Gilingwesi Bedah (KISAH ZAMAN PURWACARITA)
Kisah
ini menceritakan runtuhnya Kerajaan Gilingwesi akibat serangan Prabu Srikala
raja Purwacarita yang sakit hati karena calon menantunya, yaitu Dewi Kaniraras
telah dinikahkan dengan orang lain. Kisah dilanjutkan dengan peperangan antara
Prabu Srikala dan Prabu Basupati yang berkhir dengan kekalahan pihak
Purwacarita.
DEWI KANIRARAS SAKIT PARAH
Prabu
Parikenan di Kerajaan Gilingwesi sedang bersedih karena putri sulungnya, yaitu
Dewi Kaniraras menderita sakit parah. Akibat rasa sakitnya itu, setiap hari
Dewi Kaniraras selalu merintih dan tidak dapat tidur. Patih Sangkaya sudah
diutus mencari obat ke mana-mana namun tidak dapat menyembuhkannya.
Prabu
Parikenan lalu mengumumkan sayembara barangsiapa dapat menyembuhkan Dewi
Kaniraras, maka ia akan dijadikan menantu, yaitu dinikahkan dengan putri
sulungnya tersebut. Rupanya Prabu Parikenan lupa bahwa tiga tahun yang lalu
Dewi Kaniraras telah diminta oleh Prabu Srikala untuk dijodohkan dengan Raden
Sriwanda.
Maka,
begitu sayembara diumumkan, para dukun, tabib, dan resi pun berdatangan untuk
mengobati penyakit Dewi Kaniraras. Akan tetapi, tiada satu pun dari mereka yang
berhasil menyembuhkan sang putri.
EMPU KANOMAYASA MENYEMBUHKAN DEWI KANIRARAS
Kepala
pembuat senjata di Kerajaan Gilingwesi, yaitu Empu Dewarasa memerintahkan kedua
putranya untuk mengikuti sayembara tersebut. Empu Dewarasa ini adalah adik dari
Empu Darmarasa yang dulu dihukum mati Prabu Brahmasatapa (ayah Prabu Parikenan)
karena menolak menyerahkan kedua putranya yang hendak dijadikan anggota Wadya
Seseliran pemuas birahi Sri Maharaja Purwacandra di Medang Kamulan.
Kedua
putra Empu Dewarasa yang bernama Empu Dewayasa dan Empu Kanomayasa segera
menghadap Prabu Parikenan untuk mengikuti sayembara. Setelah Prabu Parikenan
mempersilakan mereka untuk bertindak,
Empu Dewayasa pun maju lebih dulu dan meniup ubun-ubun Dewi Kaniraras
sambil membaca mantra. Seketika Dewi Kaniraras berhenti menangis karena rasa
sakitnya telah hilang. Akan tetapi, gadis itu tetap tidak dapat bangun dari
tempat tidur, pertanda bahwa penyakitnya belum lenyap seluruhnya.
Empu
Kanomayasa maju untuk mengobati Dewi Kaniraras dengan cara menjilati
ubun-ubunnya sambil membaca mantra. Seketika Dewi Kaniraras pun mampu bangkit
berdiri dan merasa tubuhnya pulih seperti sediakala. Prabu Parikenan sangat
gembira dan ia pun mengumumkan Empu Kanoyasa sebagai pemenang sayembara dan
berhak menikahi putrinya.
Empu
Dewayasa tidak terima karena ia merasa dirinya juga berjasa telah meringankan
penyakit Dewi Kaniraras. Khawatir terjadi perselisihan antara kakak beradik
putra Empu Dewarasa itu, Prabu Parikenan segera turun tangan melerai mereka.
Maka, ia pun memberikan hadiah sebidang tanah kepada Empu Dewayasa atas
jasa-jasanya. Empu Dewayasa mematuhi dan ia pun merestui adiknya menikah dengan
Dewi Kaniraras.
PRABU PARIKENAN MENOLAK LAMARAN PRABU SRIKALA
Pada
suatu hari Prabu Parikenan menerima kedatangan Patih Sadaskara dari Kerajaan
Purwacarita yang diutus Prabu Srikala untuk menyampaikan lamaran resmi perihal
perjodohan Dewi Kaniraras dengan Raden Sriwanda. Prabu Parikenan baru ingat
kalau dulu ia pernah bersepakat dengan Prabu Srikala untuk berbesan. Namun,
saat itu Raden Sriwanda dan Dewi Kaniraras belum cukup umur, sehingga mereka
pun sepakat menunda perjodohan sampai tiga tahun ke depan. Kini, waktu tiga
tahun itu telah terlewati dan Prabu Srikala pun mengirimkan lamaran secara
resmi dengan mengutus Patih Sadaskara.
Prabu
Parikenan merasa serbasalah karena Dewi Kaniraras saat ini telah dinikahkan
dengan Empu Kanomayasa selaku pemenang sayembara. Maka, dengan sangat terpaksa
ia pun menolak lamaran tersebut, dan menitipkan surat balasan kepada Patih
Sadaskara.
Prabu
Srikala di Kerajaan Purwacarita sangat marah saat membaca surat balasan
tersebut. Ia merasa tersinggung dan menuduh Prabu Parikenan telah mempermainkan
kesepakatan dengannya tiga tahun silam. Pada saat itulah Batara Kala datang
merasukinya untuk mengadu domba keturunan Batara Wisnu dengan Batara Brahma.
Setelah
dirasuki Batara Kala, Prabu Srikala semakin gelap mata dan ia pun mengumpulkan
pasukan untuk kemudian berangkat menyerang Kerajaan Gilingwesi. Mengetahui
suaminya hendak berperang melawan kakaknya, Dewi Srini hanya bisa berdoa
memohon kepada dewata supaya memberikan jalan yang terbaik.
PRABU PARIKENAN KALAH PERANG
Prabu
Parikenan di Kerajaan Gilingwesi sangat terkejut mendengar berita bahwa Prabu
Srikala telah datang menyerang. Ia pun mengerahkan pasukan untuk menghadapi
serangan tersebut. Maka, pertempuran di antara mereka pun meletus tak
terhindarkan lagi. Inilah perang saudara pertama antara keturunan Batara Brahma
melawan keturunan Batara Wisnu.
Dalam
pertempuran itu satu per satu punggawa kedua pihak berguguran. Dari pihak
Purwacarita yang terbunuh adalah Arya Sadabekti dan Arya Sadagati, yaitu dua
orang adik Patih Sadaskara. Sementara itu, dari pihak Gilingwesi yang gugur
adalah Patih Sangkaya, Arya Jatmaka, dan Arya Sanyaki. Mereka bertiga tewas di
tangan Patih Sadaskara.
Di
sisi lain, Prabu Srikala yang telah dirasuki Batara Kala seolah mendapatkan
kesaktian yang berlipat ganda. Ia berhasil membunuh empat sesepuh Kerajaan
Gilingwesi, yaitu Resi Brahmastuti, Resi Brahmayana, Resi Brahmanasidi, dan
Resi Brahmanajati. Mendengar keempat pamannya tewas, Prabu Parikenan sangat
marah dan segera terjun ke medan perang untuk menghadapi Prabu Srikala.
Pertarungan
antara kedua raja itu berlangsung seru. Prabu Srikala akhirnya berhasil memukul
Prabu Parikenan dan membuat raja Gilingwesi itu terlempar jauh dari hadapannya.
Pada saat itulah muncul Batara Narada menemui Prabu Parikenan dan menjelaskan
bahwa sudah takdir Kerajaan Gilingwesi harus berakhir hari ini. Batara Guru di
Kahyangan Jonggringsalaka telah memutuskan untuk mengangkat Prabu Parikenan menjadi
dewa, bergelar Batara Brahma’am. Mengenai anak dan istrinya akan tetap
mendapatkan jalan keluar dari masalah ini.
Prabu
Parikenan hanya bisa mematuhi keputusan dewata tersebut. Sejenak kemudian,
Batara Narada pun mengangkat dirinya naik ke kahyangan.
DEWI BRAHMANEKI MEMINTA PERLINDUNGAN KE WIRATA
Prabu
Srikala dan Patih Sadaskara heran melihat Prabu Parikenan tiba-tiba menghilang
setelah terkena pukulan tadi. Mereka pun mencari ke mana-mana namun tidak dapat
menemukannya.
Sementara
itu di istana Gilingwesi, Dewi Brahmaneki dan anak-anaknya mendengar berita
bahwa sang suami telah kalah perang namun tidak diketahui di mana
keberadaannya. Pada saat itu yang masih hidup tinggal Arya Brahmanaradya, Arya
Brahmanaweda, dan Arya Brahmanakestu, serta Empu Dewayasa, Empu Kanomayasa, dan
Arya Brahmangkara (putra mendiang Patih Brahmasadana). Dewi Brahmaneki merasa
Kerajaan Gilingwesi telah jatuh ke tangan musuh, sehingga ia pun memutuskan
untuk mengungsi ke Kerajaan Wirata bersama mereka semua.
Prabu
Basupati di Kerajaan Wirata terkejut melihat kedatangan Dewi Brahmaneki
(adiknya) beserta rombongan. Mengetahui Kerajaan Gilingwesi telah runtuh
diserang Prabu Srikala yang melupakan ikatan persaudaraan, Prabu Basupati
sangat marah dan segera menghimpun pasukan untuk menyerang Kerajaan
Purwacarita.
PRABU BASUPATI MENGALAHKAN PRABU SRIKALA
Prabu
Srikala di Kerajaan Purwacarita mendengar berita bahwa Prabu Basupati datang
menyerang demi membalaskan kekalahan Prabu Parikenan. Maka, Patih Sadaskara pun
dikirim untuk menghadapi serangan tersebut. Akan tetapi, Patih Sadaskara
akhirnya tewas di tangan Prabu Basupati.
Prabu
Srikala sangat marah dan terjun ke medan perang. Setelah bertempur cukup lama
menghadapi Prabu Basupati (yang masih terhitung pamannya), akhirnya ia mengalami
kekalahan dan tubuhnya pun diikat menggunakan rantai. Pada saat itulah Batara
Kala keluar dari tubuh Prabu Srikala dengan perasaan puas telah mengadu domba
keturunan Batara Wisnu dan Batara Brahma.
Tidak
lama kemudian, Dewi Srini datang bersimpuh dan memohon supaya Prabu Basupati
mengampuni nyawa Prabu Srikala. Dewi Srini tidak ingin kehilangan suami setelah
dirinya kehilangan dua orang saudara, yaitu Prabu Parikenan yang gugur dalam
pertempuran, dan Dewi Satapi yang bunuh diri menyusul kematian Patih Sadaskara.
Prabu
Basupati akhirnya mengabulkan permohonan Dewi Srini itu. Prabu Srikala tidak
dijatuhi hukuman mati, tetapi diturunkan dari takhta Purwacarita dan dibuang ke
Hutan Dantawu.
PRABU SRIKALA MENINGGAL DI HUTAN
Prabu
Srikala dan Dewi Srini beserta putra mereka, yaitu Raden Sriwanda, juga para
keponakan, yaitu Raden Artaetu, Raden Etudarma, dan Raden Darmahanara berangkat
menjalani pengasingan menuju ke Hutan Dantawu. Sesampainya di sana, mereka pun
membangun sebuah permukiman sederhana yang diberi nama Desa Andong.
Setelah
kehilangan takhta, Prabu Srikala mengganti gelarnya menjadi Begawan Srikala.
Meskipun kini menempuh jalur rohani, namun ia senantiasa terkenang pada
kekalahannya di tangan Prabu Basupati. Karena terlalu banyak berpikir, Begawan
Srikala akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia.
PRABU BASUPATI MENDUDUKI TAKHTA PURWACARITA
Sementara
itu, Prabu Basupati yang kini menduduki istana Purwacarita sangat kagum melihat
keindahan di dalamnya dan merasa enggan untuk kembali ke Wirata. Karena berniat
ingin menetap di Purwacarita, maka Patih Wakiswara pun diutus pulang untuk
menjemput seluruh anggota keluarga di sana.
Setelah
Patih Wakiswara datang kembali bersama kedua permaisuri dan para putra, Prabu
Basupati pun mengumumkan bahwa mulai hari ini ia bertakhta di bekas istana
Purwacarita.
Demikianlah,
dengan berakhirnya kekuasaan Prabu Parikenan dan Prabu Srikala, maka Prabu
Basupati kini menjadi satu-satunya raja yang berkuasa di Tanah Jawa.
Imajiner
Nuswantoro