kisah Sanghyang Wenang
Kisah
ini menceritakan perjalanan hidup Sanghyang Nurrasa, putra Sanghyang Nurcahya
yang dilanjutkan dengan putranya yang bernama Sanghyang Wenang. Sumber dari
penyusunan cerita ini adalah Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
SANG HYANG WENANG
Sang
Hyang Wenang adalah nama seorang dewa senior dalam tradisi pewayangan Jawa. Ia
dianggap sebagai leluhur Batara Guru, pemimpin Kahayangan Suralaya. Ia sendiri
bertempat tinggal di Khayangan Alang-alang Kumitir. Kisah kehidupan Sang Hyang
Wenang yang diangkat dalam pentas pewayangan antara lain bersumber dari naskah
Serat Paramayoga yang disusun oleh pujangga Ranggawarsita.
Asal usul
Serat
Paramayoga merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang isinya merupakan
perpaduan unsur Hindu, tradisi kebudayaan india dan Jawa asli. Tokoh Sang Hyang
Wenang misalnya, disebut sebagai leluhur dewa-dewa di Mahabharata
Membangun Kahyangan Tengguru
Sang
Hyang Wenang pun muncul dan membangun kahyangan baru di Gunung Tengguru.
Setelah memimpin sekian tahun lamanya, Sang Hyang Wenang mewariskan takhta
kahyangan kepada putranya yang bernama Sang Hyang Tunggal. Setelah itu, ia
sendiri juga manunggal, bersatu ke dalam diri putranya itu.
Meskipun
Sang Hyang Wenang telah bersatu ke dalam diri Sang Hyang Tunggal, tetapi para
dalang dalam pementasan wayang masih tetap memunculkan tokoh Sang Hyang Wenang
dalam lakon-lakon tertentu. Hal ini dimungkinkan karena setelah bersatu dengan
ayahnya, Sang Hyang Tunggal tetap memakai nama ayahnya namun ada perbedaan,
yaitu Sang Hyang Podo Wenang sebagai salah satu nama julukannya.
Sanghyang
Wenang juga gemar bertapa dan olah rasa, sama seperti kakeknya dulu, Sanghyang
Nurcahya. Segala macam tempat wingit ia datangi. Segala macam jenis tapa brata
ia jalankan. Ia kemudian membangun istana yang melayang di udara, tepatnya di
atas puncak Gunung Tunggal, sebuah gunung tertinggi di Pulau Malwadewa. Setelah
300 tahun bertakhta, ia akhirnya dipertuhankan oleh seluruh jin di pulau
tersebut.
Pada
saat itu hidup seorang raja bangsa manusia bernama Prabu Hari dari kerajaan
Keling di Jambudwipa. Ia marah mendengar ulah Sanghyang Wenang yang mengaku
Tuhan tersebut. Tanpa membawa pasukan ia datang menggempur Kahyangan Pulau
Malwadewa seorang diri. Perang adu kesaktian pun terjadi. Dalam pertempuran itu
Prabu Hari akhirnya mengakui keunggulan Sanghyang Wenang.
Prabu
Hari kemudian mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Sahoti sebagai istri
Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu lahir seorang putra berwujud akyan, yang
diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Setelah dimandikan dengan
Tirtamarta Kamandalu, keempat cahaya dalam tubuh bayi itu bersatu. Bayi
tersebut kemudian menjadi sosok berbadan rohani yang memancarkan cahaya. Putra
pertama Sanghyang Wenang itu diberi nama Sanghyang Tunggal. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 3500 Matahari.
Beberapa
waktu kemudian Dewi Sahoti melahirkan bayi kembar dampit, laki-laki-perempuan,
yang keduanya juga berwujud akyan, dengan diliputi cahaya. Keduanya kemudian
dimandikan dengan Tirtamarta Kamandalu dan diberi nama oleh sang ayah. Yang
laki-laki diberi nama Sanghyang Hening, sementara yang perempuan diberi nama
Dewi Suyati.
Sementara
itu, perjalanan kehidupan kakak kandung Sanghyang Wenang, yaitu Sanghyang
Darmajaka telah menjadi raja di negeri Selong. Sanghyang Darmajaka mempunyai
istri bernama Dewi Sikandi, putri Prabu Sikanda dari Kerajaan Selakandi.
Kerajaan ini terletak di Tanah Srilanka.
Dari
perkawinan tersebut Sanghyang Darmajaka mendapatkan lima orang anak, yaitu Dewi
Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan
Sanghyang Pancaresi.
Sanghyang
Darmajaka kemudian berbesan dengan Sanghyang Wenang, yaitu melalui pernikahan
Dewi Darmani dan Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal sendiri kemudian menjadi
raja Keling, menggantikan sang kakek, Prabu Hari.
Sang
Hyang Wenang adalah putra Sanghyang Nur Rahsa/Nurasa dengan permaisuri Dewi
Sarwati/Rawati, putri Prabu Rawangin raja Jin di pulau Darma. Sanghyang Wenang
lahir berwujud "Sotan" (suara yang samar-samar) bersama adik
kembarnya yang bernama Sanghyang Hening/Wening. Dalam cerita pedalangan,
Sanghyang Wenang dikenal pula dengan nama Sanghyang Jatiwisesa. Saudara
kandungnya yang lain ialah Sanghyang Taya atau Sanghyang Pramanawisesa, yang
berwujud "akyan" (badan halus/jin)
Setelah
Sanghyang Wenang dewasa, Sanghyang Nurasa kemudian Manuksma (hidup dalam satu
jiwa) ke dalam diri Sanghyang Wenang setelah menyerahkan benda-benda pusaka :
Kitab Pustaka Darya, Kerajaan, pusaka dan azimat berupa ; Kayu Rewan, Lata Maha
Usadi, Cupu Manik Astagina dan Cupu Retnadumilah.
Sanghyang
Wenang mula-mula berkahyangan di gunung Tunggal, wilayah Pulau Dewa. Di tempat
tersebut ia menciptakan surga sebagai tempat bersemayam. Setelah itu
menciptakan Kahyangan/Surga baru di pulau Maldewa sebagai tempat tinggalnya
yang baru.
Sanghyang
Wenang menikah dengan Dewi Sahoti/Dewi Sati, putri Prabu Hari raja negara
Keling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh lima putra, semuanya berwujud
"Akyan" (makluk halus atau jin) masing - masing bernama ; Sanghyang
Tunggal, Dewi Suyati, Bathara Nioya, Bathara Herumaya dan Bathara Senggana.
Setelah Sanghyang Tunggal dewasa, Sanghyang Wenang menyerahkan tahta, kerajaan
dan segenap pasukannya kepada Sanghyang Tunggal. Sanghyang Wenang kemudian
tinggal di Kahyangan Ondar-Andir Bawana, karena berwujud "Akyan",
maka Sanghyang Wenang hidup sepanjang masa, bersifat abadi.
SANGHYANG NURRASA MENINGGALKAN PULAU DEWA
Di
Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Nurcahya dihadap Sanghyang Nurrasa dan Patih
Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sanghyang Nurcahya untuk mewariskan
takhta beserta semua pusaka kepada Sanghyang Nurrasa yang dianggap telah cukup
dewasa. Namun Sanghyang Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul
tanggung jawab berat ini.
Sanghyang
Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah sehingga
memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan.
Lagi-lagi Sanghyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan
pengalaman, apalagi dirinya belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk
dijadikan pasangan hidup. Sanghyang Nurcahya marah dan mengusir Sanghyang
Nurrasa pergi meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa.
Sepeninggal
Sanghyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sanghyang Nurcahya mengampuni
Sanghyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sanghyang Nurcahya
menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur sampai
sejauh mana keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. Sanghyang Nurcahya lalu
memerintahkan Patih Amir untuk mengawasi perjalanan Sanghyang Nurrasa dari kejauhan.
Sang Patih menurut dan segera berangkat.
SANGHYANG NURRASA BERTAPA DI PULAU DARMA
Sanghyang
Nurrasa berkelana sampai tiba di Pulau Darma dan bertapa di puncak sebuah
gunung. Beberapa waktu kemudian datang seorang jin bernama Patih Parwata
bersama pasukannya. Patih Parwata marah karena ada orang asing berani bertapa
di wilayah Kerajaan Pulau Darma. Mereka pun mengganggu Sanghyang Nurrasa supaya
menghentikan tapa brata tersebut.
Sanghyang
Nurrasa bangun dan menghadapi Patih Parwata. Keduanya lalu mengadu kepandaian
yang dilanjutkan dengan pertempuran adu kesaktian. Meskipun seorang diri, namun
Sanghyang Nurrasa mampu menghadapi mereka semua tanpa terdesak sama sekali.
Patih Amir yang mengintai dari persembunyian akhirnya muncul dan melerai
pertempuran tersebut sebelum jatuh korban di antara mereka.
Kepada
Patih Parwata, Patih Amir memperkenalkan Sanghyang Nurrasa sebagai cucu dari
Prabu Nurhadi. Ternyata Patih Parwata adalah kakak kandung Prabu Nurhadi dan
Patih Amir sendiri. Patih Parwata sangat gembira mengetahui bahwa Sanghyang
Nurrasa ternyata masih anggota keluarganya. Ia pun mengundang Sanghyang Nurrasa
dan Patih Amir untuk berkunjung ke Kerajaan Pulau Darma.
SANGHYANG NURRASA MENIKAH DENGAN DEWI RAWATI
Raja
jin di Kerajaan Pulau Darma bernama Prabu Rawangin adalah adik dari Patih
Parwata, sehingga terhitung masih saudara Prabu Nurhadi dan Patih Amir pula.
Prabu Rawangin menyambut baik kedatangan Sanghyang Nurrasa dan langsung merasa
suka kepadanya. Maka, Prabu Rawangin pun berniat menjadikan Sanghyang Nurrasa
sebagai menantu, yaitu dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Rawati.
Prabu
Rawangin menceritakan beberapa hari yang lalu Dewi Rawati telah bermimpi
mendapat petunjuk bahwa jodohnya sudah dekat, dan merupakan cucu dari Nabi Sis.
Tak disangka laki-laki yang dimaksud dalam mimpi tersebut kini sudah hadir dan
masih anggota keluarga sendiri dari pihak ibu. Menanggapi hal ini, Sanghyang
Nurrasa meminta pertimbangan kepada Patih Amir, dan Patih Amir pun menyarankan
supaya menerima perjodohan tersebut. Sanghyang Nurrasa akhirnya bersedia
menjadi menantu Prabu Rawangin.
Maka,
diadakanlah upacara pernikahan antara Sanghyang Nurrasa dengan Dewi Rawati.
Tujuh hari kemudian Sanghyang Nurrasa mendapat izin memboyong sang istri untuk
menetap di Kahyangan Pulau Dewa.
SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWA
Sanghyang
Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan Dewi
Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran
dirinya sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua
pengalaman hidupnya dalam sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan
menyerahkannya kepada Sanghyang Nurrasa bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu
Tirtamarta Kamandanu, Cupumanik Astagina, Lata Mahosadi, dan Retna Dumilah.
Setelah
Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya kemudian
menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak
saat itu, Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau
Dewa.
KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA
Beberapa
bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa
rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa
lalu mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga
kedua suara itu dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar
dijadikan anak pertama, diberi nama Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka,
atau Sanghyang Wening, sedangkan yang bersuara kecil dijadikan anak kedua,
diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang.
Beberapa
tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin
sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra
Sanghyang Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan
yang paling menonjol di antara mereka adalah Sanghyang Wenang.
PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA
Tersebutlah
seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya
penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak
menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu
kesaktian Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama
Prabu Sikanda dari Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau
Dewa.
Sesampainya
di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Tak
disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para
jin tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra.
Maka,
Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu, namun
Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba.
Adapun Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih
Parwata, dan Patih Amir. Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama
Prabu Palija, raja Kerajaan Keling sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun
takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang bergelar Prabu
Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu
Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada
sepupunya itu, juga mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. Prabu
Hari kemudian menikahi Dewi Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan
sebagai patih.
Prabu
Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang
Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat
dimenangkan oleh Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat
dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka, sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah
kepada Sanghyang Taya.
SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI
Sanghyang
Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada
Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah
permusuhan menjadi persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan
Prabu Hari untuk menjadi menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima
lamaran tersebut dengan senang hati.
Maka,
diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri
Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun
Sanghyang Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat
Sanghyang Nurrasa.
Tidak
hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang
Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan
Kerajaan Keling kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki
rencana lain, yaitu mengangkat Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan
Pulau Dewa. Adapun Kerajaan Keling sebaiknya diserahkan kepada putra Sanghyang
Wenang yang kelak lahir dari Dewi Sahoti.
Setelah
keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka peninggalan
Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu
jiwa raga dengan putra keduanya itu. Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang
menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang
Jatiwisesa, sedangkan Sanghyang Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan
Selongkandi dengan bergelar Sanghyang Purbawisesa. Sementara adik mereka, yaitu
Sanghyang Taya memakai gelar Sanghyang Pramanawisesa.
KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL
Sang Hyang Tunggal |
Sanghyang
Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal, sesuai
nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.
Imajiner
Nuswantoro