SANDI SASTRA SEMAR
(Prithilan Papat Rampung)
Foto : diambil dari Googling sebagai pemanis judul artikel blogger |
KYAI SEMAR
꧋ꦩꦩꦂꦢꦶꦩꦫꦺꦴꦠꦩꦩꦼꦏꦂꦫꦶꦁꦫꦱꦧꦸꦢꦪꦭꦲꦶꦂꦭꦤ꧀ꦧꦠꦶꦤ꧀ꦩꦮꦭꦏꦸ꧈
ꦔꦼꦤ꧀ꦝꦤꦶꦏꦁꦭꦸꦥꦸꦠ꧀ꦭꦤ꧀ꦲꦭꦔꦿꦼꦉꦁꦒꦲꦩꦿꦶꦃꦲꦺꦤ꧀ꦢꦃꦲꦶꦁꦏꦲꦤꦤ꧀꧉
Mamardi marotama mekaring rasa budaya lair lan batin mawa laku, ngendhani kang luput lan ala ngrerengga amrih endahing kahanan.
Mendidik dan melatih agar menjadi manusia yang utama (marotama / narotama), berkembangnya rasa budaya (budi daya) lahir dan batin adalah dengan perbuatan, menjauhi yang salah dan buruk, memperbaiki dan menambah hal/perbuatan baik dengan tujuan tercapai keadaan yang harmoni (tentram dan damai).
NALA GARENG
꧋ꦫꦺꦁꦫꦺꦁꦔꦤ꧀ꦤꦶꦁꦗꦭ꧀ꦩꦲꦪꦾꦥꦶꦱꦤ꧀ꦢꦢꦶꦥꦶꦚ꧀ꦕꦁꦭꦤ꧀ꦕꦺꦏꦺꦴꦤꦶꦁꦒꦿꦲꦶꦠ꧈ ꦥꦤ꧀ꦗꦭ꧀ꦩꦠꦤ꧀ꦏꦼꦤꦏꦶꦤꦶꦫ꧉
Rèngrènganing jalma aywa pisan dadi pincang lan cekoning grahita, pan jalmå tan kena kinira.
Penggambaran sebagai manusia janganlah sekali-kali "timpang" dan "buruk" dalam memikir memperkirakan (menduga), walaupun demikian manusia tidaklah dapat diterka.
Kaki yang timpang dan tangan yang cacat adalah penggambaran tentang "tidak baik, tidak benar".
PETRUK
꧋ꦔꦤ꧀ꦛꦺꦴꦁꦔꦶꦝꦮꦸꦃꦲꦶꦁꦥꦿꦮꦁꦒ꧀ꦚꦏꦁꦮꦿꦸꦃꦲꦶꦁꦱꦼꦩꦸꦱꦸꦩꦺꦃꦲꦶꦁꦥꦱꦼꦩꦺꦴꦤ꧀꧈ ꦮꦶꦩ꧀ꦧꦸꦃꦭꦸꦮꦼꦱ꧀ꦱꦶꦁꦭꦺꦱꦤ꧀꧈ ꦩꦲꦤꦤꦶꦔꦺꦢꦤ꧀
Nganthongi dhawuhing pra wigya (wignya) kang wruh ing sêmu sumèh ing pasêmon, wimbuh luwesing lesan, mahanani ngêdan kuwarisan.
Berpedoman pengetahuan dari para orang pandai yang tahu tentang bagaimana menampakkan raut wajah ramah, ditambah dengan keluwesan berbicara, akan mewarisi kegilaan.
Ngèdan kuwarisan atau mewarisi kegilaan yang dimaksud adalah luar biasa dalam hal bersikap dan berbicara kepada orang lain, mudah menyenangkan hati, meski dengan sikap yang terasa semaunya sendiri.
BAWOR / BAGONG
꧋ꦮꦺꦴꦂꦱꦸꦃꦲꦶꦫꦩꦤꦶꦁꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦧꦪꦱꦶꦫꦧꦺꦴꦱꦼꦤ꧀ꦩꦂꦱꦸꦢꦶꦧꦼꦕꦶꦏ꧀꧈ ꦧꦭꦶꦏ꧀ꦱꦶꦫꦧꦺꦧꦺꦂꦧꦒꦸꦱ꧀꧈ ꦧꦺꦴꦭꦧꦭꦶꦠꦶꦧꦒꦺꦴꦁ꧈
Worsuhira maning urip baya sira bosen marsudi bêcik, balik sirå bèbèr bagus, bola bali tiba gong.
Bercampur aduknya hidup adalah bila engkau bosan belajar dan melatih diri akan kebaikan, ditambah lagi hanya memamerkan ketampanan/kecantikan, berulang kali mengalami nasib konyol.
Tokoh Bawor (gagrag Banyumas) atau sama dengan Bagong (gagrag Sala dan Yogya) identik dengan penggambaran watak berani tapi sering bersikap semaunya sendiri, kurang mengindahkan tata-krama (pranatan).
Rampung
Foto : diambil dari Googling sebagai pemanis judul artikel blogger |
Foto : diambil dari Googling sebagai pemanis judul artikel blogger |
Tambahan artikel (versi Dakwah Walisongo) :
Makna Filosofi Punakawan Dan Metode Dakwah Walisongo
Sejak Islam datang dan disebarkan, wayang kulit Purwa (awal) telah mengalami perubahan. Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tak hanya dijumpai pada wujudnya saja, tetapi juga pada istilah-istilah dalam bahasa pedalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.
Penggubahan wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga sendiri, peristiwa itu terjadi kira-kira tahun 1443 M, dan sekaligus para walisongo menciptakan gamelannya.
Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para walisongo mengarang cerita yang bernafaskan nilai-nilai keislaman. Adapun pelaku cerita dalam pewayangan yang terkenal hingga saat ini adalah cerita tentang "Punokawan Pandawa" (Empat tokoh Jenaka Pengiring Ksatria Pandawa Lima) terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Keempat pelaku yang dimunculkan para Walisongo ini mengandung falsafah yang amat dalam, diantaranya sebagai berikut :
1) Semar, dari bahasa Arab "Simaar" yang artinya Paku, Perlambang bahwa kebenaran agama Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya paku yang tertancap yakni Simaaruddunya.
2) Gareng, dari bahasa Arab "Naala Qoriin" (diucapkan lidah Jawa: nala gareng), yang artinya memperoleh banyak kawan.
3) Petruk, dari bahasa Arab "Fatruk" yang artinya tinggalkan, diambil dari kalimat Fatruk Kullu Ma Siwallahi yaitu Tinggalkanlah segala yang selain Allah.
4) Bagong, dari bahsa Arab "Bagha" yang artinya lacut atau berontak, yaitu memberontak terhadap sesuatu yang zalim.
Kadang muncul juga tokoh Togog yang dimunculkan dari kata "Thogut" (Iblis), Dalam pergelaran wayang, keempat tokoh Punakawan itu selalu keluar pada waktu yang tak bersamaan. Biasanya, tokoh Semar yang dimunculkan pertama kali, baru kemudian diikuti Gareng, Petruk, dan terakhir Bagong. Secara tak langsung urutan tersebut menunjukkan ajakan (dakwah) yang diserukan para wali zaman dahulu agar meninggalkan kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan-kepercayaan lain menuju ajaran Islam.
Jika Punakawan ini disusun secara berurutan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, secara harfiah bermakna, “Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan kejelekan.”
Tafsiran lain menyatakan:
Semar berasal dari kata Sammir yang artinya “Siap Sedia”. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab "Ismar". Menurut orang yang berpendapat ini, lidah orang Jawa membaca kata is- menjadi se-. Contohnya seperti Istambul dibaca Setambul atau Isnain menjadi Senin. Ismar berarti paku. Tak heran, jika tokoh Semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada. Ia selalu tampil sebagai penasihat.
Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan. Versi lain meyakini, Nala Gareng diadaptasi dari kata "Naala Qariin". Orang Jawa melafalkannya menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti “Memperoleh banyak Teman”. Hal itu sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya umat agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Petruk berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Selain itu, ada juga yang berpendapat kata Petruk diadaptasi dari kata Fatruk-kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, “Fatruk Kullu Ma Siwallahii” (Tinggalkan semua apa pun yang selain Allah).
Bagong, diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya lalim atau kejelekan. Pendapat lainnya menyebutkan, Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yakni, berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.
Keempat tokoh tersebut memiliki bentuk yang lucu dan aneh, begitu pula dengan watak dan pola perilakunya yang unik. Semar digambarkan sebagai sosok manusia yang bijaksana dan kaya akan ilmu pengetahuan. Ia mempunyai sumbangsih besar melalui petuah-petuah yang disampaikan kepada para majikannya, meski terkadang dengan cara bercanda.
Tokoh Gareng memiliki pemikiran yang cerdik, tetapi kurang dapat menyampaikannya secara lugas, sehingga seringkali dianggap sebagai tokoh di balik layar. Sementara itu, Petruk adalah tokoh yang kurang cerdas tapi banyak omong, sedangkan Bagong merupakan bayang-bayang Semar. Bagong memiliki sikap yang kritis dalam menyampaikan aspirasi secara humoris.