiri
16. Mausola parwa
Pada
bagian parwa ini menceritakan musnahnya kerajaan Kresna akibat berkobarnya
perang saudara diantara kaum Yudawa, rakyat Kresna sendiri. Bela dewa mati,
Kresna sendiri menarik diri ke hutan dan mati terbunuh oleh pemburu secara
tidak sengaja.
17. Mahaprasthanika parwa
Parwa
ini menceritakan tentang para Pandawa yang telah mengundurkan diri dari dunia
ramai, setalah mahkota kerajaan Astina diserahkan kepada Parikesit anak
Abimanyu. Dalam pengembaraan itu mereka satu persatu mati. Mula-mula Drupadi
meninggal kemudian berturut-turut Nakula, Sadewa, Arjuna, dan Werkudara (Bima).
Akhirnya tinggal Yudistira beserta anjing kesayangannya yang selalu
mengikutinya. Yudistira menolak jika anjing itu tidak diperbolehkan turut
serta. Anjing menjilma menjadi Batara Darma, Yudistira bersama-sama para
pandawa ke indraloka.
18. Swarga parwa
Parwa
ini berisikan tentang para pandawa yang telah mengalami pembersihan jiwa di
neraka untuk beberapa lama, kemudian naik sorga. Sebaliknya para kurawa yang
semula berada di surga, dipindah ke neraka untuk masa yang tidak tertentu.
Kitab
Ramayana di karang oleh Walmiki pada permulaan tarikh masehi yang teriri dari
tujuh kanda (Soekmana, 1973 : 106) yaitu :
1. Bala kanda
Pada
bagian kanda ini menceritakan tentang kelahiran Rama dan Lasmana, sampai dengan
perkawinannya denga dewi Sinta.
2. Ayodya kanda
Kanda
ini menceritakan tentang keinginan Dasarata yang sudah tua untuk lengser dari
kedudukannya sebagai raja untuk digantikan oleh putranya yang bernama Rama.
Namun atas permintan istrinya yang bernama Kekayi keinginan itu tidak dapat
dilaksanakan, bahkan Rama dan istriya beserta raden Lesmana harus menjalani
hidup ditengah hutan selama 14 tahun
3. Aranya kanda
Kanda
ini menceritakan tentang keadaan Rama dan keluarganya di dalam hutan yang
selalu berbuat kebaikan bagi para pertapa yang selalu diganggu oleh para
raksasa. Ketika Rama, istrinya dan adiknya Lesmana berada di hutan diketahui
oleh raja Alengka yang bernama Dasamuka atas pemberitahuan Sarpakenaka,
sehingga raja raksasa ini berhasil menculik dewi Sinta.
4. Kiskenda kanda
Dalam
kanda ini diceritakan tentang penggembaraan mencari istrinya Rama beijumpa
dengan raja kera bernama Sugriwa yang sedang berperang melawan saudaranya
Subali. Raja kera ini besepakat untuk membantu Rama dengan bala tentara keranya
untuk mendapatkan kembali istrinya, tetapi harus membantunya untuk mengalahkan
musuhnya terlebih dahulu.
5. Saudara kanda
Pada
kanda ini diceritakan tentang tokoh kera yang bernama Senggana (Anoman) yang
menunaikan tugas sebagai duta untuk meneliti kebenaran dan kesetiaan dewi Sinta
di negara Alengka. Di samping itu Anoman berhasil mengukur kekuatan negara
Alengka dengan jalan membakar istana Alengka.
6. Yuda kanda
Kanda
ini berisi tentang peperangan besar antara raja Alengka melawan Rama yang
dibantu oleh bala tentara kera dari kerajaan Kiskenda. Cerita dimulai dari
keberhasilan Rama membuat bendungan (jembatan) yang menghubungkan dengan negara
Alengka, atas bantuan dewa laut, kemudian diceritakan pula tentang pengusiran
Wibisana dari Alengka karena tidak setuju dengan keputusan rajanya. Selanjutnya
menceritakan peperangan yang berakhir dengan terbunuhnya Rahwana oleh Rama.
Wibisana dinobatkan menjadi raja di Alengka serta menceritakan tentang dewi
Sinta yang dibakar dalam perapian.
7. Utara kanda
Dalam
kanda ini banyak terdapat cerita yang tidak ada hubungannya dengan cerita Rama,
hanya sepertiga bagian akhir dari kanda ini bercerita Rama. Diceritakan banwa
Rama yang telah mejadi raja itu mendengan isu yang menyangsikan kesucian Sinta.
Untuk memberikan contoh kepada rakyatnya dewi Sinta di usir dari istana. Ketiga
Rama mengadakan upacara aswameda, Kusa dan Lawa hadir sebagai pembawa nyanyian.
Oleh karena yang dibawakan adalah wiracarita ramayana, segera diketahui bahwa
kedua satria itu adalah anaknya, maka dengan diantar oleh Walmiki dewi Sinta
kembali ke istana.
Demikian
isi secara ringkas tentang serat Mahabarata dan Ramayana yang menjadi sumber
cerita wayang kulit purwa. Sudah barang tentu yang diacu dalam cerita wayang
kulit purwa itu tidak lagi bersumber pada serat Mahabarata dan ramayana aslinya
tetapi serat-serat yang telah digubah oleh para sastrawan Indonesia, tentu saja
dalam gubahan itu akan dipengaruhi oleh alam pikiran dan kondisi sosial budaya
di negara ini, bahkan pengaruh lokal itu sangat kuat sehingga ceritanya sudah
sangat jauh berbeda dengan sumber aslinya.
Penulisan cerita wayang kulit dalam bahasa Jawa yang bersumber pada kedua kitab tersebut di atas jumlahnya sangat banyak dan menjadi sumber cerita kedaerahan, salah satunya adalah Serat Purwakanda yang menjadi sumber cerita bagi wayang kulit gaya Yogyakarta. Serat Purwakanda ditulis atas perintah Sri Sultan Hamengku Bhuwono V pada tanggal 29 Oktober 1847 di Yogyakarta. Hal ini seperti terungkap dalam beberapa pupuh tembang Asmarandana sebagai berikut :
(I)
Tatkala
wiwit tinulis Siyang wanci pukul tiga Ing dinten jumuah kliwon Tanggalira ping
sangalas Ing wulan dulkaidah Tahun dai senngkalanipun Panca wiku sanda tunggal
(II)
Anuju
ing mangsa kalih Wukunira madangkuran Lambang rangkir winiraos Wulan walandi
kaetang Oktober tanggalira Neggih ta ping sangalikur Sewu hasta trus lintang
(III)
Kawandasa
pitu nenggih Tigang atus seket tiga Kang angka merta lampah Yasa dalem sri
narendra, Sultan mangkubuwana Senapati ing apupuh Ngabdulrahman sayidina
(IV)
Panetep
Panata sami
Kuliputolah
ping gangsal
Kemandur
ing bintang leyo
Ing
Nederlan saha ingkang
Anggengani
kedatyan
Ngayogyakarta
rat agung
Amangun
serat babat purwa (Suyamto,1987:1)
Serat
Purwakanda ini selesai ditulis pada hari Ahad (Minggu) Kliwon, tanggal 30 Juli
1848. Mulai saat itu semua cerita wayang kulit di Yogyakarta mengacu pada serat
tersebut.
Sumber
cerita yang dikembangkan dalam buku ini pada prinsipnya mengambil sumber utama
pada Serat Purwakanda, di samping sumber lain yang dapat mendukung dan
menyempurnakan serta membuat semakin hidupnya cerita tokoh tersebut. Buku acuan
yang menjadi sumber utama adalah Buku terjemahan Serat Purwakanda, jilid I
& II, oleh Slamet Riyadi, dkk, di terbitkan oleh Proyek Pengembangan Bahasa
dan Sastra Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1984/1985.
Buku
Serat Purwakanda, jilid I & II, alih aksara oleh Suyamto, Balai Penelitian
Bahasa Yogyakarta, 1987. Buku-buku pendukung lainnya diantaranya adalah buku
Silsilah Wayang purwa Mawa Carita, jilid I – VII, oleh S. Padmasukaca, Penerbit
PT Citra Jayamurti, Surabaya, 1985. Buku Sejarah Wayang Purwa, oleh
Hardjawirogo, Penerbit Balai Pustaka, 1989, Buku Ensiklopedia Wayang Purwa I
(Compendium), yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Pembinaan Kesenian, Proyek Pembinaan Kesenian.
Buku
Pedhlangan Ngayogyakarta jilid I, Gegaran Pamulangan Habirandha, karangan R.M.
Mudjnattistomo, dkk. Diterbitkan oleh Yayasan Habirandha Ngayogyakarta, 1977.
Catatan Kagungan Dalem Ringgit Suwargen, paniti N.B. Cerma Gupita dan N.B.
Cermawicara, Kawedanan Hageng Punakawan Kridamardawa Kraton Yogyakarta, 1994.
Catatan
Kagungan dalem Ringgit Ampilan, paniti. M.B. Cermagupita dan M.B. Cermawicara,
Kawedanan Hageng Punakawan Kridamardawa Kraton Yogyakarta, 1994 Buku Wayang
Kulit Purwa gaya Yogyakarta, karangan Sunarto Penerbit Balai Pustaka, Jakarta,
1989. Buku Seni Gatra Wayang kulit Purwa, Karangan Sunarto, Penerbit Dahara
Prize, Semarang, 1997.
Buku
Pengetahuan Bahan Kulit untuk Seni dan Industri, karangan Sunarto, penerbit
Kanisius Yogyakarta, 2001, Buku Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta, Morfologi,
Tatahan, Sunggingan dan Teknik Pembuatannya, Karangan Sagio dan Samsugi,
Penerbit Masagung, Jakarta, 1991.
Buku
Seni Kriya Wayang Kulit, Seni Rupa Tatahan dan Sunggingan, Penerbit Pustaka
Utama Grafuti, Jakarta 1991. Buku Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman, karangan G. Moedjanto, Penerbit Kanisius Yogyakarta 1994. Buku
Studi Komparatif Gaya Seni Yogya-Solo, karangan SP Gustami, penerbit Yayasan
untuk Indonesia Yogyakarta bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Institut Seni
Indonesia Yogyakarta, 2000. Buku Bentuk dan Fungsi kayon Wayang kulit purwa
gaya Yogyakarta, susunan Sunarto, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian
Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1991, Buku Konsep Gunungan dalam Seni
Budaya Jawa Manifestasinya di Bidang Seni Ornamen sebuah Studi pendahuluan,
susunan SP Gustami, Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta,
1989.
Beberapa
kaset cerita Kresna Duta Dalang Gaya Yogyakarta seperti Timbul Cermamanggala
(Hadiprayitno) dari Bantul Yogyakarta, Produksi Fajar Record.
Kaset
cerita wayang kulit oleh Dalang Hadi Sugita dari Kulonpraga. Di samping itu
penulisan cerita wayang kulit Gaya Yogyakarta ini berdasarkan sumber-sumber
lesan yang diceritakan oleh para dalang wayang gaya Yogyakarta yang sudah
dikenal lainnya atau sumber-sumber yang memiliki tingkat dapat dipercayaan
tinggi, baik budayawan, perajin dan sebagainya.
Imajiner
Nuswantoro