Babad Batudawa Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia
Ilustrasi Babad Batudawa Tertulis Daun Lontar
Ya Tuhan, semoga hamba tidak mendapat halangan dan semoga berhasil.
Permohonan maaf hamba kepada Bhatara Hyang Mami, terutama beliau Hyang Bhatara Pasupati, yang berstana di Sunyataya, berada di Jambhu Dwipa, maafkanlah hamba, oleh semua Bhatara Hyang, yang telah berwujud OM-kara Ratna Mantram amat suci bagaikan yogi agung, beliau yang memberi anugrah, ada ceritra lama, tentang sesuatu yang telah bebas, agar beliau membebaskan dari segala macam kualat dan membebaskan dari segala bentuk mala papa pataka, serta terbebas dari segala kutukan, semoga mendapatkan selamat, sampai seluruh keluarga dan keturunan, semoga duniapun sejahtra.
Pura Kancing Gumi
Ada ceritra lama ada yang disebut Maya Sakti belum berparhyangan, amat dashyat bertaring tajam, runcing, menakutkan, bagaikan danawa, loba moha murka, mencela sastra utama, mencela tattwa-tattwa yang telah ada, semuanya itu musnah, dikejar diburu habis, setelah musnah segala bentuk kejahatan itu kembali ke sorga loka, entah berapa lamanya, kembali dititahkan oleh Hyang untuk menjelma, diberi anugrah utama berwujud ardhanareswarilah beliau, akhirnya menjadi gaib, berada dalan tata kelapa, diputar dengan pedang, setelah diupacarai dan disucikan oleh kekuatan Hyang Tohlangkir, dititahkan oleh Hyang Pasupati, agar bersinggasana di Bali, menjadi pemimpin negari, berganti wujudlah beliau, menjadi raja dikerajaan Bali, dengan abhiseka Sri Aji Masula Masuli, lalu dikawinkanlah beliau dengan adiknya, tidak disebutkan tentang ketenangan seluruh negeri (kerajaan), entah berapa lamanya beliau memerintah, berganti-ganti, sampai akhir masa pemerintahannya, sama-sama moksah kembali ke Antaraloka, demikianlah disebutkan dalam Usana.
Tersebutlah beliau Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Giri Mahameru. Adapun beliau sangat kasihan melihat Pulau Bali dan Selaparang., karena bergoyang bagaikan perahu, selalu bergoyang-goyang Bali dan Selaparang, itulah yang menyebabkan adanya gunung di Pulau Bali, ada empat (4) gunung, yang disebut gunung Lokapala (Catur Lokapala) yaitu : di timur gunung Lempuyang, di selatan gunung Andakasa, di barat gunung Batukaru sama dengan gunung Bratan, adapun yang di sebelah utara gunung Mangu, dekat dengan gunung Tulukbiyu, itulah yang menyebabkan adanya batas oleh Hyang Haribhawana, sewaktu-waktu goyang Pulau Bali, itulah sebabnya Hyang Pasupati memenggal lereng gunung Mahameru, yang diturunkan di Pulau Bali dan di Selaparang, Ki Badawangnala ada di dasar gunung, Sang Naga Basukih yang mengikat gunung, Sang Naga Taksaka yang menerbangkan gunung, panjang jika diceritrakan.
Pada waktu hari Wre (Wrespati); Ka (kliwon), Panglong 15 (Tilem), sudhira (rah) bhumi, sirsa (tenggek) wulan, Isaka 00, itulah yang menyebabkan menyatu pulau Bali, rah 0, tenggek 0, demikianlah dalam ceritra.
Setelah beberapa lama, yakni pada hari Siwa Kawyawara, wuku Tolu, Candrasira, pada hari pananggal, arjuna witangsu, rudhira parwata, sirsa dewesakyam, sunya pandita (Tahun Candra Sangkala), pada saat itu hujan lebat, gelap gulita, kilat, petir, berbarengan dengan suara gemuruh, menjadi bergetar pulau Bali, dengan lamanya hujan, meletuslah gunung Agung (Hyang Tohlangkir, mengeluarkan lahar panas, demikianlah pada hakekatnya.
Setelah beberapa waktu berjalan, datanglah pada hari Siwa Kuye (Wrespati Pahing) wuku Prangbakat, sasadhara retu, pananggal 15, purnama, titi namanya, swanita pawaka (swanita =1; pawaka = 3) mastake witangsi, tenggek 1, wesaka, gni bhudara, yakni tahun 310, saat itu kembali meletus gunung Tohlangkir, keluarlah Bhatara Putrajaya, bersama Bhatari Dewi Dhanuh, yang berstana di Parhyangan Ulundhanu, yaitu Tampurhyang, adapun Bhatara Putrajaya berstana di Parhyangan Basukih, merupakan pusatnya Gelgel.
Bersama beliau Bhatara Brahma, dengan abhiseka (bernama) Hyang Genijaya, berstana di Parhyangan Gunung Lempuyang, demikianlah hakekatnya jaman dulu. Begini hendaknya dengarkanlah ceritranya, dahulu saat Bhatara Tiga datang di pulau Bali, atas perintah Bhatara Jagatkarana, sabda Bhatara : “Anakku Hyang Tiga, Mahadewa, Dewi Dhanuh, Genijaya, sekarang tiada lain anakku, datanglah anakku ke Bali, agar tinggal di Bali, karena pulau Bali amat sunyi (kosong), menjadi pemujaan semua orang, sampai akhir jaman.”, demikianlah perintah Bhatara Kasuhun, sujudlah Bhatara Tiga : “Ya Hyang Mami, bukan karena menolak perintah Tuanku Bhatara, apakah sebabnya, karena hamba putra Bhatara masih kanak-kanak dan hamba tidak tahu jalan :. Sabda Bhatara : “Anakku bertiga (Hyang Tiga), janganlah anakku khawatir, ayahmu akan memberi anugrah padamu, hendaknya diterima jangan khawatir”. Menyembahlah Bhatara Tiga sakti, sama-sama menundukkan kepala, karena telah dianugrahi filsafat hidup (tattwajnana), amat banyak jika diceritrakan. Setelah Bhatara Tiga diberi anugrah, digaibkan (masuk) dalam sebutir kelapa gading, berjalan di bawah laut, segera sampai di Parhyangan Basukih, demikianlah adanya Bhatara yang disebut dalam Usana.
Adapun beliau Bhatara Dewi Dhanuh, lalu berstana di Parhyangan Ulundhanu, yakni Tampurhyang, beliau Bhara Hyang Genijaya, berstana di Parhyangan Gunung Lempuyang, demikianlah adanya.
Adalah yang patut diceritrakan lagi, putra beliau Sanghyang Pasupati, disuruh datang di Bali, menjadi pujaan masyarakat, bersama-sama dengan Bhatara Putrajaya, yaitu : Bhatara Tumuwuh berparhyangan di Giri Watukaru; Bhatara Hyang Manik Kumawang berparhyangan di Giri Bratan dan Hyang Manik Galang, berparhyangan di Pejeng; Bhatara Hyang Tugu berparhyangan di Giri Andakasa, sama-sama melakukan yoga samadhi, tidak ada perumpamaam tentang keindahan Parhyangan Bhatara masing-masing, demikianlah ceritra Bhatara yang ada di Kahyangan di Bali, jangan tidak percaya, demikianlah telah ditulis oleh Dwijendra Wawu Dateng, pada saat beliau ada di Samprangan.
Ada lagi sabda Sanghyang Parameswara, kepada putra-putra beliau para dewata, terutama Sanghyang Genijayasakti, sabda beliau : “Ya anak-anakku semuanya, dengarkanlah sabdaku kepada kamu semuanya, hendaknya anak-anakku datang ke Bali, menjaga pulau Bali, agar engkau para dewata abadi, menjaga dunia, hendaknya dipilih gunung-gunung sebagai tempat masing-masing sebagai Kahyangan, karena telah ada gunung-gunung di seluruh pulau Bali, tempatnya aku beryoga dahulu dan yang telah aku bawa dari Jambhu Dwipa, telah aku pindahkan di Bali, yakni Sanghyang Mahameru namanya, pangkal, lerengnya sampai puncaknya, aku bawa ke Bali, setelah berada di Bali, bertambah banyak dasar-dasarnya, berbentuk batu-batu ada yang besar ada yang kecil, semuanya itu ada di Bali, tempat-tempat itu menjadi bukit-bukit dan pegunungan, bertambah banyak di Bali, demikianlah keberadaannya anak-anakku, ada terjumpai olehmu gunung Agung, yang disebut rajanya gunung, berada di timur laut, ya itu gunung mas yang puncaknya permata, dasarnya permata yang indah (intan), krikilnya mirah, pasinya permata merah, itulah berasal dari puncaknya gunung Mahameru, akulah yang membawanya dahulu ke Bali, aku bagi tiga, sebagian gunung Batur,, sebagai dapurnya Hyang Agni, berada pada lapisan dasar tanah, sebagian lagi yang di bawahnya aku jadikan gunung Rinjani dan puncaknya menjadi gunung Tohlangkir, yang disebut juga gunung Agung dan bagian-bagian yang lainnya menjadi pegunungan dan bukit-bukit selain gunung Agung itu, yaitu : dimulai dari timur, hendaknya diketahui, yakni gunung Tasahi (tapsahi), baratnya gunung Pangelengan, gunung Mangu, gunung Silanjana, baratnya gunung Bratan, baratnya gunung Watukaru, baratnya gunung Nagaloka, baratnya gunung Polaki, ke arah selatan dan ke timur, gunung Pucak Sangkur, Bukitrangda, Teratebang, arah ke timur Bukit Padangdawa dan di pasisir selatan ada gunung Andakasa dan Uluwatu, mengarah ke timur, ke tenggara, ada gunung Byaha dan Byasmuntig dan yang ada paling timur gunung Lempuyang, arah utara dari sana ada gunung Sraya, demikianlah keberadaan gunung-gunung di pulau Bali dan banyak lagi bukit-bukit di bagian tengah-tengah pulau Bali, tidak diceritrakan semuanya, semuanya itu merupakan tempat Parhyangan (Dharma = Pura), merupakan Kahyangan para Dewata.
Ada lagi ucapan Dewa Purana, setelah keluarnya lahar panas, gempa tidak henti-hentinya, membuat alam ini bergoncang, ditambah dengan hujan lebat, yang turun menimpa tanah (alam), lamanya dua bulan terus-menerus, banjir bah tak henti-hentinya, lalu Sanghyang Rudrapati, segera bersabda kepada para dewata yang menghadap : Ai engkau sekalian para dewata, ini sabdaku, yang berdasarkan ucapan sastra Ogan Lupyan, karena engkau sekalian telah mengetahuinya, karena telah berpandangan tembus, hendaknya engkau sekarang segara datang ke pulau Bali, demikian yang tersurat dalam Dewa Purana, itulah hendaknya dipakai sarana yang dipegang oleh para dewata, untuk datang ke Bali atas perintah Hyang Pasupati, yang disaksikan oleh Sanghyang Siwaditya, menaburkan amertha (unsur kehidupan) di dunia Windhumaya, berwujud Lingga, sebagai payung jagat itu, menjadi tonggaknya pulau Bali, yang nantinya dikenal dengan sebutan Hyang Gunung Alas, Hyang Kancing Gumi namanya. Karena telah lama pulau Bali, tidak ditempati oleh manusia, sehingga menjadi sepi dan tidak ada orang yang memerintah Bali. Demikianlah disebutkan pada masa dahulu di pulau Bali dan semuanya menjadi hutan, karena tidak ada manusia di pulau Bali.
Setelah beberapa lama, datang hari Siwa Kuye (Wrespati Pahing) Julungmerik (Julungwangi), sasadhara, marga utara, sasih badrawada (karo), pada pananggal, pawana bhudara , swanita, naga bhumi, sirsa janma, naga ulan, witangsu, hudani jagadhita (menunjukkan pananggalan Candra Sangkala), beryogalah Hyang Genijaya, bersama-sama dengan Hyang Bhatara Mahadewa, lagi goncang pulau Bali, karena gunung Tohlangkir meletus, yang mengeluarkan lahar panas, itulah sebabnya ada yang disebut Lwah Mbahgeni, yang ada sekarang.
Adapun lagi beryoganya Hyang Genijaya, dengan Panca Bhayu Astawa, lalu melahirkan 5 orang putra laki-laki tampan dan sempurna, pada saat lahirnya beralaskan daun gedang kahikik, yang sulung bernama Sang Brahmana Pandita, yang kedua bernama Mpu Mahameru, yang ketiga bernama Mpu Gana dan yang paling bungsu bernama Mpu Kuturan, adiknya bernama Mpu Bharadah. Paling kecil, merupakan pendeta dari kecil (sangkan rare), sama-sama menjadi pendeta, serta telah kembali ke gunung Mahameru, melaksanakan samadhi dharaka, banyak lagi jika diceritrakan, diamkan sementara ceritra itu, karena semuanya telah beryoga.
Marilah kita ceritrakan kembali yoganya Bhatara Hyang Mahadewa di lereng Giri Tohlangkir, lahirlah dari yoga 2 orang putra laki dan perempuan, yang bernama Bhatara Gana, adiknya yang perempuan bernama Bhatari Hyang Manik Geni, tak tertandingi ketampanannya, disuruh oleh Bhatara kembali ke Giri Mahameru, beryoga samadhi, memuja Hyang Paramesti Adi Guru, entah tahun berapa saat itu, telah berhasil yoga beliau di Giri Sumeru, saat itu Bhatari Hyang Manik Geni, dikawini oleh Sang Brahmana Pandita, setelah beliau kawin, lalu berganti nama, bernama Mpu Genijaya, hampir sama dengan sebutan Bhatara Kasuhun, demikianlah disebutkan dalam Usana.
Kembali lagi diceritrakan Hyang Gunung Alas, yang merupakan tempat Lingga Pasupati, ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan menjalar, pepohonan besar maupun kecil dan tertimbun oleh tanah bagaikan sebuah bhudara atau bukit. Lalu ada orang-orang terhormat (karaman) membuat pondok-pondok dengan merabas hutan, terlihatlah sebuah bukit (bhudara) yang dikelilingi oleh telaga, pepohonannya dirabas oleh orang-orang padukuhan dan tanah yang bagaikan bukit diratakan ke semua arah, lalu dijumpailah sebuah batu besar dan tinggi, dicari pangkalnya tetapi tidak dijumpai, kira-kira ada 15 depa tingginya, itulah yang dinamai Sela Mangadeg dan desa sekitarnya diberi nama Batudawa.
Di sanalah orang-orang padukuhan bercocok tanam, baik di sawah maupun pada panegalan dan tidak lupa memuja di sana, sepereti apa yang disampaikan oleh Bhatara Adnya Cakra bersama-sama Kaki dan Nini Kusumajati. Bagaikan pertemuan langit dengan tanah, pertemuan Purusa dan Pradhana. Setelah berselang lama perjalanan Sanghyang Kala Tiga Murti menjaga dunia siang maupun malam, sampai bertemunya Saptawara dengan Pancawara, kembali menyatu setiap 6 bulan (bulan Bali). Ada tanda, pada tempat beryoganya Sanghyang Wisnu Narayana, Brahma dan Iswara, sesuai dengan ucap Sastra Utama. Demikian kesimpulannya dalam Dewa Purana, Giri Wana Hyangning Gunung Alas Subal.
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro